Manajemen likuiditas merupakan suatu proses pengendalian dari alat-alat likuid yang mudah digunakan guna memenuhi
kewajiban bank yang harus segera dibayar sesuai hari jatuh tempo. Untuk mengatasi masalah dari likuiditas maka dewan
syariah saat ini telah mengularkan peraturan mengenai likuiditas jangka pendek, dimana Peraturan ini terdapat pada
fatwa dewan syariah nasional-majelis ulama indonesia No: I 09/DSN-MLJLLLLL2017 tentang pembiayaan likuiditas jangka
pendek syariah.
b) Instrumen moneter yang sesuai dengan prinsip syariah untuk keperluan pelaksanaan tugas bank sentral. Peraturan
yang menerangkan tentang moneter yang sesuai prinsip syariah saat ini terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor : 10/ 36 /Pb I/2008 Tentang Operasi Moneter Syariah Peraturan Bank Indonesia Tentang Operasi Moneter
Syariah Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1) Bank adalah Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, 2) Bank Umum Syariah adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 3) Unit Usaha Syariah adalah Unit Usaha
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 4) Operasi
Moneter Syariah yang selanjutnya disebut OMS adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam
rangka pengendalian moneter melalui kegiatan operasi pasar terbuka dan penyediaan standing facilities berdasarkan
prinsip syariah. 5) Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut OPT Syariah adalah kegiatan transaksi pasar
uang berdasarkan prinsip syariah yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan pihak lain dalam rangka OMS. 6)
Standing Facilities Syariah adalah fasilitas yang disediakan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam rangka OMS. 7)
Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disebut SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah
berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. 8) Surat Berharga Syariah
Negara yang selanjutnya disebut SBSN adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah,
sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN dalam mata uang rupiah.
Peraturan Bank Indonesia nomor : 10/ 36 /PBI/2008 tentang operasi moneter syariah peraturan bank indonesia tentang
operasi 58 moneter syariah. Bab 2 tujuan operasi moneter syariah pasal 2 : 1) OMS bertujuan mencapai target
operasional pengendalian moneter syariah dalam rangka mendukung pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter Bank
Indonesia. 2) Target operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa kecukupan likuiditas perbankan
syariah atau variabel lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
c) Standar akutansi, audit, dan pelaporan PSAK 101 pertama kali dikeluarkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan
Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK IAI) pada 27 Juni 2007.
PSAK ini menggantikan ketentuan terkait penyajian laporan keuangan syariah dalam PSAK 59: Akuntansi Perbankan
Syariah yang dikeluarkan pada 1 Mei 2002. Berdasarkan surat Dewan Pengurus Nasional (DPN) IAI No.
0823-B/DPN/IAI/XI/2013 maka seluruh produk akuntansi syariah yang sebelumnya dikeluarkan oleh DSAK IAI dialihkan
kewenangannya kepada Dewan Standar Akuntansi Syariah (DSAS) IAI. Setelah pengesahan awal di tahun 2007, PSAK 101
mengalami amandemen dan revisi sebagai berikut : 1) 16 Desember 2011 sehubungan dengan adanya revisi atas PSAK 1:
Penyajian Laporan Keuangan. 2) 15 Oktober 2014 sehubungan dengan adanya revisi atas PSAK 1 terkait penyajian laba
rugi dan penghasilan komprehensif lain. 3) 25 Mei 2016 terkait penyajian laporan keuangan asuransi syariah Perubahan
ini merupakan dampak dari revisi PSAK 108: Akuntansi Transaksi Asuransi Syariah. Perubahan ini berlaku efektif 1
Januari 2017. Standar Akuntansi Keuangan 101: Penyajian Laporan Keuangan Syariah (selanjutnya disebut PSAK 101)
menetapkan dasar penyajian laporan keuangan bertujuan umum untuk entitas syariah. Pernyataan ini mengatur
persyaratan penyajian laporan keuangan, struktur laporan keuangan, dan persyaratan minimal isi laporan keuangan atas
transaksi syariah. PSAK 101 memberikan penjelasan atas karakteristik umum pada laporan keuangan syariah, antara lain
terkait adalah Penyajian secara wajar dan kepatuhan terhadap SAK, Dasar akrual, Materialitas dan penggabungan,
Saling hapus, Frekuensi pelaporan, Informasi komparatif dan Konsistensi Penyajian.
d) Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian Undang-Undang Perbankan tidak menyebutkan
secara tegas tentang pengertian dari prinsip kehati-hatian.
