Anda di halaman 1dari 70

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di era globalisasi saat ini perkembangan teknologi semakin hari

semakin meningkat. Dibuktikan dengan banyaknya penggunaan teknologi

gadget yang telah menyebar diberbagai macam kalangan masyarakat.

Kehadiran gadget memang sudah menjadi kebutuhan utaman baik dari

anak-anak maupun orang dewasa. Gadget tidak hanya sebagai alat untuk

berkomunikasi namun juga dapat membantu mempermudah melakukan

aktivitas-aktivitas lainnya (Machmud, K. 2018).

Salah satu jenis dari gadget yang sering digunakan oleh anak usia

prasekolah ialah smartphone. Penggunaan gadget tidak hanya digunakan

oleh orang dewasa atau anak remaja saja, namun sudah mulai digunakan

pada kalangan umur anak-anak khususnya anak prasekolah yang baru

berusia 3-6 tahun. Dalam hal ini, pola asuh orang tua menjadi peran yang

sangat penting dalam mengawasi anak menggunakan gadget, dimana kita

ketahui bahwa penggunaan gadget memiliki kemudahan dalam

mengoperasionalkan dan kecanggihan teknologi yang menarik pada gadget

menyebabkan anak-anak usia prasekolah sudah mampu untuk menggunakan

gadget sendiri (Nur Afini Khafsoh, 2017).

World Health Organization (WHO, 2014) melaporkan bahwa terdapat

5%-25% dari anak-anak usia prasekolah atau anak prasekolah menderita

gangguan perkembangan. Berbagai stimulasi yang mampu mempengaruhi

perkembangan anak, diantaranya yaitu gadget. Di zaman yang serba

1
2

canggih seperti ini kehadiran gadget memang sudah menjadi kebutuhan

utama bagi anak-anak sampai orang dewasa. Gadget tidak hanya sebagai

alat untuk berkomunikasi namun juga dapat membantu mempermudah

melakukan aktivitas-aktivitas lainnya.

Anak usia prasekolah merupakan masa kanak-kanak usia 3-6 tahun

yang hanya mengenal lingkungan sosial, bermain, dan mengembangkan

potensi yang telah dimilikinya, Kemampuan dalam berinteraksi sosial

sangat diperlukan pada anak usia prasekolah untuk perkembangan sosial

yang optimal, pada masa anak-anak dapat memiliki kebebasan berekspresi

tanpa diatur dan dihalanginya (Viandari & Susilawati, 2019).

Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak

mereka, karena dari merekalah anak mendapatkan pendidikan untuk

pertama kalinya dan dikatakan pendidik utama karena pendidikan dari orang

tua menjadi dasar bagi perkembangan dan kehidupan anak dikemudian hari

yang mengarahkan atau menuntun anak agar dapat menjadi pribadi yang

sesuai dengan harapan orang tua (Maulinda, 2019).

Menurut penelitian Anindya, M. (2017) Pola asuh yang diberikan

orang tua mengenai penggunaan gadget pada anak prasekolah akan

memberikan pengaruh positif/negatif. Gadget jika digunakan dengan tepat

akan memberikan manfaat yang sangat baik dan hal ini ditentukan oleh

peran orang tua untuk mencapainya. Perbedaan dalam penerapan pola asuh

pada anak akan menghasilkan proses tumbuh kembang yang berbeda pada

setiap anak. Pada saat ini, banyak sekali orang tua yang memanfaatkan

gadget untuk mendampingi anak-nya. Orang tua menganggap gadget


3

merupakan teman bermain anak yang aman dan memiliki pengawasan yang

mudah. Sehingga peran orang tua dalam mengawasi tumbuh kembang anak

digantikan oleh gadget, dan ketika anak bermain gadget mereka akan

menggunakan gadget tersebut tanpa adanya pengawasan dari orang tua.

Serta tidak adanya batasan dalam menggunakan gadget. Intensitas anak

bermain gadget paling tinggi adalah 1 hari sekali dengan durasi paling lama

30 menit, dan intensitas paling rendah adalah 3 hari sekali dengan durasi 30

menit.

Terkait dengan masalah diatas perlu adanya penerapan aturan dari

orang tua terhadap anaknya dalam penggunaan gadget. Hal ini dilakukan

agar gadget dapat digunakan dengan tepat dan efektif, karena jika tidak ada

penerapan aturan tersebut, maka penggunaan gadget akan disalahgunakan

serta berdampak buruk bagi proses tumbuh kembang anak.

