Selamat datang dalam mata kuliah Keperawatan Kritis. Modul bahan ajar ini dirancang untuk
membekali Anda dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk merawat
pasien-pasien dalam kondisi kritis dengan kompetensi dan kepercayaan diri yang tinggi.
Keperawatan kritis adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam profesi keperawatan. Ini
memerlukan pemahaman mendalam tentang pemantauan pasien yang cermat, intervensi yang
tepat waktu, dan kerja tim yang efektif. Mata kuliah ini akan membantu Anda memahami dasar-
dasar keperawatan kritis, serta bagaimana beradaptasi dengan perubahan kondisi pasien yang
cepat dan sering kali mengancam nyawa.
Modul ini disusun dengan cermat untuk memastikan bahwa materi yang disajikan mencakup
konsep-konsep kunci dalam keperawatan kritis. Selain itu, modul ini juga akan mengintegrasikan
teori dengan praktik keperawatan kritis, dengan studi kasus nyata dan simulasi.
Kami ingin menggarisbawahi pentingnya peran Anda sebagai mahasiswa dalam proses
pembelajaran ini. Anda diharapkan untuk aktif dalam diskusi, bertanya pertanyaan, dan
berpartisipasi dalam latihan-latihan yang diberikan. Pengalaman ini akan mempersiapkan Anda
untuk menghadapi tantangan dunia nyata yang mungkin Anda temui di lingkungan perawatan
kritis.
Kami berharap bahwa setelah menyelesaikan mata kuliah ini, Anda akan merasa lebih siap dan
yakin dalam merawat pasien-pasien kritis. Keselamatan dan perawatan pasien adalah prioritas
utama, dan melalui pemahaman dan keterampilan yang Anda peroleh dari mata kuliah ini, Anda
akan menjadi bagian yang berharga dalam tim perawatan kesehatan.
Selamat belajar, dan semoga mata kuliah ini memberikan wawasan yang berharga dalam
perjalanan Anda sebagai seorang perawat yang peduli dan berkompeten dalam keperawatan
kritis. Jika Anda memiliki pertanyaan atau memerlukan bantuan, jangan ragu untuk
menghubungi instruktur atau dosen kami. Kami siap membantu Anda mencapai keberhasilan
1
DAFTAR ISI
2
Modul Bahan Ajar Keperawatan Kritis
Modul 1 CPMK 1: Menerapkan filosofi, konsep holistic dan proses keperawatan kritis
Pendahuluan
Selamat datang dalam modul bahan ajar Keperawatan Kritis. Modul ini dirancang untuk
memberikan pemahaman dasar tentang keperawatan kritis, penilaian pasien kritis, dan
manajemen perawatan yang diperlukan. Keperawatan kritis adalah bidang yang sangat penting
dalam dunia perawatan kesehatan, yang memerlukan pemahaman mendalam dan keterampilan
klinis yang kuat.
Mata kuliah ini membahas tentang konsep dan perencanaan asuhan keperawatan yang etis, legal
dan peka budaya pada klien yang mengalami kritis dan mengancam kehidupan. Perencanaan
asuhan keperawatan dikembangkan sedemikian rupa sehingga diharapkan mampu mencegah
atau mengurangi kematian atau kecacatan yang mungkin terjadi
Capaian Pembelajaran
Mahasiswa bertaqwa kepada Tuhan YE dengan menunjukan sikap profesional, menerapkan
prinsip etik, prinsip etik, perspektif hukum dan budaya keperawatan dengan menguasai
keterampilan umum pada bidang keilmuannya melalui pemahami ilmu keperawatan untuk
melakukan asuhan keperawatan berdasarkan pendekatan proses keperawatan pada tatanan
laboratorium dan lapangan (klinik dan komunitas) untuk meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan dan keselamatan pasien dan Mampu melakukan edukasi dengan keterampilan
komunikasi dalam asuhan keperawatan dan informasi ilmiah
3
Tujuan Modul
1. Pemantauan Pasien: Perawat bertanggung jawab untuk memantau kondisi pasien secara
terus-menerus, termasuk tanda-tanda vital seperti tekanan darah, nadi, pernapasan,
suhu, dan saturasi oksigen.
2. Penilaian yang Akurat: Perawat harus mampu melakukan penilaian yang akurat terhadap
pasien, mengidentifikasi perubahan yang mungkin terjadi, dan memberikan perawatan
yang sesuai.
3. Pemberian Terapi: Perawat terlibat dalam memberikan terapi yang diresepkan oleh
dokter, seperti pemberian obat, tindakan medis, dan terapi oksigen.
4
5. Koordinasi Tim: Perawat bekerja dalam tim multidisiplin yang mencakup dokter, ahli gizi,
terapis fisik, dan lainnya. Koordinasi yang baik dalam tim sangat penting untuk merawat
pasien kritis.
6. Pemberian Dukungan Psikososial: Pasien kritis sering mengalami stres fisik dan
emosional yang besar. Perawat memberikan dukungan psikososial kepada pasien dan
keluarga mereka.
7. Edukasi Pasien dan Keluarga: Perawat harus memberikan edukasi kepada pasien dan
keluarganya tentang kondisi pasien, perawatan yang diberikan, dan tanda-tanda
perubahan yang harus diwaspadai.
8. Pencegahan Infeksi: Karena pasien kritis berisiko tinggi terkena infeksi, perawat harus
mematuhi protokol kebersihan yang ketat untuk mencegah penyebaran infeksi.
9. Dokumentasi yang Akurat: Pencatatan yang teliti dan akurat dari tindakan perawat,
respons pasien, dan perubahan dalam kondisi pasien sangat penting.
10. Advokasi Pasien: Perawat juga berperan sebagai advokat pasien, memastikan bahwa
kebutuhan dan hak pasien dihormati.
4. Prinsip Keadilan: Memastikan adilnya alokasi sumber daya dan perawatan kepada semua
pasien tanpa diskriminasi.
6. Prinsip Tanggung Jawab: Perawat memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan
perawatan yang berkualitas dan aman kepada pasien.
8. Prinsip Keterbukaan: Memberikan informasi yang jujur dan akurat kepada pasien dan
keluarganya.
5
Prinsip-prinsip etika ini membantu perawat dalam menghadapi situasi moral yang kompleks yang
mungkin muncul dalam merawat pasien kritis, dan mereka harus berusaha untuk
mengintegrasikan prinsip-prinsip ini dalam praktik keperawatan sehari-hari.
6
memerlukan tindakan lebih lanjut. Pengukuran yang tidak akurat dapat mengarah pada
diagnosis yang salah dan perawatan yang tidak sesuai.
Pemeriksaan laboratorium yang penting adalah bagian integral dari pemantauan pasien
kritis. Ini melibatkan pengambilan dan analisis sampel darah, urine, cairan serebrospinal
(jika diperlukan), dan lain-lain. Pemeriksaan laboratorium dapat memberikan informasi
tentang fungsi organ, kadar elektrolit, keseimbangan cairan, fungsi koagulasi, dan tanda-
tanda infeksi. Contoh pemeriksaan laboratorium yang penting termasuk pengukuran
troponin untuk menilai kerusakan miokardium, analisis gas darah arteri untuk menilai
fungsi pernapasan dan keasaman darah, dan pemeriksaan darah lengkap untuk
memeriksa tanda-tanda infeksi atau anemia.
Pengkajian Nyeri
Pengkajian Nyeri pada Pasien ICU dengan CPOT (Critical-Care Pain Observation Tool)
adalah metode yang digunakan untuk menilai tingkat nyeri pada pasien yang tidak dapat
berkomunikasi secara verbal atau memiliki tingkat kesadaran yang terganggu. CPOT
adalah alat yang dirancang khusus untuk mengidentifikasi nyeri pada pasien di ruang
ICU. Berikut penjelasan mengenai pengkajian nyeri pasien ICU menggunakan CPOT:
1. Tujuan Penggunaan CPOT:
Penggunaan CPOT bertujuan untuk mengukur dan memantau tingkat nyeri pada pasien
ICU yang mungkin tidak dapat mengungkapkan nyeri secara verbal, seperti pasien yang
sedang menjalani ventilasi mekanis atau sedasi yang dalam.
2. Komponen CPOT:
CPOT melibatkan pengamatan terhadap empat komponen yang mencerminkan respons
pasien terhadap nyeri:
a. Ekspresi Wajah: Perawat memeriksa ekspresi wajah pasien, mencari tanda-tanda
seperti meringis, menjulurkan lidah, atau mengernyit yang mungkin menunjukkan nyeri.
7
b. Gerakan Tubuh: Perawat mengamati gerakan tubuh pasien, seperti menggeliat,
mengangkat kaki, atau meronta-ronta, yang dapat menjadi indikator bahwa pasien
merasakan nyeri.
c. Ketegangan Otot: Perawat menilai apakah pasien memiliki ketegangan otot yang
berlebihan, terutama di area wajah, leher, atau lengan.
d. Respon Terhadap Ventilator: Jika pasien sedang dalam ventilasi mekanis, perawat
memperhatikan perubahan pada pengaturan ventilator atau respons pasien terhadap
tekanan pernapasan.
3. Skor CPOT:
Setelah pengamatan dilakukan, perawat memberikan skor untuk setiap komponen CPOT
yang telah diamati. Skala skor umumnya berkisar dari 0 hingga 8, dengan skor lebih tinggi
mengindikasikan tingkat nyeri yang lebih tinggi. Skor dari semua komponen digabungkan
untuk mendapatkan skor CPOT total.
4. Interpretasi Skor CPOT:
5. Tindakan Selanjutnya:
6. Penggunaan Berkala:
Pengkajian dengan CPOT harus dilakukan secara berkala, terutama saat pasien
mengalami perubahan kondisi atau setelah tindakan medis tertentu. Hal ini
memungkinkan perawat untuk memantau respons pasien terhadap perawatan nyeri dan
memastikan bahwa nyeri pasien terkontrol dengan baik.
