Anda di halaman 1dari 20

Seni Mengorganisir Penjara oleh Eva Bande

Lapas Palu, November 2014. Sore yang yang tak lazim bagi Eva Bande. Biasanya seluruh
tahanan sudah mesti masuk ke dalam blok penjara sejak pukul 5 sore.

Tetapi Kepala Lapas membuka kembali blok yang telah dikunci. Menjemput Eva.
Memintanya untuk berganti pakaian dan pergi ke ruangan Kepala Lapas.

“Ada telepon,” kata si Kepala Lapas.

“Siapa?” tanya Eva.

Kepala Lapas berbalik bertanya dengan nada heran, “Kau ini siapa?”

Eva ikut heran. Ia tidak tahu bahwa si Kepala Lapas, yang sore itu telah pulang ke rumah,
mendapatkan telepon dari Jakarta. Nomor asing terpampang di layar ponselnya. Suara dari
ujung telepon itu mengaku sebagai Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Ia kira
penelepon adalah penipu. Tetapi isi pembicaraan terlampau serius untuk jadi bualan,
menyangkut salah satu tahanannya di lapas, Eva Bande.

Masih setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi, Kepala Lapas bergegas
kembali ke Lapas Palu.

Ia bilang ke Eva, yang juga terkejut. Di dalam ruangan Kepala Lapas, telah menunggu
seorang staf Kemenkumham.

Tak menunggu lama, telepon berdering.

“Eva, saya Yasonna,” kata suara dari ujung telepon. “Presiden ingin Eva keluar.”

***

Eva Bande divonis penjara selama 4 tahun setelah ia membela para petani di Toili,
Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.

Pada 2014, hanya berselang dua bulan sejak Jokowi dilantik sebagai Presiden RI pada 20
Oktober 2014, ia memberikan grasi kepada Eva. Itu juga menandakan grasi pertama yang
Jokowi berikan kepada seorang aktivis.

Grasi itu ia berikan pada 22 Desember 2014, pada peringatan Hari Ibu–atau yang sebelum
Orde Baru lebih dikenal sebagai Hari Peringatan Kongres Perempuan Indonesia Pertama
pada 1928.

Jokowi berpidato, “...Dan hari ini saya berikan grasi karena saya tahu yang diperjuangkan
oleh Ibu Eva Bande adalah hak-hak rakyat yang berkaitan dengan lahan. Dengan tanah. …

Jangan sampai ada lagi aktivis perempuan yang memperjuangkan hak-haknya, hak-hak
rakyat, justru malah akhirnya masuk ke tahanan.”

Pengorganisiran Berujung Bui


Untuk pertama kalinya, Nasrun Mbau yang adalah seorang petani Toili, Banggai, Sulawesi
Tengah, menyaksikan seseorang punya nyali untuk memotong bicara Murad Husein, si raja
sawit Kabupaten Banggai. Tidak sampai di situ, ia juga membentaknya.

Murad, pemilik PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS), mendapatkan julukan “kapitalis lokal”. Tidak
ada yang berani berhadapan dengannya. Polisi dan pemerintah daerah ada dalam
genggamannya.

Dalam sebuah pertemuan di Toili pada 2008, Murad Husein mencaci maki warga dan
menuduh mereka telah mencuri lahan usahanya. Di pertemuan itu hadir anggota DPRD,
Polsek, dan Camat. Mereka semua diam.

Orang yang menyela Murad itu adalah Eva Bande. Ia awalnya mencoba berdialog, tetapi
tidak mempan. Murad berganti memakinya dan menuduhnya provokator.

Maka, Eva memutuskan untuk meladeni debat si raja sawit. Ia berteriak lantang dan balik
memakinya, membuat Murad terhenyak.

“Baru itu Murad dapat lawannya,” cerita Nasrun Mbau. “Seorang perempuan…”

Pada 2008, Eva Bande pergi ke kampung halamannya di Kabupaten Banggai. Bukan untuk
pulang kampung, melainkan untuk membela para petani di Kecamatan Toili yang tanahnya
digusur oleh perusahaan perkebunan sawit PT Kurnia Luwuk Sejati.

Mulanya ia membaca berita di sebuah koran lokal tentang penangkapan seorang kepala
desa, I Nyoman Sumerta, yang melaporkan tindakan sewenang-wenang perusahaan ke
Bupati saat itu. Perusahaan balik melaporkannya ke kepolisian memakai pasal pencemaran
nama baik.

Para petani yang melawan perusahaan juga direspons dengan intimidasi dan kekerasan.

Eva menghubungkan para petani dengan LBH Sulawesi Tengah, WALHI Sulawesi Tengah,
hingga Komnas HAM. Ia meminta dukungan lembaga-lembaga tersebut untuk
mengeluarkan si kepala desa dari penjara.

Berbagai kasus perampasan tanah di Sulawesi Tengah, termasuk yang menimpa


masyarakat di Toili, telah memantik Eva dan kawan-kawannya untuk membentuk Front
Rakyat Advokasi Sawit (FRAS). Dikoordinir oleh Eva, FRAS menjadi wadah konsolidasi
berbagai organisasi/aktivis pembela petani di Sulawesi Tengah.

FRAS punya tujuan utama mengorganisir petani. Cita-citanya adalah melahirkan petani-
petani yang atas keinginan sendiri dan secara kolektif bergerak merebut hak mereka.

Mulanya kepanjangan FRAS adalah “Front Rakyat Advokasi Anti-sawit”. Tetapi nama itu
menuai penolakan keras dari para petani sawit. Menyadari bahwa fokus gerakan adalah
rakyat, termasuk petani sawit itu sendiri, FRAS berganti kepanjangan menjadi “Front Rakyat
Advokasi Sawit”.

Pada 2009, upaya FRAS menuai hasil. Organisasi-organisasi serikat petani lahir di
Kecamatan Toili, seperti Serikat Petani Piondo, Serikat Petani Bukit Jaya, Serikat Tani
Nelayan Tou, Serikat Petani Todopuli Moilong, dan Serikat Petani Sindang Baru.

Kemunculan berbagai serikat petani di Toili telah menguatkan perlawanan mereka. Pada
2009, demo besar berlangsung di kecamatan tersebut. Ribuan petani melakukan aksi
protes di depan Kantor Kepolisan Resor, Kantor Pengadilan Negeri, dan Kantor Bupati
Banggai menuntut penyelesaian kasus tanah.

Hanya saja, hingga 2010, perlawanan petani masih tak sepadan dengan penindasan oleh
perusahaan yang mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah dan aparat keamanan.
Berbagai upaya dialog dan aksi tidak membuahkan hasil.

Pada Mei 2010, ratusan aparat TNI merusak akses jalan petani Desa Piondo ke lokasi
kebun mereka. Para aparat keamanan yang dipimpin oleh Komandan Kodim juga
mengawal proses penggusuran lahan.

Situasi menjadi panas. Para petani tak kuasa menahan amuk. Mereka membakar buldoser,
ekskavator, dan kamp karyawan perusahaan.

Tak lama kemudian, Eva yang saat itu sedang berada di sekretariat salah satu serikat
petani bersama dengan Nasrun Mbau, ketua serikat, didatangi puluhan polisi dari Polsek
dan Polres Banggai. Mereka mengacak-acak barang milik Eva Bande dan menangkapnya.
Ia bersama dengan Nasrun Mbau dibawa ke kantor polisi.

Selain keduanya, totalnya ada 24 orang yang ditangkap termasuk Eva Bande.

