Tugas ini diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Gender, Layanan
Kesehatan Reproduksi dan Seksual
Disusun Oleh :
Ariris Miftahucrohman (02230200012)
Maria Ulfah (02230200009)
Iyah Kesuma (02230200002)
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 3
1.3 Tujuan .............................................................................................................................. 3
BAB II ISI DAN PEMBAHASAN.......................................................................................... 5
2.1 Definisi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) ............................................. 5
2.2 Implementasi Kebijakan ................................................................................................ 10
2.3 Faktor Pendukung dalam Implementasi Kegiatan ......................................................... 12
2.4 Faktor Hambatan dalam Implementasi Kegiatan ...........................................................15
BAB III PENUTUP................................................................................................................ 20
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 21
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Pemahaman akan kesehatan digolongkan sebagai bagian dari hak asasi manusia
(HAM) yang telah berkembang seiring dengan sejarah perkembangan HAM di dunia.
Hak kesehatan dilindungi oleh berbagai instrumen HAM seperti Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (DUHAM), preambule konstitusi WHO, serta dijamin pula dalam Pasal
12 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) dan Pasal
11 European Social Charter (ESC). Di Indonesia, kesehatan juga menjadi bagian dari
hak konstitusional sejak masa berlakunya Konstitusi RIS 1949, kemudian ketentuan
mengenai hal ini diadopsi pulapada UUDS 1950 sampai UUD NRI 1945 pasca
amandemen. Dengan demikian, makna kesehatan tidak lagi terbatas sebagai ilmu
kedokteran (medicine) semata, tapi juga telah menjadi bagian dari HAM yang wajib
dijamin oleh negara.(Aulia, Yunita, 2022)
1
menular seksual. Oleh karena itu, pendidikan KSR tidak hanya menjadi isu kesehatan
fisik, tetapi juga menyangkut hak, tanggung jawab, dan pemahaman menyeluruh tentang
hak-hak individu dalam konteks kesehatan reproduksi.
Selain itu, stigma terhadap topik kesehatan reproduksi masih menjadi kendala
dalam pendidikan KSR. Beberapa masyarakat di Indonesia masih merasa tidak nyaman
membicarakan topik ini secara terbuka. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang
lebih sensitif dan strategi yang dapat mengatasi stigma untuk menciptakan lingkungan
yang mendukung pembelajaran terbuka dan progresif.
Peran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadi faktor penentu dalam
mengatasi tantangan akses dan distribusi informasi. Penggunaan platform daring,
aplikasi kesehatan, dan media sosial dapat membantu menyampaikan informasi kepada
berbagai kelompok masyarakat, termasuk mereka yang berada di daerah terpencil.
Namun, pemanfaatan TIK juga memunculkan tantangan baru terkait literasi digital,
ketersediaan infrastruktur, dan keberlanjutan program.
Dalam konteks ini, penelitian menjadi alat penting untuk menggali lebih dalam
dinamika dan tantangan implementasi pendidikan KSR yang inklusif di Indonesia.
Melibatkan pemangku kepentingan seperti pemerintah, lembaga pendidikan, komunitas,
2
dan keluarga menjadi esensial untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang
mendukung. Selain itu, evaluasi terus-menerus terhadap program yang sudah ada dan
pengembangan metode baru menjadi langkah krusial untuk meningkatkan efektivitas
pendidikan KSR.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa yang di maksud dengan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi serta
landasan hukum yang berlaku.
2. Mengidentifikasi tingkat integrasi pendidikan inklusi, menilai sejauh mana
pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi telah diintegrasikan secara inklusif
dalam kurikulum pendidikan di berbagai tingkatan.
3. Menganalisis keterlibatan pihak terkait menyelidiki tingkat pemahaman dan
keterlibatan pihak sekolah, guru, dan orang tua dalam konsep pendidikan inklusif
kesehatan seksual dan reproduksi.
3
4. Menggali faktor sosial, budaya, dan Agama, meneliti bagaimana faktor-faktor sosial,
budaya, dan agama memengaruhi implementasi pendidikan inklusif kesehatan seksual
dan reproduksi, terutama dalam konteks masyarakat Indonesia.