Namun dalam Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, disebutkan bahwa
Prinsip Kehati-hatian adalah pedoman pengelolaan bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat,
kuat, dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Prinsip kehati-hatian dalam praktik
perbankan diterjemahkan kedalam dua pengertian, Pertama, terkait dengan masalah performance debitur, sebelum
kredit diberikan bank harus terlebih dahulu memeriksa dan menyelidiki kualitas calon debiturnya. Kedua, terkait dengan
masalah jaminan untuk membayar utang-utangnya, manakala debiturnya default atau colaps. Prinsip mengenal nasabah
tersebut seperti sesuai Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah sebagaimana terakhir diubah denngan PBI Nomor : 5/ 21 /PBI/2003. Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Bank Indonesia Ketentuan Bank Indonesia dalam PBI No.3/10/ PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
(Know Your Customer Principles) telah diubah dengan PBI No. 5/21/PBI/2003 dan disempurnakan dengan lahirnya PBI
No.11/28/PBI/2009. Selanjutnya diubah dengan PBI No.14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Antii Pencucian
Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum. Penerbitan PBI yang terakhir ini terkait dengan upaya
untuk melakukan pencegahan terhadap timbulnya tindak pidana pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme
yang menggunakan fasilitas dan produk perbankan Nomor 3/10/PBI/2001. Prinsip mengenal nasabah merupakan prinsip
yang diterapkan untuk mengetahui identitas.
2. Akad tersebut merupakan akad mudharabah yang dilakukan dua pihak. Akad mudharabah adalah akad kerja sama
suatu usaha antara pemilik modal yang menyediakan seluruh modal dengan pengelola ('amil/mudharib) dan keuntungan
usaha dibagi di antara mereka sesuai nisbah yang disepakati dalam akad. Shahib al-mal/mallft adalah pihak penyedia
dana dalam usaha kerja sama usaha mudharabah, baik berupa orang maupun yang dipersamakan dengan orang, baik
berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum. 'Amil/mudharib adalah pihak pengelola dana dalam usaha kerja sama
usaha mudharabah, baik berupa orang maupun yang disamakan dengan orang, baik berbadan hukum maupun tidak
berbadan hukum. Ra's mal al-mudharabah adalah modal usaha dalam usaha kerja sama mudharabah. Nisbah bagi hasil
adalah nisbah atau perbandingan yang dinyatakan dengan angka seperti persentase untuk membagi hasil usaha.
Taqwim al-'urudh adalah penaksiran barang yang menjadi ra's almal untuk diketahui nilai atau harganya. Keuntungan
usaha (ar-ribh) mudharabah adalah pendapatan usaha berupa pertambahan dari investasi setelah dikurangi modal, atau
modal dan biaya-biaya. Kerugian usaha (al-khasarah) mudharabah adalah hasil usaha, di mana jumlah modal usaha yang
diinvestasikan mengalami penurunan atau jumlah modal dan biaya-biaya melebihi jumlah pendapatan ditanggung oleh
pemilik modal sepanjang bukan merupakan kelalaian penerima pembiayaan. Ketentuan ucapan/lafal (shighat) adalah
sebagai berikut :
Akad mudharabah harus dinyatakan secara tegas, jelas, mudah dipahami dan dimengerti serta diterima para
pihak
Akad mudharabah boleh dilakukan secara lisan, tertulis, isyarat, dan perbuatan/tindakan, serta dapat dilakukan
secara elektronik sesuai syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Pengelola (‘amil/mudharib) dalam akad mudharabah tsuna’iyyah tidak boleh melakukan mudharabah ulang
(mudharib yudharib) kecuali mendapatkan izin dari pemilik modal (shahibul maal)
Pengelola (‘amil/mudharib) wajib memiliki keahlian/keterampilan melakukan usaha dalam rangka mendapatkan
keuntungan
Berdasarkan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI tentang akad mudharabah, kegiatan usaha yang yang dapat
melaksanakan kerja sama mudharabah adalah sebagai berikut:
Usaha yang dilakukan pengelola (‘amil/mudharib) harus usaha yang halal dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah
dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku
