Anda di halaman 1dari 7

Vol 1, No 1, Februari 2023, Hal.

48-54
ISSN: 2962-5866 (media online)
Doi: 10.56854/sasana.v1i2.140
https://ejurnal.bangunharapanbangsa.com/index.php/sasana

Kode Etik Guru Dalam Perspektif Ibnu Sahnun (Studi Analisis Kitab
Adabul Al-Muallimien)
Susana Saparina1*, Arizqi Ihsan Pratama2
Prodi Manajemen Pendidikan Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam Darunnajah Bogor, Indonesia
Email: 1*susanasparina16@gmail.com,2arizqi@najah.ac.id
Email Penulis Korespondensi: susanasparina16@gmail.com

Abstrak− Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Kode Etik Guru Dalam dalam Perspektif Ibnu Sahnun. Penelitian yang
dilakukan adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang menggunakan cara untuk mendapatkan data informasi
dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di perpustakaan, seperti buku-buku, majalah, dokumen, catatan, kisah-kisah sejarah dan
ebook. Objek penelitian yang menjadi fokus analisis adalah kode etik guru dalam Perspektif Ibnu Sahnun. Dalam Kitab Adab Al-
Muallimin karya Ibnu Sahnun setidaknya ada 6 kode etik dalam perspektif Ibnu Sahnun, yaitu guru senantiasa mendampingi dan
membimbing murid-murid nya dengan sungguh-sungguh dan totalitas, guru profesional dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan
kebutuhan anak didik secara adil dan merata tanpa membedakan status sosial, guru menjaga komunikasi dengan anak didik, untuk
mengetahui perkembangan dan memebentuk karakter yang baik tanpa menyalah gunakan hak nya, guru menjaga hubungan baik dengan
orangtua murid untuk kebaikan dan kepentingan anak didik, guru menjaga hubungan baik dengan masyarakat demi kepentingan
pendidikan dan guru bekerjasama dengan guru/tutor lain dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Kata Kunci: Kode Etik, Guru, Perspektif, Ibnu Sahnun
Abstract− The purpose of this research is to analyze the Internal Teacher Code of Ethics in the Perspective of Ibnu Sahnun. The
research conducted was library research, namely research that used methods to obtain information data by utilizing existing facilities
in the library, such as books, magazines, documents, notes, historical stories and ebooks. The research object that is the focus of the
analysis is the teacher's code of ethics in the Perspective of Ibnu Sahnun. In the Book of Adab Al-Muallimin by Ibnu Sahnun there are
at least 6 codes of ethics in the perspective of Ibnu Sahnun, namely teachers always accompany and guide their students with sincerity
and totality, professional teachers in implementing the curriculum according to the needs of students in a fair and equitable manner.
regardless of social status, the teacher maintains communication with students, to know development and form good character without
abusing their rights, the teacher maintains good relations with parents of students for the good and interests of students, the teacher
maintains good relations with the community for the benefit of education and teachers cooperate with other teachers/tutors in improving
the quality of education.
Keywords: Code of Ethics, Teachers, Perspective, Ibnu Sahnun

1. PENDAHULUAN
Seiring dengan kemajuan zaman, keunggulan suatu bangsa tidak lagi dilihat dari sebanyak apa kekayaan alam
yang dimiliki nya, akan tetapi dilihat dari sejauh mana kualitas sumber daya manusia nya. Dan penentu mutu sumber
daya manusia suatu bangsa adalah pendidikan. Sebagaimana kita tahu bahwa di era globalisasi seperti sekarang ini,
pendidikan adalah menjadi hal yang penting karena dengan pendidikan yang maju, dengan sumber daya manusia yang
berkualitas maka sebuah bangsa akan lebih dihargai dan lebih memiliki martabat di mata dunia. Pendidikan merupakan
sebuah sistem yang mengandung aspek visi, misi tujuan, kurikulum, dan bahan ajar, pendidik, peserta didik, sarana
prasarana dan lingkungan. Diantara kedelapan aspek tersebut satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan, karena aspek
tersebut saling berkaitan sehingga membentuk satu sistem. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan pendidikan adalah aspek tenaga kependidikan (Ahsanul Ihsan: 2021)
Pendidikan yang berkualitas akan dapat terwujud salah satunya adalah dengan adanya tenaga kependidikan yang
berkualitas, yang memiliki kompetensi sebagai seorang pendidik serta profesional. Akan tetapi di samping hal-hal tersebut
yang tidak bisa dikesampingkan adalah pendidik yang memiliki kode etik atau etika. Karena akhlak dan adab adalah hal
yang harus dimiliki sebelum ilmu.
Etika seseorang, terlebih khusus seorang guru menjadi poin penting dalam keberhasilan di dunia pendidikan.
Beranjak dari hal tersebut sudah sepantasnya guru berada pada aspek penting dalam proses perkembangan manusia di
muka bumi. Hal ini dikarenakan manusia tercipta untuk memilkul dua amanah besar yaitu sebagai ‘abd Allah swt atau
Hamba Allah swt yang harus menjalankan segala perintah Allah swt dan sebagai khalifah Allah swt atau pengganti Allah
swt yang memiliki tugas menjadi seorang khalifah di muka bumi ini. Berarti jika dilihat dengan tugas dan tanggung
jawabnya, pendidik tidak hanya mengajarkan materi-materi saja, namun mengajarkan berbagai hal termasuk bagaimana
cara bersikap dan bertingkah laku yang sesuai dengan ajaran Alquran dan Sunnah (Ali, 1996).
Realitas telah menujukkan bahwa problematika yang terjadi adalah belakangan ini banyak kasus mengenai
pelanggaran kode etik guru, seperti tindak kekerasan guru dengan muridnya, meskipun untuk tujuan mendidik akan tetapi
tindak kekerasan tidak dibenarkan bahkan meskipun kekerasan tersebut berbentuk kekerasan verbal. Jika dalam sebuah
lembaga terjadi kasus seperti itu, maka sudah sepantasnya lah diambil tindakan tegas kepada pendidik yang melakukan
kekerasan tesebut.
Karena guru adalah panutan, bukan hanya dalam bidang akademik saja tapi juga termasuk teladan dalam bidang
akademik yaitu selalu memberi kudwah hasanah. Karena perbuatan berupa kekrasan tersebut akan berdampak negatif