Dari yang awalnya “pengamanan”, mereka lalu didakwa. Empat orang, termasuk Eva
Bande, didakwa dengan pasal 160 KUHP tentang penghasutan. Sementara 20 petani
lainnya didakwa dengan pasal 170 dan 187 KUHP tentang melakukan kekerasan terhadap
orang/barang di muka umum dan menyebabkan kebakaran.

Peristiwa penangkapan melemahkan perlawanan petani. Di saat yang sama, PT KLS tetap
melanjutkan aktivitasnya menyerobot dan menggusur tanah-tanah warga.

Hari itu menandakan hari pertama Eva Bande melawan dari penjara.

Si Perempuan Keras Kepala

Ketika masih mahasiswa, Eva Bande punya ciri khas rambutnya yang panjang dan
berwarna pirang kemerahan.

“Kayak Megaloman,” kata kawannya, Adriany Badrah, yang kini menjabat sebagai Direktur
Celebes Institute. Ia adalah lulusan S2 di bidang perdamaian dan resolusi konflik, dan
banyak bekerja dalam upaya menangkal terorisme.

Keduanya adalah mahasiswa di Universitas Tadulako, Palu. Eva, kelahiran 1978, jurusan
FISIP angkatan 1998. Sementara Adriany jurusan Ekonomi angkatan 1994.

Meski berbeda angkatan dan jurusan, pertemanan keduanya erat dan terawat hingga kini.
Mereka pertama kali bertemu di Front Mahasiswa Indonesia Sulawesi Tengah (FMIST).
Berkegiatan bersama, melancarkan aksi reformasi pada 1998, hingga aksi-aksi membela
petani di berbagai titik perampasan tanah di Sulawesi Tengah.

Bersama dengan dua perempuan lain, Soraya Sultan dan Ima Hadado, keempatnya
terkenal dominan di dalam gerakan yang hampir seluruhnya terdiri dari laki-laki.

“Ada berapa banyak laki-laki?”


“Terlalu banyak,” jawab Adriany terkekeh.

Sebagai segelintir perempuan yang aktif berorganisasi, pandangan aneh melekat kepada
mereka.

Perempuan baik-baik adalah perempuan yang diam di rumah. Sementara Eva dan ketiga
kawan perempuannya berkegiatan hingga malam hari, membaca, berdiskusi, berkumpul
bersama banyak laki-laki.

“Perempuan aneh.”

“Kayak laki-laki saja.”

Di dalam lingkarannya, empat sekawan termasuk Eva disegani–jika bukan ditakuti–oleh


para mahasiswa laki-laki. Eva terkenal galak dan berapi-api, sesuai dengan warna
rambutnya.

“Agitator dia itu,” kata Adriany sambil tertawa.

Mereka tidak segan untuk menyidang para anggota laki-laki yang mereka duga melakukan
penyelewengan kekuasaan, atau melakukan pelecehan kepada anggota perempuan.

Ahmad Pelor, mantan Direktur WALHI Sulawesi Tengah, juga tergabung dalam FMIST.
Pengalaman pertamanya bertemu dengan Eva Bande masih membekas di ingatannya.

Saat itu Eva dan lebih dari 20 mahasiswa lain berangkat ke Kabupaten Banggai untuk
mengadvokasi kasus warga melawan perusahaan tambak udang, tepatnya di Kecamatan
Batui.

Di sana, Ahmad Pelor baru mengetahui bahwa bapak Eva, Hanafi Bande, adalah seorang
polisi. Bertugas dan bertempat tinggal di Banggai, ia ditugaskan untuk mengawasi aksi oleh
para mahasiswa.

Bapaknya datang. Menghampiri Eva dan menyuruhnya pulang. Mereka bertengkar di depan
khalayak ramai.

Keluar kata-kata dari mulut Eva, “Ini saya punya bapak memang bapak BIOLOGIS. Tapi
bukan bapak IDEOLOGIS.”

Ahmad Pelor gentar mendengarnya.

“Gila memang dia itu,” ceritanya geleng-geleng kepala. “Saya nggak berani bilang bapak
saya begitu. Zaman itu, nggak ada orang berpikir begitu. Durhaka. Kalau kata ibu saya,
‘Sebenar-benarnya anak, tetap salah. Sesalah-salahnya orangtua, tetap benar.’”

Ahmad Pelor menghabiskan lebih dari separuh hidupnya sebagai aktivis, menghadapi
berbagai bentuk ancaman dan intimidasi. Ia masih lebih takut orangtua ketimbang negara.
”Lebih baik saya menghilang asal jangan saya membantah orangtua.”

Ketika mengadvokasi sebuah isu, mereka terbiasa untuk menyorotnya sebagai problem
struktural. Misalnya soal kemiskinan dan perampasan lahan. Mereka menyorot aktor-aktor
yang bertanggungjawab; pemerintah dengan kebijakannya, perusahaan dengan
kepentingan bisnisnya, aparat keamanan dan relasi mereka dengan pemerintah dan
perusahaan.
Kesadaran itu tidak datang dari ruang hampa. Masa kuliah adalah kesempatan mereka
untuk mendapatkan akses bacaan, berdiskusi, dan mengorganisir diri. Buku Das Kapital-
nya Karl Marx beredar di kalangan mahasiswa. Mereka mem-fotokopi bab demi bab,
membagikannya, dan mengkajinya bersama-sama.

Hidup di rezim Orde Baru, kegiatan itu mereka lakukan secara sembunyi-sembunyi dan
dengan hati-hati. Lembar-lembar tulisan Karl Marx mereka kemas sebagai diktat yang
menyerupai materi kuliah.

Keterbatasan akses dan kesempatan untuk mendiskusikan berbagai bahan bacaan secara
kritis itu ternyata punya kelebihannya tersendiri. Mereka mencurahkan waktu dan perhatian
untuk menyerap setiap pemikiran secara menyeluruh.

Berangkat dari kesadaran tersebut dan kasus-kasus yang mereka temui di depan mata, Eva
dan kawan-kawannya mengalami perubahan diri. Ia bersama dengan Soraya dan Adriany
masuk dalam departemen pengorganisiran di FMIST. Mereka berinteraksi dengan Partai
Rakyat Demokratik (PRD). Mereka juga bergabung dalam lembaga pemantau pemilu
pertama di Indonesia, Komite Independen Pemantau Pemilihan (KIPP).

“Dulu kami masih hedon-hedon,” cerita Adriany. “Kau punya masalah, tidak makan, bukan
urusan kami.”

“Kemudian, cara pikir kami berubah. Kenapa orang jadi miskin?”

Mengorganisir Tahanan: Aksi Mogok Makan

Eva Bande banyak membaca selama kuliah. Tetapi, tidak ada buku saku yang
mengajarkannya cara menghadapi penangkapan.

“Situasi lapangan itu dinamis. Itu tidak diajarkan dalam buku. Bagaimana menghadapi
polisi, bagaimana kalau kau ditangkap.”

Ada seni tersendiri dalam menghadapi situasi-situasi seperti ini. Termasuk seni melawan
dari dalam penjara. Eva masih memimpin para petani di tengah proses persidangan dan
masa tahanannya di Lapas Banggai.

Ia dan para petani sepakat untuk tetap melawan. Kenapa mereka dipenjara, sementara
perusahaan yang menggusur rumah-rumah mereka masih melenggang bebas?

Sebagai satu-satunya perempuan dari 24 orang yang ditahan, Eva terpisah seorang diri di
sel perempuan.

