Disusun Oleh:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hasan Bashri meriwayatkan hadits dari jalan Abu Bakrah dia berkata, aku
mendengarkan Rasulullah Shallallahu „Alaihi Wasallam berkata : Artinya :“cucuku
ini bakalan menjadi pemimpin, semoga dengan perantaranya Allah mendamaikan
dua kelompok besar kaum muslimin (yang bersengketa)”.2
1
Utsman Khamis, Hiqbah Min at-Tarikh, (Pustaka :Imam Bukhari, Dar Kutub Mishriyah:
2006), hal.210.
2
H.R Al-Bukhari, 2704
1
Radhiallahu Anhu dengan tulus dan demi kemashlahatan kaum muslimin,
menyerahkan kursi kekhilafahan kepada Mu‟awiyah Radhiallahu Anhu
Kepemimpinan Hasan Bin Ali Radhiallahu Anhut berlangsung lama, beliau menjabat
sebagai kepala Negara hanya selama lebih kurang enam bulan.
Sejak Khalifah Hasan Bin Ali mengundurkan diri dari khilafah, sejak itu pula
Mu‟awiyah resmi menjadi Khalifah kaum muslimin di Syiria (Syam), Iraq dan
seluruh daerah Islam lainnya, tepatnya tahun 41 Hijriyah. Tahun ini disebut dengan
sebutan amul jama‟ah, karena ummat Islam kembali damai dibawah kepemimpinan
satu khalifah.
2
buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan
Radhiallahu Anhu atau kadangkala disebut juga dengan Muawiyah Radhiallahu
Anhu.
Para sejarawan membagi dinasti Umayyah ini menjadi dua, yaitu pertama
dinasti yang dirintis oleh Muawiyah bin Abi Sofyan yang berpusat di Damaskus dan
yang kedua dinasti Umayyah di Andalusia (Spanyol) yang pada awalnya merupakan
wilayah taklukan Umayyah di bawah pimpinan seorang gubernur pada masa halifah
Walid bin Malik. Dan kemudian diubah menjadi kerajaan yang terpisah dari
kekuasaan dinasti Abasiyah setelah berhasil menaklukan dinasti Umayyah di
Damaskus.3
3
Dedy Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam. (Bandung: Pustaka Setia, 2008) h.103
4
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008) h. l 42
3
menjalankan tugasnya sebagai khalifah dengan baik mereka bukan hanya lemah
tetapi juga bermoral buruk.
Berikut ini daftar nama Raja pada masa Dinasti Umayyah hingga masa
keruntuhannya sebagai berikut:
Kekuasaan Bani Umayyah yang berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota
negara dipindahkan Mu‟awiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa
menjadi gubernur sebelumnya. Khalifah-khalifah besar dinasti Bani Umayyah ini
adalah Muawiyah bin Abi Sufyan (661-680 M), Abd al-Malik bin Marwan (685-705
M), al-Walid bin Abd Malik (705-715), Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) dan
Hisyam bin Abd al-Malik (724-743 M).
Ekspansi yang terhenti pada masa Usman dan Ali dilanjutkan oleh dinasti ini.
Di zaman Mu‟awiyah, Tunisia dapat ditaklukan. Di sebelah timur, Muawiyah dapat
menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan afganistan sampai ke Kabul.
4
Angkatan-angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke Bizantium,
Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilakukan
oleh Abd al-Malik. Dia mengirim tentaranya menyebrangi sungai Oxus dan dapat
berhasil menundukan Balk, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand.
5
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun
barat, wilayah kekuasaan Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah
ini meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian
Asia kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang ini disebut Pakistan, Purkmenia,
Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.