48
Vol 1, No 1, Februari 2023, Hal. 48-54
ISSN: 2962-5866 (media online)
Doi: 10.56854/sasana.v1i2.140
https://ejurnal.bangunharapanbangsa.com/index.php/sasana

terhadap anak didik, akan menimbulkan trauma, ketakutan, kecemasan bahkan keinginanan tidak ingin lagi untuk masuk
sekolah.Alquran menunjukan agar orang yang berilmu mendidik dan mengajarkan ilmunya dengan sifat: tidak takabur
karena hanya Allah yang pantas dibesarkan, berpakaian yang bersih dan rapih, menjauhi perbuatan-perbuatan yang tidak
baik, tidak mengharapkan hanya dunia semata, dan bersifat sabar.
Pendidik harus merendah pada perserta didik, bersifat lembut tidak bersifat kasar dan kejam, Kekejian dan
kekejaman yang dilakukan pendidik akan berdampak lahirnya adzab, la’nat dan kemarahan Allah. Pendidik boleh
mengambil ujrah dengan tidak menghilangkan niat besar mulia beribadah lewat menyebarkan ilmu. Untuk
menyempurnakan syarat-syarat itu para ahli pendidikan Islam berpendapat bahwa pendidik harus memiliki sifat-sifat
tertentu. Sifat-sifat pendidik ini dapat disederhanakan sebagai berikut: (1) kasih sayang kepada anak didik; (2) lemah
lembut; (3) rendah hati; (4) menghormati ilmu yang bukan pegangannya; (5) adil; (6) menyenangi jihad; (7) konsekuen,
perkataan sesuai dengan perbuatan; dan (8) sederhana (Tafsir, 84).Al-Ghazali memaparkan sifat-sifat yang harus dimiliki
oleh seorang pendidik, yaitu: (1) Kasih sayang, seperti kepada anak sendiri; (2) Tidak mengharapkan materi, tetapi
mengharap ridha Allah dan taqarrub kepada-Nya; (3) Tidak berhenti menasihati murid, sekalipun hak yang kecil; (4)
Kontrol sosial bagi murid dengan cara lemah lembut; (5) Tidak merendahkan ilmu dan orangnya; (6) Memberikan materi
sesuai dengan kemampuan akal peserta didik; (7) Memotivasi peserta didik yang berkemampuan rendah; dan (8) Berindak
sesuai dengan ilmunya (Ihya ‘Ulum, 55-59).
Menurut Al-Nahlawi, agar pengajar dewasa ini dapat menjalankan tugasnya seperti yang diembankan Allah
kepada para Rasul dan pengikut mereka, maka guru harus memiliki sifat-sifat: (1) Rabbani dalam menentukan tujuan,
tingkah laku, dan pola pikir; (2) Ikhlas; (3) Sabar; (4) Jujur dalam menyampaikan apa yang diserukan-nya; (5) Membekali
diri dengan ilmu; (6) Menguasai metode-metode mengajar yang bervariasi; (7) Mampu mengelola siswa; (8) Mengetahui
psikis siswa; (9) Tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangan dunia; dan (10) Bersikap adil (Usul Al Tarbiyat,
171-176).
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, sifat atau etika pendidik terbagi tiga macam: pertama,
sifat yang terkait dengan dirinya sendiri. Pendidik dalam bagian ini paling tidak memiliki dua sifat, yaitu:
(1) sifat-sifat keagamaan (diniyah) yang baik, meliputi patut dan tunduk terhadap syariat Allah dalam bentuk ucapan dan
tindakan; dan (2) sifat-sifat akhlak yang mulia (akhla-qiyah), seperti menghias diri (tahalli) dengan memeliharanya,
khusyu’, rendah hati, menerima apa adanya, zuhud, memiliki daya dan hasrat yang kuat dalam ilmunya. Kedua, sifat
terhadap peserta didiknya. Pendidik dalam bagian ini paling tidak memiliki tiga sifat, yaitu: (1) sifat-sifat sopan santun
(adabiyah), yang terkait dengan akhlak yang mulia seperti di atas; (2) sifat-sifat memudahkan, menyenangkan dan
menyelamatkan (muhniyah); dan (3) sifat kebapakan (abawiyah), dan yang terpenting sifat kasih sayang. Ketiga, sifat
dalam proses belajar-mengajar. Pendidik dalam bagian ini paling tidak mempunyai dua sifat, yaitu: (1) sifat-sifat
