Anda di halaman 1dari 28

Hak kaum perempuan adalah hak asasi manusia!

Para perempuan berdemonsrasi di luar gedung Dewan Legislatif Palestina, 1999 LAW Hak-hak yang diuraikan di sini hanyalah beberapa dari jangkauan hak-hak luas yang menjadi hak kaum perempuan, yang juga mencakup hak terhadap kesehatan, kerja dan pendidikan. Anda berhak atas semua hak asasi manusia dan kebebasan tanpa perbedaan dalam bentuk apa pun seperti misalnya ras anda, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik dan lainnya, asalusul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau kelas. Peraturan hukum ketat yang dipaksakan oleh Taliban kelompok bersenjata yang berkuasa di Afghanistan sangat membatasi kebebasan kaum perempuan untuk mengadakan gerakan, berekspresi dan berserikat. Anak perempuan tidak diperkenankan masuk sekolah dan perempuan hanya boleh bekerja di sektor kesehatan. Untuk sebagian besar waktu mereka harus tinggal di dalam rumah, Para pengungsi perempuan etnis Albania dari Kosovo di suatu kamp di kota Albania Kukes. Reuters tampaknya karena kritik yang dilancarkan suaminya mengenai perlakuan peme-rintah Cina terhadap orangorang Uighur - kelompok etnis mayoritas di antara penduduk lokal di daerah itu - dan karena kegiatankegiatannya sendiri. Ia mendirikan Gerakan Seribu Ibu di Urumqi untuk mendu-kung prakarsa sosial-ekonomi dan untuk berusaha bagi dan oleh kaum perempuan Uighur. Pada bulan Agustus 1999 ia ditahan di Urumqi ketika sedang dalam perjalanan untuk menemui para wakil dari Dinas Pene-litian Kongres A.S. dan pada akhirnya dituduh memberikan informasi rahasia kepada orang asing. Ia kini masih berada di penjara Liudaowan, yang terkenal mengerikan karena siksaan dan perlakuan

buruk kepada para tahanan. Anda berhak mencari perlindungan dari penganiayaan di suatu negara lain, termasuk kalau anda menghadapi risiko menghadapi pelecehan- pelecehan berdasarkan gender. Adelaide Abankwah melarikan diri dari Ghana karena takut menghadapi mutilasi alat kelamin perempuannya. Ia mencari suaka di Amerika Serikat. Setelah dua tahun perjuangan hukum, ia diberi suaka oleh Dewan Banding Imigrasi Amerika Serikat pada tahun 1999 setelah pengadilan federal di New York memutuskan bahwa ia mempunyai ketakutan yang sangat beralasan akan dimutilasi alat kelaminnya kalau ia pulang ke negaranya. Suatu kasus pengadilan Amerika Serikat yang menjadi tonggak bersejarah di tahun 1996 memutuskan bahwa ketakutan akan mutilasi alat kelamin wanita dapat menjadi alasan untuk memberikan suaka. Berjuta-juta perempuan dan anak perempuan terus mengalami trauma terhadap mutilasi alat kelamin wanita di banyak negara. Hak kaum perempuan adalah hak asasi manusia! hampir seperti tahanan. Kalau pun mereka keluar rumah, mereka harus disertai oleh saudara lelaki dekat dan memakai pakaian yang sesuai dengan aturan ketat mengenai pakaian yang semakin membatasi gerakan mereka. Anda tidak dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Anda mempunyai hak untuk menantang penahanan anda di depan pengadilan; kalau didakwa melakukan kejahatan, anda berhak atas suatu pengadilan yang jujur. Rebiya Kadeer, 52 tahun, seorang perempuan pengusaha yang terkenal dari Wilayah Otonomi Uighur Xinjiang di Cina, adalah utusan resmi Cina ke Konperensi Dunia Keempat PBB tentang Perempuan yang diadakan di Beijing tahun 1995. Ia ditahan secara sewenang-wenang,

Ini pagi, jangan lupa gembok. Lelaki adalah otak, kata ketua majelis setempat, perempuan adalah badan. Lelaki matahari, perempuan bumi, katanya lagi. Yang di dekat langit dekat pula dengan sumber terang dan wahyu, Surya melahirkan tenaga, bumi melahirkan bahan. Memang dari sini datang bau harum, tapi juga racun. Jangan lupa gembok. Jangan lupa penutup rambut di kepala. Jangan lupa penutup lengan dan tungkai kaki. Jangan lupa gembok, jangan lupa kunci. O, ya. Jangan lupa .[1] Demikian tulis Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggirnya, sekitar bulan April lalu. Betapa perempuan menjadi obyek stereotip yang kuat di tengah masyarakat, sehingga mereka harus diawasi dan dibelenggu hakhak asasinya sedemikian rupa. Ini sungguh memprihatinkan. Ketika dalam situasi kemiskinan, perempuan yang paling sedikit mendapat kesempatan untuk memperoleh makanan, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, dan pelatihan-pelatihan, mereka masih pula direbut haknya untuk memperoleh kesempatan kerja yang leluasa tanpa sakwa-sangka. Karena tak jarang mereka dicurigai sebagai penyebab utama penebar kerusakan di tempat kerja tertentu, sehingga (diwacanakan) harus menggunakan pakaian lengkap dengan gembok pengaman. Tidakkah itu dapat menyakiti badan dan menyinggung hak dan martabatnya sebagai manusia? Tampaknya, di manapun perempuan seringkali dimarjinalkan dan diperlakukan diskriminatif. Salah satu contoh adalah munculnya perdaperda tentang larangan untuk keluar malam, keharusan berjilbab, dan beberapa waktu lalu adanya pemberlakuan aturan mengenakan pakaian bergembok bagi perempuan di Batu, Malang Jawa Timur. Peraturan-peraturan yang cenderung merugikan perempuan itu bergulir di sejumlah wilayah propinsi seperti Banten, Jawa Barat yang berkembang di daerah kabupaten Cianjur, Garut, dan Tasikmalaya.[2] Di daerah Padang, Sumatera Barat terdapat pula peraturan wajib berpakaian muslim bagi para pelajar dari tingkat SD (Sekolah Dasar) hingga SMU (Sekolah Menengah Umum) sejak 2005 lalu. Instruksi itu merupakan terjemahan dari Perda Anti-Maksiat yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Pemerintah Kota Padang saat itu.[3] Semula, larangan bagi kaum perempuan untuk keluar malam terdapat pula dalam rancangan peraturan daerah tersebut. Namun akhirnya direvisi karena menuai protes akibat begitu kentalnya nuansa ketidakadilan terhadap perempuan. Protes terhadap peraturan yang diskriminatif tersebut juga terjadi di daerah lain. Di Aceh misalnya, perempuan yang tergabung dalam Dupakat

Inong Aceh pernah menggelar forum publik untuk menggugat aturanaturan yang melemahkan posisi perempuan dalam peraturan daerah.[4] Ini sungguh upaya keras yang memeras otak dan keringat perempuan. *** Problem Diskriminasi terhadap Perempuan dan Pelanggaran HAM di Sekitar Kita Pelanggaran HAM dalam bentuk pemaksaan kehendak, berpikir, dan penyiksaan fisik terhadap perempuan ternyata masih banyak terjadi. Sebut saja bride kidnaping atau penculikan terhadap (calon pengantin) perempuan, masih terjadi di Kyrgyztan dan Turkmenistan, dua buah wilayah pecahan bekas negara Soviet. Dalam praktiknya, lelaki beserta keluarganya menculik perempuan yang hendak dinikahi. Perempuan tersebut dibawa secara paksa ke rumah keluarga lelaki, hingga berharihari sampai perempuan menyerahkan diri dan bersedia untuk dinikahi lelaki tersebut. Di Indonesia peristiwa ini dikenal dengan istilah merarik yang terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Meski berbeda modus, kekerasan dalam bentuk nikah paksa menimpa pula umat Muslim di Inggris. Korbannya tidak hanya perempuan tetapi juga laki-laki. Namun mereka berinisiatif melakukan perlawanan, dengan membentuk organisasi Muslim Arbitration Tribunal (MAT) sejak tahun 2007. Mereka yang tergabung dalam MAT adalah pemuda-pemudi Muslim yang mengahadapi problem pernikahan paksa. Menurut data MAT, lebih dari 70 persen pernikahan di kalangan Muslim Inggris yang pasangannya orang asing, terjadi karena faktor pernikahan paksa dalam keluarga. Dari dua juta warga Muslim yang kebanyakan asal Pakistan, Bengali dan India, menurut data Unit Pernikahan Paksa di sana, sekitar 65 persen kasus tersebut melibatkan Muslim asal Pakistan, dan 25 persennya melibatkan Muslim asal Bangladesh.[5] Untuk kasus nikah paksa tersebut, di Indonesia yang terjadi beda lagi. Anak-anak perempuan Pulau Buru, di hadapan tradisi mereka harus pasrah dipinang dalam usia belia. Terkadang, kala mereka masih berusia enam tahun, atau bahkan saat masih dalam kandungan. Mereka dipinang oleh lelaki dewasa yang sedang mencari istri. Ketika pinangan sudah dilakukan, sang anak dilarang bersekolah dan kadang juga dilarang untuk bergumul dengan kawan sebaya, seakan tidak boleh mengenal dunia luar. Mereka menyebutnya sebagai kawin piara. Anak-anak perempuan itu akan dipelihara sampai dianggap telah siap untuk menjadi ibu dan mengurus rumah tangga. Mereka dipertukarkan oleh ayahnya karena memang di sana perempuan bisa dipertukarkan sebagaimana barang. Bahkan terkadang mereka juga diteruskan pada laki-laki lain dalam satu