Menurut pakar teknologi informasi dari Institut Teknologi Bandung

(ITB), Dimitri Mahayana, sekitar 5%-10% gadget mania terbiasa

menyentuh gadget-nya sebanyak 100-200 kali dalam sehari. Jika waktu

efektif manusia beraktifitas 16 atau 960 menit sehari, dengan demikian

orang yang kecanduan gadget akan menyentuh perangkatnya itu 4,8 menit

sekali (Wijanarko & Setiawati, 2016).

Indonesia termasuk dalam peringkat “lima besar” negara pengguna

gadget, khususnya smartphone. Data yang diambil tahun 2014 itu

menunjukkan bahwa pengguna aktif smartphone adalah sekitar 47 juta, atau

sekitar 14% dari seluruh pengguna handphone. Bila dilihat dari komposisi

usia, persentase pengguna gadget yang termasuk kategori usia anak-anak


4

dan remaja di Indonesia cukup tinggi, yaitu 79,5%. Survei yang dilakukan

oleh Kementrian Informasi dan UNICEF tahun 2014 itu menggambarkan

bahwa anak menggunakan gadget sebagian besar untuk mencari informasi,

hiburan, serta menjalin relasi sosial. Adapun survei yang dilakukan oleh

Indonesia Hottest Insight di tahun 2013 menunjukkan bahwa 40% anak

Indonesia sudah melek teknologi atau disebut juga dengan active internet

user (Wulandari, 2016).

Menurut penelitian Sunita & Mayasari (2018), mengatakan bahwa

anak menjadi nyaman dan senang bermain gadget dikarenakan berbagai

fitur dan aplikasi yang menarik, interaktif, fleksibel dan berbagai variasi

didalamnya sehingga semakin membuat anak ingin selalu menggunakan

bahkan dapat mengalami kecanduan pada gadget. Sujianti (2018) juga

mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan pengguna sosial

media yang paling aktif di Asia. Pada tahun 2011 penggunaan gadget pada

anak berusia 5 tahun berkisar angka 38%, kemudian mengalami

peningkatan menjadi 72% ditahun 2013, dan pada tahun 2015 meningkat

kembali menjadi 80%. gadget digunakan sebagai sarana bermain bagi anak,

23 % dari orang tua mengaku anaknya suka menggunakan gadget,

sedangkan 82% dari orang tua mengatakan bahwa anak mereka online

dijejaring sosial minimal satu kali dalam satu minggu.

Penggunaan gadget yang tidak dibatasi atau terlalu berlebihan, maka

akan memberikan dampak negatif pada anak prasekolah, contohnya yaitu

dapat menghambat proses tumbuh kembang anak, serta mampu menjadi

pengaruh terhadap kondisi fisik maupun psikologis anak. Menurut


5

Sukmawati (2019) penggunaan gadget pada anak mempunyai efek negatif

yaitu sebagai berikut: 1) Penurunan daya konsentrasi belajar, 2) Anak akan

mengalami nomophobia, nomophobia merupakan ketakutan yang berlebih

ketika seseorang tidak menggunakan gadget, 3) Memunculkan resiko

terjadinya gangguan kesehatan mata dan otak akibat radiasi yang

dikeluarkan oleh gadget, 4) Menghambat perkembangan bahasa anak,

karena anak menjadi enggan melakukan interaksi dengan lingkungan

sekitarnya akibat terlalu fokus pada gadget.

Pemakaian gadget yang tidak memiliki batasan dan penggunaan yang

terlalu lama pada anak dapat berdampak negatif bahkan dapat menyebabkan

kecanduan gadget. Beberapa dampak negatif yang ditimbulkan dari

kecanduan gadget adalah kurangnya kemampuan anak dalam berinteraksi

secara langsung dengan orang lain, bahaya radiasi, menurunnya kreativitas,

kemampuan motorik menurun, terganggunya pola tidur, obesitas, mudah

tersinggung, kecemasan meningkat dan bahkan depresi (Setiono et al.,

2017). Menurut Asosiasi dokter anak Amerika dan Canada, mengatakan

bahwa batasan durasi anak usia 3-5 tahun dalam bermain gadget yaitu

sekitar 1 jam per hari, dan 2 jam per hari untuk anak usia 6-18 tahun

(Anindya, 2017). Namun pada kenyataannya di Indonesia masih banyak

anak-anak yang menggunakan gadget 4-5 kali lebih banyak dari yang

seharusnya direkomendasikan.