Ibu kota Daulah Umayyah pindah ke Damaskus, suatu kota tua di negeri
Syam yang telah penuh dengan peninggalan kebudayaan maju sebelumnya. Daerah
kekuasaannya, selain yang diwariskan oleh Khulafa ar-Rasyidin, telah pula
menguasai Andalus, Afrika Utara, Syam, Irak, Iran, Khurosan, terus ke Timur sampai
5
Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1993),
hal. 43-45
6
benteng Tiongkok. Dalam daerah kekuasaannya terdapat kota-kota pusat kebudayaan,
seperti: Yunani, Iskandariyah, Antiokia, Harran, Yunde, Sahfur, yang dikembangkan
oleh ilmuwan-ilmuwan beragama Yahudi, Nasrani dan Zoroaster.
7
penduduk untuk mempelajarinya. Masjid dan tempat tinggal ulama merupakan
tempat yang utama untuk belajar agama. Bagi orang dewasa, biasanya mereka belajar
tafsir Alquran, hadis, dan sejarah Nabi Muhammad Shallalahu „Alai Wasallam Selain
itu, filsafat juga memiliki penggemar yang tidak sedikit. Adapun untuk anak-anak,
diajarkan baca tulis Arab dan hafalan Alquran dan Hadis.
Pada masa itu masyarakat sangat antusias dalam usahanya untuk memahami
Islam secara sempurna. Jika pelajaran Alquran, hadis, dan sejarah dipelajari karena
memang ilmu yang pokok untuk memahami ajaran Islam, maka filsafat dipelajari
sebagai alat berdebat dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang waktu itu suka
berdebat menggunakan ilmu filsafat. Sedangkan ilmu-ilmu lain seperti ilmu alam,
matematika, dan ilmu social belum berkembang. Ilmu-ilmu yang terakhir ini muncul
dan berkembang dengan baik pada masa dinasti Bani Abbasiyah maupun Bani
Umayyah Spanyol.
Salahsatu contoh Islam adalah ajaran rahmatan lil „alamin ketika perluasan
daerah Islam di masa Rasulullah Shallalohu „Alaihi Wasallam, khulafaur rasidin
radiallohu „anhum serta pada dinasti Umayyah ini.
8
Buraidah Radiallohu „anhu mengatakan bahwa ketika Rasulullah Shallalohu
„Alai Wasallam menugaskan panglima yang membawa pasukan menuju
pertempuran, beliau senantiasa berpesan kepada panglima tersebut dan kaum
muslimin yang menyertainya, utamanya pesan takwa kepada Allah dan pesan atas
kebaikan. Lalu, Rasulullah Shallalohu „Alai Wasallam bersabda, “berperanglah atas
nama Allah! Di jalan Allah! Perangilah orang yang ingkar kepada Allah!
Berperanglah dan janganlah curang, jangan berkhianat, jangan berlaku kejam
(memotong hidung dan telinga) dan jangan membunuh anak-anak (bayi).
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah yang dikemukakan diatas dapat ditarik
identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Sejak berakhirnya khalifah Ali bin Abi Thalib yang menandai selesainya
pemerintahan khulafaur Rasyidin yang demokratis beralih ke dinasti, dimana
kekuasaan pemerintahan dan negara dipimpin secara turun temurun.
2. Terjadi perpecahan antar kerabat kerajaan yang menandai kehancuran dinasti
Bani Umayyah.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk beberapa hal, antara lain sebagai berikut ini:
1. Untuk mengetahui sejarah berdirinya Dinasti Bani Umayyah pasca
berakhirnya Khulafaur Rasyidin.
2. Untuk mengetahui perkembangan Hukum Islam pada masa kekuasaan
Dinasti Bani Umayyah
3. Untuk mengetahui ijtihad hukum Islam masa Dinasti Bani Umayyah
D. Kerangka Pemikiran
Menurut H. A. R. Gibb, bahwa hukum Islam mempunyai peran penting dalam
membangun tatanan publik dalam umat Islam dan mempunyai pengaruh besar dalam
9
kehidupannya. Sebab hukum Islam sebagai bagian integral dari ajaran Islam tidak
dapat dipisahkan dari kerangka pokok atau dasar agama (al-dinul) Islam. Di dalam
kehidupan masyarakat Islam, norma atau kaidah yang terkandung di dalam agama
Islam diimplementasikan dalam bentuk aturan pokok yang disebut syari‟at Islam
(Islamic law)6. Allah Swt. mewajibkan kepada umat Islam untuk melaksanakan
syariat Islam dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara. Syariat wajib
dilaksanakan baik sebagai agama maupun sebagai pranata sosial.