keluarga jika suaminya meninggal agar persaudaraan di antara kedua keluarga tidak terputus.[6] Selain pelanggaran hak dasar perempuan untuk memilih pasangan dan menentukan kehidupan, praktik ritual servitude (upacara perbudakan) yang dialami oleh anak-anak perempuan yang beranjak remaja juga terjadi di Ghana.[7] Ghana adalah negara yang menganut paham sekularisme. Meskipun mayoritas penduduknya beragama Kristen dan Katolik, namun dari total jumlah penduduk 22 juta jiwa, 16 persennya adalah warga Muslim, dan selebihnya memegang teguh kepercayaan tradisional. Muslim Ghana, mereka menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan, seperti wakil presiden dan menteri.[8] Namun demikian, pemerintahan mereka belum mampu menghentikan ritual servitude. Ritual itu tetap berjalan sebagai hukuman bagi sebuah keluarga yang melakukan penyerangan terhadap keluarga lain. Mereka dituntut agar menyerahkan anak perempuannya yang masih gadis untuk dijadikan budak seks bagi keluarga musuh. Kemudian anak-anak perempuan itu diserahkan ke kuil-kuil pemujaan dan dimanfaatkan sebagai pekerja gratis. Perilaku-perilaku seperti honour killing atau pembunuhan atas alasan merusak kehormatan keluarga maupun bride burning atau membakar istri hidup-hidup, juga masih dipraktikkan di negara-negara seperti Pakistan, Afganistan dan India. Dalam praktiknya, honour killing merupakan hukuman mati bagi perempuan yang diberikan oleh keluarganya sendiri, karena dianggap telah mencemarkan nama baik keluarga. Pencemaran nama baik itu karena perempuan menolak perjodohan, atau meminta cerai (meskipun dari suami yang kasar), atau karena menjadi korban kejahatan seksual, dan melakukan perzinahan. UNICEF (United Nations Emergency Childrens Fund) mencatat, di India 5000 perempuan dibunuh setiap tahun karena alasan ini. Kasus lain yang terjadi adalah female genital mutilation atau perusakan dan pemotongan organ intim perempuan di mana sebagian atau seluruh bagian eksternal organ intim perempuan dipotong tanpa alasan medis. Di Indonesia, praktik ini dikenal dengan istilah sunat perempuan, meskipun sebagian besar hanya dilakukan secara simbolik. Praktik yang dilakukan karena alasan budaya atau interpretasi ajaran agama ini kebanyakan terjadi di benua Afrika. Praktik semacam ini sesungguhnya berdampak pada berkurangnya hak-hak reproduksi perempuan, khususnya dalam hak untuk menikmati hubungan seksual. Secara psikologis juga dapat meninggalkan dampak seumur hidup, perempuan mengalami depresi, ketegangan, rasa rendah diri, dan tidak sempurna.[9]

Kasus lain lagi yang sangat menjerat hak-hak dasar perempuan dan kemanusiaan adalah human trafficking. Perdagangan manusia dan perempuan tersebut terjadi di mana-mana seperti Albania, Moldova, Rumania, Bulgaria, Rusia, Belarusia, dan Ukraina dengan berbagai macam modus. Para perempuan muda dan bahkan anak-anak diiming-imingi akan dipekerjakan di negara yang menawarkan gaji dan pekerjaan yang lebih baik, namun akhirnya dilacurkan. Diperkirakan 2/3 pelacuran yang terbesar di seluruh dunia berasal dari negara-negara tersebut.[10] Di negara-negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi dan Kuwait yang saling berdekatan, pelanggaran terhadap hak-hak dasar muncul dalam bentuk larangan bagi perempuan untuk mengambil kiprah di wilayah publik. Di Arab Saudi para perempuan dilarang menyetir mobil sendiri. Mereka yang menentang aturan ditangkap dan dihukum, serta saudara lelaki yang menjadi wali mereka diperingatkan oleh negara.[11] Sedang perempuan di Kuwait, mereka tidak diberi hak mengikuti pemilihan umum. Tetapi karena perjuangan keras, unjuk rasa dan turun ke jalan yang digulirkan terus-menerus, akhirnya hak politik itu diperolehnya. Melalui perjuangan itu mereka juga bisa menghadiri pertemuan parlemen, terutama saat pembahasan kebijakan yang terkait dengan perempuan.[12] *** Perkembangan Sejarah Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hak Asasi Perempuan (HAP) Untuk menyegarkan ingatan, sesungguhnya motif utama HAM tidak bisa terlepas dari tuntutan dasar tentang hak persamaan (al musawah) dan hak kemerdekaan (al hurriyyah). Dari kedua prinsip dasar inilah berkembang sejumlah prinsip yang lain, seperti prinsip penghormatan dan perlindungan terhadap martabat manusia, partisipasi, dan termasuk pembebasan terhadap hak-hak perempuan. Secara historis, Nur Said dalam Perempuan dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia menulis, bahwa HAM terkait erat dengan kekuasaan absolut para raja di masa lalu yang ditunjukkan dengan lahirnya Magna Charta (Piagam Agung) tahun 1215 di Inggris. Tahun 1689 lahir Bill Rights (undang-undang hak) di Inggris yang ditandai dengan munculnya adagium persamaan manusia di hadapan hukum (equality before the law). Di Amerika muncul pula The America Declaration of Independen tahun 1776. Deklarasi ini menyatakan bahwa semua manusia diciptakan sederajat dengan dikaruniai oleh Sang Pencipta hak-hak asasi tertentu seperti kehidupan, kemerdekaan, dan mencari kebahagiaan yang tidak boleh dicabut oleh siapapun. Sementara di Prancis lahir The French

Declaration tahun 1789, yang telah memunculkan dasar bagi The Rule of Law. Di dalam the rule of law antara lain menyatakan tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena tanpa ada alasan sah atau surat resmi penangkapan. Di sini dipertegas pula dengan beberapa hak lainnya, seperti presumption of innocence, orang-orang yang ditahan atau ditangkap dinyatakan bebas sampai ada kekuatan hukum yang sah menyatakan salah; freedom of expression atau kemerdekaan mengeluarkan pendapat; freedom of religion atau kemerdekaan dalam berkeyakinan; dan the right of property atau hak perlindungan terhadap hak milik.[13] Perkembangan berikutnya, muncul konsep HAM yang diawali dengan lahirnya Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM). Deklarasi ini dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat dunia saat itu yang tengah mengalami pukulan berat akibat kekejaman Perang Dunia (PD) I di tahun 1914-1918, dan PD II tahun 1939-1945. Dalam PD II yang memakan waktu hampir enam tahun, diperkirakan mengorbankan 61 juta orang (tentara dan rakyat sipil). Rusia mengalami jumlah kehilangan jiwa terbesar dibanding negara-negara lain, yakni mencapai 25 juta kematian, diikuti oleh China dengan 11 juta, dan Jerman sebanyak 7 juta kematian. Selebihnya tersebar di seluruh negara-negara yang terlibat dalam kontes pertempuran tersebut seperti Jepang, Australia, Kanada, kerajaan India, Belanda, Korea, dan juga Indonesia.[14] Dari latarbelakang tersebut, negara-negara dunia berupaya keras untuk merumuskan norma-norma hak dasar manusia, yang bisa disepakati bersama untuk menciptakan perdamaian. Hasil upaya itu menjadi konsensus umum masyarakat di seluruh dunia, yang secara garis besar berisi tentang jaminan hak-hak dasar manusia kepada semua orang. Jaminan HAM tersebut diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa dan dideklarasikan pada 10 Desember 1948 di Palais de Chaillot, Paris. Oleh Eleanor Roosevelt dari Amerika Serikat, ketua perempuan pertama di Komisi HAM PBB saat itu, dikatakan bahwa deklarasi ini bukanlah sebuah perjanjian, namun mungkin akan menjadi Magna Carta internasional di masa depan. Di dalam proses perumusan, terjadi dinamika dan perkembangan ketika PBB menghadirkan Comission of the Status of Women (CSW) pada tahun 1946. Pada tahap awal CSW berjuang untuk menegakkan hak-hak dasar perempuan. Ia berhasil memperjuangkan kedudukannya sebagai komisi yang mempunyai hak yang sama dengan Komisi HAM. Menariknya kedua komisi ini, CSW dan CHR (Commission on Human Rights) berkali-kali bertentangan keras selama penyusunan DUHAM. Misalnya, CSW berhasil mengubah rancangan awal dari pasal 1 DUHAM yaitu all men are brothers menjadi all human beings are born free and equal in dignity

