KELOMPOK 2
ANGGOTA
1.2 Tujuan
Tujuan dari laporan ini yaitu untuk mengetahui efektivitas kompos cair dari
limbah tahu untuk memberikan unsur hara makro dan mikro kepada tanaman Kangkung
agar bisa tumbuh dengan baik dan subur.
.
BAB II
METODE KERJA
2.1 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan meliputi Sekop, Tray semai, Baskom, dan Ember. Adapun
bahan yang digunakan yaitu terdiri dari Bibit kangkung, Kompos cair kandungan
100%, Pupuk padat sayuran, dan Tanah.
2.2 Cara Kerja
Langkah- langkah pengaplikasian pupuk padat dan pupuk cair pada uji coba bibit:
1) Siapkan alat dan bahan
2) Pupuk padat di aduk agar merata
3) Siapkan tray semai yang akan diisi oleh tanah dan campuran pupuk padat
4) Gunakan 2 baris tray semai 2 lubang untuk 100% full tanah dan 6 lubang
campuran tanah dengan pupuk padat
5) Masukan tanah dan campuran tanah dengan pupuk pada setiap lubang tray
semai
6) Masukan 3 biji bibit kangkung pada setiap lubang tray semai dan ditutup
kembali
7) Jika sudah siram dengan 100% air pada sebelah kanan dan 100% pupuk cair
limbah tahu pada sebelah kiri
8) Simpan ditempat yang aman
9) Lakukan pengamatan selama 2 minggu dan dilakukan pengecekan parameter
tumbuhan 2 kali sehari.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
Tabel 1. Hasil Pengamatan Tanaman Kangkung Selama 14 Hari
Hari Tinggi Warna Jumlah Tinggi
Kecambah
ke- Tanaman (cm) Tanaman daun batang
0 0 0 Hijau muda 0 0
2 0 0 Hijau muda 0 0
4 2 2 Hijau muda 2 1
6 2 3 Hijau muda 2 2
8 4 4 Hijau 2 3
10 6 4 Hijau 3 3
12 7 5 Hijau 4 4
14 9 6 Hijau 4 5
3.2 Pembahasan
Pupuk organik memiliki peranan yang sangat penting bagi kesuburan
tanah, karena penggunaan pupuk organik pada budidaya tanaman pangan dan
non pangan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia maupun biologis tanah. Hal
ini membuat pupuk organik sangat efektif untuk digunakan pada pertumbuha n
tanaman khususnya kangkong untuk penelitian kali ini. Pada praktikum kali
ini dilakukan pengamatan selama 14 hari dengan pengecekan secara rutin.
Tanaman yang ditumbuhkan diterapkan dengan 4 perlakuan media tanaman
yaitu perlakuan satu tanah ditambah kompos dan POC, perlakuan dua yaitu
perlakuan dengan tanah kompos dan air, lalu perlakuan 3 yaitu perlakuan tanah
campur air dan yang terakhir ynaitu perlakuan 4 adalah tanah dan POC semua
perlakuan itu terhadap pertumbuhan tanaman kangkung.
Pada tabel 1 dapat diketahui bahwa tumbuhan mengalami pertumbuha n
dan perkembangan yang ditandai dengan pertambahan tinggi tanaman dan
kecambah serta meningkatkan jumlah daun. Pengamatan perlakuan dengan
tanah kompos dan POC terhadap pertumbuhan tanaman kangkong diamati
selama 2 hari satu kali selama 2 minggu. Pada hari ke 4 baru muncul tanda
pertumbuhan pada tanaman kangkong sebanyak 2 dan tinggi tanaman
bertambah menjai 2 cm dengan warna hijau muda dan memiliki jumah daun
sebanyak 2 helai. Pertumbuhan pada hari ke 8 ditandai pertumbuha n
kecambah sebanyak 4 dengan tinggi 4 cm memiliki warna yang hijau dengan
jumlah daun sebanyak 2 helai serta tinggi batang 3 cm. Sampai pada hari ke
14 diketahui bahwa kecambah kangkong tumbuh sebanyak 9 dengan tinggi
tanaman 6 cm berwarna hijau yang memiliki jumlah daun sebanyak 4 helai
serta tinggi batang 5 cm.
Pertumbuhan yang terjadi setiap harinya dipengaruhi oleh adanya faktor
pemberian kompos padat dan POC. Keduanya memiliki kandungan yang baik
untuk kesuburan dan pertumbuhan tanaman. Tanaman dapat tumbuh karena
terpenuhinya kebutuhan nutrisi akibat pemberian pada pertumbuhan tanaman.
Kandungan yang terdapat pada kompos padat dan POC ini adalah nitro ge n
(N), posfor (P), dan kalium (K). Pemberian kompos memberikan manfaat bagi
tanaman melalui proses dekomposisi mikrobia di dalam tanah yang dapat
meningkatkan bahan organik tanah. Menurut Hariyadi et al., (2021),
peningkatan kandungan bahan organik tanah akan meningkatkan kemampua n
tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah. Selanjutnya tanaman yang
dipupuk dengan kompos juga cenderung lebih baik kualitasnya daripada
tanaman yang dipupuk dengan pupuk kimia, seperti menjadikan hasil panen
lebih tahan disimpan, lebih berat, lebih segar, dan lebih enak (Arini dan
Murrinie 2022).
Pengaruh pada setiap parameter yang terkandung dalam kompos padat.
Berjalannya proses pengomposan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pH,
kadar air, suhu, besar partikel, warna, bau, dan material asing. Pengukura n
faktor-faktor tersebut sebagai unsur pendukung tiap variasi selama proses
pengomposan. Hasil penelitian terkait pH, kadar air, suhu, besar partikel,
warna, bau, dan material asing akan dibahas lebih lanjut, sebagai berikut:
1. Kadar Air
Penelitian terhadap kadar air dilakukan untuk mengetahui
banyaknya air yang terkandung didalam kompos. Kadar air yang
terkandung dalam suatu kompos juga berpengaruh terhadap
kehidupan dari cacing. Apabila kadar air >60% maka kadar
udara akan berkurang yang mengakibatkan aktivitas dari mikroba
akan berkurang, dan menyebabkan bau yang tidak sedap. Dan
apabila <50% aktiftas pengomposan akan relatif lama. Mikroba
akan beraktifitas dengan baik pada kisaran suhu 40-60%, maka
dari itu untuk membuat mikroba terus beraktifitas dengan baik
dalam melakukan dekomposisi, kadar air perlu dikontrol untuk
menjaga kelembabannnya. Apabila memiliki kadar air berlebih
maka asupan udara akan berkurang karena rongga pada tumpukan
bahan akan terhalang oleh air yangg banyak sehingga aktivitas
mikroba akan terhambat sebaliknya jika kelembaban terlalu
rendah maka aktivitas dari mikroba akan terhambat karena
kekurangannya air untuk mendekomposisi bahan (Nursanti et al.
2021).
2. pH (Derajat Keasaman)
pH adalah ukuran konsentrasi ion hidrogen dari larutan.
Pengukuran pH ini akan menunjukkan larutan bersifat asam atau
basa. Pengukuran pH ini berkisar dari (0,00–14,0). Dan apabila pH
menunjukkan =7, maka pH bersifat netral. Apabila 7 maka larutan
bersifat basa. Menurut Fitri et al. (2021), pH ideal untuk
vermikomposting yaitu antara 7 dan 8 sedangkan untuk kompos
biasa yaitu antara 6 dan 8. pH juga perlu dikontrol dalam
pengomposan, apabila pH terlalu tinggi maka akan timbul gas
ammoniak, dan konsumsi oksigen akan semakin tinggi dan
menimbulkan dampak negatif pada lingkungan. Kemudian apabila
pH terlalu rendah akan menimbulkan kematian pada
mikroorganisme yang membantu proses penngomposan. Apabila
pH terlalu tinggi maka dapat diturunkan dengan menambahka n
kotoran hewan, urea. Atau pupuk organik. Sedangkan apabila pH
terlalu rendah maka dapat ditambahkan dengan kapur dan abu
dapur.
3. Ukuran Partikel
Ukuran partikel merupakan salah satu parameter yang
mempengaruhi cepat pematangan pada kompos. Maka dari itu
dalam mempercepat pengomposan dilakukan pengecilan pada
bahan. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak
antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan
berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya
ruang antar bahan (Fitri et al. 2021)
4. Temperatur
Temperatur Temperatur merupakan salah satu paraemeter
yang berpengaruh terhadap proses pengomposan. Dalam metode
vermikomposting suhu akan mempengaruhi pertumbuhan cacing.
Menurut SNI 19-7030-2004 mengenai spesifikasi kompos, suhu
yang menjadi acuan adalah suhu yang menyerupai suhu air tanah,
yaitu tidak melebihi 30°C. Cepat lambatnya pengomposan
dipengaruhi faktor suhu dan aktivitas mikroorganisme pengurai
yang ada dalam proses pengomposan (Nursanti et al. 2021).
5. Warna dan Bau
Warna dan bau merupakan acuan dalam penentuan kompos
yang matang dan kompos yang tidak matang. Kompos yang layak
atau sudah matang memiliki warna kehitaman. Kemudian bau
yang dimiliki oleh kompos yang sudah matang memiliki bau yang
menyerupai bau tanah dan harum. Apabila kompos tersebut
memiliki bau yang tidak enak, maka terjadi fermentasi pada
kompos tersebut dan kemungkinan memiliki senyawa yang
berbahaya bagi tanaman (SNI 19-7030-2004).
6. Bahan Asing
Bahan asing merupakan bahan yang tidak dikehendak i
ataupun tidak diinginkan ada dalam kompos. Kompos yang baik
menurut SNI 19- 7030-2004 itu maximum 1,5%. Maka dari itu
untuk terhindar dari bahan asing dilakukan pemilahan mengena i
bahan yang akan digunakan dalam pengomposan untuk
mengantisipasi bahan yang tidak dapat dikomposkan maupun
bahan yang memilik kadar logam berat yang tinggi untuk
menghasilkan kompos yang baik (Nursanti et al. 2021). Contoh
dari bahan asing yang dimaksud adalah gelas, karet, logam,
plastik, nilon, serat buatan, pencemar lingkungan seperti B3,
logam, dsb (SNI 19-7030-2004).
Pemanfaatan limbah cair dalam bidang pertanian bukan hal baru lagi.
Limbah cair bisa digunakan untuk irigasi tanah pertanian karena limba h
mengandung unsur hara N, P, K. Penambahan pupuk organik dapat
memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah sehingga lebih subur. Hal ini
dikarenakan tanaman dapat memanfaatkan unsur hara di dalam tanah yang
meningkat akibat perlakuan limbah cair tahu. Aplikasi limbah cair tahu akan
meningkatkan ketersediaan hara yang dibutuhkan tanaman untuk menunja ng
pertumbuhannya (Marian dan Tuhuteru 2019). didalamnya seperti
karbohidrat, protein dan lemak, dan unsur hara lainnya. Limbah tahu
mengandung unsur hara N 1,24%, P2O5 5.54 %, K2O 1,34 % dan C-Organik
5,803 % yang merupakan unsur hara essensial yang dibutuhkan tanaman.
Selain unsur hara N, diduga pada limbah cair tahu terdapat kandungan unsur
hara P dan K, yang sangat dibutuhkan tanaman untuk proses fisiologis dan
metabolisme hingga dapat meningkatkan laju pertumbuhan tanaman termasuk
tinggi tanaman. Selain itu, unsur N berperan dalam pembentukan klorofil,
semakin tinggi N yang diserap oleh tanaman maka klorofil yang dibentuk
semakin meningkat. Unsur hara P berperan dalam pembentukan adenosin
trifosfat (ATP). ATP adalah energi yang dibutuhkan tanaman dalam setiap
aktivitas sel yang meliputi pembesaran sel dan perpanja/ngan sel diantaranya
pada batang yang dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman (Marian
dan Tuhuteru 2019).
DAFTAR PUSTAKA
Arini N, Murrinie ED. 2022. Pengaruh Jenis Bahan Campuran dan Dosis Kompos
Ampas Tahu terhadap Pertumbuhan Tanaman Kangkung Darat (Ipomoea
reptans). Jurnal Pertanian Agros, 24(1):115-121.
Fitri I, Rohmah IN, Maulidah N. 2021. Optimasisasi Pupuk Organik Padat dan Cair
Berbahan Dasar Limbah Rumah Tangga. Prosiding SEMNAS BIO:
Universitas Negeri Padang. 1: 450-458.
Marian E, Tuhuteru S. 2019. Pemanfaatan Limbah Cair Tahu Sebagai Pupuk
Organik Cair Pada Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi Putih (Brasica
pekinensis). Jurnal Agritrop. 17(2):135-145.
Nursanti, Adriadi A, Sai’in. 2021. Komponen Faktor Abiotik LingkunganTe mpat
Tumbuh Puspa (Schima wallichii DC. Korth) Di Kawasan Hutan Adat
Bulian Kabupaten Musirawas. Jurnal Silva Tropika. 5(2):438-445.
Sutrisno E, Priyambada IB. 2019. Pembuatan Pupuk Kompos Padat Limbah
Kotoran Sapi Dengan Metoda Fermentasi Menggunakan Bioaktivato r
Starbio DI Desa Ujung-Ujung Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang.
Jurnal Pasopati. 1(2):1-4.
Zendrato Y, Adiwirman. 2018. Pengaruh Pemberian Kompos Jerami Padi dan
Pupuk NPK Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kangkung
Darat (Ipomoea reptans Poir). JOM FAPERTA. 5(2):1-18.
LAMPIRAN
Jurnal Pertanian Agros Vol. 24 No.1, Januari 2022: 115 -121
ABSTRACT
This research was conducted in February-March 2021 in the experimental field Faculty of
Agriculture, Universitas Muria Kudus. The purpose of this study was to determine the growth
response of Ipomoea reptans to various doses of tofu dregs compost and additional materials used
in making tofu dregs compost. The research design used was a completely randomized design
(CRD) with 2 factors. The first factor was dose variation, namely 0 g/plot, 75 g/plot, 150 g/plot, 225
g/plot and 300 g/plot. The second factor is a mixture of materials for making compost, namely, bran
(A) and manure (B). Parameters observed were plant height, number of leaves, and total dry
weight. The results showed that there was an interaction between the dose of compost and the
mixture used in making tofu dregs compost in all parameters. Plants with tofu dregs compost of 300
g/plot with a mixture of bran had significant growth in plant height, number of leaves and dry
weight.
