ABSTRAK
1
I. PENDAHULUAN
karya sastra tradisonal yang sampai kini masih tetap eksis dan berkembang di tengah-
tengah kehidupan masyarakat Bali. Karya sastra geguritan dapat memberikan peluang
gagasan yang bermakna dan dapat memenuhi hasrat manusia untuk berkontemplasi
(Atmazaki, 1990:24)
Ada dua alasan penting yang dapat dikemukakan, mengapa GWPM dipilih
sebagai pokok bahasan dalam penulisan makalah ini. (1) GWPM banyak mengandung
nilai yang relevan dengan nilai-nilai yang tersurat dan tersirat dalam Pancasila yang dapat
dijadikan peluang untuk meningkatkan sikap mental yang positif dalam rangka
pembangunan karakter bangsa, antara lain nilai bela Negara, nilai perjuangan, nilai
religius, dan nilai kejujuran. (2) GWPM menceritakan fakta sejarah yang benar-benar
terjadi, yaitu peristiwa perang antara pasukan I Gusti Ngurah Rai melawan penjajah
Belanda (NICA) pada tahun 1946. Peristiwa sejarah itu terjadi di Margarana Tabanan
yang dikenal dengan peristiwa “Puputan Margarana”. Selain itu, yang menarik untuk
Bali dan jika dinyanyikan akan terdengar sangat merdu sehingga akan membangkitkan
rasa keindahan yang lebih dalam. Peristiwa-peristiwa itu dituangkan dalam bentuk
sebuah karya sastra geguritan yang disebut GWPM. Sekagai sebuah karya sastra,
GWPM terikat loleh syarat-syarat tertentu yang disebut padalingsa, yakni terikat oleh
jenis pupuh, jumlah suku kata, dan suara akhir setiap baris. Selain itu, karena berbentuk
2
karya sastra maka bahasanya pun sangat khas, banyak gaya bahasa yang digunakan
sehingga menambah estetisnya karya itu. Geguritan itu dikarang oleh I Wayan Narji pada
tahun 1975. GWPM dapat dikatakan sebagai karya yang unik dan cukup menarik untk
dikaji. Dikatakan unik karena dari segi isi geguritan tersebut menguraikan fakta sejarah
yang benar-benar terjadi, dan dari segi bentuk (genre) geguritan itu bersifat imajiner.
Peristiwa sejarah (fakta) yang terungkap dalam GWPM benar-benar sesuai dengan fakta
sejarah, baik mengenai tempat terjadinya, para pelakunya maupun angka tahunnya,
Indonesia. Sejak tanggal itulah bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang
Belanda tampaknya tidak menyetujui dan menolak kemerdekaan itu. Niat busuk
sekutunya. Niat busuk itu segera diketahui oleh rakyat (rakyate rungu). Rakyat,
terutama para pemuda menggalang kekuatan, bersatu padu dan kompak (tumuli
pemuda, di bawah pmpinan I Gusti Ngurah Rai membuat pasukan gagah berani
yang diberi nama Pasukan Banteng, sedangkan kaum wanitanya membangun dan
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang dibahas dalam penelitian ini
akan dibatasi pada dua hal, yaitu (1) bagaimana bentuk aktualisasi nilai Pancasila yang
tercermin dalam GWPM; (2) apa makna aktualisasi nilai Pancasila yang tercermin dalam
3
GWPM dilihat dari perspektif sejarah perjuangan dan pe mbangunan karakter bangsa
Indonesia.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah (1) menggali dan
menjelaskan bentuk aktualisasi nilai Pancasila yang tercermin dalam GWPM; (2)
menggali dan mengungkapkan makna nilai Pancasila yang tercermin dalam GWPM
dilihat dari perspektif sejarah perjuangan dan pembangunan karakter bangsa Indonesia
(1) Generasi muda diharapkan dapat meningkatan karakter bangsa yang kuat, jiwa
dan semangat cinta tanah air serta rela berkorban demi bangsa dan Negara
Indonesia.