Penggunaan CPOT dalam pengkajian nyeri pasien ICU sangat penting karena membantu
identifikasi dan penanganan nyeri pada pasien yang tidak dapat berkomunikasi secara
verbal atau sadar. Dengan penggunaan yang tepat, CPOT dapat meningkatkan perawatan
pasien dan kenyamanannya selama masa perawatan kritis
Pemeriksaan fisik, skala GCS, pengukuran tanda vital, pemantauan jantung dan respirasi,
serta pemeriksaan laboratorium yang tepat membantu perawat dalam merawat pasien
8
kritis secara holistik, memantau respons terhadap perawatan, dan mengidentifikasi
masalah yang memerlukan tindakan lebih lanjut. Keakuratan, ketelitian, dan
dokumentasi yang baik dalam semua aspek pemantauan pasien adalah kunci dalam
keperawatan kritis yang berkualitas.
9
6. Tim Medis Multikultural: Keperawatan kritis sering melibatkan tim medis yang
terdiri dari berbagai latar belakang budaya. Perawat perlu bekerja sama dengan
dokter, terapis, dan spesialis lainnya yang mungkin memiliki pemahaman budaya
yang berbeda.
7. Edukasi Pasien: Perawat memiliki peran dalam memberikan edukasi kesehatan
yang sensitif secara budaya kepada pasien dan keluarganya. Ini termasuk
menjelaskan kondisi, perawatan, dan pemulihan dengan mempertimbangkan
bahasa dan keyakinan budaya pasien.
Keperawatan transkultural dalam keperawatan kritis adalah pendekatan yang berpusat
pada pasien, yang bertujuan untuk memberikan perawatan yang terbaik dan paling
efektif sesuai dengan latar belakang budaya pasien. Ini membantu memastikan bahwa
perawatan kritis adalah pengalaman yang terapeutik dan positif, bahkan dalam situasi
yang penuh tekanan.
3. Penjelasan Topik: Dosen memberikan daftar topik yang relevan dengan materi yang
dipelajari dan memberikan sumber daya awal, seperti buku, artikel, atau referensi
lainnya.
4. Pemilihan Topik: Mahasiswa memilih topik yang paling menarik bagi mereka untuk
diteliti lebih lanjut. mahasiswa juga dapat merumuskan pertanyaan penelitian yang ingin
mereka jawab.
10
7. Penyusunan Struktur Makalah: Mahasiswa membuat struktur makalah mereka,
termasuk pengantar, tinjauan pustaka, hasil, pembahasan, dan kesimpulan.
9. Pengeditan dan Revisi: Mahasiswa merevisi dan mengedit makalah mereka untuk
memastikan kejelasan, kohesi, dan akurasi. Mereka juga memeriksa penulisan yang baik
dan benar.
11. Presentasi Kelas: Mahasiswa secara bergantian melakukan presentasi makalah mereka
di depan kelas. Presentasi harus mencakup semua aspek penting yang telah mereka
teliti.
12. Diskusi dan Pertanyaan: Setelah setiap presentasi, kelas dapat mengadakan sesi diskusi
dan mahasiswa dapat mengajukan pertanyaan kepada presenter tentang penelitian
mereka.
13. Penilaian Makalah: Dosen menilai makalah mahasiswa berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan sebelumnya. Penilaian ini bisa melibatkan berbagai aspek, seperti konten,
penulisan, presentasi, dan pemahaman materi.
14. Penilaian Presentasi: Dosen juga menilai presentasi mahasiswa berdasarkan kriteria
tertentu, seperti kemampuan berbicara di depan umum, kejelasan pesan, dan
kemampuan menjawab pertanyaan.
15. Umpan Balik: Setelah penilaian selesai, Dosen memberikan umpan balik kepada
mahasiswa untuk membantu mereka memahami kekuatan dan kelemahan mereka
dalam pembelajaran ini.
16. Refleksi: Mahasiswa dan Dosen bersama-sama merenungkan proses pembelajaran, apa
yang telah dipelajari, dan pengalaman pembelajaran mereka. Ini dapat mengidentifikasi
area yang perlu diperbaiki dan peluang untuk pembelajaran lanjutan.
11
Modul 2 CPMK 2 s.d 6: Melakukan simulasi asuhan keperawatan, simulasi
pendidikan kesehatan, mengintegrasikan hasil-hasil penelitian kedalam
asuhan keperawatan, melaksanakan fungsi advokasi dan komunikasi
dengan kasus kritis terkait gangguan sistem kardiovaskular pada individu dengan
memperhatikan aspek legal dan etis keperawatan kritis
Penjelasan:
PJK/ACS dapat terjadi secara tiba-tiba dan seringkali disertai dengan nyeri dada yang
parah, sesak napas, mual, dan muntah.
Penjelasan:
Pasien dengan GJK mungkin mengalami sesak napas, pembengkakan kaki, kelelahan, dan
ketidaknyamanan di dada.
Perawatan GJK melibatkan penggunaan obat-obatan seperti diuretik, ACE inhibitor, dan
beta-blocker, serta perubahan gaya hidup seperti pengaturan diet rendah garam dan
pengendalian berat badan.
12
Arritmia Jantung:
Arritmia jantung adalah gangguan irama jantung yang dapat menyebabkan denyut jantung
terlalu cepat (tachycardia), terlalu lambat (bradycardia), atau tidak teratur. Ini dapat
mengganggu aliran darah dan mengancam nyawa.
Penjelasan:
Pasien dengan arritmia dapat mengalami detak jantung yang tidak normal atau gejala
seperti pusing, pingsan, atau sesak napas.
Terapi obat-obatan harus diberikan sesuai dengan protokol, dan perawat harus
memantau efek samping obat dan respons pasien.
Penting bagi perawat dalam unit perawatan intensif (ICU) atau ruang rawat intensif (ICU) untuk
memiliki pemahaman mendalam tentang gangguan kardiovaskular dan pengelolaannya.
Perawat perlu siap untuk merespons cepat terhadap perubahan kondisi pasien dan bekerja sama
dengan tim medis untuk memberikan perawatan yang sesuai dan tepat waktu. Dalam
keperawatan kritis, pemantauan yang teliti dan perawatan yang efektif sangat penting dalam
mendukung pemulihan pasien dengan gangguan kardiovaskular.
Pemantauan Pasca-Operasi:
13
Setelah PCI atau pembedahan bypass koroner, pasien akan dipindahkan ke unit
perawatan intensif (ICU) atau unit perawatan kardiovaskular kritis untuk pemantauan
yang ketat.
Pemantauan tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, frekuensi pernapasan, suhu)
dilakukan secara teratur untuk mendeteksi perubahan yang mungkin terjadi.
Pantauan EKG:
Pemantauan Klinis:
Perawat memantau gejala pasien seperti nyeri dada, sesak napas, dan ketidaknyamanan.
Pasien yang mengalami gejala seperti nyeri dada yang persisten atau perburukan gejala
harus segera dinilai.
Terapi Obat:
Pasien mungkin menerima terapi obat yang meliputi antiplatelet (seperti aspirin dan
clopidogrel), antikoagulan (seperti heparin), beta-blocker, dan statin untuk mengurangi
risiko pembekuan darah dan komplikasi pasca-intervensi.
Jika pasien menjalani pembedahan bypass koroner, luka operasi dan daerah donor
vaskular (jika digunakan) perlu dipantau untuk tanda-tanda infeksi, perdarahan, atau
komplikasi lainnya.
Rehabilitasi Jantung:
Pasien dapat direferensikan untuk program rehabilitasi jantung yang membantu dalam
pemulihan fisik dan kardiak setelah PCI atau pembedahan bypass koroner.
Pencegahan Komplikasi:
Pencegahan komplikasi seperti infeksi, trombosis vena dalam, dan atelektasis (kolapsnya
sebagian paru-paru) sangat penting. Pasien dihimbau untuk bergerak dengan hati-hati
dan menjalani terapi fisik jika diperlukan.
Pendidikan Pasien:
14
Pasien dan keluarganya perlu diberikan edukasi tentang perawatan diri pasca-intervensi,
termasuk penggunaan obat-obatan, tanda-tanda peringatan yang harus diwaspadai, dan
perubahan gaya hidup yang diperlukan.
Pasien harus dipantau secara ketat untuk memastikan kepatuhan terhadap pengobatan
dan perubahan gaya hidup yang direkomendasikan oleh tim medis.
Perawatan pasien kritis pasca PCI atau pembedahan bypass koroner adalah proses yang
kompleks dan memerlukan tim perawatan yang terkoordinasi. Pemantauan yang teliti,
manajemen obat yang tepat, rehabilitasi, dan pendidikan pasien adalah komponen penting
dalam perawatan pasien ini. Tujuan utama adalah mendukung pemulihan pasien, mencegah
komplikasi, dan meningkatkan kualitas hidup mereka setelah intervensi kardiovaskular.
Pilih kasus klinik yang relevan dengan materi yang akan diajarkan. Kasus harus
mencakup konsep-konsep penting yang ingin disampaikan kepada mahasiswa.
3. Pendahuluan Kasus:
15
Mulailah tutorial dengan memberikan pemahaman tentang konteks kasus klinik
kepada mahasiswa.
4. Pembagian Kelompok:
Mahasiswa dibagi menjadi kelompok kecil, biasanya 4-6 orang per kelompok.
5. Analisis Kasus:
6. Diskusi Kelompok:
7. Diskusi Kelas:
8. Analisis Alternatif:
9. Evaluasi Hasil:
Mahasiswa juga dapat mengevaluasi solusi yang diajukan oleh kelompok lain.
16
Akhir tutorial, mahasiswa diminta untuk merenungkan pelajaran yang mereka
pelajari dari kasus klinik.
Kesimpulan dari pembelajaran ini dicatat dan digunakan sebagai dasar untuk
memahami konsep-konsep yang telah diajarkan.