and rights. Pada waktu DUHAM diadopsi pada tahun 1948, saat itu mayoritas perempuan di dunia belum dapat memilih atau belum dijamin hak pilihnya. Setelah deklarasi terlaksana, 20 tahun kemudian, sekitar tahun 1966 negara-negara di dunia baik Barat, Timur, maupun Selatan, kembali duduk bersama melanjutkan upaya kerasnya untuk membangun perdamaian dunia yang berkeadilan. Dari sini lahir konvensi-konvensi lain, yang juga memuat HAM internasional. Di antaranya Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial (Convention on the Elimination of Rasial Discrimination), yang lahir setahun lebih dulu dari hak SIPOL dan EKOSOB, yakni tahun 1965. Kemudian Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/ CEDAW) tahun 1980; Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Againts Torture/ CAT) sekitar tahun 1987; Konvensi Hak-Hak Dasar Anak (Children Rights Convention/ CRC) tahun 1989; dan Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya, sekitar tahun 2000-an lalu. Pada konvensi hak-hak dasar manusia tersebut, sesungguhnya telah banyak mengakomodir hak-hak dasar perempuan. Sebab di dalam konvensi-konvensi itu disebutkan pula prinsip non-diskriminasi. Namun secara detail CEDAW-lah (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) yang mengatur upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Dalam pasal 1 CEDAW menyatakan bahwa: Diskriminasi terhadap perempuan, berarti segala pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasankebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan antara lelaki dan perempuan.[15] Sjamsiah Achmad, anggota Komite CEDAW 2001-2004 mengatakan, konvensi ini merupakan perjanjian internasional tentang perempuan yang paling komprehensif. Di dalamnya menetapkan persamaan antara perempuan dan lelaki dalam menikmati hak-hak sipil, politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Konvensi yang sering digambarkan sebagai International Bill of Rights for Women ini menetapkan kewajiban hukum yang mengikat bagi negara-negara peserta untuk mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan, baik dalam kehidupan publik maupun privat. Menurut Sjamsiah, konvensi ini mengarahkan negara untuk mengadakan

upaya-upaya tambahan guna menangani permasalahan-permasalahan yang dihadapi perempuan di daerah pedesaan. Dalam hal ini negara harus menjamin hak-hak perempuan, atas dasar persamaan antara lelaki dan perempuan, untuk berpartisipasi dan memperoleh manfaat dari pembangunan desa. Konvensi CEDAW ini juga merupakan satu-satunya perjanjian internasional yang menegaskan hak reproduksi perempuan (Sebelum lahir ICPD Kairo, Red). Ia mewajibkan negara untuk memodifikasi pola-pola sosial budaya dari perilaku lelaki dan perempuan agar dapat menghapuskan prasangka-prasangka, kebiasaan-kebiasaan, maupun semua praktik-praktik lain yang berdasarkan pandangan inferioritas atau superioritas pada salah satu jenis kelamin. Selain itu konvensi ini juga mendorong terhapusnya peran-peran stereotip bagi lelaki dan perempuan. Di mana konvensi tersebut telah diratifikasi oleh sejumlah negara baik Barat, Timur, Utara, maupun Selatan. Bahkan isu tentang pemberdayaan perempuan pedesaan yang masuk di dalam konvensi ini, terjadi atas usulan wakil dari Indonesia dan India.[16] Dalam perjalanan sejarah, satu dekade setelah terbentuknya konvensi CEDAW, lahir Deklarasi Kairo yang dikeluarkan di Kairo pada tahun 1990. Deklarasi ini juga memuat tentang HAM dan HAP. Ia merupakan deklarasi di tingkat regional yang secara khusus ditujukan untuk negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam atau OKI. Dengan statusnya yang demikian deklarasi ini bukan merupakan pengganti DUHAM, melainkan dapat melengkapinya. Dalam Deklarasi Kairo ditegaskan bahwa semua orang adalah sama dipandang dari martabat dan kewajiban dasarnya sebagai manusia. Mereka tidak boleh didiskriminasikan atas dasar ras, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, kepercayaan agama, ideologi politik, ataupun status sosialnya.[17] Selain Deklarasi Kairo, terdapat pula Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) Kairo pada tahun 1994. Ia memuat tentang konsep hak reproduksi (perempuan) secara mendalam. Kemudian pada tahun 1995, lahir Deklarasi Beijing yang dalam landasan aksinya sangat mengedepankan prinsip kebersamaan dalam kekuasaan dan tanggungjawab di antara perempuan dan lelaki. Baik hal itu dalam rumah tangga, di tempat kerja, maupun di lingkungan masyarakat nasional dan internasional yang lebih luas. Pada deklarasi ini persamaan perempuan dan lelaki juga dinyatakan sebagai masalah hak asasi, syarat dari keadilan sosial dan persamaan pembangunan dan perdamaian. *** Problem penegakan HAM dan HAP di Indonesia Dari berbagai konvensi-konvensi HAM pokok internasional, Indonesia

hampir meratifikasi semua konvensi tersebut, kecuali konvensi tentang perlindungan buruh migran dan keluarganya. Hal ini sangat ironi karena Indonesia hanya baru menandatanganinya. Sementara salah satu masalah besar bagi Indonesia adalah menyangkut persoalan tenaga kerja yang banyak mendapatkan diskriminasi dan perlakuan tidak manusiawi di dalam maupun di luar negeri, karena tidak ada perlindungan hukum yang pasti. Namun masalahnya di Indonesia tidak semata karena belum adanya ratifikasi atas hukum internasional oleh negara. Problemnya justru ada pada proses penegakan HAM dan HAP itu sendiri, sebagai hukum hasil ratifikasi. Menurut Achie Sudiarti Luhulima, tindakan ratifikasi merupakan tindakan yang dilakukan oleh negara dengan memberikan persetujuan tertulis untuk menyatakan terikat pada suatu perjanjian internasional. Apabila ratifikasi sudah dilakukan maka negara bersangkutan resmi menjadi peserta perjanjian internasional tersebut. Negara-negara ini biasanya disebut sebagai Negara Peserta, atau Negara Pihak (States Party). Mereka berkewajiban melaksanakan isi perjanjian internasioanl ini.