Hukum Islam sebagai salah satu pranata sosial mengalami aktualisasi bahkan
lebih jauh lagi internalisasi ke dalam berbagai pranata sosial yang tersedia dalam
masyarakat. Terjadinya proses alokasi hukum Islam dalam dimensi syariat ke dalam
pranata sosial tersebut, menjadi landasan dan memberi makna serta arah dalam
kehidupan masyarakat Indonesia.
Hukum berfungsi di antaranya untuk perekayasa sosial. Hukum menjadi
panduan penyelenggaraan kekuasaan politik. Norma-norma hukum itu sendiri adalah
produk politik, produk kekuasaan yang cenderung mengamankan diri sendiri.
Karenanya senantiasa menjadi probabilitas yang selalu mengemuka, yang tujuannya
juga untuk mengamankan kekuasaan. Hal ini terjadi di negara-negara yang menganut
paham totaliterisme dengan segala bungkusnya termasuk demokrasi yang
dibayangkan (imagined democracy).7
Hukum merupakan pranata sosial dalam suatu masyarakat guna menjamin
pelaksanaan hak dan kewajiban antar anggota masyarakat, baik dalam hubungan
dengan individu maupun dengan negara. Hukum juga merupakan alat perekayasa
sosial menuju kesejahteraan sosial. Demikian halnya dengan hukum Islam. Hukum
Islam bila ditelaah secara mendalam dalam konteks khusus mempunyai pengertian
6
Abdullah Gofar, “ Perundang-Undangan Bidang Hukum Islam: Sosialisasi dan
Pelembagaannya” dalam Mimbar Hukum Nomor 51 Thn. XII 2001, hlm. 16.
7
Achmad Gunarto, Pergumulan Politik dan Hukum Islam Reposisi Peradilan Agama dari
Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan Yang Sesungguhnya, Pengantar Prof Dr Satjipto
Raharjo, SH, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 19.
10
yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk memperjelas batasan atau definisi yang
tercakup dalam kajian ini, dibedakan antara Hukum Islam, Fiqh dan Syari‟ah.
Hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari al-
fiqh al-Islami, istilah ini dalam wacana ahli hukum Barat digunakan Islamic Law.
Dalam Alquran maupun As-Sunnah tidak dijumpai, yang digunakan adalah kata
syari‟ah yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah fiqh. Antara syariah dan
fiqh memiliki hubungan yang sangat erat. Karena fiqh formula yang dipahami dari
syariah. Syariah tidak dapat dipahami dengan baik, tanpa melalui fiqh atau
pemahaman yang memadai, dan diformulasikan secara baku. Fiqh sebagai hasil
usaha memadai, sangat dipengaruhi oleh tuntutan ruang dan waktu yang meliputi
faqih (jamak fuqaha) yang memformulasikannya. Karena itulah, sangat wajar jika
kemudian terdapat perbedaan dalam rumusan mereka.8
Syari‟ah dapat diartikan kedalam bahasa Inggris canon law of Islam. Fiqh atau
Ilmu Hukum Islam ialah pengetahuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban
seseorang sebagaimana dalam Alquran dan Sunnah. Konsep hukum Islam
mempunyai fungsi ganda; Pertama, berfungsi sebagai syari‟ah dan kedua, berfungsi
sebagai fiqh.
Fungsi Syari‟ah merupakan fungsi kelembagaan yang diperintahkan Allah
Swt. untuk dipatuhi sepenuhnya, yaitu keseluruhan perintah Allah, atau saripati
petunjuk Allah untuk perseorangan dalam mengatur hubungan dengan Allah sesama
muslim, sesama manusia, dan dengan semua makhluk di dunia ini. Syariat Islam
adalah sistem norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan,
hubungan manusia dengan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam
lainnya.9
8
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 1.
