penyakit saluran nafas, penyakit parenkimal, dan penyakit vaskuler. Perdarahan dapat berasal dari
pembuluh darah besar maupun kecil. Perdarahan dari pemburuh darah kecil biasanya bersifat fokal
atau difus alveolar, paling sering disebabkan oleh penyakit imunologi, vaskulitis, kardiovaskular, dan
gangguan koagulasi. Penyebab perdarahan dari pembuluh darah besar biasanya disebabkan oleh
infeksi, kardiovaskular, kongenital, neoplasma, dan penyakit vaskulitis. Namun penyebab tersering
hemoptisis adalah bronkiektasis, tuberkulosis, kanker, dan infeksi jamur.4,5 Perdarahan bisa berasal
dari arteri pulmonal maupun arteri bronkial. Sekitar 90% dari hemoptisis masif disebabkan oleh
perdarahan dari arteri bronkial karena memiliki tekanan yang lebih tinggi dibandingkan arteri
pulmonal. Hemoptisis dari arteri pulmonal dapat disebabkan oleh penyakit yang menyebabkan
nekrosis, seperti tuberkulosis, abses paru, aspergilosis, dan karsinoma. Pada penelitian Hwang et al.,
DM dianggap secara bermakna merupakan satu faktor resiko hemoptisis berulang.22 Dari 16 pasien
hemoptisis dengan DM, rekurensi hemoptisis terjadi pada 10 pasien (62,5%). Baghaei et al.,
menyebutkan bahwa kejadian hemoptisis pada TB paru dengan DM lebih tinggi daripada pasien TB
paru tanpa DM.35 Hal ini disebabkan tingginya frekuensi kavitas yang ditemukan pada foto radiologi
thoraks. Koziel dan Koziel menyatakan bahwa pada pasien diabetes mellitus terdapat penurunan
aktivitas limfosit dan penyusutan jumlah monosit dan makrofag.
Sebagian besar darah paru-paru (95%) bersirkulasi melalui arteri pulmonalis bertekanan rendah dan
berakhir di kapiler paru, tempat terjadinya pertukaran gas. Sekitar 5% suplai darah bersirkulasi
melalui arteri bronkial bertekanan tinggi, yang berasal dari aorta dan menyuplai saluran udara utama
serta struktur pendukungnya. Pada hemoptisis, darah umumnya berasal dari sirkulasi bronkial ini,
kecuali bila arteri pulmonalis rusak akibat trauma, akibat erosi kelenjar getah bening atau tumor
granulomatosa atau kalsifikasi, akibat tekanan intravaskular tinggi yang dihasilkan oleh tekanan
tinggi di vena pulmonalis, atrium kiri, dan darah. /atau ventrikel kiri, atau, jarang, dengan
kateterisasi arteri pulmonal atau ketika kapiler paru terkena peradangan.
Di Indonesia dan negara berkembang lainnya, tuberculosis paru masih menjadi penyebab utama
hemoptisis Infeksi merupakan penyebab tersering dari hemoptisis, sekitar 60-70%. Dari infeksi
tersebut, 26% berasal dari bronkitis, 10% disebabkan pneumonia, dan 8% akibat tuberkulosis. Infeksi
dapat menyebabkan inflamasi mukosa dan edema yang menyebabkan ruptur kapiler superfisial.
Kanker primer paru sekitar 23%. Perdarahan pada kanker diakibatkan oleh invasi atau erosi
pembuluh darah oleh tumor. Nodul metastasis pada paru biasanya tidak menyebabkan hemoptisis.6
Hipertensi arteri pulmonal juga dapat menyebabkan hemoptisis, walaupun jarang. Namun pada
pasien dengan hipertensi arteri pulmonal dengan hemoptisis, angka kesintasannya hanya sekitar
60%, dan pasien sering mengalami hemoptisis berulang (75%).7 Di Indonesia itu sendiri, menurut
penelitian di RS Persahabatan, etiologi tersering dari hemoptisis adalah tuberkulosis (76,6%), infeksi
jamur 10%, dan penyakit lainnya 14%.
Nyeri kepala.
Mengalami batuk selama berminggu-minggu sebelum akhirnya muncul darah ketika batuk.
Artikel ini dibuat dan diterbitkan oleh Siloam Hospitals, baca selengkapnya di:
*https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/penyebab-gejala-dan-cara-mengobati-
batuk-berdarah*
*Instagram*: https://instagram.com/siloamhospitals/
*Siloam-At-Home*: https://wa.me/628111950181
Komplikasi hemoptisis antara lain instabillitas hemodinamik, aspirasi, penyumbatan saluran napas,
hipoksemia, dan kematian. Komplikasi lain dapat berupa perforasi pembuluh darah, intima robek,
pireksia, nyeri dada, embolisasi sistemik, dan komplikasi neurologis akibat iskemia korda spinalis.