INTISARI
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2021 di kebun percobaan Fakultas
Pertanian Universitas Muria Kudus. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui respon
pertumbuhan kangkung (Ipomoea reptans) terhadap berbagai dosis kompos ampas tahu dan bahan
tambahan yang digunakan dalam pembuatan kompos ampas tahu. Rancangan penelitian yang
digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi
dosis yaitu 0 g/plot, 75 g/plot, 150 g/plot, 225 g/plot dan 300 g/plot. Faktor kedua adalah campuran
bahan pembuatan kompos yaitu dedak (A) dan pupuk kandang (B). Parameter yang diamati adalah
tinggi tanaman, jumlah daun, dan bobot kering total. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
interaksi antara takaran kompos dengan bahan campuran yang digunakan dalam pembuatan kompos
ampas tahu terhadap semua parameter pengamatan. Tanaman kangkung dengan dosis kompos
ampas tahu sebesar 300 g/plot dan bahan campuran dedak signifikan memiliki pertumbuhan tinggi
tanaman, jumlah daun, bobot kering yang paling tinggi.
1
Alamat penulis untuk korespondensi: Nindya Arini. Email : nindya.arini@umk.ac.id
e-ISSN 2528-1488, p-ISSN 1411-0172
116 Jurnal Pertanian Agros Vol.24 No.1, Januari 2022: 106-121
Tabel 2. Jumlah Daun Kangkung Terhadap Perlakuan Komposisi Kompos Ampas Tahu
umur 19 hst.
Tabel 3. Bobot segar dan Bobot kering tanaman Kangkung Terhadap Perlakuan
Komposisi Kompos Ampas Tahu umur 19 hst
Kandungan fitat terbesar terdapat pada bagian sebagai sumber karbon tambahan sehingga
butir dan lapisan luarnya jumlahnya mencapai meningkatkan aktivitas mikrobia di dalam
23 kali lipat dibandingkan pada bagian biji. tanah.
Bobot kering total tanaman kangkung
Bobot Kering. Hasil analisis menunjukkan menunjukkan bahwa perlakuan 225 g/plot
bahwa terdapat interaksi antara perlakuan dosis dengan bahan tambahan dedak memiliki bobot
kompos dan bahan tambahan yang digunakan yang paling tinggi, namun tidak berbeda nyata
terhadap bobot segar maupun kering tanaman dengan perlakuan 300 g/plot dan 150 g/plot
kangkung. Berdasarkan hasil analisis sidik dengan bahan tambahan dedak. Peningkatan
ragam terlihat bahwa pada umur 19 hst, dosis yang diberikan cenderung sejalan dengan
tanaman kangkung dengan dosis kompos 225 peningkatan bahan kering baik pada kompos
g/plot dan tambahan dedak memiliki bobot dengan bahan tambahan dedak maupun pupuk
segar total yang paling tinggi dibandingkan kandang. Tanaman kangkung tanpa pemberian
dengan perlakuan yang lain, namun tidak kompos ampas tahu tidak dapat mendapatkan
berbeda nyata dengan perlakuan 150 g/plot dan nutrisi yang cukup sehingga pertumbuhannya
300 g/plot dengan tambahan dedak. Syukron kurang optimal. Kurangnya ketersediaan hara
(2018) mengatakan bahwa dedak padi berperan pada tanaman dapat menghmbat sintesis protein
120 Jurnal Pertanian Agros Vol.24 No.1, Januari 2022: 106-121
dalam tanaman, sehingga pertumbuhannya Limbah Padi dalam Budidaya Padi Sawah
lambat (Jupry & Kurnia, 2020). (Oryza sativa L.). Agrium, 11(2), 103-114.
Kompos ampas tahu dengan bahan
campuran dedak selain menambah ketersediaan Jupry, R., & Kurnia, T. D. (2020). Pertumbuhan
nutrisi bagi tanaman, juga membuat kompos Dan Hasil Tanaman Sawi Hijau Pada
lebih porous sehingga memperlancar sirkulasi Hidroponik Sistem Rakit Apung Terhadap
oksigen dan karbondioksida (Merina et al., Konsentrasi Pupuk Organik Cair Dari Limbah
2013). Oksigen dibutuhkan oleh akar tanaman Ampas Tahu. Jurnal Pertanian Agros, 22(1),
untuk proses metabolisme, ketersediaan oksigen 61-70.
di area perakaran dapat meningkatkan
konsentrasi oksigen yang merangsang respirasi Merina, N., Bakrie, A. H., & Hidayat, K. F.
akar (Surtinah, 2016). Tamala et al (2019) 2013. Pengaruh komposisi media ampas tahu
menambahkan bahwa kurangnya ketersediaan dan jerami padi pada pertumbuhan dan hasil
oksigen pada akar tanaman membuat transport jamur merang (Volvariela volvaceae). Jurnal
hara dan air menuju daun tidak stabil, sehingga Agrotek Tropika, 1(3).
dapat mengakibatkan stomata menutup akibdat
dari penurunan potensial air daun. Pertiwi, I.Y. dan E. Sembiring. 2011. Kajian
Pemanfaatan Limbah Ampas tahu Menjadi
KESIMPULAN DAN SARAN Kompos di Industri Tahu X di Kabupaten
Bandung. Jawa Barat. Jurnal Teknik
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
Lingkungan. 17 (1): 70-79.
dilakukan, disimpulkan bahwa bahan campuran
dalam pembuatan kompos memiliki interaksi
Rahmina, W., I. Nurlaelah, dan Handayani.
dengan variasi dosis kompos ampas tahu yang
2017. Pengaruh Perbedaan Komposisi Limbah
diberikan. Bahan campuran berupa dedak
Ampas tahu terhadap Pertumbuhan Tanaman
dengan dosis kompos sebesar 300 g/plot secara
Pak Choi. Quagga: Jurnal Pendidikan dan
signikan meningkatkan pertumbuhan tanaman
Biologi. 9 (2): 38-46.
dalam pengamatan tinggi tanaman, jumlah dan
dan bobot kering tanaman.
Rosa, E., Prasetyo, M., Aziz, A., Bakar, B. A.,
& Panikkai, S. 2020. Utilization of rice husk
DAFTAR PUSTAKA
biochar and tofu dregs compost to growth and
Badan Pusat Statistik. 2020. Pengeluaran Untuk yield of sweet corn (Zea mays saccharata sturt.).
Konsumsi Penduduk Indonesia. BPS RI, In IOP Conference Series: Earth and
Jakarta. Environmental Science (Vol. 484, No. 1, p.
012056). IOP Publishing.
Hariyadi, H., Winarti, S., & Basuki, B. (2021).
Kompos dan pupuk organik cair untuk Surtinah. 2016. Penambahan Oksigen Pada
pertumbuhan dan hasil cabai rawit (Capsicum Media Tanam Hidroponik Terhadap
frutescens) di tanah gambut. Journal of Pertumbuhan Pakcoy (Brassica rapa). Jurnal
Environment and Management. 2(1), 61-70. Bibiet,1(1), 27-35.
Ichsan, C. N., Hidayat, T., & Maulina, M. Syukron, F. 2018. Pembuatan pupuk organik
(2014). Penggunaan Input Internal Berupa bokashi dari tepung ikan limbah perikanan
waduk cirata. Jurnal Sungkai, 6(1), 1-16.
Pengaruh Jenis Bahan (Nindya Arini, Endang Dewi Murrinie) 121
ABSTRAK
Limbah organik dalam rumah tangga, setiap hari dihasilkan cukup banyak dan belum
dimanfaatkan. Tingginya jumlah masyarakat di lingkungan juga mempengaruhi jenis
dan volume limbah organik yang dihasilkan. Meningkatnya jumlah limbah organik di
lingkungan, memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Limbah organik seperti sayur
– sayuran dan kulit buah – buahan yang telah membusuk dan banyak dihasilkan dari
rumah tangga dapat diolah menjadi kompos yang ramah lingkungan. Kompos
merupakan pupuk berbahan dasar sampah organik dengan melalui proses fermentasi
dalam sebuah wadah komposter. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengevaluasi
efektivitas proses pengomposannya, serta mengetahui kualitas kompos dari ciri fisik bau
dan warna yang dihasilkan pupuk organik padat dan cair Metode analisis data dilakukan
secara deskriptif, adapun pembuatan pupuk organik padat dan cair berawal dari tahapan
(a) pengumpulan limbah rumah tangga berupa sisa sayuran dan kulit buah; (b)
pengomposan dalam komposter selama 4 minggu; (c) penguburan kompos selama 3
minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 2 jenis pupuk yang terbentuk yaitu
pupuk organik padat dan cair. Pupuk organik cair terbentuk saat tahap pengomposan
dalam komposter selama 4 minggu, sedangkan pupuk organik padat terbentuk setelah
tahapan penguburan kompos selama 3 minggu. Proses pengomposan selama 7 minggu
berjalan dengan baik dan cukup efektif. Adapun produk pupuk organik padat yang
dihasilkan, jika dilihat dari ciri fisik tidak berbau dan memiliki warna kehitaman seperti
tanah, hal ini dapat dikatakan memenuhi persyaratan kompos matang dan secara umum
sesuai dengan parameter yang dipersyaratkan oleh Permentan Pupuk Organik atau SNI
Kompos 2004.
Kata kunci: Limbah organik, pupuk organik padat, pupuk organik cair
Integrasi Kurikulum Merdeka Belajar dalam Menghasilkan Produk Sains berbasis Kearifan Lokal 450
Prosiding SEMNAS BIO 2021 e-ISSN: XXXX-XXXX 451
PENDAHULUAN
Limbah atau yang sering disebut dengan sampah merupakan sisa suatu usaha, kegiatan
dan atau aktivitas masyarakat yang erat kaitannya dengan pencemaran lingkungan (BSN,
2009). Menurut Moerdjoko (2002), mengklasifikasikan limbah menjadi beberapa jenis
yaitu anorganik dan organik. Penumpukan limbah organik merupakan salah satu
permasalahan di semua daerah baik di perkotaan maupun di pedesaan, khususnya di
lingkungan rumah tangga. Limbah organik dalam rumah tangga, setiap hari dihasilkan
cukup banyak dan belum dimanfaatkan. Dari hari ke hari, keberadaan limbah semakin
menumpuk sehingga memberikan dampak negatif, seperti masalah polusi lingkungan,
berupa pencemaran tanah, air, dan udara berupa bau busuk serta pada kesehatan (Utami
dan Totok, 2016). Kondisi seperti ini sangat mengganggu kenyamanan serta kebersihan
lingkungan bila tidak ditangani secara langsung. Salah satu kendala pemanfaatan limbah
rumah tangga yaitu kurang praktisnya pemakaian secara langsung dan memerlukan
biaya relatif tinggi untuk pendistribusiannya. Berdasarkan beberapa dampak negatif
yang ada, maka perlu diterapkan suatu teknologi untuk mengatasi permasalahan
penumpukan limbah organik, yaitu dengan menggunakan teknologi daur ulang limbah
padat menjadi produk kompos yang ramah lingkungan karena berbahan alam serta
bernilai guna tinggi.
Pengomposan merupakan proses dekomposisi senyawa-senyawa yang terkandung dalam
sisa-sisa limbah organik (seperti sampah rumah tangga) dengan suatu perlakuan khusus
(Palaniveloo et al., 2020). Pengomposan juga bisa dikatakan sebagai suatu metode
konversi bahan-bahan organik menjadi bahan yang lebih sederhana dengan
menggunakan aktivitas mikroba. Dalam proses pengomposan, dilakukan secara kondisi
aerobik dan anaerobik. Pada dasarnya saat terjadi proses pengomposan terjadi
dekomposisi dengan memanfaatkan aktivitas mikroba, oleh karena itu kecepatan
dekomposis dan kualitas kompos tergantung pada keadaan dan jenis mikroba yang aktif
selama proses pengomposan (Nur, 2016).
Limbah organik sebagai bahan dasar berfungsi untuk meningkatkan stabilitas agregat
tanah, meningkatkan porositas tanah, sebagai sumber hara bagi tanaman, serta
penyangga sifat fisik dan kimia tanah. Menurut Suwatanti (2017), dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa penggunaan limbah organik berupa sayuran memiliki rasio C/N
yang lebih baik yaitu mendekati atau sama dengan C/N tanah maka bahan tersebut dapat
digunakan atau dapat diserap tanaman. Pada penelitian Nur (2016) mengatakan bahwa
pembuatan pupuk cair berbahan sampah organik dengan penambahan EM4 efektif dalam
meningkatkan kandungan N, P, dan K.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengevaluasi efektivitas proses pengomposannya,
serta mengetahui kualitas kompos dari ciri fisik bau dan warna yang dihasilkan pupuk
organik padat dan cair. Adapun keunggulan dari pembuatan kompos merupakan cara
Optimasi pupuk organik padat dan cair berbahan dasar limbah rumah tangga
Inayah Fitri, et.al 452
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian tergolong eksplorasi deskriptif dengan metode pengolahan data secara
deskriptif. Penelitian ini, terdiri dari beberapa tahapan yaitu pengumpulan limbah rumah
tangga meliputi kulit buah dan sayuran, lokasi pengambilan sampah rumah tangga di
pasar tradisional Kecamatan Sekaran Kabupaten Lamongan. Pengomposan dan
penguburan kompos dilakukan di Rumah Kompos Universitas Billfath Lamongan.
Waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan kompos yaitu ± 7 minggu mulai tanggal 11
April – 30 Mei 2021.
Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tempat pengomposan/komposter,
pengaduk decomposer, timbangan, pH meter, thermometer, soil tester, plastik,
ember/baskom, pisau, talenan, handphone, alat tulis menulis, sarung tangan, masker,
cangkul. Bahan penelitian yang digunakan yaitu sampah rumah tangga (kulit buah dan
sayuran), serbuk dekomposer, tanah, dan Handsanitizer.
Cara Pembuatan
Langkah penelitian berawal dari mengumpulkan limbah rumah tangga sebanyak 7 kg.
setelah mendapatkan limbah rumah tangga berupa kulit buah dan sayuran maka
dilakukan pemotong menjadi ukuran kecil – kecil, karena bahan yang berukuran lebih
kecil akan lebih cepat proses pengomposannya. Kemudian mencampur limbah tersebut
dengan pengaduk, setelah itu mencampurkan juga dekomposer secukupnya pada limbah
hingga homogen. Memasukkan sampah tersebut ke dalam tempat
pengomposan/komposter yang sudah disediakan kemudian menutupnya dengan rapat
dan didiamkan selama 4 minggu. Memeriksa setiap 1 minggu sekali jika ada cairan yang
dihasilkan maka dilakukan pengambilan cairan tersebut dari kran yang ada di komposter.
Cairan tersebut merupakan pupuk organik cair yang terbentuk. Setelah 4 minggu dalam
komposter, maka akan terbentuk jamur Trichoderma sp. (seperti pada Lampiran Gambar
1 d). dilakukan penguburan kompos dalam tanah selama 3 minggu. Setelah itu
melakukan penggalian kompos yang dikubur dalam tanah. Dilakukan pengamatan
analisis fisik kompos meliputi warna dan bau dari pupuk organik padat (Sahwan dkk,
2011).
