Anda di halaman 1dari 68

KEPERAWATAN

SITI ROHIMAH, S.KEP., NERS., M.KEP


KATA PENGANTAR

Selamat datang dalam mata kuliah Keperawatan Kritis. Modul bahan ajar ini dirancang untuk
membekali Anda dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk merawat
pasien-pasien dalam kondisi kritis dengan kompetensi dan kepercayaan diri yang tinggi.

Keperawatan kritis adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam profesi keperawatan. Ini
memerlukan pemahaman mendalam tentang pemantauan pasien yang cermat, intervensi yang
tepat waktu, dan kerja tim yang efektif. Mata kuliah ini akan membantu Anda memahami dasar-
dasar keperawatan kritis, serta bagaimana beradaptasi dengan perubahan kondisi pasien yang
cepat dan sering kali mengancam nyawa.

Modul ini disusun dengan cermat untuk memastikan bahwa materi yang disajikan mencakup
konsep-konsep kunci dalam keperawatan kritis. Selain itu, modul ini juga akan mengintegrasikan
teori dengan praktik keperawatan kritis, dengan studi kasus nyata dan simulasi.

Kami ingin menggarisbawahi pentingnya peran Anda sebagai mahasiswa dalam proses
pembelajaran ini. Anda diharapkan untuk aktif dalam diskusi, bertanya pertanyaan, dan
berpartisipasi dalam latihan-latihan yang diberikan. Pengalaman ini akan mempersiapkan Anda
untuk menghadapi tantangan dunia nyata yang mungkin Anda temui di lingkungan perawatan
kritis.

Kami berharap bahwa setelah menyelesaikan mata kuliah ini, Anda akan merasa lebih siap dan
yakin dalam merawat pasien-pasien kritis. Keselamatan dan perawatan pasien adalah prioritas
utama, dan melalui pemahaman dan keterampilan yang Anda peroleh dari mata kuliah ini, Anda
akan menjadi bagian yang berharga dalam tim perawatan kesehatan.

Selamat belajar, dan semoga mata kuliah ini memberikan wawasan yang berharga dalam
perjalanan Anda sebagai seorang perawat yang peduli dan berkompeten dalam keperawatan
kritis. Jika Anda memiliki pertanyaan atau memerlukan bantuan, jangan ragu untuk
menghubungi instruktur atau dosen kami. Kami siap membantu Anda mencapai keberhasilan

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ 1


Modul 1 CPMK 1: Menerapkan filosofi, konsep holistic dan proses keperawatan kritis.......... 3
Modul 2 CPMK 2 s.d 6: Melakukan simulasi asuhan keperawatan, simulasi pendidikan
kesehatan, mengintegrasikan hasil-hasil penelitian kedalam asuhan keperawatan,
melaksanakan fungsi advokasi dan komunikasi dengan kasus kritis terkait ......................... 12
Modul 3 CPMK 2 s.d 6: Melakukan simulasi asuhan keperawatan, simulasi pendidikan
kesehatan, mengintegrasikan hasil-hasil penelitian kedalam asuhan keperawatan,
melaksanakan fungsi advokasi dan komunikasi dengan kasus kritis terkait gangguan sistem
respiratoryr pada individu dengan memperhatikan aspek legal dan etis keperawatan kritis 23
Modul 4 CPMK 2 s.d 6: Melakukan simulasi asuhan keperawatan, simulasi pendidikan
kesehatan, mengintegrasikan hasil-hasil penelitian kedalam asuhan keperawatan,
melaksanakan fungsi advokasi dan komunikasi dengan kasus kritis terkait gangguan sistem
Perkemihan pada individu dengan memperhatikan aspek legal dan etis keperawatan kritis 31
Modul 4 CPMK 2 s.d 6: Melakukan simulasi asuhan keperawatan, simulasi pendidikan
kesehatan, mengintegrasikan hasil-hasil penelitian kedalam asuhan keperawatan,
melaksanakan fungsi advokasi dan komunikasi dengan kasus kritis terkait gangguan sistem
endokrin/ gangguan metabolik pada individu dengan memperhatikan aspek legal dan etis
keperawatan kritis.............................................................................................................. 38
Modul 6 CPMK 2 s.d 6: Melakukan simulasi asuhan keperawatan, simulasi pendidikan
kesehatan, mengintegrasikan hasil-hasil penelitian kedalam asuhan keperawatan,
melaksanakan fungsi advokasi dan komunikasi dengan kasus kritis terkait gangguan sistem
Pencernaan pada individu dengan memperhatikan aspek legal dan etis keperawatan kritis 44
Modul 7 CPMK 2 s.d 6: Melakukan simulasi asuhan keperawatan, simulasi pendidikan
kesehatan, mengintegrasikan hasil-hasil penelitian kedalam asuhan keperawatan,
melaksanakan fungsi advokasi dan komunikasi dengan kasus kritis terkait gangguan sistem
Persarafan pada individu dengan memperhatikan aspek legal dan etis keperawatan kritis .. 50
Modul 8 CPMK 7: Mendemonstrasikan intervensi keperawatan dengan komplikasi multiple
organ disfungsion (MOD), Sepsis, perawatan pasien dengan ventilator pada kasus kritis sesuai
dengan standar yang berlaku dengan berfikir kreatif dan inovatif sehingga menghasilkan
pelayanan yang efisien dan efektif...................................................................................... 61

2
Modul Bahan Ajar Keperawatan Kritis

Modul 1 CPMK 1: Menerapkan filosofi, konsep holistic dan proses keperawatan kritis
Pendahuluan

Selamat datang dalam modul bahan ajar Keperawatan Kritis. Modul ini dirancang untuk
memberikan pemahaman dasar tentang keperawatan kritis, penilaian pasien kritis, dan
manajemen perawatan yang diperlukan. Keperawatan kritis adalah bidang yang sangat penting
dalam dunia perawatan kesehatan, yang memerlukan pemahaman mendalam dan keterampilan
klinis yang kuat.

Deskripsi Mata Kuliah

Mata kuliah ini membahas tentang konsep dan perencanaan asuhan keperawatan yang etis, legal
dan peka budaya pada klien yang mengalami kritis dan mengancam kehidupan. Perencanaan
asuhan keperawatan dikembangkan sedemikian rupa sehingga diharapkan mampu mencegah
atau mengurangi kematian atau kecacatan yang mungkin terjadi

Capaian Pembelajaran
Mahasiswa bertaqwa kepada Tuhan YE dengan menunjukan sikap profesional, menerapkan
prinsip etik, prinsip etik, perspektif hukum dan budaya keperawatan dengan menguasai
keterampilan umum pada bidang keilmuannya melalui pemahami ilmu keperawatan untuk
melakukan asuhan keperawatan berdasarkan pendekatan proses keperawatan pada tatanan
laboratorium dan lapangan (klinik dan komunitas) untuk meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan dan keselamatan pasien dan Mampu melakukan edukasi dengan keterampilan
komunikasi dalam asuhan keperawatan dan informasi ilmiah

Capaian Pembelajaran Mata Kuliah

1. Menerapkan filosofi, konsep holistic dan proses keperawatan kritis


2. Melakukan simulasi asuhan keperawatan dengan kasus kritis terkait gangguan berbagai
sistem pada individu dengan memperhatikan aspek legal dan etis
3. Melakukan simulasi pendidikan kesehatan dengan kasus kritis terkait gangguan berbagai
sistem pada individu dengan memperhatikan aspek legal dan etis
4. Mengintegrasikan hasil-hasil penelitian kedalam asuhan keperawatan dalam mengatasi
masalah yang berhubungan dengan kasus kritis terkait berbagai sistem
5. Melakukan simulasi pengelolaan asuhan keperawatan pada individu dengan kasus kritis
terkait berbagai sistem dengan memperhatikan aspek legal dan etis
6. Melaksanakan fungsi advokasi dan komunikasi pada kasus kritis terkait berbagai sistem
7. Mendemonstrasikan intervensi keperawatan pada kasus kritis sesuai dengan standar
yang berlaku dengan berfikir kreatif dan inovatif sehingga menghasilkan pelayanan yang
efisien dan efektif

3
Tujuan Modul

 Memahami konsep dasar keperawatan kritis.

 Mengidentifikasi tanda-tanda dan gejala pasien kritis.

 Memahami pentingnya penilaian pasien kritis.

 Mempelajari manajemen pernapasan pada pasien kritis.

 Mempelajari manajemen sirkulasi pada pasien kritis.

 Mengenal beberapa komplikasi umum pada pasien kritis.

Unit 1: Pengenalan Keperawatan Kritis


Definisi Keperawatan Kritis
Keperawatan Kritis adalah salah satu cabang keperawatan yang memfokuskan pada perawatan
pasien yang mengalami penyakit atau kondisi serius atau mengancam jiwa. Pasien kritis adalah
mereka yang memerlukan pemantauan dan perawatan intensif karena kondisi medis yang
mengancam nyawa, seperti gangguan kardiovaskular, respirasi, neurologis, atau infeksi yang
serius. Pengenalan kepada Keperawatan Kritis melibatkan pemahaman tentang karakteristik
pasien kritis, alasan mengapa mereka memerlukan perawatan intensif, serta aspek-aspek
penting dalam merawat mereka.

Peran dan Tanggung Jawab Perawat dalam Merawat Pasien Kritis:


Perawat memainkan peran yang sangat penting dalam merawat pasien kritis. Beberapa peran
dan tanggung jawab perawat dalam merawat pasien kritis antara lain:

1. Pemantauan Pasien: Perawat bertanggung jawab untuk memantau kondisi pasien secara
terus-menerus, termasuk tanda-tanda vital seperti tekanan darah, nadi, pernapasan,
suhu, dan saturasi oksigen.

2. Penilaian yang Akurat: Perawat harus mampu melakukan penilaian yang akurat terhadap
pasien, mengidentifikasi perubahan yang mungkin terjadi, dan memberikan perawatan
yang sesuai.

3. Pemberian Terapi: Perawat terlibat dalam memberikan terapi yang diresepkan oleh
dokter, seperti pemberian obat, tindakan medis, dan terapi oksigen.

4. Perawatan Ventilasi: Untuk pasien dengan masalah pernapasan, perawat dapat


mengelola ventilasi mekanis dan memantau pengaturan ventilator.

4
5. Koordinasi Tim: Perawat bekerja dalam tim multidisiplin yang mencakup dokter, ahli gizi,
terapis fisik, dan lainnya. Koordinasi yang baik dalam tim sangat penting untuk merawat
pasien kritis.

6. Pemberian Dukungan Psikososial: Pasien kritis sering mengalami stres fisik dan
emosional yang besar. Perawat memberikan dukungan psikososial kepada pasien dan
keluarga mereka.

7. Edukasi Pasien dan Keluarga: Perawat harus memberikan edukasi kepada pasien dan
keluarganya tentang kondisi pasien, perawatan yang diberikan, dan tanda-tanda
perubahan yang harus diwaspadai.

8. Pencegahan Infeksi: Karena pasien kritis berisiko tinggi terkena infeksi, perawat harus
mematuhi protokol kebersihan yang ketat untuk mencegah penyebaran infeksi.

9. Dokumentasi yang Akurat: Pencatatan yang teliti dan akurat dari tindakan perawat,
respons pasien, dan perubahan dalam kondisi pasien sangat penting.

10. Advokasi Pasien: Perawat juga berperan sebagai advokat pasien, memastikan bahwa
kebutuhan dan hak pasien dihormati.

Prinsip-prinsip Etika dalam Keperawatan Kritis:


Prinsip-prinsip etika dalam keperawatan kritis melibatkan pedoman moral yang mengatur
tindakan perawat dalam merawat pasien. Beberapa prinsip etika yang relevan dalam
keperawatan kritis meliputi:

1. Prinsip Otonomi: Menghormati hak pasien untuk membuat keputusan tentang


perawatan mereka sendiri (seperti dengan persetujuan informasi).

2. Prinsip Beneficence: Bertindak untuk kepentingan terbaik pasien, memberikan


perawatan yang bermanfaat, dan mencegah kerusakan.

3. Prinsip Non-Maleficence: Melakukan tindakan yang tidak merugikan pasien dan


menghindari perbuatan yang berpotensi merugikan mereka.

4. Prinsip Keadilan: Memastikan adilnya alokasi sumber daya dan perawatan kepada semua
pasien tanpa diskriminasi.

5. Prinsip Kerahasiaan: Melindungi informasi pasien dan menjaga kerahasiaan mereka.

6. Prinsip Tanggung Jawab: Perawat memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan
perawatan yang berkualitas dan aman kepada pasien.

7. Prinsip Empati: Mempertimbangkan perasaan dan pandangan pasien dalam perawatan


dan pengambilan keputusan.

8. Prinsip Keterbukaan: Memberikan informasi yang jujur dan akurat kepada pasien dan
keluarganya.

5
Prinsip-prinsip etika ini membantu perawat dalam menghadapi situasi moral yang kompleks yang
mungkin muncul dalam merawat pasien kritis, dan mereka harus berusaha untuk
mengintegrasikan prinsip-prinsip ini dalam praktik keperawatan sehari-hari.

Unit 2: Penilaian Pasien Kritis


Pemeriksaan fisik adalah salah satu komponen penting dalam keperawatan kritis. Ini
adalah proses sistematis di mana perawat mengevaluasi tubuh pasien untuk
mendapatkan informasi penting tentang status kesehatan mereka. Pemeriksaan fisik
dalam keperawatan kritis mencakup pengamatan, palpasi (perabaan), perkusi
(menepuk), dan auskultasi (mendengarkan) berbagai bagian tubuh pasien. Tujuan
pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi tanda-tanda perubahan yang mungkin
terjadi pada pasien kritis, seperti tanda-tanda vital abnormal, perubahan dalam sistem
pernapasan, sirkulasi, atau sistem organ lainnya.
Skala GCS (Glasgow Coma Scale) dan Penilaian Kesadaran:
Skala GCS adalah alat yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien. Ini adalah
alat penting dalam keperawatan kritis karena membantu dalam pemantauan
perkembangan kondisi pasien. Skala GCS mengukur respons pasien terhadap rangsangan
verbal, visual, dan motorik dan memberikan nilai yang mencerminkan tingkat kesadaran
mereka. Skala ini terdiri dari tiga komponen utama:
1. Respons Verbal: Pasien diberikan skor berdasarkan respon mereka terhadap
pertanyaan dan instruksi verbal. Skor berkisar dari 1 (tidak respons) hingga 5
(respons orientasi yang benar).
2. Respons Mata: Skor diberikan berdasarkan pergerakan mata pasien. Skor
berkisar dari 1 (tidak ada respons mata) hingga 4 (respons mata normal).
3. Respons Motorik: Pasien diberikan skor berdasarkan respons motoriknya. Skor
berkisar dari 1 (tidak ada respons motorik) hingga 6 (respons motorik yang
normal).
Total skor GCS berkisar antara 3 (tidak sadar) hingga 15 (sadar penuh). Penurunan skor
GCS atau perubahan dalam komponen skala ini dapat mengindikasikan perubahan
kondisi pasien yang serius.
Pengukuran Tanda Vital yang Akurat:
Pengukuran tanda vital adalah komponen penting dalam perawatan pasien kritis. Tanda
vital termasuk tekanan darah, denyut nadi, frekuensi pernapasan, suhu tubuh, dan
saturasi oksigen. Pengukuran tanda vital yang akurat membantu perawat dalam
memantau respons tubuh terhadap perawatan dan mengidentifikasi perubahan yang

6
memerlukan tindakan lebih lanjut. Pengukuran yang tidak akurat dapat mengarah pada
diagnosis yang salah dan perawatan yang tidak sesuai.

Pemantauan Jantung dan Respirasi:


Pemantauan jantung dan respirasi adalah komponen penting dalam keperawatan kritis
karena gangguan pada sistem kardiovaskular dan pernapasan dapat mengancam nyawa.
Perawat harus secara teratur memantau denyut nadi, ritme jantung, tekanan darah,
serta frekuensi dan kedalaman pernapasan pasien. Pemantauan ini membantu dalam
mengidentifikasi aritmia, hipoksia, gagal jantung, atau komplikasi pernapasan lainnya.
Pemeriksaan Laboratorium yang Penting:

Pemeriksaan laboratorium yang penting adalah bagian integral dari pemantauan pasien
kritis. Ini melibatkan pengambilan dan analisis sampel darah, urine, cairan serebrospinal
(jika diperlukan), dan lain-lain. Pemeriksaan laboratorium dapat memberikan informasi
tentang fungsi organ, kadar elektrolit, keseimbangan cairan, fungsi koagulasi, dan tanda-
tanda infeksi. Contoh pemeriksaan laboratorium yang penting termasuk pengukuran
troponin untuk menilai kerusakan miokardium, analisis gas darah arteri untuk menilai
fungsi pernapasan dan keasaman darah, dan pemeriksaan darah lengkap untuk
memeriksa tanda-tanda infeksi atau anemia.
Pengkajian Nyeri
Pengkajian Nyeri pada Pasien ICU dengan CPOT (Critical-Care Pain Observation Tool)
adalah metode yang digunakan untuk menilai tingkat nyeri pada pasien yang tidak dapat
berkomunikasi secara verbal atau memiliki tingkat kesadaran yang terganggu. CPOT
adalah alat yang dirancang khusus untuk mengidentifikasi nyeri pada pasien di ruang
ICU. Berikut penjelasan mengenai pengkajian nyeri pasien ICU menggunakan CPOT:
1. Tujuan Penggunaan CPOT:
Penggunaan CPOT bertujuan untuk mengukur dan memantau tingkat nyeri pada pasien
ICU yang mungkin tidak dapat mengungkapkan nyeri secara verbal, seperti pasien yang
sedang menjalani ventilasi mekanis atau sedasi yang dalam.
2. Komponen CPOT:
CPOT melibatkan pengamatan terhadap empat komponen yang mencerminkan respons
pasien terhadap nyeri:
a. Ekspresi Wajah: Perawat memeriksa ekspresi wajah pasien, mencari tanda-tanda
seperti meringis, menjulurkan lidah, atau mengernyit yang mungkin menunjukkan nyeri.