(2) Generasi muda diharapkan dapat mengingat para pahlawan yang telah gugur
sebagai kusuma bangsa, tidak hanya dipuja dan dihormati, tetapi yang lebih
Sepanjang pengetahuan penulis, sampai saat ini hanya ada dua tulisan yang
pernah membahas GWCPM. (1) I Wayan Cika pernah membicarakan GWCPM dalam
Belanda dalam Historiografi tradisional Bali (Studi Kasus dalam Geguritan Wira Carita
4
Puputan Margarana). Tulisan tersebut dimuat dalam Jurnal Lontar yang diterbitkan oleh
historiografi tradisional Bali yang bersifat sastra sejarah. Geguritan itu disusun oleh I
Wayan Narji pada tahun 1975. Ada beberapa indikator yang dapat dijadikan dasar untuk
mengatakan bahwa GWCPM bersifat sejarah, yaitu sebagai berikut. (1) Menceritakan
tentang fakta sejarah, yang benar-benar terjadi, yaitu berupa perjuangan revolusi fisik
antara Pemuda Pejuang melawan NICA (Belanda) yang disusun secara kronologis,
lengkap dengan hari, tanggal, dan tahun terjadinya peristiwa tersebut. Peristiwa sejarah
itu terjadi di Desa Marga, Kabupaten Tabanan, Bali, dan klimaksnya terjadi tanggal 20
November 1946. (2) Tempat terjadinya peristiwa tersebut dilengkapi dengan monument
atau candi sebagai tanda untuk mengenang jasa para pejuang yang telah gugur sebagai
kusuma bangsa. Dan, (3) sampai kini, setiap tanggal 20 November diperingati dan
dirayakann sebagai salah satu peristiwa sejarah di Bali, yang biasa disebut hari “Puputan
Margarana”.
Jika ditinjau dari segi metodologi sejarah, GWPM dapat dipandang sebagai
sumber sejarah. Di dalamnya terkandung data dan fakta yang dapat dijadikan sebagai
sumber penyusunan sejarah. Namun, lewat beberapa contoh interpretasi, baik interpretasi
verbal, teknis, logika, psikologis, maupun penafsiran faktual, geguritan tersebut bukanlah
merupakan sumber primer. Oleh karena itu, perlu diadakan perbandingan dengan sumber-
sumber lainnya.
sehingga agak menyimpang dari pengertian sejarah itu sendiri. Hal itu terbukti dengan
5
digunakannya beberapa gaya bahasa di dalamnya, seperti gaya bahasa pleonasme. Gaya
bahasa itu mengandaikan suatu benda atau binatang bisa berbicara seperti manusia,
misalnya pohon jagung menyesali dirinya karena tidak dapat mebantu para pejuang, dan
seekor jangkrik dapat menyampaikan pesan-pesan para pejuang yang telah gugur sebagai
kusuma bangsa. Selain itu, tampak jelas unsur-unsur kolonial Belanda, seperti pemakaian
1.6 Konsep
yang akan digunakan dalam penelitian. Konsep menunjuk pada gejala yang dapat
membantu untuk melihat hal-hal yang tadinya tidak terlihat, meskipun semua fakta yang
berhubungan dengan itu sudah tersedia. Menurut Raho, (2007:6-7), konsep dapat
dibedakan menjadi (1) konsep yang dapat diamati, yaitu menunjuk pada objek atau
peristiwa yang dapat ditangkap secara langsung oleh indera, (2) konsep yang tidak dapat
diamati, menunjuk pada hakikat atau proses yang tidak bisa diamati secara langsung
melainkan eksistensinya dapat disimpulkan dari seperangkat konsep yang bisa diamati.
Adapun konsep yang akan dikemukakan dalam penelitian ini adalah nilai-nilai Pancasila,
1) Nilai Pancasila
Pancasila tidak bias dilepaskan dari manusia Indonesia sebagai latar belakang,
karena nilai Pancasila tidak ada dengan sendirinya (given value) melainkan nilai yang
hanya bisa dimengerti dengan mengenal manusia Indonesia dan latar belakangnya.
6
Kekhasan nilai yang melekat dalam Pancasila sebagai nilai intrinsik terletak pada
sebagai satu kesatuan. Nilai-nilai tersebut bersifat umum dan universal, karenanya nilai-
nilai itu tidak hanya milik Indonesia melainkan milik manusia sejagat.
yang disebut instrumental. Nilai instrumental ini mengandung arah, bahwa dalam proses
mewujudkan cita-cita negara bangsa, nilai-nilai tersebut disesuaikan dengan sifat yang
ada dalam nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Sebagai instrumen atau arah, Pancasila tidak hanya mencerminkan Identitas manusia
Indonesia melainkan juga berfungsi sebagai cara dalam mencapai tujuan. Artinya, dalam
musyawarah dalam mencapai mufakat (Tim Penulis Materi Ajar, 2013: 85-86).
berisi nilai-nilai itu sudah dipraktikkan atau diimplementasikan dalam kehidupan sehari-
hari oleh bangsa Indonesia. Di samping mengandung nilai realitas, sila-sila Pancasila itu
Namun, niai-nilai itu tidak bertentangan tetapi saling melengkapi satu dengan lainnya.