Figur yang paling berpengaruh dalam mengatasi dan mencegah

dampak negatif dari penggunaan gadget adalah orang tua. Pola asuh yang

diberikan oleh orang tua berkaitan dengan penggunaan gadget pada anak.
6

Cara berkomunikasi orang tua kepada anak dapat mempengaruhi anak

dalam mematuhi orang tuanya. Penerapan pola asuh yang baik seperti pola

asuh demokratis dapat menciptakan hubungan yang baik kepada anak,

namun jika orang tua menerapkan pola asuh permisif dapat mengakibatkan

hubungan yang tidak baik dengan anak, misalnya anak akan menjadi bebas

sesuai keinginannya pada saat bermain gadget (Chandra, 2018).

Modifikasi pola asuh orang tua sangat diperlukan dalam mengawasi

dan memberikan batasan pada anak saat menggunakan gadget sehingga

dapat meminimalisir tingkat kecanduan gadget serta dampak negatif yang

lain pada anak prasekolah. Dimana masa tumbuh kembang pada usia ini

dapat mempengaruhi perilaku pada tahap perkembangan selanjutnya di

masa depan.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Taman

Kanak-Kanak Maraqittalimat (TK.MT) Tembeng Putik pada tanggal 12

Oktober 2021 wali murid mengatakan bahwa adanya berbagai gaya

pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anak, khususnya dalam

memberikan pendampingan penggunaan gadget dalam kehidupan sehari-

hari. Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti

terhadap wali murid terdapat beberapa pendapat mengenai pengawasan

yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya yang bermain gadget.

Salah satu dari wali murid membiarkan anaknya bermain gadget tanpa

pengawasan sehingga anak tersebut menjadi lupa waktu hingga

menyebabkan anak tersebut mengalami gangguan psikologi atau mengalami

keterlambatan dalam sosial dan emosionalnya.


7

Wali murid lainnya mengatakan bahwa anak menjadi sangat

ketergantungan pada gadget dan sering meminta untuk bermain game atau

youtube, sehingga anak menjadi pribadi yang kurang mampu bersosialisasi

di lingkungan sekitarnya, serta kurang tanggap terhadap himbauan orang tua

atau pun keluarga. Berbeda halnya dengan wali murid yang membatasi

waktu penggunaan gadget kepada anak, dengan kata lain memperbolehkan

anak bermain gadget hanya ketika hari libur saja dan tidak memberikannya

saat hari sekolah, sehingga orang tua tidak merasakan adanya perubahan

pada anak selama mengenal gadget.

Wali murid lainnya juga mengatakan bahwa mereka memberikan

pendampingan terhadap anak dalam menggunakan gadget, hal tersebut

dilakukan agar anak tidak memiliki pandangan yang keliru terhadap

informasi yang diterima dari gadget itu sendiri, sehingga anak dapat tumbuh

menjadi pribadi yang high technology dan cepat menyerap informasi. Selain

itu, terdapat gaya pengasuhan berbeda dari salah seorang wali murid,

dimana orang tua memberikan kebebasan waktu penggunaan gadget pada

anak, hal tersebut menyebabkan konsenterasi belajar anak menurun karena

lebih memilih bermain gadget dibandingkan belajar.

Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti ingin meneliti tentang

hubungan pola asuh orang tua dengan kebebasan penggunaan gadget pada

anak usia prasekolah di Taman Kanak-Kanak Maraqittalimat (TK.MT)

Tembeng Putik.
8

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan pola asuh orang tua dengan kebebasan

penggunaan gadget pada anak usia prasekolah di Taman Kanak-Kanak

Maraqittalimat (TK.MT) Tembeng Putik.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Menganalisis hubungan pola asuh orang tua dengan kebebasan

penggunaan gadget pada anak usia prasekolah di Taman Kanak-Kanak

Maraqittalimat (TK.MT) Tembeng Putik.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik orang tua pada anak usia prasekolah

Taman Kanak-Kanak Maraqittalimat (TK.MT) Tembeng Putik.

2. Mengidentifikasi pola asuh orang tua dengan kebebasan penggunaan

gadget pada anak usia prasekolah di Taman Kanak-Kanak

Maraqittalimat (TK.MT) Tembeng Putik.