Satu-satunya kesempatan mengorganisir itu ada di waktu besuk. Dan Eva mengambil itu.
Setiap waktu besuk, hari Selasa dan Kamis pukul 8-12 pagi, mereka berkumpul untuk
menyatukan sikap. Di sana juga hadir para keluarga dan aktivis/organisasi pendamping.

Eva memutar otak: bagaimana mereka tetap dapat bersuara ketika ruang gerak mereka
dibatasi? Bagaimana cara menyampaikan perjuangan dari balik jeruji kepada media?

Maka, Eva memutuskan untuk memimpin aksi mogok makan. “Paling tidak, informasi ada
aksi mogok makan itu akan tersebar ke luar.”
Mereka sadar bahwa hak politik masih melekat di diri mereka, meski hak kebebasan
mereka dicabut.

Melalui surat ke kepala lapas, mereka secara resmi menyampaikan niat mereka. “Mereka
(lapas) tetap memberikan makanan. Mereka foto. Biar dia busuk, busuk saja. Itu
pertanggungjawaban mereka. Kalau ada apa-apa, mereka bisa bilang, ‘Kasih makan kok.
Dianya yang tidak makan.’” Eva menjelaskan.

Aksi mogok makan itu berlangsung selama 7 hari. Mereka memperlakukannya sebagai
panggung. Di luar, jaringan aktivis menyebarkan kabar itu ke masyarakat.

Eva juga hampir kena contempt of court. Ia menolak ikut sidang. Sekalinya ikut sidang, ia
berdiri di atas meja sebagai bentuk protes.

Di saat yang sama, gelora kemarahan para petani ikut menular ke tahanan-tahanan lain.

“Dia masih tetap mengorganisir. Bahkan dia mengorganisir tahanan-tahanan di luar petani.
Menjelaskan kasus petani. Bagaimana aparat penegak hukum berlaku tidak adil,” cerita
Ahmad Pelor.

Eva banyak mendapatkan pasokan buku dari teman-temannya di luar penjara. Kebanyakan
bertema konflik agraria dan ketidakadilan. Buku-buku itu juga ia pinjamkan juga ke
tahanan-tahanan lain. Lalu ia sumbangkan seluruhnya untuk perpustakaan lapas.

Tidak hanya Eva, seorang petani, Nasrun Mbau, biasa menjadi imam salat di kampung
halamannya. Di dalam penjara, ia juga mengambil peran sosial menjadi imam salat,
mengajarkan para tahanan lain mengaji, hingga hal-hal sederhana berbuat baik kepada
sesama.

Empati para tahanan tumbuh kepada para petani. Begitu pula para petani yang
menyaksikan tidak sedikit tahanan yang dijebloskan ke penjara karena penegakan hukum
yang tidak adil.

Eva bertemu dengan seorang perempuan korban KDRT yang divonis pasal pembunuhan
kepada suaminya.

Di dalam blok perempuan yang totalnya berkapasitas 40 orang, mereka saling berbagi
pengalaman, untuk perlahan-lahan menyadari bahwa mereka adalah korban ketidakadilan.

Solidaritas yang terbentuk di dalam penjara memicu kekhawatiran petugas lapas. “Waktu
itu saya dipanggil sama Kalapas. Beliau meminta saya untuk tidak meluaskan (aksi mogok
makan),” cerita Eva.

Aksi mogok makan sempat terhenti karena beberapa petani jatuh sakit setelah 3-4 hari
tidak mengonsumsi apa-apa. Maag akut hingga muntah kuning. Semuanya kemudian
dibantarkan dan dibawa ke rumah sakit.

Proses pembantaran itu memicu kabar miring. Para tahanan pulang ke kampung halaman.
Media-media lokal memberitakan bahwa para tahanan melarikan diri.

Bergulir berita-berita di media yang menyebutkan mereka adalah bagian dari Partai
Komunis Indonesia (PKI). Eva juga disebut sebagai bagian dari Gerwani.
“Memang kami semua balik ke kampung,” kenang Nasrun Mbau sambil tertawa. “Lalu kami
dijemput paksa.”

Sebelum masa sidang usai, masa penahanan Eva telah berakhir. Ia keluar pada Oktober
2010, setelah 4 bulan 25 hari mendekam di penjara.

Tetapi Eva mesti menanggung konsekuensi dari sikap membangkangnya. Hakim murka
mengetahui para tahanan melakukan aksi mogok makan dan menolak menghadiri
persidangan.

Hukuman penjara paling tinggi jatuh kepada Eva. Hakim menjatuhkan vonis hukuman
selama 4 tahun penjara, lebih tinggi dari tuntutan jaksa yang selama 3 tahun 6 bulan. Dua
petani, yaitu I Nyoman Suwarna dan Moh. Arif, yang juga dituduh sebagai penghasut,
mendapatkan vonis hukuman penjara 3 tahun 6 bulan.

“Saya menjadikan ini sebagai panggung. Tapi kita mesti siap dengan segala
konsekuensinya.”

Lapas Banggai, 28 Mei 2010

Perasaan tidak nyaman menghantui lagi, petugas perempuan masuk dan langsung
bertanya kepadaku, “Kasus apa?”

Agak lama baru aku menjawabnya… Karena saat itu hatiku berteriak keras… dan
menyatakan padanya, “Kami tak berkasus, penahanan ini adalah pemaksaan kuasa
modal terhadap aparat hukum…”

Toh aku mesti bijak menjawab sederhana kepada penjaga wanita itu, “Saya dan
beberapa kawan petani ditahan karena membela kaum miskin yang tanahnya
dirampas oleh PT KLS… Aksi yang kami lakukan telah berbuah penangkapan dan
penahanan…”

Penjaga tersebut hanya mengerutkan alis, tak bertanya lagi lalu menyapa yang lain…
Sedikit plong hatiku dapat menjawab sekadarnya pertanyaan “standar tahanan baru
itu”.

Hari demi hari ku lalui dengan jiwa yang kosong…. Tubuh dan jiwaku sedang
beradaptasi dengan lingkungan yang asing ini…. Ya, di lingkungan yang
diperuntukkan bagi para pelanggar hukum, bukan para pembela hukum dan
keadilan….. Para pengurus negara ini semakin nyata hanya membuat rakyat
sengsara dan membuat para kuasa modal semakin kaya, bahkan melampaui para
pengemban amanah rakyat…!

Mengorganisir Perempuan Korban Kekerasan TNI/Polri di Konflik Poso

Pada 2001, selepas kuliah, Eva Bande bersama dengan dua kawannya, Soraya Sultan dan
Bobi Marjan, mendirikan organisasi Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi
Tengah (KPKPST).
Bagi Soraya, ia dan Eva bagai baut dan sekrup. Soraya selaku Ketua KPKPST bertindak
melakukan advokasi. Sementara Eva melakukan satu hal yang paling ia kuasai:
mengorganisir.

KPKPST termasuk sebagai organisasi pertama di Poso yang fokus utamanya mendampingi
perempuan dan anak korban kekerasan. Kebanyakan organisasi atau LSM yang telah
berdiri saat itu fokus pada isu lingkungan. Sementara, mereka menemukan berbagai kasus
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Palu yang membutuhkan pendampingan.

Pada saat yang sama, 200 km dari Palu, Poso sedang bergejolak. Kasus pembantaian,
penembakan misterius, dan peledakan bom terjadi. Beberapa menyebutnya sebagai konflik
horizontal antar-umat beragama. Analisis lain berargumen isu konflik agama hanyalah
tameng bagi perebutan kekuasaan dan politik di baliknya.