Metode studi kasus klinik dengan pendekatan case method memungkinkan mahasiswa untuk
belajar secara aktif, berpikir kritis, dan menerapkan pengetahuan dalam konteks keperawatan
praktis. Ini juga mempromosikan interaksi antar-mahasiswa dan memberikan kesempatan untuk
mendapatkan umpan balik langsung dari instruktur. Dengan tahapan-tahapan ini, pembelajaran
menjadi lebih terstruktur dan efektif.
Unit 3 : Kasus – 1 - kasus klinik ruang ICU pasien dengan Acute Coronary
Syndrome
Data Pasien:
Nama : Ny. SJ
Usia : 62 tahun
Keluhan Utama: Pasien mengalami nyeri dada yang tajam dan berat yang muncul secara tiba-
tiba selama 30 menit, disertai dengan keringat dingin dan sesak napas.
Pemeriksaan Fisik:
Nyeri dada tekanan dengan kualitas seperti dada tertimpa beban dengan skala nyeri 6
Pemeriksaan Laboratorium:
17
Leukosit: 14,000/mm³
Lipid Profil: Kolesterol total 270 mg/dL, LDL 200 mg/dL, HDL 35 mg/dL, Trigliserida 389
mg/dl
Arteri koroner kanan (RCA) dan arteri sirkumfleks (LCx) tampak normal.
EKG menunjukkan elevasi segmen ST di derivasi V2-V6 dan perubahan gelombang T yang
sesuai, yang mengindikasikan infark miokardium dengan elevasi ST.
Terapi Obat:
1. Pasien segera diberikan aspirin untuk mencegah pembekuan darah dan nitrogliserin
untuk mengurangi nyeri dada.
Tindakan Terapi:
2. Dalam prosedur angioplasti koroner dengan stent (PCI), stent ditempatkan di arteri
koroner utama kiri (LAD) untuk memperbaiki aliran darah ke jantung.
Unit 4 : Kasus – 2 - Kasus Klinik ruang ICU Pasien dengan Congestif Heart
Failure (Gagal Jantung)
Data Pasien:
Nama: Tuan A
Usia: 65 tahun
18
Jenis Kelamin: Laki-laki
Anamnesis: Tuan A datang ke unit ICU dengan keluhan sesak napas yang semakin memburuk
dalam 2 hari terakhir. Ia melaporkan adanya peningkatan pembengkakan pada kedua kaki dan
perutnya. Tuan A juga merasakan kelelahan yang luar biasa dan mengatakan bahwa ia kesulitan
tidur di malam hari karena kesulitan bernapas.
Pemeriksaan Fisik:
Tanda-tanda vital: Tekanan darah 160/100 mmHg, denyut nadi 100 bpm, frekuensi
pernapasan 26 per menit, suhu 37°C.
Pada pemeriksaan fisik, terdapat pembengkakan pada ekstremitas bawah, perut, dan
leher. Distensi vena jugularis (JVD) juga terlihat meningkat.
Bunyi jantung S3 terdengar, dan terdapat ronki pada kedua lapangan paru.
1. Elektrokardiogram (EKG):
Pada hasil CXR, terlihat perluasan bayangan jantung dan pelebaran pembuluh
darah vena pulmonalis, menunjukkan adanya kongesti paru.
3. Echocardiogram (Ekoardiografi):
Hasil ABG kadar karbon dioksida (PaCO2) 87% dan penurunan kadar oksigen
60% (PaO2) dalam darah arteri, mengindikasikan gangguan pertukaran gas.
5. Pemeriksaan Laboratorium:
B-type natriuretic peptide (BNP): 800 pg/mL (Normal: < 100 pg/mL)
19
Gula darah (glukosa): 180 mg/dL (Normal: 70-100 mg/dL)
Diagnosis: Tuan A didiagnosis dengan Congestive Heart Failure (Gagal Jantung Kongestif) yang
disebabkan oleh disfungsi sistolik ventrikel kiri. Hasil pemeriksaan menunjukkan tanda-tanda
kongesti paru dan peningkatan BNP, yang merupakan biomarker umum untuk Gagal Jantung
Kongestif.
Nama: Ibu B
Usia: 58 tahun
Keluhan Utama: Ibu B dirawat di unit perawatan intensif (ICU) dengan keluhan detak jantung
yang tidak teratur, palpitasi, dan nyeri dada.
Anamnesis: Ibu B telah mengalami gejala-gejala seperti detak jantung yang tidak teratur, yang
terkadang dirasakan berdebar-debar di dada. Keluhan ini telah berlangsung selama beberapa
minggu terakhir. Ia juga mengalami nyeri dada yang tumpul yang terkadang menjalar ke lengan
kiri.
Pemeriksaan Fisik:
Tanda-tanda vital: Tekanan darah 160/100 mmHg, denyut nadi 120 bpm, frekuensi
pernapasan 18 per menit, suhu 37°C.
Pada pemeriksaan fisik, terdapat palpitasi jantung dan bunyi jantung yang tidak normal.
1. Elektrokardiogram (EKG):
Hasil CXR normal tanpa tanda-tanda kongesti paru atau perubahan patologis
lainnya.
3. Echocardiogram (Ekoardiografi):
20
Ekoardiogram menunjukkan adanya gangguan kontraktilitas ventrikel kiri, yang
mungkin berkaitan dengan PJK.
Diagnosis: Ibu B didiagnosis dengan aritmia jantung, yang termasuk episode takikardia ventrikel,
serta gangguan kontraktilitas ventrikel yang mungkin berhubungan dengan penyakit jantung
koroner (PJK).
Unit 6 : Kasus – 4 - Kasus Klinik ruang ICU Pasien dengan ACS Pasca PCI
Data Pasien:
Nama: Tuan C
Usia: 62 tahun
Keluhan Utama: Tuan C dirawat di unit perawatan intensif (ICU) setelah menjalani pemasangan
stent koroner melalui Percutaneous Coronary Intervention (PCI). Keluhan utama adalah nyeri
dada dan sesak napas yang berlangsung sejak beberapa hari yang lalu.
Anamnesis: Tuan C memiliki riwayat PJK yang sudah lama. Beberapa hari yang lalu, ia mengalami
nyeri dada yang semakin parah, yang menjalar ke lengan kiri. Setelah konsultasi dengan dokter,
ia menjalani PCI yang melibatkan pemasangan stent koroner.
Pemeriksaan Fisik:
Tanda-tanda vital: Tekanan darah 140/90 mmHg, denyut nadi 80 bpm, frekuensi
pernapasan 18 per menit, suhu 37°C.
Pada pemeriksaan fisik, terdapat nyeri dada yang tertentu saat ditekan di sekitar lokasi
stent.
1. Elektrokardiogram (EKG):
3. Echocardiogram (Ekoardiografi):
21
Ekoardiogram menunjukkan fraksi ejeksi jantung yang rendah dan gangguan
kontraktilitas ventrikel kiri.
ABG menunjukkan penurunan kadar oksigen (PaO2) dalam darah arteri dan
peningkatan kadar karbon dioksida (PaCO2), mengindikasikan gangguan
pertukaran gas.
Diagnosis: Tuan C didiagnosis dengan gagal jantung kongestif akut pasca-pemasangan stent PCI.
Hasil pemeriksaan menunjukkan tanda-tanda penurunan fungsi jantung dan edema paru.
22
Modul 3 CPMK 2 s.d 6: Melakukan simulasi asuhan keperawatan, simulasi
pendidikan kesehatan, mengintegrasikan hasil-hasil penelitian kedalam asuhan
keperawatan, melaksanakan fungsi advokasi dan komunikasi dengan kasus kritis
terkait gangguan sistem respiratoryr pada individu dengan memperhatikan aspek legal
dan etis keperawatan kritis
Definisi ARDS: ARDS adalah gangguan pernapasan yang ditandai dengan kerusakan
paru-paru yang akut, menyebabkan penurunan kapasitas pertukaran gas dan hipoksia
berat.
Tanda dan Gejala: Sesak napas yang parah, penurunan saturasi oksigen, peningkatan
frekuensi pernapasan, dan perburukan keadaan umum.
Ventilasi Mekanis: Banyak pasien ARDS memerlukan ventilasi mekanis. Strategi ventilasi
yang aman dan terukur diperlukan.
Definisi PPOK: PPOK adalah kelompok penyakit paru obstruktif kronis yang meliputi
bronkitis kronis dan emfisema.
Penyebab PPOK: Merokok adalah penyebab utama PPOK. Polusi udara dan faktor
genetik juga berperan.
23
3. COVID-19 (Penyakit Coronavirus 2019):
Definisi COVID-19: COVID-19 adalah penyakit pernapasan yang disebabkan oleh virus
SARS-CoV-2.
Tanda dan Gejala: Gejala umum meliputi demam, batuk, sesak napas, dan kelelahan.
Beberapa pasien dapat mengalami gejala parah hingga ARDS.
Ventilasi Mekanis: Pasien dengan gejala berat mungkin memerlukan ventilasi mekanis.
Poin Penting:
Perawat ICU perlu memahami prinsip-prinsip ventilasi mekanis, manajemen cairan, dan
pemantauan tanda vital.
Pencegahan komplikasi seperti infeksi nosokomial dan ulkus dekubitus sangat penting
dalam perawatan pasien kritis.
Edukasi kepada pasien dan keluarga tentang manajemen penyakit dan tindakan
pencegahan perlu menjadi bagian integral dari perawatan.
Perawatan pasien dengan gangguan respiratori yang kritis melibatkan pemantauan yang ketat,
intervensi yang tepat, dan komunikasi yang efektif dengan tim perawatan lainnya. Pemahaman
yang mendalam tentang penyakit, strategi perawatan, dan manajemen komplikasi adalah kunci
keberhasilan dalam memberikan perawatan yang berkualitas.
Pilih kasus klinik yang relevan dengan materi yang akan diajarkan. Kasus harus
mencakup konsep-konsep penting yang ingin disampaikan kepada mahasiswa.