Pancasila merupakan satu kebulatan dan utuh (organic whole). Nilai-nilai Pancasila itu,
akan memberikan pola bagi sikap, tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia (Kaelan,
2014: 72--77).
7
2) Geguritan
Kata geguritan berasal dari kata ”gurit” yang berarti gubah, karang, sadur.
Geguritan berarti gubahan, saduran cerita yang berbentuk tembang atau pupuh (Warna,
1993:254). Agastia (1987:37) mengatakan bahwa geguritan dibentuk oleh pupuh yang
diikat oleh padalingsa. Padalingsa terdiri atas dua kata, yaitu pada artinya banyak
bilangan suku kata dalam satu baris (carik), dan lingsa artinya perubahan suara a i u e o
pada suku kata terakhir setiap baris (Sugriwa, 1977:8). Dengan kata lain, padalingsa
mengandung tiga hal (1) jumlah suku kata dalam tiap-tiap baris, (2) jumlah baris tiap-tiap
bait, dan (3) bunyi akhir setiap baris (bdk. Tinggen, 1994:31; Medera, 1997:34).
Geguritan Bali maksudnya adalah karya sastra Bali tradisional yang mempunyai sistem
konvensi sastra cukup ketat. Pada umumnya geguritan Bali melukiskan cerita yang
Pada hakikatnya, nilai Pancasila yang terkandung dalam GWPM merupakan nilai-
nilai karakter bangsa yang adiluhung. Karakter bangsa merupakan nilai yang
Dalam upaya memahami dan mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa itu maka
transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi, yakni sebagai proses pembudayaan
8
(humanisasi) bagi peserta didik. Pembudayaan adalah pembentukan karakter menuju
rekonstruksi negara dan bangsa yang lebih maju dan beradab (Sudrajat, 2010:3).
bertujuan untuk mewujudkan insan ideal, yaitu berkarakter luhur. Hal itu sangat penting,
manusia agar menjadi manusia berkarakter mulia (Drijarkara, dalam Atmadja, 2010:11).
Pendidikan karakter bangsa amat penting, tidak saja karena bangsa Indonesia mengalami
berbagai tantangan dan rintangan, tetapi sangat relevan dengan tujuan pendidikan
Sistem Pendidikan Nasional, yang antara lain tidak saja mengidealkan manusia memiliki
kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional dan sosial,
serta kecerdasan kinestetik. Lebih lanjut pada Bab II Pasal 3 disebutkan bahwa
Selain itu juga bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik atau masyarakat
agar menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia,
sehat, beriman, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab (dalam Cika, 2011: 13). Jadi, hal itulah yang dimaksud dengan
Dalam penelitian ini akan digunakan teori semiotik sebagai landas pijak. Teori
dalam GWPM.
9
Sesungguhnya, teori semiotik tidak dapat dipisahkan dengan teori objektif, karena
karya sastra merupakan sistem (struktur) tanda-tanda yang bermakna. Tanda-tanda itu
karya sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua yang menggunakan bahan sebagai
sistem semiotik tingkat pertama. Karya sastra disebut sistem semiotik tingkat kedua
karena karya sastra dengan petandanya seperti metafor, konotasi, dan ciri-ciri penafsiran
ganda lainnya bukanlah bahasa biasa, melainkan sistem komunikasi yang sarat dengan
Sebagai sebuah ilmu, semiotik mempelajari sistem tanda yang dapat digolongkan
menjadi tiga jenis tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya,
dan diketahui oleh pembaca (Zoest, 1992:5). Kode tersebut tampak pada tindak
komunikasi manusia lewat bahasa. Arti bahasa ini ditingkatkan menjadi makna karya
sastra oleh konvensi tambahan. Oleh karena itu, Pradopo (2003:109) menambahkan
sifat sastra secara umum dan secara khusus sesuai dengan jenis sastra.