3. Mengidentifikasi kebebasan penggunaan gadget pada anak usia

prasekolah di Taman Kanak-Kanak Maraqittalimat (TK.MT) Tembeng

Putik.
9

4. Menganalisa hubungan pola asuh orang tua dengan kebebasan

penggunaan gadget pada anak usia prasekolah di Taman Kanak-Kanak

Maraqittalimat (TK.MT) Tembeng Putik.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian diharapkan mampu menambah wawasan penelitian di

bidang perkembangan teknologi dan kebebasan penggunaan gadget pada

anak usia prasekolah di Taman Kanak-Kanak Maraqittalimat (TK.MT)

Tembeng Putik sehingga dapat dijadikan landasan bagi penelitian sejenis.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Responden Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

gambaran mengenai pola asuh orang tua dan kebebasan penggunaan

gadget pada anak usia prasekolah di Taman Kanak-Kanak

Maraqittalimat (TK.MT) Tembeng Putik.

2. Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan

bagi praktisi keperawatan dalam melakukan pelayanan keperawatan

pada masyarakat tentang pola asuh yang tepat dalam mengawasi anak

saat menggunaan gadget serta dapat mengembangkan perencanaan

keperawatan pediatrik sosial.


10

3. Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini dapat memberi informasi

atau gambaran untuk pengembangan penelitian selanjutnya yang

berhubungan dengan pola asuh orang tua dengan kebebasan

penggunaan gadget pada anak usia prasekolah di Taman Kanak-Kanak

Maraqittalimat (TK.MT) Tembeng Putik.

1.5 Keaslian Penelitian

Metode Hasil
No Peneliti Judul Perbedaan Persamaan
Penelitian Penelitian

1 Widya Pola Asuh Metode Hasil analisis Metode penelitian - Kuan


Husada, 1 Orang Tua penelitian yang penelitian yang digunakan titatif
Juli 2020 Berhubungan digunakan diperoleh p- adalah kuantitatif - Pend
Dengan adalah deskriptif value sebesar korelasi. Dengan ekata
n
Lamanya korelasi. Desain 0,000 nilai ini menggunkan cross
Durasi penelitian ini adalah lebih tehnik sampel sectio
Penggunaan menggunakan kecil dari p < adalah total nal
gadget Pada pendekatan 0,05 sehingga sampling. Analisa
Anak Usia cross sectional. dapat data yang
Prasekolah Teknik sampling disimpulkan digunakan adalah
yang digunakan bahwa ada spearman rank.
adalah random hubungan
sampling. antara pola asuh
Analisa data orang tua
yang dilakukan dengan durasi
syarat chi- penggunaan
square. gadget pada
anak
prasekolah.
11

2 Ayunda Kontribusi Pola Penelitian ini Dari hasil Metode penelitian - Kuan
Yustina, Asuh Orang menggunakan penelitian yang yang digunakan titatif
2021 Tua Dalam menggunakan menggunakan adalah kuantitatif - Pend
Penggunaan metode ex post uji regresi korelasi. Dengan ekata
n
Gadget facto. Sampel linear sederhana menggunkan cross
Terhadap dalam penelitian diperoleh t tehnik sampel sectio
Perkembangan ini sebanyak 27 hitung sebesar adalah total nal
Sosial responden. 3,134 dengan p sampling. Analisa
Emosional Dalam value sebesar data yang
Anak Di TK penelitian ini 0,004. digunakan adalah
AISYIYAH menggunakan spearman rank
BUSTANUL 2 analisis statistik
JOMBANG regresi linear

3 Widiastiti Intensitas Metode yang Hasil Metode penelitian - Kuan


& Penggunaan digunakan perhitungan yang digunakan titatif
Agustika, gadget Oleh adalah metode pada penelitian adalah kuantitatif
Juli 2020 Anak korelasi dan ex- menunjukan korelasi. Dengan
Prasekolah post facto. dimana r hitung menggunkan
Ditinjau Dari Sampel yang sebesar 0,151 tehnik sampel
Pola Asuh digunakan dan r tabel adalah total
Orang Tua adalah dengan N=216 sampling. Analisa
multistage pada taraf data yang
random signifikan 5% digunakan adalah
sampling yang sebesar 0,138 spearman rank.
merupakan jadi r hitung
perpaduan lebih besar dari
antara dua r tabel
teknik sampling (0,151>0,138).
yaitu teknik
clusters
sampling dan
purposional
random
sampling.
Teknik analisa
data yang
digunakan
adalah korelasi
product
moment.
12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Anak Usia Prasekolah

