Anda di halaman 1dari 8

P-ISSN : 2460-4917

E-ISSN : 2460-5794

Jurnal Edukasi : Vol. X, No. X, XXXX


Jurnal Bimbingan Konseling Hal : XXX sd XXX
DOI : 10.22373/je.v8i2.XXXX

PENCEGAHAN RADIKALISME DI KALANGAN REMAJA MELALUI


PENDEKATAN KONSELING MULTIBUDAYA

1Andin Fitriansyah, 2Harwanti Noviandari


1,2Universitas Pgri Banyuwangi – Bimbingan dan Konseling
Email: 1 andinfitriansyah62@gmail.com, 2harwantinoviandari@gmail.com

Received: (diisi editor) Accepted: (diisi editor) Published: (diisi editor)


Abstract: Radicalism is a problem faced by the Indonesian people, including among teenagers.
Teenagers are vulnerable to environmental and easily exposed to radical understanding. The
multicultural counseling approach is considered effective in preventing radicalism by
instilling multicultural values and helping adolescents understand diversity. This approach
can equip teenagers with critical thinking and problem-solving skills, so that they are better
able to resist radicalism.
Keywords: multicultural counseling, radicalism, youth

Abstrak: : Radikalisme merupakan masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia, termasuk


di kalangan remaja. Remaja rentan terpengaruh lingkungan dan mudah terpapar paham
radikal. Pendekatan konseling multibudaya dinilai efektif dalam mencegah radikalisme dengan
menanamkan nilai-nilai multibudaya dan membantu remaja memahami keberagaman.
Pendekatan ini dapat membekali remaja dengan keterampilan berpikir kritis dan memecahkan
masalah, sehingga mereka lebih mampu menolak paham radikal.
Kata Kunci: konseling multibudaya, radikalisme, remaja

A. PENDAHULUAN
Dalam era yang terus berkembang, tantangan kompleks terkait radikalisme
semakin merambah ke berbagai aspek masyarakat, termasuk kalangan remaja.
Radikalisme, yang tidak hanya terbatas pada dimensi politik, tetapi juga mencakup
aspek sosial, budaya, dan keagamaan, telah menjadi perhatian serius di tingkat global.
Di tengah dinamika perubahan sosial dan perkembangan teknologi, remaja, sebagai
kelompok rentan, sering kali terpapar oleh berbagai pengaruh eksternal yang dapat
membentuk pandangan dan sikap mereka terhadap dunia.
Penting untuk diakui bahwa radikalisme dapat muncul dari berbagai motif,
termasuk isu-isu sosial, politik, budaya, dan agama. Dalam konteks ini, upaya
pencegahan radikalisme haruslah melibatkan pendekatan yang holistik dan
komprehensif. Melihat pada perkembangan remaja, masa transisi dari kanak-kanak
menuju dewasa, menjadi krusial untuk memahami dinamika yang memengaruhi pola

1
Copyright © XXXX Hak Cipta dilindungi undang-
undang
Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling Vol. X, No. X, XXXX
DOI : 10.22373/je.v8i2.XXXXX

pikir mereka. Pada fase ini, remaja tidak hanya menghadapi perubahan fisik, tetapi juga
mencari identitas dan nilai-nilai hidup yang dapat membimbing mereka dalam
menjalani kehidupan dewasa.
Paradigma psikologi remaja memberikan wawasan mendalam terkait dengan
faktor-faktor internal yang memengaruhi perilaku remaja. Aspek-aspek seperti kontrol
diri, hubungan sosial, kebebasan pribadi, dan pengembangan nilai-nilai menjadi fokus
utama dalam pendekatan ini. Memahami dinamika emosi remaja yang seringkali tidak
stabil di masa transisi ini membantu kita merancang strategi pencegahan yang lebih
efektif.
Di sisi lain, pendekatan konseling multibudaya juga menjadi landasan krusial
dalam menghadapi tantangan radikalisme. Dengan masyarakat yang semakin beragam
secara sosial, budaya, dan keagamaan, penting untuk menciptakan suatu lingkungan
yang menghormati dan mengapresiasi perbedaan. Workshop, seminar, atau kegiatan
kreatif lainnya dapat menjadi sarana efektif untuk melibatkan remaja dalam diskusi
terbuka tentang keberagaman, sehingga memperkuat sikap toleransi dan nasionalisme.
Artikel ini mencoba merangkai dua pendekatan utama, yaitu paradigma
psikologi remaja dan pendekatan konseling multibudaya, sebagai suatu kerangka kerja
pencegahan radikalisme di kalangan remaja. Dengan menggabungkan pemahaman
mendalam terhadap faktor-faktor internal remaja dan langkah-langkah konkret dalam
mendukung keberagaman, diharapkan artikel ini dapat memberikan kontribusi
signifikan pada upaya mencegah penyebaran ideologi radikal di kalangan generasi muda.