7
b. Gerakan Tubuh: Perawat mengamati gerakan tubuh pasien, seperti menggeliat,
mengangkat kaki, atau meronta-ronta, yang dapat menjadi indikator bahwa pasien
merasakan nyeri.
c. Ketegangan Otot: Perawat menilai apakah pasien memiliki ketegangan otot yang
berlebihan, terutama di area wajah, leher, atau lengan.

d. Respon Terhadap Ventilator: Jika pasien sedang dalam ventilasi mekanis, perawat
memperhatikan perubahan pada pengaturan ventilator atau respons pasien terhadap
tekanan pernapasan.
3. Skor CPOT:

Setelah pengamatan dilakukan, perawat memberikan skor untuk setiap komponen CPOT
yang telah diamati. Skala skor umumnya berkisar dari 0 hingga 8, dengan skor lebih tinggi
mengindikasikan tingkat nyeri yang lebih tinggi. Skor dari semua komponen digabungkan
untuk mendapatkan skor CPOT total.
4. Interpretasi Skor CPOT:

 Skor 0-2: Tidak ada nyeri yang terdeteksi.


 Skor 3-4: Nyeri ringan hingga sedang.
 Skor 5-8: Nyeri berat hingga sangat berat.

5. Tindakan Selanjutnya:

Berdasarkan skor CPOT, perawat dapat mengambil tindakan selanjutnya untuk


mengelola nyeri pasien. Ini dapat mencakup pemberian analgesik, penyesuaian
pengaturan ventilator, atau perawatan lain yang sesuai.

6. Penggunaan Berkala:
Pengkajian dengan CPOT harus dilakukan secara berkala, terutama saat pasien
mengalami perubahan kondisi atau setelah tindakan medis tertentu. Hal ini
memungkinkan perawat untuk memantau respons pasien terhadap perawatan nyeri dan
memastikan bahwa nyeri pasien terkontrol dengan baik.

Penggunaan CPOT dalam pengkajian nyeri pasien ICU sangat penting karena membantu
identifikasi dan penanganan nyeri pada pasien yang tidak dapat berkomunikasi secara
verbal atau sadar. Dengan penggunaan yang tepat, CPOT dapat meningkatkan perawatan
pasien dan kenyamanannya selama masa perawatan kritis
Pemeriksaan fisik, skala GCS, pengukuran tanda vital, pemantauan jantung dan respirasi,
serta pemeriksaan laboratorium yang tepat membantu perawat dalam merawat pasien

8
kritis secara holistik, memantau respons terhadap perawatan, dan mengidentifikasi
masalah yang memerlukan tindakan lebih lanjut. Keakuratan, ketelitian, dan
dokumentasi yang baik dalam semua aspek pemantauan pasien adalah kunci dalam
keperawatan kritis yang berkualitas.

Unit 3: Peran dan Pengaruh Budaya dalam Keperawatan Kritis


Keperawatan Transkultural (Transcultural Nursing) adalah pendekatan dalam
keperawatan yang memahami dan menghormati keragaman budaya pasien dalam
perawatan kritis. Ini mengakui bahwa pasien kritis berasal dari berbagai latar belakang
budaya, dan perawat perlu memahami bagaimana budaya memengaruhi persepsi,
keyakinan, dan praktik kesehatan pasien. Dalam keperawatan kritis, pendekatan
transkultural sangat penting karena pasien sering dalam kondisi yang mengancam
nyawa, dan perawat harus memberikan perawatan yang sensitif secara kultural untuk
memaksimalkan pemulihan dan kualitas perawatan.
Berikut adalah beberapa aspek penting tentang keperawatan transkultural dalam
keperawatan kritis:
1. Pemahaman Budaya Pasien: Perawat harus berusaha untuk memahami latar
belakang budaya pasien, termasuk nilai-nilai, keyakinan, dan praktik kesehatan
yang mungkin memengaruhi respons pasien terhadap perawatan kritis. Ini dapat
mencakup agama, bahasa, norma sosial, dan adat istiadat kultural.
2. Komitmen terhadap Diversitas: Keperawatan transkultural mendorong perawat
untuk menghormati dan mengakui keanekaragaman budaya dalam perawatan.
Ini berarti tidak membiarkan stereotip atau prasangka budaya mempengaruhi
perawatan.

3. Komunikasi Sensitif Budaya: Perawat perlu mengembangkan keterampilan


komunikasi yang sensitif secara budaya. Ini termasuk memahami bahwa bahasa,
bahasa tubuh, dan komunikasi non-verbal dapat memiliki makna yang berbeda
dalam budaya yang berbeda.
4. Penyesuaian Perawatan: Perawat harus siap untuk menyesuaikan perawatan
sesuai dengan preferensi budaya pasien, selama itu tidak membahayakan pasien
atau melanggar prinsip-prinsip medis yang sah.
5. Pemahaman Terhadap Etnomedisine: Perawat perlu memahami praktik
etnomedisine yang mungkin digunakan oleh pasien dari latar belakang budaya
tertentu. Ini termasuk pengetahuan tentang pengobatan tradisional, ramuan,
atau praktik penyembuhan alternatif yang mungkin digunakan oleh pasien.

9
6. Tim Medis Multikultural: Keperawatan kritis sering melibatkan tim medis yang
terdiri dari berbagai latar belakang budaya. Perawat perlu bekerja sama dengan
dokter, terapis, dan spesialis lainnya yang mungkin memiliki pemahaman budaya
yang berbeda.
7. Edukasi Pasien: Perawat memiliki peran dalam memberikan edukasi kesehatan
yang sensitif secara budaya kepada pasien dan keluarganya. Ini termasuk
menjelaskan kondisi, perawatan, dan pemulihan dengan mempertimbangkan
bahasa dan keyakinan budaya pasien.
Keperawatan transkultural dalam keperawatan kritis adalah pendekatan yang berpusat
pada pasien, yang bertujuan untuk memberikan perawatan yang terbaik dan paling
efektif sesuai dengan latar belakang budaya pasien. Ini membantu memastikan bahwa
perawatan kritis adalah pengalaman yang terapeutik dan positif, bahkan dalam situasi
yang penuh tekanan.

Unit 4: Kegiatan Pembelajaran


Tahap 1: Pengenalan Materi dan Penjelasan Tugas

1. Pengenalan Materi: Dosen memulai pembelajaran dengan memberikan pengenalan


singkat tentang topik konsep dan piilosophy keperawatan kritis dengan ceramah,
presentasi, atau diskusi singkat.

2. Penjelasan Tugas Discovery Learning: Dosen mengenalkan konsep "discovery learning"


kepada mahasiswa. Penjelasan mencakup konsep dasar tentang bagaimana
pembelajaran penemuan bekerja, bahwa mahasiswa akan aktif mencari informasi dan
pengetahuan melalui eksplorasi, dan pengamatan.

II. Tahap 2: Eksplorasi Materi

3. Penjelasan Topik: Dosen memberikan daftar topik yang relevan dengan materi yang
dipelajari dan memberikan sumber daya awal, seperti buku, artikel, atau referensi
lainnya.

4. Pemilihan Topik: Mahasiswa memilih topik yang paling menarik bagi mereka untuk
diteliti lebih lanjut. mahasiswa juga dapat merumuskan pertanyaan penelitian yang ingin
mereka jawab.

5. Penelitian Mandiri: Mahasiswa melakukan penelitian mandiri tentang topik mereka.


Mereka dapat menggunakan perpustakaan, internet, atau sumber daya lainnya untuk
mengumpulkan informasi yang relevan.

III. Tahap 3: Penyusunan Makalah

10
7. Penyusunan Struktur Makalah: Mahasiswa membuat struktur makalah mereka,
termasuk pengantar, tinjauan pustaka, hasil, pembahasan, dan kesimpulan.

8. Penulisan Makalah: Mahasiswa mulai menulis makalah mereka berdasarkan struktur


yang telah mereka susun. Mereka merujuk pada sumber daya yang telah mereka
kumpulkan selama penelitian mereka.

9. Pengeditan dan Revisi: Mahasiswa merevisi dan mengedit makalah mereka untuk
memastikan kejelasan, kohesi, dan akurasi. Mereka juga memeriksa penulisan yang baik
dan benar.

IV. Tahap 4: Presentasi Makalah

10. Persiapan Presentasi: Mahasiswa mempersiapkan presentasi untuk


mengkomunikasikan hasil penelitian mereka. Ini melibatkan membuat slide presentasi,
menyusun poin-poin kunci, dan berlatih presentasi.

11. Presentasi Kelas: Mahasiswa secara bergantian melakukan presentasi makalah mereka
di depan kelas. Presentasi harus mencakup semua aspek penting yang telah mereka
teliti.

12. Diskusi dan Pertanyaan: Setelah setiap presentasi, kelas dapat mengadakan sesi diskusi
dan mahasiswa dapat mengajukan pertanyaan kepada presenter tentang penelitian
mereka.

V. Tahap 5: Penilaian dan Evaluasi

13. Penilaian Makalah: Dosen menilai makalah mahasiswa berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan sebelumnya. Penilaian ini bisa melibatkan berbagai aspek, seperti konten,
penulisan, presentasi, dan pemahaman materi.

14. Penilaian Presentasi: Dosen juga menilai presentasi mahasiswa berdasarkan kriteria
tertentu, seperti kemampuan berbicara di depan umum, kejelasan pesan, dan
kemampuan menjawab pertanyaan.

15. Umpan Balik: Setelah penilaian selesai, Dosen memberikan umpan balik kepada
mahasiswa untuk membantu mereka memahami kekuatan dan kelemahan mereka
dalam pembelajaran ini.

VI. Tahap 6: Refleksi dan Pembelajaran Lanjutan

16. Refleksi: Mahasiswa dan Dosen bersama-sama merenungkan proses pembelajaran, apa
yang telah dipelajari, dan pengalaman pembelajaran mereka. Ini dapat mengidentifikasi
area yang perlu diperbaiki dan peluang untuk pembelajaran lanjutan.

17. Pembelajaran Lanjutan: Berdasarkan refleksi, mahasiswa dapat menentukan langkah-


langkah selanjutnya dalam pemahaman materi atau topik yang terkait. Ini dapat
mencakup penelitian lebih lanjut, eksperimen tambahan, atau pemahaman yang lebih
dalam tentang topik yang telah dipilih.

11
Modul 2 CPMK 2 s.d 6: Melakukan simulasi asuhan keperawatan, simulasi
pendidikan kesehatan, mengintegrasikan hasil-hasil penelitian kedalam
asuhan keperawatan, melaksanakan fungsi advokasi dan komunikasi
dengan kasus kritis terkait gangguan sistem kardiovaskular pada individu dengan
memperhatikan aspek legal dan etis keperawatan kritis

Unit 1 : Gangguan Sistem Kardiovaskular


Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau Acute Coronary Syndrome (ACS):
Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau Acute Coronary Syndrome (ACS) adalah gangguan
kardiovaskular yang melibatkan penyempitan atau penyumbatan arteri koroner, yang
mengakibatkan suplai darah yang tidak mencukupi ke otot jantung. ACS mencakup tiga kondisi:
angina tidak stabil, infark miokardium tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI), dan infark miokardium
dengan elevasi segmen ST (STEMI).

Penjelasan:

 PJK/ACS dapat terjadi secara tiba-tiba dan seringkali disertai dengan nyeri dada yang
parah, sesak napas, mual, dan muntah.

 Perawatan ACS melibatkan stabilisasi pasien, pemberian obat antinyeri (nitrogliserin),


antiplatelet (aspirin), antikoagulan, dan jika perlu, tindakan revaskularisasi seperti
angioplasti koroner atau bypass jantung.

Congestive Heart Failure (CHF) atau Gagal Jantung Kongestif (GJK):


CHF atau Gagal Jantung Kongestif (GJK) adalah kondisi di mana jantung tidak mampu memompa
darah dengan cukup efisien, yang mengakibatkan penumpukan cairan di paru-paru dan jaringan
tubuh lainnya.

Penjelasan:

 Pasien dengan GJK mungkin mengalami sesak napas, pembengkakan kaki, kelelahan, dan
ketidaknyamanan di dada.

 Perawatan GJK melibatkan penggunaan obat-obatan seperti diuretik, ACE inhibitor, dan
beta-blocker, serta perubahan gaya hidup seperti pengaturan diet rendah garam dan
pengendalian berat badan.

12
Arritmia Jantung:
Arritmia jantung adalah gangguan irama jantung yang dapat menyebabkan denyut jantung
terlalu cepat (tachycardia), terlalu lambat (bradycardia), atau tidak teratur. Ini dapat
mengganggu aliran darah dan mengancam nyawa.

Penjelasan:

 Pasien dengan arritmia dapat mengalami detak jantung yang tidak normal atau gejala
seperti pusing, pingsan, atau sesak napas.

 Penanganan arritmia melibatkan pemberian obat antiaritmia, pemasangan alat pacu


jantung jika diperlukan, atau ablasio kateter untuk menghentikan sinyal listrik yang tidak
normal.

Penanganan dan Monitoring Pasien dengan Gangguan Kardiovaskular:


 Pasien dengan gangguan kardiovaskular perlu dipantau secara ketat untuk tanda-tanda
perubahan, seperti perubahan tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, saturasi
oksigen), perubahan irama jantung, dan gejala seperti nyeri dada atau sesak napas.

 Terapi obat-obatan harus diberikan sesuai dengan protokol, dan perawat harus
memantau efek samping obat dan respons pasien.

 Pemantauan tanda vital, EKG (Elektrokardiogram), dan pemantauan tingkat oksigen


dalam darah sangat penting dalam pemantauan pasien dengan gangguan kardiovaskular.
 Tindakan intervensi segera mungkin diperlukan jika pasien mengalami perburukan tiba-
tiba dalam kondisi kardiovaskular mereka, seperti perlu dilakukan CPR atau defibrilasi.

Penting bagi perawat dalam unit perawatan intensif (ICU) atau ruang rawat intensif (ICU) untuk
memiliki pemahaman mendalam tentang gangguan kardiovaskular dan pengelolaannya.
Perawat perlu siap untuk merespons cepat terhadap perubahan kondisi pasien dan bekerja sama
dengan tim medis untuk memberikan perawatan yang sesuai dan tepat waktu. Dalam
keperawatan kritis, pemantauan yang teliti dan perawatan yang efektif sangat penting dalam
mendukung pemulihan pasien dengan gangguan kardiovaskular.

Percutaneus Coronary Intervention dan CABG


Setelah pemasangan Percutaneous Coronary Intervention (PCI) dan pembedahan by pass
coroner atau CABG , pasien perlu mendapatkan perawatan khusus untuk memastikan pemulihan
yang optimal dan mencegah komplikasi. Berikut adalah materi perawatan pasien kritis pasca PCI
dan pembedahan bypass koroner:

Pemantauan Pasca-Operasi:

13
 Setelah PCI atau pembedahan bypass koroner, pasien akan dipindahkan ke unit
perawatan intensif (ICU) atau unit perawatan kardiovaskular kritis untuk pemantauan
yang ketat.

 Pemantauan tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, frekuensi pernapasan, suhu)
dilakukan secara teratur untuk mendeteksi perubahan yang mungkin terjadi.

Pantauan EKG:

 Elektrokardiogram (EKG) terus dipantau untuk mengidentifikasi perubahan irama


jantung dan iskemia miokardium.

Pemantauan Klinis:

 Perawat memantau gejala pasien seperti nyeri dada, sesak napas, dan ketidaknyamanan.

 Pasien yang mengalami gejala seperti nyeri dada yang persisten atau perburukan gejala
harus segera dinilai.

Terapi Obat:

 Pasien mungkin menerima terapi obat yang meliputi antiplatelet (seperti aspirin dan
clopidogrel), antikoagulan (seperti heparin), beta-blocker, dan statin untuk mengurangi
risiko pembekuan darah dan komplikasi pasca-intervensi.

Pemantauan Luka Operasi:

 Jika pasien menjalani pembedahan bypass koroner, luka operasi dan daerah donor
vaskular (jika digunakan) perlu dipantau untuk tanda-tanda infeksi, perdarahan, atau
komplikasi lainnya.

Pemantauan Cairan dan Elektrolit:


 Pemantauan keseimbangan cairan dan elektrolit penting untuk menghindari dehidrasi
atau overhidrasi, terutama jika pasien mengalami gagal jantung.

Rehabilitasi Jantung:
 Pasien dapat direferensikan untuk program rehabilitasi jantung yang membantu dalam
pemulihan fisik dan kardiak setelah PCI atau pembedahan bypass koroner.

Pencegahan Komplikasi:

 Pencegahan komplikasi seperti infeksi, trombosis vena dalam, dan atelektasis (kolapsnya
sebagian paru-paru) sangat penting. Pasien dihimbau untuk bergerak dengan hati-hati
dan menjalani terapi fisik jika diperlukan.