memudahkan, menyenangkan dan menyelamatkan (muhniyah); dan (2) sifat-sifat seni, yaitu seni mengajar yang
menyenangkan, sehingga peserta didik tidak merasa bosan. (Dedeng Rosyidin).
Menurut pandangan Islam, seorang guru harus mampu memiliki kode etik yang diselaraskan dengan pandangan
Alquran dan Sunnah. Nabi Muhammad saw yang berperan sebagai guru professional menjadi salah satu contoh utama
dalam penerapan kode etik bagi guru. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nazifah Anas, contoh utama seorang guru
yang sempurna ialah Rasulullah saw karena beliau mencapai berbagai keberhasilan menyampaikan dakwahnya, menyeru
kepada kebaikan, mampu memperbaiki ibadah dan akhlak umatnya, dan menyampaikan berbagai materi mengenai hablu
minallah dan hablu minannas melalui berbagai strategi dan metode pendidikan. (Pane, 2022).Dalam rangka mengkaji
kode etik guru dirasa perlu untuk mengkaji ulama terdahulu, karna tidak dapat dipungkiri bahwa tidak sedikit sumbangsih
yang diberikan para ulama terdahulu khususnya dalam dunia pendidikan, salah satunya adalah Ibnu Sahnun (202-256 H).
Sejarah mencatat bahwa orang yang pertama sekali mencetuskan pemikiran pendidikan yang terlepas dari keterkaitan
dengan sastra dan mazhab-mazhab pemikiran filsafat adalah ide-ide Ibnu Sahnun. (Pratama Zahir, 2019)
Beliau tercatat sebagai ulama pertama dalam dunia pendidikan, kitabnya yang berjudul Adab Al-M’uallimin banyak
dipakai oleh ulama atau para tokoh pendidikan Islam setelahnya seperti AlQabisi, Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun.
Pemikiran Ibnu Sahnun membawa angin segar bagi pendidikan saat itu. Di antara pemikirannya tentang adab seorang
guru adalah bahwasanya seorang guru harus mencurahkan segenap perhatiannya bagi anak didik dan harus terlibat secara
penuh walau tetap harus memperhatikan batasan-batasannya agar anak didik tidak merasa dikontrol secara ketat oleh sang
guru. (Pratama Zahir, 2019)
Ibnu Sahnun terkenal sebagai tokoh pendidikan Islam, karena besarnya perhatian beliau terhadap masalah-
masalah pendidikan Islam, baik itu perhatian terhadap tujuan pendidikan Islam, kurikulum, metodologi pengajaran, guru,
siswa, manajemen pendidikan maupun lainnya. (Fathuddin, 2010). Oleh karena itu, penelitian ini mengambil pelajaran
dari pemikiran Ibnu Sahnun, terutama mengenai kode etik guru. Beberapa kajian dalam penelitian yang relevan penulis
sebutkan berikut ini, di antaranya: Kajian Ilmiah yang dilakukan oleh Wagiman Manik. Ia menulis penelitian
berjudul “Pemikiran Pendidikan Ibnu Sahnun”. Wagiman Malik menjelaskan bahwa pandangan Ibnu Sahnun dalam
bidang pendidikan adalah penekanannya pada kompetensi yang harus dimiliki oleh pendidik. Pendidikan yang
diharapkan oleh Ibnu Sahnun adalah model pendidikan kejiwaan, pendidikan yang memadukan antara tujuan
duniawi dan ukhrawi, pemikiran-pemikiran Ibnu Sahnun tentang pendidikan sangat tinggi nilainya bagi kita,
untuk dapat kita teladani dan kita terapkan dalam dunia pendidikan Islam saat ini, tentunya dengan memperhatikan
zaman dan perkembangan teknologi dengan tetap dalam bingkai Al-Quran dan Sunnah As-Shohihah.Ada tiga faktor
penopang yang menyebabkan Ibnu Sahnun menjadi seorang yang terkenal dalam fiqh terkhusus dalam mazhab
49
Vol 1, No 1, Februari 2023, Hal. 48-54
ISSN: 2962-5866 (media online)
Doi: 10.56854/sasana.v1i2.140
https://ejurnal.bangunharapanbangsa.com/index.php/sasana