Terlepas itu, kerusuhan telah merugikan masyarakat sipil. Puluhan ribu warga, Islam
maupun Kristen, mengungsi ke luar Poso. Di saat yang sama, Jakarta merespons situasi
dengan menetapkan Poso sebagai daerah operasi militer, mengerahkan TNI dan Polri.

KPKPST mendapatkan ajakan dari George Aditjondro, seorang sosiolog dan aktivis 1998
untuk menginvestigasi akar permasalahan konflik Poso. Pada 2002, empat anggota
KPKPST–Eva, Soraya, Adriany Badrah, dan Lia Somba–memutuskan untuk membuka
kantor di Poso.

Setiap harinya, Eva berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya. Ia membangun
diskusi-diskusi di kamp pengungsian–baik kamp pengungsian kelompok Islam maupun
Kristen–mengangkat isu soal akses air bersih, layanan kesehatan, hingga pendidikan.

Eva juga melatih perempuan-perempuan di tiap kampung untuk saling memberdayakan.


Totalnya, KPKPST berkeliling dan mendirikan posko di 41 desa di Poso.

“Eva sangat jago mengorganisir di akar rumput. Dia punya stamina yang tinggi sekali. Tidak
pernah drop,” sebut Soraya.

KPKPST menyadari ada kelompok yang luput dibicarakan ketika membicarakan konflik
Poso. Mereka adalah perempuan-perempuan korban kekerasan aparat keamanan TNI dan
Polri.

Mereka membentuk posko pengaduan. Di sana mereka menerima berbagai aduan kasus
kekerasan seksual yang dilakukan oleh TNI dan Polri yang sedang ditempatkan bertugas
menjalankan operasi keamanan.

Dalam buku “Tragedi Poso: Suara Perempuan dan Anak dalam Ingatan Konflik Poso” yang
ditulis oleh Lian Gogali, ia menyebutkan bahwa, KPKPST telah berperan mengumpulkan
data krusial: sejak operasi Sintuwu Maroso, terdapat sekitar 3-6 perempuan di setiap desa
di 14 Kecamatan dan Kabupaten Poso yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD)
dan menjadi korban perkosaan oleh aparat keamanan.

Jika data diekstrapolasi, hingga awal 2006, setidaknya terdapat sekitar 3.800 perempuan di
Poso telah menjadi korban.

KPKPST mendampingi lebih dari 80 kasus. Mereka menuntut TNI/Polri secara institusi
mengaku dan menyampaikan permohonan maaf secara resmi. Tetapi, melaporkan kasus
yang melibatkan aparat keamanan tidak mudah, jika bukan mustahil.
Lian Gogali dalam bukunya juga mencatat pengalaman KPKPST melaporkan kasus ke
pihak berwenang. Laporan mereka direspons dengan victim blaming. “Apa buktinya? Coba
jelaskan apakah saat itu terjadi posisi korban ada di mana? Di atas atau di bawah? Kalau di
atas itu bukan pemerkosaan. Itu pasti karena perempuan menyukainya.”

Melacak pelaku juga tidak mudah. Ketika korban mengalami kehamilan tidak diinginkan,
pelaku yang masuk dalam badan kendali operasi (BKO) telah berpindah ke wilayah konflik
lain. Berbeda dengan peradilan untuk masyarakat sipil, korban dan KPKPST sebagai
pendamping mesti melalui peradilan militer. Letak Pengadilan Militer terdekat bukan di
Sulawesi Tengah, melainkan di Manado, Sulawesi Utara. Mereka juga mesti bersurat ke
Kodim, Korem, hingga Kodam.

Sementara, kebanyakan korban termasuk dalam masyarakat miskin. Tidak sedikit korban
adalah anak di bawah umur–orangtua mereka tidak sanggup memberi makan anaknya,
apalagi menanggung hidup anak dari anaknya. “Bisa dibayangkan bagaimana perempuan
yang dihamili oleh tentara, mencari keadilan, mendapatkan proses yang seperti itu,” cerita
Soraya.

Pada satu titik, kantor KPKPST kedapatan bayi-bayi yang ditinggalkan para korban
kehamilan tidak diinginkan. Eva bersama dengan anggota KPKPST lain bergiliran
mengasuh bayi, mendampingi korban, melaporkan kasus ke kantor polisi. Mereka juga
turun ke lapangan untuk mengorganisir dan menyalurkan bantuan.

Situasi saat itu masih panas. Penembakan misterius (petrus), pemenggalan kepala, mutilasi,
ancaman bom mereka saksikan sehari-hari.

KPKPST ikut menerima dampaknya. Bom meledak di pasar menewaskan perempuan-


perempuan, termasuk perempuan yang terlibat bekerja di KPKPST. Kantor mereka
mendapatkan ancaman bom, ketika bom telah meledak di dua kantor LSM besar di Poso.
Mereka juga menerima selebaran yang isinya adalah ancaman pemenggalan 100 kepala
perempuan, termasuk kepala aktivis perempuan.

Mental mereka diuji. Berbeda dengan Eva yang berdiam di Poso berminggu-minggu untuk
mengorganisir, Soraya sebagai Ketua KPKPST mesti bolak-balik Palu dan Poso untuk
berkoordinasi dan menggalang dukungan.

Secara pribadi, Soraya mengaku bukan hanya itu alasannya pulang ke Palu. “Saya harus ke
Palu dua minggu sekali. Untuk muntah. Menangis. Saya tidak sanggup,” sebut Soraya.

“Tapi Eva mampu. Dengan ditopang kawan-kawan lain, mereka bisa.”

Mereka berupaya untuk kuat dan menguatkan satu sama lain. “Eva yang memotivasi
kawan-kawan di KPKPST. Tanpa Eva, mungkin aku tidak bisa bertahan,” kata Soraya.

KPKPST bagaikan sebuah supermarket, bekerja dari hulu ke hilir. Organisasi ini juga
berperan dalam mendorong hadirnya peraturan yang dapat mengakomodasi hak-hak
perempuan korban kekerasan, baik dari sisi pelayanan, pemulihan, dan pemberdayaan.
Pada 2008, terbit Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan, Pelayanan dan Pemulihan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan di
Kabupaten Poso.
Di usianya kini, Soraya tak bisa membayangkan energi yang telah mereka kerahkan pada
usia 20-an tahun itu. “Berempat saja, kami bisa mengerjakan banyak hal. Mungkin karena
kami sedang di usia produktif.”

Di saat yang sama, kantor KPKPST di Palu tetap beroperasi. Mereka juga menerima
laporan kasus-kasus KDRT dari berbagai wilayah di Sulawesi Tengah. Eva dan Soraya
bolak-balik Palu dan Poso, mendampingi korban di Palu, lalu mendampingi korban dan
pengungsi di Poso.

Suatu hari, mereka menerima laporan kasus KDRT dari Kabupaten Buol. Seorang
perempuan bernama Lutfia mengalami penganiayaan berat oleh suaminya, menyebabkan
tulang belakangnya patah. Eva dan Soraya mendampingi Lutfia untuk dirujuk ke rumah
sakit di Palu. Mereka mengantarkan Lutfia sampai ia mendapatkan kamar di rumah sakit.

Lalu, mereka kembali ke Poso.

Belum lama di Poso, Eva tiba-tiba berkata kepada Soraya, “Kita mesti pulang ke Palu
malam ini.”

Ia menerima telepon dari orangtua Lutfia. Mengabarkan kondisi Lutfia sudah terlampau
parah. Saat itu juga, mereka menyewa mobil, menembus kegelapan menuju ke Palu.
Perjalanan membutuhkan waktu 5 jam.