B. METODE
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan
metode studi kasus. Subjek penelitian adalah para pelajar yang rentan terpapar
radikalisme. Prosedur penelitian dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu tahap
persiapan, tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap penulisan laporan
penelitian.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


Dalam pengertian keagamaan, radikalisme sering digunakan untuk menafsirkan
ajaran agama atau aliran khusus. Kata "radikalisme" memiliki akar pada bahasa Latin

2
Copyright © XXXX Hak Cipta dilindungi undang-undang
Andin Fitriansyah, Harwanti Noviandari - Pencegahan Radikalisme di Kalangan Remaja Melalui
Pendekatan Konseling Multibudaya

"radix," yang mengacu pada prinsip atau dasar. Dalam kamus bahasa Indonesia,
"radikal" mencerminkan sesuatu yang mendasar atau sampai pada prinsip. Dalam
bahasa Inggris, "radical" dapat diartikan sebagai ekstrem, menyeluruh, fanatik,
revolusioner, ultra, dan fundamental. "Radicalism" dalam konteks ini mengacu pada
doktrin atau praktik dari paham radikal atau ekstrem. Radikalisme sendiri
menggambarkan pandangan atau aliran yang ingin mencapai perubahan atau
pembaharuan sosial dan politik melalui metode kekerasan atau tindakan drastis. Oleh
karena itu, gejala radikalisme dapat muncul dalam masyarakat dengan berbagai motif,
termasuk yang bersifat sosial, politik, budaya, dan agama, yang ditandai oleh tindakan
keras, ekstrem, dan anarkis sebagai bentuk penolakan terhadap gejala yang dihadapi.
Paradigma Psikologi Remaja Dalam Penanggulangan Radikalisme
Paradigma psikologi remaja memainkan peran kunci dalam mengatasi
radikalisme. Masa Remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menujut masa
dewasa, antara kedua fase inilah remaja mudah sekali terpengaruh emosinya (Hurlock,
2004). Pada fase ini, emosi remaja sering cendrung tidak stabil, sehingga diperlukan
perhatian secara khusus. Kesadaran akan perubahan fisik dan identitas diri menjadi
penting, karena remaja sedang mencari jati diri dipengaruhi oleh lingkungannya. Dalam
konteks ini, lingkungan positif sangat diperlukan untuk menghindarkan mereka dari
pengaruh negatif yang dapat mendorong ke arah radikalisme.
Pentingnya pengembangan psikologis remaja, sebagaimana dijelaskan oleh
Santrock, mencakup kesadaran akan perubahan biologis, keterikatan kepada teman atau
kelompok, dorongan untuk mencapai kebebasan pribadi, dan keinginan untuk
memantapkan filsafat hidup dan nilai-nilai. Masa remaja yang rentan dan sensitif
membutuhkan perhatian khusus, dan tugas perkembangan remaja, seperti yang
diungkapkan oleh Havigurst, melibatkan tanggung jawab sosial dan pengembangan
nilai-nilai dalam masyarakat. Konsep kontrol diri juga menjadi aspek krusial dalam
memahami perilaku remaja. Teori "Low Self Control" oleh Hirschi dan Gottfredson
menekankan bahwa individu dengan kontrol diri rendah cenderung impulsif, suka
berisiko, dan berpikiran sempit. Oleh karena itu, pembentukan kontrol diri yang kuat
dapat membantu mencegah perilaku menyimpang, termasuk potensi terjerumus ke
dalam radikalisme.

3
Copyright © XXXX Hak Cipta dilindungi undang-undang
Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling Vol. X, No. X, XXXX
DOI : 10.22373/je.v8i2.XXXXX

