Anda di halaman 1dari 7

KOMPLEKSITAS TAWURAN PELAJAR

Tb. Ronny R. Nitibaskara

Tawuran pelajar merupakan suatu masalah serius, bahkan tidak

berlebihan bila dapat disebutkan bahwa tawuran pelajar merupakan salah

satu gangguan stabilitas politik, keamanan, dan kehidupan sosial

kemasyarakatan.

Pembahasan pada bagian ini, sebagian bersumber dari tulisan saya

perihal tawuran bertahun-tahun silam, yang pernah dipublikasikan di harian

Kompas. Peristiwa yang disorot pada masa itu ialah tawuran sebagai

kekerasan jalanan yang merusak dan mengobrak-abrik keteraturan publik,

mengganggu lingkungan yang nyaman dan aman. Serta menggoyahkan

sendi-sendi hukum dan budaya hukum yang ada.

l. Pendahuluan

Hanya sehari berselang pemakaman Alawy korban tawuran antara

SMA 70 dan SMA 6, kembali terjadi tawuran antar dua kelompok pelajar SMK

di bilangan Manggarai yang menelan korban. Sirnalah harapan agar Alawy

Yusianto menjadi korban terakhir tawuran yang kerap terjadi belakangan ini.

Barangkali hal diatas itulah yang membuat banyak pihak sudah lelah

membicarakan tawuran pelajar di Ibu Kota. Tidak kurang-kurang pemikiran

para ahli dalam bidang masing-masing yang diketengahkan sebagai tawaran

solusi dan pemecahan masalah. Berbagai penelitian juga telah banyak

dilakukan sejak era 80-an. Pada umumnya tawuran diamati para peneliti

cuma sebagai kenakalan remaja. Tidak sedikit yang memandangnya hanya

sebagai perilaku bermasalah dan deprivasi sosial, frustasi agresi, dan sudut
pandang yuridis terhadap fenomena tersebut.

Pakar kriminologi Muhammad Mustapha (1998) dan pakar psikologi

Mansoer (1998) menyoroti kelemahan peneliti sebelumnya. Ketidakberhasilan

argumentasi teoritis penelitian atau pakar sebelumnya diduga karena

umumnya penelaahannya tidak memperhitungkan tawuran sebagai gejala

tingkah laku kelompok, yang berbeda dengan penyimpangan tingkah laku

individu.1

Berdasarkan uraian tersebut dapat dilihat bahwa, berbagai upaya telah

ditempuh, khususnya dengan melibatkan pihak kepolisian, tetapi hasilnya

tetap belum menggembirakan. Yang terjadi dari hari ke hari tingkat kekerasan

dalam tawuran pelajar kian meningkat, semakin nekat dan beringas, seperti

kasus tawuran yang pernah terjadi di bulungan dan di manggarai.

ll. Siswa Dan Tawuran

Berbagai penelitian yang telah dilakukan, membuktikan tidak ada korelasi

antara siswa pelaku tawuran dengan keluarga broken-home. Setali tiga uang

dengan kenyataan diatas, tidak ditemukan hubungan antara siswa yang

terlibat tawuran dengan penyalahgunaan narkoba. Justru, mereka harus tetap

berada dalam keadaan sadar dan normal sepenuhnya agar dapat

menyelamatkan diri dari tawuran.

Salah satu hasil penelitian yang pernah dilakukan Mustapha dan Mansoer

(1998) juga telah menunjukkan tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa

secara “individual”, para siswa yang terlibat tawuran memiliki karakteristik

pribadi dan latar belakang berbeda dengan “kelompok” siswa yang tawuran.

Menurut mereka, rasa permusuhan yang mendominasi situasi tawuran harus

dipahami dalam kerangka dinamika kelompok yang amat kecil kaitannya


1
Tb Ronnny R. Nitibaskara, Ketika Kejahatan Berdaulat (Jakarta: Peradaban, 2001), hal: 162.
dengan karakteristik individual anggota kelompok tawuran. Dengan demikian,

teori yang mencoba menghubungkan siswa yang terlibat tawuran berasal dari

keluarga yang tak harmonis menjadi mitos yang salah. Para peneliti telah

membuktikan, baik siswa yang terlibat maupun tidak terlibat tawuran

mengaku memiliki hubungan dekat dengan orang tuanya. 2

Anggapan dan pandangan yang kerap menyatakan bahwa hanya

sekolah berkualitas buruk dan berdisiplin rendah sering terlibat tawuran juga

tidak sepenuhnya benar. Kenyataannya (contoh kasus tawuran di Bulungan)

sekolah yang secara sosial, status, dan akademis temasuk kelas atas,

memiliki keterlibatan dalam tawuran yang cukup tinggi dan membahayakan

dalam arti menimbulkan korban tewas satu sama lainnya.