Di tengah perjalanan, ponsel Eva berdering. Mendengar suara di ujung telepon, Eva
menangis tersedu-sedu. Orangtua Lutfia kembali memberikan kabar: Lutfia telah meninggal
dunia.

Soraya ikut menangis. Di momen itu, baut dan sekrup tidak lagi sanggup menopang beban
satu sama lain.

Mereka sesunggukan sambil berpelukan di dalam mobil yang gelap. Perjalanan ke Palu
masih tiga jam lagi.

Melepaskan Kepentingan Pribadi

Ketika Eva masih dalam proses pemeriksaan setelah diamankan di kantor polisi pada 2010,
Eva berpeluang untuk meninggalkan Toili. Jaringan aktivis dan pendamping hukum
berupaya mengatur agar Eva dapat kembali terlebih dahulu ke Palu sampai situasi telah
lebih kondusif.

Tetapi, Eva menolak. Dalam ingatan Ahmad Pelor, Eva beralasan, “Masa petani ditahan
terus saya lari?”

“Dia sudah memutuskan begitu. Kami nggak bisa apa-apa,” cerita Ahmad Pelor.

Pada hari penangkapan, Eva satu-satunya aktivis yang bertahan di Toili bersama dengan
para petani. Hampir pada waktu bersamaan, kerusuhan juga tengah berlangsung di
Kabupaten Buol. Mereka pun membagi peran. “Tinggal lah Eva sendiri.”

Pada satu titik, hidup Eva tak sama lagi. Sebagai aktivis, ia dan kawan-kawan mulai
melepaskan kepentingan pribadi demi kepentingan kolektif. “Kami sudah tidak berpikir
tentang diri kami sendiri.”
Ketika masuk Lapas Luwuk, Banggai, hal utama yang para petani butuhkan adalah
dukungan moral. Tidak ada yang menyangka mereka akan masuk penjara. Dan beberapa
petani tak kuasa menghadapi realitas itu.

Kebanyakan dari mereka adalah kepala keluarga. Ada anak dan istri yang mereka
tinggalkan. Ada juga yang istrinya sedang hamil saat itu.

Mental mereka jatuh. Seorang petani mesti dilarikan ke rumah sakit jiwa (RSJ). Ia
mengalami depresi dan melakukan percobaan bunuh diri. Traumanya juga terpantik setiap
kali ia mendengar suara polisi dan sirine kendaraan.

Peran Eva adalah menguatkan mereka. Ia berupaya terlihat tabah di depan mereka. Ia juga
hadir sebagai teman bicara. “Harus tabah. Harus memperkuat mereka. Ada petani yang
anaknya seumuran anak saya. Sama-sama sedih, tapi bisa saling meredakan,” cerita Eva.

Ia mesti mengesampingkan kebutuhan pribadinya demi mengakomodasi kebutuhan


mereka. “Mau tidak mau memimpin. Memang harus tanggalkan semua kepentingan yang
sifatnya individual–dengan segala penderitaan kau harus simpan,” kata Eva.

Di luar ruang besuk, ketika tidak ada orang yang bergantung kepadanya, pertahanan diri
Eva kadang runtuh. Ia mengakui ia juga menghadapi persoalan-persoalan pribadi.

Emosi terbesar yang ia rasakan adalah amarah. Meski Eva berusaha menyembunyikannya
dari orang lain, emosi itu juga kerap terasa oleh petani lain.

“Ibu Eva tidak tahan di penjara. Marah-marah. Mengamuk ke petugas,” kenang Nasrun
Mbau sambil tertawa. Ia adalah salah satu petani yang ikut dipenjara bersama Eva.

Kepada orang-orang terdekatnya, Eva juga bercerita sedikit tentang kondisi mentalnya.
Ahmad Pelor termasuk salah satu kawan berceritanya.

“Dia cerita dia berbulan-bulan tidak menstruasi,” sebut Ahmad Pelor. “Saya kan nggak
paham itu. Terus saya bilang, ‘Jangan-jangan kau hamil.’”

Eva bilang kepadanya, “Siapa yang kasih hamil? Stres ini.”

Ahmad Pelor tidak bisa membayangkan tekanan yang Eva alami. Ada petani-petani yang
mengandalkan dirinya. Ia juga mesti memikirkan kondisi keluarga dan tiga anaknya.

“Memang stres sekali,” kata Ahmad Pelor. “Ada anaknya yang saat itu sekolah di provinsi
lain. Suaminya juga dapat peringatan dari kampus karena tidak pernah masuk mengajar.”

Kata Soraya, “Aku yakin dia bisa menghadapi itu. Cuma, mungkin yang bikin dia agak
down adalah anak-anaknya. Anak-anaknya masih kecil saat itu.”

Suami Eva Bande saat itu, Mohammad Syafei, terlibat aktif membela dan mendampingi Eva
selama ia di penjara.

Lebih dikenal dengan sebutan Oyot, ia saat itu adalah dosen ilmu sosial dan politik di
Universitas Tadulako. Pada 2010, ia juga menuliskan kertas posisi di Yayasan Tanah
Merdeka yang menjabarkan kasus perampasan tanah oleh PT KLS dan kriminalisasi yang
warga beserta Eva alami.
Dukungan keluarga membantu menguatkan dirinya. Termasuk dukungan dari anak-
anaknya. Mereka, tanpa Eva sangka, dapat memahami situasin ibunya.

Sejak kecil, Eva telah membiasakan anak-anaknya terlibat dalam aktivitasnya. Mereka biasa
ikut berdemo, menyaksikan orangtuanya berorasi.

Seorang anak Eva masih duduk di bangku TK ketika ia mengunjunginya untuk pertama kali
di penjara. Eva tidak yakin apakah anaknya memahami konsep “penjara”. Di dalam ruang
besuk, Eva bilang kepada anaknya bahwa ini adalah sekolah. Ia sedang mengajar. Anaknya
hanya menanggapi dengan mengangguk.

Eva baru tahu belakangan bahwa anaknya tahu ibunya berbohong. Tetapi ia tidak
mengonfrontasi ibunya langsung. Lepas dari penjara, si anak baru bilang ke teman-teman
Eva, “Kenapa Ibu bohong? Itu bukan sekolah. Itu penjara.”

“Dia dengan caranya sendiri menerima yang saya sampaikan. Setelah jauh (tidak bersama
Eva), baru ia katakan. Itu keharuan buat saya sendiri,” sebut Eva. “Dengan situasi itu,
mereka terdidik dan terbentuk oleh keadaan.”

Ayah Eva juga membela Eva. Meski hubungan mereka sempat tidak harmonis, ayahnya
perlahan-lahan dapat memahami dan menerimanya. “Mungkin dia berpikir–mau bagaimana
lagi?” Eva tertawa.

Orangtua Eva mengetahui aktivitas Eva sejak ia mengorganisir para petani dan berdemo.
Mereka kaget ketika Eva ditangkap. Tetapi mereka juga membesarkan hati Eva. Ayahnya
berpesan kepadanya, “Tidak perlu malu. Kau kan tidak menyusahkan orang. Tidak
korupsi.”

Selain dukungan keluarga, Eva juga berupaya mengelola emosinya dengan beribadah,
membaca buku, dan menulis.

“Eva itu…” kata Soraya, “dia bisa melalui getir-getir kehidupan yang saya belum tentu bisa
melaluinya. Dia memiliki kekuatan—bukan cuma kekuatan fisik, tapi kekuatan psikis.”