4
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
Hak seksual adalah hak semua orang untuk mencari dan mendapatkan informasi
terkait seksualitas secara bebas dari diskriminasi, paksaan atau kekerasan, hak untuk
dihormati integritas tubuhnya, serta keleluasaan untuk mengambil keputusan terkait
aktivitas seksual. Sedangkan Hak reproduksi merupakan hak semua orang untuk
mendapatkan informasi dan layanan kesehatan reproduksi, serta untuk memutuskan dan
menentukan rencana memiliki anak dengan bebas dan bertanggung jawab. Oleh
karenanya, setiap orang perlu mendapatkan informasi mengenai sistem reproduksi yang
akurat dan terbukti secara ilmiah tanpa diskriminasi,paksaan, dan kekerasan. (Liliane,
2019)
Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) adalah terjemahan dari istilah
dalam Bahasa Inggris, Sexual and Reproductive Health and Rights (SRHR) atau juga
Sexual and Reproductive Rights and Health (SRRH). Istilah ini pertama kali muncul dari
peran penting Konferensi Internasional untuk Kependudukan dan Pembangunan
5
(International Conference on Population and Development) tahun 1994 di Kairo, Mesir.
Hak-hak reproduksi didefinisikan sebagai hak-hak yang mencakup hak-hak manusia
tertentu yang sudah diakui oleh Undang-undanf Nasional, dokumen-dokumen
internasonal tentang hak asasi manusia serta dokumen-dokumen kesepakatan PBB
lainnya yang relevan. Hak- hak ini didasarkan pada pengakuan terhadap hak-hak asasi
semua pasangan dan perseorangan untuk menentukan secara bebas dan bertanggung
jawab akan jumlah anak, jarak, dan saatnya melahirkan anak-anak mereka serta
informasi cara-cara yang dibutuhkan untuk melaksanakannya, serta hak untuk mendapat
derajat kesehatan reproduksi dan seksual yang paling tinggi.
7. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari
perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan seksual
9. Hak atas kerahasiaan pribadi berkaitan dengan pilihan atas pelayanan dan kehidupan
reproduksinya
6
11. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga dan
kehidupan reproduksi
12. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan
dengan kesehatan reproduksinya
Setiap perempuan mempunyai hak untuk bebas dari risiko kematian karena kehamilan.
Setiap individu berhak untuk menikmati dan mengatur kehidupan seksual dan
reproduksinya dan tak seorang pun dapat dipaksa untuk hamil, menjalani sterilisasi
dan aborsi.
Setiap individu mempunyai hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi termasuk
kehidupan seksual dan reproduksinya.
Setiap individu mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan seksual dan
reproduksi dengan menghormati kerahasiaan pribadi. Setiap perempuan mempunyai
hak untuk menentukan sendiri pilihan reproduksinya
Setiap individu bebas dari penafsiran ajaran agama yang sempit, kepercayaan, filosofi
dan tradisi yang membatasi kemerdekaan berpikir tentang pelayanan kesehatan
reproduksi dan seksual.
7
Setiap individu mempunyai hak atas informasi dan pendidikan yang berkaitan dengan
kesehatan reproduksi dan seksual termasuk jaminan kesehatan dan kesejahteraan
perorangan maupun keluarga.
7. Hak untuk menikah atau tidak menikah serta membentuk dan merencanakan keluarga
Setiap individu berhak untuk tidak dipaksa menikah pada usia anak yaitu 19 tahun
(UU Perkawinan No 16 tahun 2019)
8. Hak untuk memutuskan mempunyai anak atau tidak dan kapan mempunyai anak
8
HKSR merupakan bagian dari HAM, karena Komponen HKSR berasal dari
komponen-komponen HAM; seperti hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan,
hak untuk mendapatkan privasi, hak untuk mendapatkan pendidikan, dan hak untuk
terbebas dari diskriminasi. Artinya, HKSR layaknya HAM yakni bersifat mutlak dan
universal. Seorang individu tidak perlu melakukan apapun untuk mendapatkan akses
HKSR-nya, karena akses terhadap hak-hak tersebut merupakan bagian yang tidak dapat
dilepas dari keberadaannya sebagai manusia.
Landasan hukum tentang Hak Seksual dan Hak reproduksi, ada beberapa
instrumen (perangkat) hukum yang terkait dengan hak seksual dan hak reproduksi:
5.UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW, Undang-undang No. 23 Tahun
1992 tentang kesehatan, UU No 23 Tahun 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
6.Strategi dan Kebijakan Kesehatan Reproduksi Remaja Nasional (BKKBN).
9
2.2 Implementasi Kebijakan
Kunci dari sukses implementasi kebijakan ini adalah pelatihan guru dan tenaga
pendidik. Mereka perlu dilengkapi dengan pengetahuan mendalam tentang isu-isu
kesehatan seksual dan reproduksi, serta strategi untuk mengajar dengan pendekatan
inklusif. Program pelatihan intensif yang melibatkan pihak eksternal seperti ahli
kesehatan reproduksi, psikolog, dan aktivis hak asasi manusia membantu menciptakan
tim pendidik yang siap menghadapi tantangan sensitif ini dengan pemahaman dan
kepekaan.