Pendidikan Pasien:

14
 Pasien dan keluarganya perlu diberikan edukasi tentang perawatan diri pasca-intervensi,
termasuk penggunaan obat-obatan, tanda-tanda peringatan yang harus diwaspadai, dan
perubahan gaya hidup yang diperlukan.

Kepatuhan Terhadap Pengobatan:

 Pasien harus dipantau secara ketat untuk memastikan kepatuhan terhadap pengobatan
dan perubahan gaya hidup yang direkomendasikan oleh tim medis.

Konsultasi dengan Dokter Spesialis:


 Kolaborasi dengan dokter spesialis kardiovaskular dan ahli rehabilitasi jantung penting
untuk memastikan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien.

Perawatan pasien kritis pasca PCI atau pembedahan bypass koroner adalah proses yang
kompleks dan memerlukan tim perawatan yang terkoordinasi. Pemantauan yang teliti,
manajemen obat yang tepat, rehabilitasi, dan pendidikan pasien adalah komponen penting
dalam perawatan pasien ini. Tujuan utama adalah mendukung pemulihan pasien, mencegah
komplikasi, dan meningkatkan kualitas hidup mereka setelah intervensi kardiovaskular.

Unit 2 : Kegiatan Pembelajaran Case Methode


Pembelajaran dengan metode studi kasus klinik menggunakan pendekatan case method atau
metode kasus merupakan salah satu cara efektif untuk mengajarkan konsep-konsep teoritis
dalam konteks situasi nyata. Berikut adalah tahapan-tahapan pembelajaran tutorial studi kasus
klinik dengan metode case method:

1. Pemilihan Kasus Klinik:

 Pilih kasus klinik yang relevan dengan materi yang akan diajarkan. Kasus harus
mencakup konsep-konsep penting yang ingin disampaikan kepada mahasiswa.

 Pastikan kasus memiliki tingkat kompleksitas yang sesuai dengan tingkat


pemahaman mahasiswa.

2. Penyusunan Kasus Klinik:

 Buatlah kasus klinik yang terstruktur dengan baik, menggambarkan latar


belakang pasien, riwayat medis, keluhan, temuan fisik, dan hasil pemeriksaan
yang relevan.

 Sertakan elemen-elemen yang mendorong pemikiran kritis, seperti informasi


yang ambigu, konflik dalam pengambilan keputusan, atau pilihan pengobatan
yang beragam.

3. Pendahuluan Kasus:

15
 Mulailah tutorial dengan memberikan pemahaman tentang konteks kasus klinik
kepada mahasiswa.

 Jelaskan tujuan pembelajaran dan konsep-konsep yang akan dicapai melalui


pemecahan masalah kasus ini.

4. Pembagian Kelompok:

 Mahasiswa dibagi menjadi kelompok kecil, biasanya 4-6 orang per kelompok.

 Setiap kelompok akan menganalisis kasus secara terpisah.

5. Analisis Kasus:

 Setiap kelompok melakukan analisis mendalam terhadap kasus klinik yang


diberikan.

 Mereka harus mengidentifikasi masalah, mencari faktor penyebab, dan


merencanakan penanganan yang tepat.

6. Diskusi Kelompok:

 Setiap kelompok berkumpul untuk berdiskusi dan membahas temuan mereka.

 Diskusi kelompok ini membantu mahasiswa untuk berkolaborasi, berbagi ide,


dan memperoleh pemahaman yang lebih dalam.

7. Diskusi Kelas:

 Kelompok-kelompok tersebut kemudian menyajikan temuan mereka kepada


seluruh kelas.

 Diskusi kelas dipandu oleh instruktur, yang dapat mengajukan pertanyaan,


mendorong pemikiran kritis, dan memfasilitasi debat.

8. Analisis Alternatif:

 Mahasiswa diajak untuk mempertimbangkan berbagai alternatif dalam


penanganan kasus.

 Mereka harus mampu mempertahankan argumen mereka dan merespons


pertanyaan kelas.

9. Evaluasi Hasil:

 Setelah diskusi, instruktur dapat memberikan umpan balik dan mengevaluasi


pemahaman mahasiswa terhadap materi.

 Mahasiswa juga dapat mengevaluasi solusi yang diajukan oleh kelompok lain.

10. Refleksi dan Kesimpulan:

16
 Akhir tutorial, mahasiswa diminta untuk merenungkan pelajaran yang mereka
pelajari dari kasus klinik.

 Kesimpulan dari pembelajaran ini dicatat dan digunakan sebagai dasar untuk
memahami konsep-konsep yang telah diajarkan.

Metode studi kasus klinik dengan pendekatan case method memungkinkan mahasiswa untuk
belajar secara aktif, berpikir kritis, dan menerapkan pengetahuan dalam konteks keperawatan
praktis. Ini juga mempromosikan interaksi antar-mahasiswa dan memberikan kesempatan untuk
mendapatkan umpan balik langsung dari instruktur. Dengan tahapan-tahapan ini, pembelajaran
menjadi lebih terstruktur dan efektif.

Unit 3 : Kasus – 1 - kasus klinik ruang ICU pasien dengan Acute Coronary
Syndrome
Data Pasien:

 Nama : Ny. SJ

 Usia : 62 tahun

 Jenis Kelamin : Perempuan


 Riwayat Kesehatan : Hipertensi, hiperlipidemia, dan riwayat keluarga dengan
penyakit jantung koroner

Keluhan Utama: Pasien mengalami nyeri dada yang tajam dan berat yang muncul secara tiba-
tiba selama 30 menit, disertai dengan keringat dingin dan sesak napas.

Pemeriksaan Fisik:

 Tekanan Darah: 170/95 mmHg

 Frekuensi Jantung: 120 bpm

 Saturasi Oksigen: 92% dengan udara ruangan

 Nadi: Teraba kuat dan tak teratur

 Nyeri dada tekanan dengan kualitas seperti dada tertimpa beban dengan skala nyeri 6

Pemeriksaan Laboratorium:

 Troponin I: 12.6 ng/mL (Normal: <0.03 ng/mL)

 CK-MB: 80 U/L (Normal: 0-24 U/L)

 CK Total: 600 U/L (Normal: 20-200 U/L)

 Hemoglobin: 12.5 g/dL

17
 Leukosit: 14,000/mm³

 Kreatinin: 1.0 mg/dL

 Glukosa Darah: 200 mg/dL

 Lipid Profil: Kolesterol total 270 mg/dL, LDL 200 mg/dL, HDL 35 mg/dL, Trigliserida 389
mg/dl

Hasil Angiografi Koroner:

 Angiografi koroner menunjukkan penyempitan signifikan di arteri koroner utama kiri


(LAD) sebesar 90%.

 Arteri koroner kanan (RCA) dan arteri sirkumfleks (LCx) tampak normal.

Gambar EKG (Elektrokardiogram):

 EKG menunjukkan elevasi segmen ST di derivasi V2-V6 dan perubahan gelombang T yang
sesuai, yang mengindikasikan infark miokardium dengan elevasi ST.

Terapi Obat:

1. Pasien segera diberikan aspirin untuk mencegah pembekuan darah dan nitrogliserin
untuk mengurangi nyeri dada.

2. Diberikan heparin untuk mencegah pembekuan darah di arteri koroner.

3. Terapi antiplatelet dengan clopidogrel dimulai.

4. Morfin diberikan untuk mengendalikan nyeri yang tidak merespons terhadap


nitrogliserin.

5. Pasien diberikan statin untuk mengurangi kadar kolesterol darah.

Tindakan Terapi:

1. Pasien menjalani kateterisasi koroner untuk mendapatkan akses langsung ke arteri


koroner yang tersumbat di LAD.

2. Dalam prosedur angioplasti koroner dengan stent (PCI), stent ditempatkan di arteri
koroner utama kiri (LAD) untuk memperbaiki aliran darah ke jantung.

Unit 4 : Kasus – 2 - Kasus Klinik ruang ICU Pasien dengan Congestif Heart
Failure (Gagal Jantung)
Data Pasien:

 Nama: Tuan A

 Usia: 65 tahun

18
 Jenis Kelamin: Laki-laki

 Riwayat Medis: Hipertensi, diabetes tipe 2

 Keluhan Utama: Sesak napas yang semakin parah

Anamnesis: Tuan A datang ke unit ICU dengan keluhan sesak napas yang semakin memburuk
dalam 2 hari terakhir. Ia melaporkan adanya peningkatan pembengkakan pada kedua kaki dan
perutnya. Tuan A juga merasakan kelelahan yang luar biasa dan mengatakan bahwa ia kesulitan
tidur di malam hari karena kesulitan bernapas.

Pemeriksaan Fisik:

 Tanda-tanda vital: Tekanan darah 160/100 mmHg, denyut nadi 100 bpm, frekuensi
pernapasan 26 per menit, suhu 37°C.

 Pada pemeriksaan fisik, terdapat pembengkakan pada ekstremitas bawah, perut, dan
leher. Distensi vena jugularis (JVD) juga terlihat meningkat.

 Bunyi jantung S3 terdengar, dan terdapat ronki pada kedua lapangan paru.

Hasil Pemeriksaan Penunjang:

1. Elektrokardiogram (EKG):

 EKG menunjukkan gelombang QRS yang melebar dan segmen ST yang


cenderung menaik, yang dapat mengindikasikan adanya gangguan konduksi
jantung.

2. Rontgen Dada (CXR):

 Pada hasil CXR, terlihat perluasan bayangan jantung dan pelebaran pembuluh
darah vena pulmonalis, menunjukkan adanya kongesti paru.

3. Echocardiogram (Ekoardiografi):

 Ekoardiogram menunjukkan fraksi ejeksi jantung yang rendah, serta disfungsi


sistolik ventrikel kiri yang signifikan. Terdapat pembesaran atrium kiri dan
ventrikel kiri.

4. Analisis Gas Darah Arteri (ABG):

 Hasil ABG kadar karbon dioksida (PaCO2) 87% dan penurunan kadar oksigen
60% (PaO2) dalam darah arteri, mengindikasikan gangguan pertukaran gas.

5. Pemeriksaan Laboratorium:

 Natrium (Na): 135 mEq/L (Normal: 135-145 mEq/L)

 Kalium (K): 4.5 mEq/L (Normal: 3.5-5.0 mEq/L)

 B-type natriuretic peptide (BNP): 800 pg/mL (Normal: < 100 pg/mL)

19
 Gula darah (glukosa): 180 mg/dL (Normal: 70-100 mg/dL)

Diagnosis: Tuan A didiagnosis dengan Congestive Heart Failure (Gagal Jantung Kongestif) yang
disebabkan oleh disfungsi sistolik ventrikel kiri. Hasil pemeriksaan menunjukkan tanda-tanda
kongesti paru dan peningkatan BNP, yang merupakan biomarker umum untuk Gagal Jantung
Kongestif.

Unit 5 : Kasus – 3 - Kasus Klinik ruang ICU Pasien dengan Aritmia


Data Pasien:

 Nama: Ibu B

 Usia: 58 tahun

 Jenis Kelamin: Perempuan

 Riwayat Medis: Hipertensi, diabetes tipe 2, penyakit jantung koroner (PJK)

Keluhan Utama: Ibu B dirawat di unit perawatan intensif (ICU) dengan keluhan detak jantung
yang tidak teratur, palpitasi, dan nyeri dada.

Anamnesis: Ibu B telah mengalami gejala-gejala seperti detak jantung yang tidak teratur, yang
terkadang dirasakan berdebar-debar di dada. Keluhan ini telah berlangsung selama beberapa
minggu terakhir. Ia juga mengalami nyeri dada yang tumpul yang terkadang menjalar ke lengan
kiri.

Pemeriksaan Fisik:

 Tanda-tanda vital: Tekanan darah 160/100 mmHg, denyut nadi 120 bpm, frekuensi
pernapasan 18 per menit, suhu 37°C.

 Pada pemeriksaan fisik, terdapat palpitasi jantung dan bunyi jantung yang tidak normal.

 Tidak terlihat pembengkakan atau distensi vena jugularis (JVD).

Hasil Pemeriksaan Penunjang:

1. Elektrokardiogram (EKG):

 EKG menunjukkan adanya aritmia jantung dengan kelainan irama, termasuk


episode takikardia ventrikel.

2. Rontgen Dada (CXR):

 Hasil CXR normal tanpa tanda-tanda kongesti paru atau perubahan patologis
lainnya.

3. Echocardiogram (Ekoardiografi):

20
 Ekoardiogram menunjukkan adanya gangguan kontraktilitas ventrikel kiri, yang
mungkin berkaitan dengan PJK.

4. Analisis Gas Darah Arteri (ABG):

 ABG dalam batas normal.

Diagnosis: Ibu B didiagnosis dengan aritmia jantung, yang termasuk episode takikardia ventrikel,
serta gangguan kontraktilitas ventrikel yang mungkin berhubungan dengan penyakit jantung
koroner (PJK).

Unit 6 : Kasus – 4 - Kasus Klinik ruang ICU Pasien dengan ACS Pasca PCI
Data Pasien:

 Nama: Tuan C

 Usia: 62 tahun

 Jenis Kelamin: Laki-laki

 Riwayat Medis: Hipertensi, penyakit jantung koroner (PJK)

Keluhan Utama: Tuan C dirawat di unit perawatan intensif (ICU) setelah menjalani pemasangan
stent koroner melalui Percutaneous Coronary Intervention (PCI). Keluhan utama adalah nyeri
dada dan sesak napas yang berlangsung sejak beberapa hari yang lalu.

Anamnesis: Tuan C memiliki riwayat PJK yang sudah lama. Beberapa hari yang lalu, ia mengalami
nyeri dada yang semakin parah, yang menjalar ke lengan kiri. Setelah konsultasi dengan dokter,
ia menjalani PCI yang melibatkan pemasangan stent koroner.

Pemeriksaan Fisik:

 Tanda-tanda vital: Tekanan darah 140/90 mmHg, denyut nadi 80 bpm, frekuensi
pernapasan 18 per menit, suhu 37°C.

 Pada pemeriksaan fisik, terdapat nyeri dada yang tertentu saat ditekan di sekitar lokasi
stent.

Hasil Pemeriksaan Penunjang:

1. Elektrokardiogram (EKG):

 EKG menunjukkan perbaikan segmen ST yang mengindikasikan keberhasilan PCI.

2. Rontgen Dada (CXR):

 Hasil CXR menunjukkan kardiomegali (pembesaran jantung) dan edema paru


yang mengindikasikan gagal jantung kongestif.

3. Echocardiogram (Ekoardiografi):

21
 Ekoardiogram menunjukkan fraksi ejeksi jantung yang rendah dan gangguan
kontraktilitas ventrikel kiri.

4. Analisis Gas Darah Arteri (ABG):

 ABG menunjukkan penurunan kadar oksigen (PaO2) dalam darah arteri dan
peningkatan kadar karbon dioksida (PaCO2), mengindikasikan gangguan
pertukaran gas.

Diagnosis: Tuan C didiagnosis dengan gagal jantung kongestif akut pasca-pemasangan stent PCI.
Hasil pemeriksaan menunjukkan tanda-tanda penurunan fungsi jantung dan edema paru.

22
Modul 3 CPMK 2 s.d 6: Melakukan simulasi asuhan keperawatan, simulasi
pendidikan kesehatan, mengintegrasikan hasil-hasil penelitian kedalam asuhan
keperawatan, melaksanakan fungsi advokasi dan komunikasi dengan kasus kritis
terkait gangguan sistem respiratoryr pada individu dengan memperhatikan aspek legal
dan etis keperawatan kritis

Unit 1 : Ringkasan materi Sistem Respiratory


Gangguan respiratori seperti Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (PPOK), dan COVID-19 merupakan kondisi yang memerlukan perawatan kritis
dan pemantauan yang ketat. Berikut adalah ringkasan materi keperawatan kritis pada pasien
dengan gangguan respiratori ini:

1. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS):

 Definisi ARDS: ARDS adalah gangguan pernapasan yang ditandai dengan kerusakan
paru-paru yang akut, menyebabkan penurunan kapasitas pertukaran gas dan hipoksia
berat.

 Penyebab ARDS: Penyebab umum termasuk pneumonia, trauma paru-paru, aspirasi,


dan sepsis.

 Tanda dan Gejala: Sesak napas yang parah, penurunan saturasi oksigen, peningkatan
frekuensi pernapasan, dan perburukan keadaan umum.

 Pentingnya Manajemen Cairan: Manajemen cairan yang hati-hati penting untuk


menghindari edema paru yang dapat memperburuk ARDS.

 Ventilasi Mekanis: Banyak pasien ARDS memerlukan ventilasi mekanis. Strategi ventilasi
yang aman dan terukur diperlukan.

 Pencegahan Komplikasi: Pencegahan terhadap komplikasi seperti infeksi nosokomial


dan kerusakan paru-paru perlu menjadi prioritas.

2. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (PPOK):

 Definisi PPOK: PPOK adalah kelompok penyakit paru obstruktif kronis yang meliputi
bronkitis kronis dan emfisema.

 Penyebab PPOK: Merokok adalah penyebab utama PPOK. Polusi udara dan faktor
genetik juga berperan.

 Manajemen Keperawatan: Pemberian oksigen terkontrol, bronkodilator, dan


manajemen eksaserbasi (peningkatan gejala).

 Pentingnya Edukasi: Edukasi kepada pasien tentang manajemen penyakit, penggunaan


inhaler, dan perubahan gaya hidup penting.

23
3. COVID-19 (Penyakit Coronavirus 2019):

 Definisi COVID-19: COVID-19 adalah penyakit pernapasan yang disebabkan oleh virus
SARS-CoV-2.