maliki, dan beliau juga terkenal dalam bidang pendidikan sehingga ia memiliki pengaruhyang besar dalam pendidikan
Islam :1. Orang tua, orang tua Ibnu Sahnun adalah seorang yang „alim dalam fiqh mazhab maliki di daerah
UtaraAfrika, beliau terkenal dengan dengan ketaqwaan, kewaraan, dan beliau sangat memperhatikan
perkembangan pendidikan anaknya, sehingga ia mau berdiskusi dan bertukar fikiran dengan anaknya dalam masalah-
masalah ilmu, dan Ibnu Sahnun sangat rajin dalam menghadiri majlis-majlis ayahnya.2. Kebangkitan ilmu yang
masih sangat tinggi dimasa Ibnu Sahnun, dan beliau mengadakan rihlahilmiah kebeberapa tempat seperti
Makkah Al-Mukarroman, Al-Madinah Al-Munawwarah, Mesir dan lain-lain, dan pada waktu itu masih adanya
persaingan yang sehat dan positif dalam mendapatkan dan menyebarkan ilmu, dan Ibnu Sahnun mampu
mengambil faedah yang banyak dari keadaan tersebut. 3. Aqidah Ahlussunnah waljama‟ah, aqidah ahsunnah
waljama‟ah menjadi faktor yang ketiga yang membentuk Ibnu sahnun, sehingga beliau yang beraqidah ahlussunnah
waljama‟ah, ditambah lagi beliau sebagai seorang perawi hadis menjadikanbeliau sangat memberikan pengaruh
yang sangat besar dalam dunia pendidikan.
Selanjutnya Pratama menulis penelitian tentang “Konsep Kepribadian Guru Menurut Pemikiran Ibnu Sahnun”, Pratama
menjelaskan bahwa menurut Ibnu Sahnun guru adalah seseorang yang menempati posisi sebagai pengganti orang tua bagi
anak didiknya di samping berperan sebagai pengajar dan pendidik mereka. Seorang guru hendaknya mencurahkan
perhatiannya secara langsung terhadap anak didiknya, seorang guru juga berperan untuk mendidik sebagai suatu kesatuan
dari segala aspek kehidupan karena ia berperan sebagi seorang ayah. Guru menurut Ibnu Sahnun adalah seorang yang
penting yang harus dimiliki. Dalam Kitab Adab Al-Muallimin karya Ibnu Sahnun setidaknya ada enam konsep
kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang guru yaitu: Adil, Taqwa, Ikhlas, Sabar, Menjadi Kudwah Hasanah, dan
Perhatian terhadap anak didiknya.
Penelitian ketiga dilakukan oleh Muali dengan judul “ Konsep Punishment Perspektif Ibnu Sahnun”, Muali
menerangkan bahwa Punishment hal yang lazim jika diterapkan dalam hal pengajaran. Masalah hukuman (punishment)
merupakan masalah etis, yang menyangkut soal buruk dan baik, yaitu soal norma-norma yang berlaku, Ibnu Sahnun
menyimpulkan bahwa punishment dalam pendidikan harus bersifat mendidik, artinya mestilah terhindar dari berbagai
unsur kekerasan yang dapat mencederai atau menyakiti murid baik secara psikis maupun fisik. Punishment yang akan
diberikan kepada peserta didik harus sesuai dengan kondisi peserta didik. Ibnu Sahnun sangat menekankan konsep
punishment, Dalam konsep punishment adalah pendidik dalam menghukum peserta didik harus melalui 3 tahap
diantaranya. Pertama punishment bi nadzri punishmen yang berupa menunjukkaan pandangan sinis sehingga pendidik
menyadari kesalahannya, kedua hukuman bi lisan dalam pemberian hukuman pada konteks ini pendidik memberikan
hukuman dengan metode menasehati untuk menyadari peserta didik terhadap kesalahannya dan tidak mengulani kembali.
Apabila kedua hukuman tersebut tidak membuat peserta didik jera maka pendidik hendaklah melaksanakan hukuman
yang ketiga yaitu hukuman fisik bi darbin seperti mencubit menjewer telinga dan memukul untuk memberi teguran keras
terhadap anak/peserta didik. Punishment ini relevan dengan hukuman kontemporer.
Tujuan penulisan jurnal ini adalah Untuk Menganalisis kode Etik Guru Dalam Perspektif Ibnu Sahnun. Dari
hasil penelitian ini, penulis berharap karya ini memiliki kegunaan sebagai berikut: Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat
untuk mengetahui lebih banyak tentang kode etik guru dalam perspektif Ibnu Sahnun, dan dapat menjadi acuan bagi
penulis untuk mengimplementasikan ketika menjadi pendidik, Bagi umum, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
bagi para guru untuk menambah wawasan mengenai kode etik guru sehingga bisa menjadi pedoman bagi nya untuk
menjadi guru yang bukan hanya mengajar akan tetapi sekaligus mendidik, Bagi Pemerintah dan lembaga Pendidikan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan dalam membuat standar Kompetensi kode etik Perspektif Ibnu
Sahnun 4. Bagi Masyarakat, penulis berharap penelitian ini dapat menambah khazanah keilmuan Islam (intellectual
treasure), khususnya mengenai karya ilmuan dan ulama terdahulu dalam bidang pendidikan. Dan juga dapat menjadi
inspirasi dan referensi untuk mengkaji pemikiran tokoh pendidikan lain mengenai konsep kepribadian guru.

2. METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam mencari data adalah studi riset kepustakaan (library research) yaitu
penelitian yang menggunakan cara untuk mendapatkan data informasi dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di
perpustakaan, seperti buku-buku, majalah, dokumen, catatan, kisah-kisah sejarah. (Mardalis dalam Pratama, 1996) Studi
riset kepustakaan yaitu metode penelitian dengan cara menelusuri sumber-sumber data dari berbagai bacaan, baik yang
bersifat primer maupun sekunder. Setelah penelusuran data dilakukan, maka analisa dengan menggunakan metode
analisis ini (content analysis atau Istimbathiyah) yaitu berupa pelukisan isi komunikasi yang nyata secara objektif,
sistematik, dan kualitatif terhadap bahan-bahan yang didapat dari sumber data primer dan sekunder. (Alim dalam Pratama,
n.d.) Sedang metode analisis yang digunakan untuk mengungkap gagasan dan pemikirannya adalah metode deskriptif
analitik. Riset pustaka (library research) tidak hanya sekedar urusan membaca dan mencatat literature atau buku-buku
sebagaimana yang sering dipahami banyak orang selama ini. Apa yang disebut dengan riset kepustakaan atau sering juga
disebut studi pustaka ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca
dan mencatat serta mengolah atau menganalisis bahan penelitian. (Mestika Zed dalam Ahsanul Ihsan, 2021).