Di Indonesia upaya ratifikasi tersebut telah diatur dalam UU. No. 24 Tahun 2000, tanggal 23 Oktober 2000, tentang Perjanjian Internasional. Tidak hanya ratifikasi (ratification), perbuatan hukum untuk mengikat diri pada perjanjian internasioanl ini, bisa pula melalui aksesi (accession). Tidak jauh berbeda dengan ratifikasi, menurut Achie, aksesi memiliki efek legal yang sama dengan ratifikasi. Aksesi berarti bahwa suatu negara menerima tawaran atau kesempatan untuk menjadi Negara Peserta dari suatu perjanjian internasional setelah perjanjian itu diberlakukan. Ratifikasi dan aksesi ini sama-sama mewajibkan negara untuk menerapkan kebijakan bagi pemenuhan tujuan dari perjanjian internasional itu sesuai dengan syarat-syarat yang digariskan dalam perjanjian tersebut. Sementara Tandatangan atau Penandatanganan, hanya mewajibkan pemerintah untuk tidak melakukan hal atau tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ditentukan dalam pasal-pasal konvensi, tidak secara khusus mengharuskannya untuk melaksanakan konvensi. Penandatanganan biasanya memberikan kesempatan kepada negara untuk mempelajari sejauh mana suatu perjanjian internasional konsisten atau sama dengan hukum domestik atau hukum nasional yang berlaku. Selain itu juga memberikan kesempatan untuk mengetahui besarnya kerja yang harus dilakukan setelah ratifikasi.[18]

Dalam konteks Indonesia, menurut Rafendi Djamin, semenjak gelombang ratifikasi dilakukan, negara ini masih sangat minim dalam melaksanakan isi-isi perjanjian. Problem dasarnya sangat kompleks, yakni terkait dengan pemahaman yang ada dalam sistem hukum nasional. Ia mengatakan bahwa di kalangan penegak hukum masih berlaku pemahaman bahwa undang-undang ratifikasi tidak berarti bisa dilaksanakan. Padahal undang-undang ratifikasi adalah undang-undang yang bisa disebut sebagai keputusan politik dari negara peserta, untuk menjadikan norma-norma yang ada dalam konvensi sebagai hukum nasional. Tetapi dalam praktiknya konvensi ini dipertanyakan lagi undangundang pelaksanaannya. Bagi Rafendi ini adalah kesalahpahaman fatal untuk penegakan undang-undang hasil ratifikasi, yang menyangkut HAM dan HAP di Indonesia. Selain hal itu, problem tersebut juga menyangkut soal belum adanya proses penyesuaian terhadap undang-undang atau peraturan yang ada; apakah bertentangan dengan konvensi yang hendak diratifikasi atau tidak, ternyata hal itu belum dilakukan. Menurut Rafendi yang berlaku ratifikasi dahulu, soal sesuai atau tidak baru dibahas belakangan. Problem tersebut terkait pula dengan kesadaran dari lembaga-lembaga yang berwenang tentang konvensi-konvensi yang menjadi tanggungjawabnya sebagai duty bearer, atau pihak yang wajib menjalankan. Tampaknya pihak duty bearer banyak yang tidak mengetahui tentang norma-norma konvensi internasional yang telah diratifikasi negara. Pemahaman dan pengetahuan mereka tentang proses-proses hukum dan perundangan masih sangat kurang. Apalagi terkadang terjadi pula politisasi berbagai kepentingan, dalam proses perumusan maupun penegakan undang-undang atau peraturan yang berlaku. Baik itu peraturan nasional, maupun hasil ratifikasi hukum internasional, semua akan semakin menghambat proses penegakan HAM dan HAP yang seimbang dan berkeadilan. Tidak berhenti sampai di sini, kurangnya sosialisasi negara atas bentukbentuk hak-hak dasar warganya, telah melemahkan rakyat utamanya perempuan dalam menikmati hak asasinya. Sehingga proses penegakan HAM dan HAP ini terhambat karena minimnya pemahaman dan pengetahuan rakyat. Semestinya pendidikan yang layak dan memadai diberikan negara kepada mereka. Akan tetapi negara telah mengabaikannya, sehingga mereka tidak tahu apa saja yang menjadi hak-hak dasar untuk kesejahteraan hidupnya. Mereka tidak memperoleh manfaat dari sana. Jika saja mereka memiliki pemahaman dan pengetahuan yang memadahi, tentu akan bisa melakukan monitoring terhadap negara dalam menjalankan undang-undang hasil ratifikasi, dan kebijakan lainnya. Dan hal itu akan memberikan penguatan bagi mereka

sebagai pihak yang berhak memperoleh jaminan hak-hak asasi sebagai perempuan dan manusia. *** HAM dan HAP dalam Perspektif Islam

Benarkah Islam sebagai ajaran universal berseberangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan hak-hak dasar perempuan; bagaimana sesungguhnya konsep HAM dan HAP menurut Islam; apakah HAM dan HAP itu produk Barat? Demikian sejumlah pertanyaan yang muncul dalam pembahasan ini. Ninik Rahayu wakil ketua Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) periode 2007-2009, bercerita tentang perspektif pribadinya. Menurutnya sampai hari ini, Islam telah membuka ruang universalisme tentang hak-hak dasar manusia dan hak-hak dasar perempuan. Dalam pandangannya, Islam yang telah mendobrak gerbang dan membebaskan kaum perempuan dari belenggu jahiliyah, di mana perempuan diperlakukan sebagai barang milik, tanpa secuilpun hak atas dirinya sendiri. Kini jika ada banyak pendapat yang mengatakan bahwa konsep HAM dan HAP adalah produk dari Barat, hal itu dianggapnya tidak tepat. Sebagai perempuan yang mengenyam pendidikan di Pesantren dan Perguruan Tinggi, Ninik mengaku tidak menemukan teks-teks agama yang membatasi ruang gerak perempuan. Kalaupun ada hal itu sangat kasuistik dan membutuhkan penafsiran ulang yang lebih memperhatikan kondisi kontekstual yang berlaku saat itu. Ia mencontohkan dirinya yang lahir di tengah keluarga dengan tingkat pemahaman agama yang baik, tetapi sangat memberikan kebebasan bagi semua anggotanya baik lelaki maupun perempuan dalam berkiprah dan menuntut pendidikan. Ayahnya yang tokoh agama, dan Ibunya yang hanya lulusan Sekolah Dasar, keduanya bekerja, dan semua saudaranya melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi. Bagi Ninik, hal tersebut menjadi contoh kecil yang paling mudah dipahami, bahwa sesungguhnya Islam tidak membuat diskriminasi atau pembatasan bagi ruang gerak perempuan dan lelaki. Konsep dasar Islam tentang HAM dan HAP itu tidak lahir dari negeri-negeri Barat, tetapi dari dalam rumahnya, yang katanya udik, akan tetapi sangat menghargai hakhak dasar dan kebebasan semua orang untuk menentukan pilihan hidup,

tanpa membedakan atau mendiskriminasikan jenis kelamin, golongan, kepercayaan, agama, maupun lainnya. Penghargaan dan penghormatan terhadap manusia tersebut, sesungguhnya dapat ditemukan konsepnya dalam sumber Islam, yaitu Alquran. Di antaranya: Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di daratan dan lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik serta Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan ciptaan Kami. (Q.S. al Isra, 70) Wahai manusia Kami ciptakan kamu dari lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa kepada-Nya. (Q.S. al Hujurat, 13) Dua ayat di atas menjelaskan kemuliaan dan kesetaraan martabat manusia tanpa melihat latarbelakang asal usulnya, warna kulit, jenis kelamin, bahasa dan sebagainya. Keunggulan yang dimiliki manusia satu atas manusia yang lain hanyalah pada aspek kedekatannya dengan Tuhan. Pernyatan paling eksplisit lainnya mengenai kesetaraan hak dan kewajiban antara lelaki dan perempuan adalah: Sesungguhnya lelaki dan perempuan yang muslim, lelaki dan perempuan yang mukmin, lelaki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, lelaki dan perempuan yang benar, lelaki dan perempuan yang sabar, lelaki dan perempuan yang khusyu, lelaki dan perempuan yang bersedekah, lelaki dan perempuan yang berpuasa, lelaki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, lelaki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan ampunan dan pahala yang besar. (QS. al Ahzab, 35) KH. Husein Muhammad menyebutkan bahwa, doktrin persamaan (egalitarianisme atau al musawah) Islam di atas juga dinyatakan oleh Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadis: Manusia bagaikan gigi-gigi sisir, tidak ada keunggulan orang Arab atas non Arab, orang kulit putih atas kulit hitam, kecuali atas dasar ketakwaan kepada Tuhan. (Hadis) Sungguh, Allah tidak menilai kamu pada tubuh dan wajahmu melainkan