Pendekatan konseling multibudaya menjadi relevan untuk mengajarkan remaja


tentang pentingnya keberagaman dan menghormati perbedaan. Inisiatif seperti
workshop dan lomba video pendek oleh BNPT menunjukkan upaya nyata dalam
melibatkan remaja dalam pencegahan radikalisme. Melalui kegiatan kreatif ini,
diharapkan remaja dapat membangun ketahanan terhadap ideologi radikal dan
memperkuat jiwa nasionalisme untuk mendukung kehidupan damai dan toleran di
Indonesia.
Paradigma Konseling Multibudaya dalam Penanggulangan Radikalisme
Dalam menanggulangi radikalisme di kalangan remaja, pendekatan bimbingan
dan konseling multibudaya tidak terpisahkan dari prinsip-prinsip psikologi
perkembangan remaja. Pendekatan konseling multibudaya bertujuan mendorong
kelompok-kelompok masyarakat untuk saling menghormati dan menerima satu sama
lain. Ini melibatkan upaya agar kaum mayoritas dapat menghargai kaum minoritas,
sekaligus sebaliknya, menciptakan saling penghargaan di antara mereka. Konsep saling
menghargai dan menerima ini menjadi landasan penting dalam membangun kerukunan
dalam masyarakat yang beragam.
Bimbingan dan konseling multibudaya kini melampaui batasan sempit, tidak
hanya fokus pada kelompok minoritas atau mayoritas, tetapi juga mengakui perbedaan
dalam setiap individu sebagai bagian integral dari masyarakat. Artinya, keberagaman
tidak hanya terkait dengan kelompok-kelompok tertentu, melainkan setiap individu
dihargai atas karakteristik dan kekhasannya masing-masing. Dengan menerapkan
pendekatan bimbingan dan konseling multibudaya, ruang gerak radikalisme dapat
dipersempit. Hal ini karena setiap agama memiliki nilai-nilai khusus atau partikular,
serta nilai-nilai umum atau universal yang diakui oleh berbagai agama. Pendekatan
multibudaya tidak bertujuan menghapus nilai-nilai partikular tersebut, melainkan
berusaha memastikan bahwa nilai-nilai tersebut tetap terjaga di dalam komunitas yang
mengamalkannya (lokus eksklusif). Bagi pihak eksternal kelompok, fokus akan pada
nilai-nilai universal. Misalnya, dalam praktik ibadah, nilai-nilai partikular hanya berlaku
di dalam komunitasnya, sementara dalam interaksi dengan kelompok agama lain,
pijakan utamanya adalah nilai-nilai universal (Abdullah, 2007).
Setiap agama selalu mengajarkan nilai-nilai kedamaian dan kemanusiaan, yang
melampaui aspek tata peribadatan dan bersifat bersama dalam hubungan antar sesama

4
Copyright © XXXX Hak Cipta dilindungi undang-undang
Andin Fitriansyah, Harwanti Noviandari - Pencegahan Radikalisme di Kalangan Remaja Melalui
Pendekatan Konseling Multibudaya

makhluk Tuhan. Meskipun keyakinan berbeda, kolaborasi antar kelompok dalam


konteks "publik" dapat terjadi, terutama dalam implementasi nilai-nilai tersebut. Sebagai
contoh, dalam penanganan korban bencana alam, tanpa memandang agama atau
keyakinan, semua korban berhak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak yang
bersedia bekerjasama. Paradigma keagamaan yang bersifat eksklusif dapat menjadi
pemicu potensial konflik keagamaan. Pemahaman keberagaman yang eksklusif ini dapat
memicu sikap radikal yang cenderung menimbulkan ketidaksetujuan terhadap penganut
agama lain. Untuk mencegah hal tersebut, langkah-langkah preventif diperlukan, yakni
mengembangkan pemahaman keberagaman yang inklusif, pluralis, humanis,
kontekstual, substantif, dan multibudaya. Langkah-langkah tersebut dapat diterapkan
melalui pendidikan, seperti disarankan oleh Yaqin (2007).
Remaja, sebagai kelompok usia pelajar, tanpa disadari seringkali menghadapi
tekanan untuk tumbuh dan mencapai tujuan yang seragam. Kurikulum pendidikan
sering kali memperlihatkan kecenderungan mengabaikan keragaman, lebih memilih
menerapkan sistem yang menekankan keseragaman dan sentralistik. Dalam teori belajar
behavioristik, yang menekankan keseragaman, fokus hanya pada input berupa stimulus
dan output berupa respon. Watson menyatakan bahwa belajar adalah hasil dari
interaksi antara stimulus dan respon, dengan penekanan pada tingkah laku yang dapat
diamati, sehingga perubahan mental tidak perlu terlalu diperhatikan. Sementara teori
belajar sosiokultur, seperti yang diakui oleh Vygotsky, menyoroti konsep multibudaya.
Menurutnya, perubahan mental remaja sangat terkait dengan proses sosial, di mana
interaksi remaja dengan lingkungan sosialnya memegang peran kunci. Relevansi teori ini
sangat terlihat dalam konteks perkembangan peserta didik yang selalu dipengaruhi oleh
lingkungan sekitarnya (dalam Rahmadonna, 2000).
Teori Vygotsky, yang diakui karena kesesuaian dengan keragaman bangsa
Indonesia, menunjukkan pendekatan yang tidak mengesampingkan perbedaan.
Sebaliknya, ia mengakui dan menerima nilai-nilai kebudayaan yang beragam. Dalam
konteks ini, bimbingan dan konseling memiliki peran krusial sebagai upaya memupuk
nilai-nilai multibudaya di lembaga-lembaga pendidikan. Layanan konseling
multibudaya menjadi esensial bagi peserta didik agar mampu menghargai perbedaan di
sekitarnya. Peran sekolah, khususnya melalui layanan bimbingan dan konseling,
memiliki dampak besar dalam membentuk pribadi peserta didik yang menghargai

