Anda di halaman 1dari 28

AKTUALISASI NILAI PANCASILA

DALAM GEGURITAN WIRACARITA PUPUTAN MARGARANA:


PERSPEKTIS SEJARAH PERJUANGAN
DAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA
Oleh
I Wayan Cika

ABSTRAK

Geguritan Wiracarita Puputan Margarana (selanjutnya disingkat GWPM)


sungguh amat menarik untuk diteliti. Alasannya adalah GWPM menceritakan fakta
sejarah yang benar-benar terjadi, namun dibingkai dengan media sastra yang disebut
geguritan. Fakta sejarah itu menceritakan perang antara pasukan I Gusti Ngurah Rai
melawan penjajah Belanda (NICA). Klimaks peristiwa sejarah itu terjadi di Desa
Margarana Tabanan pada tanggal 20 November 1946. Peristiwa sejarah itu dikenal
dengan sebutan “Puputan Margarana”. Jadi, GWPM dapat dikatakan berada antara fakta
dan fiksi.
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana
bentuk aktualisasi nilai Pancasila dalam GWPM dan apa maknanya dilihat dari perspektif
sejarah perjuangan dan pembangunan karakter bangsa Indonesia. Tujuannya adalah
menggali dan menjelaskan bentuk aktualisasi nilai Pancasila dan mengungkapkan makna
nilai Pancasila dalam GWMP dilihat dari perspektif sejarah perjuangan dan pembangunan
karakter bangsa Indonesia. Teori yang digunakanadalah teori semiotik dan teori objektif
serta dibantu dengan metode hermeneutik. Pengumpulan data dilakukan dengan metode
studi pustaka.
Hasil analisis menunjukkan bahwa GWMP mengandung nilai-nilai Pancasila,
antara lain nilai agama, nilai kepahlawanan, nilai keberanian, nilai kesetiaan, nilai
perjuangan, dan nilai bela negara. Dalam Perspektif sejarah perjuangan dan
pembangunan karakter bangsa, nilai-nilai tesebut merupakan sejarah perjuangan bangsa
Indonesia, khususnya rakyat Bali melawan imperialis Belanda (NIKA). Semuanya itu
mengandung makna semangat cinta tanah air, yakni semangat seseorang yang sudi
mengorbankan segala-galanya demi kejayaan dan kemakmuran tanah airnya.
Pengorbanan tidak hanya berupa harta benda, tetapi juga jiwa dan raga. Nilai-nilai itu
patut diteladani dan diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa
untuk menuju masyarakat dan bangsa negara yang lebih beradab.

Kata-kata kunci: GWPM, fakta, fiksi, nilai pancasila.

1
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Geguritan Wiracarita Puputan Margarana (GWPM), adalah salah satu genre

karya sastra tradisonal yang sampai kini masih tetap eksis dan berkembang di tengah-

tengah kehidupan masyarakat Bali. Karya sastra geguritan dapat memberikan peluang

kepada manusia untuk mempermasalahkan kehidpan sehingga dapat memunculkan

gagasan yang bermakna dan dapat memenuhi hasrat manusia untuk berkontemplasi

(Atmazaki, 1990:24)

Ada dua alasan penting yang dapat dikemukakan, mengapa GWPM dipilih

sebagai pokok bahasan dalam penulisan makalah ini. (1) GWPM banyak mengandung

nilai yang relevan dengan nilai-nilai yang tersurat dan tersirat dalam Pancasila yang dapat

dijadikan peluang untuk meningkatkan sikap mental yang positif dalam rangka

pembangunan karakter bangsa, antara lain nilai bela Negara, nilai perjuangan, nilai

religius, dan nilai kejujuran. (2) GWPM menceritakan fakta sejarah yang benar-benar

terjadi, yaitu peristiwa perang antara pasukan I Gusti Ngurah Rai melawan penjajah

Belanda (NICA) pada tahun 1946. Peristiwa sejarah itu terjadi di Margarana Tabanan

yang dikenal dengan peristiwa “Puputan Margarana”. Selain itu, yang menarik untuk

dicermati adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi disajikan dengan menggunakan bahasa

Bali dan jika dinyanyikan akan terdengar sangat merdu sehingga akan membangkitkan

rasa keindahan yang lebih dalam. Peristiwa-peristiwa itu dituangkan dalam bentuk

sebuah karya sastra geguritan yang disebut GWPM. Sekagai sebuah karya sastra,

GWPM terikat loleh syarat-syarat tertentu yang disebut padalingsa, yakni terikat oleh

jenis pupuh, jumlah suku kata, dan suara akhir setiap baris. Selain itu, karena berbentuk

2
karya sastra maka bahasanya pun sangat khas, banyak gaya bahasa yang digunakan

sehingga menambah estetisnya karya itu. Geguritan itu dikarang oleh I Wayan Narji pada

tahun 1975. GWPM dapat dikatakan sebagai karya yang unik dan cukup menarik untk

dikaji. Dikatakan unik karena dari segi isi geguritan tersebut menguraikan fakta sejarah

yang benar-benar terjadi, dan dari segi bentuk (genre) geguritan itu bersifat imajiner.