24
Buatlah kasus klinik yang terstruktur dengan baik, menggambarkan latar
belakang pasien, riwayat medis, keluhan, temuan fisik, dan hasil pemeriksaan
yang relevan.
3. Pendahuluan Kasus:
4. Pembagian Kelompok:
Mahasiswa dibagi menjadi kelompok kecil, biasanya 4-6 orang per kelompok.
5. Analisis Kasus:
6. Diskusi Kelompok:
7. Diskusi Kelas:
8. Analisis Alternatif:
25
9. Evaluasi Hasil:
Mahasiswa juga dapat mengevaluasi solusi yang diajukan oleh kelompok lain.
Kesimpulan dari pembelajaran ini dicatat dan digunakan sebagai dasar untuk
memahami konsep-konsep yang telah diajarkan.
Metode studi kasus klinik dengan pendekatan case method memungkinkan mahasiswa untuk
belajar secara aktif, berpikir kritis, dan menerapkan pengetahuan dalam konteks keperawatan
praktis. Ini juga mempromosikan interaksi antar-mahasiswa dan memberikan kesempatan untuk
mendapatkan umpan balik langsung dari instruktur. Dengan tahapan-tahapan ini, pembelajaran
menjadi lebih terstruktur dan efektif.
Unit 3 : Kasus – 1 - Kasus klinik ruang ICU pasien dengan Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS)
Nama: Nyonya D
Usia: 45 tahun
Keluhan Utama: Nyonya D dirawat di unit perawatan intensif (ICU) dengan keluhan sesak napas
yang semakin memburuk, batuk berdahak berwarna kemerahan, dan demam tinggi.
Anamnesis: Nyonya D mengalami gejala sesak napas, batuk, dan demam selama 1 minggu
terakhir. Awalnya, gejalanya ringan, tetapi semakin memburuk dalam beberapa hari terakhir. Ia
mengatakan bahwa ia merasa sangat lelah dan sulit bernapas, bahkan saat istirahat. Ia juga
mengalami kebingungan dan ketidakmampuan untuk tidur karena sesak napas yang parah.
Pemeriksaan Fisik:
Tanda-tanda vital: Tekanan darah 130/90 mmHg, denyut nadi 110 bpm, frekuensi
pernapasan 30 per menit, suhu 38.5°C.
Pada pemeriksaan fisik, terdapat retraksi dinding dada saat pernapasan dan suara
napas yang keras dengan ronki di kedua lapangan paru.
26
Hasil Pemeriksaan Penunjang:
1. Elektrokardiogram (EKG):
Hasil CXR menunjukkan infiltrat difus dan konsolidasi pada kedua lapangan
paru, mengindikasikan adanya penyakit paru yang serius.
3. Echocardiogram (Ekoardiografi):
ABG menunjukkan pH darah 7.21, kadar karbon dioksida (PaCO2) 78 mmHg, dan
kadar oksigen (PaO2) 70 mmHg, s.
Perawatan:
Terapi antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi paru yang mungkin menjadi
penyebab ARDS.
Manajemen nyeri dan pemantauan tanda-tanda vital yang ketat penting dalam
perawatan ARDS.
Kasus ini mencerminkan seorang pasien kritis dengan ARDS yang mungkin terkait dengan
infeksi paru. ARDS adalah kondisi yang serius yang memerlukan perawatan intensif di ICU,
termasuk ventilasi mekanis dan manajemen infeksi yang tepat. Pemeriksaan penunjang yang
cermat adalah kunci dalam diagnosis dan penanganan ARDS.
Unit 4 : Kasus – 2 - Kasus klinik ruang ICU pasien dengan Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK)
Data Pasien:
27
Nama: Nyonya F
Usia: 70 tahun
Keluhan Utama: Nyonya F dirawat di unit perawatan intensif (ICU) dengan keluhan sesak napas
yang semakin memburuk, batuk dengan sputum berwarna kemerahan, dan peningkatan
kelemahan fisik.
Anamnesis: Nyonya F mengalami gejala sesak napas dan batuk yang memburuk selama
beberapa bulan terakhir. Ia juga mengalami penurunan berat badan yang signifikan, kehilangan
selera makan, dan kelemahan fisik yang semakin parah. Ia memiliki riwayat merokok selama 40
tahun dan memiliki diagnosis PPOK.
Pemeriksaan Fisik:
Tanda-tanda vital: Tekanan darah 150/90 mmHg, denyut nadi 110 bpm, frekuensi
pernapasan 28 per menit, suhu 37.8°C.
Pada pemeriksaan fisik, terdapat retraksi dinding dada saat pernapasan, suara napas
yang keras dengan ronki di kedua lapangan paru, dan dada kiri terasa nyeri tekan.
1. Elektrokardiogram (EKG):
Hasil CXR menunjukkan pelebaran ruang udara pada paru-paru dan tanda-tanda
emfisema paru.
3. Echocardiogram (Ekoardiografi):
ABG menunjukkan pH darah 7,17, kadar karbon dioksida (PaCO2) 69 mmHg, dan
kadar oksigen (PaO2) 80 mmHg,
5. Spirometri:
28
Diagnosis: Nyonya F didiagnosis dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang telah
mengalami eksaserbasi akut. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat merokok, gejala klinis,
hasil spirometri yang mengindikasikan obstruksi aliran udara, serta gangguan pertukaran gas
yang signifikan pada ABG.
Terapi Obat
Kasus ini mencerminkan seorang pasien kritis dengan PPOK yang telah mengalami eksaserbasi
akut, memerlukan perawatan intensif di ICU. PPOK adalah penyakit paru kronis yang
memerlukan manajemen jangka panjang, dan eksaserbasi dapat menjadi kondisi yang serius dan
mengancam jiwa. Pemeriksaan penunjang yang cermat adalah kunci dalam diagnosis dan
penanganan PPOK.
Unit 5 : Kasus – 3 - kasus klinik ruang ICU pasien dengan Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK)
Data Pasien:
Nama: Tuan G
Usia: 64 tahun
Riwayat Medis: Tidak ada riwayat penyakit paru sebelumnya, hipertensi, diabetes tipe
2
Keluhan Utama: Tuan G dirawat di unit perawatan intensif (ICU) dengan keluhan sesak napas
yang semakin memburuk, batuk berdahak, demam tinggi, dan kelemahan fisik.
Anamnesis: Tuan G mengalami gejala sesak napas yang semakin parah selama 1 minggu terakhir.
Ia juga mengalami demam tinggi, batuk berdahak dengan sputum berwarna kuning, dan
kelemahan fisik yang semakin parah. Ia memiliki riwayat kontak dengan kasus positif COVID-19.
Pemeriksaan Fisik:
Tanda-tanda vital: Tekanan darah 150/90 mmHg, denyut nadi 120 bpm, frekuensi
pernapasan 40 per menit, suhu 39.5°C.
Pada pemeriksaan fisik, terdapat retraksi dinding dada saat pernapasan, suara napas
yang keras dengan ronki di kedua lapangan paru, dan pergerakan dada yang simetris.
29
Hasil Pemeriksaan Penunjang:
1. Elektrokardiogram (EKG):
Hasil CXR menunjukkan gambaran infiltrat paru yang menyebar, konsolidasi, dan
bayangan ground-glass opasitas yang khas pada COVID-19.
3. Echocardiogram (Ekoardiografi):
Hasil tes PCR COVID-19 positif, mengonfirmasi infeksi aktif dengan virus SARS-
CoV-2.
Terapi Obat
remdesivir
Kasus ini mencerminkan seorang pasien kritis dengan gangguan respiratori yang disebabkan oleh
COVID-19, yang memerlukan perawatan intensif di ICU. COVID-19 adalah penyakit yang dapat
menyebabkan gangguan pernapasan serius, dan perawatan intensif, termasuk ventilasi mekanis,
mungkin diperlukan untuk mendukung pernapasan pasien. Pemeriksaan penunjang dan
tindakan medis yang cepat sangat penting dalam manajemen pasien COVID-19 yang kritis.
30
Modul 4 CPMK 2 s.d 6: Melakukan simulasi asuhan keperawatan, simulasi
pendidikan kesehatan, mengintegrasikan hasil-hasil penelitian kedalam asuhan
keperawatan, melaksanakan fungsi advokasi dan komunikasi dengan kasus kritis
terkait gangguan sistem Perkemihan pada individu dengan memperhatikan aspek legal
dan etis keperawatan kritis
Faktor Risiko:
Diabetes mellitus
Merokok
Obesitas
Usia tua
Tahapan CKD: CKD dibagi menjadi lima tahapan berdasarkan tingkat kerusakan ginjal, yang
dinilai dengan tingkat glomerulus filtrasi (GFR). GFR adalah ukuran seberapa baik ginjal
menyaring limbah dari darah.
1. Tahap 1 (GFR ≥ 90): Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau hampir normal.
2. Tahap 2 (GFR 60-89): Kerusakan ginjal ringan dengan sedikit penurunan GFR.
3. Tahap 3 (GFR 30-59): Kerusakan ginjal moderat dengan penurunan GFR yang signifikan.
4. Tahap 4 (GFR 15-29): Kerusakan ginjal berat dengan penurunan GFR yang substansial.
5. Tahap 5 (GFR < 15): Gagal ginjal akut atau kronis dengan GFR sangat rendah.
Memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal.
31
Sesak napas, kelelahan, anemia, edema, hipertensi pada tahap lanjut.
Komplikasi Serius:
Pada tahap lanjut, CKD dapat berkembang menjadi gagal ginjal, memerlukan terapi
pengganti ginjal seperti dialisis atau transplantasi ginjal.
Pencegahan dan pengelolaan CKD pada tahap awal penting untuk mencegah komplikasi
yang serius.