50
Vol 1, No 1, Februari 2023, Hal. 48-54
ISSN: 2962-5866 (media online)
Doi: 10.56854/sasana.v1i2.140
https://ejurnal.bangunharapanbangsa.com/index.php/sasana

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Pemikiran Ibnu Sahnun Mengenai Etika Guru
Jika istilah “kode etik” itu dikaji, maka terdiri dari dua kata, yakni“kode” dan“etik”. Perkataan“etik” berasal dari
bahasa Yunani, “ethos” yang berarti watak, adab atau cara hidup. Dapat diartikan bahwa etik itu menunjukkan “cara
berbua yang menjadi adat, karena persetujuan dari kelompok manusia”. Dan etik biasanya dipakai untuk mengkaji sistem
nilainilai yang disebut“kode etik”.Atau secara harfiah“kode etik” berarti sumber etik.Etika artinya tata susila (etika) atau
hal-hal yang berhubungan dengan kesusilaan dalam mengerjakan suatu pekerjaan.Jadi “kode etik pendidik (guru)”
diartikan sebagai “aturan tata susila keguruan”. (Shabir dalam Ihsan, 2021).
Secara luas kode etik pendidik adalah norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan (relationship) antara
pendidik dan peserta didik, orang tua peserta didik, koleganya, serta dengan atasannya. Suatu jabatan yang melayani
orang lain selalu memerlukan kode etik. Demikian pula jabatan pendidik mempunyai kode etik tertentu yang harus dikenal
dan dilaksanakan oleh setiap pendidik. Bentuk kode etik suatu lembaga pendidikan tidak harus sama, tetapi secara
intrinsik mempunyai kesamaan konten yang berlaku umum. Pelanggaran terhadap kode etik akan mengurangi nilai dan
kewibawaan identitas pendidik. (Mujib dalam Ihsan, 2021).
Menurut Ibnu Sahnun guru menempati posisi yang sangat penting dalam pendidikan. Selain sebagai pendidik dan
pengajar, guru merupakan orang tua kedua bagi anak didik, maka dari itu guru harus memberikan perhatian lebih
kepada anak-anak didiknya baik didalam maupun diluar kelas. (Pratama dan Zahir, 2019). Karena pada hakikatnya
guru mempunyai peran dalam segala aspek kehidupannya. Seorang guru bukanlah sekedar mengajarkan ilmu
pengetahuan didepan kelas, lebih dari itu guru memiliki tugas dalam mendidik dan mengarahkan anak didik
untuk menjadi anggota masyarakat yang baik dan dewasa. (Nizar dalam Rusnadi, 2020). Dalam mendidik, Ibnu
Sahnun mengikuti etika atau akhlak yang diajarkan oleh Rasulullah. Makanya dalam menjelaskan etika pendidik
ia selalu bersandar kepada hadist Nabi dan Atsar para Sohabah dalam kitabnya Adabul Mu’allimin.
Bagi seorang guru, Rasulullah saw mampu memberikan contoh nyata seorang guru yang Islami sesuai Alquran dan
Hadis. Penerapan yang perlu dilakukan seorang guru ialah bagaimana cara bersikap dan berperilaku yang sesuai dengan
ajaran Rasulullah yang dapat dituangkan dalam kode etik guru. Tujuan penerapan kepribadian Rasulullah saw sebagai
pedoman dalam kode etik adalah untuk mewujudkan seorang guru muslim yang berakhlakul karimah, berperilaku Islami,
berfikir dan berbuat secara qurani sehingga mampu memberikan contoh nyata kepada peserta didik dengan jalan yang
benar berlandaskan Alquran dan Hadis. Dengan begitu, peserta didik mencapai tujuannya sebagai siswa yang cerdas dan
memiliki kepribadian layaknya seorang muslim sejati (Nur Masruhani dalam Pane, 2022) .

3.2 Kode Etik Guru Dalam Perspektif Ibnu Sahnun

Menurut Ibnu Sahnun kode etik yang harus dimiliki soerang guru diantara nya adalah:
a. Guru senantiasa mendampingi dan membimbing murid-murid nya dengan sungguh-sungguh dan totalitas
Beliau berkata, “Hendaklah seorang guru selalu bersungguh-sungguh dan total mencurahkan perhatian kepada
murid-muridnya. Dia tidak boleh menshalati jenazah, kecuali pada kasus dimana (jenazah) itu termasuk orang
yang harus mendapatkan perhatian darinya. Sebab, dia adalah pekerja profesional, sehingga tidak boleh
meninggalkan pekerjaannya, tidak boleh mengiringkan jenazah, dan tidak boleh pula menjenguk orang yang
sakit.”Guru tidak boleh sibuk sendiri sehingga tidak memperhatikan murid, kecuali pada waktu-waktu tertentu
dimana dia tidak melalaikan (untuk mengawasi) mereka di saat itu. Namun, tidak masalah bila dia bercakap-
cakap sementara pada saat bersamaan dia melihat dan memperhatikan mereka. Maksudnya adalah ketika waktu
pembelajaran berlangsung, guru hendak nya fokus mendampingi, mengajar, dan membimbing anak didik. Tidak
melakukan hal lain di luar proses kegiatan belajar mengajar yang nanti nya akan berpengaruh kepada hasil belajar
anak didik dan tujuan awal pembelajaran tersebut yaitu mentransfer pengetahuan dan memberikan pendidikan
akhlak kepada anak didik akan sulit tercapai, berlaku di Indonesia, bahwa “Guru berbakti membimbing anak
didik seutuhnya untuk membentuk manusia pembanguna yang berpancasila”.
b. Guru profesional dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik secara adil dan merata tanpa
membedakan status sosial
Guru memberikan pembelajaran di dalam atau pun di luar lingkungan sekolah berdasarkan kurikulum yang telah
ditetapkan dan sesuai dengan situasi anak didik pada saat itu, dan guru juga bisa membedakan materi yang tertera
atau ditetapkan dalam kurikulum sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak didik. Karena setiap anak didik
memiliki perkembangan dan daya tangkap yang berbeda-beda, jadi bisa disesuaikan dengan perkembangan
masing-masing anak didik.Dan guru harus memberikan pembelajaran sesuai kurikulum yang telah ditetapkan