2.1.1 Definisi Prasekolah

Anak usia prasekolah adalah anak dengan usia mulai dari 3 hingga

dengan 6 tahun (Arnis, 2016). Masa prasekolah merupakan masa saat anak

berusia 3 sampai dengan 5 tahun (Novieastari dkk., 2019). Menurut

Markham (2019), usia 3 sampai 5 tahun biasa disebut dengan The Wonder

Years yang berarti periode ketika keingintahuan anak sangat tinggi,

perubahan suasana hati yang pesat dari gembira ke menangis, dari

mengamuk ke memeluk. Anak prasekolah merupakan seorang penjelajah,

peneliti, ilmuwan, dan seniman. Mereka suka mengeksplorasi dan belajar

bagaimana menjadi seorang teman, bagaimana berinteraksi dengan dunia,

dan bagaimana mengontrol pikiran, tubuh, serta emosinya. Periode ini

menciptakan sebuah fondasi yang tidak terbatas dan aman untuk masa kecil

anak dengan sedikit bantuan dari orang tua.

Anak prasekolah adalah pribadi yang mempunyai berbagai macam

potensi. Potensi-potensi itu dirangsang dan dikembangkan agar pribadi anak

tersebut berkembang secara optimal. Tertunda atau terhambatnya

pengembangan potensi-potensi itu akan mengakibatkan timbulnya masalah.

Taman kanak-kanak adalah salah satu bentuk pendidikan prasekolah yang

menyediakan program pendidikan dasar (Supartini, 2004).


12

Dalam Amandemen UUD 1945 pasal 28 B ayat 2 dinyatakan bahwa

“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang

serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dalam

UU NO. 23 Tahun 2002 Pasal 9 Ayat


11 1 tentang Perlindungan Anak

dinyatakan bahwa “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan

pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat

kecerdasarnya sesuai dengan minat dan bakatnya”.

Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, Pasal 12 ayat (2) menyebutkan: “Selain jenjang pendidikan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diselenggarakan pendidikan

prasekolah”, adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk

mengembangkan pribadi, pengetahuan, dan keterampilan yang melandasi

pendidikan dasar serta mengembangkan diri secara utuh sesuai dengan asas

pendidikan sedini mungkin dan seumur hidup.

Ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang

Sistem Pendidikan Nasional tersebut pada prinsipnya menetapkan bahwa

selain jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan

tinggi, dapat diselenggarakan pendidikan prasekolah, yang syarat dan tata

cara pendirian, bentuk satuan, lama pendidikan serta penyelenggaraannya

ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Sehubungan dengan itu, Peraturan

Pemerintah ini disusun untuk mengatur pendidikan prasekolah. Pengaturan

tersebut sangat penting dalam usaha memberikan landasan bagi

penyelenggaraan pendidikan prasekolah, sehingga arah dan tujuan


13

pendidikan prasekolah dapat mencapai tujuan pendidikan sebagaimana yang

ditetapkan dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dasar-dasar sistem pendidikan Taman Siswa bagi anak-anak di bawah

umur 7 tahun ini memodifikasi metode Frobel dan metode Montessori, dan

menyesuaikannya dengan adat Timur. Taman Indria inilah yang merupakan

awal mula terbentuknya sekolah Taman Kanak-kanak di Indonesia. Sejak

tahun 1957 dan sejak PP nomor 27 tahun 1990, TK di Indonesia telah

sangat pesat dalam segi jumlah sampai sekarang. Menurut PP tersebut:

pendidikan prasekolah berguna untuk membantu pertumbuhan dan

perkembangan jasmani dan rohani anak didik di luar lingkungan keluarga

sebelum memasuki pendidikan dasar, yang diselenggarakan di jalur

pendidikan sekolah atau di jalur pendidikan luar sekolah, dan Taman

Kanak-kanak adalah salah satu bentuk pendidikan prasekolah yang

menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia empat tahun sampai

memasuki pendidikan dasar. Pada tahun 2000, pemerintah mulai

memperhatikan TK, dan sejak tahun 2002 muncullah berbagai variasi TK

seperti TK Plus, Terpadu, Unggul dan TK Full Day; namun Yayasan Beribu

tetap sebagai pelopor berdirinya pendidikan guru TK di Indonesia.