Kesimpulan: Penyakit Ginjal Kronis adalah kondisi kronis yang mempengaruhi fungsi ginjal dan
dapat berkembang menjadi masalah serius. Pemeriksaan rutin dan manajemen yang tepat pada
tahap awal dapat membantu mengendalikan perkembangan penyakit ini dan meningkatkan
kualitas hidup pasien.
Trends dan Issue Ilmiah dalam Perawatan Pasien Kritis dengan Penyakit Ginjal Kronis (CKD) di
ICU
Trend: Pengembangan strategi manajemen cairan yang lebih presisi dan terukur,
termasuk monitoring volume cairan dan berat pasien secara akurat, serta penggunaan
teknologi seperti bioimpedansi untuk evaluasi status cairan.
Isu: Pasien CKD memiliki risiko hipotensi dan gangguan hemodinamik yang dapat
mempengaruhi fungsi ginjal.
Isu: Pasien CKD dengan kebutuhan dialisis sering memerlukan perawatan di ICU.
32
Trend: Peningkatan akses dan ketersediaan perawatan dialisis di ICU, serta
pengembangan teknologi dialisis kontinu yang lebih efisien dan aman.
Isu: Pasien CKD sering mengkonsumsi obat-obatan yang mempengaruhi fungsi ginjal.
Trend: Peningkatan kesadaran tentang dosis obat yang tepat, penghindaran obat
nefrotoksik, dan penggunaan perangkat lunak bantu keputusan klinis untuk
mengoptimalkan manajemen obat.
Isu: Pasien CKD rentan terhadap infeksi, terutama saat dirawat di ICU.
Trend: Protokol ketat dalam pengendalian infeksi dan vaksinasi yang tepat untuk
mengurangi risiko infeksi nosokomial.
Isu: Pasien CKD memerlukan pemahaman yang baik tentang kondisi mereka dan peran
aktif dalam manajemen penyakit.
Trend: Peningkatan edukasi pasien dan keluarga, termasuk pemahaman tentang diet
yang tepat dan perawatan ginjal, serta mengelola obat dengan benar.
Dalam perawatan pasien kritis dengan CKD di ICU, terdapat berbagai tren dan isu ilmiah yang
mempengaruhi manajemen pasien. Perawat ICU perlu mengikuti perkembangan terkini dalam
penanganan CKD dan berkolaborasi dengan tim perawatan multidisiplin untuk memberikan
perawatan yang optimal kepada pasien.
33
Unit 2 : Kegiatan Pembelajaran Case Methode
Pembelajaran dengan metode studi kasus klinik menggunakan pendekatan case method atau
metode kasus merupakan salah satu cara efektif untuk mengajarkan konsep-konsep teoritis
dalam konteks situasi nyata. Berikut adalah tahapan-tahapan pembelajaran tutorial studi kasus
klinik dengan metode case method:
Pilih kasus klinik yang relevan dengan materi yang akan diajarkan. Kasus harus
mencakup konsep-konsep penting yang ingin disampaikan kepada mahasiswa.
3. Pendahuluan Kasus:
Mulailah tutorial dengan memberikan pemahaman tentang konteks kasus klinik
kepada mahasiswa.
4. Pembagian Kelompok:
Mahasiswa dibagi menjadi kelompok kecil, biasanya 4-6 orang per kelompok.
5. Analisis Kasus:
6. Diskusi Kelompok:
34
Setiap kelompok berkumpul untuk berdiskusi dan membahas temuan mereka.
7. Diskusi Kelas:
8. Analisis Alternatif:
9. Evaluasi Hasil:
Mahasiswa juga dapat mengevaluasi solusi yang diajukan oleh kelompok lain.
Metode studi kasus klinik dengan pendekatan case method memungkinkan mahasiswa untuk
belajar secara aktif, berpikir kritis, dan menerapkan pengetahuan dalam konteks keperawatan
praktis. Ini juga mempromosikan interaksi antar-mahasiswa dan memberikan kesempatan untuk
mendapatkan umpan balik langsung dari instruktur. Dengan tahapan-tahapan ini, pembelajaran
menjadi lebih terstruktur dan efektif.
35
Unit 3 : Kasus – 1 - kasus klinik ruang ICU pasien dengan Cronic Kidney
Diseases
Data Pasien:
Usia: 58 tahun
Riwayat Kesehatan: Bapak Arief telah lama menderita Diabetes Mellitus tipe 2 dan
hipertensi arteri. Dia juga memiliki riwayat penyakit ginjal kronis stadium 3 yang telah
dipantau oleh dokter spesialis nefrologi.
Keluhan Utama:
Pemeriksaan Fisik:
Tanda-tanda vital: Tekanan darah tinggi (sistolik 180/ diastolik 100 mmHg), frekuensi
nadi 110 denyut per menit, saturasi oksigen 88%.
Gas darah arteri: pH 7,28, PaO2 68 mmHg, PaCO2 50 mmHg, HCO3- 24 mEq/L
USG ginjal: Memperlihatkan gambaran ginjal dengan ukuran mengecil, dengan tanda-
tanda fibrosis dan struktur ginjal yang tidak merata.
Diagnosis: Berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan, Bapak Arief didiagnosis dengan
eksaserbasi (kambuh akut) penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease) yang disebabkan oleh
peningkatan kadar ureum dan kreatinin dalam darahnya. Selain itu, dia juga mengalami gagal
jantung kongestif dan hipertensi yang tidak terkontrol.
Prognosis: Prognosis Bapak Arief akan sangat bergantung pada respons terhadap hemodialisis
dan pengelolaan komplikasi penyakit ginjal kronis. Kondisi ini bisa menjadi serius dan
36
memerlukan perawatan jangka panjang. Konsultasi dan perawatan oleh seorang nefrologi akan
sangat penting untuk mengelola penyakit ginjal kronis ini secara optimal.
37
Modul 4 CPMK 2 s.d 6: Melakukan simulasi asuhan keperawatan, simulasi
pendidikan kesehatan, mengintegrasikan hasil-hasil penelitian kedalam asuhan
keperawatan, melaksanakan fungsi advokasi dan komunikasi dengan kasus kritis
terkait gangguan sistem endokrin/ gangguan metabolik pada individu dengan
memperhatikan aspek legal dan etis keperawatan kritis
Langkah-langkah Perawatan:
1. Evaluasi Awal:
Ambil sampel darah untuk mengukur pH darah, keton, elektrolit, dan kreatinin.
2. Resusitasi Cairan:
3. Insulin:
Perlu pengawasan ketat terhadap glukosa darah dan penyesuaian dosis insulin.
4. Koreksi Elektrolit:
5. Asidosis:
6. Pantau Komplikasi:
38
Pantau tanda-tanda komplikasi seperti edema otak, gagal jantung, atau gagal
ginjal.
7. Penyebab DKA:
Identifikasi dan perawatan penyebab DKA, seperti infeksi atau penghentian obat
diabetes.
8. Edukasi Pasien:
Berikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang manajemen diabetes yang
lebih baik untuk mencegah kambuhnya DKA.
9. Transfer ke ICU:
Tren dan isu ilmiah dalam riset perawatan pasien kritis dengan Ketoasidosis Diabetikum (DKA)
berkaitan dengan pengembangan pendekatan perawatan yang lebih efektif, identifikasi faktor
risiko, peningkatan pemahaman patofisiologi DKA, dan upaya untuk mengurangi angka kematian
serta komplikasi yang terkait dengan kondisi ini. Berikut beberapa tren dan isu ilmiah yang
relevan:
1. Penggunaan Insulin:
2. Manajemen Cairan:
Isu seputar manajemen cairan tetap menjadi topik penting. Penelitian berfokus
pada strategi cairan yang tepat untuk mencegah edema otak dan komplikasi
lainnya.
3. Koreksi Elektrolit:
39
4. Diagnosis Dini dan Identifikasi Faktor Risiko:
Identifikasi dini pasien yang berisiko tinggi untuk mengembangkan DKA dan
tindakan pencegahan menjadi subjek riset penting.
5. Terapi Adjuvan:
6. Pemantauan Non-invasif:
7. Manajemen Komplikasi:
8. Faktor Genetik:
9. Edukasi Pasien:
Penelitian terkait perawatan intensif pasien DKA dalam unit perawatan intensif
(ICU) dan upaya untuk memperbaiki hasil pasien kritis dengan DKA.
Tren dan isu ini mencerminkan upaya terus-menerus dalam dunia medis untuk meningkatkan
perawatan pasien kritis dengan DKA dan mengurangi komplikasi serta angka kematian yang
terkait dengan kondisi ini. Penelitian lebih lanjut dalam bidang ini diharapkan akan memberikan
wawasan yang lebih baik dan solusi perawatan yang lebih efektif bagi pasien dengan DKA.
40
Unit 2 : Kegiatan Pembelajaran Case Methode
Pembelajaran dengan metode studi kasus klinik menggunakan pendekatan case method atau
metode kasus merupakan salah satu cara efektif untuk mengajarkan konsep-konsep teoritis
dalam konteks situasi nyata. Berikut adalah tahapan-tahapan pembelajaran tutorial studi kasus
klinik dengan metode case method:
Pilih kasus klinik yang relevan dengan materi yang akan diajarkan. Kasus harus
mencakup konsep-konsep penting yang ingin disampaikan kepada mahasiswa.
3. Pendahuluan Kasus:
Mulailah tutorial dengan memberikan pemahaman tentang konteks kasus klinik
kepada mahasiswa.
4. Pembagian Kelompok:
Mahasiswa dibagi menjadi kelompok kecil, biasanya 4-6 orang per kelompok.
5. Analisis Kasus:
6. Diskusi Kelompok:
41
Diskusi kelompok ini membantu mahasiswa untuk berkolaborasi, berbagi ide,
dan memperoleh pemahaman yang lebih dalam.
7. Diskusi Kelas:
8. Analisis Alternatif:
9. Evaluasi Hasil:
Mahasiswa juga dapat mengevaluasi solusi yang diajukan oleh kelompok lain.