Peristiwa sejarah (fakta) yang terungkap dalam GWPM benar-benar sesuai dengan fakta

sejarah, baik mengenai tempat terjadinya, para pelakunya maupun angka tahunnya,

seperti tampak dalam cuplikan berikut.

Tanggal 17 Agustus 1945 adalah hari Proklamasi Kemerdekaan Repulik

Indonesia. Sejak tanggal itulah bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang

merdeka, terbebas dari penjajahan negara manapun termasuk Belanda. Namun,

Belanda tampaknya tidak menyetujui dan menolak kemerdekaan itu. Niat busuk

Belanda untuk menjajah kembali Indonesia dilakukan dengan menyamar bersama

sekutunya. Niat busuk itu segera diketahui oleh rakyat (rakyate rungu). Rakyat,

terutama para pemuda menggalang kekuatan, bersatu padu dan kompak (tumuli

nunggalang paksa) membela negara (sagulute nindih Negara) (III.2). Para

pemuda, di bawah pmpinan I Gusti Ngurah Rai membuat pasukan gagah berani

yang diberi nama Pasukan Banteng, sedangkan kaum wanitanya membangun dan

menggalang kekuatan dengan pasukannya yang berjuluk Pasukan Srikandi (III.3).

1.2 Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang dibahas dalam penelitian ini

akan dibatasi pada dua hal, yaitu (1) bagaimana bentuk aktualisasi nilai Pancasila yang

tercermin dalam GWPM; (2) apa makna aktualisasi nilai Pancasila yang tercermin dalam

3
GWPM dilihat dari perspektif sejarah perjuangan dan pe mbangunan karakter bangsa

Indonesia.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah (1) menggali dan

menjelaskan bentuk aktualisasi nilai Pancasila yang tercermin dalam GWPM; (2)

menggali dan mengungkapkan makna nilai Pancasila yang tercermin dalam GWPM

dilihat dari perspektif sejarah perjuangan dan pembangunan karakter bangsa Indonesia

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian tentang aktualisasi nilai Pancasila dalam GWPM diharapkan dapat

memberikan manfaat kepada masyarakat, khususnya generasi muda, sebagai berikut.

(1) Generasi muda diharapkan dapat meningkatan karakter bangsa yang kuat, jiwa

dan semangat cinta tanah air serta rela berkorban demi bangsa dan Negara

Indonesia.

(2) Generasi muda diharapkan dapat mengingat para pahlawan yang telah gugur

sebagai kusuma bangsa, tidak hanya dipuja dan dihormati, tetapi yang lebih

penting adalah meneladani dan melanjutkan cita-cita perjuangan mereka untuk

mengisi pembangunan bangsa sesuai dengan amanat Proklamasi Kemerdekaan

Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

1.5 Kajian Pustaka

Sepanjang pengetahuan penulis, sampai saat ini hanya ada dua tulisan yang

pernah membahas GWCPM. (1) I Wayan Cika pernah membicarakan GWCPM dalam

tulisannya yang berjudul “Interpretasi Sumber Sejarah dan Unsur-Unsur Kolonial

Belanda dalam Historiografi tradisional Bali (Studi Kasus dalam Geguritan Wira Carita

4
Puputan Margarana). Tulisan tersebut dimuat dalam Jurnal Lontar yang diterbitkan oleh

Pusat Dokumentasi Budaya Bali tahun 2003.

Menurut Cika, Geguritan Wiracarita Puputan Margarana adalah sebuah

historiografi tradisional Bali yang bersifat sastra sejarah. Geguritan itu disusun oleh I

Wayan Narji pada tahun 1975. Ada beberapa indikator yang dapat dijadikan dasar untuk

mengatakan bahwa GWCPM bersifat sejarah, yaitu sebagai berikut. (1) Menceritakan

tentang fakta sejarah, yang benar-benar terjadi, yaitu berupa perjuangan revolusi fisik

antara Pemuda Pejuang melawan NICA (Belanda) yang disusun secara kronologis,

lengkap dengan hari, tanggal, dan tahun terjadinya peristiwa tersebut. Peristiwa sejarah

itu terjadi di Desa Marga, Kabupaten Tabanan, Bali, dan klimaksnya terjadi tanggal 20

November 1946. (2) Tempat terjadinya peristiwa tersebut dilengkapi dengan monument

atau candi sebagai tanda untuk mengenang jasa para pejuang yang telah gugur sebagai

kusuma bangsa. Dan, (3) sampai kini, setiap tanggal 20 November diperingati dan

dirayakann sebagai salah satu peristiwa sejarah di Bali, yang biasa disebut hari “Puputan

Margarana”.

Jika ditinjau dari segi metodologi sejarah, GWPM dapat dipandang sebagai

sumber sejarah. Di dalamnya terkandung data dan fakta yang dapat dijadikan sebagai

sumber penyusunan sejarah. Namun, lewat beberapa contoh interpretasi, baik interpretasi

verbal, teknis, logika, psikologis, maupun penafsiran faktual, geguritan tersebut bukanlah

merupakan sumber primer. Oleh karena itu, perlu diadakan perbandingan dengan sumber-

sumber lainnya.