 Tanda dan Gejala: Gejala umum meliputi demam, batuk, sesak napas, dan kelelahan.
Beberapa pasien dapat mengalami gejala parah hingga ARDS.

 Pengendalian Infeksi: Tindakan pengendalian infeksi seperti isolasi pasien, penggunaan


alat pelindung diri, dan kebersihan tangan sangat penting.

 Ventilasi Mekanis: Pasien dengan gejala berat mungkin memerlukan ventilasi mekanis.

 Pentingnya Perawatan Suportif: Perawatan suportif seperti hidrasi, manajemen suhu,


dan terapi obat-obatan perlu diberikan sesuai kebutuhan.

Poin Penting:

 Perawat ICU perlu memahami prinsip-prinsip ventilasi mekanis, manajemen cairan, dan
pemantauan tanda vital.

 Pencegahan komplikasi seperti infeksi nosokomial dan ulkus dekubitus sangat penting
dalam perawatan pasien kritis.

 Edukasi kepada pasien dan keluarga tentang manajemen penyakit dan tindakan
pencegahan perlu menjadi bagian integral dari perawatan.

Perawatan pasien dengan gangguan respiratori yang kritis melibatkan pemantauan yang ketat,
intervensi yang tepat, dan komunikasi yang efektif dengan tim perawatan lainnya. Pemahaman
yang mendalam tentang penyakit, strategi perawatan, dan manajemen komplikasi adalah kunci
keberhasilan dalam memberikan perawatan yang berkualitas.

Unit 2 : Kegiatan Pembelajaran Case Methode


Pembelajaran dengan metode studi kasus klinik menggunakan pendekatan case method atau
metode kasus merupakan salah satu cara efektif untuk mengajarkan konsep-konsep teoritis
dalam konteks situasi nyata. Berikut adalah tahapan-tahapan pembelajaran tutorial studi kasus
klinik dengan metode case method:

1. Pemilihan Kasus Klinik:

 Pilih kasus klinik yang relevan dengan materi yang akan diajarkan. Kasus harus
mencakup konsep-konsep penting yang ingin disampaikan kepada mahasiswa.

 Pastikan kasus memiliki tingkat kompleksitas yang sesuai dengan tingkat


pemahaman mahasiswa.

2. Penyusunan Kasus Klinik:

24
 Buatlah kasus klinik yang terstruktur dengan baik, menggambarkan latar
belakang pasien, riwayat medis, keluhan, temuan fisik, dan hasil pemeriksaan
yang relevan.

 Sertakan elemen-elemen yang mendorong pemikiran kritis, seperti informasi


yang ambigu, konflik dalam pengambilan keputusan, atau pilihan pengobatan
yang beragam.

3. Pendahuluan Kasus:

 Mulailah tutorial dengan memberikan pemahaman tentang konteks kasus klinik


kepada mahasiswa.

 Jelaskan tujuan pembelajaran dan konsep-konsep yang akan dicapai melalui


pemecahan masalah kasus ini.

4. Pembagian Kelompok:

 Mahasiswa dibagi menjadi kelompok kecil, biasanya 4-6 orang per kelompok.

 Setiap kelompok akan menganalisis kasus secara terpisah.

5. Analisis Kasus:

 Setiap kelompok melakukan analisis mendalam terhadap kasus klinik yang


diberikan.

 Mereka harus mengidentifikasi masalah, mencari faktor penyebab, dan


merencanakan penanganan yang tepat.

6. Diskusi Kelompok:

 Setiap kelompok berkumpul untuk berdiskusi dan membahas temuan mereka.

 Diskusi kelompok ini membantu mahasiswa untuk berkolaborasi, berbagi ide,


dan memperoleh pemahaman yang lebih dalam.

7. Diskusi Kelas:

 Kelompok-kelompok tersebut kemudian menyajikan temuan mereka kepada


seluruh kelas.

 Diskusi kelas dipandu oleh instruktur, yang dapat mengajukan pertanyaan,


mendorong pemikiran kritis, dan memfasilitasi debat.

8. Analisis Alternatif:

 Mahasiswa diajak untuk mempertimbangkan berbagai alternatif dalam


penanganan kasus.

 Mereka harus mampu mempertahankan argumen mereka dan merespons


pertanyaan kelas.

25
9. Evaluasi Hasil:

 Setelah diskusi, instruktur dapat memberikan umpan balik dan mengevaluasi


pemahaman mahasiswa terhadap materi.

 Mahasiswa juga dapat mengevaluasi solusi yang diajukan oleh kelompok lain.

10. Refleksi dan Kesimpulan:

 Akhir tutorial, mahasiswa diminta untuk merenungkan pelajaran yang mereka


pelajari dari kasus klinik.

 Kesimpulan dari pembelajaran ini dicatat dan digunakan sebagai dasar untuk
memahami konsep-konsep yang telah diajarkan.

Metode studi kasus klinik dengan pendekatan case method memungkinkan mahasiswa untuk
belajar secara aktif, berpikir kritis, dan menerapkan pengetahuan dalam konteks keperawatan
praktis. Ini juga mempromosikan interaksi antar-mahasiswa dan memberikan kesempatan untuk
mendapatkan umpan balik langsung dari instruktur. Dengan tahapan-tahapan ini, pembelajaran
menjadi lebih terstruktur dan efektif.

Unit 3 : Kasus – 1 - Kasus klinik ruang ICU pasien dengan Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS)

 Nama: Nyonya D

 Usia: 45 tahun

 Jenis Kelamin: Perempuan

 Riwayat Medis: Tidak ada riwayat medis penyakit paru sebelumnya

Keluhan Utama: Nyonya D dirawat di unit perawatan intensif (ICU) dengan keluhan sesak napas
yang semakin memburuk, batuk berdahak berwarna kemerahan, dan demam tinggi.

Anamnesis: Nyonya D mengalami gejala sesak napas, batuk, dan demam selama 1 minggu
terakhir. Awalnya, gejalanya ringan, tetapi semakin memburuk dalam beberapa hari terakhir. Ia
mengatakan bahwa ia merasa sangat lelah dan sulit bernapas, bahkan saat istirahat. Ia juga
mengalami kebingungan dan ketidakmampuan untuk tidur karena sesak napas yang parah.

Pemeriksaan Fisik:

 Tanda-tanda vital: Tekanan darah 130/90 mmHg, denyut nadi 110 bpm, frekuensi
pernapasan 30 per menit, suhu 38.5°C.

 Pada pemeriksaan fisik, terdapat retraksi dinding dada saat pernapasan dan suara
napas yang keras dengan ronki di kedua lapangan paru.

26
Hasil Pemeriksaan Penunjang:

1. Elektrokardiogram (EKG):

 EKG dalam batas normal, menunjukkan tidak adanya masalah kardiak.

2. Rontgen Dada (CXR):

 Hasil CXR menunjukkan infiltrat difus dan konsolidasi pada kedua lapangan
paru, mengindikasikan adanya penyakit paru yang serius.

3. Echocardiogram (Ekoardiografi):

 Ekoardiogram menunjukkan fungsi jantung yang normal, yang


mengesampingkan masalah kardiak sebagai penyebab sesak napas.

4. Analisis Gas Darah Arteri (ABG):

 ABG menunjukkan pH darah 7.21, kadar karbon dioksida (PaCO2) 78 mmHg, dan
kadar oksigen (PaO2) 70 mmHg, s.

Diagnosis: Nyonya D didiagnosis dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)


berdasarkan gejala sesak napas yang memburuk, infiltrat paru pada CXR, dan gangguan
pertukaran gas yang signifikan pada ABG.

Perawatan:

 Nyonya D dirawat di ICU untuk pemantauan ketat.

 Terapi oksigen yang cukup diberikan untuk mengatasi hipoksia.

 Ventilasi mekanis mungkin diperlukan jika pernapasannya semakin memburuk.

 Terapi antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi paru yang mungkin menjadi
penyebab ARDS.

 Cairan intravena diberikan dengan hati-hati untuk menghindari edema paru.

 Manajemen nyeri dan pemantauan tanda-tanda vital yang ketat penting dalam
perawatan ARDS.
Kasus ini mencerminkan seorang pasien kritis dengan ARDS yang mungkin terkait dengan
infeksi paru. ARDS adalah kondisi yang serius yang memerlukan perawatan intensif di ICU,
termasuk ventilasi mekanis dan manajemen infeksi yang tepat. Pemeriksaan penunjang yang
cermat adalah kunci dalam diagnosis dan penanganan ARDS.

Unit 4 : Kasus – 2 - Kasus klinik ruang ICU pasien dengan Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK)
Data Pasien:

27
 Nama: Nyonya F

 Usia: 70 tahun

 Jenis Kelamin: Perempuan

 Riwayat Medis: Merokok selama 40 tahun, PPOK

Keluhan Utama: Nyonya F dirawat di unit perawatan intensif (ICU) dengan keluhan sesak napas
yang semakin memburuk, batuk dengan sputum berwarna kemerahan, dan peningkatan
kelemahan fisik.

Anamnesis: Nyonya F mengalami gejala sesak napas dan batuk yang memburuk selama
beberapa bulan terakhir. Ia juga mengalami penurunan berat badan yang signifikan, kehilangan
selera makan, dan kelemahan fisik yang semakin parah. Ia memiliki riwayat merokok selama 40
tahun dan memiliki diagnosis PPOK.

Pemeriksaan Fisik:

 Tanda-tanda vital: Tekanan darah 150/90 mmHg, denyut nadi 110 bpm, frekuensi
pernapasan 28 per menit, suhu 37.8°C.

 Pada pemeriksaan fisik, terdapat retraksi dinding dada saat pernapasan, suara napas
yang keras dengan ronki di kedua lapangan paru, dan dada kiri terasa nyeri tekan.

Hasil Pemeriksaan Penunjang:

1. Elektrokardiogram (EKG):

 EKG dalam batas normal, menunjukkan tidak adanya masalah jantung.

2. Rontgen Dada (CXR):

 Hasil CXR menunjukkan pelebaran ruang udara pada paru-paru dan tanda-tanda
emfisema paru.

3. Echocardiogram (Ekoardiografi):

 Ekoardiogram menunjukkan fungsi jantung yang relatif normal.

4. Analisis Gas Darah Arteri (ABG):

 ABG menunjukkan pH darah 7,17, kadar karbon dioksida (PaCO2) 69 mmHg, dan
kadar oksigen (PaO2) 80 mmHg,

5. Spirometri:

 Hasil spirometri SaO2 88 mmHg menunjukkan penurunan kapasitas vital paru


dan penurunan nilai FEV1/FVC (rasio volume ekspirasi paksa satu detik terhadap
kapasitas vital) yang menunjukkan adanya obstruksi aliran udara.

28
Diagnosis: Nyonya F didiagnosis dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang telah
mengalami eksaserbasi akut. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat merokok, gejala klinis,
hasil spirometri yang mengindikasikan obstruksi aliran udara, serta gangguan pertukaran gas
yang signifikan pada ABG.

Terapi Obat

 Pemberian bronkodilator seperti albuterol untuk membantu memperlebar saluran


udara.

 Antibiotik jika terdapat tanda-tanda infeksi paru.

Kasus ini mencerminkan seorang pasien kritis dengan PPOK yang telah mengalami eksaserbasi
akut, memerlukan perawatan intensif di ICU. PPOK adalah penyakit paru kronis yang
memerlukan manajemen jangka panjang, dan eksaserbasi dapat menjadi kondisi yang serius dan
mengancam jiwa. Pemeriksaan penunjang yang cermat adalah kunci dalam diagnosis dan
penanganan PPOK.

Unit 5 : Kasus – 3 - kasus klinik ruang ICU pasien dengan Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK)

Data Pasien:

 Nama: Tuan G

 Usia: 64 tahun

 Jenis Kelamin: Laki-laki

 Riwayat Medis: Tidak ada riwayat penyakit paru sebelumnya, hipertensi, diabetes tipe
2

Keluhan Utama: Tuan G dirawat di unit perawatan intensif (ICU) dengan keluhan sesak napas
yang semakin memburuk, batuk berdahak, demam tinggi, dan kelemahan fisik.

Anamnesis: Tuan G mengalami gejala sesak napas yang semakin parah selama 1 minggu terakhir.
Ia juga mengalami demam tinggi, batuk berdahak dengan sputum berwarna kuning, dan
kelemahan fisik yang semakin parah. Ia memiliki riwayat kontak dengan kasus positif COVID-19.

Pemeriksaan Fisik:

 Tanda-tanda vital: Tekanan darah 150/90 mmHg, denyut nadi 120 bpm, frekuensi
pernapasan 40 per menit, suhu 39.5°C.

 Pada pemeriksaan fisik, terdapat retraksi dinding dada saat pernapasan, suara napas
yang keras dengan ronki di kedua lapangan paru, dan pergerakan dada yang simetris.

29
Hasil Pemeriksaan Penunjang:

1. Elektrokardiogram (EKG):

 EKG dalam batas normal, menunjukkan tidak adanya masalah jantung.

2. Rontgen Dada (CXR):

 Hasil CXR menunjukkan gambaran infiltrat paru yang menyebar, konsolidasi, dan
bayangan ground-glass opasitas yang khas pada COVID-19.

3. Echocardiogram (Ekoardiografi):

 Ekoardiogram menunjukkan fungsi jantung yang relatif normal.

4. Analisis Gas Darah Arteri (ABG):

 ABG menunjukkan pH darah 7.1 (asidosis respiratorik), peningkatan kadar


karbon dioksida (PaCO2) 72 mmHg, dan penurunan kadar oksigen (PaO2) 76
mmHg, mengindikasikan gangguan pertukaran gas yang signifikan.

5. Pemeriksaan PCR COVID-19:

 Hasil tes PCR COVID-19 positif, mengonfirmasi infeksi aktif dengan virus SARS-
CoV-2.

Diagnosis: Tuan G didiagnosis dengan gangguan respiratori akibat COVID-19. Diagnosis


ditegakkan berdasarkan gejala klinis, riwayat kontak dengan kasus positif, hasil PCR positif,
gambaran radiologi khas pada CXR, dan gangguan pertukaran gas yang signifikan pada ABG.

Terapi Obat

 remdesivir

Kasus ini mencerminkan seorang pasien kritis dengan gangguan respiratori yang disebabkan oleh
COVID-19, yang memerlukan perawatan intensif di ICU. COVID-19 adalah penyakit yang dapat
menyebabkan gangguan pernapasan serius, dan perawatan intensif, termasuk ventilasi mekanis,
mungkin diperlukan untuk mendukung pernapasan pasien. Pemeriksaan penunjang dan
tindakan medis yang cepat sangat penting dalam manajemen pasien COVID-19 yang kritis.

30
Modul 4 CPMK 2 s.d 6: Melakukan simulasi asuhan keperawatan, simulasi
pendidikan kesehatan, mengintegrasikan hasil-hasil penelitian kedalam asuhan
keperawatan, melaksanakan fungsi advokasi dan komunikasi dengan kasus kritis
terkait gangguan sistem Perkemihan pada individu dengan memperhatikan aspek legal
dan etis keperawatan kritis

Unit 1 : Ringkasan materi Sistem Perkemihan


Definisi: Penyakit Ginjal Kronis (CKD) adalah kondisi di mana ginjal mengalami kerusakan dan
hilangnya fungsi secara bertahap selama jangka waktu yang lama, biasanya berbulan-bulan
hingga bertahun-tahun. CKD merupakan masalah kesehatan yang serius karena dapat
menyebabkan komplikasi berbahaya.

Faktor Risiko:

 Diabetes mellitus

 Hipertensi (tekanan darah tinggi)

 Riwayat keluarga dengan CKD

 Penggunaan obat-obatan tertentu

 Merokok

 Obesitas

 Usia tua

Tahapan CKD: CKD dibagi menjadi lima tahapan berdasarkan tingkat kerusakan ginjal, yang
dinilai dengan tingkat glomerulus filtrasi (GFR). GFR adalah ukuran seberapa baik ginjal
menyaring limbah dari darah.

1. Tahap 1 (GFR ≥ 90): Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau hampir normal.

2. Tahap 2 (GFR 60-89): Kerusakan ginjal ringan dengan sedikit penurunan GFR.

3. Tahap 3 (GFR 30-59): Kerusakan ginjal moderat dengan penurunan GFR yang signifikan.

4. Tahap 4 (GFR 15-29): Kerusakan ginjal berat dengan penurunan GFR yang substansial.

5. Tahap 5 (GFR < 15): Gagal ginjal akut atau kronis dengan GFR sangat rendah.
Memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal.

Gejala dan Komplikasi:

 Penurunan fungsi ginjal tanpa gejala khusus pada tahap awal.

31
 Sesak napas, kelelahan, anemia, edema, hipertensi pada tahap lanjut.

 Komplikasi meliputi gagal jantung, kerusakan saraf, gangguan elektrolit, dan


osteoporosis.

Diagnosis dan Manajemen:

 Diagnosa dengan pemeriksaan darah (GFR, kreatinin) dan urine (albuminuria).

 Manajemen melibatkan pengendalian penyebab utama (misalnya, diabetes atau


hipertensi), perubahan gaya hidup sehat, diet rendah garam, penghindaran obat
nefrotoksik, dan pengawasan teratur oleh dokter.

Komplikasi Serius:

 Pada tahap lanjut, CKD dapat berkembang menjadi gagal ginjal, memerlukan terapi
pengganti ginjal seperti dialisis atau transplantasi ginjal.