Tujuan pendidikan prasekolah menurut pasal 3 PP No. 27 tahun 1990

adalah unuk membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap,

pengetahuan, keterampilan dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik

dalam menyesuaikan di dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan dan

perkembangan selanjutnya. Pasal 1. Ayat 14 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 mengatakan bahwa tujuan pendidikan


14

prasekolah adalah untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan

jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki

pendidikan lebih lanjut. Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 27 Tahun 1990 juga dikatakan bahwa pendidikan prasekolah

bertujuan untuk membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap,

pengetahuan, keterampilan, dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik

dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan

serta perkembangan selanjutnya.

Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi Tahun 2004, tujuan taman

kanak-kanak sebagai sarana pendidikan adalah untuk membantu anak didik

mengembangkan berbagai potensi baik psikis dan fisik yang meliputi moral

dan nilai-nilai agama, sosial emosioal, kognitif, bahasa, fisik/motorik,

kemandirian dan seni untuk siap memasuki pendidikan dasar. Dalam

garisgaris besar program kegiatan belajar TK (Depdikbud 1995) disebutkan

bahwa fungsi kegiatan belajar di taman kanak-kanak adalah untuk

mengembangkan seluruh kemampuan yang dimiliki anak sesuai dengan

tahap perkembangannya, mengenalkan anak dunia sekitar, mengembangkan

sosialisasi anak, mengenalkan peraturan dan menanamkan disiplin pada

anak, dan memberikan kesempatan kepada anak untuk menikmati masa

bermainnya.

Sedangkan fungsi pendidikan taman kanak-kanak dan Raudatul athfal

menurut kurikulum berbasis kompetensi tahun 2004 adalah mengenalkan

peraturan dan menanamkan disiplin pada anak, mengenalkan anak dengan

dunia sekitar, menumbuhkan sikap dan perilaku yang baik,


15

mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi,

mengembangkan keterampilan, kereativitas dan kemampuan yang dimiliki

anak, menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan dasar.

Berdasarkan UU dan peraturan pemerintah serta menurut ahli di atas

maka penulis menyimpulkan bahwa pendidikan prasekolah tujuannya

adalah memaksimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak secara

komprehensif dan maksimal. Pertumbuhan dan perkembangan anak harus

diarahkan dalam meletakkan pondasi dasar yang tepat bagi pertumbuhan

dan perkembangan anak, yaitu pertumbuhan dan perkembangan fisik, daya

pikir, daya cipta, sosial emosional, bahasa dan komunikasi yang seimbang

sebagai dasar pembentukan pribadi yang seutuhnya. Anak diberikan

peluang untuk bermain dan pengembangan sikap positif menuju diri dan

orang lain dan pengembangan dipercaya dan harga diri.

Kegiatan pendidikan anak prasekolah yang dilakukan dalam bentuk

bermain sambil belajar, adapun program pendidikan anak Prasekolah ini ada

beberapa jenis yang sering kita jumpai, yaitu Taman Kanak-Kanak (TK),

tempat penitipan anak (TPA), Raudatul Atfhal (RA), Pendidikan Anak Usia

Dini (PAUD), Kelompok Bermain (KB), dan lainnya. Pendidikan

prasekolah ini akan dalam prakteknya adalah untuk memberikan stimulus

perkembangan anak, baik perkembangan kognitif anak, perkembangan

bahasa anak, maupun perkembangan emosi dan sosial anak.

Pendidikan yang tepat untuk memberikan stimulasi pada anak usia

prasekolah yaitu PAUD. Studi tentang kesiapan bersekolah di enam

kabupaten di Indonesia menunjukkan bahwa program PAUD telah


16

membantu mengembangkan kompetensi psikososial dan kognitif

(Kementerian Pendidikan Nasional, 2012). Hal ini didukung penelitian

Wulandari (2009) dengan judul Perbedaan Kematangan Sosial Anak

Ditinjau Dari Keikutsertaan Pendidikan Prasekolah (Play Group) dimana

pendidikan prasekolah merupakan pemberian upaya untuk menstimulasi

perkembangan anak. Oleh sebab itu layanan pendidikan anak usia dini

merupakan dasar yang sangat penting dan berpengaruh terhadap

perkembangan anak hingga dewasa.

