Anda di halaman 1dari 3

1.

Antonie Aris Van De Loosdrecth


Antonie Aris Van De Loosdrecth adalah seorang pendeta dari Belanda yang
datang ke Tana Toraja dimana wilayah ini banyak dari penduduknya masih menganut
animisme. Berbagai Ritual yang tidak sesuai dengan Alkitab kerap kali mereka
praktikkan. Adapun lokasi yang mereka jadikan sebagai daerah tempat tinggal adalah
Rentepao. Di sana keduanya mendapat sambutan yang hangat baik dari penduduk
biasa maupun para kepala suku dan juga para parenge’ atau para imam. Awal
pekerjaan Anton di wilayah Tana Toraja adalah mendirikan sekolah. Anton
menganggap pendidikan merupakan yang paling dibutuhkan oleh orang-orang dimana
ia dan istrinya kini berada.
Untuk mewujudkan itu, ia dari lewat subuh hingga tengah malam, banting
tulang mencari cara membangun tempat pendidikan belajar yang layak.Usahanya pun
kemudian berhasil. Sejumlah anak di Rentepao bahkan berhasil dibawanya untuk
dibekali ilmu pengetahuan. Seiring dengan bidang pendidikan berhasil dijalankan,
pemberian tindakan medis juga sukses ia dan istrinya bangun.
Tepat pada tanggal 26 Juli 1917 adalah tanggal dimana sebuah hal yang tidak
terduga terjadi. Saat Anton sedang berbincang-bincang mengenai rencana
penerjemahan cerita-cerita alkitab ke dalam bahasa Toraja dengan seorang guru di
Bori’, tiba-tiba pria asal Belanda tersebut diserang oleh seseorang yang telah
melumuri diri dengan arang. Sebuah tombak pun tertancap di jantungnya. Begitu
sukses menghujamkan senjata tajam tersebut, sang pembunuh melarikan diri. Guru
yang alami ketakutan itu kemudian bersiap-siap berangkat ke kediaman sang
misionaris di Rentepoa. Namun, hal itu dicegah. Dalam keadaan tubuh penuh darah,
Anton berkata kepada guru sekolah yang bersamanya tersebut, “Tidak usah! Sebentar
lagi saya akan mati, sampaikan salam saya kepada Istri yang sangat saya cintai dan
juga anak-anak saya, sekarang tinggalkan saya sendiri, saya ingin berdoa”. Dalam
keadaan berdoa inilah Anton meninggal dunia. Sampai dengan kini, Pendeta Antonie
Aris van de Loosdrech dikenang sebagai Martir untuk Tana Toraja. Tana Toraja,
sebagaimana yang kita ketahui, merupakan salah satu daerah di Indonesia yang
mayoritas penduduknya beragama Kristen.
Antonie Aris Van De Loosdrecth mengatakan bahwa kita tidak pernah tahu
kapan kematian datang. Namun, jika bisa memilih, pilihlah mati ketika sedang
melayani Tuhan. Sebab, kematian di dalam Tuhan adalah kematian yang
menguntungkan. Selain pasti memperoleh kehidupan kekal, kita juga bakal menerima
mahkota indah dari Tuhan.
2. Beato Dionisius a Nativitate
Beato Dionisius a Nativitate , lahir 12 Desember 1600 dari Honfleur, Perancis,
wafat sebagai Martir dimana kepalanya di pukul dengan gada hingga pecah lalu
lehernya digorok di Aceh pada tanggal 27 November 1638. Pada tahun 1638, Wakil
Raja Portugis di Goa, Pedro da Silva, bermaksud mengirim misi diplomatik ke Aceh.
Dionisius ditunjuk sebagai juru bahasa dan pandu laut. Kemudian mereka tiba di aceh
disambut dengan ramah. Tetapi keramahan orang Aceh ternyata hanyalah tipu
muslihat belaka.
Orang-orang Belanda telah menghasut Sultan Iskandar Thani dengan
menyebarkan isu bahwa bangsa Portugis datang hanya untuk menyebarkan agama
Katolik diwilayah Aceh. Karena itu semua anggota misi ini ditangkap, dipenjarakan,
dan disiksa agar menyangkal imannya. Selama sebulan mereka meringkuk di dalam
penjara dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Beberapa orang dari antara mereka
meninggalkan imannya untuk membeli kebebasan mereka. Dionisius terus
meneguhkan iman saudara-saudaranya dan memberi mereka hiburan. Akhirnya di
pesisir pantai tentara sultan mengumumkan bahwa mereka dihukum mati bukan
karena berkebangsaan Portugis melainkan karena mereka adalah pemeluk agama
Katolik. Maklumat sultan ini diterjemahkan oleh Pater Dionisius kepada teman-
temannya.
Sebelum menyerahkan nyawa ke tangan para algojo, mereka semua berdoa dan
Pater Dionisius mengambil salib dan memperlihatkan kepada mereka supaya jangan
mundur, melainkan bersedia mengorbankan nyawa demi Kristus Yang Tersalib dan
yang telah menebus dosa dunia, dosa mereka. Dionisius memohon ampun kepada
Tuhan dan memberikan absolusi terakhir kepada mereka satu per satu. Segera tentara
menyeret Dionisius dan dimulailah pembantaian massal. Setelah teman-temannya
dibunuh satu-demi satu, Pater Dionisius masih bersaksi tentang Kristus dengan penuh
semangat. Kotbahnya itu justru semakin menambah kebencian rakyat Aceh
terhadapnya. Algojo-algojo semakin beringas untuk segera menamatkan riwayat
Dionisius.
Namun langkah mereka terhenti di hadapan Dionisius.Dengan sekuat tenaga
mereka menghunuskan kelewang dan tombak akan tetapi seolah-olah ada kekuatan
yang menahan, sehingga tidak ada yang berani. Segera kepala algojo mengirim utusan
kepada sultan agar menambah bala bantuan. Dionisus lalu berdoa kepada Tuhan agar
niatnya menjadi martir dikabulkan. Dan permintaannya dikabulkan. Seorang algojo –
yang adalah seorang Kristen Malaka yang murtad – mengangkat gada dan
mengayunkan dengan keras ke kepala Dionisius, disusul dengan kelewang yang
memisahkan kepala Dionisius dari tubuhnya.
Kemartiran Dionisius dengan kawan-kawannya disahkan Tuhan: mayat mereka
selama 7 bulan tidak hancur, tetap segar seperti sedang tidur. Menurut saksi mata,
jenazah Dionisius sangat merepotkan orang sekitarnya, karena setiap kali dibuang –
ke laut dan tengah hutan – senantiasa kembali lagi ke tempat ia dibunuh. Akhirnya
jenazahnya dengan hormat dimakamkan di Pulau Dien (‘pulau buangan’). Kemudian
dipindahkan ke Goa, India.

Anda mungkin juga menyukai