 Pencegahan dan pengelolaan CKD pada tahap awal penting untuk mencegah komplikasi
yang serius.

Kesimpulan: Penyakit Ginjal Kronis adalah kondisi kronis yang mempengaruhi fungsi ginjal dan
dapat berkembang menjadi masalah serius. Pemeriksaan rutin dan manajemen yang tepat pada
tahap awal dapat membantu mengendalikan perkembangan penyakit ini dan meningkatkan
kualitas hidup pasien.

Trends dan Issue Ilmiah dalam Perawatan Pasien Kritis dengan Penyakit Ginjal Kronis (CKD) di
ICU

Trend 1: Manajemen Cairan yang Optimal


 Isu: Pasien CKD yang dirawat di ICU memiliki risiko tinggi terhadap gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit.

 Trend: Pengembangan strategi manajemen cairan yang lebih presisi dan terukur,
termasuk monitoring volume cairan dan berat pasien secara akurat, serta penggunaan
teknologi seperti bioimpedansi untuk evaluasi status cairan.

Trend 2: Hemodinamik dan Deteksi Dini Hipotensi

 Isu: Pasien CKD memiliki risiko hipotensi dan gangguan hemodinamik yang dapat
mempengaruhi fungsi ginjal.

 Trend: Perkembangan metode pemantauan hemodinamik yang lebih canggih, seperti


pemantauan tekanan arteri kontinu dan indeks kardiak, untuk deteksi dini hipotensi dan
tindakan yang cepat.

Trend 3: Perawatan Dialisis di ICU

 Isu: Pasien CKD dengan kebutuhan dialisis sering memerlukan perawatan di ICU.

32
 Trend: Peningkatan akses dan ketersediaan perawatan dialisis di ICU, serta
pengembangan teknologi dialisis kontinu yang lebih efisien dan aman.

Trend 4: Pemantauan Elektrolit dan Asam-Basa yang Ketat

 Isu: Ketidakseimbangan elektrolit dan gangguan asam-basa dapat memicu komplikasi


pada pasien CKD.

 Trend: Peningkatan pemantauan elektrolit dan asam-basa secara berkala, dengan


penekanan pada penggunaan analisis gas darah arteri dan pemeriksaan laboratorium
yang akurat.

Trend 5: Manajemen Obat yang Aman

 Isu: Pasien CKD sering mengkonsumsi obat-obatan yang mempengaruhi fungsi ginjal.

 Trend: Peningkatan kesadaran tentang dosis obat yang tepat, penghindaran obat
nefrotoksik, dan penggunaan perangkat lunak bantu keputusan klinis untuk
mengoptimalkan manajemen obat.

Trend 6: Pencegahan Infeksi Hospital-Acquired

 Isu: Pasien CKD rentan terhadap infeksi, terutama saat dirawat di ICU.

 Trend: Protokol ketat dalam pengendalian infeksi dan vaksinasi yang tepat untuk
mengurangi risiko infeksi nosokomial.

Trend 7: Peningkatan Edukasi Pasien

 Isu: Pasien CKD memerlukan pemahaman yang baik tentang kondisi mereka dan peran
aktif dalam manajemen penyakit.

 Trend: Peningkatan edukasi pasien dan keluarga, termasuk pemahaman tentang diet
yang tepat dan perawatan ginjal, serta mengelola obat dengan benar.

Dalam perawatan pasien kritis dengan CKD di ICU, terdapat berbagai tren dan isu ilmiah yang
mempengaruhi manajemen pasien. Perawat ICU perlu mengikuti perkembangan terkini dalam
penanganan CKD dan berkolaborasi dengan tim perawatan multidisiplin untuk memberikan
perawatan yang optimal kepada pasien.

33
Unit 2 : Kegiatan Pembelajaran Case Methode
Pembelajaran dengan metode studi kasus klinik menggunakan pendekatan case method atau
metode kasus merupakan salah satu cara efektif untuk mengajarkan konsep-konsep teoritis
dalam konteks situasi nyata. Berikut adalah tahapan-tahapan pembelajaran tutorial studi kasus
klinik dengan metode case method:

1. Pemilihan Kasus Klinik:

 Pilih kasus klinik yang relevan dengan materi yang akan diajarkan. Kasus harus
mencakup konsep-konsep penting yang ingin disampaikan kepada mahasiswa.

 Pastikan kasus memiliki tingkat kompleksitas yang sesuai dengan tingkat


pemahaman mahasiswa.

2. Penyusunan Kasus Klinik:

 Buatlah kasus klinik yang terstruktur dengan baik, menggambarkan latar


belakang pasien, riwayat medis, keluhan, temuan fisik, dan hasil pemeriksaan
yang relevan.
 Sertakan elemen-elemen yang mendorong pemikiran kritis, seperti informasi
yang ambigu, konflik dalam pengambilan keputusan, atau pilihan pengobatan
yang beragam.

3. Pendahuluan Kasus:
 Mulailah tutorial dengan memberikan pemahaman tentang konteks kasus klinik
kepada mahasiswa.

 Jelaskan tujuan pembelajaran dan konsep-konsep yang akan dicapai melalui


pemecahan masalah kasus ini.

4. Pembagian Kelompok:

 Mahasiswa dibagi menjadi kelompok kecil, biasanya 4-6 orang per kelompok.

 Setiap kelompok akan menganalisis kasus secara terpisah.

5. Analisis Kasus:

 Setiap kelompok melakukan analisis mendalam terhadap kasus klinik yang


diberikan.

 Mereka harus mengidentifikasi masalah, mencari faktor penyebab, dan


merencanakan penanganan yang tepat.

6. Diskusi Kelompok:

34
 Setiap kelompok berkumpul untuk berdiskusi dan membahas temuan mereka.

 Diskusi kelompok ini membantu mahasiswa untuk berkolaborasi, berbagi ide,


dan memperoleh pemahaman yang lebih dalam.

7. Diskusi Kelas:

 Kelompok-kelompok tersebut kemudian menyajikan temuan mereka kepada


seluruh kelas.

 Diskusi kelas dipandu oleh instruktur, yang dapat mengajukan pertanyaan,


mendorong pemikiran kritis, dan memfasilitasi debat.

8. Analisis Alternatif:

 Mahasiswa diajak untuk mempertimbangkan berbagai alternatif dalam


penanganan kasus.

 Mereka harus mampu mempertahankan argumen mereka dan merespons


pertanyaan kelas.

9. Evaluasi Hasil:

 Setelah diskusi, instruktur dapat memberikan umpan balik dan mengevaluasi


pemahaman mahasiswa terhadap materi.

 Mahasiswa juga dapat mengevaluasi solusi yang diajukan oleh kelompok lain.

10. Refleksi dan Kesimpulan:

 Akhir tutorial, mahasiswa diminta untuk merenungkan pelajaran yang mereka


pelajari dari kasus klinik.
 Kesimpulan dari pembelajaran ini dicatat dan digunakan sebagai dasar untuk
memahami konsep-konsep yang telah diajarkan.

Metode studi kasus klinik dengan pendekatan case method memungkinkan mahasiswa untuk
belajar secara aktif, berpikir kritis, dan menerapkan pengetahuan dalam konteks keperawatan
praktis. Ini juga mempromosikan interaksi antar-mahasiswa dan memberikan kesempatan untuk
mendapatkan umpan balik langsung dari instruktur. Dengan tahapan-tahapan ini, pembelajaran
menjadi lebih terstruktur dan efektif.

35
Unit 3 : Kasus – 1 - kasus klinik ruang ICU pasien dengan Cronic Kidney
Diseases
Data Pasien:

 Nama: Bapak Arief

 Usia: 58 tahun

 Jenis Kelamin: Laki-laki

 Riwayat Kesehatan: Bapak Arief telah lama menderita Diabetes Mellitus tipe 2 dan
hipertensi arteri. Dia juga memiliki riwayat penyakit ginjal kronis stadium 3 yang telah
dipantau oleh dokter spesialis nefrologi.

Keluhan Utama:

 Sesak napas yang semakin parah selama beberapa hari terakhir.

 Kadar kreatinin dalam darah meningkat tajam.

Pemeriksaan Fisik:

 Tanda-tanda vital: Tekanan darah tinggi (sistolik 180/ diastolik 100 mmHg), frekuensi
nadi 110 denyut per menit, saturasi oksigen 88%.

 Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya edema (pembengkakan) pada pergelangan kaki,


kaki, dan perut.

Hasil Pemeriksaan Laboratorium:

 Kreatinin serum: 4,5 mg/dL (normal 0,6 - 1,2 mg/dL)

 Ureum darah: 90 mg/dL (normal 7 - 20 mg/dL)

 Elektrolit: Natrium 142 mEq/L, Kalium 6,0 mEq/L

 Gas darah arteri: pH 7,28, PaO2 68 mmHg, PaCO2 50 mmHg, HCO3- 24 mEq/L

 Urinalisis: Proteinuria 3+, Hematuria 2+

 USG ginjal: Memperlihatkan gambaran ginjal dengan ukuran mengecil, dengan tanda-
tanda fibrosis dan struktur ginjal yang tidak merata.

Diagnosis: Berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan, Bapak Arief didiagnosis dengan
eksaserbasi (kambuh akut) penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease) yang disebabkan oleh
peningkatan kadar ureum dan kreatinin dalam darahnya. Selain itu, dia juga mengalami gagal
jantung kongestif dan hipertensi yang tidak terkontrol.

Prognosis: Prognosis Bapak Arief akan sangat bergantung pada respons terhadap hemodialisis
dan pengelolaan komplikasi penyakit ginjal kronis. Kondisi ini bisa menjadi serius dan

36
memerlukan perawatan jangka panjang. Konsultasi dan perawatan oleh seorang nefrologi akan
sangat penting untuk mengelola penyakit ginjal kronis ini secara optimal.

37
Modul 4 CPMK 2 s.d 6: Melakukan simulasi asuhan keperawatan, simulasi
pendidikan kesehatan, mengintegrasikan hasil-hasil penelitian kedalam asuhan
keperawatan, melaksanakan fungsi advokasi dan komunikasi dengan kasus kritis
terkait gangguan sistem endokrin/ gangguan metabolik pada individu dengan
memperhatikan aspek legal dan etis keperawatan kritis

Unit 1 : Ringkasan materi Sistem Endokrin (Metabolik)


Pendahuluan: Ketoasidosis Diabetikum (DKA) adalah keadaan darurat medis yang sering terjadi
pada penderita Diabetes Mellitus yang tidak terkontrol. DKA ditandai oleh kadar gula darah yang
sangat tinggi (hiperglikemia), keton dalam darah, dan asidosis. Perawatan kritis DKA adalah
esensial untuk menghindari komplikasi yang serius.

Langkah-langkah Perawatan:

1. Evaluasi Awal:

 Monitor tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, saturasi oksigen).

 Periksa kadar glukosa darah.

 Ambil sampel darah untuk mengukur pH darah, keton, elektrolit, dan kreatinin.

2. Resusitasi Cairan:

 Berikan cairan intravena dengan larutan saline normal untuk menggantikan


cairan yang hilang dan mengatasi dehidrasi.

 Lakukan pemantauan ketat terhadap status cairan pasien.

3. Insulin:

 Berikan insulin intravena untuk menurunkan kadar glukosa darah secara


bertahap.

 Perlu pengawasan ketat terhadap glukosa darah dan penyesuaian dosis insulin.

4. Koreksi Elektrolit:

 Koreksi ketidakseimbangan elektrolit, terutama kalium.

 Pantau kadar kalium dalam darah secara berkala.

5. Asidosis:

 Perawatan fokus pada koreksi asidosis metabolik dengan pemantauan pH darah.

 Jika pH terlalu rendah, pertimbangkan pemberian bikarbonat.

6. Pantau Komplikasi:

38
 Pantau tanda-tanda komplikasi seperti edema otak, gagal jantung, atau gagal
ginjal.

7. Penyebab DKA:

 Identifikasi dan perawatan penyebab DKA, seperti infeksi atau penghentian obat
diabetes.

8. Edukasi Pasien:

 Berikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang manajemen diabetes yang
lebih baik untuk mencegah kambuhnya DKA.

9. Transfer ke ICU:

 Pertimbangkan untuk mentransfer pasien ke unit perawatan intensif jika DKA


sangat parah atau ada komplikasi serius.

Kesimpulan: Perawatan kritis pasien Ketoasidosis Diabetikum melibatkan resusitasi cairan,


pengelolaan insulin, koreksi elektrolit, dan pemantauan ketat terhadap status pasien. Tindakan
ini harus dilakukan dengan cepat untuk menghindari komplikasi yang dapat mengancam nyawa.
Pemantauan lanjutan dan edukasi pasien merupakan bagian penting dari manajemen DKA.

Trend dan Issue

Tren dan isu ilmiah dalam riset perawatan pasien kritis dengan Ketoasidosis Diabetikum (DKA)
berkaitan dengan pengembangan pendekatan perawatan yang lebih efektif, identifikasi faktor
risiko, peningkatan pemahaman patofisiologi DKA, dan upaya untuk mengurangi angka kematian
serta komplikasi yang terkait dengan kondisi ini. Berikut beberapa tren dan isu ilmiah yang
relevan:

1. Penggunaan Insulin:

 Penelitian terus mengembangkan metode dan dosis optimal pemberian insulin


dalam pengelolaan DKA. Peningkatan kontrol glukosa darah dan penghindaran
hipoglikemia merupakan fokus utama.

2. Manajemen Cairan:
 Isu seputar manajemen cairan tetap menjadi topik penting. Penelitian berfokus
pada strategi cairan yang tepat untuk mencegah edema otak dan komplikasi
lainnya.

3. Koreksi Elektrolit:

 Studi tentang penanganan ketidakseimbangan elektrolit, terutama pengelolaan


kalium, terus berkembang.

39
4. Diagnosis Dini dan Identifikasi Faktor Risiko:

 Identifikasi dini pasien yang berisiko tinggi untuk mengembangkan DKA dan
tindakan pencegahan menjadi subjek riset penting.

5. Terapi Adjuvan:

 Penelitian mengenai penggunaan terapi adjuvan seperti bikarbonat dalam


penanganan asidosis metabolik DKA.

6. Pemantauan Non-invasif:

 Pengembangan teknologi pemantauan non-invasif yang dapat membantu dalam


pemantauan pasien dengan DKA tanpa mengganggu pasien.

7. Manajemen Komplikasi:

 Penelitian bertujuan untuk memahami dan mengelola komplikasi DKA seperti


edema otak, gagal jantung, dan gangguan elektrolit yang dapat terjadi selama
atau setelah perawatan.

8. Faktor Genetik:

 Penelitian genetik untuk memahami apakah ada faktor genetik yang


mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk mengembangkan DKA.

9. Edukasi Pasien:

 Studi tentang efektivitas program edukasi pasien dan upaya untuk


meningkatkan pemahaman pasien tentang manajemen diabetes untuk
mencegah DKA.

10. Perawatan Pasien Kritis:

 Penelitian terkait perawatan intensif pasien DKA dalam unit perawatan intensif
(ICU) dan upaya untuk memperbaiki hasil pasien kritis dengan DKA.

11. Pengembangan Protokol Perawatan:

 Pengembangan protokol perawatan yang lebih terstandarisasi dan efektif untuk


DKA di berbagai tingkat keparahan.

12. Penggunaan Teknologi:


 Penggunaan teknologi seperti telemetri untuk pemantauan jarak jauh dan
perkembangan aplikasi seluler untuk pemantauan glukosa dan manajemen
diabetes yang lebih baik.

Tren dan isu ini mencerminkan upaya terus-menerus dalam dunia medis untuk meningkatkan
perawatan pasien kritis dengan DKA dan mengurangi komplikasi serta angka kematian yang
terkait dengan kondisi ini. Penelitian lebih lanjut dalam bidang ini diharapkan akan memberikan
wawasan yang lebih baik dan solusi perawatan yang lebih efektif bagi pasien dengan DKA.

40
Unit 2 : Kegiatan Pembelajaran Case Methode
Pembelajaran dengan metode studi kasus klinik menggunakan pendekatan case method atau
metode kasus merupakan salah satu cara efektif untuk mengajarkan konsep-konsep teoritis
dalam konteks situasi nyata. Berikut adalah tahapan-tahapan pembelajaran tutorial studi kasus
klinik dengan metode case method:

1. Pemilihan Kasus Klinik:

 Pilih kasus klinik yang relevan dengan materi yang akan diajarkan. Kasus harus
mencakup konsep-konsep penting yang ingin disampaikan kepada mahasiswa.

 Pastikan kasus memiliki tingkat kompleksitas yang sesuai dengan tingkat


pemahaman mahasiswa.

2. Penyusunan Kasus Klinik:

 Buatlah kasus klinik yang terstruktur dengan baik, menggambarkan latar


belakang pasien, riwayat medis, keluhan, temuan fisik, dan hasil pemeriksaan
yang relevan.
 Sertakan elemen-elemen yang mendorong pemikiran kritis, seperti informasi
yang ambigu, konflik dalam pengambilan keputusan, atau pilihan pengobatan
yang beragam.

3. Pendahuluan Kasus:
 Mulailah tutorial dengan memberikan pemahaman tentang konteks kasus klinik
kepada mahasiswa.

 Jelaskan tujuan pembelajaran dan konsep-konsep yang akan dicapai melalui


pemecahan masalah kasus ini.

4. Pembagian Kelompok:

 Mahasiswa dibagi menjadi kelompok kecil, biasanya 4-6 orang per kelompok.