Analisis Data
https://semnas.biologi.fmipa.unp.ac.id
Prosiding SEMNAS BIO 2021 e-ISSN: XXXX-XXXX 453
Pada penelitian ini, data disajikan secara deskriptif dalam tabel, diagram dan gambar
tahapan pengomposan (Ada di Lampiran Gambar 1). Adapun data yang dianalisis yaitu
ciri fisik meliputi warna serta bau dari pupuk organik padat dan cair; pengukuran suhu
(⁰ C); pH dan kelembapan (%).
Optimasi pupuk organik padat dan cair berbahan dasar limbah rumah tangga
Inayah Fitri, et.al 454
Pembahasan
Hasil penelitian ini ada 2 produk yang didapatkan dari limbah rumah tangga berupa sisa
sayuran dan kulit buah, yaitu pupuk organik padat dan cair. Adapun ciri fisik dari kedua
pupuk organik tersebut akan dijelaskan pada Tabel 1. Pembuatan pupuk organik cair
berasal dari limbah kulit buah dan sisa sayuran. Pada proses ini terjadi fermentasi di
dalamnya, lama fermentasi yaitu 10 hari. Dari hasil fermentasi, cairan terfiltrasi dari
bahan padat. Proses fermentasi dalam pembuatan pupuk terjadi secara anaerob, yaitu
tidak membutuhkan oksigen. Selama proses pengomposan berlangsung, pupuk organik
cair bisa dipanen sebanyak 3× setiap 10 hari sejak hari ke-0 pengomposan. Total pupuk
organik cair yang dihasilkan yaitu sekitar ± 1600 mL. Ciri fisik pupuk organic cair yaitu
berwarna kuning kecoklatan dan tidak berbau. Pada pupuk organik padat, jika dilihat
dari ciri yang terbentuk maka sudah sesuai dengan SNI Kompos 2004 yaitu berwarna
kehitaman, tekstur dan berbau seperti tanah.
Pengukuran suhu, pH dan kelembaban saat proses pengomposan juga dilakukan setiap
minggu selama 7 minggu. Ketiga parameter tersebut selama proses pengomposan
mengalami perubahan. Suhu pada saat awal pengomposan menunjukkan angka 28⁰ C,
pada suhu tersebut berada dalam fase mesofilik. Pada Tabel 2 pergerakan suu mulai hari
ke-0 hingga ke-28 menunjukkan kenaikan suhu, akan tetapi pada pengukuran hari ke-35
dan hari ke-42 mengalami penurunan suhu (Diagram 1). Pada saat terjadi kenaikan suhu,
maka terjadi peningkatan panas, panas tersebut terjadi akibat adanya aktivitas mikroba
saat proses pengomposan berlangsung. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu
dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi suhu, semakin tinggi aktivitas metabolisme,
semakin banyak konsumsi oksigen, semakin cepat pula proses dekomposisi. Pada hari
ke-21 merupakan suhu tertinggi yaitu memasuki fase termofilik. Pada kondisi ini, bahan
organik seperti protein akan dipecah menjadi asam laktat dan asam amino oleh mikroba
termofilik. Saat terjadi penurunan suhu, ini dikarenakan bahan organik yang
terdekomposisi juga berkurang, mengakibatkan aktivitas mikroorganisme pengurai
berkurang (Isroi dan Nurheti, 2009).
https://semnas.biologi.fmipa.unp.ac.id
Prosiding SEMNAS BIO 2021 e-ISSN: XXXX-XXXX 455
Parameter yang perlu diperhatikan yaitu pengukuran derajat keasaman (pH). Jika diamati
pada Diagram 1, pH diawal proses pengomposan menunjukkan angka 4.0, menurut Isroi
dan Nurheti (2009), umumnya pH bersifat asam, dikarenakan adanya aktivitas bakteri
yang menghasilkan asam, selanjutnya, pH akan bergerak menuju netral yaitu 7.3,
menunjukkan kompos yang sudah matang dan jika digunakan untuk pembibitan, maka
tidak membahayakan tanaman. Hal ini sesuai dengan parameter SNI kompos 2004 yaitu
antara 6.8 – 7.49.
Menurut Isroi dan Nurheti (2009), mengatakan bahwa kelembaban saat menuju akhir
dari proses pengomposan mengalami penurunan (Diagram 1). Kelembaban optimum
yaitu berkisar antara 40 – 60%, kondisi tersebut menunjang mikroba untuk
bermetabolisme, sehingga sangat baik untuk proses pengomposan. Bisa dikatakan bahwa
kelembaban pada penelitian ini sudah sesuai yaitu sebesar 53%.
Proses pengomposan merupakan metode konversi dari bahan organik menjadi bahan
yang lebih sederhana dengan dibantu adanya aktivitas mikroba di dalamnya. Pada
penelitian ini, proses pengomposan terjadi secara anaerobik, yaitu bahan organik sebagai
substrat terdekomposisi tanpa adanya bantuan oksigen bebas dan mendapatkan produk
akhir berupa metana, karbondioksida. Tahap pertama proses pengomposan secara
anaerobik yaitu bakteri fakultatif penghasil asam menguraikan bahan organik menjadi
asam lemak, aldehid. Selanjutnya bakteri dari kelompok lain akan mengubah asam
lemak menjadi gas metan, amoniak, CO2 dan hidrogen (Isroi dan Nurheti 2009).
Peluang usaha pembuatan kompos berbahan dasar limbah organik berpotensi untuk
dikembangkan dalam rumah tangga mengingat komposisi bahan dasar yang tersedia
begitu banyak dan mudah didapatkan. Banyak manfaat yang didapatkan jika
menerapkan pengomposan serta bisa juga sebagai peluang usaha untuk masyarakat. Jadi,
setidaknya tidak menimbulkan penumpukan sampah di TPA (Tempat Pembuangan
Akhir), karena sampah hasil kegiatan memasak sudah bisa langsung dimasukkan dalam
komposter yang seharusnya disediakan di tiap rumah tangga. Komposter yang
digunakan untuk pengomposan sangat mudah didapatkan atau bisa dibuat sendiri
(bentuk komposter bisa dilihat di Lampiran Gambar b). Saat pencampuran bahan dalam
komposter, dilakukan pengadukan, hal ini dikarenakan untuk mempercepat proses
pembuatan kompos. Dalam pengadukan kompos, terdapat aktivitas pembalikan
timbunan bahan dasar kompos yang bermanfaat untuk mengatur kebutuhan oksigen bagi
aktivitas mikroba, karena aktivitas mikroba memerlukan oksigen selama proses
perombakan berlangsung (Nugraheni dkk, 2020; Subandriyo 2012).
Penambahan serbuk dekomposer pada saat proses pengomposan juga berfungsi untuk
mempercepat proses pengomposan (Darwati, 2008). Dalam dekomposer terdapat
berbagai macam mikroorganisme. Mikroorganisme yang terdapat dalam dekomposer
memberikan pengaruh yang baik terhadap kualitas pupuk organik, sedangkan
Optimasi pupuk organik padat dan cair berbahan dasar limbah rumah tangga
Inayah Fitri, et.al 456
ketersediaan unsur hara dalam pupuk organik sangat dipengaruhi oleh lamanya waktu
yang diperlukan bakteri untuk mendegradasi sampah. Dalam proses degradasi bahan
organik, sel mikroba yang mati merupakan sumber hara bagi tanaman dan substrat
mikroorganisme yang hidup. Dinding sel fungi yang terdiri selulosa, khitin, dan kitosan,
dan dinding sel bakteri yang terdiri atas asam N-acetylglucosamin dan N-acetylmuramic
yang terkandung dalam peptidoglikan bersama dengan material polisakarida lainnya
didegradasi dan merupakan substrat yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba.
Saat proses pengomposan berlangsung selama 4 minggu, terdapat jamur Trichoderma
sp. yang terbentuk di atas tumpukan sampah (Lampiran Gambar 1 d). Trichoderma sp.
merupakan mikroorganisme tanah yang dapat memanfaatkan selulosa sebagai sumber
karbon karena jamur tersebut menghasilkan enzim selulase, yang dapat memutuskan
ikatan glikosida β – 1,4 untuk mendekomposer selulosa. Enzim ini terdiri dari tiga
komponen yaitu selobiohidrolase (CHB), endoglucanase, dan β – glukosidase yang
bekerja secara sinergis memecah selulosa. Mekanisme yang dihasilkan oleh enzim
selulase dalam mendegradasi selulosa ialah melalui reaksi – reaksi enzim yang
dilakukan oleh selulase, yaitu (1) enzim endo-β-1,4-glukanase yang menghidrolisis
selulosa secara acak sehingga menghasilkan glukosa dan selobiosa sebagai produk akhir,
(2) enzim ekso-β-1,4-glukanase yang menyerang ujung bukan pereduksi pada rantai
polimer selulosa dan menghasilkan selobiosa dan (3) β-glukosidase yang bereaksi
terutama pada selobiosa untuk membentuk glukosa (Schlegel, 1994).
PENUTUP
Pada penelitian ini menyimpulkan bahwa proses pengomposan selama 7 minggu
berjalan dengan baik dan cukup efektif. Adapun produk pupuk organik padat yang
dihasilkan, jika dilihat dari ciri fisik tidak berbau dan memiliki warna kehitaman seperti
tanah, hal ini dapat dikatakan memenuhi persyaratan kompos matang dan secara umum
sesuai dengan parameter yang dipersyaratkan oleh Permentan Pupuk Organik atau SNI
Kompos 2004, yaitu di akhir proses pengomposan memiliki suhu 26⁰ C; pH 7.3 dan
kelembapan 53%.
REFERENSI
Darwati, Sri. 2008. Kajian Kualitas Kompos Sampah Organik Rumah Tangga. Jurnal
Pemukiman, 3 (1): 30 – 43.
https://semnas.biologi.fmipa.unp.ac.id
Prosiding SEMNAS BIO 2021 e-ISSN: XXXX-XXXX 457
Isroi dan Nurheti Y, 2009. Kompos Cara Mudah, Murah & Cepat Menghasilkan
Kompos. Yogyakarta: Andi Ofside.
Nugraheni Dewi Retno., Lisa P., Nurul F., M. Shohib M., Tika D M., Desi W. 2020.
Pelatihan Komposting Guna Memanfaatkan Limbah Rumah Tangga di Tengah Pandemi
Covid-19 di RT 1 RW 1 Dusun Wungusari, Desa Lowungu, Kecamatan Bejen,
Kabupaten Temanggung. JurnalUNNES,
Nur, Thoyib., Ahmad, Rizali, Nor., Muthia Elma. 2016. Pembuatan Pupuk Organik Dari
Sampah Organik Rumah Tangga Dengan Penambahan Bioaktivator EM 4. Jurnal
Konversi, 2 (2): 44 – 51.
Palaniveloo, K., Muhammad, Azri, A., Nur Azeyanti, N., etc. 2020. Food Waste
Composting and Microbial Community Structure Profiling. Review. Processes, 8, 723;
doi:10.3390/pr8060723.
Sahwan, Firman, L., Sri Wahyono dan Feddy Suryanto. 2011. Kualitas Kompos Sampah
Rumah Tangga yang Dibuat Dengan Menggunakan Komposter Aerobik. Jurnal Teknik
Lingkungan, 12 (3): 233 – 240.
Schlegel HG. 1994. Mikrobiologi Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Edisi Keenam.
Suwatanti EPS dan P, Widyaningsum. 2017. Pemanfaatan MOL Limbah Sayur pada
Proses Pembuatan Kompos. Jurnal MIPA, 40 (11): 611 – 618.
Utami, Bekti, Wahyu dan Totok Mardikanto. 2016. Pengelolaan Lingkungan Melalui
Pengolahan Sampah Rumah Tangga Terintegrasi. Inotek. 20 (2): 159 - 170.
Optimasi pupuk organik padat dan cair berbahan dasar limbah rumah tangga
Inayah Fitri, et.al 458
LAMPIRAN
Gambar 1 (a) limbah rumah tangga berupa sisa sayuran dan kulit buah (b) limbah rumah
tangga dalam komposter (c) pupuk organik cair (d) jamur Trichoderma sp. yang
terbentuk saat proses pengomposan (e) penguburan kompos dalam tanah (f) pupuk
organik padat
https://semnas.biologi.fmipa.unp.ac.id
Agritrop,
Agritrop, Vol. 17 (2):2019
Desember 135 - 145 Volume 17 (2)
ISSN 1693-2877 http://jurnal.unmuhjember.ac.id/in
EISSN 2502-0455 dex.php/AGRITROP
EISSN
PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TAHU SEBAGAI PUPUK ORGANIK CAIR
PADA PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN SAWI PUTIH
(Brasica pekinensis)
Utilization of Tofu Liquid Waste to Growth and Yield of Chicory (Brasica pekinensi)
ABSTRAK
Upaya untuk mencapai produksi yang tinggi dapat melalui berbagai asupan sarana produksi
seperti pupuk, hormon untuk pertumbuhan atau pestisida banyak digunakan dalam usaha
pertanian. Salah satunya adalah dengan penggunaan pupuk organik. Pupuk organik yang
digunakan adalah limbah cair tahu dari industri tahu. Limbah tahu mengandung unsur hara N
1,24%, P2O5 5.54 %, K2O 1,34 % dan C-Organik 5,803 % yang merupakan unsur hara
essensial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian limbah cair tahu
terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sawi putih (Brassica pekinensis). Penelitian
dilaksanakan pada Juni hingga Agustus 2018 dengan susunan rancangan percobaan adalah
Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL), yang terdiri atas T0: Konsentrasi 0%; T1:
Konsentrasi 10%; T2: Konsentrasi 20%; T3: Konsentrasi 30%; T4: Konsentrasi 40%. Hasil
penelitian yang diperoleh menunjukkan pemberian perlakuan pupuk cair organik limbah cair
tahu mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman sawi putih secara nyata pada semua
parameter pengamatan yaitu tinggi tanaman, jumlah daun, dan berat segar tanaman. Konsentrasi
terbaik adalah 10 % (T1) dan 20 % (T2) dalam meningkatkan parameter tinggi tanaman dan
jumlah daun. Sedangkan, kosentrasi terbaik parameter produksi adalah konsentrasi 30 % (T3),
dengan berat produksi 13,57 gr.
Kata kunci: Limbah Cair Tahu, Pekinensis, Pupuk Organik Cair, Sawi, Tahu.
ABSTRACT
Efforts to achieve high production can be through various intake of production facilities such as
fertilizers, growth hormones or pesticides that are widely used in agriculture. One of them is by
using organic fertilizer. The organic fertilizer used is tofu liquid waste from the tofu industry.