Lapas Banggai, 28 Mei 2014

Perempuan di mana pun…

Jangan ragu berada di garis depan perjuangan membela hak-hak rakyat!

Kapitalisme tidak melihat perbedaan perempuan atau laki-laki, hukum negara pun
tidak!

Sepahit apapun konsekuensi dari pilihan kita di medan-medan perlawanan, buang


jauh-jauh rasa takutmu, karena Allah selalu menjaga para pembela hamba-Nya yang
dihinakan di bumi manusia.

Negosiasi, Bubur Ayam, Revolusi

Di sebuah malam pada Maret 2023 di Palu, Eva sedang duduk santai di sebuah kafe,
memakai kaos dan celana kargo, berbincang dengan kawan-kawan karib seperjuangannya.
Duduk bersamanya Adriany Badrah, Arianto Sangadji mantan Direktur Yayasan Tanah
Merdeka (YTM), dan Agus Salim dari LBH Sulawesi Tengah. Tidak tampak galak, Eva lebih
sering tertawa terbahak, melontarkan canda, sambil mengisap 1-2 batang rokok.

“Semuanya bermula dari Bang Anto. Ia yang mempertemukan kami semua,” kata Agus
tentang Arianto Sangadji yang biasa dipanggil Anto.

Ketika Eva masih mahasiswa dan tergabung dalam FMIST, ia bertemu dengan LSM-LSM
yang ada di Palu, termasuk YTM. Berdiri sejak 1992, Yayasan Tanah Merdeka hadir di Palu
melakukan advokasi, penelitian, dan pelatihan tentang hak-hak masyarakat dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.

Dari YTM pula Eva dan kawan-kawan seangkatannya mendapatkan berbagai akses bacaan
tentang isu kelas dan problem agraria di Sulawesi Tengah.

Malam sebelumnya, Eva bertemu dengan seorang pemuda yang berapi-api. Di sebuah
acara Dialog Kebudayaan Nasional yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Rakyat
Sulawesi Tengah, Eva hadir sebagai pembicara. Bersamanya ada Anto, juga Haris Azhar,
Rocky Gerung, dan Ahmad Dhani.

Minim berbicara kebudayaan, banyak berbicara ketidakdilan. Para narasumber yang


mayoritas adalah aktivis (dan seorang musisi) itu menyinggung berbagai situasi
ketidakadilan yang mereka hadapi di lapangan.

Si pemuda yang hadir sebagai peserta menyambut diskusi itu. Ia berseru, “Kita harus
revolusi!”

Eva tersenyum geli mengingatnya. “Kau pikir revolusi seperti makan kacang?”

Kata teman-temannya, Eva Bande pernah melewati fase serupa. “Dialektikanya seperti
besok kita mau revolusi,” kenang Adriany. “Dia melihat semuanya lawan. Setiap aksi kita
selalu disuruh represif.”

Tetapi, menurut Adriany, Eva juga berproses. “Dia kini sudah lebih luwes. Tidak konfrontatif
saja. Ada proses dari perjuangan yang ia lakukan.”

Ketika Eva di penjara, Ahmad Pelor mengaku kewalahan menghadapi Eva. Ahmad Pelor
secara tidak resmi diutus oleh kawan-kawan gerakan untuk berdialog dengan Eva. Kala itu,
Eva dan para petani di penjara hendak melancarkan aksi mogok makan jilid dua.

Tetapi, kawan-kawan di luar merasa aksi mogok makan tidak cukup membuahkan hasil.

“Eva itu tipe orang yang kalau sudah mengambil keputusan, susah betul diubah. Ketika
berdebat dia bisa marah-marah luar biasa,” cerita Ahmad Pelor. “Siapa yang mau minta dia
berhenti mogok makan? Tidak ada yang mau. Saya juga nggak mau. Saya juga nggak kuat
dimarah, kan.”

Suatu malam ketika Ahmad Pelor sedang di Luwuk, Banggai, permintaan itu datang
langsung dari suami Eva, Oyot. Ia meminta Ahmad Pelor untuk bertemu dengan Eva dan
memohon kepadanya untuk berhenti mogok makan.

“Kau saja suaminya tidak bisa. Apalagi saya,” kata Ahmad Pelor kepada Oyot.

Oyot menjawab, “Saya suaminya. Kau bukan. Jadi kau lah yang minta.”
Ahmad Pelor masih tidak mau. Ia tidak siap kena semprot. Pada masa itu, Ahmad Pelor
menyebut bahwa berdialog dengan Eva lebih tepat disebut sebagai “bernegosiasi”.

“Yang saya pahami itu, orang berkomunikasi itu posisinya setara. Tidak ada yang dimarahi,
tidak ada yang tukang marah,” kata Ahmad Pelor yang masih gentar dengan Eva.

Dini hari usai mereka mengobrol, Oyot pergi dan meninggalkan secarik surat untuk Ahmad
Pelor. “Menulis surat dia! Kayak zaman-zaman dulu dia ini.”

Surat itu berbunyi, “Pelor, kau temui Eva. Minta dia berhenti mogok makan.”

Oyot pulang ke Palu mengendarai motor. Berjarak sekitar 600 km, perjalanan menembus
hutan, berlikuk-likuk, dan susah sinyal.

“Jadi, pagi saya bangun baca itu, saya berpikir. Saya mau bilang tidak bisa, dia tidak bisa
ditelepon. Saya tidak ikuti, dia sudah memelas dalam surat.”

Tak punya pilihan, Ahmad Pelor memberanikan diri untuk bertemu Eva. Sore itu juga ia
pergi ke lapas, mengunjungi Eva di luar jam besuk, ditemani oleh pendamping hukumnya.

Eva Bande mengingat pertemuan itu dengan tersenyum. Ia mengakui bahwa selama di
penjara emosinya kerap meledak-ledak. Eva bukannya tidak bisa mendengarkan. Ia butuh
didengarkan.

“Ahmad itu pintar menangani keadaan saya. Dia mendengarkan dulu saya punya
kemarahan. Rasa ketidakadilan dan seterusnya. Setelah itu Ahmad bilang, ‘Sudah? Boleh
saya bicara?’”

Kata Ahmad Pelor, “Dari pengalaman saya berkomunikasi dengan Eva, kalau tensinya
sedang naik, dengarkan saja. Tunggu waktunya.”

Ahmad Pelor berupaya membujuk Eva untuk berhenti mogok makan. Mereka merasa perlu
memegang kendali atas situasi. Berbagai kabar miring tentang gerakan berseliweran di
publik. Mereka belum merumuskan tujuan mogok makan dengan jelas. Jika mogok makan
menyebabkan sakit atau meninggal dunia, masyarakat bisa jadi berbalik murka kepada Eva
Bande dan gerakan.

Eva lalu memanggil para tahanan lain. Ia meminta Ahmad Pelor ikut menanyakan pendapat
mereka. Mereka setuju untuk berhenti mogok makan.

“Oke, Mad.” Eva akhirnya sepakat. “Kau carikan dulu aku bubur ayam.”

Mengorganisir di Daerah, Mencari Keadilan sampai Jakarta

Jalan mencari keadilan, sepanjang pengalaman Eva mendampingi kasus-kasus di daerah


pinggiran, tidaklah mudah. “Jauh. Mencari keadilan itu harus ke Jakarta.”

Maka, pada 2023, Eva memutuskan untuk maju mencalonkan diri sebagai anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) RI Sulawesi Tengah.