Pengarang terlampau jauh memasukkan imajinasinya ke dalam geguritan itu

sehingga agak menyimpang dari pengertian sejarah itu sendiri. Hal itu terbukti dengan

5
digunakannya beberapa gaya bahasa di dalamnya, seperti gaya bahasa pleonasme. Gaya

bahasa itu mengandaikan suatu benda atau binatang bisa berbicara seperti manusia,

misalnya pohon jagung menyesali dirinya karena tidak dapat mebantu para pejuang, dan

seekor jangkrik dapat menyampaikan pesan-pesan para pejuang yang telah gugur sebagai

kusuma bangsa. Selain itu, tampak jelas unsur-unsur kolonial Belanda, seperti pemakaian

kata NICA dan nama-nama orang seperti Termiulen.

1.6 Konsep

Konsep merupakan arahan pikiran yang menuntun peneliti menentukan metode

yang akan digunakan dalam penelitian. Konsep menunjuk pada gejala yang dapat

membantu untuk melihat hal-hal yang tadinya tidak terlihat, meskipun semua fakta yang

berhubungan dengan itu sudah tersedia. Menurut Raho, (2007:6-7), konsep dapat

dibedakan menjadi (1) konsep yang dapat diamati, yaitu menunjuk pada objek atau

peristiwa yang dapat ditangkap secara langsung oleh indera, (2) konsep yang tidak dapat

diamati, menunjuk pada hakikat atau proses yang tidak bisa diamati secara langsung

melainkan eksistensinya dapat disimpulkan dari seperangkat konsep yang bisa diamati.

Adapun konsep yang akan dikemukakan dalam penelitian ini adalah nilai-nilai Pancasila,

geguritan, dan pembangunan karakter bangsa.

1) Nilai Pancasila

Pancasila tidak bias dilepaskan dari manusia Indonesia sebagai latar belakang,

karena nilai Pancasila tidak ada dengan sendirinya (given value) melainkan nilai yang

diciptakan oleh manusia-manusia Indonesia (created value). Nlai-nilai dalam Pancasila

hanya bisa dimengerti dengan mengenal manusia Indonesia dan latar belakangnya.

6
Kekhasan nilai yang melekat dalam Pancasila sebagai nilai intrinsik terletak pada

diakuinya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial

sebagai satu kesatuan. Nilai-nilai tersebut bersifat umum dan universal, karenanya nilai-

nilai itu tidak hanya milik Indonesia melainkan milik manusia sejagat.

Pancasila, selain mengandung nilai intrinsik juga mengandung nilai ekstrinsik

yang disebut instrumental. Nilai instrumental ini mengandung arah, bahwa dalam proses

mewujudkan cita-cita negara bangsa, nilai-nilai tersebut disesuaikan dengan sifat yang

ada dalam nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial.

Sebagai instrumen atau arah, Pancasila tidak hanya mencerminkan Identitas manusia

Indonesia melainkan juga berfungsi sebagai cara dalam mencapai tujuan. Artinya, dalam

mewujudkan cita-cita negara bangsa, Indonesia menggunakan cara-cara yang

berketuhanan, yang adil dan beradab, berpersatuan, berkerakyatan yang menghargai

musyawarah dalam mencapai mufakat (Tim Penulis Materi Ajar, 2013: 85-86).

Pancasila mencerminkan nilai realitas, karena di dalam sila-sila Pancasila yang

berisi nilai-nilai itu sudah dipraktikkan atau diimplementasikan dalam kehidupan sehari-

hari oleh bangsa Indonesia. Di samping mengandung nilai realitas, sila-sila Pancasila itu

berisi nilai-nilai idealis, yaitu nilai yang diinginkan untuk dicapai.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, memiliki bobot yang berbeda.

Namun, niai-nilai itu tidak bertentangan tetapi saling melengkapi satu dengan lainnya.

Pancasila merupakan satu kebulatan dan utuh (organic whole). Nilai-nilai Pancasila itu,

akan memberikan pola bagi sikap, tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia (Kaelan,

2014: 72--77).

7
2) Geguritan

Kata geguritan berasal dari kata ”gurit” yang berarti gubah, karang, sadur.

Geguritan berarti gubahan, saduran cerita yang berbentuk tembang atau pupuh (Warna,

1993:254). Agastia (1987:37) mengatakan bahwa geguritan dibentuk oleh pupuh yang

diikat oleh padalingsa. Padalingsa terdiri atas dua kata, yaitu pada artinya banyak

bilangan suku kata dalam satu baris (carik), dan lingsa artinya perubahan suara a i u e o

pada suku kata terakhir setiap baris (Sugriwa, 1977:8). Dengan kata lain, padalingsa

mengandung tiga hal (1) jumlah suku kata dalam tiap-tiap baris, (2) jumlah baris tiap-tiap

bait, dan (3) bunyi akhir setiap baris (bdk. Tinggen, 1994:31; Medera, 1997:34).

Geguritan Bali maksudnya adalah karya sastra Bali tradisional yang mempunyai sistem

konvensi sastra cukup ketat. Pada umumnya geguritan Bali melukiskan cerita yang

lengkap dengan unsur-unsur cerita yang membentuknya, sehingga geguritan disebut

sebagai puisi naratif.