Tofu waste contains nutrients N 1.24%, P2O5 5.54%, K2O 1.34% and C-Organic 5.803% which
are essential nutrients. This study aims to determine the effect of tofu liquid waste on the growth
and yield of chicory (Brassica pekinensis). The study was conducted in June to August 2018 with
the composition of the experimental design was carried out using Completly Randomized Block
Design (RCBD), which consists of T0: 0% concentration; T1: 10% concentration; T2:
Concentration of 20%; T3: 30% concentration; T4: Concentration of 40%. The results obtained
showed that the application of tofu liquid organic fertilizer fertilizer tofu was able to
significantly increase the growth and yield of chicory on all observation parameters, namely
plant height, number of leaves, and fresh weight of the plant. The best concentrations are 10%
134
Agritrop, Vol. 17 (2): 135 - 145
(T1) and 20% (T2) in increasing parameters of plant height and number of leaves. Meanwhile,
the best concentration of production parameters is a concentration of 30% (T3), with a
production weight of 13.57 gr.
Keywords: Chicory, Liquid Organic Fertilizer, Pekinensis, Tofu liquid waste, Tofu
PENDAHULUAN
Pendahuluan: Tanaman sawi putih (Brassica pekinensis L.) termasuk famili Brassicaceae,
berasal dari Tiongkok (China) dan Asia Timur. Tanaman ini merupakan komoditas tanaman
hortikultura yang banyak digemari oleh masyarakat karena memilki rasa yang paling enak
dibanding jenis sawi yang lain dan mudah didapat. Setiap 100 g bahan segar sawi mengandung
2,3 g protein, 4,0 g karbohidrat, 0,3 g lemak, 220 mg Ca, 38 mg P, 2,9 mg Fe, 1.940 mg vitamin
A, 0,09 mg vitamin B serta 102 mg vitamin C (Haryanto et al., 2007). Sawi putih termasuk
sayuran yang memiliki nilai komersial dan prospek yang baik untuk dikembangkan.
Kesadaran masyarakat akan produk pertanian ramah lingkungan semakin meningkat.
Permintaan pangan organik meningkat dengan semakin banyaknya masyarakat di dunia yang
mengikuti gaya hidup sehat “back to nature”. Konsumen menginginkan pangan yang aman,
bernutrisi tinggi, dan ramah lingkungan. Beberapa sumber hara yang dapat digunakan dalam
sistem pertanian organik adalah bahan organik yang berasal dari pupuk kandang, pupuk hijau,
limbah pertanian, pupuk hayati, dan limbah rumah tangga atau perkotaan.
Penggunaan pupuk hayati sebagai penyuplai unsur hara bagi tanaman merupakan salah satu
alternatif untuk mensubstitusi penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan. Menurut
Simanungkalit (2001) aplikasi pupuk hayati dan pupuk kimia terpadu mampu meningkatkan
efisiensi penggunaan pupuk P dengan mengurangi dosis pupuk. Berkurangnya dosis ini akan
membantu upaya menekan risiko pencemaran lingkungan dan menghemat sumber daya.
Upaya untuk mencapai produksi yang tinggi dapat melalui berbagai asupan sarana produksi
seperti pupuk, hormon untuk pertumbuhan atau pestisida banyak digunakan dalam usaha
pertanian. Salah satunya adalah dengan penggunaan pupuk organik. Pupuk organik yang
digunakan adalah limbah cair tahu dari industri tahu.
Air limbah tahu merupakan air sisa penggumpalan tahu yang dihasilkan selama proses
pembuatan tahu. Pada waktu pengendapan tidak semua mengendap, dengan demikian sisa
protein yang tidak tergumpal dan zat-zat lain yang larut dalam air akan terdapat dalam limbah
cair tahu yang dihasilkan. Limbah cair tahu merupakan sisa dari proses pencucian, perendaman,
penggumpalan, dan pencetakan selama pembuatan tahu. Limbah cair tahu banyak mengandung
bahan organik dibandingkan bahanan organik. Kandungan protein limbah cair tahu mencapai
40-60 %, karbohidrat 25-50 %, dan lemak 10 %. Bahan organik berpengaruh terhadap tingginya
fosfor, nitrogen, dan sulfur dalam air (Hikmah, 2016). Limbah tahu diketahui mengandung BOD
(Biological Oxygen Demand) sebesar 5000-10.000 mg/l dan COD (Chemical Oxygen Demand)
700012.000 mg/l serta tingkat kemasaman yang sangat rendah, yaitu 4-5. Suhu dari limbah tahu
dapat mencapai 40-46 oC dan dapat mempengaruhi kehidupan biologis, kelarutan oksigen, dan
gas lainnya, juga kerapatan air, viskositas, dan tegangan permukaan. Bahan organik yang
terkandung dalam limbah tahu berupa karbohidrat sebesar 25-50 %, protein sebanyak 40-60 %,
135
Agritrop, Vol. 17 (2): 135 - 145
lemak sebesar 10 % dan minyak (Sugiharto, 1997). Selain itu, penggunaan limbah cair tahu
sebagai pupuk organik merupakan salah satu alternatif.
Limbah cair tahu didapat dari hasil samping pembuatan tahu. Pabrik tahu di Wamena cukup
memadai skalanya dan menghasilkan limbah tahu yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk
organik untuk budidaya pertanian, termasuk tanaman sawi putih. Jumlah kebutuhan air proses
pembuatan tahu dan jumlah limbah cair yang dihasilkan dilaporkan sebesar 43,5 – 45 liter untuk
tiap kilogram bahan baku kacang kedelai (Lisnasari, 1995). Limbah tahu mengandung unsur
hara N 1,24%, P2O5 5.54 %, K2O 1,34 % dan C-Organik 5,803 % yang merupakan unsur hara
essensial yang dibutuhkan tanaman (Asmoro, 2008). Unsur hara N berpengaruh terhadap
pertumbuhan vegetatif tanaman pakcoy seperti penambahan tinggi tanaman dan luas daun.
Kandungan hara pada limbah cair tahu yang telah difermentasi dapat langsung diserap oleh
tanaman (Amin et al. 2017). Kemudian, Sarwono dkk (2004) menyatakan sifat limbah cair dari
pengolahan tahu antara lain sebagai berikut: 1. Limbah cair mengandung zat-zat organik terlarut
yang cenderung membusuk jika dibiarkan tergenang sampai beberapa hari di tempat terbuka. 2.
Suhu air tahu rata-rata berkisar antara 40-600 C, suhu ini lebih tinggi dibandingkan suhu rata-
rata air lingkungan. Pembuangan secara langsung tanpa proses, dapat membahayakan
kelestarian lingkungan hidup. 3. Air limbah tahu bersifat asam karena proses penggumpalan sari
kedelai membutuhkan bahan penolong yang bersifat asam. Keasaman limbah dapat membunuh
mikroba.
Pemanfaatan limbah cair dalam bidang pertanian bukan hal baru lagi. Limbah cair bisa
digunakan untuk irigasi tanah pertanian karena limbah mengandung unsur hara N, P, K
(Indahwati, 2008). Hindersah (2011) merekomendasikan penggunaan limbah tahu dalam
pengomposan dengan tujuan efisiensi pengomposan dan meningkatkan nilai ekonomis limbah
tahu. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
pemberian limbah cair tahu terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sawi putih (Brassica
pekinensis).
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian: Bahan yang digunakan adalah polybag, benih sawi putih dan limbah cair
tahu dan pupuk kandang sedangkan alat yang digunakan adalah cangkul, gelas kimia,
timbangan, sprayer, penggaris, kertas label, dan alat tulis. Penelitian disusun menggunakan
metode Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 1 perlakuan dan 3 kali ulangan. Pemberian
limbah cair tahu, yang terdiri dari : T0 : Tanpa pemberian pupuk limbah cair tahu, T1 :
Pemberian pupuk limbah cair tahu 10 %, T2 : Pemberian pupuk limbah cair tahu 20 %, T3 :
Pemberian pupuk limbah cair tahu 30 %, T4 : Pemberian pupuk limbah cair tahu 40 %.
Media tanam untuk penanaman sawi putih berasal dari campuran tanah dan pupuk kandang
dimasukkan kedalam polibag dengan perbandingan 2 : 1. Media tanam yang di campurkan
dengan pupuk kandang yaitu tanah top soil, keduanya dicampurkan, selanjutnya diisikan
kedalam polibag yang berukuran 30 x 35 cm.
Penanaman sawi putih dilakukan secara langsung di dalam polibag, tanpa melalui proses
persemaian. Penanaman dilakukan pada sore hari. Satu polibag di isi tiga benih. Penanaman
dilakukan dengan cara ditugal dengan kedalaman 1-2 cm. Kemudian benih dibenamkan. Sehari
136
Agritrop, Vol. 17 (2): 135 - 145
sebelum penanaman tanah harus diairi terlebih dahulu. Sehingga kondisi tanah pada saat
penanaman dalam kondisi lembab.
Pembuatan Limbah Cair Tahu
Limbah cair diperoleh dari salah satu pabrik industri Tahu. Limbah cair tahu yang diambil
merupakan hasil perasan tahu yang selanjutnya tidak digunakan. Limbah cair tahu diambil
sebanyak kebutuhan yang dibutuhkan, dan merupakan limbah yang berumur 1 – 2 hari setelah
diperas. Hasil perasan tersebut ditampung kedalam jirigen yang kemudian diukur konsentrasinya
berdasarkan perlakuan yang telah ditetapkan, yakni dengan cara sebagai berikut :
• T0: Konsentrasi 0% (Kontrol), hanya menggunakan air sebanyak 5000 ml.
• T1: Konsentrasi 10%, (400 ml limbah cair tahu + air sebanyak 3600 ml).
• T2: Konsentrasi 20%, (800 ml limbah cair tahu + air sebanyak 3200 ml).
• T3: Konsentrasi 30%, (1200 ml limbah cair tahu + air sebanyak 2800 ml).
• T4: Konsentrasi 40%, (1600 ml limbah cair tahu + air sebanyak 2400 ml)
Pupuk limbah cair tahu di berikan pada tanaman sawi putih dengan cara disiram pada
tanaman sesuai dengan dosis dan perlakuan masing-masing pada saat tanaman berumur 1 dan 3
minggu setelah tanam (MST). Setelah proses penanaman dan pemberian perlakuan dilakukan.
Tahapn selanjutnya adalah proses pemeliharaan tanaman yang meliputi:
a. Penyiraman; Penyiraman dilakukan dengan menggunakan gembor pada pagi dan sore
hari dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan tempat penelitian. Penyiraman dengan
selang waktu dua kali sehari, yakni pada pagi dan sore hari. Namun, hanya dilakukan
apabila media tumbuh terlihat mulai kering.
b. Penyiangan gulma; Proses penyiangan dilakuan setiap saat, dengan mencabut setiap
rumput atau tanaman pengganggu yang tumbuh disekitar area penanaman. Hal ini
bertujuan untuk menghindari adanya persaingan dalam menyerap unsur hara yang
terkandung dalam tanah dan terkait penerimaan pencahayaan matahari.
Parameter pengamatan dalam penelitian itu terdiri dari parameter pertumbuhan dan
parameter hasil. Parameter pertumbuhan terdiri atas perhitungan tinggi tanaman (cm) dan
jumlah daun (helai) tanaman sawi putih. Kedua parameter ini diukur pada saat tanaman berumur
2 hingga 7 MST. Sedangkan parameter hasil adalah parameter bobot segar tanaman (gr) yang
diukur pada 9 MST atau setelah tanaman dipanen. Data hasil penelitian dianalisis dengan
Analisis varians (ANOVA). Selanjutnya untuk mengetahui perlakuan yang berbeda nyata
dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5 %.
137
Agritrop, Vol. 17 (2): 135 - 145
tanaman yang lebih baik bila dibandingankan dengan tanaman yang tidak diberi perlakuan
pupuk, yakni pada pengamatan 2 MST perlakuan T1 menunjukkan nilai rerata tinggi tanaman
tertinggi (10,33 cm) dan pada pengamatan 6 MST perlakuan terbaik juga ditunjukkan oleh
perlakuan T1 dengan nilai rerata tinggi tanaman sebesar 18,33 cm. Sedangkan, pada pengamatan
3 dan 4 MST ditunjukkan oleh perlakuan T2, dimana rerata tinggi tanaman yang ditunjukkan
masing-masing sebesar 13,50 cm dan 15,33 cm dan berpengaruh nyata terhadap tanaman kontrol
(T0). Untuk itu, dapat dikatakan bahwa perlakuan T1 dan T2 merupakan konsentrasi limbah
tahu optimal. Hal ini dikarenakan unsur hara yang berasal dari medium tanam maupun dari
pemupukan limbah cair tahu konsentrasi 10% - 20% telah dapat memenuhi ketersediaan dan
serapan hara oleh tanaman dan digunakan untuk pertumbuhan tinggi tanaman. Selain
memperbaiki sifat kimia tanah, pemberian limbah cair tahu sebagai pupuk organik juga dapat
memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah.
Menurut Sutanto (2003), penambahan pupuk organik dapat memperbaiki sifat fisik, kimia
dan biologi tanah sehingga lebih subur. Hal ini dikarenakan tanaman dapat memanfaatkan unsur
hara di dalam tanah yang meningkat akibat perlakuan limbah cair tahu. Seperti yang
dikemukakan oleh Ajeng (2015) bahwa aplikasi limbah cair tahu akan meningkatkan
ketersediaan hara yang dibutuhkan tanaman untuk menunjang pertumbuhannya.
Pupuk organik diketahui merupakan pupuk yang terbuat dari bahan-bahan organik seperti
kotoran hewan dan tanaman yang telah mengalami perombakan oleh mikroorganisme pengurai.
Pupuk organik ini terbuat dari limbah proses pembuatan tahu. Limbah merupakan hasil samping
dari proses pembuatan tahu baik berbentuk padat, cair dan gas. Limbah padat dihasilkan dari
hasil penyaringan dan limbah cair dihasilkan dari proses perebusan. Sebagian besar dari limbah
tahu berbentuk cair. Dalam limbah cair tahu banyak sekali senyawa organik yang terkandung
didalamnya seperti karbohidrat, protein dan lemak (Makiyah, 2013), dan unsur hara lainnya.
Limbah tahu mengandung unsur hara N 1,24%, P2O5 5.54 %, K2O 1,34 % dan C-Organik
5,803 % yang merupakan unsur hara essensial yang dibutuhkan tanaman (Asmoro, 2008). Unsur
hara N berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman sawi putih seperti penambahan
tinggi tanaman dan jumlah daun tanaman.
Nitrogen adalah salah satu unsur zat yang sangat dibutuhkan dalam proses pertumbuhan
tanaman yaitu sebagai penyususun protein yang merupakan senyawa dengan berat molekul
tertinggi yang terdiri atas rantai-rantai asam amino yang terikat dengan ikatan peptida. Nitrogen
memegang peranan penting dalam penyusunan klorofil yang menjadikan tanaman berwarna
hijau (Samekto, 2008).