pada tindakan dan hatimu. (Hadis) Menurut kiai Husein Muhammad, pernyataan-pernyataan Alquran dan hadis tersebut telah digunakan sebagai dasar untuk mendeklarasikan apa yang dikenal dengan Shahifah Madinah atau Mitsaq al Madinah yakni Piagam Madinah, pada tahun 622 M. Isinya meliputi kesepakatankesepakatan tentang aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat Madinah. Para ahli sejarah menyatakan bahwa Piagam Madinah ini adalah naskah otentik yang tidak diragukan keasliannya. Mereka menyatakannya sebagai deklarasi HAM pertama di dunia.[19] Hal itu berarti bahwa tidak ada pertentangan antara deklarasi HAM dan HAP dengan ajaran murni Islam. Hak-hak dasar manusia dan hak-hak dasar perempuan bukanlah konsep yang dihembuskan oleh Barat, ataupun konsep yang penuh kepentingan (misionari) Barat. Di dalam Islam hak-hak asasi perempuan dan manusia, sepenuhnya diakui dan dihormati. Demikian pula menurut Faqihuddin Abdul Kodir, bahwasanya Sahabat Umar bin Khottab r.a. menyatakan dalam berbagai kesempatan: Demi Allah, kami pada masa Jahiliyah tidak pernah memperhitungkan perempuan. Kemudian Allah menurunkan beberapa ayat tentang mereka, dan memberikan hak kepada mereka. Kami sadar lalu bahwa ternyata mereka juga memiliki hak secara otonom di mana kami tidak bisa lagi mengintervensi. (Hadis Bukhari, kitab 77, bab 31, no. 5843) Menurut Faqihuddin beberapa teks hadis lain, secara eksplisit telah menyatakan hak-hak perempuan dalam kehidupan rumah tangga, di mana sebelumnya hak itu tidak dimiliki perempuan (Arab masa Jahiliyah). Teks hadis itu antara lain yang diriwayatkan Hakim bin Muawiyyah bin Haydah al-Qusyairy, bahwa kakeknya bertanya kepada Rasulullah saw: Apa saja hak-hak istri itu?. Rasul menjawab: Kamu harus memberinya makan sebagaimana yang kamu makan, memberinya pakaian sebagaimana yang kamu pakai, tidak memukul wajahnya, tidak melecehkan dan tidak memusuhinya dengan meninggalkan rumah. (Lihat Ibn al-Atsir, Jami al-Ushul, juz VII, hal. 357) [20] Meskipun demikian, terkadang banyak pula teks-teks agama yang saling bertentangan, antara mengekang dan membebaskan perempuan. Misalnya saja beberapa ulama melarang perempuan untuk datang dan memasuki masjid. Padahal di masjid itulah, pusat pendidikan, informasi, politik, dan ekonomi, di samping sebagai tempat ibadah tentunya.

Larangan tersebut biasanya didasarkan pada teks hadis tertentu mengenai ancaman terhadap perempuan yang suka menggoda dengan wewangian yang dikenakannya itu. Menurut Faqihuddin, dalam hal ini Aisyah ra., Ummul Mukminin telah mengkritik fatwa itu, dengan mengatakan bahwa hak pergi ke masjid adalah sama, antara lelaki dan perempuan. Tidak boleh ada perempuan yang dilarang. Jika persoalannya mengganggu dan menggoda, maka harus ada penertiban untuk keduanya, lelaki dan perempuan, tidak hanya sepihak, perempuan saja. Relasi lelaki dan perempuan, harus ditertibkan dan diarahkan agar tidak terjerumus pada ketertarikan tubuh dan moral rendah. Namun untuk kerja keagamaan dan kemanusiaan, yang didasarkan pada pikiran dan amal perbuatan yang baik, maka harus diberikan ruang yang seimbang di antara mereka. Dalam pandangan kiai Husein, apabila ditemukan pertentanganpertentangan dalam teks agama yang cenderung diskriminatif atau bertentangan tersebut, barangkali cara bijak untuk menyikapinya adalah, pertama, dengan menegasikan (menafikan) bentuk-bentuk diskriminasi antar manusia, termasuk dalam hal relasi lelaki dan perempuan. Hal ini karena diskriminasi tidak sejalan dengan prinsip Tauhid (Keesaaan Tuhan). Kedua, dengan menghindarkan kontradiksi-kontradiksi dalam teks-teks suci. Alquran telah menyatakan dalam ayatnya: tidak datang kepadanya (Alquran) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana, Maha Terpuji. (Q.S. Fusshilat, 42) Barangkali cara terbaik untuk itu semua adalah dengan membaca kembali teks-teks suci; Alquran, dan hadit Nabi saw. maupun teks-teks kitab klasik karangan para ulama. Tentunya pembacaan ini melalui cara-cara yang memungkinkan semua untuk mampu mengatasi keadaan yang tampaknya saling bertentangan terebut. Di sini Kiai Husein mengajak umat untuk memandang seluruh teks-teks Alquran maupun hadis Nabi saw. sebagai kitab-kitab petunjuk bagi manusia untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan tersebut tidak lain adalah mewujudkan kerahmatan (kasih sayang dan cinta), dan perdamaian bagi seluruh manusia. Karena Alquran menyatakan:
"Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) kecuali agar menjadi rahmat bagi alam semesta". (QS. Al-Ambiya/21: 107)

Akhirnya, barangkali umat membutuhkan ruang sosial baru yang memungkinkan perempuan dan lelaki dapat mengaktualisasikan dirinya di mana saja dengan tetap terjaga dan aman dari tindakan-tindakan yang dapat merendahkannya. Untuk itulah diperlukan nilai-nilai HAM dan HAP yang dapat menjamin kehidupannya dengan penuh damai, tanpa

kekerasan, dan diskriminasi. Perlu diingat bahwa jumlah perempuan di Indonesia adalah separoh lebih dari jumlah penduduk. Potensi intelektual mereka yang semakin hari semakin meningkat merupakan potensi besar bagi pembangunan bangsa. Mereka juga memiliki aspirasi dan kepentingan yang tidak bisa diwakili oleh kaum lelaki. Dengan menegakkan hak-hak asasi mereka sebagai manusia, dan menghargainya sama dengan lelaki, semoga akan lahir suatu kehidupan yang lebih adil dan setara.[ ]

Hak asasi perempuan Hak asasi perempuan dalam rangkuman Hak Asasi Manusia yang diperjuangkan hingga hari ini, sudah diperlakukan sangat sempurna sejak 15 abad dalam ajaran Islam. Itu mengakui berarti delapan abad mendahului melihat pandangan ragu-ragu perempuan. Agama Islam

perempuan (ibu) sebagai mitra yang setara (partisipatif) bagi jenis laki-laki. Dalam konteks Islam ini, sesungguhnya tak perlu ada emansipasi bila emansipasi diartikan perjuangan untuk persamaan derajat. Yang diperlukan adalah pengamalan sepenuhnya peran perempuan sebagai mitra, yang satu dan lainnya saling terkait, saling membutuhkan, azwaajan, ada dan bukan atau di untuk eksploatasi. Sebagai jelas eksistensi sesuatu pemahaman kalau pasangan yang setara

kesetaraan. Tidak punya arti sesuatu kalau pasangannya tidak ada. Tidak tidak sampingnya. Pasangan, mungkin tidak ada kata yang lebih tepat dari itu. Di barat, selama ini memang ada gejala kecenderungan penguasaan hak?hak wanita itu, bahkan paling akhir adalah hilangnya wewenang ibu dalam rumah tangga sebagai salah satu unit inti dalam keluarga besar (extended family). a). Secara moral utuh, perempuan punya hak sebagai IBU, adalah Ikutan Bagi Umat. Masyarakat yang baik terlahir dari Ibu yang baik. Kaum Ibu pemelihara tetangga, dan perekat silaturrahim.Walaupun tidak jarang, kaum Ibu bisa menjadi perusak rumah tangga tetangganya. b). Penghormatan kepada Ibu menempati urutan kedua sesudah iman kepada Allah. Bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada Ibu, diwasiatkan sejalan untuk seluruh manusia. Penghormatan kepada Ibu (kedua orang tua), merupakan disiplin hidup yang tak boleh diabaikan. Disiplin ini tidak terbatas kepada adanya perbedaan dari keyakinan yang di

anut. Bahkan, dalam hubungan pergaulan duniawi sangat ditekankan harus dipelihara jalinan yang baik (ihsan). c). Ibu menjadi pembentuk generasi berdisiplin dan memiliki sikap mensyukuri segala nikmat Allah. Dari rahim dalam Ibu dilahirkan manusia yang bersih (menurut fithrah, beragama tauhid). Maka, pembinaan sektor agama merupakan faktor terpenting membantu keberhasilan (Sorga) Kebahagiaan menanti setiap insan yang berhasil meniti jalan keselamatan yang di ajarkannya dengan baik, penuh kepatuhan dan rasa hormat yang tinggi. Dari dalam lubuk hatinya yang tulus dan dengan tangannya yang terampil dicetak generasi bertauhid yang berwatak taqwa, selalu khusyuk dalam berkarya (amal) dan kaya dengan rasa malu. Watak (karakter) yang manusiawi akan menjadi inti masyarakat yang hidup dengan tamaddun (budaya). Posisi perempuan dalam Al Quran Sebagai yang di-wahyukan kepada Muhammad SAW, Al-Quran telah menempatkan perempuan pada posisi azwajan (pasangan hidup kaum lelaki), mitra sejajar/setara (QS.16:72), mewujudkan rahmah berperan yang menciptakan sakinah (kebahagiaan), tenteram, melalui pendidikan anak yang didasarkan kepada akhlaq Islami. Dibawah telapak kakinya terbentang jalan kepada keselamatan