 Setiap kelompok akan menganalisis kasus secara terpisah.

5. Analisis Kasus:

 Setiap kelompok melakukan analisis mendalam terhadap kasus klinik yang


diberikan.

 Mereka harus mengidentifikasi masalah, mencari faktor penyebab, dan


merencanakan penanganan yang tepat.

6. Diskusi Kelompok:

 Setiap kelompok berkumpul untuk berdiskusi dan membahas temuan mereka.

41
 Diskusi kelompok ini membantu mahasiswa untuk berkolaborasi, berbagi ide,
dan memperoleh pemahaman yang lebih dalam.

7. Diskusi Kelas:

 Kelompok-kelompok tersebut kemudian menyajikan temuan mereka kepada


seluruh kelas.

 Diskusi kelas dipandu oleh instruktur, yang dapat mengajukan pertanyaan,


mendorong pemikiran kritis, dan memfasilitasi debat.

8. Analisis Alternatif:

 Mahasiswa diajak untuk mempertimbangkan berbagai alternatif dalam


penanganan kasus.

 Mereka harus mampu mempertahankan argumen mereka dan merespons


pertanyaan kelas.

9. Evaluasi Hasil:

 Setelah diskusi, instruktur dapat memberikan umpan balik dan mengevaluasi


pemahaman mahasiswa terhadap materi.

 Mahasiswa juga dapat mengevaluasi solusi yang diajukan oleh kelompok lain.

10. Refleksi dan Kesimpulan:

 Akhir tutorial, mahasiswa diminta untuk merenungkan pelajaran yang mereka


pelajari dari kasus klinik.

 Kesimpulan dari pembelajaran ini dicatat dan digunakan sebagai dasar untuk
memahami konsep-konsep yang telah diajarkan.

Metode studi kasus klinik dengan pendekatan case method memungkinkan mahasiswa untuk
belajar secara aktif, berpikir kritis, dan menerapkan pengetahuan dalam konteks keperawatan
praktis. Ini juga mempromosikan interaksi antar-mahasiswa dan memberikan kesempatan untuk
mendapatkan umpan balik langsung dari instruktur. Dengan tahapan-tahapan ini, pembelajaran
menjadi lebih terstruktur dan efektif.

Unit 3 : Kasus – 1 - kasus klinik ruang ICU pasien dengan Ketoasidosis


Diabetikum (KAD)
Data Pasien:

 Nama: Ibu Sinta

 Usia: 42 tahun

 Jenis Kelamin: Perempuan

42
 Riwayat Kesehatan: Ibu Sinta telah didiagnosis menderita Diabetes Mellitus tipe 1
selama 15 tahun. Dia mempunyai riwayat penggunaan insulin yang tidak teratur dan
penyakit ginjal kronis stadium 2.

Keluhan Utama:

 Ibu Sinta datang ke unit gawat darurat dengan gejala mual, muntah, nyeri perut yang
hebat, dan kesulitan bernapas.

 Ibu Sinta merasa sangat lemah dan mengeluhkan kebingungannya.

Pemeriksaan Fisik:

 Tanda-tanda vital: Tekanan darah rendah (sistolik 80/ diastolik 50 mmHg), frekuensi nadi
130 denyut per menit, saturasi oksigen 90%, suhu tubuh 38,5°C.

 Pemeriksaan fisik menunjukkan kesadaran menurun, nafas cepat dan dalam, dan perut
yang kembung.

Hasil Pemeriksaan Laboratorium:

 Kadar glukosa darah: 550 mg/dL (normal < 100 mg/dL)

 Keton dalam darah dan urine: Positif

 pH darah: 7,10 (normal 7,35 - 7,45)

 Bikarbonat (HCO3-): 10 mEq/L (normal 22 - 28 mEq/L)

 Elektrolit: Natrium 135 mEq/L, Kalium 6,5 mEq/L

 Gas darah arteri: PaO2 70 mmHg, PaCO2 20 mmHg

 Ureum darah: 40 mg/dL (normal 7 - 20 mg/dL)

 Kreatinin serum: 1,8 mg/dL (normal 0,6 - 1,2 mg/dL)

Diagnosis: Berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan, Ibu Sintadidiagnosis dengan
Ketoasidosis Diabetikum (DKA) yang disebabkan oleh kegagalan pengelolaan diabetes dan kadar
glukosa darah yang sangat tinggi. Kondisi ini juga disertai dengan asidosis metabolik dan ketosis
yang parah.

Prognosis: Prognosis Ibu Sintatergantung pada seberapa cepat dan efektif DKA dapat dikelola.
Dalam beberapa hari setelah perawatan intensif di ICU, jika responsnya baik, kondisinya dapat
membaik. Namun, perlu perhatian lanjutan terhadap manajemen diabetes dan pengendalian
kadar glukosa darah untuk mencegah kambuhnya DKA di masa depan.

43
Modul 6 CPMK 2 s.d 6: Melakukan simulasi asuhan keperawatan, simulasi
pendidikan kesehatan, mengintegrasikan hasil-hasil penelitian kedalam asuhan
keperawatan, melaksanakan fungsi advokasi dan komunikasi dengan kasus kritis
terkait gangguan sistem Pencernaan pada individu dengan memperhatikan aspek legal
dan etis keperawatan kritis

Unit 1 : Ringkasan materi Sistem Pencernaan


Pendahuluan: Perdarahan akut dari sistem pencernaan, yang sering kali menghasilkan melena
(feses berwarna hitam seperti terbakar), adalah kondisi darurat medis yang memerlukan
perhatian segera. Keperawatan kritis pada pasien dengan melena bertujuan untuk
menghentikan perdarahan, menjaga stabilitas hemodinamik, dan mengidentifikasi
penyebabnya.

Langkah-langkah Keperawatan Kritis:

1. Evaluasi Cepat:

 Perdarahan akut dapat mengancam nyawa. Evaluasi cepat tanda-tanda vital


(tekanan darah, denyut nadi, saturasi oksigen) penting untuk menilai stabilitas
hemodinamik.

2. Resusitasi Cairan:

 Jika pasien mengalami syok atau tanda-tanda dehidrasi yang berat, berikan
cairan intravena (misalnya, larutan saline normal) untuk menggantikan volume
darah yang hilang.

3. Transfusi Darah:

 Pertimbangkan transfusi darah jika pasien mengalami anemia berat atau syok
hemoragik. Jenis darah yang tepat harus dipilih berdasarkan pemeriksaan darah
lengkap.

4. Prosedur Endoskopi:

 Pasien dengan melena sering kali memerlukan esofagogastroduodenoskopi


(EGD) untuk mengidentifikasi lokasi dan penyebab perdarahan. Keperawatan
pra-dan-pasca EGD harus dilakukan dengan cermat.

5. Pantau Output Darah:

 Pantau jumlah darah dalam muntahan atau feses. Perubahan tanda-tanda


perdarahan yang signifikan harus segera dilaporkan.

6. Obat Hemostatik:

44
 Dalam beberapa kasus, obat-obatan hemostatik seperti epinefrin atau obat
injeksi lainnya dapat digunakan untuk menghentikan perdarahan selama EGD.

7. Koreksi Koagulopati:

 Periksa profil koagulasi dan koreksi kelainan yang ditemukan, seperti


koagulopati karena defisiensi faktor pembekuan.

8. Pantau Respon Terapi:

 Pantau tanda-tanda vital dan laboratorium secara berkala untuk memastikan


respons terhadap perawatan.

9. Edukasi Pasien dan Keluarga:

 Sampaikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai perawatan yang


sedang dilakukan, proses penyembuhan, dan tanda-tanda peringatan yang
harus diwaspadai.

10. Penyebab Gizi Rendah:

 Pastikan pasien mendapatkan nutrisi yang memadai, terutama jika perdarahan


menyebabkan defisiensi zat besi.

Kesimpulan: Perdarahan akut sistem pencernaan dengan melena merupakan kondisi yang
memerlukan perawatan kritis yang cepat dan tepat. Keperawatan harus berfokus pada
menghentikan perdarahan, menjaga stabilitas hemodinamik, dan mengidentifikasi
penyebabnya. Kolaborasi antara tim medis dan perawat sangat penting untuk memastikan
perawatan yang efektif dan pemantauan yang cermat terhadap pasien.
Tren dan issu dalam hasil riset penatalaksanaan pasien kritis akibat perdarahan akut sistem
pencernaan terus berkembang seiring dengan peningkatan pemahaman tentang kondisi ini.
Berikut adalah beberapa tren dan isu utama yang terkait dengan penatalaksanaan pasien kritis
akibat perdarahan akut sistem pencernaan:

1. Penyelidikan Penyebab Perdarahan: Penelitian terus berfokus pada pengembangan


teknologi dan teknik untuk mengidentifikasi sumber perdarahan dengan cepat dan
akurat. Pemeriksaan endoskopi yang lebih canggih dan modalitas pencitraan seperti
endoskopi kapsul dan angiografi mesenterik adalah bidang yang aktif diteliti.

2. Terapi Hemostatik: Pengembangan terapi hemostatik yang lebih efektif dan aman untuk
menghentikan perdarahan merupakan isu penting. Ini mencakup penggunaan agen
hemostatik topikal, obat-obatan, dan teknologi intervensi seperti embolisasi arteri.

3. Manajemen Cairan:
 Isu manajemen cairan yang tepat dalam pasien perdarahan akut menjadi
perhatian. Strategi resusitasi cairan yang lebih terkontrol dan terpersonalisasi
dikaji.

45
4. Transfusi Darah: Penelitian berfokus pada manajemen transfusi darah yang optimal
untuk pasien perdarahan akut. Hal ini mencakup pemilihan komponen darah yang tepat
dan penentuan ambang batas transfusi.

5. Intervensi Minimal Invasif: Teknik minimal invasif, seperti embolisasi arteri atau
tindakan endoskopik, semakin diterapkan untuk menghentikan perdarahan pada pasien
dengan risiko tinggi untuk pembedahan konvensional.

6. Pengembangan Protokol Perawatan:

 Pengembangan protokol perawatan yang lebih terstandarisasi dan panduan


praktik klinis untuk penatalaksanaan pasien kritis dengan perdarahan akut
sistem pencernaan.

7. Komorbiditas: Perdarahan sistem pencernaan sering terjadi pada pasien dengan


komorbiditas seperti penyakit hati, sirosis, atau gagal jantung. Studi tentang penanganan
perdarahan pada pasien dengan kondisi-kondisi ini menjadi fokus.

8. Penggunaan Terapi Antikoagulan dan Antiplatelet: Penelitian tentang penanganan


perdarahan pada pasien yang sedang menggunakan terapi antikoagulan atau
antiplatelet semakin penting seiring dengan peningkatan penggunaan obat-obatan ini.

9. Kontroversi Terkait Transfusi:

 Tren dalam literatur medis mengenai ambang batas transfusi darah, kapan dan
berapa banyak, seringkali menjadi subjek perdebatan. Penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk memberikan panduan yang lebih jelas.

10. Peran Teknologi Medis: Penggunaan teknologi medis seperti telemedicine dan
pemantauan jarak jauh untuk pengawasan pasien perdarahan akut dalam lingkungan
rumah sakit atau di rumah.

11. Manajemen Pasien Geriatrik: Perdarahan sistem pencernaan pada pasien geriatrik
dapat menimbulkan tantangan tersendiri. Studi tentang manajemen pasien kritis
geriatrik dengan perdarahan akut semakin mendapatkan perhatian.

Tren dan isu-isu ini mencerminkan upaya medis untuk terus meningkatkan perawatan dan
manajemen pasien kritis dengan perdarahan akut sistem pencernaan. Penelitian yang terus
menerus dalam bidang ini diharapkan akan membantu mengoptimalkan hasil pasien dan
mengurangi angka mortalitas yang terkait dengan kondisi ini.

Unit 2 : Kegiatan Pembelajaran Case Methode


Pembelajaran dengan metode studi kasus klinik menggunakan pendekatan case method atau
metode kasus merupakan salah satu cara efektif untuk mengajarkan konsep-konsep teoritis

46
dalam konteks situasi nyata. Berikut adalah tahapan-tahapan pembelajaran tutorial studi kasus
klinik dengan metode case method:

1. Pemilihan Kasus Klinik:

 Pilih kasus klinik yang relevan dengan materi yang akan diajarkan. Kasus harus
mencakup konsep-konsep penting yang ingin disampaikan kepada mahasiswa.

 Pastikan kasus memiliki tingkat kompleksitas yang sesuai dengan tingkat


pemahaman mahasiswa.

2. Penyusunan Kasus Klinik:

 Buatlah kasus klinik yang terstruktur dengan baik, menggambarkan latar


belakang pasien, riwayat medis, keluhan, temuan fisik, dan hasil pemeriksaan
yang relevan.

 Sertakan elemen-elemen yang mendorong pemikiran kritis, seperti informasi


yang ambigu, konflik dalam pengambilan keputusan, atau pilihan pengobatan
yang beragam.

3. Pendahuluan Kasus:

 Mulailah tutorial dengan memberikan pemahaman tentang konteks kasus klinik


kepada mahasiswa.

 Jelaskan tujuan pembelajaran dan konsep-konsep yang akan dicapai melalui


pemecahan masalah kasus ini.

4. Pembagian Kelompok:

 Mahasiswa dibagi menjadi kelompok kecil, biasanya 4-6 orang per kelompok.

 Setiap kelompok akan menganalisis kasus secara terpisah.

5. Analisis Kasus:

 Setiap kelompok melakukan analisis mendalam terhadap kasus klinik yang


diberikan.

 Mereka harus mengidentifikasi masalah, mencari faktor penyebab, dan


merencanakan penanganan yang tepat.

6. Diskusi Kelompok:

 Setiap kelompok berkumpul untuk berdiskusi dan membahas temuan mereka.

 Diskusi kelompok ini membantu mahasiswa untuk berkolaborasi, berbagi ide,


dan memperoleh pemahaman yang lebih dalam.

7. Diskusi Kelas:

47
 Kelompok-kelompok tersebut kemudian menyajikan temuan mereka kepada
seluruh kelas.

 Diskusi kelas dipandu oleh instruktur, yang dapat mengajukan pertanyaan,


mendorong pemikiran kritis, dan memfasilitasi debat.

8. Analisis Alternatif:

 Mahasiswa diajak untuk mempertimbangkan berbagai alternatif dalam


penanganan kasus.
 Mereka harus mampu mempertahankan argumen mereka dan merespons
pertanyaan kelas.

9. Evaluasi Hasil:

 Setelah diskusi, instruktur dapat memberikan umpan balik dan mengevaluasi


pemahaman mahasiswa terhadap materi.

 Mahasiswa juga dapat mengevaluasi solusi yang diajukan oleh kelompok lain.

10. Refleksi dan Kesimpulan:

 Akhir tutorial, mahasiswa diminta untuk merenungkan pelajaran yang mereka


pelajari dari kasus klinik.

 Kesimpulan dari pembelajaran ini dicatat dan digunakan sebagai dasar untuk
memahami konsep-konsep yang telah diajarkan.

Metode studi kasus klinik dengan pendekatan case method memungkinkan mahasiswa untuk
belajar secara aktif, berpikir kritis, dan menerapkan pengetahuan dalam konteks keperawatan
praktis. Ini juga mempromosikan interaksi antar-mahasiswa dan memberikan kesempatan untuk
mendapatkan umpan balik langsung dari instruktur. Dengan tahapan-tahapan ini, pembelajaran
menjadi lebih terstruktur dan efektif.

Unit 3 : Kasus – 1 -Kasus Klinik Ruang ICU pasien dengan perdarahan akut
gastrointestinal
Data Pasien:

 Nama: Tuan Ali

 Usia: 65 tahun

 Jenis Kelamin: Laki-laki

 Riwayat Kesehatan: Tuan Ali memiliki riwayat hipertensi dan penyakit lambung kronis.

Keluhan Utama:

48
 Tuan Ali datang ke unit gawat darurat dengan muntah darah merah segar dalam jumlah
banyak.

 Dia mengeluhkan nyeri perut yang hebat.

Pemeriksaan Fisik:

 Tanda-tanda vital: Tekanan darah rendah (sistolik 90/ diastolik 60 mmHg), frekuensi nadi
120 denyut per menit, saturasi oksigen 92% dengan oksigen tambahan.

 Pemeriksaan fisik menunjukkan perut kembung dan lemas.

Hasil Pemeriksaan Laboratorium:

 Hemoglobin: 7,0 g/dL (normal 13,5 - 17,5 g/dL)

 Hematokrit: 21% (normal 38,3 - 48,6%)

 Kreatinin serum: 1,8 mg/dL (normal 0,6 - 1,2 mg/dL)

 Elektrolit: Natrium 135 mEq/L, Kalium 3,2 mEq/L

 Endoskopi Lambung: Memperlihatkan adanya ulkus peptikum dengan perdarahan aktif


pada bagian lambung.

Diagnosis: Berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan, Tuan Ali didiagnosis dengan
perdarahan akut gastrointestinal yang disebabkan oleh ulkus peptikum pada lambungnya.
Kondisinya sangat serius dan memerlukan penanganan segera.

Prognosis: Prognosis Tuan Ali tergantung pada seberapa cepat dan efektif perdarahan dapat
dikelola. Dalam beberapa hari setelah perawatan intensif di ICU, jika perdarahannya berhasil
dihentikan dan kondisinya stabil, kemungkinan pemulihannya akan meningkat. Namun, perlu
perhatian lanjutan terhadap pengelolaan ulkus peptikum dan tindak lanjut untuk mencegah
kekambuhan perdarahan.