Selain unsur hara N, diduga pada limbah cair tahu terdapat kandungan unsur hara P dan K,
yang sangat dibutuhkan tanaman untuk proses fisiologis dan metabolisme hingga dapat
meningkatkan laju pertumbuhan tanaman termasuk tinggi tanaman. Selain itu, unsur N berperan
dalam pembentukan klorofil, semakin tinggi N yang diserap oleh tanaman maka klorofil yang
dibentuk semakin meningkat. Klorofil berfungsi sebagai pengabsorbsi cahaya matahari dan
dapat meningkatkan laju fotosintesis, sehingga fotosintat yang dihasilkan dapat dimanfaatkan
untuk meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman. Gardner dkk. (1991) menyatakan unsur hara
N sebagai salah satu unsur hara yang berfungsi sebagai pembentuk klorofil sehingga
meningkatkan proses fotosintesis.
138
Agritrop, Vol. 17 (2): 135 - 145
Unsur hara P berperan dalam pembentukan adenosin trifosfat (ATP). ATP adalah energi
yang dibutuhkan tanaman dalam setiap aktivitas sel yang meliputi pembesaran sel dan
perpanja/ngan sel diantaranya pada batang yang dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi
tanaman. Hakim dkk. (1986) menyatakan bahwa unsur P berperan diantaranya dalam
pembentukan ATP. Selain N dan P, unsur hara K juga berperan dalam pertambahan tinggi
tanaman melalui perannya sebagai aktivator enzim dalam fotosintesis dan fotosintat yang
dihasilkan dimanfaatkan untuk meningkatkan tinggi tanaman. Lakitan (2010) menyatakan unsur
hara kalium berperan sebagai aktivator dari berbagai enzim esensial dalam reaksi-reaksi
fotosintesis dan respirasi serta enzim yang berperan dalam sistesis pati dan protein.
Pemberian pupuk organik pada tanah memberikan pengaruh terhadap biologi tanah yaitu
meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dan keragaman mikroba tanah. Semakin tinggi
populasi dalam media tanam menyebabkan proses dekomposisi meningkat sehingga unsur hara
dalam tanah menjadi tersedia bagi tanaman. Thabrani (2011) menyatakan unsur hara akan
terpenuhi secara maksimal sejalan dengan peningkatan jumlah bahan organik pada tanah yang
berperan dalam meningkatkan jumlah mikroorganisme didalam tanah dan berperan dalam proses
dokomposisi dan berpengaruh pada suplai hara.
Respon yang ditunjukkan oleh tinggi tanaman, juga diikuti oleh parameter jumlah daun
tanaman. Meskipun dari hasil penelitian hanya pada 5 MST yang menunjukkan adanya
pengaruh nyata (Tabel 2), dengan jumlah daun terbanyak ditunjukkan oleh perlakuan T1 (12,67
helai) dan berbeda nyata dengan tanaman kontrol (T0). Sedangkan, pada pengamatan 2, 4, 3, 6
dan 7 MST menunjukkan pengaruh yang tidak nyata. Konsentrasi 10 % (T1) menunjukkan
jumlah daun terbanyak pada tanaman sawi, berbeda nyata dengan konsentrasi 0 %. Hal ini
karena pemberian limbah cair tahu mampu menyuplai unsur hara makro dalam jumlah yang
cukup untuk meningkatkan jumlah daun. Menurut Novizan (2002), unsur hara yang diberikan
melalui pemupukan akan memberikan efek fisiologis sehingga pertumbuhan tanaman menjadi
lebih baik. Pemberian limbah cair tahu dapat meningkatkan bahan organik dalam tanah dan
dapat membantu aktivitas mikroorganisme di dalam tanah. Hal ini dikarenakan limbah cair tahu
mengandung C-Organik sebesar 5,803%, sebagai bahan organik di dalam tanah merupakan
sumber makanan, energi dan karbon bagi mikroorganisme. Mikroorganisme berperan dalam
memperbaiki struktur tanah sehingga menjadi lebih baik dan unsur hara tersedia terutama N dan
P dapat diserap tanaman dengan baik untuk pertumbuhan tanaman.
Lingga (2003) menyatakan bahan organik mampu memperbaiki struktur tanah dengan bentuk
butiran tanah yang lebih besar oleh senyawa perekat yang dihasilkan mikroorganisme yang
terdapat pada bahan organik. Butiran – butiran tanah yang lebih besar akan memperbaiki
permeabilitas dan agregat tanah sehingga daya serap serta daya ikat tanah akan meningkat.
Unsur hara N merupakan unsur hara yang berperan terhadap pertumbuhan dan perkembangan
daun. Unsur N merupakan bahan dasar yang diperlukan untuk membentuk asam amino yang
akan dimanfaatkan untuk proses metabolisme tanaman sehingga akan mempengaruhi
pertambahan jumlah daun. Selain itu, Lahuddin (2007) menyatakan unsur hara yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan daun adalah unsur N. Unsur N
dimanfaatkan tanaman untuk pembentuk klorofil, asam amino dan protein sehingga mampu
membentuk organ–organ pertumbuhan di antaranya pembentukan daun. Jumlah daun akan
139
Agritrop, Vol. 17 (2): 135 - 145
mempengaruhi laju fotosintesis pada tanaman, semakin banyak daun yang terbentuk maka laju
fotosintesis meningkat sehingga produksi fotosintat meningkat. Fotosintat tidak hanya
digunakan untuk pembentukan daun tetapi juga digunakan untuk pertumbuhan vegetatif seperti
tinggi tanaman.
Tinggi tanaman mempengaruhi jumlah daun tanaman sawi putih. Semakin tinggi tanaman
maka jumlah daun juga akan meningkat karena daun terletak pada buku – buku batang. Lakitan
(2010) menyatakan umur tanaman berpengaruh terhadap pertambahan daun dan stadia
perkembangan daun yang akan mempengaruhi laju fotosintesis, semakin banyak jumlah daun
maka fotosintesis akan meningkat. Banyaknya jumlah daun juga dipengaruhi oleh pertambahan
jumlah sel dan pembesaran sel. Proses ini terjadi akibat pembelahan mitosis pada jaringan
bersifat meristematik. Menurut Latarang dan Syakur (2006) bahwa pembentukan jumlah daun
sangat ditentukan oleh jumlah dan ukuran sel, juga dipengaruhi oleh unsur hara yang diserap
akar untuk dijadikan sebagai bahan makanan. Harjadi (1991), menyatakan pada fase vegetatif
hasil fotosintesis secara kompetitif pertumbuhannya akan ditranslokasikan ke akar, batang dan
daun. Sejalan dengan Lakitan (1996), yang menyatakan perkembangan dan peningkatan jumlah
daun dan ukuran daun (aktivitas jaringan meristematik) dipengaruhi oleh ketersediaan air dan
zat hara dari media, sebab air dan zat hara yang terlarut akan diangkut kebagian atas tanaman
dan sebagian lagi akan digunakan untuk meningkatkan tekanan turgor sel daun, kemampuan
daun dalam berfotosintesis akan meningkat apabila didukung oleh ketersediaan unsur hara.
Nitrogen merupakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk pembentukan protein di
dalam sel-sel vegetatif tanaman. Pemberian N akan menyebabkan pertumbuhan vegetatif
berlangsung baik dan warna daun menjadi hijau tua (Leiwakabessy, 1998). Hal ini kemudian
akan berpengaruh pada jumlah fotosintat yang terbentuk. Ini dapat dilihat pada parameter
produksi yang diamati atau dilakukan pada saat proses pemanenan. Proses pemanenan dilakukan
apabila daun sudah membuka penuh pada 25-30 HST. Secara statistik, perlakuan limbah cair
tahu yang diberikan menunjukkan pengaruh nyata terhadap produksi tanaman (bobot segar
tanaman) yang ditunjukkan oleh perlakuan T3 (13,57 gr). Hal ini diduga, kandungan hara N, P
dan K pada limbah cair tahu sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. N berperan dalam
pembentuk klorofil. Semakin tinggi kandungan klorofil yang terdapat pada daun maka
penyerapan cahaya matahari yang diterima oleh daun semakin tinggi. Dengan demikian
fotosistesis akan semakin maksimal yang menghasilkan fotosintat yang digunakan sebagai
energi untuk pertumbuhan tanaman. Meskipun sebelumnya jumlah daun pada perlakuan T3
tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap T1. Namun, hal ini berkaitan erat dengan proses
dekomposisi hara tanah dan proses suplai hara dalam tubuh tanaman.
Menurut Soepardi (1983), dekomposisi bahan organik tanah akan melepaskan unsur hara
yang tersedia bagi tanaman. Unsur hara yang tersedia bagi tanaman merupakan salah satu faktor
yang menunjang kegiatan fisiologis tanaman, seperti proses fotosintesis. Semakin banyak proses
dekomposisi oleh mikroorganisme dekomposer maka ketersediaan unsur hara dalam media
tanam akan meningkat sehingga akan berpengaruh terhadap produksi tanaman. Dwijoseputro
(1988) menyatakan bahwa ketersediaan unsur hara dalam keadaan cukup maka proses
fotosintesis akan dapat berjalan dengan lancar, sehingga asimilat dapat ditranslokasikan ke
seluruh bagian tanaman dan pada akhirnya terjadi peningkatan bobot segar tanaman.
140
Agritrop, Vol. 17 (2): 135 - 145
Bobot segar tanaman dipengaruhi oleh pertambahan tinggi tanaman, jumlah daun dan luas
daun. Daun merupakan organ vegetatif tanaman dimana jumlahnya sangat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman karena daun merupakan organ tempat terjadinya fotosintesis. Terjadinya
peningkatan berat segar tanaman berhubungan erat dengan pertambahan jumlah daun yang
cenderung lebih banyak. Semakin banyak jumlah daun maka jumlah klorofil juga meningkat.
Klorofil berperan dalam proses fotosintesis sehingga fotosintesis akan berjalan dengan lancar
dan fotosintat yang dihasilkan juga meningkat.
Hasil fotosintat ditranslokasikan keseluruh jaringan tanaman sehingga berpengaruh terhadap
peningkatan berat segar tanaman. Menurut Nyakpa dkk. (1988), terdapatnya klorofil yang
cukup pada daun menyebabkan daun memiliki kemampuan untuk menyerap cahaya matahari,
sehingga akan meningkatkan proses fotosintesis. Peningkatan laju fotosintesis dipengaruhi oleh
pembukaan stomata yang optimal. Hal ini menunjukkan adanya unsur kalium yang
mengakibatkan pembukaan stomata lebih optimal. Dimana, pembukaan stomata yang optimal
berpengaruh pada proses fotosintesis melalui peningkatan serapan gas CO2. Meningkatnya CO2
yang dapat diserap oleh tanaman akan mengakibatkan meningkatnya laju fotosintesis (Salisbury
and Ross, 1992). Peningkatan laju fotosintesis akan mengakibatkan peningkatan bobot tanaman
yang akan meningkatkan bobot produksi. (Falasifa, et al., 2014).
Peningkatan bobot segar tanaman juga dipengaruhi oleh kadar air dalam jaringan dimana
proses fisiologi yang berlangsung pada tanaman berkaitan erat dengan air dan bahan-bahan yang
terlarut dalam air. Prawinata dkk. (1989) menyatakan berat segar tanaman merupakan cerminan
dari komposisi unsur hara dan air yang diserap. Lebih 70% dari berat total tanaman adalah air.
Menurut Lakitan (1996) berat segar tanaman tergantung kadar air dalam jaringan dimana proses
fisiologi yang berlangsung pada tumbuhan banyak berkaitan dengan air. Peningkatan terhadap
parameter bobot segar tanaman dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 1. Pengaruh pupuk cair organik limbah cair tahu terhadap tinggi tanaman sawi putih (cm)
Tinggi Tanaman (cm/MST)
Perlakuan
2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST
T0 8,30 b 9,20 b 11,67 b 13,17 a 15,50 b 17,00 a
T1 10,33 a 12,33 a 14,67 a 16,00 a 18,33 a 20,17 a
T2 9,67 a 13,50 a 15,33 a 16,87 a 18,17 a 20,00 a
T3 9,13 ab 12,67 a 15,33 a 16,37 a 18,00 a 20,00 a
T4 9,00 ab 12,00 a 15,00 a 16,67 a 17,67 a 19,33 a
Rata-rata 9,23 11,94 14,40 15,81 17,53 19,30
Koefisien
8,40 9,37 5,74 - 5,25 4,07
keragaman (%)
Keterangan : Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
dengan uji lanjut BNT pada α = 5 %; T0 (tanpa pemberian pupuk limbah cair tahu), T1
(pemberian pupuk limbah cair tahu 10 %), T2 (pemberian pupuk limbah cair tahu 20 %), T3
(pemberian pupuk limbah cair tahu 30 %), T4 (pemberian pupuk limbah cair tahu 40 %).
141
Agritrop, Vol. 17 (2): 135 - 145
Tabel 2. Pengaruh pupuk cair organik limbah cair tahu terhadap jumlah daun sawi putih (helai)
Jumlah Daun (Helai/MST)
Perlakuan
2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST
T0 5,33 a 6,67 a 9,00 a 10,33 b 11,33 a 12,67 a
T1 5,67 a 7,67 a 12,33 a 12,67 a 13,33 a 13,33 a
T2 5,33 a 7,33 a 10,00 a 10,67 ab 12,67 a 13,00 a
T3 5,00 a 7,00 a 9,67 a 11,00 ab 12,00 a 12,00 a
T4 4,67 a 7,33 a 9,33 a 10,33 b 11,67 a 11,67 a
Rata-rata 5,20 7,20 10,07 11,00 12,20 12,53
Koefisien keragaman
- - - 4,93 - -
(%)
Keterangan : Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
dengan uji lanjut BNT pada α = 5 %; T0 (tanpa pemberian pupuk limbah cair tahu), T1
(pemberian pupuk limbah cair tahu 10 %), T2 (pemberian pupuk limbah cair tahu 20 %), T3
(pemberian pupuk limbah cair tahu 30 %), T4 (pemberian pupuk limbah cair tahu 40 %).
Tabel 3. Pengaruh pupuk cair organik limbah cair tahu terhadap berat segar (gr)
Perlakuan Berat Segar (gram)
T0 11,30 b
T1 11,67 b
T2 12,03 ab
T3 13,57 a
T4 12,37 ab
Rata-rata 12,19
Koefisien keragaman (%) -
Keterangan : Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
dengan uji lanjut BNT pada α = 5 %; T0 (tanpa pemberian pupuk limbah cair tahu), T1
(pemberian pupuk limbah cair tahu 10 %), T2 (pemberian pupuk limbah cair tahu 20 %), T3
(pemberian pupuk limbah cair tahu 30 %), T4 (pemberian pupuk limbah cair tahu 40 %).
