Anda di halaman 1dari 25

PENDIDIKAN INKLUSIF HAK KESEHATAN SEKSUAL DAN

REPRODUKSI (HKSR) YANG TERJADI DI INDONESIA

Tugas ini diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Gender, Layanan
Kesehatan Reproduksi dan Seksual

Dosen Pengampu : Istiana Kusumastuti, S.ST, M.Kes

Disusun Oleh :
Ariris Miftahucrohman (02230200012)
Maria Ulfah (02230200009)
Iyah Kesuma (02230200002)

PROGRAM STUDI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS INDONESIA MAJU
2023/2024
KATA PENGANTAR
Pendidikan Inklusif Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi merupakan landasan
krusial dalam upaya menciptakan masyarakat yang sadar, sehat, dan setara. Makalah ini
bertujuan untuk menjelajahi implementasi kebijakan pendidikan inklusif tersebut di Indonesia,
yang menjadi bagian integral dari komitmen negara untuk meningkatkan kesehatan seksual
dan reproduksi penduduknya. Dalam konteks ini, makalah ini membahas berbagai aspek yang
mempengaruhi keberhasilan dan tantangan dalam mengintegrasikan pendidikan hak
kesehatan seksual dan reproduksi ke dalam sistem pendidikan nasional.
Pentingnya mendalami tema ini tak hanya terletak pada upaya menyampaikan
informasi yang akurat dan non-bias tentang anatomi, reproduksi, hubungan sehat, dan isu-isu
kesehatan seksual lainnya, tetapi juga dalam menciptakan lingkungan inklusif yang
mendukung pemahaman holistik dan mempromosikan hak setiap individu terhadap kesehatan
seksual dan reproduksinya. Dengan memandang nilai-nilai hak asasi manusia dan komitmen
internasional, makalah ini memberikan tinjauan mendalam terkait perubahan kurikulum
pendidikan formal, pelatihan guru, kampanye penyuluhan, dan peningkatan akses terhadap
layanan kesehatan reproduksi.
Selain membahas faktor-faktor pendukung yang memperkuat implementasi kebijakan,
makalah juga menggali faktor-faktor hambatan yang dapat merintangi kemajuan program
pendidikan inklusif ini. Resistensi budaya, keterbatasan sumber daya, kurangnya dukungan
keluarga, permasalahan kebijakan, hingga tantangan teknologi menjadi sorotan kritis dalam
memahami kompleksitas pelaksanaan kebijakan ini di Indonesia. Dalam mengurai topik ini,
makalah ini diharapkan dapat memberikan wawasan mendalam bagi pembaca tentang upaya
konkret yang telah dilakukan, hambatan yang dihadapi, dan langkah-langkah strategis yang
dapat diambil untuk memastikan bahwa pendidikan inklusif hak kesehatan seksual dan
reproduksi tetap menjadi prioritas dalam pembangunan masyarakat.
Semoga makalah ini menjadi kontribusi bermakna dalam mendukung perjalanan
Indonesia menuju masyarakat yang lebih sehat, setara, dan berdaya. Penulisan makalah ini
tidak lepas dari dukungan berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi dan inspirasi.
Semoga makalah ini dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai isu
kesehatan seksual dan reproduksi remaja penyandang disabilitas serta merangsang
perbincangan lebih lanjut untuk perubahan yang positif.
Jakarta, 1 Februari 2024

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 3
1.3 Tujuan .............................................................................................................................. 3
BAB II ISI DAN PEMBAHASAN.......................................................................................... 5
2.1 Definisi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) ............................................. 5
2.2 Implementasi Kebijakan ................................................................................................ 10
2.3 Faktor Pendukung dalam Implementasi Kegiatan ......................................................... 12
2.4 Faktor Hambatan dalam Implementasi Kegiatan ...........................................................15
BAB III PENUTUP................................................................................................................ 20
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemahaman akan kesehatan digolongkan sebagai bagian dari hak asasi manusia
(HAM) yang telah berkembang seiring dengan sejarah perkembangan HAM di dunia.
Hak kesehatan dilindungi oleh berbagai instrumen HAM seperti Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (DUHAM), preambule konstitusi WHO, serta dijamin pula dalam Pasal
12 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) dan Pasal
11 European Social Charter (ESC). Di Indonesia, kesehatan juga menjadi bagian dari
hak konstitusional sejak masa berlakunya Konstitusi RIS 1949, kemudian ketentuan
mengenai hal ini diadopsi pulapada UUDS 1950 sampai UUD NRI 1945 pasca
amandemen. Dengan demikian, makna kesehatan tidak lagi terbatas sebagai ilmu
kedokteran (medicine) semata, tapi juga telah menjadi bagian dari HAM yang wajib
dijamin oleh negara.(Aulia, Yunita, 2022)

Pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi (KSR) merupakan elemen penting


dalam upaya menciptakan masyarakat yang sehat secara menyeluruh. Indonesia, sebagai
negara yang dikenal dengan keberagaman budaya, bahasa, dan tradisi, menghadapi
tantangan yang semakin kompleks dalam mengimplementasikan pendidikan KSR yang
inklusif. Di tengah dinamika perubahan sosial, budaya, dan ekonomi, pemahaman
menyeluruh tentang aspek-aspek kesehatan reproduksi menjadi esensial untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Pendidikan kesehatan reproduksi dapat diberikan kepada seluruh warga Indonesia


karena pendidikan kesehatan reproduksi merupakan hak bagi seluruh warga Indonesia
baik dari usia dini hingga dewasa dan khususnya bagi remaja. Pendidikan kesehatan
reproduksi dapat membekali remaja dari resiko kekerasan dan pelecehan seksual, serta
kehamilan yang tidak diinginkan.(Anisa,2022)

Pertumbuhan dan perubahan pesat di Indonesia membawa dampak signifikan


pada pola pikir dan perilaku masyarakat terkait kesehatan reproduksi. Walaupun terdapat
kemajuan positif, seperti peningkatan akses ke layanan kesehatan, masih terdapat
tantangan serius seperti tingginya angka kehamilan remaja dan persebaran penyakit


menular seksual. Oleh karena itu, pendidikan KSR tidak hanya menjadi isu kesehatan
fisik, tetapi juga menyangkut hak, tanggung jawab, dan pemahaman menyeluruh tentang
hak-hak individu dalam konteks kesehatan reproduksi.