9
Departemen Agama RI. Pedoman dan Bahan Penyuluhan Hukum (Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 1/Thn 1974 tentang Perkawinan dan Inpres No.
1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam). Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
1995/1996. Hlm. 13
11
Sedangkan fungsi fiqh merupakan produk dari daya pikir manusia, usaha
manusia dan dengan daya intelektualnya mencoba menafsirkan penerapan prinsip-
prinsip syari‟ah secara sistematis. Sementara produk pemikiran fuqaha yang ada
sangat besar pengaruhnya di kalangan umat Islam, sehingga terdapat kecenderungan
bahwa fiqh menjadi identik dengan hukum Islam. Ali Yafie menyebut fiqh
mencakup ibadah, munakahat, muamalah, dan jinayah. A. Djazuli menyebut fiqh
mencakup ibadah, ahwal al Syakhshiyah (perkawinan, kewarisan, wasiat dan wakaf),
muamalah (dalam arti sempit), jinayah, aqdhiyah (peradilan), siyasah (dusturiyah,
maliyah, dan dauliyah).
12
BAB II
PEMBAHASAN
14
masa pemerintahan Khalifah Walid bin Abdul Malik (705- 715 M) kekayaan dan
kemakmuran melimpah ruah. Ia seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan
melaksanakan pembangunan. Oleh karena itu, ia menyempurnakan gedung-gedung,
pabrik-pabrik dan jalan-jalan yang dilengkapi dengan sumur untuk para kabilah yang
berlalu lalang dijalan tersebut. Ia membangun masjid al-Amawi yang terkenal hingga
masa kini di Damaskus. Disamping itu ia menggunakan kekayaan negerinya untuk
menyantuni para yatim piatu, fakir miskin, dan penderita cacat seperti orang lumpuh,
buta dan sebagainya.
Akibat lainnya adalah juga banyak orang-orang dari negeri taklukan yang
memeluk Islam. Mereka adalah pendatang-pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa
yang dikalahkan, yang kemudian mendapat gelar “al-mawali”. Status tersebut
menggambarkan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan bangsa Arab. Mereka tidak
mendapat fasilitas dari penguasa Bani Umayyah sebagaimana yang didapatkan oleh
orang-orang muslimin Arab. Dalam masa Daulah Bani Umayyah, orang orang
muslimin Arab memandang dirinya lebih mulia dari segala bangsa bukan Arab
(mawali). Orang-orang Arab memandang dirinya“saiyid” (tuan) atas bangsa bukan Arab,
seakan-akan mereka dijadikan Tuhan untuk memerintah.
Sehingga antara bangsa Arab dengan negeri taklukannya terjadi jurang
pemisah dalam hal pemberian hak-hak bernegara. (Hasjmy, 1993: 154). Pada saat itu
banyak Khalifah Bani Umayyah yang bergaya hidup mewah yang samasekali berbeda
dengan para Khalifah sebelumnya. Meskipun demikian, mereka tidak pernah melupakan
orang-orang lemah, miskin dan cacat. Pada masa tersebut dibangun berbagai panti untuk
menampung dan menyantuni para yatim piatu, faqir miskin dan penderita cacat. Untuk
orang-orang yang terlibat dalam kegiatan humanis tersebut mereka digaji oleh
pemerintah secara tetap.(Yatim: 139).
Kemajuan yang diraih dalam lapangan politik juga menakjubkan. Sistem
Politik Perubahan yang paling menonjol pada masa Bani Umayyah terjadi pada sistem
politik, diantaranya adalah politik dalam negeri dengan memindahkan pusat
pemerintahan dari Madinah ke Damaskus.
15
B. Sumber Hukum yang Diterapkan di Masa Bani Umayyah
Sebagai cikal bakal lahirnya dinasti pertama pasca era Sahabat, konstruksi
hukum tentu mengalami pergeseran. Dinamika dan pergulatannya telah merambah tidak
saja dari segi pemahaman dan tingkat penalarannya, justru menjadi magnet dari segi
penerapannya secara praktis. Pada era Umayyah ini (atau lebih dikenal periode tabi‟in),
terkait dengan konteks hukum Islam, mereka justru lebih mengedepankan
perbuatan/pendapat Sahabat. Model ini tentu mengisyaratkan bahwa kalangan tabi‟in
sangat kental dengan alur pemikiran ulama Hijaz (Madinah).