Ia hendak memperlakukan posisinya di DPD kelak sebagai panggung, sebagaimana dulu ia


menjadikan persidangan dan aksi mogok makan sebagai panggung. “Mungkin kata orang,
apalah DPD. Tidak ada kewenangannya. Tapi dia bisa dijadikan untuk bicara keadilan
daerah di tingkat nasional,” terang Eva.

Riwayatnya berpartisipasi dalam politik elektoral bukan baru kali ini.

Pada 2009, Eva juga sempat maju sebagai calon legislatif DPRD melalui Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP). Tetapi, sibuk mengorganisir dan mendampingi petani yang
tengah berhadapan dengan PT KLS, Eva tidak fokus berkampanye. Eva juga tidak bercerita
ke petani-petani yang ia organisir bahwa ia mencalonkan diri sebagai caleg.

“Karena ada kasus (petani dengan korporasi), akhirnya saya tidak urus calegnya. Saya malu
juga sampaikan ke masyarakat. Ada beban semacam–kalau mendampingi rakyat, ya
dampingi. Akhirnya saya tidak urus kampanye,” cerita Eva.

Eva Bande mendapatkan suara di urutan kedua. Sementara anggota DPRD dari PDIP yang
terpilih saat itu adalah Herwin Yatim. Ketika Herwin Yatim maju sebagai wakil bupati
Banggai pada 2011 dan kursi DPRD kosong, mestinya Eva mendapatkan kesempatan
duduk sebagai PAW (penggantian antarwaktu) anggota DPRD.

Tetapi, PDIP memecat Eva yang saat itu tengah menjalani persidangan.

“Makanya, Eva punya riwayat menggugat PDIP karena PDIP tidak berlaku adil terhadap
dia,” cerita Ahmad Pelor.

Kini, Eva sengaja mencalonkan diri lewat jalur independen. Karena itu piihan jatuh pada
DPD. Kawannya Adriany Badrah menyampaikan, “Walaupun dia (Eva) tidak menyatakan
secara tegas soal itu, kenapa di DPD bukan DPR/DPRD, secara subjektif ia ada
pertentangan soal parpol itu.”

Adriany juga mengibaratkan politik sebagai alat. “Idealnya begitu. Tapi alat ini (DPR/DPRD)
ternyata tumpul. Nggak bisa dipakai. Ya, sudah. Ada alat lainnya. Dengan DPD.”

Berkontestasi di gelanggang politik membutuhkan modal. Bahasa kawan-kawan Eva:


“logistik”. Mereka menyadari bahwa logistik Eva sebagai seorang aktivis bisa jadi kalah jauh
dari para lawannya–beberapa di antaranya adalah petahana hingga bagian dari dinasti
politik.

Sementara, Eva berupaya mengumpulkan massa secara organik. Ia sibuk menghampiri


masyarakat dari berbagai kalangan untuk menyampaikan gagasannya. Menyampaikan
situasi petani di akar rumput kepada masyarakat perkotaan.

“Walaupun ini terkesan idealis, tidak apa-apa. Saya sedang membuat sebuah legacy.
Menetapkan standar tinggi bahwa kontestasi politik tidak hanya lewat transaksi. Tetapi
harus bertemu banyak orang menyampaikan gagasan.”

Bagi Eva, kampanye yang tengah ia lakukan adalah caranya untuk berbagi keresahan.
Berbagai wilayah di Sulawesi Tengah telah dikuasai oleh izin usaha perkebunan hingga
pertambangan. Ledakan konflik, seperti yang terjadi di Rempang, Batam, berpotensi juga
terjadi di daerahnya.

Sebuah kasus jadi perhatian Eva. Ruang hidup masyarakat di Buleleng dan Laroenai,
Morowali, misalnya, habis dikuasai oleh perusahaan tambang nikel PT Bima Cakra Perkasa
Mineralindo (BCPM).
Eva melalui Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) melakukan pemetaan spasial. Mereka
menemukan bahwa nyaris seluruh wilayah Buleleng dan Laroenai telah diserobot oleh izin
usaha tambang. Termasuk hutan lindung, hutan produksi, dan permukiman warga.

“Tidak ada sama sekali tempat rakyat di sana. Dengan seenak perutnya orang Jakarta,
membuat dua desa itu dikuasai konsesi tambang,” sebut Eva.

Warga berunjuk rasa menuntut pertanggungjawaban perusahaan. Keluar pula surat dari
Bupati Morowali Taslim yang melarang perusahaan beroperasi hingga hak-hak masyarakat
dipenuhi.

Tetapi, tuntutan-tuntutan itu tidak diindahkan perusahaan. Pada Januari 2023, kepolisian
setempat justru mengkriminalisasi tiga warga yang mereka tuduh telah memalsukan
sertifikat tanah.

Melalui FRAS, Eva mencatat, dalam satu dekade terakhir, kasus kriminalisasi rakyat
mencapai angka paling tinggi sepanjang akhir 2020-2023 (per Maret 2023), yaitu sebanyak
31 kasus penangkapan. Sebanyak 7 di antaranya berkaitan dengan perusahaan sawit, 3
dengan perusahaan tambang nikel, 4 dengan perusahaan tambak udang, dan 17 dengan
perusahaan pengolahan nikel.

(Baca juga: Kematian, Kecelakaan Kerja, Pemberangusan Serikat, Kriminalisasi: Nasib


Pekerja Indonesia dan Tiongkok di Industri Smelter Nikel PT GNI)

UU Cipta Kerja memperparah perluasan industri ekstraktif di seluruh wilayah Indonesia. Eva
memprediksi konflik akan pecah ibarat bom waktu. “Ini mengerikan ke depannya. Saya
yakin konfliknya akan meluas. Tinggal tunggu waktu rakyat marah.”

Mestinya tidak hanya Eva yang mengkhawatirkan itu.

“Saya ingin membagi saya punya kekhawatiran ini. Ini seharusnya bukan keresahan saya
saja.”

Kawan-kawannya bersepakat dan mendukung Eva Bande untuk maju ke gelanggang


politik. Mereka meyakini Eva dapat memanfaatkan posisinya untuk membela hak-hak
masyarakat yang dipinggirkan.

Kata kawannya Agus, “Dia (Eva) mau masuk DPD, kami dukung. Saya yakin kalau dia di
dalam pasti teriak. Kalau dia tidak berteriak, kami teriaki dia.”

***

Ahmad Pelor telah jadi orang kepercayaan Eva. Pada Mei 2014, setelah menjalani proses
persidangan dan banding yang alot, surat perintah penangkapan Eva keluar. Sebulan
menjadi DPO, Eva ditangkap di Yogyakarta ketika ia sedang mengunjungi rumah
saudaranya.

Ia, yang diamankan oleh kawan-kawannya di Jakarta karena mereka sedang menunggu
proses Peninjauan Kembali (PK), ternyata berkeliling ke Bandung, Indramayu, dan
Yogyakarta untuk mengorganisir petani di sana.

Di momen itu, Eva memutuskan untuk menghubungi Ahmad Pelor.

“Mad, kau orang pertama saya telfon.”


“Kau kenapa?”

“Ini saya kasih tahu, Mad. Saya ditangkap di Jogja. Nanti kau yang informasikan teman-
teman lain. Karena habis ini HP saya akan diambil.”

November 2014, Eva telah dipindahkan dari Lapas Luwuk, Banggai ke Lapas Palu. Malam
yang sama ketika Eva menerima telepon dari Yasonna Laoly, Ahmad Pelor kembali
menerima telepon dari Eva.