mawaddah berupa kasih sayang (QS.30:21). Citra perempuan ini diperankan secara sempurna dengan posisi sentral sebagai IBU (Ikutan Bagi Ummat), salah satu unit inti dalam keluarga besar (extended family, bundo kanduang di Minangkabau). Perempuan adalah tiang negeri (al Hadist). Posisi ini adalah penghormatan mulia, sorga terletak di bawah telapak kaki ibu (al Hadist). Tuntutan ekonomi atau mengumpulkan materi menjadi perhatian utama yang perlu disegerakan, sehingga seorang wanita tidak lagi mampu mengangkat wajahnya jika ia tidak memiliki pekerjaan di luar rumah. Perempuan sekarang mestinya tidak bergelimang dalam dapur, sumur dan kasur. Tapi dia harus keluar dari rotasi ini, dan masuk ke dalam lingkaran kantor, mandor dan kontraktor. Kondisi ini telah menyumbang

lahirnya X Generation, generasi yang sangat dicemasi masuk kelingkungan Asia dimasa depan. Pemelihara budaya dan Generasi Generasi berbudaya memiliki prinsip yang teguh, elastis dan toleran bergaul, lemah lembut bertutur kata, tegas dan keras melawan kejahatan, kokoh menghadapi setiap percabaran budaya dan tegar menghadapi percaturan kehidupan dunia. Generasi yang siap menghadapi pergolakan dan pertarungan budaya kesejagatan (global), hanyalah yang mampu menghindari teman buruk, sanggup Rasulullah membuat lingkungan SAW; Jauhilah sehat hidup serta bijak menata pergaulan (foya-foya), baik, penuh kenyamanan, tahu diri, hemat, dan tidak malas. Sesuai pesan ber-senang-senang karena hamba-hamba Allah bukanlah orang yang hidup bermewah-mewah (malas dan lalai) (HR.Ahmad). Generasi yang memiliki kemampuan tinggi menghadapi setiap perubahan dalam upaya mewujudkan kebaikan tanpa harus mengabaikan nilai-nilai moral dan tatanan pergaulan. Maka, kedua orang tua wajib melakukan pengawasan melekat terhadap anak-anaknya sepanjang masa. Terutama terhadap tiga prilaku tercela (buruk), yaitu dusta (bohong), mencuri dan mencela (caci maki). Sesuai sabda Rasulullah SAW; Jauhilah dusta, karena dusta itu membawa kepada kejahatan, dan kejahatan membawa kepada neraka (Hadist Shahih). Pendidik Utama Bangsa Peran Perempuan sebagai Ibu adalah inti di tengah rumah tangga dan masyarakat (negara). Ibu merupakan guru pertama dalam perkataan, pergaulan dan penularan tauladan cinta kasih terhadap anakanaknya. Anak adalah amanah Allah, yang tumbuh melalui belajar dari lingkungannya. Melalui pendidikan keteladanan. Teladan yang baik adalah landasan paling fundamental bagi pembentukan watak generasi. Dalam perkembangan masa yang mengikuti gerak globalisasi terjadi perubahan cuaca budaya. Perubahan yang seringkali melahirkan ketimpangan-ketimpangan. Bahkan kepincangan yang diperbesar oleh tidak

adanya keseimbangan pembangunan kesempatan

pertumbuhan serta terdapatnya

ekonomi perbedaan

dan kesempatan

yang sangat mencolok (fasilitas, pendidikan, lapangan kerja, hiburan, penyiaran mass-media,) antara kota dan kampung. Akibat nyatanya adalah mobilitas terpaksa yang pada akhirnya sangat mengganggu pertumbuhan masyarakat (social growth). Perpindahan penduduk secara besar-besaran ke kota sebenarnya merupakan penyakit menular di tengah?tengah kemajuan negeri yang tengah berkembang. Dusun-dusun mulai ditinggalkan, kota-kota menjadi sempit untuk tempat tinggal pendatang baru. Kehidupan yang keras menyebabkan orang terpaksa menjual diri. Dasar-dasar kehidupan menjadi rapuh, akhlak karimahpun hilang. Materi dan uang sudah menjadi buruan. Kehidupan terancam bahaya, karena kesinambungannya berubah oleh meluasnya keluarga nomaden modern. Beban resikonya tidak mudah diperhitungkan lagi. Kerusakan yang sulit menghindarinya adalah hilangnya jati diri. Mentalitas mengarah pada materialistik, permisivistik, bahkan hedonistik. Biaya untuk perbaikannya niscaya lebih besar dari biaya yang telah dikeluarkan untuk pertumbuhan ekonomi. Perempuan Minangkabau Profil Perempuan Mandiri Dalam keadaan seperti itu, kaum perempuan harus memaksimalkan peran keperempuanannya, sebagai ibu di rumahtangganya dan pendidik di tengah bangsanya. Peran dan citra perempuan mandiri terlihat jika pembedaan jenis kelamin berlaku secara jelas dan pasti. Perbedaan kewajiban dan hak serta kedudukan itu, memastikan berlakunya dual?sex. Pendidikan formal yang dapat membuat wanita sejajar dengan laki?laki berpeluang menjadikan wanita kehilangan jati dirinya sebagai wanita. Secara tidak sadar wanita yang terpelajar itu menjadi lebih maskulin daripada laki?laki. Ujung dari proses itu adalah ancaman kehidupan rumah tangganya, kata Haniah. Selanjutnya, Sifat feminim yang merupakan sumber kasih sayang, kelembutan, keindahan, dan sumber cahaya ilahi mempunyai potensi untuk menyerap dan mengubah kekuatan kasar menjadi sensitivitas, rasionalitas menjadi intuisi, dan dorongan seksual menjadi spiritualitas

sehingga

memiliki

daya

tahan tidak

terhadap kesakitan, hanya ajaran

penderitaan Agama

dan Islam

kegagalan. Sebenarnya

yang mengungkapkan secara jelas peran dan citra perempuan itu. Para penulis sastera juga mengungkapkan peran perempuan Melayu (Timur) dengan pendirian yang kokoh, seperti terungkapkan dalam Syair Siti Zubaidah Perang China ; Daripada masuk agama itu, baiklah mati supaya tentu, menyembah berhala bertuhankan batu, kafir laknat agama tak tentu, Perempuan Melayu dengan sifat?sifat mulia diantaranya lembut hatinya, penyabar, penyayang diri, kepada sesama, keras kuat iman dalam dalam mempertahankan harga tegas, teguh dan

melaksanakan suruhan Allah, pendamai, suka memaafkan dan mampu menjadi pemimpin masyarakatnya. Wanita Melayu juga mempergunakan akal di dalam berbuat dan bertindak, bahkan terkadang terlalu keras dan berani, seperti ditunjukkan dalam syair Siti Zubaidah itu,kata H. Ahmad Samin Siregar. Kepemilikan Perempuan menurut Islam 1). Menjadi pemilik dari apa yang dimiliki pasangannya. 2). Apa yang sudah diberikan kepadanya secara ikhlas (nihlah) tidak boleh dirampas kembali. 3). Perempuan mempunyai hak perlindungan dari pasangannya. 4). Perempuan mempunyai kewajiban menjaga kepemilikan dibelakang pasangannya. Dan semuanya terlihat dalam hukum perkawinan menurut Islam. Metode penelitian yang digunakan dalam makalah ini adalah metode kuantitatif. Metode kuantitatif yaitu penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungannya. Metode pengumpulan data yang digunakan antara lain : studi pustaka : membaca berkas-berkas dari buku atau internet yang berkaitan dengan masalah yang dibahas pbservasi : melakukan observasi dengan memberi kuisioner sebagai penelitian secara langsung terhadap masalah yang dibahas diskusi : mendiskusikan masalah dengan melakukan Tanya jawab dengan teman, keluarga dan orang-orang di lingkungan sekitar yang dianggap dapat memberi informasi seputar masalah yang dibahas HAM Dalam Perundang-Undangan Nasional Dalam perundang-undangan RI paling tidak terdapat bentuk hukum tertulis yang memuat aturan tentang HAM. Pertama, dalam konstitusi (UUD