Kesehatan reproduksi merupakan isu multidimensional yang tidak dapat diisolasi


dari faktor sosial, budaya, dan ekonomi ( Press, U. G. M. 2021). Pendekatan pendidikan
KSR yang inklusif harus mencakup pemahaman mendalam terkait aspek-aspek ini.
Perbedaan budaya, nilai-nilai lokal, dan norma sosial menciptakan tantangan unik yang
harus diatasi agar pendidikan KSR dapat mencapai efektivitas maksimal. Oleh karena itu,
perluasan wawasan dan pendekatan inklusif menjadi kunci untuk menciptakan program
pendidikan yang dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.

Keberagaman budaya di Indonesia menciptakan kerangka kerja yang kompleks


untuk menyusun dan mengimplementasikan kurikulum pendidikan KSR. Pendekatan
inklusif harus mampu menyesuaikan materi pembelajaran dengan nilai-nilai budaya
setempat, menjadikan konteks budaya sebagai bagian integral dari strategi pengajaran.
Keanekaragaman bahasa dan pemahaman norma sosial masyarakat setiap daerah
memerlukan adaptasi yang bijaksana dalam menyusun materi dan metode pembelajaran,
mengakui bahwa tidak ada pendekatan yang satu ukuran cocok untuk semua.

Selain itu, stigma terhadap topik kesehatan reproduksi masih menjadi kendala
dalam pendidikan KSR. Beberapa masyarakat di Indonesia masih merasa tidak nyaman
membicarakan topik ini secara terbuka. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang
lebih sensitif dan strategi yang dapat mengatasi stigma untuk menciptakan lingkungan
yang mendukung pembelajaran terbuka dan progresif.

Peran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadi faktor penentu dalam
mengatasi tantangan akses dan distribusi informasi. Penggunaan platform daring,
aplikasi kesehatan, dan media sosial dapat membantu menyampaikan informasi kepada
berbagai kelompok masyarakat, termasuk mereka yang berada di daerah terpencil.
Namun, pemanfaatan TIK juga memunculkan tantangan baru terkait literasi digital,
ketersediaan infrastruktur, dan keberlanjutan program.

Dalam konteks ini, penelitian menjadi alat penting untuk menggali lebih dalam
dinamika dan tantangan implementasi pendidikan KSR yang inklusif di Indonesia.
Melibatkan pemangku kepentingan seperti pemerintah, lembaga pendidikan, komunitas,


dan keluarga menjadi esensial untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang
mendukung. Selain itu, evaluasi terus-menerus terhadap program yang sudah ada dan
pengembangan metode baru menjadi langkah krusial untuk meningkatkan efektivitas
pendidikan KSR.

Dengan merinci latar belakang ini, diharapkan penelitian dan implementasi


praktik terbaik dalam pendidikan KSR dapat memberikan kontribusi nyata terhadap
pemahaman dan pencegahan masalah kesehatan reproduksi di masyarakat Indonesia.
Dengan mengintegrasikan nilai-nilai inklusif, adaptasi terhadap keberagaman budaya,
dan memanfaatkan teknologi secara bijaksana, Indonesia dapat memandang masa depan
dengan masyarakat yang lebih sadar dan bertanggung jawab terhadap kesehatan
reproduksi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksud dengan HKSR?


2. Bagaimana isu sektoral terkait seksualitas tercermin dalam masyarakat Indonesia?
3. Apa faktor-faktor yang memengaruhi prilaku seksual dalam kehidupan sehari-hari?
4. Bagaimana tingkat pemahaman dan keterlibatan pihak sekolah, guru, dan orang tua
terhadap konsep pendidikan inklusif kesehatan seksual dan reproduksi?
5. Bagaimana faktor sosial, budaya, dan agama memengaruhi implementasi pendidikan
inklusif kesehatan seksual dan reproduksi, terutama dalam konteks masyarakat
Indonesia?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui apa yang di maksud dengan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi serta
landasan hukum yang berlaku.
2. Mengidentifikasi tingkat integrasi pendidikan inklusi, menilai sejauh mana
pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi telah diintegrasikan secara inklusif
dalam kurikulum pendidikan di berbagai tingkatan.
3. Menganalisis keterlibatan pihak terkait menyelidiki tingkat pemahaman dan
keterlibatan pihak sekolah, guru, dan orang tua dalam konsep pendidikan inklusif
kesehatan seksual dan reproduksi.


4. Menggali faktor sosial, budaya, dan Agama, meneliti bagaimana faktor-faktor sosial,
budaya, dan agama memengaruhi implementasi pendidikan inklusif kesehatan seksual
dan reproduksi, terutama dalam konteks masyarakat Indonesia.


BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

2.1 Definisi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR)

Kesehatan seksual menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah kondisi


kesejahteraan fisik, emosional, mental, dan sosial yang berkaitan dengan seksualitas—
bukan sekadar terbebas dari penyakit dan gangguan seksual. Konsep ini menekankan
pentingnya pendekatan positif terhadap seksualitas dan hubungan seksual, termasuk
pengalaman seksual yang menyenangkan dan aman.(Liliane, 2019)

Kesehatan reproduksi adalah kondisi kesejahteraan fisik, emosional, mental, dan


sosial yang berkaitan dengan reproduksi—bukan sekadar terbebas dari penyakit dan
gangguan, serta meliputi semua hal berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses
reproduksi. Oleh karenanya, setiap orang perlu mendapatkan informasi dan pengetahuan
yang akurat mengenai sistem reproduksi mereka, meliputi metode kontrasepsi yang
aman dan terjangkau, pencegahan dan penanganan penyakit menular seksual termasuk
HIV/AIDS, serta pengetahuan mengenai kesehatan menstruasi, yang didapatkan secara
hormat dan dijaga kerahasiaannya. (Starrs, 2018)