5
Copyright © XXXX Hak Cipta dilindungi undang-undang
Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling Vol. X, No. X, XXXX
DOI : 10.22373/je.v8i2.XXXXX

keragaman. Paradigma multibudaya dalam praktik konseling membawa makna yang


signifikan karena menjadi landasan untuk membentuk pribadi peserta didik yang
memahami keragaman. Praktik konseling multibudaya menjadi suatu konsep yang
menguntungkan dalam penyelenggaraan pendidikan untuk membentuk individu yang
menghargai keragaman. Oleh karena itu, diperlukan usaha meningkatkan kebutuhan
pelatihan bagi konselor yang memiliki kompetensi untuk memberikan konseling
multibudaya. Keterampilan beradaptasi dengan keragaman dan pengembangan
kompetensi multibudaya menjadi faktor penting yang mendorong kesuksesan seseorang
dalam lingkungannya.
McCoy (2008) menyatakan bahwa untuk berkembang sebagai konselor dalam
konseling multibudaya, diperlukan kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan. Aspek
pertama adalah "multicultural awareness." Konselor perlu memiliki kesadaran terhadap
perilakunya yang terkait dengan pemahaman terhadap perbedaan, terutama perbedaan
dengan konseli yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Perilaku konselor
tidak hanya memengaruhi persepsi konseli, tetapi juga menentukan arah dari proses
konseling itu sendiri. Jika konselor tidak menyadari bahwa karakteristik perilakunya
dipengaruhi oleh budaya asalnya, hal tersebut dapat berdampak pada perilaku konseli
selama proses konseling. Kedua, pengetahuan multibudaya. Melibatkan diri dalam
konseling multibudaya mengharuskan konselor memiliki pengetahuan mendalam
tentang multibudaya itu sendiri. Konselor perlu menyadari signifikansi memiliki
pengetahuan terkait konsep multibudaya agar dapat berkontribusi dalam pelayanan
konseling multibudaya. Pengetahuan yang diperlukan oleh konselor terkait konseling
multibudaya melibatkan aspek-aspek seperti kebudayaan, ras, etnik, etika dan empati,
agama, kelompok minoritas dan mayoritas, serta prinsip-prinsip multibudaya.
Penguasaan pengetahuan tersebut dapat diperkuat melalui interaksi dengan konseli,
literatur, dan penelitian terkait permasalahan multibudaya pada peserta didik. Ketiga,
keterampilan multibudaya. Keterampilan multibudaya ini mencakup kemampuan
konselor untuk membantu konseli mengembangkan teknik dan strategi yang sesuai,
efektif, dan dapat beradaptasi dengan peserta didik yang memiliki latar belakang
budaya beragam. Pendekatan ini diperlukan karena teknik atau strategi yang efektif bagi
satu siswa mungkin tidak sama bagi siswa lain dengan latar belakang budaya yang
berbeda. Konselor harus mampu menentukan strategi dan teknik berdasarkan

6
Copyright © XXXX Hak Cipta dilindungi undang-undang
Andin Fitriansyah, Harwanti Noviandari - Pencegahan Radikalisme di Kalangan Remaja Melalui
Pendekatan Konseling Multibudaya

kemampuannya, tingkat pengetahuannya, dan kesadaran atas isu-isu multibudaya.