Negara). Kedua, dalam ketetapan MPR (TAP MPR). Ketiga, dalam Undangundang. Keempat, dalam peraturan pelaksanaan perundang-undangan seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden dan peraturan pelaksanaan lainnya. Kelebihan pengaturan HAM dalam konstitusi memberikan jaminan yang sangat kuat karena perubahan dan atau penghapusan satu pasal dalam konstitusi seperti dalam ketatanegaraan di Indonesia mengalami proses yang sangat berat dan panjang, antara lain melalui amandemen dan referendum, sedangkan kelemahannya karena yang diatur dalam konstitusi hanya memuat aturan yang masih global seperti ketentuan tentang HAM dalam konstitusi RI yang masih bersifat global. Sementara itu bila pengaturan HAM dalam bentuk Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya kelemahannya, pada kemungkinan seringnya mengalami perubahan. Pelanggaran HAM dan pengadilan HAM Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UndangUndang ini, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Sedangkan bentuk pelanggaran HAM ringan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat itu. Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis dan kelompok agama. Kejahatan genosida dilakukan dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakantindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, dan memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Sementara itu kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut tujukan secara langsung terhadap

penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional, penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan apartheid. Pelanggaran terhadap HAM dapat dilakukan oleh baik aparatur negara maupun bukan aparatur negara (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Karena itu penindakan terhadap pelanggaran HAM tidak boleh hanya ditujukan terhadap aparatur negara, tetapi juga pelanggaran yang dilakukan bukan oleh aparatur negara. Penindakan terhadap pelanggaran HAM mulai dari penyelidikan, penuntutan, dan persidangan terhadap pelanggaran yang terjadi harus bersifat non-diskriminatif dan berkeadilan. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan umum. Penaggung jawab dalam penegakan (respection), pemajuan (promotion), perlindungan (protection) dan pemenuhan (fulfill) HAM. Tanggung jawab pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM tidak saja dibebankan kepada negara, melainkan juga kepada individu warga negara. Artinya negara dan individu sama-sama memiliki tanggung jawab terhadap pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM. Karena itu, pelanggaran HAM sebenarnya tidak saja dilakukan oleh negara kepada rakyatnya, melainkan juga oleh rakyat kepada rakyat yang disebut dengan pelanggaran HAM secara horizontal.

Hak Perempuan adalah Hak Asasi Manusia


Oleh redaksi pada Sen, 12/24/2007 - 15:36. Artikel Meski telah diratifikasi selama 21 tahun, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Deskriminasi terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination of All Forms of Descrimination against Women ternyata masih diabaikan oleh para pemangku kepentingan di Indonesia.

Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, Convention on the Elimination of All Forms of Descrimination against Women (CEDAW) seharusnya menjadi produk hukum yang ditaati semua orang di wilayah hukum Indonesia. Ironisnya, kasus diskriminasi terhadap perempuan jarang dapat sampai ke pengadilan. Itu disebabkan aparat penegak hukum selalu menunggu juklak (petunjuk pelaksanaan Red) dan juknis (petunjuk teknis Red) dari atasannya. Itu sudah kuno. Polisi, jaksa, dan hakim, kenapa harus menunggu perintah atasan. Ini produk hukum, tinggal dilaksanakan tanpa harus menunggu juklak, kata Prof Dr Louisa M Gandhi, guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Louisa menyampaikan hal itu dalam acara Dialog Antar-Pemangku Kepentingan tentang Pelaksanaan CEDAW, Selasa (26/7) di Jakarta. Dialog untuk mengevaluasi dan mencari solusi pelaksanaan CEDAW di Indonesia itu diikuti aparat pemerintah berbagai departemen, sejumlah lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi lain. Louisa mengungkapkan, ratifikasi CEDAW dilakukan dengan kekuatan undang-undang. Ini berbeda dengan, misalnya, konvensi anak yang disahkan melalui keputusan presiden. Implikasi ratifikasi CEDAW, menurut Louisa, aparat negara, pemerintah provinsi dan daerah lainnya harus bertanggung jawab dan dapat dituntut pertanggungjawabannya. Aparat pemerintah harus bertanggung jawab jika masih ada ketentuan hukum yang diskriminatif terhadap perempuan, tidak ditegakkannya perlindungan hukum bagi perempuan terhadap praktik diskriminasi, atau justru lembaga negara itu sendiri melakukan diskriminasi. Louisa mengingatkan, pertanggungjawaban dan akuntabilitas negara merupakan prinsip dasar dalam hukum internasional. Jika suatu negara melakukan diskriminasi terhadap perempuan, negara itu melanggar hak asasi manusia (HAM). Hukum internasional memiliki standar untuk mengevaluasi pelaksanaan tanggung jawab negara. Jadi, bukan standar negara bersangkutan yang digunakan menilai, papar Louisa. Deklarasi milenium Dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan, Konvensi CEDAW tidak berdiri sendiri. Penasihat jender Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Sjamsiah Achmad, mengatakan, Konvensi CEDAW yang dideklarasikan tahun 1979 didukung oleh kegiatan lain, seperti memiliki Landasan Aksi Beijing (1995) dan Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/ MDG). Sjamsiah menuturkan, MDG lahir dari Deklarasi Milenium, konsensus global

oleh 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2000. Deklarasi Milenium menggarisbawahi kepentingan absolut untuk pemajuan HAM bagi semua orang. Untuk mencapai hal ini, pemajuan perempuan menuju kesetaraan jender diakui sebagai kebutuhan dasar. Deklarasi Milenium secara khusus juga bertekad memberantas semua bentuk kekerasan terhadap perempuan dan melaksanakan Konvensi CEDAW. Peran sentral kesetaraan jender juga menjadi fokus utama Deklarasi Milenium. Beberapa pertemuan sebelumnya juga sudah membahas peran sentral kesetaraan jender. Beberapa pertemuan yang juga memfokuskan soal kesetaraan jender di antaranya adalah Landasan Aksi Beijing, Konferensi Lingkungan di Rio de Jainero (1992), Konferensi HAM di Vienna (1993), Konferensi di Kependudukan dan Pembangunan di Kairo (1994), KTT Sosial di Kopenhagen (1995), dan Konferensi Pemukiman di Istambul (1996). Dari berbagai pertemuan itu, peran perempuan selalu menjadi target utama. Sjamsiah mencontohkan, dalam Konferensi Lingkungan ditekankan perempuan merupakan aktor utama penyelamat lingkungan. Sedangkan di Kairo dibahas hak dan kesehatan reproduksi. Hak asasi ini harus diakui karena kelangsungan hidup umat manusia tergantung dari perempuan. Bayangkan saja kalau semua perempuan tiba- tiba tidak mau melahirkan dan memilih bekerja. Manusia di dunia ini bisa punah, cetus Sjamsiah. Sjamsiah menambahkan, pengakuan atas hak dan kesehatan reproduksi di Indonesia sangat lemah. Di Indonesia, menurut Sjamsiah, setiap jam ada dua ibu meninggal karena melahirkan. Ini menunjukkan, kesehatan reproduksi di Indonesia tidak diperhatikan. Pelayanan kesehatan terhadap perempuan selama masa kehamilan hingga pascapersalinan juga masih belum banyak diakses oleh perempuan karena keterbatasan ekonomi. Pemajuan HAM yang diharapkan dalam Tujuan Pembangunan Milenium, menurut Sjamsiah, tidak dapat berjalan sendiri, tetapi harus diserasikan dengan sejumlah kegiatan yang sedang berjalan sebagai pelaksanaan Konvensi CEDAW, yaitu Landasan Aksi Beijing. Ketiga program itu saling menunjang satu sama lain. MDG yang telah disepakati bersama terdiri dari delapan area, di antaranya penghapusan kemiskinan dan kelaparan ekstrem, mencapai pendidikan dasar universal, mempromosikan kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak, dan meningkatkan kesehatan ibu. Rumusan MDG ini mengambil CEDAW sebagai salah satu bahan pertimbangan. Kenyataannya, perempuan mewakili setengah dari keseluruhan penduduk di dunia. Selain itu, tujuh puluh persen dari penduduk

miskin di dunia adalah perempuan. Pelaksanaan Konvensi CEDAW di Indonesia masih menemui banyak kendala. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono mengungkapkan, hambatan utama mewujudkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan adalah melekatnya budaya patriarki dalam lingkungan keluarga dan lembaga penyelenggara negara. Masih belum disadari hak asasi perempuan juga merupakan hak asasi manusia. Tidak ada beda dengan laki-laki, tutur Meutia. (LUSIANA INDRIASARI)