Hak seksual adalah hak semua orang untuk mencari dan mendapatkan informasi
terkait seksualitas secara bebas dari diskriminasi, paksaan atau kekerasan, hak untuk
dihormati integritas tubuhnya, serta keleluasaan untuk mengambil keputusan terkait
aktivitas seksual. Sedangkan Hak reproduksi merupakan hak semua orang untuk
mendapatkan informasi dan layanan kesehatan reproduksi, serta untuk memutuskan dan
menentukan rencana memiliki anak dengan bebas dan bertanggung jawab. Oleh
karenanya, setiap orang perlu mendapatkan informasi mengenai sistem reproduksi yang
akurat dan terbukti secara ilmiah tanpa diskriminasi,paksaan, dan kekerasan. (Liliane,
2019)

Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) adalah terjemahan dari istilah
dalam Bahasa Inggris, Sexual and Reproductive Health and Rights (SRHR) atau juga
Sexual and Reproductive Rights and Health (SRRH). Istilah ini pertama kali muncul dari
peran penting Konferensi Internasional untuk Kependudukan dan Pembangunan


(International Conference on Population and Development) tahun 1994 di Kairo, Mesir.
Hak-hak reproduksi didefinisikan sebagai hak-hak yang mencakup hak-hak manusia
tertentu yang sudah diakui oleh Undang-undanf Nasional, dokumen-dokumen
internasonal tentang hak asasi manusia serta dokumen-dokumen kesepakatan PBB
lainnya yang relevan. Hak- hak ini didasarkan pada pengakuan terhadap hak-hak asasi
semua pasangan dan perseorangan untuk menentukan secara bebas dan bertanggung
jawab akan jumlah anak, jarak, dan saatnya melahirkan anak-anak mereka serta
informasi cara-cara yang dibutuhkan untuk melaksanakannya, serta hak untuk mendapat
derajat kesehatan reproduksi dan seksual yang paling tinggi.

Pada dasarnya secara yuridis keberadaan Hak-hak Reproduksi Perempuan telah


dijamin dalam perjanjian Internasional seperti termasuk dalam CEDAW, Hasil
konferesnsi ICPD ke-4 di Kairo dan konferensi ke-4 tentang perempuan diBeijing.12
Hak tersebut antara lain:

1. Hak mendapat informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi

2. Hak mendapat pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi

3. Hak kebebasan berfikir tentang pelayanan kesehatan reproduksi

4. Hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan

5. Hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran anak.

6. Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksinya

7. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari
perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan seksual

8. Hak mendapatkan manfaat kemajuan, ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan


kesehatan reproduksinya

9. Hak atas kerahasiaan pribadi berkaitan dengan pilihan atas pelayanan dan kehidupan
reproduksinya

10. Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga


11. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga dan
kehidupan reproduksi

12. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan
dengan kesehatan reproduksinya

Dalam: Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,


Undang-Undang No.10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera, dan Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Hal ini memberikan kerangka legal terhadap jaminan pengakuan
dan pemenuhan hak reproduksi di Indonesia terdapat 12 hak-hak reproduksi yang telah
dirumuskan, yaitu:

1. Hak untuk hidup

Setiap perempuan mempunyai hak untuk bebas dari risiko kematian karena kehamilan.

2. Hak atas kemerdekaan dan keamanan

Setiap individu berhak untuk menikmati dan mengatur kehidupan seksual dan
reproduksinya dan tak seorang pun dapat dipaksa untuk hamil, menjalani sterilisasi
dan aborsi.

3. Hak atas kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi

Setiap individu mempunyai hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi termasuk
kehidupan seksual dan reproduksinya.

4. Hak Hak atas kerahasiaan pribadi

Setiap individu mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan seksual dan
reproduksi dengan menghormati kerahasiaan pribadi. Setiap perempuan mempunyai
hak untuk menentukan sendiri pilihan reproduksinya

5. Hak atas kebebasan berpikir

Setiap individu bebas dari penafsiran ajaran agama yang sempit, kepercayaan, filosofi
dan tradisi yang membatasi kemerdekaan berpikir tentang pelayanan kesehatan
reproduksi dan seksual.

6. Hak mendapatkan informasi dan pendidikan


Setiap individu mempunyai hak atas informasi dan pendidikan yang berkaitan dengan
kesehatan reproduksi dan seksual termasuk jaminan kesehatan dan kesejahteraan
perorangan maupun keluarga.

7. Hak untuk menikah atau tidak menikah serta membentuk dan merencanakan keluarga

Setiap individu berhak untuk tidak dipaksa menikah pada usia anak yaitu 19 tahun
(UU Perkawinan No 16 tahun 2019)

8. Hak untuk memutuskan mempunyai anak atau tidak dan kapan mempunyai anak

9. Hak atas pelayanan dan perlindungan kesehatan

Setiap individu mempunyai hak atas informasi, keterjangkauan, pilihan, keamanan,


kerahasiaan, kepercayaan, harga diri, kenyamanan, dan kesinambungan pelayanan.

10. Hak untuk mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan

Setiap individu mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi


dengan teknologi mutakhir yang aman dan dapat diterima.

11. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik

Setiap individu mempunyai hak untuk mendesak pemerintah agar memprioritaskan


kebijakan yang berkaitan dengan hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi.

12. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk

Termasuk hak-hak perlindungan anak dari eksploitasi dan penganiayaan seksual.


Setiap individu mempunyai hak untuk dilindungi dari perkosaan, kekerasan,
penyiksaan, dan pelecehan seksual

Hak-hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) menjamin setiap individu


untuk dapat mengambil keputusan terkait aktivitas seksual dan reproduksi mereka tanpa
adanya diskriminasi, paksaan, dan kekerasan. HKSR memastikan seorang individu untuk
dapat memilih apakah ia akan melakukan aktivitas seksual atau tidak, kapan dia akan
melakukan aktivitas itu, dan dengan siapa dia akan melakukan aktivitas tersebut. Selain
jaminan terkait aktivitas seksual seseorang, HKSR juga turut menjamin kebebasan
reproduksi seorang individu bahwa seorang individu memiliki kebebasan untuk memilih
apakah ia akan mempunyai anak atau tidak; kapan ia akan memiliki anak; dan akses
terhadap informasi terkait hal-hal tersebut.


HKSR merupakan bagian dari HAM, karena Komponen HKSR berasal dari
komponen-komponen HAM; seperti hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan,
hak untuk mendapatkan privasi, hak untuk mendapatkan pendidikan, dan hak untuk
terbebas dari diskriminasi. Artinya, HKSR layaknya HAM yakni bersifat mutlak dan
universal. Seorang individu tidak perlu melakukan apapun untuk mendapatkan akses
HKSR-nya, karena akses terhadap hak-hak tersebut merupakan bagian yang tidak dapat
dilepas dari keberadaannya sebagai manusia.

The Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR) dan


Committee on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW) dengan jelas
mengindikasikan bahwa hak perempuan atas kesehatan mencakup kesehatan seksual dan
reproduksi mereka. Hal ini berarti bahwa Negara mempunyai kewajiban untuk
menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak yang berkaitan dengan kesehatan
seksual dan reproduksi perempuan. Pelapor Khusus Hak atas Kesehatan menyatakan
bahwa perempuan berhak atas layanan kesehatan reproduksi, serta barang dan fasilitas
yang tersedia dalam jumlah yang memadai, dapat diakses secara fisik dan ekonomi,
dapat diakses tanpa diskriminasi dan berkualitas baik.

Landasan hukum tentang Hak Seksual dan Hak reproduksi, ada beberapa
instrumen (perangkat) hukum yang terkait dengan hak seksual dan hak reproduksi:

1.Konvensi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan (CEDAW)


2.Konferensi Internasional dan Pembangunan (ICPD) PBB pada tahun 1994 di Cairo ,
Mesir
3.Konferensi Dunia ke 4 tentang perempuan (FWCW) tahun 1995 di Beijing, Cina
4.Konvensi Hak- hak Sipil dan Politik (ICCPR)

o Hak atas Kebebasan pribadi ( Pasal 17)


o Hak persamaan (Pasal 26)
o Hak Kebebasan dari diskriminasi (Pasal 2; 1)

5.UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW, Undang-undang No. 23 Tahun
1992 tentang kesehatan, UU No 23 Tahun 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
6.Strategi dan Kebijakan Kesehatan Reproduksi Remaja Nasional (BKKBN).


2.2 Implementasi Kebijakan

Pendidikan inklusif hak kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia adalah


bagian integral dari upaya negara untuk menciptakan masyarakat yang sadar, sehat, dan
setara. Dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai hak asasi manusia, kebijakan ini
mencoba mencakup spektrum yang luas, melibatkan pemerintah, lembaga pendidikan,
masyarakat sipil, dan sektor swasta. Implementasi kebijakan ini bukan hanya mengenai
menyampaikan informasi, tetapi juga menciptakan lingkungan inklusif yang mendukung
pemahaman yang holistik dan mempromosikan hak setiap individu terhadap kesehatan
seksual dan reproduksinya.

Sejak penandatanganan berbagai perjanjian internasional, termasuk Konferensi


Internasional mengenai Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) tahun 1994 (Wilopo,
S.A.1994), Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan kesehatan seksual dan
reproduksi penduduknya. Landasan hukum di tingkat nasional seperti Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 (Agustina, B.2015) tentang Kesehatan dan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2012 (Kisworo, M.2012) tentang Pendidikan Tinggi memberikan dasar
bagi implementasi kebijakan pendidikan inklusif hak kesehatan seksual dan reproduksi.

Implementasi kebijakan dimulai dari perubahan fundamental dalam kurikulum


pendidikan formal. Pendidikan inklusif hak kesehatan seksual dan reproduksi (Zulfa, E. I.
2022, April) diintegrasikan ke dalam mata pelajaran eksisting, mencakup informasi yang
akurat dan non-bias tentang anatomi, reproduksi, hubungan sehat, dan isu-isu kesehatan
seksual lainnya. Pendekatan ini dirancang untuk mencapai inklusivitas sejak dini, mulai
dari tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Adanya panduan dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengenai implementasi kurikulum inklusif
memberikan pedoman yang jelas untuk sekolah-sekolah.

Kunci dari sukses implementasi kebijakan ini adalah pelatihan guru dan tenaga
pendidik. Mereka perlu dilengkapi dengan pengetahuan mendalam tentang isu-isu
kesehatan seksual dan reproduksi, serta strategi untuk mengajar dengan pendekatan
inklusif. Program pelatihan intensif yang melibatkan pihak eksternal seperti ahli
kesehatan reproduksi, psikolog, dan aktivis hak asasi manusia membantu menciptakan
tim pendidik yang siap menghadapi tantangan sensitif ini dengan pemahaman dan
kepekaan.

10
Pentingnya pengetahuan masyarakat akan hak kesehatan seksual dan reproduksi
menjadi fokus dalam penyelenggaraan seminar dan lokakarya. Pemerintah bersama
dengan organisasi non-pemerintah dan lembaga internasional secara aktif
menyelenggarakan kegiatan ini untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat luas.
Seminar ini tidak hanya membahas isu-isu kesehatan reproduksi secara umum tetapi juga
memberikan ruang bagi diskusi terbuka dan pertukaran pandangan mengenai kebijakan
inklusif.

Peran kelompok masyarakat, terutama dari berbagai lapisan dan kelompok


minoritas, menjadi kunci dalam implementasi kebijakan ini. Pemerintah berusaha untuk
menggandeng aktivis Hak Asasi Manusia, kelompok perempuan, pemuda, dan kelompok
etnis tertentu untuk berpartisipasi dalam pembentukan, implementasi, dan evaluasi
kebijakan. Mereka menjadi agen perubahan yang membawa perspektif unik dan
memastikan bahwa kebijakan benar-benar inklusif dan memperhatikan keberagaman
masyarakat

Pendidikan saja tidak cukup akses terhadap layanan kesehatan reproduksi yang
aman dan terjangkau adalah elemen penting dari implementasi kebijakan ini. Pemerintah
bekerja sama dengan lembaga kesehatan dan organisasi non-pemerintah untuk
meningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas layanan kesehatan reproduksi. Ini termasuk
kampanye penyuluhan, program vaksinasi, dan layanan konseling yang dirancang untuk
mendukung kesehatan reproduksi dari masa remaja hingga dewasa.

Meskipun ada kemajuan, implementasi kebijakan pendidikan inklusif hak


kesehatan seksual dan reproduksi dihadapkan pada sejumlah tantangan. Stigma budaya,
resistensi terhadap perubahan sosial, dan keterbatasan sumber daya merupakan beberapa
kendala utama. Oleh karena itu, pendekatan holistik dan partisipatif perlu diperkuat
untuk mengatasi hambatan ini.