Kesimpulan dari pembelajaran ini dicatat dan digunakan sebagai dasar untuk
memahami konsep-konsep yang telah diajarkan.
Metode studi kasus klinik dengan pendekatan case method memungkinkan mahasiswa untuk
belajar secara aktif, berpikir kritis, dan menerapkan pengetahuan dalam konteks keperawatan
praktis. Ini juga mempromosikan interaksi antar-mahasiswa dan memberikan kesempatan untuk
mendapatkan umpan balik langsung dari instruktur. Dengan tahapan-tahapan ini, pembelajaran
menjadi lebih terstruktur dan efektif.
Usia: 42 tahun
42
Riwayat Kesehatan: Ibu Sinta telah didiagnosis menderita Diabetes Mellitus tipe 1
selama 15 tahun. Dia mempunyai riwayat penggunaan insulin yang tidak teratur dan
penyakit ginjal kronis stadium 2.
Keluhan Utama:
Ibu Sinta datang ke unit gawat darurat dengan gejala mual, muntah, nyeri perut yang
hebat, dan kesulitan bernapas.
Pemeriksaan Fisik:
Tanda-tanda vital: Tekanan darah rendah (sistolik 80/ diastolik 50 mmHg), frekuensi nadi
130 denyut per menit, saturasi oksigen 90%, suhu tubuh 38,5°C.
Pemeriksaan fisik menunjukkan kesadaran menurun, nafas cepat dan dalam, dan perut
yang kembung.
Diagnosis: Berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan, Ibu Sintadidiagnosis dengan
Ketoasidosis Diabetikum (DKA) yang disebabkan oleh kegagalan pengelolaan diabetes dan kadar
glukosa darah yang sangat tinggi. Kondisi ini juga disertai dengan asidosis metabolik dan ketosis
yang parah.
Prognosis: Prognosis Ibu Sintatergantung pada seberapa cepat dan efektif DKA dapat dikelola.
Dalam beberapa hari setelah perawatan intensif di ICU, jika responsnya baik, kondisinya dapat
membaik. Namun, perlu perhatian lanjutan terhadap manajemen diabetes dan pengendalian
kadar glukosa darah untuk mencegah kambuhnya DKA di masa depan.
43
Modul 6 CPMK 2 s.d 6: Melakukan simulasi asuhan keperawatan, simulasi
pendidikan kesehatan, mengintegrasikan hasil-hasil penelitian kedalam asuhan
keperawatan, melaksanakan fungsi advokasi dan komunikasi dengan kasus kritis
terkait gangguan sistem Pencernaan pada individu dengan memperhatikan aspek legal
dan etis keperawatan kritis
1. Evaluasi Cepat:
2. Resusitasi Cairan:
Jika pasien mengalami syok atau tanda-tanda dehidrasi yang berat, berikan
cairan intravena (misalnya, larutan saline normal) untuk menggantikan volume
darah yang hilang.
3. Transfusi Darah:
Pertimbangkan transfusi darah jika pasien mengalami anemia berat atau syok
hemoragik. Jenis darah yang tepat harus dipilih berdasarkan pemeriksaan darah
lengkap.
4. Prosedur Endoskopi:
6. Obat Hemostatik:
44
Dalam beberapa kasus, obat-obatan hemostatik seperti epinefrin atau obat
injeksi lainnya dapat digunakan untuk menghentikan perdarahan selama EGD.
7. Koreksi Koagulopati:
Kesimpulan: Perdarahan akut sistem pencernaan dengan melena merupakan kondisi yang
memerlukan perawatan kritis yang cepat dan tepat. Keperawatan harus berfokus pada
menghentikan perdarahan, menjaga stabilitas hemodinamik, dan mengidentifikasi
penyebabnya. Kolaborasi antara tim medis dan perawat sangat penting untuk memastikan
perawatan yang efektif dan pemantauan yang cermat terhadap pasien.
Tren dan issu dalam hasil riset penatalaksanaan pasien kritis akibat perdarahan akut sistem
pencernaan terus berkembang seiring dengan peningkatan pemahaman tentang kondisi ini.
Berikut adalah beberapa tren dan isu utama yang terkait dengan penatalaksanaan pasien kritis
akibat perdarahan akut sistem pencernaan:
2. Terapi Hemostatik: Pengembangan terapi hemostatik yang lebih efektif dan aman untuk
menghentikan perdarahan merupakan isu penting. Ini mencakup penggunaan agen
hemostatik topikal, obat-obatan, dan teknologi intervensi seperti embolisasi arteri.
3. Manajemen Cairan:
Isu manajemen cairan yang tepat dalam pasien perdarahan akut menjadi
perhatian. Strategi resusitasi cairan yang lebih terkontrol dan terpersonalisasi
dikaji.
45
4. Transfusi Darah: Penelitian berfokus pada manajemen transfusi darah yang optimal
untuk pasien perdarahan akut. Hal ini mencakup pemilihan komponen darah yang tepat
dan penentuan ambang batas transfusi.
5. Intervensi Minimal Invasif: Teknik minimal invasif, seperti embolisasi arteri atau
tindakan endoskopik, semakin diterapkan untuk menghentikan perdarahan pada pasien
dengan risiko tinggi untuk pembedahan konvensional.
Tren dalam literatur medis mengenai ambang batas transfusi darah, kapan dan
berapa banyak, seringkali menjadi subjek perdebatan. Penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk memberikan panduan yang lebih jelas.
10. Peran Teknologi Medis: Penggunaan teknologi medis seperti telemedicine dan
pemantauan jarak jauh untuk pengawasan pasien perdarahan akut dalam lingkungan
rumah sakit atau di rumah.
11. Manajemen Pasien Geriatrik: Perdarahan sistem pencernaan pada pasien geriatrik
dapat menimbulkan tantangan tersendiri. Studi tentang manajemen pasien kritis
geriatrik dengan perdarahan akut semakin mendapatkan perhatian.
Tren dan isu-isu ini mencerminkan upaya medis untuk terus meningkatkan perawatan dan
manajemen pasien kritis dengan perdarahan akut sistem pencernaan. Penelitian yang terus
menerus dalam bidang ini diharapkan akan membantu mengoptimalkan hasil pasien dan
mengurangi angka mortalitas yang terkait dengan kondisi ini.
46
dalam konteks situasi nyata. Berikut adalah tahapan-tahapan pembelajaran tutorial studi kasus
klinik dengan metode case method:
Pilih kasus klinik yang relevan dengan materi yang akan diajarkan. Kasus harus
mencakup konsep-konsep penting yang ingin disampaikan kepada mahasiswa.
3. Pendahuluan Kasus:
4. Pembagian Kelompok:
Mahasiswa dibagi menjadi kelompok kecil, biasanya 4-6 orang per kelompok.
5. Analisis Kasus:
6. Diskusi Kelompok:
7. Diskusi Kelas:
47
Kelompok-kelompok tersebut kemudian menyajikan temuan mereka kepada
seluruh kelas.
8. Analisis Alternatif:
9. Evaluasi Hasil:
Mahasiswa juga dapat mengevaluasi solusi yang diajukan oleh kelompok lain.
Kesimpulan dari pembelajaran ini dicatat dan digunakan sebagai dasar untuk
memahami konsep-konsep yang telah diajarkan.
Metode studi kasus klinik dengan pendekatan case method memungkinkan mahasiswa untuk
belajar secara aktif, berpikir kritis, dan menerapkan pengetahuan dalam konteks keperawatan
praktis. Ini juga mempromosikan interaksi antar-mahasiswa dan memberikan kesempatan untuk
mendapatkan umpan balik langsung dari instruktur. Dengan tahapan-tahapan ini, pembelajaran
menjadi lebih terstruktur dan efektif.
Unit 3 : Kasus – 1 -Kasus Klinik Ruang ICU pasien dengan perdarahan akut
gastrointestinal
Data Pasien:
Usia: 65 tahun
Riwayat Kesehatan: Tuan Ali memiliki riwayat hipertensi dan penyakit lambung kronis.
Keluhan Utama:
48
Tuan Ali datang ke unit gawat darurat dengan muntah darah merah segar dalam jumlah
banyak.
Pemeriksaan Fisik:
Tanda-tanda vital: Tekanan darah rendah (sistolik 90/ diastolik 60 mmHg), frekuensi nadi
120 denyut per menit, saturasi oksigen 92% dengan oksigen tambahan.
Diagnosis: Berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan, Tuan Ali didiagnosis dengan
perdarahan akut gastrointestinal yang disebabkan oleh ulkus peptikum pada lambungnya.
Kondisinya sangat serius dan memerlukan penanganan segera.
Prognosis: Prognosis Tuan Ali tergantung pada seberapa cepat dan efektif perdarahan dapat
dikelola. Dalam beberapa hari setelah perawatan intensif di ICU, jika perdarahannya berhasil
dihentikan dan kondisinya stabil, kemungkinan pemulihannya akan meningkat. Namun, perlu
perhatian lanjutan terhadap pengelolaan ulkus peptikum dan tindak lanjut untuk mencegah
kekambuhan perdarahan.
49
Modul 7 CPMK 2 s.d 6: Melakukan simulasi asuhan keperawatan, simulasi
pendidikan kesehatan, mengintegrasikan hasil-hasil penelitian kedalam asuhan
keperawatan, melaksanakan fungsi advokasi dan komunikasi dengan kasus kritis
terkait gangguan sistem Persarafan pada individu dengan memperhatikan aspek legal
dan etis keperawatan kritis
Evaluasi segera dengan menilai tanda-tanda vital, riwayat medis, dan gejala
stroke. Identifikasi tipe stroke (ischemic atau hemoragik) dengan neuroimaging
seperti CT scan atau MRI.
2. Penilaian NIHSS:
Gunakan Skor NIH Stroke Scale (NIHSS) untuk mengukur tingkat keparahan
stroke dan membantu dalam perencanaan perawatan.