3) Pembangunan Karakter Bangsa

Pada hakikatnya, nilai Pancasila yang terkandung dalam GWPM merupakan nilai-

nilai karakter bangsa yang adiluhung. Karakter bangsa merupakan nilai yang

berhubungan denganTuhan, sesama manusia, dan kebangsaan yang terwujud dalam

pikiran, perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tatakrama, dan budaya.

Dalam upaya memahami dan mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa itu maka

pendidikan memegang peranan penting. Pendidikan tidak hanya merupakan sarana

transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi, yakni sebagai proses pembudayaan

8
(humanisasi) bagi peserta didik. Pembudayaan adalah pembentukan karakter menuju

rekonstruksi negara dan bangsa yang lebih maju dan beradab (Sudrajat, 2010:3).

Wacana tentang pendidikan sebagai pembudayaan peserta didik (humanisasi)

bertujuan untuk mewujudkan insan ideal, yaitu berkarakter luhur. Hal itu sangat penting,

mengingat pendidikan pada hakikatnya adalah humanisasi, yaitu proses memanusiakan

manusia agar menjadi manusia berkarakter mulia (Drijarkara, dalam Atmadja, 2010:11).

Pendidikan karakter bangsa amat penting, tidak saja karena bangsa Indonesia mengalami

berbagai tantangan dan rintangan, tetapi sangat relevan dengan tujuan pendidikan

nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional, yang antara lain tidak saja mengidealkan manusia memiliki

kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional dan sosial,

serta kecerdasan kinestetik. Lebih lanjut pada Bab II Pasal 3 disebutkan bahwa

pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Selain itu juga bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik atau masyarakat

agar menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia,

sehat, beriman, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggungjawab (dalam Cika, 2011: 13). Jadi, hal itulah yang dimaksud dengan

pembangunan karakter bangsa dalam penelitian ini.

1.7 Landasan Teori

Dalam penelitian ini akan digunakan teori semiotik sebagai landas pijak. Teori

tersebut digunakan untuk mengungap makna nilai-nilai Pancasila yang terkandung di

dalam GWPM.

9
Sesungguhnya, teori semiotik tidak dapat dipisahkan dengan teori objektif, karena

karya sastra merupakan sistem (struktur) tanda-tanda yang bermakna. Tanda-tanda itu

mempunyai makna sesuai dengan konvensi ketandaan. Pradopo (2003:108) mengatakan

karya sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua yang menggunakan bahan sebagai

sistem semiotik tingkat pertama. Karya sastra disebut sistem semiotik tingkat kedua

karena karya sastra dengan petandanya seperti metafor, konotasi, dan ciri-ciri penafsiran

ganda lainnya bukanlah bahasa biasa, melainkan sistem komunikasi yang sarat dengan

pesan kebudayaan (Ratna, 2004:111).

Sebagai sebuah ilmu, semiotik mempelajari sistem tanda yang dapat digolongkan

menjadi tiga jenis tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya,

hubungannya dengan tanda-tanda lain, dan penerimaannya oleh mereka yang

menggunakannya berdasarkan kode-kode tertentu. Kode-kode itu dipilih oleh pengarang

dan diketahui oleh pembaca (Zoest, 1992:5). Kode tersebut tampak pada tindak

komunikasi manusia lewat bahasa. Arti bahasa ini ditingkatkan menjadi makna karya

sastra oleh konvensi tambahan. Oleh karena itu, Pradopo (2003:109) menambahkan

untuk mendapatkan makna karya sastra haruslah diketahui konvensi-konvensi tambahan

yang memungkinkan diproduksinya makna. Konvensi sastra dimaksud sesuai dengan

sifat sastra secara umum dan secara khusus sesuai dengan jenis sastra.

Teori yang digunakan sebagai landas pijak dalam makalah ini dibantu dengan

metode hermeneutik (Ratna, 2004:111). Metode itu digunakan untuk menginterpretasi

dan mengungkap makna nilai Pancasila yang terkandung di dalam GWPM. Tujuannya

adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk dan makna nilai Pancasila dilihat dari

perspektif sejarah perjuangan dan pembangunan karakter bangsa Indonesia.

10
II. AKTUALISASI NILAI PANCASILA DALAM GEGURITAN WIRACARITA

PUPUTAN MARGARANA

2.1 Nilai Agama

Dalam Pancasila, nilai agama merupakan pengamalan sila pertama, yaitu

Ketuhanan yang Mahaesa. Nilai agama berarti kepercayaan kepada Tuhan dengan

ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan keyakinan (Tim

Penyusun Kamus, 1988: 9). Definisi tersebut menyiratkan bahwa agama

dipandang sebagai pendangan hidup, baik bagi perseorangan (individu) maupun

kelompok. Agama berisi ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak

tentang keberadaan manusia. Bahasan yang mengarah kepada nilai agama akan

disajikan dalam kutipan berikut.

… nanging sadurung lumaku, mangda mabakti ke pura, Dalem Basa


masasengi, pacang nahur, guling bawi piodalan, lantas ida miteketang (X.9).
(tetapi sebelum berangkat, agar bersembahyang ke pura, Pura Dalem Basa dan
berkaul, akan menghaturkan, babi guling pada saat upacara tiba, lanjut Pak Rai
memperingatkan).

