Anda di halaman 1dari 4

NAMA MAHASISWA : RAHMA FITRI CHOIRUNNISA

NIM : 22.152.029.082
SEMESTER / KELAS :3/B
MATA KULIAH : PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA DALAM
KEPERAWATAN
JUDUL TUGAS : TELAAH ARTIKEL PERILAKU MENYIMPANG

TAWURAN REMAJA MERUPAKAN PENYIMPANGAN SOSIAL YANG


TAK LAGI SOAL KENAKALAN PADA REMAJA
DI INDONESIA

Tawuran. Satu kata yang erat kaitannya dengan tindakan negatif.


Tindakan yang lekat dengan kehidupan masyarakat bahkan para pelajar yang
masih duduk di bangku sekolah. Tawuran seakan-akan menjadi sebuah tradisi,
yang semakin bertambah tahun bukannya semakin menurun, namun justru
kasusnya semakin meningkat dan “dilestarikan” oleh para pelajar. Tindakan
anarkis jalanan ini sering terjadi hanya karena alasan gengsi, rasa
ketersinggungan, hingga atas nama solidaritas, yang bahkan tak setimpal
dengan apa yang mereka lakukan hingga menjeratnya pada ranah hukum.

Tahun 2014 kemarin, kasus tawuran pelajar seakan-akan tak menyurut


dari tahun-tahun sebelumnya, Terbukti, makin banyak berita-berita mengenai
tawuran pelajar berseliweran di berbagai media. Menelisik definisi dari tawuran
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), tawuran diartikan sebagai
perkelahian yang meliputi banyak orang. Parahnya, tawuran saat ini tak hanya
soal perkelahian saja, tetapi merembet pada pembunuhan yang meliputi banyak
orang. Sudah banyak kasus yang tertangkap media dimana kasus tawuran tak
hanya soal saling berkelahi antar kelompok tertentu, misal antar geng sekolah.
Akan tetapi, sudah bisa dipastikan dari perkelahian tersebut memakan korban,
entah korban luka atau korban meninggal. Seperti kasus tawuran yang terjadi di
Sukabumi pada November 2014 lalu yang dilansir dari news.okezone.com,
bahwa tawuran pelajar terjadi antara SMK Lodaya dan SMK Negeri Pertanian
Cibadak. Kasus tawuran ini memakan empat korban dari SMK Negeri Pertanian
Cibadak. Mereka terbunuh karena melarikan diri dari tawuran dengan
menceburkan diri ke Sungai Cimahi. Selain korban tewas, terdapat satu korban
pembacokan yang tak sengaja tertangkap oleh siswa SMK Lodaya. Kasus
lainnya terjadi di Bogor pada Februari 2014 lalu, seperti yang dilansir dari
portal berita online antaranews.com, dimana kasus tawuran terjadi antara SMA
Wiyata Karisma dan SMK Mensin. Kasus ini menewaskan seorang pelajar dari
SMA Wiyata Karisma, akibat senjata tajam jenis celurit yang mengenai pelipis
sebelah kananya.

Dua pemberitaan tersebut merupakan bukti bahwa kasus tawuran saat ini
tak lagi soal kenakalan remaja, namun sudah mengarah pada tindakan
kriminalitas dengan cita rasa premanisme yang menjadi bumbunya. Kasus
tawuran yang kerap terjadi tak lagi memakan korban secara fisik, namun juga
memakan korban batin baik dari pihak sekolah, keluarga, maupun warga
sekitar. Terlebih, saat ini tawuran pelajar tak lagi hanya mengandalkan tangan
kosong. Mereka biasanya membawa senjata tajam, mulai dari pisau lipat hingga
besi sekalipun.

Tindakan tawuran sebenarnya tergolong dalam tindak penyimpangan,


namun saat ini menjadi rutinitas yang kerap dilakukan oleh para pelajar.
Sepertinya, penggolongan tawuran dalam tindak penyimpangan tak lagi pantas
disandang. Saat ini, tawuran lebih pantas digolongkan ke dalam gaya hidup atau
lifestyle. Hal ini dikarenakan banyaknya kasus tawuran yang tampaknya
menjamur karena sebuah “tren,” bukan karena alasan khusus yang
mendasarinya. Gaya hidup negatif ini akan merusak moralitas para pelajar, jika
pihak sekolah dan keluarga tak benar-benar mengawal anak mereka dalam jalan
kebenaran.