3. Terapi Trombolitik:
Jika pasien memenuhi kriteria, pemberian trombolitik intravena seperti
alteplase dapat dilakukan untuk mengatasi stroke iskemik dalam waktu yang
sangat singkat setelah timbulnya gejala.
4. Manajemen Hemodinamik:
Jaga tekanan darah, detak jantung, dan kadar oksigen dalam rentang yang aman.
Kontrol tekanan darah secara hati-hati jika pasien memiliki tekanan darah tinggi
yang signifikan.
6. Manajemen Komplikasi:
50
Pantau perkembangan komplikasi seperti pneumonia, infeksi saluran kemih,
trombosis vena dalam, dan kerusakan kulit pada pasien yang tidak dapat
bergerak.
7. Rehabilitasi Dini:
Mulai rehabilitasi dini, termasuk fisioterapi, terapi bicara, dan terapi okupasi,
untuk memaksimalkan pemulihan pasien.
Berikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang gejala stroke, tindakan
pencegahan, dan perawatan jangka panjang.
Kesimpulan: Perawatan kritis pasien stroke memerlukan tindakan cepat, evaluasi menyeluruh,
dan manajemen komprehensif untuk mengoptimalkan prognosis dan pemulihan. Kolaborasi tim
medis yang efektif dan edukasi kepada pasien dan keluarga juga merupakan bagian penting dari
perawatan stroke yang sukses.
Tren dan issu ilmiah dalam hasil riset penatalaksanaan pasien stroke terus berkembang seiring
dengan peningkatan pemahaman tentang penyakit ini dan upaya untuk meningkatkan
perawatan pasien. Berikut beberapa tren dan isu utama yang terkait dengan penatalaksanaan
pasien stroke:
2. Intervensi Endovaskular:
51
3. Perawatan Stroke Hemoragik:
4. Penggunaan Telemedicine:
Penelitian genetik yang lebih mendalam untuk memahami faktor genetik yang
mempengaruhi risiko dan prognosis stroke.
Analisis data besar (big data) dan penggunaan kecerdasan buatan (artificial
intelligence) untuk mendukung diagnosis dini, pemantauan pasien, dan
peningkatan perawatan stroke.
Tren dan isu-isu ini mencerminkan upaya terus-menerus dalam dunia medis untuk meningkatkan
penatalaksanaan pasien stroke, mengoptimalkan hasil, dan mengurangi dampak penyakit ini
pada tingkat global. Penelitian yang berkelanjutan diharapkan akan memberikan wawasan lebih
lanjut dan solusi inovatif dalam pengobatan dan manajemen stroke.
52
Unit 2 : Ringkasan materi Sistem Persarafan: Trauma Brain Unjury (TBI)
Pendahuluan: Perawatan kritis pada pasien Trauma Brain Injury (TBI) adalah langkah penting
dalam meminimalkan kerusakan otak, mengurangi komplikasi, dan mendukung pemulihan.
Berikut adalah ringkasan materi perawatan kritis terbaru untuk pasien TBI:
Evaluasi Cepat:
Identifikasi dan evaluasi segera terhadap tanda-tanda TBI, termasuk perubahan tingkat
kesadaran, gejala neurologis, dan cedera kepala yang mungkin tidak terlihat.
Penilaian GCS:
Gunakan Glasgow Coma Scale (GCS) untuk mengukur tingkat keparahan TBI dan
memantau respons pasien terhadap stimulus.
Manajemen Tejatdarah:
Pastikan tekanan darah terkontrol untuk mengurangi risiko peningkatan ICP.
Pemantauan ICP:
Pemantauan tekanan intrakranial (ICP) mungkin diperlukan pada TBI berat untuk
menghindari peningkatan tekanan yang dapat merusak otak.
Manajemen Kejang:
Pemberian profilaksis antikonvulsan dapat dipertimbangkan untuk mencegah kejang
pasca-trauma.
Manajemen Kebersihan:
53
Pencegahan infeksi dan perawatan kulit yang baik penting untuk pasien yang
membutuhkan alat bantu pernapasan atau tindakan invasif.
Rehabilitasi Awal:
Mulai rehabilitasi sesegera mungkin, termasuk fisioterapi, terapi bicara, dan terapi
okupasi, untuk memaksimalkan pemulihan pasien.
Kesimpulan: Perawatan kritis pasien TBI terus berkembang seiring dengan peningkatan
pemahaman dan teknologi medis. Mengikuti panduan terbaru dan berkolaborasi dengan tim
medis adalah kunci dalam memberikan perawatan yang optimal dan mendukung pemulihan
pasien TBI.
Trend dan issue ilmiah dalam penatalaksanaan pasien Trauma Brain Injury (TBI) terus
berkembang seiring dengan peningkatan pemahaman tentang kondisi ini dan upaya untuk
meningkatkan perawatan pasien. Berikut adalah beberapa tren dan isu utama yang terkait
dengan penatalaksanaan TBI:
Penggunaan terapi sel punca untuk merangsang regenerasi dan perbaikan otak
pasien TBI adalah area penelitian yang menjanjikan.
54
3. Teknologi Pemantauan Berbasis Sensor:
Terus ada upaya untuk mengembangkan teknik bedah yang lebih canggih dan
inovatif untuk mengatasi TBI, seperti neurostimulasi dan implant otak.
Kecerdasan buatan digunakan untuk menganalisis data pasien TBI secara real-
time, membantu dalam pengambilan keputusan klinis, dan memprediksi hasil
pemulihan.
6. Penilaian Biomarker:
Identifikasi biomarker yang lebih spesifik dan sensitif untuk diagnosis TBI, yang
dapat membantu dalam pemantauan dan penanganan pasien.
7. Perawatan Individualisasi:
8. Pencegahan TBI:
55
Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya TBI, gejala, dan
tindakan yang harus diambil dalam situasi kecelakaan atau cedera.
Tren dan isu-isu ini mencerminkan upaya medis untuk terus meningkatkan penatalaksanaan
TBI, mengoptimalkan hasil pasien, dan mengurangi dampak penyakit ini pada tingkat global.
Penelitian yang berkelanjutan diharapkan akan memberikan wawasan lebih lanjut dan solusi
inovatif dalam pengobatan dan manajemen TBI.
Pilih kasus klinik yang relevan dengan materi yang akan diajarkan. Kasus harus
mencakup konsep-konsep penting yang ingin disampaikan kepada mahasiswa.
3. Pendahuluan Kasus:
56
4. Pembagian Kelompok:
Mahasiswa dibagi menjadi kelompok kecil, biasanya 4-6 orang per kelompok.
5. Analisis Kasus:
6. Diskusi Kelompok:
7. Diskusi Kelas:
8. Analisis Alternatif:
9. Evaluasi Hasil:
Mahasiswa juga dapat mengevaluasi solusi yang diajukan oleh kelompok lain.
Kesimpulan dari pembelajaran ini dicatat dan digunakan sebagai dasar untuk
memahami konsep-konsep yang telah diajarkan.
57
Metode studi kasus klinik dengan pendekatan case method memungkinkan mahasiswa untuk
belajar secara aktif, berpikir kritis, dan menerapkan pengetahuan dalam konteks keperawatan
praktis. Ini juga mempromosikan interaksi antar-mahasiswa dan memberikan kesempatan untuk
mendapatkan umpan balik langsung dari instruktur. Dengan tahapan-tahapan ini, pembelajaran
menjadi lebih terstruktur dan efektif.
Usia: 72 tahun
Riwayat Kesehatan: Bapak Andi memiliki riwayat hipertensi dan penyakit jantung
koroner.
Keluhan Utama:
Bapak Andi dibawa ke unit gawat darurat dengan gejala kelemahan tiba-tiba pada sisi
kanan tubuhnya dan sulit berbicara.
Hasil Pengkajian:
GCS: 10 (Pengukuran Eye (4), Verbal (2), Motor (4))
Pemeriksaan neurologis menunjukkan kelemahan otot yang signifikan pada sisi kanan
tubuh, disartria (kelainan dalam pengucapan kata-kata), dan afasia (gangguan berbicara
dan pemahaman bahasa).
Pemeriksaan Penunjang:
CT scan kepala: Menunjukkan adanya area hiperdensitas di korteks otak sisi kiri,
mengindikasikan stroke iskemik akut
58
Pemeriksaan profil lipid: Menunjukkan kadar lipid yang tinggi dalam darah
Diagnosis: Berdasarkan hasil pengkajian dan pemeriksaan penunjang, Bapak Andi didiagnosis
dengan stroke iskemik akut di area korteks otak sisi kiri.
Prognosis: Prognosis Bapak Andi tergantung pada seberapa cepat dan efektif penanganan
stroke dapat diberikan. Pemulihannya akan melibatkan rehabilitasi jangka panjang untuk
mengatasi gangguan motorik dan komunikasi yang dihasilkan oleh stroke. Selain itu,
pengendalian faktor risiko seperti hipertensi dan penyakit jantung koroner juga penting untuk
mencegah stroke berulang.
Usia: 45 tahun
Riwayat Kesehatan: Tidak ada riwayat penyakit kepala atau neurologis sebelumnya.
Keluhan Utama:
Bapak Rahmat dilarikan ke unit gawat darurat setelah mengalami kecelakaan sepeda
motor. Dia tidak sadar saat tiba di rumah sakit.
Pemeriksaan Diagnostik:
59
CT scan kepala: Menunjukkan adanya perdarahan subdural yang luas dan edema otak
yang signifikan di berbagai lobus otak.
Prognosis: Prognosis Bapak Rahmat sangat bergantung pada sejauh mana kerusakan otak dapat
dikendalikan dan pemulihan yang bisa dicapai. Trauma Brain Injury (TBI) dengan GCS 3 memiliki
prognosis yang serius, dan perlu perawatan yang intensif dan perhatian penuh terhadap
perubahan dalam status pasien. Rehabilitasi jangka panjang mungkin diperlukan untuk
memaksimalkan pemulihan jika pasien dapat pulih dari kondisi kritisnya.