16,00
13,57
14,00 12,37
11,67 12,03
11,30
BERAT SEGAR (GRAM)
12,00
10,00
8,00
6,00
4,00
2,00
-
T0 T1 T2 T3 T4
PERLAKUAN POC LIMBAH CAIR TAHU
Gambar 1. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Cair Limbah Tahu terhadap Bobot Segar Tanaman Sawi
Putih
142
Agritrop, Vol. 17 (2): 135 - 145
KESIMPULAN
Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan pemberian perlakuan pupuk cair organik
limbah cair tahu mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman sawi putih secara nyata
pada semua parameter pengamatan yaitu tinggi tanaman, jumlah daun, dan bobot segar tanaman.
Konsentrasi terbaik adalah 10 % (T1) dan 20 % (T2) dalam meningkatkan parameter tinggi
tanaman dan jumlah daun. Sedangkan, kosentrasi terbaik parameter produksi adalah konsentrasi
30 % (T3), dengan rerata bobot segar tanaman sebesar 13,57 gr.
DAFTAR PUSTAKA
Ajeng F. S. 2015. Pemanfaatan Limbah Cair Tahu sebagai Bahan Amelioran Tanah dan
Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Caisin (Brassica juncea L.).
Skripsi. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian. IPB.
Bogor.
Amin Al Ahmad, Yulia En A. Dan Nurbaiti. 2017. Pemanfaatan Limbah Cair Tahu untuk
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Pakcoy (Brassica rapa L.). JOM FAPERTA, 4 (2).
Asmoro, Y. 2008. Pemanfaatan limbah tahu untuk peningkatan hasil tanaman petsai (Brassica
chinensis). Jurnal Bioteknologi. vol 5 (2): 51 – 55. Program Biosains Pasca Sarjana
Universitas Sebelas Maret. Surakarta..
Dwijosaputro, D. 1988. DasarDasar Fisiologi Tanaman. Gramedia. Jakarta
Falasifa A., Slameto dan K. Hariyono. 2014. Effect of seaweed extract Ascophyllum nodosum
in powder and liquid form on growth of red leaf lettuce (Lactuca sativa var. crispa).
Berkala Ilmiah Pertanian 1:62-64
Gardner, F.P., R.B. Pearce, dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya (Terjemahan
oleh Herawati Susilo). UI Press. Jakarta.
Hakim, N, M.Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M.R. Saul, M.A. Diha, H.M. Bailey. 1986.
Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung.
Harjadi, S.S. 1991. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta.
Haryanto W., T. Suhartini dan E. Rahayu. 2007. Teknik Penanaman Sawi dan Selada seca
Hidroponik. Jakarta: Penebar Swadaya.
Hikmah N. 2016. Pengaruh Pemberian Limbah Tahu Terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman.
Hindersah R. 2011. Pemanfaatan Limbah Tahu dalam Pengomposan Sampah Rumah tangga
untuk Meningkatkan Kualitas Mikrobiologi Kompos. Jurnal Agrinimal 1 (2)..
Indahwati. 2008. Pengaruh Pemberian Limbah Cair Tahu terhadap Pertumbuhan Vegetatif Cabai
Merah (Capsicum annuum. L) Secara Hidroponik dengan Metode Kultur Serabut
Kelapa. Skripsi . Malang: Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan Pendidikan
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah.
Lahuddin, M., 2007. Aspek Unsur Mikro Dalam Kesuburan Tanah. USU Press. Medan.
Lakitan, B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Lakitan 2010. Dasar – Dasar Fisiologi Tumbuhan. Rajawali Pers. Jakarta.
143
Agritrop, Vol. 17 (2): 135 - 145
Latarang, B. dan A. Syakur. 2006. Pertumbuhan dan hasil bawang merah (Allium ascalonicum
L.) pada berbagai dosis pupuk kandang. J.Agroland. vol. 13 (3): 265–269.
Leiwakabessy, F. M. 1998. Kesuburan Tanah. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Lingga, P. 2003. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta.
Lisnasari, S. F. 1995. Pemanfaatan gulma air (aquatic weed) sebagai upaya pengelolahan limbah
cair industri pembuatan tahu. Tesis. Universitas Sumatra Utara. Medan.
Makiyah Mujiatul. 2013. Analisis Kadar N, P dan K pada Pupuk Cair Limbah Tahu dengan
Penambahan Tanaman Matahari Meksiko (Thitonia diversivolia). Skripsi. Jurusan
Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri
Semarang.
Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan Yang Efektif. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Nyakpa, M. Y, A.M. Lubis, M. A. Pulung, A.G. Amroh, A. Munawar, G. B. Hong dan N.
Hakim. 1988. Kesuburan Tanah. Universitas Lampung. Lampung.
Prawinata, W., S. Harran dan P. Tjandronegoro. 1989. Dasar – dasar Fisiologi Tumbuhan II.
Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Salisbury FB, CW Ross. 1992. Plant Physiology. Belmont – California: Wadsworth Publishing
Comp.
Samekto R. 2008. Pemupukan. Yogyakarta: PT. Citra Aji Parama.
Sarwono 2004. Sifat Limbah Tahu. Jakarta
Simanungkalit, R.D.M. 2001. Aplikasi pupuk hayati dan pupuk kimia : suatu pendekatan
terpadu. Skripsi. Malang: Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan Pendidikan
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor: Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Sugiharto. 1997. Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah. Jakarta: Universitas Indonesia (UI) Press.
Sutanto, R. 2003. Penerapan Pertanian Organik Pemasyarakatan Dan Pengembangan.Kanisius.
Yogyakarta.
Thabrani A. 2011. Pemanfaatan Kompos Ampas Tahu Untuk Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit
(Elais guinensis Jacq.). Skripsi Fakultas Pertanian, Universitas Riau. (Tidak
Dipublikasikan).
144
Jurnal Silva Tropika e-ISSN 2621-4113
Vol. 5 No. 2, Desember 2021 p-ISSN 2615-8353
ABSTRACT
The puspa plant (Schima wallichii) is a tree species that is widely used as building raw
material, producing firewood, making paper, furniture industry, animal feed, traditional herbal
medicine and producing dyes. Puspa Plants in the Bulian Customary Forest Area Grows in
environmental conditions with a flat topography, namely at a slope of 0%-5%, alluvial soil type, pH
conditions ranging from 5-6 and brown soil color, clay texture, dusty clay, to dusty clay loam with a
percentage of 2%-9% sand per ticket, 21%-64% dust particles and clay particles ranging from
33%-75%. The nutrient content of N ranges from 0.15% - 0.2%; nutrient K ranges from 0.01% -
0.02%; nutrient Ca ranges from 0% - 0.06%; Mg nutrients ranged from 0.01% - 0.04% and P
nutrient content from 4.64 me/100g to 17.27 me/100g. While the abiotic component of climatic
factors, puspa plants grow in environmental conditions with daily light intensity ranging from 112.25
lux - 2156.25 lux, temperature and humidity ranging from 28.30C - 30.60C while daily humidity
ranges from 85.25% - 96.25%.
Keywords: Abiotic factors, Puspa plant (Schima wallichii), Bulian traditional forest
ABSTRAK
Tumbuhan puspa (Schima wallichii) merupakan spesies pohon yang banyak dimanfaatkan
sebagai bahan baku bangunan, penghasil kayu bakar, pembuatan kertas, industri meubel, pakan
ternak, jamu tradisional dan penghasil zat pewarna. Tumbuhan puspa di Kawasan Hutan Adat
Bulian Tumbuh pada kondisi lingkungan dengan topografi cenderung datar yaitu pada kelerengan
0%-5%, jenis tanah aluvial, kondisi pH berkisar 5–6 dan warna tanah kecoklatan, tekstur tanah liat,
liat berdebu, hingga lempung liat berdebu dengan persentase pertiket pasir 2%-9%, partikel debu
21%-64% dan partikel liat berkisar 33%-75%. Kandungan unsur hara N berkisar antara 0,15% -
0,2%; unsur hara K berkisar 0,01% - 0,02%; unsur hara Ca berkisar antara 0% - 0,06%; unsur hara
Mg berkisar antara 0,01% - 0,04% dan kandungan unsur hara P 4,64 me/100g sampai dengan
17,27 me/100g. Sedangkan komponen abiotik faktor iklim, tumbuhan puspa tumbuh pada kondisi
lingkungan dengan intensitas cahaya harian berkisar antara 112,25 lux - 2156,25 lux, suhu dan
438
Jurnal Silva Tropika e-ISSN 2621-4113
Vol. 5 No. 2, Desember 2021 p-ISSN 2615-8353
kelembaban berkisar antara 28,30C - 30,60C sedangkan kelembaban harian berkisar antara
85,25% - 96,25%.
Kata Kunci: Faktor abiotik, Tumbuhan puspa (Schima wallichii), Hutan adat bulian
Diterima, 06 September 2021
Disetujui, 30 Januari 2022
Online, 2 Februari 2022
PENDAHULUAN
Tumbuhan puspa (Schima wallichii) merupakan spesies tumbuhan yang termasuk dalam kategori
pohon dan memiliki banyak manfaat. Menurut Martawijaya et al., (1989) Kayu dari pohon puspa
dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, penghasil kayu bakar, pembuatan kertas, industri meubel
dan penghasil zat pewarna, daunnya digunakan untuk pakan ternak, sedangkan mahkota bunga
dan buahnya dimanfaatkan sebagai jamu tradisional setelah dikeringkan. Selain itu, Menurut
Wibowo (2003), tumbuhan puspa juga bisa digunakan sebagai tanaman pelindung dan reklamasi
lahan, karena resisten terhadap kebakaran dengan kulit kayu yang tebal. Hasil penelitian Purnama
et al., (2016) menunjukan bahwa tumbuhan puspa mempunyai manfaat ekologi karena mampu
menyumbang unsur hara sekitar 7,73 kg/ha/tahun, meliputi N, K, P, Ca, dan Mg.
Daerah persebaran tumbuhan puspa yang ada di Indonesia meliputi pulau Sumatra, Jawa
dan Kalimantan. Tumbuhan puspa yang ada di Sumatra ditemukan dibeberapa tempat salah
satunya Hutan Adat Bulian yang ada di provinsi Sumatra Selatan. Hutan adat Bulian merupakan
kawasan hutan yang ditetapkan Berdasarkan Keputusan Bupati Musirawas Nomor 27/SK/KEHUT/
Tahun (2001) dengan luasan seluas ± 50 ha (Cahyono, 2014). Kawasan tersebut merupakan salah
satu ekosisitem hutan dataran rendah yang menjadi habitat alami tumbuhan puspa. Sehingga perlu
diketahui faktor abiotik lingkungan tempat tumbuh tumbuhan puspa pada kawasan hutan adat
tersebut, sebagai salah satu spesies tumbuhan yang mamiliki banyak manfaat.
faktor abiotik lingkungan tempat tumbuh puspa merupakan faktor yang mempengaruhi
kwalitas pertumbuhan dari tumbuhan puspa itu sendiri, karena faktor-faktor lingkungan seperti
kesuburan tanah, intensitas cahaya, suhu dan kelembaban, merupakan indikator tertentu yang
dapat menentukan proses metabolisme dan fisiologis suatu spesies tumbuhan (Jayadi,
2015).Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakter biofisik lingkungan tempat tumbuh
seperti kondisi tanah, intensitas cahaya, suhu dan kelembabanya, di hutan Adat Bulian, Desa Biti
Jaya, Kabupaten Musirawas. Selain itu, Pentingnya mengetahui faktor abiotik lingkungan tempat
tumbuh puspa di hutan Adat Bulian, untuk menjadi acuan tindakan konservasi dan perlakuan
silvikultur dalam pengelolaan hutan. Ketersedian informasi faktor abiotik lingkungan tempat tumbuh
puspa di hutan Adat Bulian, dapat membantu sebagai dasar dalam menetapkan kebijakan dan
perlakuan silvikultur yang tepat agar tetap lestari.
METODE PENELITIAN
439
Jurnal Silva Tropika e-ISSN 2621-4113
Vol. 5 No. 2, Desember 2021 p-ISSN 2615-8353
Penelitian ini berlangsung selama tiga bulan, dari bulan Oktober 2020 sampai dengan bulan
Januari 2021 yang bertempat di hutan Adat Bulian, Desa Bliti Jaya Kabupaten Musirawas Sumatra
Selatan, dengan ketingian 50-60 m dpl. Alat yang digunakan meliputi bor tanah, meteran, kamera,
parang, kompas, (GPS) Global Positioning System, Termohygometer, Lux meter, pH meter, alat
tulis dan bak sampel tanah. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu kertas koran, label sampel,
kantong plastik, dan tallysheet.
Metode dalam penelitian ini merupakan metode purposive sampling yang artinya
pengambilan datanya dilakukan berdasarkan keberadaan tumbuhan puspa dengan banyaknya
data ditetapkan sebanyak 10 kali pengulangan. Data yang diambil meliputi sifat fisik dan kimia
tanah, suhu dan kelembaban serta intensitas cahaya. sampel tanah diambil pada daerah
perakaran tumbuhan puspa, dengan kedalaman 0 cm – 30 cm, sebanyak lima titik disetiap lokasi
tempat keberadaan tumbuhan puspa. Sampel tanah dari lokasi penelitian merupakan sampel
tanah tidak utuh (disturbed soil sample) yang dikompositkan. Selanjutnya sempel tanah hasil
pengeboran dikompositkan dalam bak sampel dan dimasukkan ke dalam plastik sebanyak 1 kg
untuk sampel analisis kimia dan fisika tanah. Sehingga jumlah total sampel tanah yang diambil
dalam 10 kali ulangan sebanyak 10 kg. Sampel tanah yang dikomposit hasil pengeboran di
lapangan selanjutnya dikeringkan, dihaluskan kemudian disaring menggunakan ayakan lolos 60
mes.
Pengambilan data suhu dan kelembaban udara dilakukan secra bersamaan dengan
menggunakan alat Thermohygometer yang digantungkan pada pohon. Sedangkan Pengambilan
data intensitas cahaya matahari menggunakan alat lux meter dibawah tegakan pohon. Pengukuran
intensitas cahaya, suhu dan kelembaban dilakukan pada tiga kali waktu pengulangan yaitu pagi
(07:00 - 08:00), siang (12:00 - 14:00) dan sore hari pukul (16:00 -17:00). Selanjutnya hasil
pengukuran tersebut dirata-ratakan, sehingga didapat data rata-rata intensitas cahaya, suhu dan
kelembaban harian dengan menggunakan persamaan berikut (Handoko, 1995).