51
Vol 1, No 1, Februari 2023, Hal. 48-54
ISSN: 2962-5866 (media online)
Doi: 10.56854/sasana.v1i2.140
https://ejurnal.bangunharapanbangsa.com/index.php/sasana

pada saat itu tanpa membeda kan status sosial dan ekonomi orang tua murid tersebut. Sebagaimana tertulis dalam
kode etik guru Indonesia yaitu “ guru memiliki kejujuran profesional dalam dalam menerapkan kurikulum sesuai
dengan kebutuhan anak didik masing-masing”.Ibnu Sahnun dalam bukunya mengatakan “Hendaklah mereka
mempelajari shalat jenazah dan cara mendoakannya, sebab itu adalah bagian dari agama mereka. Hendaklah ia
memperlakukan mereka secara sama rata dalam pembelajaran, entah bangsawan atau rakyat jelata. Jika tidak,
maka ia telah menjadi seorang pengkhianat.” “Lalu, apakah guru boleh mengizinkan muridnya untuk menulis
surat kepada orang lain?” Dijawab, “Tidak masalah. Bila seorang murid menulis surat-surat, maka itu termasuk
hal yang akan mematangkan mereka. Hendaklah ia mengajari mereka Ilmu Hitung, namun hal itu tidak menjadi
keharusan baginya, kecuali jika dia memang dipersyaratkan untuk itu. Demikian pula dengan syair, gharib (kata-
kata sulit), bahasa Arab, khath (menulis indah), dan Ilmu Nahwu secara lengkap. Itu semua sifatnya sukarela
saja baginya.” Seyogyanya ia mengajari mereka I’rab Al-Qur’an, dan itu menjadi suatu keharusan baginya; juga
syakal (tanda baca), mengeja huruf, menulis yang bagus, membaca yang bagus, mengetahui tempat-tempat waqf
(menghentikan bacaan), dan membaca secara tartil, semua itu menjadi keharusan baginya. Tidak masalah bila
dia mengajari mereka syair, diambilkan dari perkataan dan kisah-kisah bangsa Arab yang tidak mengandung
hal-hal yang keji/jorok. Namun, hal ini tidak menjadi suatu kewajiban baginya. Ia harus mengajari mereka
Qira’at Al-Qur’an yang baik, yaitu Qira’at Nafi’. Namun, tidak masalah bila dia mengajarkan Qira’at lainnya,
selama tidak mengandung kesan tidak pantas di dalamnya, seperti yabsyuruka ( ‫) يبشرك‬, wulduhu ( ‫) ولده‬, dan
hirmun ‘ala qaryatin ( ‫ ;) حرم على قرية‬namun ia membacanya dengan: yubasysyiruka, waladuhu, dan haraamun
‘ala qaryatin, dan contoh-contoh lain yang serupa dengannya. (Ajarkan juga) semua Qira’at para Sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
c. Guru menjaga komunikasi dengan anak didik, untuk mengetahui perkembangan dan memebentuk karakter yang
baik tanpa menyalah gunakan hak nya
Guru adalah pengganti orang tua bagi anak didik ketika berada di sekolah, jadi sudah menjadi kewajiban guru
untuk mendidik dan mengajari mereka (anak didik) dengan cara yang baik. Komunikasi adalah salah satu metode
untuk guru melakukan pendekatan kepada anak diidk agar meraka lebih terbuka tentang kesulitan dan masalah
mereka di sekolah. Dan guru pun memiliki hak untuk memberikan sanksi kepada anak didik yang melakukan
penyimpangan atau pelanggaran di sekolah tapi tetap dalam koridor sewajar nya tidak melakukan hal-hal dan
memberikan sanksi yang berlebihan dengan menyalah gunakan hak nya sebagai pendidik. Dalam bukunya, Ibnu
Sahnun mengatakan “beliau menyampaikan kepada kami, dari ‘Abdurrahman: dari ‘Ubaidbin Ishaq: dari Yusuf
bin Muhammad, ia berkata: saya pernah duduk di samping Sa’ad al-Khaffaf, lalu anaknya datang sambil
menangis. Beliau bertanya, “Nak, apa yang membuatmu menangis?” Dia menjawab, “Pak guru memukulku.”
Beliau pun berkata, “Jika demikian, demi Allah, sungguh akan aku sampaikan kepada kalian sebuah hadits.
‘Ikrimah menyampaikan kepadaku: dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Seburuk-buruk umatku adalah para guru anak-anak kalian. Mereka itu paling sedikit rasa sayangnya
kepada anak yatim dan paling kasar kepada kaum miskin.” Muhammad berkata: hal itu semata-mata karena dia
(yakni, guru anak-anak) memukul murid-muridnya bila dia marah, dan bukan demi kebaikan mereka. Namun,
tidak masalah untuk memukul mereka demi kebaikan mereka sendiri. Jangan memberi sanksi – yakni, pukulan
– lebih dari tiga kali, kecuali jika ayahnya mengizinkan lebih dari itu, tatkala si anak menyakiti orang lain. Guru
boleh memberi sanksi mereka karena bermain-main dan melakukan hal sia-sia, namun tidak boleh memberi
sanksi lebih dari sepuluh kali. Adapun untuk (pengajaran) baca Al-Qur’an, maka jangan memberi sanksi lebih
dari tiga kali.Pernyataan di atas memiliki kesamaan dengan kode etik guru di Indonesia, yakni “guru menadakan
komunikasi, terutama dalam memperoleh informasi tentang anak didik, tetapi menghundarkan diri drai segala
bentuk penyalahgunaan”.
d. Guru menjaga hubungan baik dengan orangtua murid untuk kebaikan dan kepentingan anak didik
Sebagai seorang guru ketika anak didik berada di sekolah sudah sepatut nya mereka mematuhi aturan dan disipln
yang ditetapakn oleh sekolah tersebut. Tapi tentu saja sebelumnya peraturan tersebut sudah disosialisasi kan dan
disetujui oleh orangtua murid agar orangtua pun mengetahui hal-hal apa saja yang boleh dan tidak boleh
dilakukan oleh anak-anak mereka. Begitu pun Ibnu Sahnun dalam buku nya dikatakan bahwa pernah ditanyakan
kepada beliau, “Apakah menurut Anda seorang guru memiliki keleluasaan untuk memberikan izin (yakni,
liburan) bagi anak-anak, selama sehari atau yang semisalnya?” Dijawab, “Itu sudah menjadi kebiasaan orang
banyak, semisal (memberi izin libur) sehari atau sebagian hari. Namun, dia tidak boleh mengizinkan murid untuk
(libur) lebih dari itu, kecuali atas persetujuan seluruh orang tua mereka, sebab ia (yakni, guru) diupah secara
profesional oleh mereka”
Saya bertanya, “(Bagaimana dengan) sesuatu yang dihadiahkan oleh murid kepada gurunya, atau murid memberi
gurunya sesuatu, apakah guru boleh mengizinkannya atas hal itu?” Dijawab, “Tidak, sebab izin pada saat khatam
itu hanya sehari atau yang semisalnya, juga pada Hari-hari Raya. Adapun di luar itu, maka tidak boleh baginya