60
Modul 8 CPMK 7: Mendemonstrasikan intervensi keperawatan dengan komplikasi
multiple organ disfungsion (MOD), Sepsis, perawatan pasien dengan ventilator pada
kasus kritis sesuai dengan standar yang berlaku dengan berfikir kreatif dan inovatif
sehingga menghasilkan pelayanan yang efisien dan efektif
1. Sepsis Bundles: Terdapat paket tindakan (bundles) yang dikenal sebagai "Sepsis Bundles"
yang dirancang untuk memastikan pasien sepsis mendapatkan perawatan yang tepat
dan cepat. Ini mencakup langkah-langkah spesifik seperti pemberian antibiotik dalam
waktu 1 jam setelah diagnosis.
2. Penekanan pada Deteksi Dini: Penggunaan alat-alat deteksi dini dan pemeriksaan
laboratorium yang lebih canggih membantu dalam mendeteksi sepsis pada tahap awal,
sehingga perawatan dapat dimulai lebih cepat.
61
5. Manajemen Cairan yang Tepat: Pendekatan manajemen cairan yang tepat (seperti
manajemen cairan yang positif) menjadi perhatian, karena cairan yang berlebih dapat
memicu komplikasi.
6. Perawatan Pasien Pediatrik: Tren dalam perawatan sepsis pada anak-anak dan bayi,
termasuk penggunaan pedoman khusus untuk manajemen sepsis pediatrik.
8. Edukasi Pasien dan Keluarga: Edukasi tentang tanda-tanda sepsis dan peran penting
deteksi dini dalam meningkatkan hasil pasien.
9. Manajemen Jangka Panjang: Manajemen jangka panjang terhadap efek samping dan
dampak psikososial pasien yang selamat dari sepsis semakin mendapatkan perhatian.
Perawatan pasien sepsis terus berkembang dengan pemahaman yang lebih baik tentang kondisi
ini dan upaya untuk meningkatkan diagnosis dini serta pengobatan yang lebih efektif. Mengikuti
tren dan isu-isu terkini dalam penatalaksanaan sepsis adalah penting untuk memberikan
perawatan yang optimal kepada pasien kritis di ICU.
Penyebab Utama MODS: MODS dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk:
1. Sepsis: Infeksi berat yang menyebar ke seluruh tubuh dapat memicu MODS.
2. Trauma Besar: Cedera parah, seperti cedera kepala atau cedera berat pada tubuh, dapat
menyebabkan MODS.
3. Perdarahan Besar: Perdarahan masif atau syok hemoragik bisa menjadi pemicu MODS.
4. Penyakit Inflamasi Kronis: Penyakit seperti penyakit Crohn atau lupus yang parah dapat
meningkatkan risiko MODS.
Patofisiologi MODS:
MODS berkembang karena respons sistemik tubuh terhadap cedera atau infeksi yang
parah. Respon ini melibatkan pelepasan mediator inflamasi yang berlebihan dan bisa
merusak organ-organ vital.
62
Peradangan sistemik yang terlalu aktif dapat mengakibatkan gangguan aliran darah ke
organ-organ, merusak sel-sel organ, dan menyebabkan disfungsi organ.
Gejala MODS: Gejala MODS mungkin bervariasi tergantung pada organ yang terpengaruh,
tetapi tanda-tanda umum meliputi:
Gangguan kesadaran.
Gagal ginjal.
Gangguan pencernaan.
Diagnosis MODS:
Diagnosis MODS didasarkan pada penilaian klinis dan hasil tes laboratorium. Penting
untuk mengidentifikasi organ mana yang terlibat dan seberapa parah disfungsi tersebut.
Perawatan MODS:
Perawatan MODS mencakup penanganan penyebab utama (seperti infeksi atau trauma),
dukungan organ yang terganggu, dan manajemen komplikasi.
Dalam beberapa kasus, pasien mungkin memerlukan perawatan intensif di ICU,
termasuk bantuan pernapasan mekanik atau dialisis.
2. Terapi Imunomodulator: Penelitian terus berfokus pada terapi yang mengatur respons
peradangan sistemik untuk mengurangi kerusakan organ.
Penting untuk diingat bahwa MODS adalah kondisi yang sangat serius dengan tingkat kematian
yang tinggi. Deteksi dini, perawatan intensif, dan manajemen penyebab utama adalah faktor
kunci dalam meningkatkan peluang pemulihan pasien yang mengalami MODS.
63
Unit 3 : Perawatan Pasien dengan Ventilator Update
Ventilator, atau alat bantu pernapasan mekanik, adalah perangkat medis yang digunakan untuk
mendukung pasien yang mengalami kesulitan bernapas atau tidak dapat bernapas secara
mandiri. Perawatan pasien dengan ventilator di ICU adalah tindakan penting dalam pengobatan
pasien kritis. Berikut adalah penjelasan perawatan pasien dengan ventilator yang terkini:
1. Evaluasi Pasien:
Pasien yang membutuhkan ventilator harus dievaluasi secara komprehensif oleh tim
medis. Ini mencakup penilaian tingkat kesadaran, kebutuhan oksigen, dan jenis ventilasi
yang sesuai.
Mode ventilasi yang sesuai dipilih berdasarkan kondisi pasien. Mode umum meliputi
ventilasi tekanan positif (PCV), ventilasi volume (VCV), dan ventilasi tekanan-volume
terukur (PCV-V).
Parameter ventilasi seperti laju pernapasan, tekanan inspirasi, tekanan positif akhir
ekspirasi (PEEP), dan fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) harus diatur sesuai dengan
kebutuhan pasien.
4. Pengawasan Ketat:
Pasien yang menggunakan ventilator harus dipantau secara ketat. Ini mencakup
pemantauan tanda-tanda vital, tingkat oksigen dalam darah, kapnografi (pengukuran
CO2 ekspirasi), dan tekanan dalam sistem pernapasan.
5. Perawatan Sekresi:
Suction (pengisapan) sekresi dari saluran pernapasan pasien secara berkala untuk
mencegah penyumbatan.
Penting untuk memantau tekanan udara di paru-paru pasien dan menghindari ventilasi
yang berlebihan, yang dapat menyebabkan cedera paru-paru.
7. Weaning Ventilator:
Jika pasien mulai pulih, proses "weaning" dimulai, yaitu pengurangan dukungan
ventilator secara bertahap untuk memungkinkan pasien bernapas secara mandiri.
8. Manajemen Infeksi:
64
Pencegahan infeksi terkait ventilator adalah perhatian utama. Praktik kebersihan yang
baik dan perawatan tabung endotrakeal/trakeostomi adalah kunci.
9. Ventilasi Non-invasif:
Ventilasi non-invasif seperti Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) atau Bi-level
Positive Airway Pressure (BiPAP) digunakan untuk beberapa pasien sebagai alternatif
untuk ventilasi invasif.
10. Pemantauan Hemodinamik: - Pemantauan tekanan intrakranial (ICP) atau tekanan arteri
pulmonal (PAP) mungkin diperlukan pada pasien tertentu.
11. Edukasi Pasien dan Keluarga: - Pasien dan keluarga harus diberikan edukasi tentang
penggunaan ventilator, tanda-tanda komplikasi, dan peran mereka dalam perawatan pasien.
12. Tren Terkini: - Penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk memantau dan mengatur
penggunaan ventilator secara lebih presisi. - Penggunaan protokol weaning yang disesuaikan
individu berdasarkan pemantauan hemodinamik. - Peningkatan perhatian terhadap ventilasi
mekanik pada pasien COVID-19. - Manajemen yang lebih canggih dengan ventilator yang
terkoneksi ke sistem informasi kesehatan.
Perawatan pasien dengan ventilator terus berkembang seiring dengan kemajuan dalam
teknologi medis dan pemahaman yang lebih baik tentang penggunaan ventilator yang tepat.
Mengikuti tren terkini dan praktik terbaik adalah kunci dalam memberikan perawatan yang
optimal kepada pasien yang membutuhkan bantuan pernapasan mekanik di ICU.
65
Daftar Pustaka
1. Bench, S & Brown, K. (2011). Critical Care Nursing: Learning from Practice. Iowa:
Blackwell Publishing
2. Burns, S. (2014). AACN Essentials of Critical Care Nursing, Third Edition (Chulay, AACN
Essentials of Critical Care Nursing). Mc Graw Hill
3. Elliott, D., Aitken, L. & Chaboyer, C. (2012). ACCCN’s Critical Care Nursing, 2nd ed.
Mosby: Elsevier Australia
4. Schumacher, L. & Chernecky, C. C. (2009).Saunders Nursing Survival Guide: Critical Care
& Emergency Nursing, 2e. Saunders: Elsevier Inc.
5. Urden, L.D., Stacy, K. M. & Lough, M. E. (2014). Critical care Nursing: diagnosis and
Management. 7th ed. Mosby: Elsevier Inc
6. Welch J, Adam S, Osborne S. (ED). (2017) Critical Nursing Science anda Pactice. Britania
Raya: Oxforrd University Press.
7. Aitken, L., Chaboyer, W., Marshall, A, (2019). Critical Care Nursing. Belanda: Elsevier
Health Science
8. Lough, M.E., Urden, L., Stacy, K.M., (2017). Critical Care Nursing- E-Book: Diagnosis and
Management. America Serikat: Elsevier Health Science
9. Stacy K.M., Urden, L., D.,Mary E. Lough. (ED). (2021). Critical Care Nursing: Diagnosis
anda Management. America Serikat. Elsevier Health Science
10. AACN, Alspach, J. G. (2006). AACN Core Curriculum for Critical Care Nursing, 6th Ed.
Saunders: Elsevier Inc.
11. Comer. S. (2005). Delmar’s Critical Care Nursing Care Plans. 2nd ed. Clifton Park:
Thomson Delmar Learning
12. Porte, W. (2008). Critical Care Nursing Handbook. Sudburry: Jones and Bartlett
Publishers
66