Menurut beberapa peneliti, kejadian iskemia korda spinalis ini berkisar antara 1.4-6.5%. Iskemia ini
terjadi akibat oklusinya arteri Adamkiewicz yang memberi suplai oksigen ke arteri spinal anterior.
Beberapa komplikasi embolisasi arteri bronkial telah dilaporkan dalam literatur. Nyeri dada
merupakan komplikasi tersering dengan prevalens 24-91% dan biasanya bersifat sementara. Disfagia
disebabkan embolisasi pada cabang esofagus dengan prevalens 0,7-18,2% dan sembuh spontan.
Diseksi subintimal aorta atau arteri bronkial selama embolisasi merupakan komplikasi minor lain
dengan prevalens 1-6,3%. Komplikasi yang paling berat yaitu iskemi spinal cord yang disebabkan
oklusi arteri spinal dengan prevalens 1,4-6,5%. hemoptisis masif juga dapat mengganggu pertukaran
gas di alveoli dan menimbulkan komplikasi asfiksia yang tinggi angka mortalitasnya. Meskipun angka
kejadian hemoptisis masif hanya 5 – 15% dari total kasus, hal ini harus selalu ditanggapi sebagai
suatu kasus yang mengan- cam jiwa dan memerlukan penanganan dan manajemen yang efektif.
Cabang radikuler bronkial atau interkostal yang tervisualisasi pada angiogram bukan merupakan
kontraindikasi absolut embolisasi namun bila arteri meduler (artery of Adamkiewitcz) tervisualisasi
saat angiografi embolisasi tidak dilakukan. Komplikasi lain yang jarang terjadi adalah nekrosis aorta
dan bronkial, fistula bronkoesofagus, infark paru dan transient cortical blindness yang disebabkan
embolisasi korteks oksipital melalui bronchial artery-pulmonary veins shunt atau kolateralisasi arteri
bronkial dan vetebralis.
*IOS*: https://apple.co/3PYwuZK
*Android*: https://bit.ly/
Pemeriksaan penunjang yang paling umum dilakukan adalah rontgen toraks. Jika pada rontgen
tampak gambaran infeksi maka rontgen dapat diulang 6‒8 minggu pasca pemberian antibiotik. Jika
tidak ada perbaikan atau terdapat gambaran dugaan massa, pemeriksaan CT toraks dan bronkoskopi
dapat dilakukan.
Tes dahak, untuk melihat ada atau tidaknya bakteri yang menyebabkan batuk bercampur darah.
Tes pencitraan dengan foto rontgen atau CT Scan, untuk melihat kondisi paru-paru pasien
Bronkoskopi, untuk melihat kondisi saluran pernapasan bagian dalam.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam tatalaksana hemoptisis masif adalah foto toraks,
Computed tomography scanning (CT-scan) dan bronkoskopi.
Tujuan utama tatalaksana hemoptisis adalah menjaga keamanan dari saluran nafas. Darah dalam
jumlah banyak di bronkial dapat mengganggu fungsi paru dalam pertukaran gas. Saturasi oksigen
sebaiknya dipantau pada pasien dengan hemoptisis. Pasien sebaiknya tidak diberikan obat supresi
batuk karena dapat menyebabkan retensi darah di paru. Kultur sputum sebaiknya dilakukan
sesegera mungkin untuk melihat adanya bakteri atau jamur, dengan melihat Gram, dan bakteri
tahan asam.
Sedangkan pada tatalaksana hemoptisis non-masif, untuk membedakan apakah perdarahan dari
saluran nafas atau saluran cerna (pseudohenoptisis), maka dapat dilakukan pemeriksaan
menggunakan kertas litmus. Bila litmus berubah menjadi merah (acidic) maka perdarahan berasal
dari saluran cerna. Jika kertas litmus menjadi biru, maka darah kemungkinan dari saluran nafas. Bila
sudah dipastikan darah berasal dari saluran nafas, yang pertama kali dilakukan adalah foto polos
toraks. Bila ditemukan massa, maka dapat dilakukan CT scan toraks dan dilanjutkan oleh
bronkoskopi. Bila foto polos toraks normal, maka dilakukan anamnesis mengenai factor risiko kanker
paru, seperti kebiasaan merokok aktif/ pasif, riwayat keluarga dengan kanker paru, penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan, dan riwayat lainya. Bila pasien memiliki faktor risiko kanker paru,
maka dapat dilakukan bronkoskopi.