Kesimpulan para peneliti diatas juga menyebutkan bahwa tawuran itu

sendiri ternyata tidak ada kaitannya dengan tingkat kecerdasan dan prestasi

belajar seseorang. Banyak siswa yang berprestasi baik di sekolah juga

terlibat tawuran. Siswa yang cerdas ternyata punya kontribusi dalam

mengatur strategi maupun evakuasi (penyelamatan) diri dan teman-

temannya3.

Oleh karena itu, memang cukup banyak telaah yang perlu dilakukan

dalam kaitannya untuk melihat apakah terdapat suatu hubungan khusus

antara kepribadian maupun perilaku siswa dengan pencetus tawuran.

lll. Tawuran & Premanisme

Sudah saatnya tawuran tidak lagi dianggap sebagai kenakalan remaja

biasa. Perilaku mengedepankan kekerasan ini, hingga September 2012

hampir lima tahun silam saja telah menimbulkan 14 korban tewas (ditambah

2
Ibid, 162 – 163.
3
Ibid, 163.
dengan korban Manggarai). Tidak menutup kemungkinan, lima tahun

sesudahnya di pertengahan tahun 2017 sekarang, data-data tersebut telah

meningkat drastis. Oleh karena itu, kekerasan kolektif yang telah merugikan

banyak pihak dan menimbulkan korban tersebut, patut mendapatkan

perhatian serius dari semua pihak, karena sudah merupakan perilaku yang

melanggar hukum.

Mengacu pada teori Freud kemungkinan pelaku tawuran yang tidak

segan-segan membunuh lawannya, merupakan wujud dari insting agresif.

Insting tersebut mendorong manusia untuk menghancurkan manusia lainnya,

berupa tingkah laku agresif yang mengandung kebencian (hostile), ditandai

oleh kepuasan yang diperoleh karena lawan menderita, luka, atau mati, dan

yang memberikan kepuasan (reinforcement) dengan melihat lawan gagal

mencapai objek yang diinginkan.

Pelajar dan masyarakat termasuk orang tua, memiliki perbedaan

persepsi antara yang satu dan lainnya dalam memandang tawuran,

kenakalan, tindak tanduk yang dianggap buruk lainnya, dsb.. Menurut

persepsi pelajar, tindakan kenakalan yang dilakukan hanyalah suatu

manifestasi simbolik dari aspirasi mereka karena merasa sering diperlakukan

tidak adil. Mereka mencoba mengidentifikasikan dirinya sebagai remaja yang

berbeda dari orang di sekitarnya, di sekolahnya, di jalan, bahkan di

masyarakat. Ini merupakan cara mempromosikan diri mereka sendiri, dan

tatkala mereka bertemu dengan kawan senasib mereka lantas membentuk

kelompok tertentu.4

Sebaliknya, masyarakat dan khalayak umum kebanyakan memandang

tingkah laku pelajar tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai kejahatan


4
Ibid, 160.
dan perlu diberlakukan sanksi pidana kepada mereka. Tetapi, suatu tindakan

agresi dikategorikan sebagai tindakan kekerasan sangat bersifat situasional

dan dipengaruhi oleh motivasi tindakan tersebut. Dalam kriminologi harus ada

penjelasan kapan tindakan kekerasan itu disebut sebagai deviant dan kapan

dianggap sebagai murni tindak pidana. Penggolongan terhadap tingkah laku

deviant sangat tergantung apakah tingkah laku tersebut sudah menjadi

karakter si pelaku. Maka harus dikaji apakah dalam situasi serupa tindakan

tersebut akan dilakukan secara berulang-ulang atau tidak 5.

