Anda di halaman 1dari 4

KONSELING VIRTUAL DAN ‘CANDU’ GADGET

Oleh Anila Umriana

Dosen FDK UIN Walisongo Semarang,

Mahasiswa Program Doktoral Bimbingan dan Konseling UNNES

Besarnya penggunaan perangkat gadget dikalangan anak dan remaja belakang ini terus

menjadi perhatian. Yearbook Report mencatat, 30 juta anak-anak dan remaja Indonesia

menggunakan gadget (Firdaus dan Marsudi, 2021). Indonesia bahkan menjadi negara dengan

pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah negara Cina, India, dan Amerika

(Suharno, 2018). Survey The Asian Insight (2014) menunjukkan 67 persen anak berusia 3 (tiga)

sampai 8 (delapan) tahun sudah mulai menggunakan gadget yang dimiliki oleh orang tuanya, 18

persen menggunakan gadget yang dimiliki saudara dan 14 persen menggunakan gadget milik

pribadi (Oktafia dkk: 2021).

Kondisi tersebut perlu mendapat perhatian serius karena kecanduan gadget pada anak dan

remaja dapat menimbulkan dampak buruk, pertama, hilangnya kendali terhadap diri sendiri;

mood anak menjadi tergantung pada game; dan muncul respons tidak baik jika anak dilarang

menggunakan gadget (Van Rooij, 2011). Dampak buruk kedua, memainkan game online secara

terus menerus akan menyebabkan ketagihan atau ketergantungan sehingga mengurangi waktu

belajarnya (Surbakti, 2017) dan berdampak negatif pada kemampuan akademik (Bansal &

Mahajan: 2017). Dampak buruk ketiga, penggunaan gadget oleh anak-anak dan remaja juga

menyebabkan mereka menerima beragam informasi yang mungkin tidak seimbang dengan

tingkat kedewasaan dan kondisi psikologis mereka. Hal itu dapat berpengaruh tidak baik
terhadap kesehatan maupun perkembangan anak (Fadlilah dan Krisnanto dalam Dinda Puput

Oktafia dkk: 2021). Keempat, secara fisik penggunaan gadget yang berlebihan juga bisa

meningkatkan potensi obesitas (American Academy of Pediatric/AAP: 2001). Karena itu AAP

merekomendasikan pengguaan gadget pada anak sebaiknya tidak melabihi batas 1 sampai 2 jam

per hari. Anak-anak yang menggunakan gadget melebihi batas tersebut memiliki potensi 2,1 kali

lebih besar mengalami obesitas. Risiko obesitas akan meningkat pada anak prasekolah yang

menggunakan gadget lebih dari 2 jam setiap hari (Tanjung, Huriyati, Ismail, 2017).

Tantangan Praktik Konseling

Beberapa dampak buruk penggunaan gadget yang berlebihan bagi anak seperti

disebutkan di atas seharusnya mendorong semua pihak khususnya konselor sekolah untuk lebih

efektif dalam praktiknya. Mengubah perilaku anak dalam menggunakan gadget jelas bukan

masalah kecil, sebab jumlah anak dan remaja pengguna gadget saat ini sangat besar. Di sisi lain

jumlah konselor sekolah dan waktu yang tersedia sangat terbatas. Selain itu pendekatan yang

digunakan konselor sekolah juga tidak bisa melulu menggunakan konseling individu, tetapi juga

pendekatan konseling keluarga dan konseling kelompok.

Dalam situasi seperti ini dibutuhkan inovasi agar praktik konseling di sekolah bisa

dilakukan lebih efektif. Salah satunya melakukan praktik konseling dengan teknologi informasi.