440
Jurnal Silva Tropika e-ISSN 2621-4113
Vol. 5 No. 2, Desember 2021 p-ISSN 2615-8353
441
Jurnal Silva Tropika e-ISSN 2621-4113
Vol. 5 No. 2, Desember 2021 p-ISSN 2615-8353
Sifat kimia tanah yang diamati disetiap plot contoh tempat tumbuh puspa yaitu
kandungan bahan organic melalui C-organik unsur hara N, P, K, Ca, Mg, dan
kemasaman tanah (pH). Kandungan unsur hara N berkisar antara 0,15% - 0,2%; unsur
hara K berkisar 0,01% - 0,02%; unsur hara Ca berkisar antara 0% - 0,06%; unsur hara
Mg berkisar antara 0,01% - 0,04%; unsur hara P 4,64 me/100g - 17,27 me/100g dan
kemasaman tanahnya pH 5 - 6. Jika mengacu pada pedoman pengkategorian hasil
analisis kimia tanah mineral, kandungan kimia tanah tersebut termasuk dalam kategori
sangat rendah hingga rendah dengan tingkat kemasaman tanah, masam sampai dengan
agak masam. Rendahnya kandungan unsur hara di lokasi penelitian ini karena jenis
tanah pada lokasi tersebut merupakan jenis tanah alluvial yang berasal dari endapan
tanah yang telah mengalami pencucian unsur hara oleh air hujan. Sedangkan
kemasaman tanahnya disebabkan karena tingginya kandungan bahan organik tanah
melalui (C-organik) yang berasal dari dekomposisi daun gugur (serasah).
443
Jurnal Silva Tropika e-ISSN 2621-4113
Vol. 5 No. 2, Desember 2021 p-ISSN 2615-8353
Selain sifat kimia tanah, sifat fisika tanah yang menjadi tempat tumbuh puspa juga
diamati untuk mengetahui perbandingan persentase partikel tanah disetiap plot contoh.
Secara umum persentase partikel tanah yang dominan yaitu liat (clay) dibandingkan
partikel debu (silt) dan partikel pasir (sad). Persentase partikel tanah yang paling tinggi
terletak pada plot contoh 10 sebesar 75% (Tabel 10). Tingginya partikel liat dikarenakan
kondisi tanahanya yang berada pada kelerengan 5% sehingga partikel debu dan pasir
pada plot tersebut berkurang akibat erosi dari air hujan. Sedangkan partikel debu
tertinggi terletak pada plot contoh 2 sebesar 64% karena kondisi tanahnya cenderung
datar pada kelerengan 2% serta dekat dengan rawa. Sehingga tingginya persentase
partikel debu pada plot contoh tersebut disebabkan oleh endapan lumpur yang terbawa
erosi air hujan dari tempat tinggi ataupun dari tanah pada kondisi yang lereng.
KESIMPULAN
Tumbuhan puspa yang ada di Hutan Adat Bulian Desa Bliti Jaya Kabupaten
Musirawas tumbuh pada kondisi lingkungan dengan intensitas cahaya harian berkisar
antara 112,25 lux - 2156,25 lux, suhu dan kelembaban berkisar antara 28,30C - 30,60C
sedangkan kelembaban harian berkisar antara 85,25% - 96,25%, dengan jenis tanah
alluvial berwarna kecoklatan dan tekstur tanahnya liat, liat berdebu hingga lempung liat
berdebu dengan persentase pertiket pasir 2-9%, partikel debu 21-64% dan partikel liat
berkisar 33-75%. Kemasaman tanah (pH) berkisar 5-6, kandungan unsur hara N berkisar
antara 0,15%-0,2%; unsur hara K berkisar 0,01%-0,02%; unsur hara Ca berkisar antara
0%-0,06%; unsur hara Mg berkisar antara 0,01%-0,04% dan kandungan unsur hara P
4,64 me/100g sampai dengan 17,27 me/100g.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih untuk pihak yang telah membantu baik dana dan tenaga
terutama pihak pengelola Hutan Adat Bulian Desa Bliti Jaya Kabupaten Musirawas
Provinsi Sumatra Selatan, dan semua pihak yang terkait sehingga pelaksanaan
penelitian ini terlaksana dengan baik dan lancar.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyono E. 2014. Pengelolaan Hutan Adat Bulian di Kabupaten Musirawas. Kesatuan
Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Lakitan. Lubuk Linggau Sumatra Selatan.
Goldsworthy PR dan Fisher NM. 1984. The Physiology of Tropical Field Crops. New
York: John Wiley & Sons Ltd. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. 1992.
Penerjemah: Tohari, penyunting: Soedharoedjian. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Dalam Hermawan R, Hikmat A dan Kartono AP. 2012. Analisis
Faktor Ekologi Tumbuhan Langka Rotan Beula Ceratolobus Glaucescens Blume
444
Jurnal Silva Tropika e-ISSN 2621-4113
Vol. 5 No. 2, Desember 2021 p-ISSN 2615-8353
Di Cagar Alam Sukawayana Sukabumi Jawa Barat. Media Konservasi Vol. 17,
No. 2: 94 – 110
Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya. Bogor. Jawa Barat
Hardjowigeno S. 2011. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. 288.
Ibadurohmah N. 2016. Pola Penyebaran Dan Regenerasi Jenis Puspa (Schima Wallichii
(Dc.) Korth.) Di Resort Selabintana, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
(Skripsi). Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Jayadi EM. 2015. Ekologi Tumbuhan. Cetakan Pertama. Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Mataram. Mataram.
Martawijaya A, Katsunaya I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K. 1989. Atlas Kayu
Indonesia. Jil. 2: 109-113. Balitbang Kehutanan Dephut. Bogor
Purnama H, Jumani, Biantary MP. 2016. Inventarisasi Distribusi Tegakan Puspa (Schima
Wallichii Korth) Pada Berbagai Tipe Kelerengan Di Kebun Raya Unmul Samarinda
(Krus) Provinsi Kalimantan Timur. Jurnal Agrifor. Vol (15). No 1. Hal 55-65
Sulaeman, Suparto, Eviati. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air
dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Depertemen Pertanian. Bogor.
Wibowo A. 2003. Permasalahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia.
Review Hasil Litbang. Pusat Penelitian Pengembangan Hutan dan Konservasi
445
JURNAL PASOPATI
‘Pengabdian Masyarakat dan Inovasi Pengembangan Teknologi’
http://ejournal2.undip.ac.id/index.php/pasopati
Abstrak
Desa Ujung-ujung, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang merupakan desa yang sebagian besar penduduknya mengandalkan
perekonomian dari sektor pertanian. Namun pada pelaksanaan pertaniannya, desa ini belum memanfaatkan hasil alam, dalam hal ini
kotoran sapi, sebagai bahan dasar pupuk organik yang dipergunakan dalam pertaniannya sendiri maupun diperjualbelikan. Sehingga
proposal pengabdian masyarakat ini bertujuan agar masyarakat Desa Ujung-ujung dapat membuat kompos berbahan kotoran sapi
guna meningkatkan pertanian maupun perekonomian masyarakat. Metode pengabdian masyarakat yang dilakukan dengan tiga
tahapan; tahap persiapan, tahap sosialisasi dan aplikasi, serta tahap akhir. Tahap persiapan dilakukan dengan pembuatan modul
pengomposan. Tahap sosialisasi dilakukan dalam rapat warga dan sosialisasi khusus, serta pelatihan pembuatan kompos dari
fermentasi kotoran sapi. Tahap akhir adalah pembuatan laporan akhir. Pada kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini, masyarakat
Desa Ujung-ujung telah mampu membuat pupuk kompos padat berbahan dasar kotoran sapi yang dapat digunakan dalam pertanian,
namun untuk proses mengkomersilkan produk membutuhkan pendampingan lebih lanjut.
Kata kunci : pupuk kompos padat, limbah kotoran sapi, fermentasi, bioaktivator
1. PENDAHULUAN
Penggunaan pupuk anorganik secara besar-besaran terjadi justru setelah revolusi hijau berlangsung, hal
tersebut dikarenakan penggunaan pupuk kimia / anorganik dirasa lebih praktis dari segi pengaplikasiannya
pada tanaman, jumlahnya takarannya jauh lebih sedikit dari pupuk organik serta relatif lebih murah karena saat
itu harga pupuk disubsidi oleh pemerintah serta lebih mudah diperoleh. Akan tetapi imbas penggunaan jangka
panjang dari pupuk kimia an-organik justru berbahaya karena penggunaan pupuk an-organik tunggal secara
terus menerus dalam jangka panjang akan membuat tanah menjadi keras karena residu sulfat dan dan
kandungan karbonat yang terkandung dalam pupuk dan tanah bereaksi terhadap kalsium tanah yang
menyebabkan sulitnya pengolahan tanah (Roidah, 2013). Oleh karena itu, hadirnya pupuk organik diperlukan
untuk mengurangi dampak negatif yang diberikan dari pupuk kimia, sehingga kelangsungan pertanian dapat
terjaga.
Pupuk organik memiliki peranan yang sangat penting bagi kesuburan tanah, karena penggunaan pupuk
organik pada budidaya tanaman pangan dan non pangan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia maupun biologis
tanah (Setiyo, et al., 2011). Kelebihan lain dari pupuk organik yaitu tidak memiliki kandungan zat kimia yang
tidak alami, sehingga lebih aman dan lebih sehat bagi manusia, terlebih bagi tanah pertanian itu sendiri. Pada
tahun 2007 lalu peningkatan permintaan pasar berbagai produk pertanian organik lokal Indonesia mencapai
60% dimana penjualan makanaan dan minuman organik mancapai US$ 30.000.000., (Sentana, 2010). Selain
dari nilai guna pupuk organik bagi tanaman, hal ini juga menjadi peluang besar bagi masyarakat pedesaan
untuk lebih inovatif mengembangkan pertaniannya dalam memenuhi kebutuhan pasar.
Dalam semua kegiatan peternakan, tentunya akan menimbulkan masalah limbah kotoran dari hewan
ternak tersebut, dalam hal ini yaitu kotoran sapi. Kotoran yang dihasilkan dari peternakan juga bersifat
kontinyu (terus-menerus) selama peternakan tersebut beroperasi. Apabila tidak ditangani, hal ini akan menjadi
masalah lingkungan karena akan mencemari lingkungan sekitar. Maka perlu dilakukan pemanfaatan untuk
mengatasi masalah tersebut (Kusnadi dan Suyanto, 2015).
Sejak dahulu, kotoran ternak terkhusus kotoran sapi sudah dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman.
Namun pemanfaatan yang biasa dilakukan tidak melalui proses pembuatan pupuk organik terlebih dahulu.
Sehingga pemanfaatan yang dilakukan belum maksimal. Maka, perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu
agar kandungan unsur organik dalam kotoran bisa dihasilkan secara maksimal dan dapat bermanfaat lebih baik
bagi tanaman(Kusnadi dan Suyanto, 2015).
Proses pengomposan adalah proses menurunkan C/N bahan organik hingga sama dengan C/N tanah
(<20). Selama proses pengomposan, terjadi perubahan-perubahan unsur kimia yaitu : 1) karbohidrat, selulosa,
hemiselulosa, lemak dan lilin menjadi CO2 dan H2O, 2) penguraian senyawa organik menjadi senyawa yang
dapat diserap tanaman (Prihandini dan Purwanto, 2007). Pengolahan kotoran sapi yang mempunyai kandungan
N, P dan K yang tinggi sebagai pupuk kompos dapat mensuplai unsur hara yang dibutuhkan tanah dan
memperbaiki struktur tanah menjadi lebih baik (Setiawan, 2002). Pada tanah yang baik/sehat, kelarutan unsur-
unsur anorganik akan meningkat, serta ketersediaan asam amino, zat gula, vitamin dan zat-zat bioaktif hasil
dari aktivitas mikroorganisme efektif dalam tanah akan bertambah, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi
semakin optimal (Rully, 1999).
2. METODE PENGABDIAN
Metode pelaksanaan dibagi menjadi beberapa tahap berikut:
Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan ini dilakukan pembuatan modul. Modul tersebut berisi rencana program serta
metode pembuatan kompos padat dari kotoran sapi yang nantinya modul tersebut akan dibagikan kepada
peserta pelatihan. Modul dibuat bertujuan agar dapat mempermudah mitra dan anggotanya memahami dan
mengimplementasi program.
Tahap Sosialisasi dan Aplikasi
Pada tahap ini dilakukan sosialisasi, pelatihan, dan monitoring tahap I. Sosialisasi dilakukan 2 kali yang
dilakukan selama 2 minggu sekali. Sosialisasi mengacu pada modul yang telah dibuat dan rencana program
untuk pembuatan pupuk kompos kotoran sapi. Sosialisasi dan pelatihan ini dilakukan bersamaan dengan rapat
pengurus, anggota RT, serta anggota kelompok tani Desa Ujung-ujung pada tiap bulan sehingga memudahkan
pengumpulan warga. Sosialisasi ini berguna untuk memberikan informasi dan menjaring masukan sesuai
kondisi karakteristik warga.
Pelatihan dilakukan setelah tahap sosialisasi, pada pelatihan diberikan sosialisasi tahap kedua mengenai
pembuatan pupuk kompos dari kotoran sapi yang mengacu pada modul yang telah dibuat, kemudian dilakukan
monitoring selama kegiatan berlangsung. Pada pelatihan ini, akan dipraktikkan pembuatan kompos kotoran
sapi mulai dari persiapan sampai pengemasan. Secara garis besar, tahapan pembuatan kompos itu sendiri
adalah sebagai berikut:
Proses pembuatan pupuk dimulai dengan menjemur kotoran sapi untuk menurunkan kadar airnya.
Setelah kadar air cukup, kotoran dicampurkan dengan sekam padi dan starbio. Penambahan sekam padi
bertujuan untuk membantu menaikkan pH karena pH kotoran sapi yang sangat rendah (berkisar 4,0-4,5), dan
starbio dipergunakan untuk fermentasi kotoran agar pembusukan cepat terjadi. Setelah itu, kotoran diaduk agar
tercampur rata, dan ditutup terpal dengan tujuan agar menjaga suhu yang naik tetap pada kondisi panas (70 oC)
agar mikroorganisme yang merugikan serta gulma mati. Setelah 2 hari kemudian, kotoran diaduk guna
menjaga kadar oksigen agar tetap tinggi. Pengadukan secara berkala dilakukan selama 2 minggu, atau sampai
suhu turun ke suhu udara dan tidak berbau lagi, yang menandakan bahwa proses komposting telah selesai
berlangsung. Setelah itu, kompos diayak untuk mendapat ukuran butiran yang diinginkan, kemudian dikemas
dan siap dipasarkan.
Monitoring tahap I dilakukan pada saat pelatihanpembuatan kompos kotoran sapi. Monitoring dilakukan
pada bulan kedua yaitu setelah dilakukan pembuatan kompos mandiri oleh masyarakat, kemudian dilaporkan
dan diserahkan ke pengurus RT dan PKK untuk dilakukan monitoring lanjutan.