Pengelola (‘amil/mudharib) dalam melakukan usaha mudharabah harus atas nama entitas mudharabah, tidak boleh
atas nama dirinya sendiri
Biaya-biaya yang timbul karena kegiatan usaha atas nama entitas mudharabah, boleh dibebankan ke dalam entitas
mudharabah
Pengelola (‘amil/mudharib) tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan, atau menghadiahkan modal
usaha (ra’s al-mal) dan keuntungan kepada pihak lain, kecuali atas dasar izin dari pemilik modal (shahibul maal)
Pengelola (‘amil/mudharib) tidak boleh melakukan perbuatan yang termasuk melakukan suatu perbuatna yang
seharusnya tidak dilalakukan (at-ta’addi), tidak melakukan perbuatan yang seharusnya dilakukan (at-taqshir),
dan/atau menyalahi isi dan/atau substansi atau syarat-syarat yang disepakati dalam akad (mukhalafat asy-syuruth)
3. Kerangka dasar penting untuk disusun sebab pertama, untuk menjadi sesuatu yang berguna, penyusunan standar
seharusnya berdasarkan pada sebuah konsep dan tujuan yang jelas. Konsep dan tujuan yang disusun haruslah bervisi
jauh ke depan serta memiliki tingkat konsistensi yang tinggi sehingga tidak banyak perubahan dalam perjalanannya. Satu
kesatuan standar dan ketentuan yang dihasilkan dibangun dengan landasan yang sama, sehingga akan menunjukkan
adanya konsistensi pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Kerangka dasar sebagai landasan penyusunan standar
seharusnya mampu meningkatkan pemahaman pengguna laporan keuangan, keyakinan atas substansi laporan
keuangan, dan meningkatkan daya banding (comparabilty) diantara laporan-laporan keuangan perusahaan.
Kedua, masalah-masalah yang baru dan muncul dalam praktik transaksi keuangan seharusnya dengan cepat diselesaikan
dengan menggunakan dasar teori serta kerangka dasar yang telah disusun. Seperti praktik transaksi Syariah di Indonesia
dalam hal sebelum adanya PSAK Nomor 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah dan PSAK Syariah 2007 baik Bank
maupun Lembaga Keuangan Syariah mengalami permasalahan mendasar dalam pencatatan transaksi keuangan karena
belum ada standar baku yang mampu menjangkau kebutuhan transaksi Syariah. PSAK Nomor 59 yang dikeluarkan IAI
pada tahun 2002, tidak secara otomatis semua LKS bisa mengadopsi karena ternyata ruang lingkup standar akuntansi
yang terbatas. Oleh karena itu, kebutuhan akan kerangka dasar yang lebih komprehensif menjadi sebuah keharusan
yang segera harus diwujudkan. KDPPLKS baru merupakan jawaban atas kebutuhan akan kerangka dasar yang lebih
komprehensif, KDPPLKS ini masih harus mengalami masa pembuktian apakah semua kebutuhan Lembaga Keuangan
Syariah di Indonesia sudah mampu dipenuhi atau belum. Kita akan melihat dalam perjalanan praktik akuntansi pada
Lembaga Keuangan Syariah setelah PSAK Syariah ini efektif berlaku 1 Januari 2008. Pengembangan sangat
memungkinkan terjadi dalam perjalanan penerapan PSAK Syariah baik pengembangan kerangka dasar maupun standar
akuntansi keuangan. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan tentang KDPPLKS dengan struktur pemaparan mengikuti
tata urutan yang terdapat dalam Conceptual Framework of Financial Accounting versi FASB mulai dari Level Pertama
(Tujuan Dasar), Level Kedua (Konsep Dasar), dan Level Ketiga (Pengakuan dan Pengukuran).
4. Paragraf 11 PSAK 101 mengatur tentang komponen-komponen laporan keuangan entitas syariah yang wajih disajikan
sebagai standar penyajian antara lain :
1. Neraca
Pos neraca memberi informasi tentang posisi keuangan perusahaan pada saat tertentu. Dengan neraca, pemakai
laporan keuangan akan dapa (1) menilai likuiditas dan kelancaran operasi perusahaan atau organisasi (2) menilai
struktur pendanaan perusahaan, (3) menganalisis komposisi kekayaan dan potensi jasa perusahaan, dan (4)
mengevaluasi potensi jasa atau sumber ekonomi yang dikuasai perusahaan
Laporan ini memberikan informasi tentang keberhasilan manajemen dalam mengelola perusahaan. Keberhasilan diukur
dengan kemampuan menghasilkan laba, yaitu selisih antara semua penghasilan (pendapatan dan untung) dan semua
biaya yang diperkirakan telah mendatangkan penghasilan tersebut.