Tawaran grasi pada sore itu tidak langsung Eva terima. Ia meminta waktu untuk
mendiskusikannya terlebih dahulu dengan tim hukum dan kawan-kawan gerakan.

“Saya masuk ke dalam karena upaya kolektif. Jadi, kalau saya mau keluar, saya harus
tanya kolektif.” Ahmad Pelor mengulang kata-kata Eva saat itu.

Ia bertanya ke Ahmad Pelor dan kawan-kawan, “Menurut teman-teman bagaimana?”

Ahmad Pelor punya pertimbangannya tersendiri. Tetapi ia tidak yakin dirinya pantas
memberi masukan. Meski gerakan kolektif, Ahmad Pelor dan aktivis lain bebas beraktivitas
di luar. Sementara Eva terkungkung di dalam penjara dengan ruang gerak yang terbatas.

Ia bilang kepada Eva, “Kami ini nggak rasa di dalam. Nggak tepat ukuran saya dipakai.
Ukuranmu dipakai.”

Ada pertimbangan-pertimbangan yang sempat membuat Eva bimbang. Pertama, Eva


Bande mempertimbangkan petani lain yang masih menjalani masa tahanan. Ia keberatan
jika grasi hanya diberikan ke dirinya seorang.

Kedua, persyaratan grasi. Grasi punya arti pengampunan. Mengajukan grasi punya
implikasi seorang terpidana mengakui dirinya bersalah sehingga ia butuh pengampunan.

Pertimbangan pertama langsung dijawab Yasonna Laoly pada sore itu: ia menjamin para
tahanan lain akan dibebaskan bersama dengan Eva. “Pokoknya semua. Semua akan
diurus,” janjinya kepada Eva.

Lalu, untuk pertimbangan kedua, Eva meminta persyaratan: “Saya minta negara mengakui
apa yang saya lakukan benar.”

Dukungan untuk membebaskan Eva Bande ramai berlangsung selama proses kampanye
pemilihan umum calon presiden 2014-2019. Seruan solidaritas melalui aksi demonstrasi,
kampanye #FreeEvaBande, juga petisi online datang dari berbagai penjuru.

Joko Widodo mendapatkan dukungan besar dari publik–dielu-elukan termasuk oleh aktivis,
sebab ia dianggap bagian dari rakyat. Jokowi, tidak seperti calon-calon pemimpin
terdahulu, pernah tiga kali jadi korban penggusuran. Ia juga bukan dari kalangan elite politik
atau militer.

Di sebuah ajang pertemuan Perhimpunan Nasional Aktivis (Pena) 98 pada 29 September


2014 di Bali, Jokowi sebagai presiden terpilih mengungkapkan janjinya di hadapan para
mantan aktivis 98 untuk membebaskan Eva Bande.
(Sumber Foto:
https://alpensultra.files.wordpress.com/2014/06/1535388_662584023778382_3723762521
084565412_n.jpg)

Proses pemberian grasi kepada Eva Bande terlampau cepat. Tidak sampai sebulan sejak
Yasonna Laoly menelepon Eva di penjara dan menawarkannya grasi. Sebagai
perbandingan, terpidana hukuman mati kasus narkotika Merry Utami membutuhkan waktu
7 tahun hingga permohonan grasinya dikabulkan oleh Jokowi.

“Saya nggak tahu siapa yang urus grasi,” kata Ahmad Pelor. “Yang kami tahu, Eva dapat
grasi, diumumkan, muncul di media.”

Ketika menjumpai Eva di penjara pada November 2014, Kepala Lapas dan Kemenkumham
meminta Eva untuk tidak ambil pusing. Kata mereka kepada Eva, “Ibu tidak usah urus.
Nanti ada yang urus berkasnya.”

Pemberian grasi kepada Eva Bande dijadikan momentum oleh pemerintah: Jokowi, di awal
pemerintahannya, berupaya meyakinkan masyarakat bahwa ia punya perhatian pada isu
pelanggaran HAM dan konflik agraria.
Ia berpidato pada Peringatan Hari HAM Internasional pada 2014, “...Pemerintah tidak hanya
berperhatian dan berkomitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM di masa lalu, tapi
juga mencegah terulangnya kembali pelanggaran HAM di masa yang akan datang, di masa
datang, dengan melakukan reformasi sistem hukum yang tegas, yang tepercaya, yang
konsisten, dan tidak diskriminatif.”

Kini Jokowi tiba di penghujung masa pemerintahannya. Eva tidak menutup mata bahwa si
Presiden yang digadang-gadang Majalah TIME sebagai ‘A New Hope’ telah melanggar janji
itu. Sebaliknya, kasus-kasus perampasan lahan mengalami peningkatan tajam pada rezim
pemerintahannya.

“Secara regulasi, pemerintahan ini memberikan karpet merah kepada korporat. Tajam dia
punya ketimpangan dan ketidakadilan,” kata Eva.

Dan, Eva masih melawan. Ia mengkritisi kewenangan daerah yang dipangkas oleh
kebijakan nasional. “Memang problem kita adalah soal distribusi keadilan. Bagaimana
daerah tidak punya kewenangan apapun dengan lahirnya UU Cipta Kerja.”

Eva juga mengkritisi pejabat pemerintahan daerah, termasuk kawan-kawan aktivisnya yang
telah masuk dalam lingkar kekuasaan.

Pada Oktober 2021, Eva Bande berdebat sengit dengan Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy
Mastura di depan kantor gubernur. Ia melalui FRAS mendampingi para petani berdemo
menuntut pemerintah daerah bertindak atas penyerobotan tanah oleh perusahaan sawit
dan kasus kriminalisasi petani.

Para petani itu berasal dari Kabupaten Banggai–yang juga masih berhadapan dengan PT
Kurnia Luwuk Sejati, dan ada juga petani di Morowali Utara yang berhadapan dengan PT
Agro Nusa Abadi.

(Baca juga: ‘Kami Dibiarkan Berkelahi’: Petani Morowali Utara Terimpit Perkebunan Sawit
dan Industri Nikel - Project Multatuli)

Eva melalui FRAS ikut mengawal Bupati Sigi Mohamad Irwan mewujudkan reforma agraria
di Kabupaten Sigi–memastikan hak warga atas tanah mereka.

Pada 2019, atas perjuangannya membela petani, Eva menerima Yap Thiam Hien Award
2018. Penghargaan itu ia terima bersama kelompok masyarakat Sedulur Sikep.

Di balik sikap galaknya, Soraya bilang, Eva punya segudang empati. Soraya berkaca pada
pengalamannya bekerja dengan Eva selama konflik Poso. “Kami nggak punya waktu untuk
istirahat, bersedih, menangis. Tapi yang hebat dari dia… Dia tetap bisa berempati.”

“Beberapa teman sudah tumbang dalam prosesnya. Memilih mundur. Tapi Eva tetap
stabil,” ungkap Adriany.

Jika ada yang berubah dari Eva, kata Adriany,

“Cuma warna rambut. Yang lainnya nggak ada.”

Lapas Banggai, 20 Mei 2014


Kau bungkam aku dengan penjara

Kau ikat langkahku dengan penjara

Kau kurung badanku dengan penjara

Tapi kau tak akan bisa bungkam/ikat/kurung pikiranku, jiwaku, perlawananku,


pendirianku

Solidaritas kawan-kawanku… yang segera akan menumbangkanmu

Di penjara manusia ini

Akan kusiapkan pedang kematianmu

Wahai manusia lalim yang terpenjara jiwanya nan kotor

Anda mungkin juga menyukai