Teori yang digunakan sebagai landas pijak dalam makalah ini dibantu dengan
dan mengungkap makna nilai Pancasila yang terkandung di dalam GWPM. Tujuannya
adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk dan makna nilai Pancasila dilihat dari
10
II. AKTUALISASI NILAI PANCASILA DALAM GEGURITAN WIRACARITA
PUPUTAN MARGARANA
Ketuhanan yang Mahaesa. Nilai agama berarti kepercayaan kepada Tuhan dengan
tentang keberadaan manusia. Bahasan yang mengarah kepada nilai agama akan
ajaran agama Hindu. Bagi penganut agama Hindu, diyakini bahwa apapun yang
akan dikerjakan selalu memohon kekuatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
musuh yang sangat kuat, seperti Belanda. Sebelum berangkat ke medan tempur
berkaul. Umat Hindu juga meyakini bahwa Pura Dalem merupakan Pura
Kahyangan Tiga, selain Pura Desa dan Pura Puseh. Di Pura Dalem bersthana
11
Bhatara Siwa dan Dewi Durga. Kematian (pralina) bagi seseorang (manusia)
Kaul itu diucapkan dalam suasana yang magis, baik berkenaan dengan
waktu (kala) maupun tempat (ruang). Tujuannya adalah untuk memohon dan
kegiatan lainnya. Oleh karena diucapkan dalam suasana yang magis, baik
menyangkut waktu maupun tempat maka kaul menjadi janji yang sakral dalam
arti harus ditepati. Kalau tidak ditepati akan menjadi bahaya dan selalu diingat -
ingat oleh orang yang berkaul. Demikian pula halnya pasukan Ciung Wanara
membayar kaul. Hal itu dilukiskan dalam kutipan berikut. …pasukane raris
Makna yang dapat dipetik dari uraian di atas adalah siapa saja yang akan
melakukan pekerjaan besar atau kecil pasti memohon ridho Tuhan Yang
Kaul adalah janji yang sakral yang diucapkan dalam situasi yang sangat
magis, baik dari segi waktu maupun ruang. Oleh karena itu, hendaknya kaul itu
dibayar lunas. Jika tidak, orang yang berkaul itu selalu akan dihantui oleh
12
2.2 Nilai Kepahlawanan
antara lain: (1) derajatnya dapat disejajarkan dengan derajat dewa, dibuatkan
altar pemujaan atau monumen supaya diingat oleh generasi berikutnya, dan (2)
digubah riwayatnya menjadi cerita, mite dan legenda, dan akhirnya disusun
Dilihat dari segi cara-cara memuliakan pahlawan, Bapak I Gusti Ngurah Rai
dibuatkan altar pemujaan atau monumen yang diberi nama “Taman Pujaan
dan raga (ikang jiwa lan sarira daksina) (I.2), jiwa dan raga sebagai
manah) (I.2) dan tidak mundur dalam setiap langkah dalam peperangan (tan
surud ring rana bumi) (I.2). Demikianlah bagi para pejuang bangsa, karenanya
akan mendapatkan pahala dari Tuhan yang Maha Kuasa. Selain kenikmatan
surgawi, para pejuang bangsa yang gugur dalam pertempuran akan memperoleh
13
muwang sinurateng pustaka, (dicatatat namanya dengan tinta emas), dan liningga
strategi perang. Keterampilan ini tampak ketika pejuang dari Jawa ingin datang
dan membantu para pejuang Bali. Dengan cekatan Pak Rai membuat tipu daya
Agung), (Nanging sang wibhuhing naya, tan kirang upaya sandhi, raris ida
Gunung Agung, pinaka pangindrajala (V.2). Dengan begitu, Bali Barat akan
pasukannya.
harus ditegakkan. Beliau mengatakan tidak ada satu pun pejuang yang
ngawedar rusia, yadin pacang nandang lampus) (VI.14). Semangat juang yang
dilakukan oleh Pak Rai ini dapat dimaknai sebagai semangat pantang menyerah
pahlawan terdahulu.