Laporan ini memberikan informasi tentang kegiatan manajemen selama satu periode dalam mengelola kas. Melalui
laporan arus kas, pemakai laporan dapat mengevaluasi kegiatan manajemen dalam operasi (operating), investasi
(investing), dan pendanaan (financing).
Laporan ini merupakan penghubung antara laporan laba rugi dan neraca Laba rugi dan transaksi modal neto akan masuk
dalam laporan perubahan modal sehingga angka akhir akan diperoleh. Pemasukan angka laba dan perubahan modal
neto ke akun modal akan merupakan suatu proses yang disebut tutup buku.
Laporan ini merupakan informasi keuangan yang berisi rekapitulasi penerimaan zakat yang dikelola entitas Syariah
sebagai pelaksana fungsi Baitul Maal. Penerimaan zakat bisa berasal dari individu dari dalam entitas Syariah, seperti
pemilik, manajemen, dan karyawan. Individu di Syariah juga bisa menyalurkan kewajiban zakat melalui entitas Syariah
yang menyelenggarakan fungsi sebagai Baitul Maal. Oleh karena dana zakat memiliki kekhasan dalam pengelolaan maka
penyalurannya juga perla diatur sesuai dengan ketenmaan Syariah. Penyaluran dana zakat bisa dilakukan oleh entitas
Syariah atau melalai Organisasi Pengelola Zakat (OPZ), seperti Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Zakat disalurkan kepada Mustahiq (golongan penerima zakat), antara lain: fakir, miskin, amil, riqab, gharim, sabilillah,
ibou sabil, dan muallaf.
6. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan Laporan ini berisi informasi penerimaan dana kebajikan dari
beberapa komponen yang mungkin diterima oleh entitas Syariah, seperti infaq, shodaqoh, hasil pengelolaan dana wakaf
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf), pengembalian
dana kebajikan produktif, denda, dan pendapatan non halal lainnya.
Catatan atas laporan harus disajikan secara sistematis setiap pos dalam Neraca, Laporan Laba Rugi dan Laporan Arus
Kas, Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, Laporan Sumber dan Penggunaan Dana
Kebajikan, harus berkaitan dengan informasi yang terdapat dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Catatan atas laporan
keuangan mengungkapkan : a) informasi tentang dasar penyusunan laporan keuangan dan kebijakan akuntansi yang
dipilih dan diterapkan terhadap peristiwa dan transaksi yang penting b) informasi yang diwajibkan dalam Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan, tetapi tidak disajikan di Neraca, Laporan Laba Rugi, Laporan Arus Kas, Laporan Perubahan
Ekuitas; Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, dan Laporan Penggunaan Dana Kebajikan, c) informasi tambahan
yang tidak disajikan dalam laporan keuangan, tetapi diperlukan dalam rangka penyajian secara wajar.
Catatan atas Laporan Keuangan meliputi penjelasan naratif atau rincian jumlah yang tertera dalam Neraca, Laporan Laba
Rugi, Laporan Arus Kas dan Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, dan Laporan
Penggunaan Dana Kebajikan, serta informasi tambahan, seperti kewajiban kontinjensi dan komitmen. Catatan atas
Laporan Keuangan juga mencakup informasi yang diharuskan dan dianjurkan untuk diungkapkan dalam PSAK serta
pengungkapan-pengungkapan lain yang diperlukan untuk menghasilkan penyajian laporan keuangan secara wajar.
Dalam rangka membantu pengguna laporan memahami laporan keuangan dan membandingkannya dengan laporan
keuangan entitas syariah lain maka Catatan atas Laporan Keuangan umumnya disajikan dengan urutan sebagai berikut.
1) Pengungkapan mengenai dasar pengukuran dan kebijakan akuntansi yang diterapkan. 2) Informasi pendukung pos-
pos laporan keuangan sesuai urutan sebagaimana pos-pos tersebut disajikan dalam laporan keuangan dan urutan
penyajian komponen laporan keuangan. 3) Pengungkapan lain, termasuk kontinjensi, komitmen, dan pengungkapan
keuangan lainnya serta pengungkapan yang bersifat non-keuangan.
Referensi :