Keterampilan multibudaya konselor menjadi lebih kuat ketika konselor dapat
memadukan awareness dan pengetahuan multibudaya.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Naim dan Sauqi (2008), pendidikan
menjadi sarana yang efektif dalam membentuk kesadaran pluralis-inklusif. Salah satu
pendekatan yang terbukti efektif adalah melalui jalur konseling terhadap peserta didik,
dianggap sebagai instrumen yang sangat berperan dalam internalisasi dan penanaman
nilai-nilai multibudaya. Dengan menggunakan konseling sebagai wadah, diharapkan
kesadaran terhadap pluralisme dapat tumbuh dan berkembang di seluruh lapisan
masyarakat, menciptakan sikap beradab pada peserta didik. Hal ini diharapkan dapat
mencegah kesalahpahaman mengenai perbedaan dan mengurangi potensi radikalisme di
kalangan pelajar.

D. PENUTUP
Dalam menanggulangi radikalisme di kalangan remaja, paradigma psikologi
remaja dan pendekatan konseling multibudaya memiliki peran kunci. Masa remaja,
sebagai fase transisi, memerlukan perhatian khusus terhadap perubahan emosional dan
pencarian identitas. Konteks inilah paradigma psikologi remaja memiliki relevansi untuk
menciptakan lingkungan positif yang dapat melindungi remaja dari pengaruh
radikalisme. Sementara itu, pendekatan konseling multibudaya bukan hanya tentang
menghargai perbedaan kelompok, tetapi juga mengakui keberagaman dalam setiap
individu. Dengan mengaplikasikan pendekatan ini, ruang gerak radikalisme dapat
dipersempit, terutama dengan memahami nilai-nilai partikular dan universal dalam
berbagai agama.
Selanjutnya, kesadaran multikultural, pengetahuan multibudaya, dan
keterampilan multibudaya menjadi fondasi utama bagi konselor yang ingin berhasil
dalam konseling multibudaya. Hal ini mencakup pemahaman terhadap perilaku
konselor yang dipengaruhi oleh latar belakang budayanya sendiri, pengetahuan
mendalam tentang konsep multibudaya, dan kemampuan membantu konseli dengan
beragam latar belakang budaya. Kombinasi ketiga aspek tersebut dapat memperkuat
keterampilan konselor dalam menciptakan lingkungan konseling yang mendukung dan
inklusif. Terakhir, peran pendidikan dalam membentuk kesadaran pluralis-inklusif di

7
Copyright © XXXX Hak Cipta dilindungi undang-undang
Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling Vol. X, No. X, XXXX
DOI : 10.22373/je.v8i2.XXXXX

masyarakat sangat penting. Jalur konseling terhadap peserta didik menjadi instrumen
efektif dalam internalisasi nilai-nilai multibudaya. Melalui pendekatan ini, diharapkan
muncul sikap beradab pada peserta didik, mengurangi kesalahpahaman mengenai
perbedaan, dan mencegah potensi radikalisme di kalangan pelajar.
Dengan demikian, kesimpulan dari artikel ini adalah bahwa kombinasi
paradigma psikologi remaja, pendekatan konseling multibudaya, dan peran pendidikan
dapat menjadi landasan kokoh dalam menanggulangi radikalisme di kalangan remaja,
melalui pemahaman, penghargaan, dan inklusivitas terhadap keberagaman.

DAFTAR REFERENSI
Abdullah, Amin. 2007. Kesadaran Multikultural : Sebuah Gerakan “Interest
Minimalization” Dalam Meredakan Konflik Sosial, Pengantar dalam Buku
Pendidikan Multikultural : Crosscultural Understanding Untuk Demokrasi dan
Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.
Aijudin, Anas, 2011, Peran Pesantren Al Muayyad Windan Dalam Transformasi Konflik
Keagamaan Di Surakarta, Tesis diterbitkan. Semarang: PPs UIN Sunan Kalijaga.
Azyumardi, Azra. 2011. Rekrutmen Anak Sekolah. Jurnal UIN Jakarta,(Online),
(http://www.uinjkt.ac.id/index.php/sec tion-blog/28-artikel/1912--
rekrutmenanak-sekolah.html), diakses 5 Januari 2017.
Kompas, nasional. 02 maret 2016. Survei Maarif Institute: Benih Radikalisme di Kalangan
Remaja Mengkhawatirkan, hlm 12.
Naim, Ngainun dan Ahmad Sauqi. 2008. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Rokhmad, Abu. 2012. Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal.
Jurnal Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, (Online),20 (1), (http://google.com), diakses 5
Januari 2017.
Santrock, Jhon W. 2007. Remaja. Jakarta: Erlangga.
Syamsul, Maarif. 2005. Pendidikan Pluralisme di Indoeisa, Yogyakarta: Logung Pustaka.

8
Copyright © XXXX Hak Cipta dilindungi undang-undang

Anda mungkin juga menyukai