Target Angka Partisipasi Kasar (APK) 75% pada tahun 2015 yang

dimiliki Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sesuai dengan

kesepakatan pada Konvensi Dakkar tahun 2000, melalui Program 1 Desa 1

PAUD. Hingga akhir tahun 2013, dari total 77.559 desa se-Indonesia,

sebanyak 53.832 desa sudah terlayani PAUD. Target Renstra dan capaian

PAUD, menghasilkan prestasi yang sangat baik dengan melihat indikator

kerja utama Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD secara nasional pada

tahun 2012 memiliki target APK 63,60, terealisasikan 63,01%, tahun 2013

target APK 67,40%, terealisasikan 69,4%, sedangkan tahun 2014

Kemdikbud mencapai target APK 72,90%. Peningkatan APK PAUD

tercermin dari jumlah lembaga PAUD yang terus bertambah setiap tahun

(KemDikBud, 2014).

Yusuf (2009) menjelaskan bahwa masa usia prasekolah diperinci

menjadi dua masa, yaitu:

1) Masa vital
17

Pada masa ini, individu mengggunakan fungsi-fungsi biologis untuk

menemukan berbagai hal dalam dunianya. Untuk masa belajar, Freud

menanamkan tahun pertama dalam kehidupan individu itu sebagai masa

oral (mulut), karena mulut dipandang sebagai sumber kenikmatan dan

ketidaknikmatan. Anak memasukan apa saja yang dijumpai ke dalam

mulutnya itu, tidaklah karena mulut merupakan sumber kenikmatan

utama, tetapi karena waktu itu mulut merupakan alat untuk melakukan

eksplorasi (penelitian) dan belajar. Pada tahun kedua anak telah belajar

berjalan dengan mulai berjalan anak akan mulai menguasai ruang,

mula-mula ruang tempatnya saja, kemudian ruang dekat dan

selanjutnya ruang yang jauh. Pada tahun kedua ini umumnya terjadi

pembiasaan terhadap kebersihan (kesehatan). Melalui latihan

kebersihan ini, anak belajar mengendalikan impuls-impuls atau

dorongan-dorongan yang datang dari dalam dirinya (misalnya buang air

kecil dan air besar).

2) Masa estetik

Pada masa ini dianggap sebagai masa perkembangan rasa keindahan.

Kata estetik disini dalam arti bahwa pada masa ini, perkembangan anak

yang terutama adalah fungsi panca inderanya. Kegiatan eksploitas dan

belajar anak juga terutama menggunakan panca inderanya. Pada masa

ini, indera masih peka, karena itu mentessori menciptakan bermacam-

macam alat permainan untuk melatih panca inderanya.


18

2.2 Konsep Kebebasan

2.2.1 Definisi Kebebasan

Kata "bebas" atau kebebasan" telah lama menjadi pembahasan para

ahli, baik di bidang moral, hukum maupun di bidang politik. Istilah yang

digunakan adalah istilah "liberty" dan "freedom" (4, 1964, p. 266-267)

Menurut Robert K. Woetzel (1 3, 1966, p. 7) masalah kebebasan sudah

bukan semata-mata menjadi pembahasan para filsuf, tetapi juga para ahli

politik, sosial dan ekonomi. Hal ini sudah tentu mengakibatkan pengertian

kebebasan menjadi bermakna ganda sebagaimana dikemukakan oleh

Harol~H. Titus (11 " 1984, .po 97) bahwa istilah kebebasan, yaitu kebebasan

moral yang berarti kebebasan untuk memilih antara beberapa alternatif bagi

perbuatan. Kebebasan moral terdahulu dikenal dengan sebutan kehendak

bebas.

Dalam buku Etika, menurut Bertens (1997:92-94) istilah

“kebebasan” merupakan hal yang dapat dirasakan tetapi sulit dijawab bila

ditanyakan apa yang dimaksud atau apa definisi dari kebebasan tersebut.