Kecenderungan dalam model pemikiran seperti ini, boleh jadi lantaran
kebiasaan-kebiasaan mereka (tabi‟in) masih terikat erat secara psikologis maupun
geografis dengan pemikiran ulama Hijaz. Oleh karena itu, wajar jika para tabi‟in lebih
memilih pendapat Sahabat ketika merekonstruksi persoalan-persoalan hukum, dengan
pertimbangan bahwa Sahabat lebih dekat dengan hadist. Bahkan dalam sejumlah
literatur disebutkan, bahwa para tabi‟in akan dengan mudah mengikat pendapat mereka
dengan mengikuti pemikiran para pendahulu dari kalangan Sahabat, seperti ibn Abbas,
ibn Umar, Zubair Abdullah ibn Amr ibn Ash.10
Menurut ibn al-Qayyim, bahwa hukum Islam pada masa tabi‟in disebarkan
oleh para pengikut empat Sahabat terkemuka, yaitu: ibn Mas‟ud, Zaid ibn Tzabit,
Abdullah ibn Umar dan Abdullah ibn Abbas. Orang Madinah mengembangkan kembali
hukum Islam dari hasil konstruksi Zaid ibn Tsabit dan Abdullah ibn Umar; masyarakat
Mekkah diwarisi oleh fikih Abdullah ibn Abbas; sementara komunitas Irak melalui fikih
Abdullah ibn Mas‟ud. Pemetaan terhadap literasi fikih melalui keragaman musnad-nya
melahirkan sejumlah isnad baru diri kalangan tabi‟in, dan ini bisa dicatat pada beberapa
tokoh utamanya, yaitu: Atha ibn Rubah, Amr ibn Dinar, Ubaidah ibn Umair dan Ikrimah
di Mekkah, Amr ibn Salamah, Hasan Bashri, Sakhtayani dan Abdullah ibn Auf di
Bashrah, Alqamah ibn Qais an-Nakha‟i, Syuraih ibn Haris dan Ubadah ibn Salmani di
Kufah, Yazid ibn Abi Habib dan Bakir ibn Abdullah di Mesir, Hisyam ibn Yusuf dan
10
Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan dalam Masalah Pernikahan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1987), 32-34; Rasyad Hasan Khalil, Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: AMZAH, 2009), 12-13.
16
Abdurrazaq ibn Hammam di Yaman dan sejumlah ulama hukum Islam yang berada di
Irak.11
Berdasarkan silsilah dan mata rantai ini, maka turunan pemikiran hukum
Islam [fikih] era tabi‟in justru terbelah dan mengarah kepada dua bentuk. Pertama, lebih
banyak menggunakan riwayah dibanding dengan penalaran akal. Metode demikian ini
berkembang di kalangan pakar hukum Islam-Madinah, dengan tokohnya Sa‟id ibn al-
Musayyab. Kedua, lebih banyak menggunakan penalaran rasional dibandingkan dengan
pola penggunaan riwayah. Metode pemikiran ini berkembang di kalangan pakar hukum
Islam-Kufah, dengan tokohnya Ibrahim al-Nakha‟i. Cara ini lebih dikenal dengan
sebutan “Aliran Kufah”.
Adapun madzhab Madinah menjadi madzhab Malik, sedangkan madzhab
Kufah menjadi madzhab Hanafi yang akan berkembang selanjutnya era Abbasiyah. Para
fuqaha yang berdomisili di Irak (Kufah) cenderung untuk menggunakan rasio dalam
skala yang cukup luas dan memandang hukum syari‟at dalam takaran rasionalitas.