Saat ini, sudah seharusnya pihak sekolah dan keluarga saling bekerja
sama untuk menekan angka tawuran yang terjadi, setidaknya meminimalisir
kasusnya. Mengingat, jika tidak menjadi perbincangan yang serius, bisa jadi
tindak tawuran benar-benar berubah menjadi sebuah tradisi dan gaya hidup
yang diidentikkan dengan kata keren. Padahal, menjadi keren tak lantas harus
melakukan hal-hal negatif seperti itu. Membuktikan prestasi baik di bidang
akademik maupun non-akademik yang mampu membawa nama baik sekolah
dan keluarga, baru bisa dikatakan keren. Belum lagi, jika hal ini terus-menerus
dibiarkan, premanisme akan tumbuh lebih subur dari sebelumnya dan sudah
pasti hal ini akan meresahkan warga karena tawuran pelajar berubah menjadi
tindak premanisme.

Selain itu, penegak hukum haruslah lebih ketat dalam mengikat para
pelajar untuk tak melakukan tindak tawuran yang merugikan banyak pihak.
Pada dasarnya, solusi untuk menghindarkan para pelajar dari tindak tawuran
bukan dengan menjauhi mereka sebagai pelaku, namun mendekati mereka dan
mengajak mereka untuk melakukan kegiatan positif. Bukan niatan mereka
melakukan tindakan kriminalitas seperti itu. Banyak faktor yang terkadang
mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut. Mengingat, mereka masih
dalam masa-masa mencari jati diri. Sudah menjadi kewajiban bagi pihak
sekolah, keluarga, dan penegak hukum untuk terus mengawal mereka
melakukan tindakan yang positif. Sekali saja mereka melakukan tindakan
negatif, maka kedepannya akan mudah bagi mereka melakukan hal yang serupa.
Terkadang, tindakan negatif yang mereka lakukan bukan karena niatan terdalam
dari diri mereka, namun lingkungan yang menjadikan mereka melakukan hal
tersebut dengan alasan pencarian jati diri yang masih labil. Di masa-masa
pencarian jati diri, mereka butuh dukungan moril dari lingkungannya, bukan
olok-olok yang menyudutkan mereka hingga mereka seakan mudah melibatkan
diri dalam hal negatif sebagai pelampiasan. Jangan salahkan keadaan karena
keadaan tak pernah salah. Tinggal bagaimana kita sebagai manusia
memanfaatkannya dengan baik hingga tak terjebak dalam keadaan yang sulit.
(Chairunnisa Widya)

OPINI TENTANG ARTIKEL :


Tawuran. Satu kata yang erat kaitannya dengan tindakan negatif. Tindakan yang
lekat dengan kehidupan masyarakat bahkan para pelajar yang masih duduk di
bangku sekolah. Tawuran seakan-akan menjadi sebuah tradisi, yang semakin
bertambah tahun bukannya semakin menurun, namun justru kasusnya semakin
meningkat dan “dilestarikan” oleh para pelajar.
Tindakan tawuran sebenarnya tergolong dalam tindak penyimpangan,
namun saat ini menjadi rutinitas yang kerap dilakukan oleh para pelajar.
Sepertinya, penggolongan tawuran dalam tindak penyimpangan tak lagi pantas
disandang. Saat ini, tawuran lebih pantas digolongkan ke dalam gaya hidup atau
lifestyle. Hal ini dikarenakan banyaknya kasus tawuran yang tampaknya
menjamur karena sebuah “tren,” bukan karena alasan khusus yang
mendasarinya. Gaya hidup negatif ini akan merusak moralitas para pelajar, jika
pihak sekolah dan keluarga tak benar-benar mengawal anak mereka dalam jalan
kebenaran.
penegak hukum haruslah lebih ketat dalam mengikat para pelajar untuk tak
melakukan tindak tawuran yang merugikan banyak pihak. Pada dasarnya, solusi
untuk menghindarkan para pelajar dari tindak tawuran bukan dengan menjauhi
mereka sebagai pelaku, namun mendekati mereka dan mengajak mereka untuk
melakukan kegiatan positif.
Sudah menjadi kewajiban bagi pihak sekolah, keluarga, dan penegak hukum
untuk terus mengawal mereka melakukan tindakan yang positif. Sekali saja
mereka melakukan tindakan negatif, maka kedepannya akan mudah bagi
mereka melakukan hal yang serupa.
REFERENSI :

Anda mungkin juga menyukai