Berani artinya mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya diri yang
besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan dan tidak takut (gentar) (Tim
14
Pak Rai dalam geguritan ini adalah tokoh utama, pemuda perkasa, pejuang
bangsa. Pak Rai adalah tokoh fiksi (dalam geguritan) sekaligus tokoh aktual yang
telah dicapai oleh para pejuang bangsa sebelumnya. Pak Rai bersama teman-
temanya yang memiliki ide, gagasan yang sama bersatu padu mengusir Belanda
dari Bumi Pertiwi Bali. Pak Rai merupakan simbol pemuda perkasa yang berani
juga yang amat penting ialah keberanian. Pak Rai adalah tokoh pemberani yang
patut diteladani. Sikap keberanian itu ditunjukkan, antara lain dalam sikap
Belanda (IV.2). Bagi Pak Rai, merdeka merupakan harga mati walaupun Beliau
menyadari bahwa yang dihadapinya adalah bangsa Belanda yang kuat dan
mempunyai kemampuan perang yang modern. Pak Rai adalah pejuang tegas
“teges bawos ida”, pemuda yang bertanggung jawab dengan segala resiko yang
dihadapinya. Bagi beliau, keamanan di Bali menjadi urusan orang Bali (IV.3).
adalah tugas mulia bagi setiap manusia. Lakukan tugas itu dengan keberanian
15
2.4 Nilai Kesetiaan
kesetiaannya, tidak akan pernah ingkar janji, bersumpah setia membela negera.
kepadanya. Hal ini tampak ketika Pak Rai membalas surat ajakan Belanda
penting dalam perjuangan. Pak Rai menyadari betul, bahwa rakyat teramat setia
mengikuti segala perintah Pak Rai. Ketika Pak Rai memerintahkan dengan
mabawas masilakrama, dagingnya sakadi guyu, sapunika bawos ida) (VI.9) agar
juga Pak Rai Bersama teman-teman seperjuangan, Pak Rai senantiasa mengajak
anak buahnya berlaku setia, patuh dan teguh memegang janji. Menurut Pak Rai,
dengan sifat-sifat itu perjuangan pasti aman dan sentosa. Untuk itu, Pak Debes
(Pak Putih), Pak Kwasa, Pak Dewa Made Kaler dengan lantang meneriakkan
antarpejuang, tetapi juga antara pejuang dan rakyat. Sikap patuh itu
mengisyaratkan kepada kita agar taat kepada azas perjuangan bangsa untuk
16
sepakat dan teguh hati untuk mempertahankannya dari segala rongrongan, baik
yang berasal dari bangsa sendiri maupun dari bangsa luar. Jangan terjadi
bangsa berarti merendahkan martabat bangsa sendiri. Sikap seperti itu tampak
Indonesia. Sejak tanggal itulah bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang
Indonesia. Hal itu diketahui oleh (rakyate rungu), kemudian mereka bersatu padu
dan kompak untuk melawan (tumuli nunggalang paksa, sagulute nindih Negara)
(III.2). Rakyat, terutama para pemuda membangun kekuatan yang diberi nama
17
Pasukan Banteng, sedangkan kaum wanitanya membangun dan menggalang
kronologis. Semua rangkaian peristiwa yang tejadi dalam perang Puputan Margarana
selamanya akan tetap dicatat sebagai sejarah perjuangan bangsa. Inti sejarah perjuangan
rakyat Bali dalam GWPM akan dipaparkan secara singkat berikut ini.
a) Pada tanggal 18 November 1946 kira-kira pukul 22.00 pasukan pejuang dipimpin Pak
Suweta berangkat menuju tangsi NICA dengan berpegangan seutas tali supaya tidak
terlepas satu sama lain di perjalanan. Pada pukul 24.00 pasukan tiba di tangsi. Senjata
NICA dapat dirampas. Pada pukul 05.00 keesokan harinya, pasukan pejuang kembali
ke markasnya.
setelah itu, mereka bersembahyang berdoa kepada Tuhan, agar mendapat berkah.
c) Tentara NICA bersenjata lengkap telah siap dan berkumpul di sebelah selatan Desa
Marga.
e) Kira-kira pukul 09.00 tentara NICA berjumlah 40 orang mendekati benteng pejuang.
f) Pukul 12.00 tentara NICA terpukul mundur dan lari tunggang langgang.