Mereka gemar menyelami nash-nash yang ada dalam rangka menemukan ‟illah, hikmah
dan tujuan-tujuan moral yang berada dibalik hukum yang tampak. Kecenderungan baru
ini mendapatkan tanggapan kritis dari para fuqaha yang tinggal di Hijaz (Madinah), yang
memandang hukum sebagai ketentuan Allah yang wajib diikuti. Mereka lebih memilih
memahami nash secara tekstual dan menganggap fatwa Sahabat sebagai sumber hukum
setelah Alquran dan Sunnah/al-Hadist.12
Proses penggunaan penalaran rasional pun kerap diwarnai atas dasar metode
dialektika (jadali) atau yang lebih dikenal dengan deduksi-logis. Model metode ini dapat
dilihat berdasarkan cara tabi‟in menjelaskan tentang suatu hukum, dengan cara
mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan yang bersifat tesa (tesis-
tesis) dan antitesa. Kedua pernyataan ini kemudian didiskusikan dengan prinsip- prinsip
logika untuk memperoleh kesimpulan. Ditambahkan bahwa pendekatan pada model ini
terkadang menggunakan pendekatan analogi (qiyas) dan argumentasi (illat), rumus-
11
Ibn al-Qoyyim al Jauziyyah, I‟lam al Muwaqqi‟in, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), I:
12
Mun’in A. Sirri, Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), 33.
17
rumus/asas, dan termasuk konsideran tujuan kendati tidak terlalu konsisten. Meski
kemudian, penggunaan model ini untuk menentukan hukum terhadap suatu masalah
yang secara fisik tidak disebut dalam nash, tetapi secara simbolik diisyaratkan oleh nash
karena mempunyai referensi tertentu.
Pola dan bentuk susunan hukum yang dibangun dengan cara berpikir analogis
ini terkesan kaku, oleh masyarakat Kufah (ahli hukum), mulai mencari format baru yang
dinilai lebih longgar sebagai bentuk pengembangan metode-qiyas dan berubah ke bentuk
istihsan. Pendekatan melalui argumentasi istihsan yang dipakai sarjana-sarjana di Kufah,
menunjukkan kembali bahwa ini merupakan kebebasan berpendapat dalam bentuk baru.
Sementara bagi kelompok Hijaz, makin diperkokohnya konsep sunnah yang cenderung
mengklaim generasi pendahulu sebagai sumber dalam rangka mengkokohkan sebuah
praktek yang diakomodir dalam sebuah tradisi. Meski kemudian, secara sederhana,
keduanya (Kufah dan Hijaz) memiliki pretensi yang sama, di mana metode dan garis
pengembangan hukum masing-masing wilayah hendak meninjau praktek hukum dan
politik setempat dari sudut pandang kaidah dan tingkah laku masyarakat dengan
mengacu kepada nash. Namun demikian, sistem hukum yang dipakai berdasarkan
masing-masing wilayah tentu berbeda-beda, kendati akibat kebebasan pendapat secara
berlebihan di kalangan ulama Kufah telah mengundang perbedaan pendapat yang tidak
sedikit.
18
BAB III
PENUTUP
19
DAFTAR PUSTAKA
Utsman Khamis, Hiqbah Min at-Tarikh, (Pustaka :Imam Bukhari, Dar Kutub Mishriyah:
2006)
H.R Al-Bukhari, 2704
Dedy Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam. (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008)
Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
1993)
Abdullah Gofar, “ Perundang-Undangan Bidang Hukum Islam: Sosialisasi dan
Pelembagaannya” dalam Mimbar Hukum Nomor 51 Thn. XII 2001,
Achmad Gunarto, Pergumulan Politik dan Hukum Islam Reposisi Peradilan Agama dari
Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan Yang Sesungguhnya, Pengantar
Prof Dr Satjipto Raharjo, SH, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012)
Departemen Agama RI. Pedoman dan Bahan Penyuluhan Hukum (Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 1/Thn 1974
tentang Perkawinan dan Inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam). Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
1995/1996.
Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan dalam Masalah Pernikahan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1987), 32-34; Rasyad Hasan Khalil, Sejarah Legislasi Hukum Islam,
(Jakarta: AMZAH, 2009)