10
Pentingnya pengetahuan masyarakat akan hak kesehatan seksual dan reproduksi
menjadi fokus dalam penyelenggaraan seminar dan lokakarya. Pemerintah bersama
dengan organisasi non-pemerintah dan lembaga internasional secara aktif
menyelenggarakan kegiatan ini untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat luas.
Seminar ini tidak hanya membahas isu-isu kesehatan reproduksi secara umum tetapi juga
memberikan ruang bagi diskusi terbuka dan pertukaran pandangan mengenai kebijakan
inklusif.
Pendidikan saja tidak cukup akses terhadap layanan kesehatan reproduksi yang
aman dan terjangkau adalah elemen penting dari implementasi kebijakan ini. Pemerintah
bekerja sama dengan lembaga kesehatan dan organisasi non-pemerintah untuk
meningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas layanan kesehatan reproduksi. Ini termasuk
kampanye penyuluhan, program vaksinasi, dan layanan konseling yang dirancang untuk
mendukung kesehatan reproduksi dari masa remaja hingga dewasa.
11
Melalui implementasi kebijakan ini, dampak positif telah terlihat pada tingkat
kesadaran masyarakat terhadap hak kesehatan seksual dan reproduksi. Masyarakat
menjadi lebih terbuka untuk berbicara mengenai isu-isu ini, mengurangi stigma terkait,
dan menciptakan lingkungan yang mendukung. Penurunan angka kehamilan remaja dan
peningkatan dalam pencarian layanan kesehatan reproduksi yang aman menjadi indikator
keberhasilan langkah-langkah implementatif ini.
Meskipun telah ada progres yang signifikan, menjaga momentum positif dan
memastikan keberlanjutan kebijakan menjadi tantangan berkelanjutan. Kolaborasi antara
pemerintah, organisasi non-pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil diperlukan
untuk memastikan bahwa pendidikan inklusif hak kesehatan seksual dan reproduksi tetap
menjadi prioritas dalam agenda nasional.
Dengan kesadaran menuju masyarakat yang lebih sehat dan setara melalui
implementasi kebijakan pendidikan inklusif hak kesehatan seksual dan reproduksi,
Indonesia tidak hanya menciptakan kesadaran masyarakat terhadap hak kesehatan
seksual dan reproduksi tetapi juga membangun fondasi yang kokoh untuk masyarakat
yang lebih sehat, setara, dan mampu mengambil keputusan yang tepat terkait dengan
aspek intim dan penting dalam kehidupan mereka. Implementasi ini membuka jalan
menuju masa depan yang lebih cerah, di mana setiap individu memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang mendalam tentang hak-hak mereka dan dihormati dalam pengambilan
keputusan pribadi mereka terkait kesehatan seksual dan reproduksi.
12
1994 (Respati, W. S. 2010), negara ini telah berkomitmen untuk meningkatkan
kesehatan seksual dan reproduksi penduduknya.
Partisipasi aktif masyarakat sipil juga menjadi elemen krusial dalam mengawal
implementasi kebijakan. Organisasi non-pemerintah, aktivis hak asasi manusia, dan
kelompok advokasi membawa suara dan perspektif masyarakat, membantu
mengidentifikasi kebutuhan dan aspirasi yang mungkin tidak terwakili. Mereka berperan
sebagai agen perubahan yang efektif, membentuk kebijakan agar lebih responsif dan
inklusif terhadap keberagaman masyarakat.
Pelatihan guru dan tenaga pendidik merupakan faktor penentu dalam memastikan
bahwa kurikulum yang telah diintegrasikan dapat disampaikan dengan efektif. Guru
yang terlatih dengan baik, bukan hanya dalam hal pengetahuan teknis, tetapi juga dalam
13
aspek sensitivitas dan inklusivitas, dapat membentuk pengalaman pembelajaran yang
positif bagi siswa. Program pelatihan intensif yang melibatkan pihak eksternal seperti
ahli kesehatan reproduksi, psikolog, dan aktivis hak asasi manusia membantu
menciptakan tim pendidik yang siap menghadapi tantangan sensitif ini dengan
pemahaman dan kepekaan.
Pendekatan inovatif dalam pembelajaran menjadi salah satu strategi kunci untuk
meningkatkan efektivitas program. Penggunaan teknologi informasi, media interaktif,
dan metode pembelajaran yang menarik membantu meningkatkan keterlibatan siswa.
Platform daring dan aplikasi kesehatan digital memberikan kemudahan akses terhadap
informasi dan sumber daya yang relevan.