Langkah-langkah evaluatif secara rutin menjadi integral dalam proses


implementasi kebijakan. Memonitor dampak kebijakan pada pengetahuan, sikap, dan
perilaku masyarakat, serta mengumpulkan umpan balik dari semua pemangku
kepentingan, membantu merumuskan perbaikan berkelanjutan dan penyesuaian
kebijakan.

11
Melalui implementasi kebijakan ini, dampak positif telah terlihat pada tingkat
kesadaran masyarakat terhadap hak kesehatan seksual dan reproduksi. Masyarakat
menjadi lebih terbuka untuk berbicara mengenai isu-isu ini, mengurangi stigma terkait,
dan menciptakan lingkungan yang mendukung. Penurunan angka kehamilan remaja dan
peningkatan dalam pencarian layanan kesehatan reproduksi yang aman menjadi indikator
keberhasilan langkah-langkah implementatif ini.

Meskipun telah ada progres yang signifikan, menjaga momentum positif dan
memastikan keberlanjutan kebijakan menjadi tantangan berkelanjutan. Kolaborasi antara
pemerintah, organisasi non-pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil diperlukan
untuk memastikan bahwa pendidikan inklusif hak kesehatan seksual dan reproduksi tetap
menjadi prioritas dalam agenda nasional.

Pentingnya hak kesehatan seksual dan reproduksi dalam menciptakan masyarakat


yang sehat dan setara harus ditekankan dalam deklarasi komitmen masa depan. (Basuki,
U. 2020) Mendorong keterlibatan aktif pihak-pihak terkait, mengadvokasi perubahan
positif dalam regulasi, dan memastikan bahwa hak kesehatan seksual dan reproduksi
tetap berada di pusat pembangunan sosial dan ekonomi.

Dengan kesadaran menuju masyarakat yang lebih sehat dan setara melalui
implementasi kebijakan pendidikan inklusif hak kesehatan seksual dan reproduksi,
Indonesia tidak hanya menciptakan kesadaran masyarakat terhadap hak kesehatan
seksual dan reproduksi tetapi juga membangun fondasi yang kokoh untuk masyarakat
yang lebih sehat, setara, dan mampu mengambil keputusan yang tepat terkait dengan
aspek intim dan penting dalam kehidupan mereka. Implementasi ini membuka jalan
menuju masa depan yang lebih cerah, di mana setiap individu memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang mendalam tentang hak-hak mereka dan dihormati dalam pengambilan
keputusan pribadi mereka terkait kesehatan seksual dan reproduksi.

2.3 Faktor Pendukung dalam Implementasi Kegiatan

Implementasi kebijakan Pendidikan Inklusif hak kesehatan seksual dan


reproduksi di Indonesia melibatkan serangkaian faktor yang saling melengkapi dan
berinteraksi untuk mencapai tujuan kesadaran dan akses kesehatan yang lebih baik dalam
masyarakat. Sejak Indonesia menandatangani berbagai perjanjian internasional, terutama
Konferensi Internasional mengenai Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) pada tahun

12
1994 (Respati, W. S. 2010), negara ini telah berkomitmen untuk meningkatkan
kesehatan seksual dan reproduksi penduduknya.

Pertama-tama, komunikasi terbuka menjadi fondasi utama dalam memastikan


keberhasilan kebijakan. Dialog berkesinambungan antara pemerintah, lembaga
pendidikan, dan masyarakat menciptakan pemahaman bersama akan urgensi dan manfaat
dari kebijakan ini. Komunikasi transparan bukan hanya berkaitan dengan tujuan
kebijakan, tetapi juga menjelaskan peran masing-masing pihak dalam implementasi dan
manfaat yang diharapkan. Ini menciptakan dasar yang kokoh untuk mendukung
pemahaman holistik mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi.

Komitmen penuh dari pemerintah merupakan faktor penting dalam


mengakselerasi dan memastikan keberlanjutan implementasi kebijakan. Komitmen ini
tercermin dalam dukungan finansial, keberlanjutan program, dan pengawasan yang ketat
terhadap jalannya program. Dengan komitmen yang kuat, pemerintah dapat menjadi
pendorong utama dalam memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya menjadi wacana,
tetapi juga dijalankan secara efektif di lapangan.

Partisipasi aktif masyarakat sipil juga menjadi elemen krusial dalam mengawal
implementasi kebijakan. Organisasi non-pemerintah, aktivis hak asasi manusia, dan
kelompok advokasi membawa suara dan perspektif masyarakat, membantu
mengidentifikasi kebutuhan dan aspirasi yang mungkin tidak terwakili. Mereka berperan
sebagai agen perubahan yang efektif, membentuk kebijakan agar lebih responsif dan
inklusif terhadap keberagaman masyarakat.

Pendidikan inklusif hak kesehatan seksual dan reproduksi memerlukan


pendekatan holistik dalam menyelaraskan kurikulum pendidikan formal. Pembaruan
fundamental dalam kurikulum memastikan bahwa informasi yang akurat dan non-bias
tentang anatomi, reproduksi, hubungan sehat, dan isu-isu kesehatan seksual lainnya
diintegrasikan ke dalam mata pelajaran eksisting. Panduan dari Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan menjadi pedoman yang jelas untuk sekolah-sekolah, membantu
menjalankan kurikulum inklusif yang merata.

Pelatihan guru dan tenaga pendidik merupakan faktor penentu dalam memastikan
bahwa kurikulum yang telah diintegrasikan dapat disampaikan dengan efektif. Guru
yang terlatih dengan baik, bukan hanya dalam hal pengetahuan teknis, tetapi juga dalam

13
aspek sensitivitas dan inklusivitas, dapat membentuk pengalaman pembelajaran yang
positif bagi siswa. Program pelatihan intensif yang melibatkan pihak eksternal seperti
ahli kesehatan reproduksi, psikolog, dan aktivis hak asasi manusia membantu
menciptakan tim pendidik yang siap menghadapi tantangan sensitif ini dengan
pemahaman dan kepekaan.