Kutipan di atas mengamanatkan tentang keyakinan yang terdapat dalam

ajaran agama Hindu. Bagi penganut agama Hindu, diyakini bahwa apapun yang

akan dikerjakan selalu memohon kekuatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,

memohon kehadirat-Nya. Apalagi dalam konteks perjuangan, berperang melawan

musuh yang sangat kuat, seperti Belanda. Sebelum berangkat ke medan tempur

mereka menyempatkan diri untuk bersembahyang ke Pura Dalem Basa sambil

berkaul. Umat Hindu juga meyakini bahwa Pura Dalem merupakan Pura

Kahyangan Tiga, selain Pura Desa dan Pura Puseh. Di Pura Dalem bersthana

11
Bhatara Siwa dan Dewi Durga. Kematian (pralina) bagi seseorang (manusia)

hanya kehendak Bhatara Dalem.

Kaul itu diucapkan dalam suasana yang magis, baik berkenaan dengan

waktu (kala) maupun tempat (ruang). Tujuannya adalah untuk memohon dan

mendapatkan kesuksesan dalam penyelenggaraan upacara, perjuangan atau

kegiatan lainnya. Oleh karena diucapkan dalam suasana yang magis, baik

menyangkut waktu maupun tempat maka kaul menjadi janji yang sakral dalam

arti harus ditepati. Kalau tidak ditepati akan menjadi bahaya dan selalu diingat -

ingat oleh orang yang berkaul. Demikian pula halnya pasukan Ciung Wanara

yang telah berhasil mengalahkan NICA, mereka menepati janjinya untuk

membayar kaul. Hal itu dilukiskan dalam kutipan berikut. …pasukane raris

tangkil, ke Pura Dalem Basa, nahuring punagi lantur, masaputining sanjata,

teleb bakti, pamuput majaya jaya (XI.11).

Makna yang dapat dipetik dari uraian di atas adalah siapa saja yang akan

melakukan pekerjaan besar atau kecil pasti memohon ridho Tuhan Yang

Mahakuasa, agar pekerjaannya berhasil. Jadi, ada sebuah keyakinan, bahwa

Tuhan menentukan segalanya, manusia hanya bisa merencanakan.

Kaul adalah janji yang sakral yang diucapkan dalam situasi yang sangat

magis, baik dari segi waktu maupun ruang. Oleh karena itu, hendaknya kaul itu

dibayar lunas. Jika tidak, orang yang berkaul itu selalu akan dihantui oleh

perasaan bersalah, sehingga hidupnya menjadi sengsara.

12
2.2 Nilai Kepahlawanan

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk memuliakan pahlawan,

antara lain: (1) derajatnya dapat disejajarkan dengan derajat dewa, dibuatkan

altar pemujaan atau monumen supaya diingat oleh generasi berikutnya, dan (2)

digubah riwayatnya menjadi cerita, mite dan legenda, dan akhirnya disusun

menjadi syair atau cerita pahlawan (Tim Penyusun Laporan, 1982:23).

Berdasarkan pendapat tersebut, Pak Rai layak diakui sebagai pahlawan

nasional karena telah memenuhi syarat-syarat sebagai seorang pahlawan.

Dilihat dari segi cara-cara memuliakan pahlawan, Bapak I Gusti Ngurah Rai

memenuhi semua persyaratan seperti dipaparkan di atas. Pertama, Pak Rai

dibuatkan altar pemujaan atau monumen yang diberi nama “Taman Pujaan

Bangsa Candi Pahlawan Mergarana”, dan riwayat perjuangannya digubah ke

dalam sebuah bentuk karya sastra sejarah (historigrafi tradisional) GWPM.

Bagi para ksatria, perjuangan adalah pengorbanan suci, pengorbanan jiwa

dan raga (ikang jiwa lan sarira daksina) (I.2), jiwa dan raga sebagai

persembahan. Pengorbanan adalah kesenangan dan keikhlasan (nirmalang

manah) (I.2) dan tidak mundur dalam setiap langkah dalam peperangan (tan

surud ring rana bumi) (I.2). Demikianlah bagi para pejuang bangsa, karenanya

akan mendapatkan pahala dari Tuhan yang Maha Kuasa. Selain kenikmatan

surgawi, para pejuang bangsa yang gugur dalam pertempuran akan memperoleh

kenikmatan fisik, seperti, nahan tuwi winuwus pahlawan wangsa (dijuluki

pahlawan negara), lana sinembah pinuji, (selalu dihormati dan di puja-puja),

13
muwang sinurateng pustaka, (dicatatat namanya dengan tinta emas), dan liningga

stahneng candi (I.4) (dibuatkan tugu peringatan).

Selain kecitaannya kepada bangsa dan negara,Pahlawan (Pak Rai), juga

mempunyai keterampilan memimpin anak buahnya, khususnya dalam membuat

strategi perang. Keterampilan ini tampak ketika pejuang dari Jawa ingin datang

dan membantu para pejuang Bali. Dengan cekatan Pak Rai membuat tipu daya

(strategi), dengan memindahkan seluruh pasukan ke Bali bagian Timur (Gunung

Agung), (Nanging sang wibhuhing naya, tan kirang upaya sandhi, raris ida

manitahang, bala wadwane magingsir, matedah ke Bali kangin, ngungsi pucak

Gunung Agung, pinaka pangindrajala (V.2). Dengan begitu, Bali Barat akan

kosong sehingga memudahkan bagi bala bantuan dari Jawa mendaratkan

pasukannya.