Tahap Akhir
Pada tahap ini dilakukan pembuatan laporan akhir. Laporan akhir dibuat berdasarkan hasil pelatihan dan
monitoring pada periode akhir kegiatan pengabdian masyarakat. Monitoring tahap II dilakukan pasca laporan
akhir atau setelah akhir kegiatan pengabdian masyarakat, sebagai komitmen dalam pengembangan kegiatan
pembuatan kompos kotoran sapi dari tim pengabdian masyarakat dan dilakukan secara periodik 1 minggu
sekali selama 2 bulan berjalan.
Kegiatan awal yang dilakukan adalah melakukan studi lapangan, diskusi dan wawancara dengan Mitra
Pengabdian Kepada Masyarakat, Kelompok Tani Ngadimakmur I, mengenai potensi Desa Ujung-Ujung juga
kegiatan sosialisasi/ penyuluhan yang diperlukan oleh Desa. Setelah kegiatan tersebut diketahui bahwa mata
pencaharian desa sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan peternak. Hasil wawancara dengan
mitra menunjukkan bahwa memang sebagian besar petani lebih menggunakan pupuk kimia dibandingkan
dengan pemakaian pupuk organik untuk pengelolaan hasil pertanian mereka. Padahal limbah kandang dari
hasil peternakan mereka sering kali menjadi kendala dikarenakan jika tidak diolah tentunya akan menjadi
limbah yang akan mengganggu kesehatan masyarakat. Adanya sosialisasi dan demonstrasi mengenai
pembuatan pupuk kandang ini sangat membantu petani dalam penyediaan bahan organik bagi pertaniannya
yang tentunya akan menghemat biaya pembelian pupuk kimia juga akan meningkatkan perekonomian warga
masyarakat Desa Ujung-Ujung. Materi sosialisasi meliputi dampak penggunaan pupuk kimia terhadap
pertanian dan kesehatan, keunggulan pupuk organik/ pupuk padat kotoran sapi dibandingkan pupuk kimia dari
segi ekonomi maupun ekosistem/lingkungan, potensi pemanfaatan limbah di lingkungan sekitar sebagai bahan
baku pupuk kandang, dan cara-cara pembuatan pupuk kandang dan aplikasinya pada lahan pertanian.
Setelah diberikan sosialisasi tentang materi di atas, kemudian dilakukan demonstrasi dan praktek
langsung pembuatan pupuk kandang tersebut. Demonstrasi ini yang dihadiri oleh 7 anggota Mitra, dilakukan
demonstrasi dan praktek langsung pembuatan pupuk padat kandang.
Faktor Pendukung
Yang menjadi faktor pendukung dalam kegiatan pengabdian ini adalah:
a) Pupuk Kandang mempunyai banyak manfaat.
b) Bahan baku dalam pembuatan pupuk kandang mudah didapatkan di Desa Ujung-Ujung
Faktor Penghambat
a) Mayoritas petani desa ini adalah petani yang terbiasa menggunakan pupuk kimia yang lebih
besar dibandingkan pupuk kandang.
b) Mayoritas petani desa ini masih memerlukan informasi dan pendidikan terlebih lagi dalam hal
pengemasan dan pemasaran.
4. SIMPULAN
Masyarakat perlu diberikan pendampingan lebih lanjut dalam proses mengkomersilkan pupuk kompos
yang berasal dari kotoran sapi sehingga selain untuk meningkatkan hasil pertanian juga dapat meningkatkan
perekonomian masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Danisman, D. (2014). Reduction of Demi-Hull Wave Interference Reistance in Fast Displacement Catamarans
Utilizing an Optimized Centerbulb Concept. Ocean Engineering, 91, 227-234.
Insel, M., & Molland, A. (1992). An Investigation into the Resistance Components of High Displacement
Catamarans. Transaction Royal Institutions of Naval Architevture, 134.
Jamaluddin, A., Utama, I., Widodo, B., & Molland, A. (2012). Experimental and Numerical Study of the
Resistance Component Interactions of Catamarans. Proceedings of the Institution of Mechanical
Engineers, Part M: Journal of Engineering for the Maritime Environment , 227(1), 51-60.
Molland, A. (2008). A Guide to Ship Design, Construction and Operation, The Maritime Engineering
Reference Book. Butterworth- Heinemann, Elsevier.
Molland, A., Turnock, S., & Hudson, D. (2017). Ship resistance and propulsion. Cambridge university press.
THE EFFECT OF GIVING COMPOSITION OF RICE AND NPK FERTILIZER TO GROWTH AND
PRODUCTION OF WATER SPINACH(Ipomoea reptans Poir)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon tanaman kangkung darat terhadap kompos jerami padi
dan NPK, mencari kombinasi kompos jerami padi dan NPK yang memberikan pertumbuhan dan hasil produksi
kangkung darat terbaik. dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian, Universitas Riau, mulai dari
Februari 2018 sampai Mei 2018. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 2 faktor dan
3 ulangan. Faktor I yaitu kompos jerami padi (0, 7 dan 14 ton.ha-1) dan faktor II yaitu pupuk NPK (0, 100 dan
200 kg.ha-1). Setiap perlakuan terdiri dari 4 kali ulangan sehingga terdiri 27 satuan unit percobaan. Parameter
yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, berat segar, rasio tajuk akar dan berat kering
pertanaman. Data dianalisis menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji HSD taraf 5%. Peningkatan
dosis kompos jerami padi nyata meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, berat segar, rasio tajuk
akar dan berat kering tanaman kangkung darat. Interaksi pemberian kompos jerami padi dan pupuk NPK nyata
meningkatkan meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, berat segar, dan berat kering kecuali rasio
tajuk akar tanaman kangkung darat. Interaksi kompos jerami padi 14 ton.ha-1 pada NPK 200 kg.ha-1 merupakan
dosis terbaik untuk meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, berat segar, rasio tajuk akar dan
berat kering tanaman kangkung darat.
Kata Kunci: Ipomoea reptans Poir, kompos jerami padi dan pupuk NPK
ABSTRACT
This study aims to determine the response of water spinach to rice straw and NPK compost, and looking
for a best combination of rice straw and NPK compost that provides the best growth and production of water
spinach. This research carried out in the Faculty of Agriculture Experimental Station, Riau University, starting
from February 2018 until May 2018. This study used a Randomized Block Design with 2 factors and 3
replications. The first factor was rice straw compost (0, 7 and 14 ton.ha -1) and second factorI namely NPK
fertilizer (0, 100 and 200 kg.ha-1). The parameters observed were plant height, leaf number, leaf area, fresh
weight, root shot ratio and plant dry weight. Data were analyzed using anova and with HSD 5%. Increasing the
dosage of rice straw compost significantly increased plant height, leaf number, leaf area, fresh weight, root to
shoot ratio and dry weight of land water spinach. The interaction of giving rice straw compost and NPK
fertilizer significantly increased plant height, leaf number, leaf area, fresh weight, and dry weight except the
root canopy ratio of land water spinach. The interaction of rice straw compost 14 ton. ha-1 in NPK 200 kg. ha-1
was the best dose to increase plant height, leaf number, leaf area, fresh weight, root canopy ratio and dry weight
of land water spinach.
Keywords: Ipomoea reptans Poir, rice straw compost and NPK fertilizer
29,94 a 30,17 a
30 26,43 b
pertama maupun kedua (Gambar 6).
25 26,35 b
33 20
31,82 a
32 31,61 a 15
Penanaman I Penanaman II
Tinggi tanaman (cm)
31 10
29,84 ab 29,99 ab
30 5
29 0
28 0 100 200
27,47 b 27,52 b
27 Dosis pupuk NPK (ton.ha-1)
26
Gambar 7. Pengaruh dosis pupuk
25
0 7 14 NPK terhadap tinggi
tanaman
Dosis jerami padi (to.ha-1)
Tabel 2. Jumlah daun per tanaman kangung darat dengan pemberian berbagai
dosis kompos jerami padi dan pupuk NPK (16:16:16)
Pupuk Pupuk Kompos Jerami Padi (ton.ha-1) Rata-rata
NPK 0 7 14
(kg.ha-1)
..................................................helai..........................................................
I II I II I II I II
0 6,07 c 6,77 bc 6,67 bc 6,83 bc 6,16 c 6,57 bc 6,30 b 6,72 b
100 6.23 c 6.77 bc 6.80 abc 7.20 bc 7.57 ab 7.633 ab 6,86 a 7,20 ab
200 6,13 c 6,37 c 7,10 abc 7,60 ab 8,07 a 8,70 a 7,10 a 7,55 a
Rata- 6,14 b 6,63 b 6,85 a 7,21 a 7,26 a 7,63 a
rata
Rata- 6,14 b 6,63 b 6,85 a 7,21 a 7,26 a 7,63 a
rata
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom dan baris
menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji HSD pada taraf 5%. Angka I
menunjukkan penanaman pertama dan angka II menunjukkan penanaman ke dua
10
Pemberian kompos jerami Penanaman I Penanaman II
padi 0 ton.ha-1 memberikan pengaruh
Jumlah daun (helai)
8 7,63 a
7,21 a 7,26 a
yang berbeda nyata terhadap jumlah 6,63 b 6,85 a
6,14 b
daun jika dibandingkan dengan 6
pemberian 7 ton.ha-1 dan 14 ton.ha-1
(Gambar 9). 4
0
0 7 14
Dosis kompos jerami padi (ton.ha-1)
Gambar 9. Pengaruh dosis kompos
jerami padi terhadap
jumlah daun
Tabel 3. Luas daun pertanaman dengan pemberian berbagai dosis kompos jerami
padi dan pupuk NPK (16:16:16)
Pupuk Kompos Jerami Padi (ton.ha-1)
Pupuk Rata-rata
0 7 14
NPK
(kg.ha-1) ..................................................cm.............................................................
I II I II I II I II
0 13,98 b 3,75 e 19,04 b 7,03 e 19,32 ab 9,74 de 17,44 a 6,84 c
100 17,28 b 11,35 cde 16,92 b 24,26 b 18,90 b 21,72 bc 17,70 a 19,11 b
200 15,95 b 19,28 bcd 16,97 b 23,60 b 28,78 a 45,57 a 20,57 a 29,48 a
Rata-
15,73 b 11,46 c 17,65 b 18,30 b 22,33 a 25,68 a
rata
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom dan baris
menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji HSD pada taraf 5%. Angka I
menunjukkan penanaman pertama dan angka II menunjukkan penanaman ke dua
pada penanaman pertama maupun
Pemberian kompos jerami kedua (Gambar 11).
padi 14 ton.ha-1 memberikan
pengaruh yang berbeda nyata
terhadap luas daun jika dibandingkan
dengan pemberian kompos jerami
padi 0 ton.ha-1 dan 7 ton.ha-1 baik
20
jika dibandingkan dengan perlakuan
Luas daun (cm2)
18,39 b
17,65 b lainnya baik pada penanaman
15,73 b
15 pertama maupun kedua (Gambar 12).
11,46 c
Interaksi tanpa pemberian
10
kompos jerami padi dan pupuk NPK
5 pada penanaman pertama (13,98 cm)
dan penanaman ke dua (3,75 cm)
0 memberikan pengaruh yang berbeda
0 7 14 nyata terhadap terhadap luas daun
Dosis kompos jerami padi (ton.ha-1) jika dibandingkan dengan pemberian
kompos jerami padi 14 ton.ha-1 dan
Gambar 11. Pengaruh dosis kompos pupuk NPK 200 kg.ha-1 pada
jerami padi terhadap penanaman pertama (38,78 cm) dan
luas daun penanaman ke dua (45,57 cm) (Tabel
35 3).
29,48 a
30 Penanaman I Penanaman II
Berat Segar
Luas daun (cm2)
25
19,11 b
20,57 a Hasil sidik ragam menunjukan
20 17,44 a 17,70 a kompos jerami padi dan pupuk NPK
15 memberikan pengaruh yang berbeda
10
6,84 c
nyata terhadap berat basah baik pada
5 penanaman pertama maupun kedua.
Interaksi antara kompos jerami padi
0
0 100 200 dan pupuk NPK pada tanaman
kangkung darat memberikan
Dosis pupuk NPK (kg.ha-1)
pengaruh yang tidak berbeda nyata
Gambar 12. Pengaruh dosis pupuk terhadap berat basah baik pada
NPK terhadap luas penanaman pertama maupun kedua
daun (Lampiran 5. 4).
Tabel 4. Berat segar pertanaman dengan pemberian berbagai dosis kompos jerami
padi dan pupuk NPK (16:16:16)
Pupuk Kompos Jerami Padi (ton.ha-1)
Pupuk Rata-rata
0 7 14
NPK
(kg.ha-1) .........................................................gram......................................................
I II I II I II I II
0 2,53 b 3,25 e 8,27 ab 5,89 de 14,80 a 7,49 de 8,53 b 5,54 c
100 8,20 ab 8,87 cde 15,00 a 12,65 bcd 14,46 a 15,04 bc 12,55 a 12,19 b
200 7,07 ab 11,97 bcd 15,07 a 18,42 b 15,00 a 31,31 a 12,38 a 2057 a
Rata-
5,93 b 8,03 c 12,78 a 12,32 b 14,75 a 17,45 a
rata
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom dan baris
menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji HSD pada taraf 5%. Angka I
menunjukkan penanaman pertama dan angka II menunjukkan penanaman ke dua
4,50 a
baik pada penanaman pertama
3,99 a
maupun kedua (Gambar 15). 4 3,73 a
7 6,56 a 2,92 a
3
6 Penanaman I Penanaman II
2
5
4,20 a 1
Rasio tajuk akar
4 3,83 a
3,48 a 3,49 a 3,58 a
0
3
0 7 14
2 Dosis pupuk NPK (kg.ha-1)
1 tajuk akar
0 Interaksi tanpa pemberian
0 7 14
kompos jerami padi dan pupuk NPK
Dosis kompos jerami padi (ton.ha-1 ) pada penanaman pertama (1,76) dan
penanaman ke dua (3,14)
Gambar 15. Pengaruh dosis kompos memberikan pengaruh yang tidak
jerami padi terhadap berbeda nyata terhadap rasio tajuk
rasio tajuk akar akar jika dibandingkan dengan
pemberian kompos jerami padi 14
Pemberian dosis NPK dan 0 ton.ha-1 dengan pupuk NPK 200
kg.ha-1 sampai 200 kg.ha-1 kg.ha-1 pada penanaman pertama
memberikan pengaruh yang tidak (5,97) dan penanaman ke dua (8,79)
berbeda nyata terhadap rasio tajuk dan perlakuan lainnya (Tabel 5).
akar tanaman kangkung darat baik
pada penanaman pertama maupun Berat kering
kedua (Gambar 16).