h) Tidak lama kemudian datang pesawat NICA membombardir para pejuang. Pasukan
18
i) Selanjutnya, Pak Rai sebagai pimpinan tertinggi pasukan pejuang memerintahkan
semua anggota pasukan menuntut balas sampai titik darah penghabisan dengan
j) Terjadilah perang habis-habisan (puputan) dan berakhir senja hari. Inilah yang
disebut Perang Puputan Margarana, yang terjadi pada tanggal 20 November 1946.
khususnya daerah Bali dari kekuatan tentara NICA (Belanda) (III.1-2). Rakyat
Bali tidak rela daerahnya dijajah (dikuasai) oleh kekuatan asing. Rakyat rela
untuk berkorban membela Negara (rakyat Baline tan sudya, yan tan tinut tindih
melanin, negara mawastu ingkup saguluk (III.3). Terutama rakyat Bali tidak rela,
tanah airnya. Rakyat sama sekali tidak menyesal walaupun mereka disiksa oleh
19
bangsanya sendiri, apalagi takut, demi bangsa dan negaranya sendiri (Kala ika,
para pejuange sami, yadin ipun kasiksa, tan pisan nyelsel ring diri, sayaga
tindih ring wangsa (IX.3) (Pada saat itu, semua para pejuang, meskipun mereka
disiksa, tetapi sedikit pun tidak menyesali diri, rela berkorban demi
tetap setia membela kepentingan nusa dan bangsa (yadin mati, yan sampun
satyeng Negara) (XIII.8). Hanya dengan tekad setia membela negara, NICA
Makna yang dapat ditangkap dari uraian di atas ialah kewajiban bagi
setiap warga negara bangsa Indonesia untuk melindungi dan menjaga kedaulatan
negaranya dari segala ancaman, baik dari luar seperti dilakukan oleh penjajah
Belanda maupun ancaman dari dalam bangsa sendiri, seperti yang dilakukan oleh
NICA Gandek.
3. Penutup
3.1 Simpulan
1) GWPM adalah sebuah historiografi tradisional yang berada antara fiksi dan fakta.
Sebagai fiksi GWPM terikat oleh syarat-syarat tetentu, yang disebut padalingsa.
Sebagai fakta, GWPM merupakan fakta sejarah yang benar-benar terjadi, yaitu
20
2) Nilai-nilai Pancasila yang tersurat dan tersirat dalam GWPM, antara lain
melalui sikap setia, patuh, taat, berani, dan teguh memegang janji
makna semangat cinta tanah air, yakni semangat seseorang yang sudi
Pengorbanan tidak hanya berupa harta benda, tetapi juga jiwa dan raga yang tak
ternilai harganya. Sikap seperti itu patut diteladani dan diimplementasikan oleh
3.2. Saran
1) Generasi muda disarankan memiliki karakter bangsa yang kuat, jiwa dan
semangat cinta tanah air serta rela berkorban demi bangsa dan negara.
2) Generasi muda wajib mengenang jasa-jasa para pahlawan yang telah gugur
21
DAFTAR PUSTAKA
Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya.
Narji, W. 1975. Geguritan Wiracarita Puputan Margarana. Diterbitkan oleh Markas
Cabang Legiun Veteran RI Daerah Tingkat II Tabanan.
Ratna, N. Kutha. 2004. Teori, Metode, & Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
pelajar.
Tim Penyusun Materi Ajar. 2013. “Materi Ajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila”.
Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Direktoral Jenderal Pendidikan
Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia.
Tim Penyusun Laporan Penelitian. 1982. Pahlawan dalam Kesusastraan Panji di
Nusantara. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Tim Penyusun Kamus. 1993. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.2014.
Kaelan. 2014. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma. (Edisi ke-14)
Sudarta, Wayan. 2014. Puputan Margarana: Pertempuran Terdahsyat pada Masa
Revolusi Fisik di Bali. Denpasar: University Press.
Supriyoko. 2015. “Pendidikan Karakter Bangsa sebagai Strategi Kebudayaan”, dimuat
dalam Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan. Jakarta: Pusat Penelitian
dan Pengembangan Kebudayaan.
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:
Departemen Dalam Negeri.
22
Jumlah pahlawan yang gugur saat perang Puputan Margarana 20 November 1946
diabadikan dalam bentuk tugu: 1.371 orang. 11 orang bekas tentara Jepang,
64 orang ALARI, 644 pejuang taruna, 652 pejuang yang telah berkeluarga.
Paling depan tampak tugu I Gusti Ngurah Rai.
23