A. Pengkajian Data Umum
Tanggal Pengkajian : 31/01/2024
Oleh : Riyan Alip Firmansyah
Sumber Data :
Metode Pengumpulan Data :
Identitas Pasien
Nama : Nn. A
Umur : 20
Status Perkawinan : blm kawin
Agama : islam
Pendidikan : SMA
No. RM :
Dx. Medis : Hemoptysis
Penanggung jawab
Nama : Tn. S
Alamat : SB 7/2
Pekerjaan : Wiraswasta
Hubungan dengan pasien : Orang tua
Disability : A: sadar penuh, v: ada reaksi thdp perintah, P: ada reaksi thdp nyeri, U:
responsif
2. Fokus Assesment
Keadaan Umum : batuk darah, sesak napas
3. Sekunder Assesment
Riwayat Penyakit Dahulu :-
Riwayat Penyakit Sekarang : -
Riwayat Penyakit Keluarga : -
Allergies :-
Medication : -
Pertinent Past History : -
Makan terakhir : 16.00
Event Lead to Injury : -
4. Pemeriksaan Fisik
TD: 120/80 N: 85 RR: 30 S: 36 GDS: -
6. Data Penunjang : DS : batuk darah sejak kemarin tidak berdahak, sesak napas
ANALISA DATA
No Tgl/jam Data Penunjang Masalah Etiologi
DS: sesak napas Pola napas tidak efektif Hambatan upaya
napas
DO: rr : 30x/m, N: 85
Prioritas Masalah
1. Pola napas tidak efektif
2. Bersihan jalan napas tidak efektif
RENCANA KEPERAWATAN
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Intervensi
Kriteria Hasil
-
A. Pengkajian
Identitas Pasien
Tanggal pengkajian : 05-02-2024
Nama pasien : Tn. T
Umur : 66 tahun
Status perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
No. RM : 16626
Dx. Medis : Gastroenteritis Akut
Pengkajian
1. Primary Assesment
Airway : Jalan napas paten, tidak ada sumbatan jalan napas
Breathing : tidak ada otot bantu pernapasan, pergerakan dinding thoraks
simetris
Circulation : TD: 117/60 mmhg, N: 78x/m, CRT <2 detik, akral hangat
Disability : GCS: 25, pupil isokor
Exposure : Tidak ada luka
2. Fokus Assesment
Keadaan umum : Sedang, pasien tampak lemas dan tampak muntah saat
masuk ugd
Tingkat kesadaran : Compos mentis
3. Sekunder Assesment
Riwayat penyakit dahulu : Tn. T pernah dating ke puskesmas pada tanggal
3-4-2024 dengan keluhan mules dan diare sudah 2 hari
Riwayat penyakit sekarang : Tn. T mengeluh diare sudah 4 hari dengan
frekuensi >4x hari ini, pasien mengatakan mual dan muntah kurang lebih 15 kali
dari semalam.
4. Pemeriksaan Fisik
TD : 117/60 mmHg
N : 78x/menit
RR : 21x/menit
S : 36,7C
Kepala :Simetris, kulit kepala bersih, tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan
Leher : simetris, tidak ada pembengkakan kelenjar
Thoraks
Inspeksi : simetris, tidak ada jejas
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Perkusi : terdengar sonor
Auskultasi : vesicular, tidak ada suara tambahan
Abdomen
Inspeksi : simetris, tidak ada edema
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Perkusi : bunyi timpani
Auskultasi : bising usus meningkat
Ekstremitas : simetris, tidak ada nyeri tekan
B. Analisa Data
C. Diagnosa Keperawatan
1. Diare b.d inflamasi gastrointestinal d.d defekasi lebih dari tiga kali dalam 24
jam
2. Hipovolemia b.d kehilangan cairan aktif d.d merasa Lelah
D. Intervensi keperawatan
O:
- Pasien tampak
lemas
- Pasien tampak
muntah
- Turgor kulit
menurun
fleksibel. Dalam: Rachmad KB, ed. Peranan bedah pada penanganan TBC di Indonesia.
terapi penatalaksanaan pada batuk darah. Dalam: Jusuf A, Rasmin M. Batuk darah.
Jakarta: FKUI;1996.hal.56-64.
Hwang, H.G; Lee, H.S; Choi, J.S; Seo, K.H; Kim, Y.H; Na,J.O.