Empat Isu Krusial Pemenuhan Hak Asasi Perempuan dan Penghapusan Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Perempuan Indonesia
23 September 2011 | Kategori: Aktivitas, Aktual, News Ticker

Disampaikan oleh Komnas Perempuan kepada Harian Tempo Jakarta, 22 September 2011 Pertama, kekerasan seksual terhadap perempuan, terutama dalam bentuk perkosaan, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual. Hasil pemantauan Komnas Perempuan sejak 1998 menunjukkan bahwa kekerasan seksual memiliki dampak yang sangat khas bagi perempuan. Sebanyak 1/3 dari 295.836 total kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dalam berbagai konteks. Dari Catatan Tahunan sejak tahun 2000, yang dihimpun atas kerjasama dengan berbagai lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan di berbagai wilayah Indonesia, setiap harinya ada 28 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Sistem hukum yang ada sampai saat ini belum lagi dapat memberikan akses keadilan bagi perempuan korban, antara lain karena landasan hukum yang komprehensif belum tersedia, pengetahuan aparat penegak hukum dan publik tentang kekerasan seksual terbatas, serta tata cara pembuktian hukum yang justru membebani perempuan. Sistem dukungan yang tersedia bagi korban di dalam masyarakat juga sangat terbatas, bahkan tak jarang justru menyalahkan korban. Maraknya kasus-kasus kekerasan seksual di ranah publik, khususnya dalam transportasi umum, menjadi salah satu titik keprihatinan Komnas Perempuan. Setelah kasus pelecehan seksual

di busway/Trans Jakarta dan kereta api, dua kasus perkosaan terakhir ini, kedua perempuan diperkosa di dalam angkot (angkutan kota), telah merobek jaminan rasa aman bagi perempuan atas layanan jasa transportasi yang biasa digunakan sehari-hari. Dalam kasus kekerasan seksual, diskriminasi acapkali menjadi batu sandungan dalam menghadirkan keadilan bagi para korbannya. Aparat penegak hukum tidak selalu memberikan keberpihakan dalam upaya menjamin perlindungan korban bahkan sejak proses pengaduan. Dalam kasus terakhir, pejabat publik sebagai pengemban utama jaminan pemenuhan hak korban justru menimpakan kesalahan kepada korban, dengan menstigma korban terkait dengan busana yang dikenakan. Sikap ini memelihara lubang stigmatisasi dalam masyarakat yang menempatkan korban seolah seburuk pelaku kejahatan itu sendiri. Di sinilah peran Media Massa kami anggap penting. Peliputan dan pemberitaan yang menjunjung tinggi etika media, yang memastikan pelaksanaan prinsip perlindungan dan dukungan pada korban, termasuk merahasiakan identitas korban akan memupus wacana dan budaya reviktimisasi korban. Koran Tempo, dalam analisa media Komnas Perempuan tahun 2010 terhadap 8 media cetak, adalah media cetak terbanyak kedua dalam hal pemberitaan kasus kekerasan seksual[1]. Upaya mengubah budaya stigmatisasi ini coba dilakukan Komnas Perempuan bersama dengan 37 organisasi lainnya di 20 provinsi yang tergabung dalam jaringan kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan. Kampanye ini akan bergerak mengusung tema Kekerasan Seksual : Kenali dan Tangani[2], hingga 2014. Muara dari gerakan ini adalah tersedianya jaminan hukum bagi kasus kekerasan seksual. Kedua, diskriminasi kekerasan terhadap perempuan terkait politisasi identitas. Komnas Perempuan menyesalkan tidak adanya tindakan tegas aparat dalam kasus-kasus kekerasan atas nama agama dan moralitas mayoritas. Komnas Perempuan juga mendorong peran media untuk mengawasi pelembagaan diskriminasi melalui kebijakan-kebijakan daerah. Komnas Perempuan menemukan 206 kebijakan diskriminatif antara 1999 dan 2011 (7 diantanya kebijakan di tingkat nasional)[3]. Situasi ini memprihatinkan, karena pada tahun 2009 Komnas Perempuan telah menyampaikan adanya 154 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas. Tidak ada satupun dari kebijakan tersebut yang dicabut atau diubah secara komprehensif dengan memastikan

pemenuhan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sebaliknya, angka kebijakan diskriminatif malah terus bertambah dan turut menyuburkan sikap intoleransi dalam masyarakat. Ketiga, diskriminasi terhadap perempuan pekerja migran. Komnas Perempuan mendorong peran Media dalam mengawasi upaya Negara membangun sebuah sistem perlindungan yang komprehensif. Termasuk didalamnya adalah mengingatkan publik untuk menagih komitmen Presiden RI dalam konferensi perburuhan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) ke 100 pada 15 Juni 2011 di Jenewa, dengan segera meratifikasi Konvensi Migran 1990. Jaminan payung hukum lainnya adalah revisi UU no. 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja di luar negeri. Sistem perlindungan hukum ini termasuk didalamnya peyediaan bantuan hukum bagi pekerja migran yang menghadapi kasus pelanggaran hukum, termasuk ancaman deportasi. Menurut Data dari Kementrian Luar Negeri yang diterima Komnas Perempuan, saat ini ada 23 pekerja migran mendapat ancaman hukuman mati, terdiri dari 15 perempuan dan 8 laki-laki, sedangkan di Malaysia berjumlah 177 WNI (11 orang perempuan). Pengawalan terhadap pembenahan tata kelola tenaga kerja migran mulai dari proses perekrutan di kantong-kantong pekerja migran, kondisi di penampungan hingga penempatan di luar negeri juga perlu terus dilakukan. Terakhir, penguatan kelembagaan Komnas Perempuan sebagai bagian tidak terpisahkan dari reformasi birokrasi. Konsep lembaga nasional hak asasi manusia (LNHAM) seperti Komnas Perempuan belum dikenal dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Padahal, kehadiran LNHAM adalah keniscayaan bagi negara yang mengedepankan HAM warganegaranya dan demokrasi. Agar dapat menjalankan fungsinya secara optimal, dibutuhkan LNHAM yang bersifat permanen, independen, memiliki fungsi check and balance, dan terpisah dari eksekutif, legislatif, yudikatif, dan auditing. Mengingat kekhasan persoalan kekerasan terhadap perempuan, sebagaimana juga terefleksi dalam sejarah kelahiran Komnas Perempuan pasca kerusuhan Mei 1998, maka sebuah mekanisme penegakan hak yang khusus berfokus pada persoalan tersebut merupakan sebuah kebutuhan, sekaligus keunikan Indonesia. Melalui peliputan dan pemberitaan yang mendukung promosi penegakan HAM, khususnya pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan, dan terutama tentang kerja Komnas Perempuan, media menjadi ujung mengawal demokrasi dan mendorong pelaksanaan

tanggung jawab Negara dalam pemenuhan HAM warganegaranya. Di daerah Padang, Sumatera Barat terdapat pula peraturan wajib berpakaian muslim bagi para pelajar dari tingkat SD (Sekolah Dasar) hingga SMU (Sekolah Menengah Umum) sejak 2005 lalu. Instruksi itu merupakan terjemahan dari Perda Anti-Maksiat yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Pemerintah Kota Padang saat itu. Semula, larangan bagi kaum perempuan untuk keluar malam terdapat pula dalam rancangan peraturan daerah tersebut. Namun akhirnya direvisi karena menuai protes akibat begitu kentalnya nuansa ketidakadilan terhadap perempuan. Kondisi ini sungguh sangat memprihatinkan, Ketika dalam situasi kemiskinan, perempuan yang paling sedikit mendapat kesempatan untuk memperoleh makanan, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, dan pelatihan-pelatihan, mereka masih pula direbut haknya untuk memperoleh kesempatan kerja yang leluasa tanpa sakwasangka. Karena tak jarang mereka dicurigai sebagai penyebab utama penebar kerusakan di tempat kerja tertentu, sehingga (diwacanakan) harus menggunakan pakaian lengkap dengan gembok pengaman. Tidakkah itu dapat menyakiti badan dan menyinggung hak dan martabatnya sebagai manusia? Dominasi Laki-Laki Karena itu, ada penilaian kritis, bahwa ajaran Islam yang kita terima saat ini dicurigai membawa kepentingan laki-laki. Dengan kata lain, doktrin Islam memuat ajaran yang menguntungkan posisi laki-laki dan mereduksi perempuan.

Anda mungkin juga menyukai