14
Keterlibatan sektor swasta menjadi faktor penting dalam menyediakan sumber
daya dan dukungan finansial untuk keberlanjutan program. Mitra strategis dari sektor
swasta dapat membantu dalam menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk
pelaksanaan kebijakan, termasuk pendanaan untuk program pendidikan dan kampanye
penyuluhan. Kerjasama ini memberikan kontribusi pada peningkatan cakupan dan
efektivitas program.
15
ekonomi menjadi langkah-langkah krusial untuk memastikan keberlanjutan dan
kemajuan menuju masyarakat yang lebih sehat dan setara.
16
Pendidikan inklusif hak kesehatan seksual dan reproduksi membutuhkan investasi
finansial yang signifikan untuk pelatihan guru, pengembangan materi pembelajaran,
penyelenggaraan seminar dan lokakarya, serta penyediaan akses layanan kesehatan
reproduksi. Di tengah keterbatasan anggaran dan prioritas lainnya, pemerintah dan
lembaga terlibat mungkin menghadapi dilema dalam alokasi sumber daya untuk
mendukung implementasi penuh kebijakan ini.
Selain itu, kebijakan yang mungkin tidak cukup mendukung atau bahkan
kontraproduktif dapat merintangi upaya implementasi. Terkait dengan kebijakan,
terdapat juga hambatan terkait dengan kurangnya koordinasi antar-sektor dan lembaga.
Implementasi kebijakan ini memerlukan kolaborasi antara lembaga-lembaga pendidikan,
kesehatan, pemerintah, dan sektor swasta. Ketidakmampuan untuk mencapai koordinasi
yang efektif dapat memperlambat proses implementasi dan mengurangi dampak positif
yang diharapkan.
17
Resistensi dari kelompok-kelompok tertentu, seperti kelompok-kelompok agama
yang memiliki pandangan konservatif mengenai isu-isu seksualitas, dapat menjadi
hambatan yang signifikan (Sya’rani, A. R., & Soetomo, A. 2022). Pandangan dan nilai-
nilai agama dapat memainkan peran penting dalam membentuk sikap dan keyakinan
masyarakat, dan ketegangan antara nilai-nilai agama dan isu-isu kesehatan seksual dan
reproduksi dapat menjadi kendala dalam mencapai inklusivitas.
Selain itu, kurangnya penelitian dan evaluasi yang memadai dapat menjadi
kendala. Tanpa pemahaman yang mendalam tentang dampak dan efektivitas kebijakan,
sulit untuk membuat perubahan dan penyesuaian yang diperlukan. Penelitian ini tidak
18
hanya harus bersifat akademis, tetapi juga melibatkan pemantauan dampak langsung
pada masyarakat untuk memahami perubahan perilaku dan pemahaman. Terakhir,
kurangnya pengakuan terhadap pentingnya pendidikan inklusif hak kesehatan seksual
dan reproduksi sebagai bagian integral dari pembangunan masyarakat dapat merintangi
upaya implementasi. Kurangnya kesadaran dari tingkat dasar hingga tingkat kebijakan
dapat menyebabkan kurangnya dukungan dan prioritas untuk upaya ini.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
20
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang : Hak Asasi Manusia. Diakses dari:
https://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/55808/105636/F2072161365/IDN55808
%20IDN.pdf
Zulfa, E. I. (2022, April). Urgensi Pemahaman Kesehatan Reproduksi bagi Remaja Inklusi
dalam Komunitas HKSR (Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi) Jember. In The
Indonesian Conference on Disability Studies and Inclusive Education (Vol. 2, pp. 119-126).
Basuki, U. (2020). Merunut Konstitusionalisme Hak Atas Pelayanan Kesehatan Sebagai Hak
Asasi Manusia. Jurnal Hukum Caraka Justitia, 1(1), 21-41.
Liliane Foundation. (2019). Sexual and Reproductive Health and Rights. Netherlands.
https://www.lilianefonds.org/uploads/media/5d91c46cd43c0/sexual-reproductive-health-
rightsd6d3.pdf?token=/uploads/media/5d91c46cd43c0/sexual-reproductive-health-rights.pdf
Starrs AM, Ezeh AC, Barker G et al. (2018). Accelerate progress—sexual and reproductive
health and rights for all—Lancet Commission. The Lancet.
http://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(18)30293-9/fulltext
Virgianita, A., Dara, A., & Dina, A. (2021). Gerakan Perempuan dan Proyeksi Kesetaraan
Gender Indonesia 2045.
21
Sya’rani, A. R., & Soetomo, A. (2022). Gender, Feminisme Islam, dan Advokasi Terhadap
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
https://www.ohchr.org/en/women/sexual-and-reproductive-health-and-rights
http://pkbi-diy.info/12-hak-kesehatan-reproduksi-seksual-remaja-icpd-1994/
https://scholarhub.ui.ac.id/jhp/vol52/iss1/2
22