52
Vol 1, No 1, Februari 2023, Hal. 48-54
ISSN: 2962-5866 (media online)
Doi: 10.56854/sasana.v1i2.140
https://ejurnal.bangunharapanbangsa.com/index.php/sasana

(untuk memberi izin), kecuali atas persetujuan orangtuanya.” Hal tersebut memiliki kesamaan dengan kode etik
guru yang berlaku di Indonesia, yaitu “ guru menciptakan kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan
orang tua murid sebaik-baik nya bagi kepentingan anak didik.
e. Guru menjaga hubungan baik dengan masyarakat demi kepentingan pendidikan
Lingkungan sekolah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat di sekitar sekolah tersebut. Karena
masyarakat pun sedikit banyak memiliki peran dalam tercapainya tujuan pendidikan, karena tanpa dukungan
lingkungan masyarakat di sekitar sekolah tersebut maka tujuan pendidikan dan proses pembelajaran sulit untuk
tercapai. Jadi dengan kata lain kerjasama guru, anak didik dan masyarakat lingkungan sekitar sekolah maupun
masyarakat luas sangat lah memiliki korelasi yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Sebagaimana dalam
kode etik guru Indonesia bahwa “ guru mmelihara hubungan baik dengan masyarakat sekitar sekolahnya maupun
mayarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan”. Dalam buku nya Ibnu sahnun berkata “Hendaklah ia
selalu memperhatikan murid dengan mengajarkan doa-doa, agar mereka mencintai Allah, dan mengenalkan
mereka kepada keagungan serta kemuliaan-Nya, agar mereka membesarkan Allah karenanya. Jika masyarakat
tertimpa kekeringan dan Imam (yakni, pemimpin negeri) memohon turunnya hujan bersama masyarakat, lalu
guru ingin keluar bersama sebagian diantara murid-muridnya yang sudah mengerti tatacara shalat; agar mereka
bisa bersungguh-sungguh memohon kepada Allah dengan berdoa, berharap kepada-Nya. Sebab, telah sampai
berita kepadaku bahwa kaum Nabi Yunus ‘alaihis salam – tatkala mereka telah melihat siksa Allah dengan mata
kepala mereka sendiri – maka mereka pun keluar bersama dengan anak-anak mereka, lalu tunduk memohon
kepada Allah dengan (perantaraan) mereka.
f. Guru bekerjasama dengan guru/tutor lain dalam meningkatkan mutu pendidikan
Untuk membentuk karakter dan memberi pengetahuan anak didik satu guru dirasa tidak mencukupi dikarenakan
pengetahuan dan wawasan seseorang terbatas dan pengetahuan serta wawasan masing-masing orang terutama
guru pun berbeda-beda. Oleh karena itu dibutuhkan kerjasama antar guru untuk mencapai visi dan misi
pendidikan. Jika satu guru merasa kesulitan dalam memberikan pembelajaran kepada anak didik yang begitu
banyak, sehingga dikhawatirkan akan berdampak kurang baik terhadap perkembangan anak didik, maka seorang
guru boleh memberikan saran kepada anak didik untuk mendapatkan atau meminta pengajaran dan bimbingan
kepada guru lain di luar waktu pendidikan formal berupa pendidikan private.
Sebagaimana dalam kode etik guru di Indonesia disebutkan bahwa “ guru secara sendiri dan atau bersama-sama
berusaha mengembangkan dan meningkatlkan mutu profesinya. Dalam buku nya pun Ibnu sahnun dikatakan
bahwa, Malik ditanya perihal seorang guru yang mengangkat tutor untuk murid-muridnya, maka beliau
menjawab, “Jika dia sepadan dengan dirinya dalam penguasaan ilmu, maka hal itu bisa ditolelir, jika ada manfaat
bagi para murid dengan tindakan ini.”
Saya jufa mendengar beliau berkata: al-Mughirah Ibnu Syu’bah dan Ibnu Dinar – keduanya adalah ulama’ Hijaz
– berbeda pendapat tentang seorang anak yang telah mengkhatamkan Al-Qur’an pada seorang guru, lalu ayahnya
berkata, “Dia tidak hafal (Al-Qur’an).” Al-Mughirah berkata, “Jika anak itu telah mengambil bacaan Al-Qur’an
secara keseluruhan dari guru itu, dan si anak telah membaca seluruhnya dari Mushhaf dan dia bisa membaca
huruf-hurufnya secara tepat, lalu dia melakukan kesalahan kecil yang bisa dimaafkan semisal satu dua huruf atau
yang semisalnya, maka guru itu benar-benar telah berhak untuk mendapat (upah) pengkhataman Al-Qur’an.
Upah itu bagi yang kaya ada kadarnya sendiri, dan bagi yang miskin ada kadarnya pula. Inilah yang saya ingat
dari pernyataan Malik.”“Tidak masalah bila seseorang mengontrak orang lain untuk mengajari menulis dan
membaca huruf hija’iyah. Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah menerima tebusan
seorang (tawanan) yang bersedia mengajarkan menulis.”

4. KESIMPULAN
Dalam Kitab Adab Al-Muallimin karya Ibnu Sahnun setidaknya ada 6 kode etik dalam perspektif Ibnu Sahnun, yaitu
guru senantiasa mendampingi dan membimbing murid-murid nya dengan sungguh-sungguh dan totalitas, guru
profesional dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik secara adil dan merata tanpa membedakan
status sosial, guru menjaga komunikasi dengan anak didik, untuk mengetahui perkembangan dan memebentuk karakter
yang baik tanpa menyalah gunakan hak nya, guru menjaga hubungan baik dengan orangtua murid untuk kebaikan dan
kepentingan anak didik, guru menjaga hubungan baik dengan masyarakat demi kepentingan pendidikan dan guru
bekerjasama dengan guru/tutor lain dalam meningkatkan mutu pendidikan.

53
Vol 1, No 1, Februari 2023, Hal. 48-54
ISSN: 2962-5866 (media online)
Doi: 10.56854/sasana.v1i2.140
https://ejurnal.bangunharapanbangsa.com/index.php/sasana

UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah mendukung terlaksananya penelitian ini.

REFERENCES

1. Abd Al-Rahman. Al-Nahrawi. (2017). Konsep Pendidikan Islam. Usul Al-Tarbiyah. Ponorogo. IAIN
2. Ahmad. Fathuddin. (2010). Pemikiran Ibnu Sahnun Tentang Belajar Mengajar Al-Qur’an. Malang: UIN
3. Ahsanul, Ihsan. (2021). Konsep Pendidik Menurut Ibnu Sahnun Dalam Kitab Adab al-Muallimin. Malang: UIN
4. Akhiril. Pane. (2022). Kode Etik Guru Menurut Perspektif Islam. Padang: IAIN
5. Al-Ghazali. (n.d). sifat-sifat pendidik. Ihya ‘Ulum. 55-59
6. Ali, Imron. (1996). Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Semarang: UNIS
7. Chusnul. Muali. (2018). Konsep Punishment Perspektif Ibnu Sahnun. Tafaqquh: Jurnal Penelitian dan Kajian Keislaman
8. Dedeng. Rosyidin. (n.d). Etika Pendidik Dalam Islam. Bandung: UPI
9. Pratama. Zahir. (2019). Konsep Kepribadian Guru Menurut Ibnu Sahnun. Tawazun: Jurnal Pendidikan Islam
10. Rusnadi. (2020). Pemikiran Ibnu Sahnun Tentang Etika Profesi Guru dan Relevansi nya Dengan Undang-undang Kode Etik
Profesi Guru. Ta’allum: Jurnal Pendidikan Islam
11. Tafsir (n.d) 18. Sifat-sifat Pendidik
12. Wagiman. Malik. (2016). Pemikiran Pendidikan Ibnu Sahnun. Deli Serdang: Jurnal Waraqat

54

Anda mungkin juga menyukai