Kerjasama antar-lembaga menjadi landasan implementasi yang sukses. Sinergi


antara lembaga-lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, dan lembaga pemerintah
lainnya menciptakan ekosistem yang mendukung pencapaian tujuan kebijakan.
Kolaborasi ini mencakup pengembangan program kesehatan reproduksi, pertukaran
sumber daya, dan sharing best practices. Keberlanjutan program ini terjamin melalui
koordinasi yang baik antar-lembaga.

Pendekatan inovatif dalam pembelajaran menjadi salah satu strategi kunci untuk
meningkatkan efektivitas program. Penggunaan teknologi informasi, media interaktif,
dan metode pembelajaran yang menarik membantu meningkatkan keterlibatan siswa.
Platform daring dan aplikasi kesehatan digital memberikan kemudahan akses terhadap
informasi dan sumber daya yang relevan.

Pendekatan gender sensitif menjadi kunci dalam memahami dan menanggapi


kebutuhan unik dari berbagai kelompok gender. Hak kesehatan seksual dan reproduksi
diimplementasikan secara setara untuk semua individu, dengan memahami dinamika
gender yang memengaruhi keputusan dan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi.
Hal ini mencakup pembentukan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender dan
melibatkan laki-laki dan perempuan secara merata dalam kebijakan dan program
kesehatan reproduksi.

Penilaian dan evaluasi berkelanjutan adalah elemen penting dalam


mengidentifikasi keberhasilan dan kendala dalam implementasi kebijakan. Memonitor
dampak kebijakan pada pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat membantu
merumuskan perbaikan berkelanjutan dan penyesuaian kebijakan. Penilaian ini juga
mencakup pengumpulan umpan balik dari semua pemangku kepentingan, termasuk
siswa, orang tua, guru, dan masyarakat umum, untuk memastikan kebijakan benar-benar
mencerminkan kebutuhan dan ekspektasi masyarakat.

14
Keterlibatan sektor swasta menjadi faktor penting dalam menyediakan sumber
daya dan dukungan finansial untuk keberlanjutan program. Mitra strategis dari sektor
swasta dapat membantu dalam menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk
pelaksanaan kebijakan, termasuk pendanaan untuk program pendidikan dan kampanye
penyuluhan. Kerjasama ini memberikan kontribusi pada peningkatan cakupan dan
efektivitas program.

Pendidikan masyarakat melalui seminar, lokakarya, dan kampanye penyuluhan


membantu dalam meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai hak
kesehatan seksual dan reproduksi. Melibatkan masyarakat dalam diskusi terbuka dan
pertukaran pandangan menciptakan lingkungan yang mendukung implementasi
kebijakan. Pendekatan komunitas memungkinkan masyarakat berpartisipasi secara aktif
dalam merancang solusi yang sesuai dengan konteks lokal mereka.

Meskipun telah ada kemajuan yang signifikan, implementasi kebijakan


pendidikan inklusif hak kesehatan seksual dan reproduksi dihadapkan pada sejumlah
tantangan. Stigma budaya, resistensi terhadap perubahan sosial, dan keterbatasan sumber
daya merupakan beberapa kendala utama. Oleh karena itu, pendekatan holistik dan
partisipatif perlu diperkuat untuk mengatasi hambatan ini.

Dengan segala faktor pendukung ini, implementasi kebijakan Pendidikan Inklusif


hak kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia menciptakan dampak positif pada
berbagai lapisan masyarakat. Peningkatan kesadaran, pemahaman yang lebih baik, dan
perubahan positif dalam perilaku terkait kesehatan seksual dan reproduksi menjadi
indikator keberhasilan langkah-langkah implementatif ini. Keterlibatan dan partisipasi
aktif dari seluruh pemangku kepentingan menciptakan lingkungan yang mendukung hak
kesehatan seksual dan reproduksi sebagai hak asasi manusia yang fundamental.

Menjaga momentum positif dan memastikan keberlanjutan kebijakan adalah


tantangan berkelanjutan. Kolaborasi antara pemerintah, organisasi non-pemerintah,
sektor swasta, dan masyarakat sipil diperlukan untuk memastikan bahwa pendidikan
inklusif hak kesehatan seksual dan reproduksi tetap menjadi prioritas dalam agenda
nasional. Deklarasi komitmen untuk masa depan, mendorong keterlibatan aktif pihak-
pihak terkait, mengadvokasi perubahan positif dalam regulasi, dan memastikan bahwa
hak kesehatan seksual dan reproduksi tetap berada di pusat pembangunan sosial dan

15
ekonomi menjadi langkah-langkah krusial untuk memastikan keberlanjutan dan
kemajuan menuju masyarakat yang lebih sehat dan setara.

Melalui kesadaran dan pemahaman yang semakin meningkat, Indonesia berada di


jalur untuk menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan setara, di mana setiap individu
memiliki pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang hak-hak mereka dan
dihormati dalam pengambilan keputusan pribadi mereka terkait kesehatan seksual dan
reproduksi. Implementasi kebijakan ini membuka jalan menuju masa depan yang lebih
cerah, di mana hak-hak ini tidak hanya diakui, tetapi juga dilindungi secara menyeluruh
untuk kesejahteraan seluruh masyarakat.

2.4 Faktor Hambatan dalam Implementasi Kegiatan

Implementasi kebijakan Pendidikan Inklusif Hak Kesehatan Seksual dan


Reproduksi di Indonesia, meskipun diiringi oleh sejumlah faktor pendukung, juga
dihadapi oleh berbagai hambatan yang dapat menghambat kemajuan dan keberhasilan
program. Untuk memahami tantangan ini secara lebih rinci, perlu dilihat secara
mendalam mengenai faktor-faktor hambatan yang mungkin muncul dalam perjalanan
implementasi tersebut. Salah satu hambatan utama yang dihadapi adalah resistensi
budaya. Indonesia memiliki keberagaman budaya yang sangat kaya, namun pada saat
yang sama, berbagai norma dan nilai-nilai tradisional dapat menghambat adaptasi
terhadap perubahan.

Isu-isu terkait dengan konservatisme sosial, stigma terhadap topik kesehatan


seksual dan reproduksi, serta perlawanan terhadap perubahan norma-norma yang telah
ada dapat menjadi tantangan serius (Virgianita, A., Dara, A., & Dina, A. 2021).
Masyarakat yang masih melekat pada nilai-nilai tradisional mungkin merasa tidak
nyaman dengan pendekatan inklusif ini dan meresponnya dengan resistensi. Selain itu,
resistensi terhadap perubahan sosial juga dapat muncul dari sektor-sektor yang mungkin
merasa terancam oleh pergeseran paradigma.