Pak Rai berulang-ulang menegaskan dan menekankan, bahwa perjuangan

harus ditegakkan. Beliau mengatakan tidak ada satu pun pejuang yang

mengingkari perjuangan bangsa ini sampai ajal menjemput (mangda tan

ngawedar rusia, yadin pacang nandang lampus) (VI.14). Semangat juang yang

dilakukan oleh Pak Rai ini dapat dimaknai sebagai semangat pantang menyerah

untuk terus-menerus mengisi cita-cita kemerdekaan yang telah dicapai oleh

pahlawan terdahulu.

2.3 Nilai Keberanaian

Berani artinya mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya diri yang

besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan dan tidak takut (gentar) (Tim

Penyusun Kamus, 1988:105).

14
Pak Rai dalam geguritan ini adalah tokoh utama, pemuda perkasa, pejuang

bangsa. Pak Rai adalah tokoh fiksi (dalam geguritan) sekaligus tokoh aktual yang

benar-benar ada dalam kenyataan. Beliau adalah tokoh yang memperjuangkan

haknya sebagai anak bangsa dalam rangka mempertahankan kemerdekaan yang

telah dicapai oleh para pejuang bangsa sebelumnya. Pak Rai bersama teman-

temanya yang memiliki ide, gagasan yang sama bersatu padu mengusir Belanda

dari Bumi Pertiwi Bali. Pak Rai merupakan simbol pemuda perkasa yang berani

menantang Belanda untuk berperang

Bagi seorang pejuang, di samping ide, gagasan, kekuatan, strategi perang,

juga yang amat penting ialah keberanian. Pak Rai adalah tokoh pemberani yang

patut diteladani. Sikap keberanian itu ditunjukkan, antara lain dalam sikap

penolakannya diajak berunding yang disampaikan dalam bentuk surat kepada

Belanda (IV.2). Bagi Pak Rai, merdeka merupakan harga mati walaupun Beliau

menyadari bahwa yang dihadapinya adalah bangsa Belanda yang kuat dan

mempunyai kemampuan perang yang modern. Pak Rai adalah pejuang tegas

“teges bawos ida”, pemuda yang bertanggung jawab dengan segala resiko yang

dihadapinya. Bagi beliau, keamanan di Bali menjadi urusan orang Bali (IV.3).

Keberanian dalam konteks kekinian dapat dimaknai sebagai tindakan

tidak ragu-ragu melaksanakan tugas mulia. Mempertahankan kedaulatan negara

adalah tugas mulia bagi setiap manusia. Lakukan tugas itu dengan keberanian

dan keikhlasan berkorban, perjuangan pasti berhasil.

15
2.4 Nilai Kesetiaan

Sebagai komandan perang, Pak Rai sejak awal telah memperlihatkan

kesetiaannya, tidak akan pernah ingkar janji, bersumpah setia membela negera.

Sifat-sifat Pak Rai menyebabkan semua anggota pasukan menjadi hormat

kepadanya. Hal ini tampak ketika Pak Rai membalas surat ajakan Belanda

(Sapunika daginging sewalapatra, surat pangwales Pak Rai, kesatria purusa,

pageh satyam ring ubaya,larapan wadwane bakti… (IV.8)

Kesetiaan, ketaatan, kepatuhan dan keteguhan memegang janji sangat

penting dalam perjuangan. Pak Rai menyadari betul, bahwa rakyat teramat setia

mengikuti segala perintah Pak Rai. Ketika Pak Rai memerintahkan dengan

bahasa yang lembut, sopan santun, bersedagurau (taler ida mengandika,

mabawas masilakrama, dagingnya sakadi guyu, sapunika bawos ida) (VI.9) agar

rakyat membuat perlindungan, dengan serempak rakyat mengikutinya. Begitu

juga Pak Rai Bersama teman-teman seperjuangan, Pak Rai senantiasa mengajak

anak buahnya berlaku setia, patuh dan teguh memegang janji. Menurut Pak Rai,

dengan sifat-sifat itu perjuangan pasti aman dan sentosa. Untuk itu, Pak Debes

(Pak Putih), Pak Kwasa, Pak Dewa Made Kaler dengan lantang meneriakkan

kesetiaan untuk membela negaranya (VI. 11).

Kesetiaan adalah sikap patuh, taat, teguh memegang janji perjuangan

antarkomponen bangsa. Sikap teguh, dan konsisten tidak hanya terjadi

antarpejuang, tetapi juga antara pejuang dan rakyat. Sikap patuh itu

mengisyaratkan kepada kita agar taat kepada azas perjuangan bangsa untuk

mencapai kemerdekaan. Setelah kemerdekaan itu dapat direngkuh, kita harus

16
sepakat dan teguh hati untuk mempertahankannya dari segala rongrongan, baik

yang berasal dari bangsa sendiri maupun dari bangsa luar. Jangan terjadi

pengkhianatan terhadap bangsa di muka bumi ini, karena pengkhianatan terhadap

bangsa berarti merendahkan martabat bangsa sendiri. Sikap seperti itu tampak

dalam kutipan berikut.