Tawuran pelajar nampak mirip dengan gejala premanisme. Kultur ini,

cenderung terkait dengan masyarakat bawah. Sempitnya lapangan kerja,

krisis ekonomi, dan ketimpangan pendapatan yang mencolok, mendorong

mereka semakin terpuruk ke pinggiran. Pada tingkat marginalisasi yang

tinggi, mereka berpotensi melakukan perbuatan menyimpang maupun

kejahatan untuk memenuhi kebutuhan.

Dewasa ini banyak fakta menunjukkan perilaku pelajar yang terlibat

tawuran meniru nilai-nilai budaya preman antara lain pencarian pengakuan

status dengan menunjukkan ketangguhan, keberanian dan kenekadan.

Pelajar cenderung menganggap tawuran sebagai cara memperoleh

pengakuan dan status yang tinggi serta disegani dalam kelompoknya.

Semakin tinggi intensitas dan frekuensi mereka dalam tawuran (melakukan

pelanggaran hukum) dan makin berat pelanggarannya di mata hukum dengan

melakukan pemukulan atau penganiayaan, makin tinggi prestise dan

statusnya.

Budaya premanisme yang ditiru berikutnya adalah mitos ketangguhan

dan keberanian. Pada nilai ini yang dilihat adalah kehebatan fisiknya yang
5
Ibid.
ditandai oleh kekuatannya menanggung pukulan, menerima serangan, hingga

diintimidasi polisi dan pihak lain tatkala tertangkap akibat tawuran. Serta

berani melakukan perbuatan yang beresiko dan nekad.

Uraian diatas, menunjukkan bahwa pelajar tersebut nampaknya

mengikuti budaya premanisme.

lll. Tawuran & Piranti Hukum

Seperti telah saya jelaskan dalam bab sebelumnya, dalam kitab

undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dikenal pertanggungjawaban

kolektif. Sanksi lebih ditujukan pada individu atau perorangan. Menjatuhkan

sanksi kepada semua kelompok secara merata hampir sangat tidak mungkin

dilakukan. Oleh karena itu, melihat sifat kolektif tawuran yang begitu rumit dan

khas, diperlukan suatu tindakan yang bersumber dari piranti hukum pidana,

berupa sanksi yang mendidik, adil, dan efektif terhadap mereka.

Kekerasan kelompok (tawuran pelajar) seringkali dicoba diatur dalam

pasal 170 KUHP. Pasal tersebut berbunyi,” barang siapa terang-terangan dan

dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau

barang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.”

Pasal diatas selama ini dipandang memiliki suatu kendala dan penuh dengan

kontroversi. Subyek “barang siapa” tersebut hanya menunjuk pelaku satu

orang. Sementara, istilah “dengan tenaga bersama” mengindikasikan dan

menunjuk pada suatu kelompok manusia yang lebih dari satu orang. Delik itu

menurut penjelasannya memang tidak ditujukan kepada kelompok yang tidak

turut melakukan kekerasan (tawuran) Ancamannya hanya ditujukan kepada

mereka yang benar-benar terbuka serta dengan tenaga bersama melakukan

tawuran6. Mengingat suatu kelompok massa, yang kebetulan berstatus


6
pelajar (kerumunan) unik sifatnya, delik pasal 170 diatas sebenarnya agak

sulit diterapkan. Karena, banyak pelaku tawuran yang sebenarnya terlibat

secara tidak sengaja, terpaksa, atau hanya sok ikut-ikutan disana.

Orientasi perlu lebih ditekankan pada penegakan isi pasal 170 dengan

mempertimbangkan seluruh aspek yang saling mempengaruhi. Karena

masalahnya bukan pada materi hukumnya, maka faktor sosiologis, psikologis,

maupun budaya harus diperhitungkan. Untuk menciptakan penegakan hukum

yang adil, semua tergantung pada kerjasama aparat penegak hukum, polisi

Republik Indonesia, pendidik (pihak sekolah) dan orang tua (keluarga).

Berdasarkan seluruh uraian diatas, kiranya dapat tergambar dalam

benak kita, bagaimana sesungguhnya gambaran proses belajar mengajar di

Tanah Air. Apabila fenomena tawuran itu terus berlangsung, tujuan

pendidikan nasional seperti disebutkan dalam Undang-undang Nomor 20

tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional akan jauh dari harapan.

Bahan Bacaan:

Tb. Ronny Rachman Nitibaskara, Ketika Kejahatan Berdaulat (Jakarta:

Peradaban, 2001)

Anda mungkin juga menyukai