49
Modul 7 CPMK 2 s.d 6: Melakukan simulasi asuhan keperawatan, simulasi
pendidikan kesehatan, mengintegrasikan hasil-hasil penelitian kedalam asuhan
keperawatan, melaksanakan fungsi advokasi dan komunikasi dengan kasus kritis
terkait gangguan sistem Persarafan pada individu dengan memperhatikan aspek legal
dan etis keperawatan kritis

Unit 1 : Ringkasan materi Sistem Persarafan: Stroke


Pendahuluan: Stroke adalah kondisi medis darurat yang memerlukan perawatan segera.
Perawatan kritis pasien stroke melibatkan tindakan cepat untuk mengurangi kerusakan otak dan
meningkatkan prognosis pasien.

Ringkasan Materi Perawatan Kritis Pasien Stroke:


1. Evaluasi Cepat:

 Evaluasi segera dengan menilai tanda-tanda vital, riwayat medis, dan gejala
stroke. Identifikasi tipe stroke (ischemic atau hemoragik) dengan neuroimaging
seperti CT scan atau MRI.

2. Penilaian NIHSS:

 Gunakan Skor NIH Stroke Scale (NIHSS) untuk mengukur tingkat keparahan
stroke dan membantu dalam perencanaan perawatan.

3. Terapi Trombolitik:
 Jika pasien memenuhi kriteria, pemberian trombolitik intravena seperti
alteplase dapat dilakukan untuk mengatasi stroke iskemik dalam waktu yang
sangat singkat setelah timbulnya gejala.

4. Manajemen Hemodinamik:
 Jaga tekanan darah, detak jantung, dan kadar oksigen dalam rentang yang aman.
Kontrol tekanan darah secara hati-hati jika pasien memiliki tekanan darah tinggi
yang signifikan.

5. Pengelolaan Kompresi Otak (pada stroke hemoragik):

 Jika terjadi perdarahan intrakranial, perlu meminimalkan tekanan intrakranial


dengan tindakan seperti elevasi kepala tempat tidur, pengendalian tekanan
darah, dan pemberian obat anti-edema.

6. Manajemen Komplikasi:

50
 Pantau perkembangan komplikasi seperti pneumonia, infeksi saluran kemih,
trombosis vena dalam, dan kerusakan kulit pada pasien yang tidak dapat
bergerak.

7. Rehabilitasi Dini:

 Mulai rehabilitasi dini, termasuk fisioterapi, terapi bicara, dan terapi okupasi,
untuk memaksimalkan pemulihan pasien.

8. Pencegahan Stroke Berulang:


 Evaluasi faktor risiko seperti tekanan darah tinggi, diabetes, hiperlipidemia, dan
fibrilasi atrial untuk mencegah terjadinya stroke berulang.

9. Edukasi Pasien dan Keluarga:

 Berikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang gejala stroke, tindakan
pencegahan, dan perawatan jangka panjang.

10. Kolaborasi Tim Medis:

 Kerjasama antara berbagai spesialis, termasuk neurolog, ahli rehabilitasi, dan


perawat kritis, penting untuk perawatan pasien stroke yang holistik.

Kesimpulan: Perawatan kritis pasien stroke memerlukan tindakan cepat, evaluasi menyeluruh,
dan manajemen komprehensif untuk mengoptimalkan prognosis dan pemulihan. Kolaborasi tim
medis yang efektif dan edukasi kepada pasien dan keluarga juga merupakan bagian penting dari
perawatan stroke yang sukses.

Tren dan issu ilmiah dalam hasil riset penatalaksanaan pasien stroke terus berkembang seiring
dengan peningkatan pemahaman tentang penyakit ini dan upaya untuk meningkatkan
perawatan pasien. Berikut beberapa tren dan isu utama yang terkait dengan penatalaksanaan
pasien stroke:

1. Terapi Trombolitik yang Lebih Efektif dan Aman:

 Penelitian terus berfokus pada pengembangan terapi trombolitik yang lebih


efektif dan aman untuk mengatasi stroke iskemik. Ini termasuk pengembangan
agen trombolitik baru dan pemahaman yang lebih baik tentang jendela waktu
optimal untuk pemberian trombolitik.

2. Intervensi Endovaskular:

 Terapi endovaskular seperti thrombectomy (pengangkatan gumpalan darah dari


pembuluh darah) telah menjadi fokus utama dalam penatalaksanaan stroke
iskemik akut. Pengembangan teknik dan teknologi terbaru dalam intervensi
endovaskular adalah isu penting.

51
3. Perawatan Stroke Hemoragik:

 Penelitian lebih lanjut mengenai penanganan stroke hemoragik, termasuk


pengembangan metode untuk mengendalikan perdarahan dan mengurangi
kerusakan otak.

4. Penggunaan Telemedicine:

 Penggunaan telemedicine dalam penanganan stroke semakin penting, terutama


untuk memberikan perawatan cepat di daerah terpencil atau saat pandemi.

5. Rehabilitasi Berbasis Teknologi:

 Penggunaan teknologi seperti rehabilitasi berbasis virtual reality atau tele-


rehabilitasi untuk memfasilitasi pemulihan pasien stroke.

6. Faktor Risiko Modifikasi:

 Studi tentang efektivitas intervensi untuk mengendalikan faktor risiko stroke,


seperti tekanan darah tinggi, diabetes, dan hiperlipidemia, untuk mencegah
terjadinya stroke berulang.

7. Pemahaman Mengenai Peran Genetik:

 Penelitian genetik yang lebih mendalam untuk memahami faktor genetik yang
mempengaruhi risiko dan prognosis stroke.

8. Perawatan Pasien Geriatrik:

 Manajemen khusus bagi pasien stroke geriatrik dengan mempertimbangkan


kebutuhan khusus mereka.

9. Perawatan Pasien dengan Gangguan Kognitif:

 Penelitian tentang perawatan pasien stroke dengan gangguan kognitif, termasuk


penyakit Alzheimer yang sering kali terkait.

10. Penggunaan Big Data dan Kecerdasan Buatan:

 Analisis data besar (big data) dan penggunaan kecerdasan buatan (artificial
intelligence) untuk mendukung diagnosis dini, pemantauan pasien, dan
peningkatan perawatan stroke.

11. Pelayanan Pascastroke yang Terintegrasi:

 Pengembangan model perawatan pascastroke yang terintegrasi dan lintas


disiplin untuk memaksimalkan pemulihan pasien.

Tren dan isu-isu ini mencerminkan upaya terus-menerus dalam dunia medis untuk meningkatkan
penatalaksanaan pasien stroke, mengoptimalkan hasil, dan mengurangi dampak penyakit ini
pada tingkat global. Penelitian yang berkelanjutan diharapkan akan memberikan wawasan lebih
lanjut dan solusi inovatif dalam pengobatan dan manajemen stroke.

52
Unit 2 : Ringkasan materi Sistem Persarafan: Trauma Brain Unjury (TBI)
Pendahuluan: Perawatan kritis pada pasien Trauma Brain Injury (TBI) adalah langkah penting
dalam meminimalkan kerusakan otak, mengurangi komplikasi, dan mendukung pemulihan.
Berikut adalah ringkasan materi perawatan kritis terbaru untuk pasien TBI:

Evaluasi Cepat:
 Identifikasi dan evaluasi segera terhadap tanda-tanda TBI, termasuk perubahan tingkat
kesadaran, gejala neurologis, dan cedera kepala yang mungkin tidak terlihat.

Penilaian GCS:
 Gunakan Glasgow Coma Scale (GCS) untuk mengukur tingkat keparahan TBI dan
memantau respons pasien terhadap stimulus.

Tanda Vital dan Pemantauan:


 Pantau secara ketat tanda-tanda vital seperti tekanan darah, denyut nadi, saturasi
oksigen, suhu tubuh, dan tingkat kesadaran. Pemantauan tekanan intrakranial (ICP)
mungkin diperlukan.

Pemindaian dan Diagnostik:


 Gunakan CT scan kepala atau MRI untuk mengidentifikasi kerusakan otak dan jenis TBI
(tertutup atau terbuka).

Manajemen Tejatdarah:
 Pastikan tekanan darah terkontrol untuk mengurangi risiko peningkatan ICP.

Terapi Nutrisi dan Hidrasi:


 Penuhi kebutuhan nutrisi dan hidrasi pasien sesuai panduan terbaru untuk mendukung
pemulihan otak.

Pemantauan ICP:
 Pemantauan tekanan intrakranial (ICP) mungkin diperlukan pada TBI berat untuk
menghindari peningkatan tekanan yang dapat merusak otak.

Manajemen Kejang:
 Pemberian profilaksis antikonvulsan dapat dipertimbangkan untuk mencegah kejang
pasca-trauma.

Manajemen Kebersihan:

53
 Pencegahan infeksi dan perawatan kulit yang baik penting untuk pasien yang
membutuhkan alat bantu pernapasan atau tindakan invasif.

Rehabilitasi Awal:
 Mulai rehabilitasi sesegera mungkin, termasuk fisioterapi, terapi bicara, dan terapi
okupasi, untuk memaksimalkan pemulihan pasien.

Kontrol Suhu Tubuh:


 Kontrol suhu tubuh pasien, termasuk mencegah hipotermia atau hipertermia.

Manajemen Rasa Nyeri:


 Penggunaan analgesia yang tepat untuk mengurangi rasa nyeri yang mungkin terjadi.

Edukasi Pasien dan Keluarga:


 Berikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang kondisi TBI, tanda-tanda
peringatan, dan perawatan jangka panjang yang mungkin diperlukan.

Kolaborasi Tim Medis:


 Kolaborasi yang efektif dengan berbagai anggota tim medis, seperti neurolog, ahli
bedah, dan terapis, adalah kunci untuk perawatan holistik pasien TBI.

Penelitian dan Inovasi:


 Terus ikut serta dalam penelitian dan inovasi medis untuk meningkatkan pemahaman
dan praktik perawatan TBI yang terkini.

Kesimpulan: Perawatan kritis pasien TBI terus berkembang seiring dengan peningkatan
pemahaman dan teknologi medis. Mengikuti panduan terbaru dan berkolaborasi dengan tim
medis adalah kunci dalam memberikan perawatan yang optimal dan mendukung pemulihan
pasien TBI.

Trend dan issue ilmiah dalam penatalaksanaan pasien Trauma Brain Injury (TBI) terus
berkembang seiring dengan peningkatan pemahaman tentang kondisi ini dan upaya untuk
meningkatkan perawatan pasien. Berikut adalah beberapa tren dan isu utama yang terkait
dengan penatalaksanaan TBI:

1. Pengembangan Terapi Farmakologis Baru:

 Penelitian terus berfokus pada pengembangan obat-obatan baru yang dapat


membantu mengurangi kerusakan otak dan mempercepat pemulihan pasien
TBI.

2. Penerapan Terapi Sel Punca:

 Penggunaan terapi sel punca untuk merangsang regenerasi dan perbaikan otak
pasien TBI adalah area penelitian yang menjanjikan.

54
3. Teknologi Pemantauan Berbasis Sensor:

 Penggunaan sensor dan teknologi pemantauan berbasis wearable (dapat


dikenakan) untuk memantau perubahan dalam kondisi pasien TBI, termasuk
tekanan intrakranial dan aktivitas otak.

4. Intervensi Bedah Lanjutan:

 Terus ada upaya untuk mengembangkan teknik bedah yang lebih canggih dan
inovatif untuk mengatasi TBI, seperti neurostimulasi dan implant otak.

5. Perawatan Berbasis Kecerdasan Buatan (AI):

 Kecerdasan buatan digunakan untuk menganalisis data pasien TBI secara real-
time, membantu dalam pengambilan keputusan klinis, dan memprediksi hasil
pemulihan.

6. Penilaian Biomarker:

 Identifikasi biomarker yang lebih spesifik dan sensitif untuk diagnosis TBI, yang
dapat membantu dalam pemantauan dan penanganan pasien.

7. Perawatan Individualisasi:

 Terus ada penekanan pada perawatan individualisasi, di mana pengobatan dan


pemantauan pasien TBI disesuaikan dengan kondisi dan respons masing-
masing pasien.

8. Pencegahan TBI:

 Penelitian tentang strategi pencegahan TBI, terutama dalam kelompok risiko


tinggi seperti atlet, tentara, dan pekerja industri berat.

9. Manajemen Pasien Pediatrik:

 Penelitian mengenai penanganan TBI pada anak-anak, yang seringkali


memerlukan pendekatan yang berbeda dan memperhatikan perkembangan
otak yang sedang berlangsung.

10. Perawatan Pasca-Akut:


 Perhatian semakin meningkat pada perawatan pasien TBI setelah fase akut,
termasuk rehabilitasi jangka panjang dan dukungan kesejahteraan psikososial.

11. Penelitian Genetik:

 Studi tentang faktor-faktor genetik yang mempengaruhi risiko dan prognosis


TBI, serta dampaknya terhadap respon terhadap pengobatan.

12. Edukasi Publik:

55
 Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya TBI, gejala, dan
tindakan yang harus diambil dalam situasi kecelakaan atau cedera.

13. Kualitas Hidup dan Kesintasan:

 Penelitian mengenai hasil jangka panjang pasien TBI, termasuk perubahan


kualitas hidup dan tingkat kesintasan.

Tren dan isu-isu ini mencerminkan upaya medis untuk terus meningkatkan penatalaksanaan
TBI, mengoptimalkan hasil pasien, dan mengurangi dampak penyakit ini pada tingkat global.
Penelitian yang berkelanjutan diharapkan akan memberikan wawasan lebih lanjut dan solusi
inovatif dalam pengobatan dan manajemen TBI.

Unit 3 : Kegiatan Pembelajaran Case Methode


Pembelajaran dengan metode studi kasus klinik menggunakan pendekatan case method atau
metode kasus merupakan salah satu cara efektif untuk mengajarkan konsep-konsep teoritis
dalam konteks situasi nyata. Berikut adalah tahapan-tahapan pembelajaran tutorial studi kasus
klinik dengan metode case method:

1. Pemilihan Kasus Klinik:

 Pilih kasus klinik yang relevan dengan materi yang akan diajarkan. Kasus harus
mencakup konsep-konsep penting yang ingin disampaikan kepada mahasiswa.

 Pastikan kasus memiliki tingkat kompleksitas yang sesuai dengan tingkat


pemahaman mahasiswa.

2. Penyusunan Kasus Klinik:

 Buatlah kasus klinik yang terstruktur dengan baik, menggambarkan latar


belakang pasien, riwayat medis, keluhan, temuan fisik, dan hasil pemeriksaan
yang relevan.

 Sertakan elemen-elemen yang mendorong pemikiran kritis, seperti informasi


yang ambigu, konflik dalam pengambilan keputusan, atau pilihan pengobatan
yang beragam.

3. Pendahuluan Kasus:

 Mulailah tutorial dengan memberikan pemahaman tentang konteks kasus klinik


kepada mahasiswa.

 Jelaskan tujuan pembelajaran dan konsep-konsep yang akan dicapai melalui


pemecahan masalah kasus ini.

56
4. Pembagian Kelompok:

 Mahasiswa dibagi menjadi kelompok kecil, biasanya 4-6 orang per kelompok.

 Setiap kelompok akan menganalisis kasus secara terpisah.

5. Analisis Kasus:

 Setiap kelompok melakukan analisis mendalam terhadap kasus klinik yang


diberikan.

 Mereka harus mengidentifikasi masalah, mencari faktor penyebab, dan


merencanakan penanganan yang tepat.

6. Diskusi Kelompok:

 Setiap kelompok berkumpul untuk berdiskusi dan membahas temuan mereka.

 Diskusi kelompok ini membantu mahasiswa untuk berkolaborasi, berbagi ide,


dan memperoleh pemahaman yang lebih dalam.

7. Diskusi Kelas:

 Kelompok-kelompok tersebut kemudian menyajikan temuan mereka kepada


seluruh kelas.

 Diskusi kelas dipandu oleh instruktur, yang dapat mengajukan pertanyaan,


mendorong pemikiran kritis, dan memfasilitasi debat.

8. Analisis Alternatif:

 Mahasiswa diajak untuk mempertimbangkan berbagai alternatif dalam


penanganan kasus.

 Mereka harus mampu mempertahankan argumen mereka dan merespons


pertanyaan kelas.

9. Evaluasi Hasil:

 Setelah diskusi, instruktur dapat memberikan umpan balik dan mengevaluasi


pemahaman mahasiswa terhadap materi.

 Mahasiswa juga dapat mengevaluasi solusi yang diajukan oleh kelompok lain.

10. Refleksi dan Kesimpulan:

 Akhir tutorial, mahasiswa diminta untuk merenungkan pelajaran yang mereka


pelajari dari kasus klinik.

 Kesimpulan dari pembelajaran ini dicatat dan digunakan sebagai dasar untuk
memahami konsep-konsep yang telah diajarkan.

57
Metode studi kasus klinik dengan pendekatan case method memungkinkan mahasiswa untuk
belajar secara aktif, berpikir kritis, dan menerapkan pengetahuan dalam konteks keperawatan
praktis. Ini juga mempromosikan interaksi antar-mahasiswa dan memberikan kesempatan untuk
mendapatkan umpan balik langsung dari instruktur. Dengan tahapan-tahapan ini, pembelajaran
menjadi lebih terstruktur dan efektif.