Tatan abah, rakyate yadin katitig, tan pisan kawedar,kancane patut


kapingit, ngardi pejuang santosa (IX.2)…. Kala ika, para pejuange
sami,yadin ipun kasiksa, tan pisan nyelsel ring diri, sayaga tindih ring
wangsa (IX.3). (Rakyat tetap teguh imannya, meskipun mereka disiksa,
tidak mau membuka rahasia (perjuangan), semuanya dirahasiakan, agar
pejuang aman sentosa. Pada saat itu, semua para pejuang, meskipun
mereka disiksa, tetapi sedikit pun tidak ada rasa penyesalan, rela
berkorban demi bangsa.

2.5 Nilai Perjuangan

Perjuangan adalah sebuah pertempuran sebagai reaksi atas kedatangan

Belanda. Belanda datang dengan cara menyamar untuk merebut kembali

kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus

1945. Tanggal 17 Agustus 1945 adalah hari Proklamasi Kemerdekaan Repulik

Indonesia. Sejak tanggal itulah bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang

merdeka, terbebas dari penjajahan negara manapun termasuk Belanda.

Nampaknya Belanda tidak menyetujui, dan menolak kemerdekaan Indonesia.

Dengan menyamar bersama sekutunya, Belanda kembali ingin menjajah

Indonesia. Hal itu diketahui oleh (rakyate rungu), kemudian mereka bersatu padu

dan kompak untuk melawan (tumuli nunggalang paksa, sagulute nindih Negara)

(III.2). Rakyat, terutama para pemuda membangun kekuatan yang diberi nama

17
Pasukan Banteng, sedangkan kaum wanitanya membangun dan menggalang

kekuatan dengan pasukannya yang berjuluk Pasukan Srikandi (III.3).

Peristiwa-peristiwa selanjutnya semakin memuncak dan dilukiskan secara

kronologis. Semua rangkaian peristiwa yang tejadi dalam perang Puputan Margarana

merupakan sejarah perjuangan bangasa Indonesia (khususnya rakyat Bali) yang

selamanya akan tetap dicatat sebagai sejarah perjuangan bangsa. Inti sejarah perjuangan

rakyat Bali dalam GWPM akan dipaparkan secara singkat berikut ini.

a) Pada tanggal 18 November 1946 kira-kira pukul 22.00 pasukan pejuang dipimpin Pak

Suweta berangkat menuju tangsi NICA dengan berpegangan seutas tali supaya tidak

terlepas satu sama lain di perjalanan. Pada pukul 24.00 pasukan tiba di tangsi. Senjata

NICA dapat dirampas. Pada pukul 05.00 keesokan harinya, pasukan pejuang kembali

ke markasnya.

b) Pada tanggal 19 November 1946 pasukan pejuang mengadakan hiburan Janger,

setelah itu, mereka bersembahyang berdoa kepada Tuhan, agar mendapat berkah.

c) Tentara NICA bersenjata lengkap telah siap dan berkumpul di sebelah selatan Desa

Marga.

d) Pasukan pejuang telah siap dengan benteng-benteng pertempuran.

e) Kira-kira pukul 09.00 tentara NICA berjumlah 40 orang mendekati benteng pejuang.

f) Pukul 12.00 tentara NICA terpukul mundur dan lari tunggang langgang.

g) Tentara NICA mencari bantuan.

h) Tidak lama kemudian datang pesawat NICA membombardir para pejuang. Pasukan

pejuang di bawah pimpinan Pak Sugyanyar gugur.

18
i) Selanjutnya, Pak Rai sebagai pimpinan tertinggi pasukan pejuang memerintahkan

semua anggota pasukan menuntut balas sampai titik darah penghabisan dengan

mengucapkan kata-kata “puputan -- puputan – puputan”.

j) Terjadilah perang habis-habisan (puputan) dan berakhir senja hari. Inilah yang

disebut Perang Puputan Margarana, yang terjadi pada tanggal 20 November 1946.

2.6 Nilai Bela Negara

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “bela” berarti membela,

menolong, melepaskan dari bahaya, melindungi, mempertahankan (perkara,

pendapat, Negara, dan sebagainya) (Tim Penyusun Kamus, 1988:93). Dalam

pembahasan ini, nilai bela negara mengacu pada makna melindungi,

mempertahankan negara dari ancaman negara lain, yaitu NICA (Belanda).

Pergerakan perlawanan rakyat di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai

adalah aksi dalam rangka melindungi, mempertahankan kedaulatan Negara,

khususnya daerah Bali dari kekuatan tentara NICA (Belanda) (III.1-2). Rakyat

Bali tidak rela daerahnya dijajah (dikuasai) oleh kekuatan asing. Rakyat rela

untuk berkorban membela Negara (rakyat Baline tan sudya, yan tan tinut tindih

melanin, negara mawastu ingkup saguluk (III.3). Terutama rakyat Bali tidak rela,

bila tidak ikut membela negara, akhirnya rakyat kompak bersatu.

Semua lapisan masyarakat, laki-perempuan, tua-muda, ikut bersama

berjuang membela negara. Ada yang membuat perlindungan, mematai-matai

datangnya musuh, dan membantu mencari keperluan lainya (III.4-5; VI.1-2).