Misalnya, kelompok-kelompok konservatif atau kelompok-kelompok dengan


kepentingan tertentu mungkin menentang pembahasan terbuka dan inklusif mengenai
kesehatan seksual dan reproduksi. Hal ini dapat merintangi upaya penyuluhan dan
pembelajaran terbuka di sekolah-sekolah atau masyarakat umum. Keterbatasan sumber
daya merupakan hambatan praktis yang dapat merintangi implementasi kebijakan.

16
Pendidikan inklusif hak kesehatan seksual dan reproduksi membutuhkan investasi
finansial yang signifikan untuk pelatihan guru, pengembangan materi pembelajaran,
penyelenggaraan seminar dan lokakarya, serta penyediaan akses layanan kesehatan
reproduksi. Di tengah keterbatasan anggaran dan prioritas lainnya, pemerintah dan
lembaga terlibat mungkin menghadapi dilema dalam alokasi sumber daya untuk
mendukung implementasi penuh kebijakan ini.

Selain itu, kurangnya keterlibatan keluarga dalam mendukung pemahaman


seksualitas juga menjadi hambatan. Banyak keluarga yang masih merasa canggung atau
tidak nyaman untuk membahas topik-topik sensitif ini di rumah. Kurangnya pemahaman
dan dukungan keluarga dapat menghambat efektivitas pendidikan inklusif hak kesehatan
seksual dan reproduksi, karena lingkungan pendidikan yang seharusnya melibatkan
keluarga sebagai mitra dalam pembelajaran mungkin tidak dapat mencapai potensi
penuhnya. Terkait dengan kurangnya dukungan keluarga, peran keluarga dalam
membentuk pemahaman seksualitas dapat menjadi hambatan serius.

Keluarga seringkali dianggap sebagai agen sosialisasi utama, dan kurangnya


pendidikan dan dukungan dari keluarga dapat meninggalkan celah besar dalam
pemahaman seksualitas anak-anak dan remaja. Pendidikan inklusif hak kesehatan
seksual dan reproduksi yang terpisah dari dukungan keluarga dapat menemui resistensi
atau bahkan kebingungan dari siswa yang mungkin merasa tidak nyaman atau tidak
mendapat dukungan dari lingkungan keluarga mereka. Selanjutnya, masalah kebijakan
dan regulasi mungkin menjadi batasan signifikan dalam implementasi. Ketidakselarasan
antara berbagai peraturan dan kebijakan di tingkat lokal dan nasional dapat menciptakan
kebingungan dan hambatan administratif.

Selain itu, kebijakan yang mungkin tidak cukup mendukung atau bahkan
kontraproduktif dapat merintangi upaya implementasi. Terkait dengan kebijakan,
terdapat juga hambatan terkait dengan kurangnya koordinasi antar-sektor dan lembaga.
Implementasi kebijakan ini memerlukan kolaborasi antara lembaga-lembaga pendidikan,
kesehatan, pemerintah, dan sektor swasta. Ketidakmampuan untuk mencapai koordinasi
yang efektif dapat memperlambat proses implementasi dan mengurangi dampak positif
yang diharapkan.

17
Resistensi dari kelompok-kelompok tertentu, seperti kelompok-kelompok agama
yang memiliki pandangan konservatif mengenai isu-isu seksualitas, dapat menjadi
hambatan yang signifikan (Sya’rani, A. R., & Soetomo, A. 2022). Pandangan dan nilai-
nilai agama dapat memainkan peran penting dalam membentuk sikap dan keyakinan
masyarakat, dan ketegangan antara nilai-nilai agama dan isu-isu kesehatan seksual dan
reproduksi dapat menjadi kendala dalam mencapai inklusivitas.

Masalah kesenjangan gender juga menjadi faktor hambatan yang signifikan.


Budaya patriarki yang masih kuat di beberapa wilayah dapat membatasi akses dan hak
perempuan dalam mendapatkan informasi dan layanan kesehatan reproduksi.
Ketidaksetaraan gender dalam pendidikan dan pengambilan keputusan di masyarakat
juga dapat merintangi upaya inklusivitas dan menyulitkan pencapaian kesetaraan dalam
hak kesehatan seksual dan reproduksi.

Faktor hambatan lainnya termasuk ketidakmampuan untuk mengatasi mitos dan


disinformasi yang tersebar luas mengenai kesehatan seksual dan reproduksi. Edukasi
masyarakat memerlukan waktu dan upaya yang berkelanjutan, dan dalam situasi di mana
masyarakat mungkin telah terpapar pada informasi yang salah atau bias, upaya untuk
mengoreksi persepsi dapat menjadi tugas yang menantang. Tantangan teknologi dan
akses informasi juga perlu diperhatikan. Meskipun teknologi informasi dapat menjadi
alat yang kuat untuk menyampaikan informasi, namun di beberapa daerah, akses
terhadap teknologi mungkin terbatas.

Ketidaksetaraan dalam akses internet atau kekurangan infrastruktur teknologi


dapat merugikan upaya menyampaikan pendidikan inklusif hak kesehatan seksual dan
reproduksi secara merata di seluruh negeri. Keterlibatan sektor swasta, sementara dapat
menjadi faktor pendukung, juga dapat menjadi sumber hambatan jika tujuan bisnis dan
keuntungan ekonomi menjadi prioritas utama. Keterlibatan sektor swasta yang terlalu
dominan dalam penyediaan layanan kesehatan reproduksi dapat mengarah pada
pelayanan yang tidak merata dan dapat meninggalkan kelompok masyarakat tertentu
tidak terlayani.