Unit 4 : Kasus – 1 -Kasus Klinik Ruang ICU pasien dengan Stroke


Data Pasien:
 Nama: Bapak Andi

 Usia: 72 tahun

 Jenis Kelamin: Laki-laki

 Riwayat Kesehatan: Bapak Andi memiliki riwayat hipertensi dan penyakit jantung
koroner.

Keluhan Utama:
 Bapak Andi dibawa ke unit gawat darurat dengan gejala kelemahan tiba-tiba pada sisi
kanan tubuhnya dan sulit berbicara.

Hasil Pengkajian:
 GCS: 10 (Pengukuran Eye (4), Verbal (2), Motor (4))
 Pemeriksaan neurologis menunjukkan kelemahan otot yang signifikan pada sisi kanan
tubuh, disartria (kelainan dalam pengucapan kata-kata), dan afasia (gangguan berbicara
dan pemahaman bahasa).

 Tekanan darah: 180/100 mmHg

 Nadi: 90 denyut per menit

 Saturasi oksigen: 95%

 Respirasi: 18 per menit

 Suhu tubuh: 37,5°C

Pemeriksaan Penunjang:
 CT scan kepala: Menunjukkan adanya area hiperdensitas di korteks otak sisi kiri,
mengindikasikan stroke iskemik akut

 Electrocardiogram (EKG): Menunjukkan adanya perubahan dalam aktivitas listrik jantung


yang konsisten dengan riwayat penyakit jantung koroner

58
 Pemeriksaan profil lipid: Menunjukkan kadar lipid yang tinggi dalam darah

Diagnosis: Berdasarkan hasil pengkajian dan pemeriksaan penunjang, Bapak Andi didiagnosis
dengan stroke iskemik akut di area korteks otak sisi kiri.

Prognosis: Prognosis Bapak Andi tergantung pada seberapa cepat dan efektif penanganan
stroke dapat diberikan. Pemulihannya akan melibatkan rehabilitasi jangka panjang untuk
mengatasi gangguan motorik dan komunikasi yang dihasilkan oleh stroke. Selain itu,
pengendalian faktor risiko seperti hipertensi dan penyakit jantung koroner juga penting untuk
mencegah stroke berulang.

Unit 4 : Kasus – 2 -Kasus Klinik Ruang ICU pasien dengan TBI


Data Pasien:
 Nama: Bapak Rahmat

 Usia: 45 tahun

 Jenis Kelamin: Laki-laki

 Riwayat Kesehatan: Tidak ada riwayat penyakit kepala atau neurologis sebelumnya.

Keluhan Utama:
 Bapak Rahmat dilarikan ke unit gawat darurat setelah mengalami kecelakaan sepeda
motor. Dia tidak sadar saat tiba di rumah sakit.

Hasil Pemeriksaan Tanda Vital:


 Tekanan Darah: 150/90 mmHg

 Nadi: 110 denyut per menit

 Saturasi Oksigen: 96% dengan oksigen tambahan

 Suhu Tubuh: 37,5°C

Pemeriksaan Glasgow Coma Scale (GCS):


 Pembukaan Mata: Tidak respons (1)

 Respons Verbal: Tidak respons (1)

 Respons Motorik: Tidak respons (1)

 Total GCS: 3 (GCS 3 adalah skor terendah, menunjukkan kondisi koma)

Pemeriksaan Diagnostik:

59
 CT scan kepala: Menunjukkan adanya perdarahan subdural yang luas dan edema otak
yang signifikan di berbagai lobus otak.

Prognosis: Prognosis Bapak Rahmat sangat bergantung pada sejauh mana kerusakan otak dapat
dikendalikan dan pemulihan yang bisa dicapai. Trauma Brain Injury (TBI) dengan GCS 3 memiliki
prognosis yang serius, dan perlu perawatan yang intensif dan perhatian penuh terhadap
perubahan dalam status pasien. Rehabilitasi jangka panjang mungkin diperlukan untuk
memaksimalkan pemulihan jika pasien dapat pulih dari kondisi kritisnya.

60
Modul 8 CPMK 7: Mendemonstrasikan intervensi keperawatan dengan komplikasi
multiple organ disfungsion (MOD), Sepsis, perawatan pasien dengan ventilator pada
kasus kritis sesuai dengan standar yang berlaku dengan berfikir kreatif dan inovatif
sehingga menghasilkan pelayanan yang efisien dan efektif

Unit 1 : Komplikasi pasien kritis: Sepsis


Perawatan Pasien Sepsis: Sepsis adalah respons tubuh terhadap infeksi yang dapat mengarah
pada kondisi kritis dan mengancam jiwa. Perawatan pasien sepsis di ICU bertujuan untuk
mengatasi infeksi, menghentikan respons peradangan berlebihan, dan menjaga fungsi organ
vital. Perawatan pasien sepsis melibatkan beberapa komponen penting:

1. Antibiotik: Antibiotik harus diberikan sesegera mungkin setelah diagnosis sepsis.


Pemilihan antibiotik yang tepat berdasarkan agen penyebab infeksi dan sensitivitasnya
adalah kunci.

2. Resusitasi Cairan: Pasien sepsis sering mengalami hipovolemia (kekurangan cairan)


akibat vasodilatasi yang luas. Cairan intravena harus diberikan untuk memperbaiki
tekanan darah dan perfusi organ.

3. Vasopressor: Jika pasien tidak merespons cairan intravena, vasopressor seperti


norepinefrin dapat diberikan untuk meningkatkan tekanan darah.
4. Kontrol Sumber Infeksi: Identifikasi dan penanganan sumber infeksi (misalnya, drainase
abses atau pembedahan) sangat penting.

5. Dukungan Ventilasi: Pasien sepsis sering memerlukan dukungan pernapasan mekanik


dengan ventilator.
6. Terapi Suportif: Perawatan suportif melibatkan pemantauan ketat tanda-tanda vital,
kontrol gula darah, pengobatan antikejang jika diperlukan, dan manajemen nyeri.

Tren dan Isu Terkini pada Pasien Sepsis di ICU:

1. Sepsis Bundles: Terdapat paket tindakan (bundles) yang dikenal sebagai "Sepsis Bundles"
yang dirancang untuk memastikan pasien sepsis mendapatkan perawatan yang tepat
dan cepat. Ini mencakup langkah-langkah spesifik seperti pemberian antibiotik dalam
waktu 1 jam setelah diagnosis.

2. Penekanan pada Deteksi Dini: Penggunaan alat-alat deteksi dini dan pemeriksaan
laboratorium yang lebih canggih membantu dalam mendeteksi sepsis pada tahap awal,
sehingga perawatan dapat dimulai lebih cepat.

3. Pemantauan Hemodinamik Terkini: Teknologi pemantauan hemodinamik yang canggih


memungkinkan evaluasi yang lebih akurat terhadap respons pasien terhadap perawatan
cairan dan vasopressor.

4. Penggunaan Terapi Imunomodulator: Penggunaan terapi imunomodulator untuk


mengatur respons peradangan pada sepsis telah menjadi fokus penelitian.

61
5. Manajemen Cairan yang Tepat: Pendekatan manajemen cairan yang tepat (seperti
manajemen cairan yang positif) menjadi perhatian, karena cairan yang berlebih dapat
memicu komplikasi.

6. Perawatan Pasien Pediatrik: Tren dalam perawatan sepsis pada anak-anak dan bayi,
termasuk penggunaan pedoman khusus untuk manajemen sepsis pediatrik.

7. Antibiotik yang Bijak: Meningkatnya kekhawatiran terhadap resistensi antibiotik telah


memicu penekanan pada penggunaan antibiotik yang bijak dalam perawatan sepsis.

8. Edukasi Pasien dan Keluarga: Edukasi tentang tanda-tanda sepsis dan peran penting
deteksi dini dalam meningkatkan hasil pasien.

9. Manajemen Jangka Panjang: Manajemen jangka panjang terhadap efek samping dan
dampak psikososial pasien yang selamat dari sepsis semakin mendapatkan perhatian.

Perawatan pasien sepsis terus berkembang dengan pemahaman yang lebih baik tentang kondisi
ini dan upaya untuk meningkatkan diagnosis dini serta pengobatan yang lebih efektif. Mengikuti
tren dan isu-isu terkini dalam penatalaksanaan sepsis adalah penting untuk memberikan
perawatan yang optimal kepada pasien kritis di ICU.

Unit 2 : Komplikasi pasien kritis: Multiple Organ Disfungsion (MOD)


Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS), juga dikenal sebagai Multiple Organ Failure
(MOF), adalah kondisi medis serius yang terjadi ketika dua atau lebih organ dalam tubuh
mengalami disfungsi atau kegagalan seiring waktu sebagai akibat dari penyakit atau trauma yang
parah. MODS adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada pasien kritis di ICU dan dapat
berkembang dari sejumlah kondisi dasar seperti sepsis, trauma, atau penyakit pernapasan parah.
Berikut adalah penjelasan terkini tentang MODS:

Penyebab Utama MODS: MODS dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk:
1. Sepsis: Infeksi berat yang menyebar ke seluruh tubuh dapat memicu MODS.

2. Trauma Besar: Cedera parah, seperti cedera kepala atau cedera berat pada tubuh, dapat
menyebabkan MODS.

3. Perdarahan Besar: Perdarahan masif atau syok hemoragik bisa menjadi pemicu MODS.

4. Penyakit Inflamasi Kronis: Penyakit seperti penyakit Crohn atau lupus yang parah dapat
meningkatkan risiko MODS.

Patofisiologi MODS:
 MODS berkembang karena respons sistemik tubuh terhadap cedera atau infeksi yang
parah. Respon ini melibatkan pelepasan mediator inflamasi yang berlebihan dan bisa
merusak organ-organ vital.

62
 Peradangan sistemik yang terlalu aktif dapat mengakibatkan gangguan aliran darah ke
organ-organ, merusak sel-sel organ, dan menyebabkan disfungsi organ.

Gejala MODS: Gejala MODS mungkin bervariasi tergantung pada organ yang terpengaruh,
tetapi tanda-tanda umum meliputi:

 Gangguan pernapasan atau gagal napas.

 Tekanan darah rendah.

 Gangguan kesadaran.

 Disfungsi hati seperti peningkatan enzim hati.

 Gagal ginjal.

 Perdarahan atau gangguan pembekuan darah.

 Gangguan pencernaan.

 Kelemahan otot atau gangguan motorik.

Diagnosis MODS:
 Diagnosis MODS didasarkan pada penilaian klinis dan hasil tes laboratorium. Penting
untuk mengidentifikasi organ mana yang terlibat dan seberapa parah disfungsi tersebut.

Perawatan MODS:
 Perawatan MODS mencakup penanganan penyebab utama (seperti infeksi atau trauma),
dukungan organ yang terganggu, dan manajemen komplikasi.
 Dalam beberapa kasus, pasien mungkin memerlukan perawatan intensif di ICU,
termasuk bantuan pernapasan mekanik atau dialisis.

Tren Terkini dan Isu:


1. Manajemen Sepsis: Peningkatan pemahaman tentang sepsis dan perawatannya telah
memberikan dampak positif pada pencegahan MODS.

2. Terapi Imunomodulator: Penelitian terus berfokus pada terapi yang mengatur respons
peradangan sistemik untuk mengurangi kerusakan organ.

3. Pemantauan Hemodinamik yang Lebih Baik: Teknologi canggih membantu dalam


pemantauan yang lebih akurat terhadap fungsi organ dan respons terhadap perawatan.

4. Perawatan Personalisasi: Pendekatan perawatan yang lebih disesuaikan individu yang


mempertimbangkan organ mana yang terlibat dan seberapa parah disfungsi tersebut.

Penting untuk diingat bahwa MODS adalah kondisi yang sangat serius dengan tingkat kematian
yang tinggi. Deteksi dini, perawatan intensif, dan manajemen penyebab utama adalah faktor
kunci dalam meningkatkan peluang pemulihan pasien yang mengalami MODS.

63
Unit 3 : Perawatan Pasien dengan Ventilator Update
Ventilator, atau alat bantu pernapasan mekanik, adalah perangkat medis yang digunakan untuk
mendukung pasien yang mengalami kesulitan bernapas atau tidak dapat bernapas secara
mandiri. Perawatan pasien dengan ventilator di ICU adalah tindakan penting dalam pengobatan
pasien kritis. Berikut adalah penjelasan perawatan pasien dengan ventilator yang terkini:

1. Evaluasi Pasien:

 Pasien yang membutuhkan ventilator harus dievaluasi secara komprehensif oleh tim
medis. Ini mencakup penilaian tingkat kesadaran, kebutuhan oksigen, dan jenis ventilasi
yang sesuai.

2. Pemilihan Mode Ventilasi:

 Mode ventilasi yang sesuai dipilih berdasarkan kondisi pasien. Mode umum meliputi
ventilasi tekanan positif (PCV), ventilasi volume (VCV), dan ventilasi tekanan-volume
terukur (PCV-V).

3. Pengaturan Parameter Ventilasi:

 Parameter ventilasi seperti laju pernapasan, tekanan inspirasi, tekanan positif akhir
ekspirasi (PEEP), dan fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) harus diatur sesuai dengan
kebutuhan pasien.

4. Pengawasan Ketat:

 Pasien yang menggunakan ventilator harus dipantau secara ketat. Ini mencakup
pemantauan tanda-tanda vital, tingkat oksigen dalam darah, kapnografi (pengukuran
CO2 ekspirasi), dan tekanan dalam sistem pernapasan.

5. Perawatan Sekresi:

 Suction (pengisapan) sekresi dari saluran pernapasan pasien secara berkala untuk
mencegah penyumbatan.

6. Manajemen Tekanan Udara:

 Penting untuk memantau tekanan udara di paru-paru pasien dan menghindari ventilasi
yang berlebihan, yang dapat menyebabkan cedera paru-paru.

7. Weaning Ventilator:

 Jika pasien mulai pulih, proses "weaning" dimulai, yaitu pengurangan dukungan
ventilator secara bertahap untuk memungkinkan pasien bernapas secara mandiri.

8. Manajemen Infeksi:

64
 Pencegahan infeksi terkait ventilator adalah perhatian utama. Praktik kebersihan yang
baik dan perawatan tabung endotrakeal/trakeostomi adalah kunci.

9. Ventilasi Non-invasif:

 Ventilasi non-invasif seperti Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) atau Bi-level
Positive Airway Pressure (BiPAP) digunakan untuk beberapa pasien sebagai alternatif
untuk ventilasi invasif.

10. Pemantauan Hemodinamik: - Pemantauan tekanan intrakranial (ICP) atau tekanan arteri
pulmonal (PAP) mungkin diperlukan pada pasien tertentu.

11. Edukasi Pasien dan Keluarga: - Pasien dan keluarga harus diberikan edukasi tentang
penggunaan ventilator, tanda-tanda komplikasi, dan peran mereka dalam perawatan pasien.

12. Tren Terkini: - Penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk memantau dan mengatur
penggunaan ventilator secara lebih presisi. - Penggunaan protokol weaning yang disesuaikan
individu berdasarkan pemantauan hemodinamik. - Peningkatan perhatian terhadap ventilasi
mekanik pada pasien COVID-19. - Manajemen yang lebih canggih dengan ventilator yang
terkoneksi ke sistem informasi kesehatan.

Perawatan pasien dengan ventilator terus berkembang seiring dengan kemajuan dalam
teknologi medis dan pemahaman yang lebih baik tentang penggunaan ventilator yang tepat.
Mengikuti tren terkini dan praktik terbaik adalah kunci dalam memberikan perawatan yang
optimal kepada pasien yang membutuhkan bantuan pernapasan mekanik di ICU.

65
Daftar Pustaka
1. Bench, S & Brown, K. (2011). Critical Care Nursing: Learning from Practice. Iowa:
Blackwell Publishing
2. Burns, S. (2014). AACN Essentials of Critical Care Nursing, Third Edition (Chulay, AACN
Essentials of Critical Care Nursing). Mc Graw Hill
3. Elliott, D., Aitken, L. & Chaboyer, C. (2012). ACCCN’s Critical Care Nursing, 2nd ed.
Mosby: Elsevier Australia
4. Schumacher, L. & Chernecky, C. C. (2009).Saunders Nursing Survival Guide: Critical Care
& Emergency Nursing, 2e. Saunders: Elsevier Inc.
5. Urden, L.D., Stacy, K. M. & Lough, M. E. (2014). Critical care Nursing: diagnosis and
Management. 7th ed. Mosby: Elsevier Inc
6. Welch J, Adam S, Osborne S. (ED). (2017) Critical Nursing Science anda Pactice. Britania
Raya: Oxforrd University Press.
7. Aitken, L., Chaboyer, W., Marshall, A, (2019). Critical Care Nursing. Belanda: Elsevier
Health Science
8. Lough, M.E., Urden, L., Stacy, K.M., (2017). Critical Care Nursing- E-Book: Diagnosis and
Management. America Serikat: Elsevier Health Science
9. Stacy K.M., Urden, L., D.,Mary E. Lough. (ED). (2021). Critical Care Nursing: Diagnosis
anda Management. America Serikat. Elsevier Health Science
10. AACN, Alspach, J. G. (2006). AACN Core Curriculum for Critical Care Nursing, 6th Ed.
Saunders: Elsevier Inc.
11. Comer. S. (2005). Delmar’s Critical Care Nursing Care Plans. 2nd ed. Clifton Park:
Thomson Delmar Learning
12. Porte, W. (2008). Critical Care Nursing Handbook. Sudburry: Jones and Bartlett
Publishers

66

Anda mungkin juga menyukai