Rakyat setia melakukan perlawanan demi membela dan mempertahankan

tanah airnya. Rakyat sama sekali tidak menyesal walaupun mereka disiksa oleh

19
bangsanya sendiri, apalagi takut, demi bangsa dan negaranya sendiri (Kala ika,

para pejuange sami, yadin ipun kasiksa, tan pisan nyelsel ring diri, sayaga

tindih ring wangsa (IX.3) (Pada saat itu, semua para pejuang, meskipun mereka

disiksa, tetapi sedikit pun tidak menyesali diri, rela berkorban demi

mempertahankan kemerdekaan). Rakyat tahu betul akan meregang nyawa, t etapi

tetap setia membela kepentingan nusa dan bangsa (yadin mati, yan sampun

satyeng Negara) (XIII.8). Hanya dengan tekad setia membela negara, NICA

terdesak dan mundur (welanda tandang kuciwa) (XIII.9)

Makna yang dapat ditangkap dari uraian di atas ialah kewajiban bagi

setiap warga negara bangsa Indonesia untuk melindungi dan menjaga kedaulatan

negaranya dari segala ancaman, baik dari luar seperti dilakukan oleh penjajah

Belanda maupun ancaman dari dalam bangsa sendiri, seperti yang dilakukan oleh

NICA Gandek.

3. Penutup

3.1 Simpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut.

1) GWPM adalah sebuah historiografi tradisional yang berada antara fiksi dan fakta.

Sebagai fiksi GWPM terikat oleh syarat-syarat tetentu, yang disebut padalingsa.

Sebagai fakta, GWPM merupakan fakta sejarah yang benar-benar terjadi, yaitu

pertempuran antara pasukan pejuang di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai

melawan kolonial Belanda. Klimaks pertempuran itu terjadi pada tanggal 20

November 1946 di Desa Marga, Kabupaten Tabanan.

20
2) Nilai-nilai Pancasila yang tersurat dan tersirat dalam GWPM, antara lain

nilai agama, nilai kepahlawanan, nilai keberanian, nilai kesetiaan, nilai

perjuangan, dan nilai bela neggara. Nilai-nilai tersebut diaktualisasikan

melalui sikap setia, patuh, taat, berani, dan teguh memegang janji

perjuangan serta dilakukan secara konsisten.

3) Dalam Perspektif sejarah perjuangan dan pembangunan karakter bangsa, nilai-

nilai Pancasila itu merupakan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, khususnya

rakyat Bali melawan imperialis Belanda (NIKA). Semuanya itu mengandung

makna semangat cinta tanah air, yakni semangat seseorang yang sudi

mengorbankan segala-galanya demi kejayaan dan kemakmuran tanah airnya.

Pengorbanan tidak hanya berupa harta benda, tetapi juga jiwa dan raga yang tak

ternilai harganya. Sikap seperti itu patut diteladani dan diimplementasikan oleh

generasi muda dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa untuk menuju

masyarakat dan bangsa negara yang lebih beradab.

3.2. Saran

1) Generasi muda disarankan memiliki karakter bangsa yang kuat, jiwa dan

semangat cinta tanah air serta rela berkorban demi bangsa dan negara.

2) Generasi muda wajib mengenang jasa-jasa para pahlawan yang telah gugur

sebagai kusuma bangsa. Generasi muda tidak cukup hanya membanggakan

para pahlawan bangsa tetapi juga meneladani dan melanjutkan cita-cita

mereka untuk mengisi pembangunan bangsa. Mengisi pembangunan tidak

mudah, banyak tantangan, rintangan yang membentang bahkan menantang

di masa yang akan datang.

21
DAFTAR PUSTAKA

Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya.
Narji, W. 1975. Geguritan Wiracarita Puputan Margarana. Diterbitkan oleh Markas
Cabang Legiun Veteran RI Daerah Tingkat II Tabanan.
Ratna, N. Kutha. 2004. Teori, Metode, & Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
pelajar.
Tim Penyusun Materi Ajar. 2013. “Materi Ajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila”.
Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Direktoral Jenderal Pendidikan
Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia.
Tim Penyusun Laporan Penelitian. 1982. Pahlawan dalam Kesusastraan Panji di
Nusantara. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Tim Penyusun Kamus. 1993. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.2014.
Kaelan. 2014. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma. (Edisi ke-14)
Sudarta, Wayan. 2014. Puputan Margarana: Pertempuran Terdahsyat pada Masa
Revolusi Fisik di Bali. Denpasar: University Press.
Supriyoko. 2015. “Pendidikan Karakter Bangsa sebagai Strategi Kebudayaan”, dimuat
dalam Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan. Jakarta: Pusat Penelitian
dan Pengembangan Kebudayaan.
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:
Departemen Dalam Negeri.

LAMPIRAN: TUGU (MONUMEN) PAHLAWAN MARGARANA, TABANAN

22
Jumlah pahlawan yang gugur saat perang Puputan Margarana 20 November 1946
diabadikan dalam bentuk tugu: 1.371 orang. 11 orang bekas tentara Jepang,
64 orang ALARI, 644 pejuang taruna, 652 pejuang yang telah berkeluarga.
Paling depan tampak tugu I Gusti Ngurah Rai.

23

Anda mungkin juga menyukai