Konseling yang dilakukan secara virtual merupakan salah satu inovasi bentuk konseling. Seperti

disebutkan Fullan dan Stiegelbauer (2001), ada tiga elemen intrinsic dalam inovasi, yakni

bentuk, fungsi, dan makna. Konseling virtual diharapkan mampu menjawab tantangan perubahan

zaman, seperti disebutkan Tucker (2002), yaitu kenyamanan (convinienc), kecepatan (speed),

gelombang generasi (age wave), pilihan (choice), ragam gaya hidup (life style), kompetisi harga
(discounting), pertambahan nilai (value added), pelayananan pelanggan (costumer service),

teknologi sebagai andalan (techno age), dan jaminan mutu (quality control).

Kelebihan Virtual Counseling

Seperti masukan Tucker, konselor saat ini dituntut agar mampu memanfaatkan teknologi

informasi untuk memberikan pelayanan yang lebih cepat tanpa mengurangi tingkat kenyamanan

klien dan kualitas pelayanan. Untuk mendukung praktik konseling virtual saat ini sangat sudah

tersedia sejumlah aplikasi pertemuan online, seperti WhatsApp, Line, Google Meet, Skype,

Zoom meeting, Cisco WebEx, dan lainnya.

Konselor perlu memilih aplikasi yang lebih nyaman digunakan sehingga tidak

mengurangi kualitas hubungan profesional antara konselor dengan klien. Konselor dan konseli

juga harus menyiapkan perlengkapan yang memadahi agar praktik konseling yang dilakukan

secara daring dapat dilakukan dengan nyaman. Dengan kata lain, penggunaan teknologi

informasi tetap memperhatikan prinsip dasar praktik konseling untuk mewujudkan hubungan

terapeutik antara konselor dan konseli, yakni hubungan kerja sama yang ditandai tukar-menukar

perilaku, perasaan, pikiran, dan pengalaman dalam membina hubungan yang erat yang

terapeutik (Stuart dan Sundeen, 2007).

Jika dilakukan dengan standar yang baik, penggunaan teknologi informasi dalam praktik

konseling memiliki banyak kelebihan, salah satunya dari sisi kecepatan dan aksesibilitas.

Konselor dan konseli akan lebih dimudahkan untuk melakukan komunikasi tanpa batasan waktu

dan tempat pertemuan. Menurut Shaw (dalam Prahesti & Wiyono, 2017), diantara kelebihan

konseling online adalah: dapat menangani konseli yang berada di lokasi yang terisolasi; dapat

membantu konseli yang tidak dapat keluar rumah karena sakit; sebagai media untuk konseli yang
enggan melakukan konseling secara tatap muka dan; dan memfasilitasi konseli yang lebih senang

mengekspresikan dirinya melalui tulisan.

Kelebihan praktik konseling yang menggunakan teknologi informasi makin terasa ketika

praktik dilakukan dengan pendekatan konseling kelompok. Konseling kelompok yang menurut

Harrison dapat dilakukan dengan 4-8 konseli dan 1-2 konselor dapat dilakukan tanpa harus

menghadirkan semua konseli dan dan keselor di satu tempat. Pendekatan kelompok sendiri

diperlukan dalam menangani prilaku anak yang berlebihan dalam menggunakan gadget. Sebab

anak-anak dalam menggunakan gadget biasanya memiliki keterikatan untuk berinteraksi dengan

cara yang terpola sebagai bagian dari identitas kelompoknya (Johnson, dalam Ralasari dan

Sukmawati: 2019)

Kelebihan penggunakan teknologi informasi juga terasa ketika menggunakan pendekatan

konseling keluarga. Seperti diungkapkan Golden dan Sherwood (dalam Fauzi Isra dkk: 2021)

permasalahan konseli dimungkinkan berkaitan dengan masalah keluarga, demikian juga dalam

kasus penggunaan gadget yang berlebihan oleh seorang anak. Karena itu penanganannya juga

perlu melibatkan anggota keluarga yang lain. Dengan kondisi seperti itu, konselor sekolah akan

lebih mudah menghadirkan semua anggota keluarga dengan menggunakan teknologi informasi.

Anila Umriana

No HP 081 5665 0404

Anda mungkin juga menyukai