Selain itu, kurangnya penelitian dan evaluasi yang memadai dapat menjadi
kendala. Tanpa pemahaman yang mendalam tentang dampak dan efektivitas kebijakan,
sulit untuk membuat perubahan dan penyesuaian yang diperlukan. Penelitian ini tidak

18
hanya harus bersifat akademis, tetapi juga melibatkan pemantauan dampak langsung
pada masyarakat untuk memahami perubahan perilaku dan pemahaman. Terakhir,
kurangnya pengakuan terhadap pentingnya pendidikan inklusif hak kesehatan seksual
dan reproduksi sebagai bagian integral dari pembangunan masyarakat dapat merintangi
upaya implementasi. Kurangnya kesadaran dari tingkat dasar hingga tingkat kebijakan
dapat menyebabkan kurangnya dukungan dan prioritas untuk upaya ini.

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Implementasi kebijakan Pendidikan Inklusif Hak Kesehatan Seksual dan


Reproduksi di Indonesia merupakan bagian penting dari upaya negara untuk
menciptakan masyarakat yang sadar, sehat, dan setara. Kebijakan ini melibatkan
pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat sipil, dan sektor swasta, dengan fokus pada
integritas hak asasi manusia. Langkah-langkah implementatif melibatkan perubahan
kurikulum pendidikan formal, pelatihan guru, kampanye penyuluhan, dan peningkatan
akses terhadap layanan kesehatan reproduksi.

Faktor pendukung dalam implementasi mencakup komunikasi terbuka, komitmen


penuh dari pemerintah, partisipasi aktif masyarakat sipil, pendekatan holistik dalam
kurikulum, pelatihan guru, kerjasama antar-lembaga, pendekatan inovatif dalam
pembelajaran, pendekatan gender sensitif, penilaian dan evaluasi berkelanjutan, serta
keterlibatan sektor swasta. Dengan dukungan ini, kebijakan mencapai peningkatan
kesadaran, pemahaman, dan perubahan positif dalam perilaku masyarakat terkait
kesehatan seksual dan reproduksi.

Meskipun demikian, implementasi menghadapi sejumlah tantangan. Resistensi


budaya, keterbatasan sumber daya, kurangnya dukungan keluarga, isu kebijakan,
ketidakmampuan untuk mengatasi mitos, kesenjangan gender, tantangan teknologi, dan
keterlibatan sektor swasta yang tidak teratur menjadi hambatan utama. Peran penting
kelompok minoritas, peran agama, dan kurangnya penelitian dan evaluasi juga menjadi
faktor pembatas.

Melalui penanganan faktor-faktor hambatan ini dan memperkuat dukungan dari


berbagai pihak, diharapkan implementasi kebijakan ini dapat terus menciptakan dampak
positif pada masyarakat Indonesia, memperkuat kesadaran hak kesehatan seksual dan
reproduksi, dan memberikan dasar yang kokoh untuk masyarakat yang lebih sehat, setara,
dan berdaya. Perlu kerjasama antar-pihak dan kesinambungan untuk memastikan
keberlanjutan kebijakan ini sebagai prioritas dalam agenda nasional.

20
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang : Hak Asasi Manusia. Diakses dari:
https://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/55808/105636/F2072161365/IDN55808
%20IDN.pdf

Women's Empowerment Indonesia, (22 Februari 2023 ). Pendidikan Inklusif Kesehatan


Seksual dan Reproduksi (HKSR) (Video) Youtube :
https://www.youtube.com/watch?v=W4GWHXKrIrE

Wilopo, S. A. (1994). Hasil Konferensi Kependudukan di Kairo: Implikasinya pada Program


Kesehatan Reproduksi di Indonesia. Populasi, 5(2), 1-29.

Agustina, B. (2015). Kewenangan Pemerintah Dalam Perlindungan Hukum Pelayanan


Kesehatan Tradisional Ditinjau Dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan. Jurnal Wawasan Yuridika, 32(1), 82-98.

Anisa, R. P (2022).Tingkat Pemahaman Siswa Terhadap Pendidikan Kesehatan Reproduksi


Di SMP Negeri Kota Yogyakarta.Jurnal Spektrum Analisis Kebijakan Pendidikan Vol. 11 (1).
64-78

Respati, W. S. (2010). Problematika remaja akibat kurangnya informasi kesehatan


reproduksi. Formil, 7(1), 1-7.

Zulfa, E. I. (2022, April). Urgensi Pemahaman Kesehatan Reproduksi bagi Remaja Inklusi
dalam Komunitas HKSR (Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi) Jember. In The
Indonesian Conference on Disability Studies and Inclusive Education (Vol. 2, pp. 119-126).

Basuki, U. (2020). Merunut Konstitusionalisme Hak Atas Pelayanan Kesehatan Sebagai Hak
Asasi Manusia. Jurnal Hukum Caraka Justitia, 1(1), 21-41.

Kisworo, M. (2012). Undang-undang no. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Liliane Foundation. (2019). Sexual and Reproductive Health and Rights. Netherlands.
https://www.lilianefonds.org/uploads/media/5d91c46cd43c0/sexual-reproductive-health-
rightsd6d3.pdf?token=/uploads/media/5d91c46cd43c0/sexual-reproductive-health-rights.pdf

Press, U. G. M. (2021). INTERSEKSI GENDER: Perspektif Multidimensional Terhadap Diri,


Tubuh, dan Seksualitas dalam Kajian Sastra. UGM PRESS.

Starrs AM, Ezeh AC, Barker G et al. (2018). Accelerate progress—sexual and reproductive
health and rights for all—Lancet Commission. The Lancet.
http://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(18)30293-9/fulltext

Virgianita, A., Dara, A., & Dina, A. (2021). Gerakan Perempuan dan Proyeksi Kesetaraan
Gender Indonesia 2045.

21
Sya’rani, A. R., & Soetomo, A. (2022). Gender, Feminisme Islam, dan Advokasi Terhadap
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Sexual and Reproductive Health and Rights. Diakses dari:


http://www.unfoundation.org/what-we-do/campaigns-and-initiatives/universal-access-
project/briefing-cards-srhr.pdf

https://www.ohchr.org/en/women/sexual-and-reproductive-health-and-rights

http://pkbi-diy.info/12-hak-kesehatan-reproduksi-seksual-remaja-icpd-1994/

Aulia., Yunita.(2022).Pembaruan Hukum Perlindungan Hak Atas Kesehatan Reproduksi


Perempuan Di Indonesia.Jurnal Hukum dan Pembangunan.52(1).

https://scholarhub.ui.ac.id/jhp/vol52/iss1/2

22

Anda mungkin juga menyukai