Dalam konteks pengetahuan ilmiah-empiris dikatakan bahwa membuktikan

adanya kebebasan merupakan hal yang tidak mungkin. Dalam hidup manusia,

kebebasan merupakan suatu realitas yang kompleks. Bahkan menurut Dister


19

(1988:40-46), istilah “kebebasan” dimaknai secara berbeda-beda dan

bahkan ketika kita menunjuk pada satu peristiwa yang sama. Selanjutnya

Dister mengatakan bahwa bila kata “bebas” hanya mempunyai satu arti

saja maka tentu saja apa yang dimaksud Acton dan Roesseau merupakan hal

yang bertentangan. Acton mengatakan bahwa manusia sekarang menjadi

lebih bebas sedangkan Roesseau mengatakan manusia sekarang menjadi lebih

tidak bebas. Interpretasi akan makna “bebas” ini menjadi sedikit jelas

ketika istilah ini harus di hubungkan dengan kata lain yaitu ” dari atau

untuk”. Oleh karena itu secara umum istilah” kebebasan biasanya

dikaitkan dengan tiadanya

penghalang/pembatas/ikatan/paksaan/hambatan/kewajiban dari hal tertentu

atau untuk melakukan sesuatu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bebas berarti lepas sama sekali

(tidak terhalang, terganggu, dan lain sebagainya sehingga dapat bergerak,

berbicara, dan berbuat dengan leluasa). Membebaskan bermakna melepaskan

diri dari ikatan, tuntutan, tekanan, hukuman, kekuasaan, dan lain sebagainya.

Sedangkan kebebasan adalah kemerdekaan atau dalam keadaan bebas.

Menurut Loren Bagus, dalam sejarah filsafat dapat dibedakan setidaknya ada

empat macam arti kebebasan. Walaupun sebenarnya tidak ada kesepakatan

mengenai arti kebebasan yang digunakan secara amat luas, antara lain:

1. Kebebasan bermakna pada ide pilihan yang berarti. Artinya, kebebasan

merupakan daya seleksi terhadap salah satu dari dua atau lebih alternatif

(kemungkinan).
20

2. Kebebasan berarti konsisten dengan ajaran-ajaran determinisme

(mengalir begitu saja), mengidentikkan kebebasan dengan berbuat

seturut kemauan kita. Bila kemauan dibenarkan oleh tindakan kita

sendiri, sekalipun adanya kemauan itu ditentukan oleh seperangkat

sebab. Kita dikatakan bebas menurut pandangan ini.

3. Kebebasan dipahami berpusat pada tindakan yang lahir dari motif-motif

internal dan bukan eksternal. Alternatif ini menurut suatu doktrin tentang

manusia sedemikian rupa, sehingga manusia mempunayai hakikat

dasariah, atau diri, yang memungkinkan bertindak, dan bukan bertindak

sesuai dengan dunia luar.

Kebebasan berarti setiap orang dapat melakukan segala sesuatu

menurut kehendak hatinya dan tentu saja dengan bijaksana. Prinsip umum

keadilan yang mendasari dan menerangkan berbagai keputusan moral yang

sungguh-sungguh dipertimbangkan dalam keadaan-keadaan khusus.

Kebebasan merupakan salah satu hak dasar dari semua individu. Setiap

manusia berhak atas posisinya sebagai individu yang memiliki hak-hak

dasarnya seperti bertindak, berpikir dan berinteraksi dengan siapapun.

Kebebasan ini yang menurut Paul Sieghart adalah tentang memanusiakan

keingintahuan kita, mendapatkan informasi tentang sekitar kita,

mengkonstruksikan segala ide, keyakinan dan mimpi, cara melihat dunia,

bertukar pikiran, menyampaikan isi pendapat sebagai hasil pemikiran,

mempelajari pengalaman serta berbagai hal di bidang budaya, sosial ilmiah

atau seni. Hal ini yang membedakan manusia dibandingkan makhluk hidup

lainnya yaitu kekuatan atas otonomi dan kebebasannya sendiri. Meski


21

demikian, terdapat celah yang membatasi kebebasannya itu, yaitu kebebasan

orang lain. Hal ini nantinya harus membuat manusia bertoleransi terhadap

hak-hak dari individu lain (Faridah S. 2019). Dua prinsip utama yang erat

dengan prinsip kebebasan. Setiap orang pada dasarnya memiliki hak yang

sama sebagai sebuah dasar kebebasan dan berlaku pula pada orang lain.

Anak usia prasekolah membutuhkan kebebasan untuk bergerak kesana

kemari dan mempelajari lingkungan, dengan diberi kesempatan dan didorong

untuk melakukan semuanya dengan bebas maka lingkungan yang penuh

rangsangan ini akan membantu anak untuk mengembangkan rasa percaya

diri. Setelah anak menyadari dirinya sebagai pribadi yang terpisah dari

ibunya, anak tidak lagi dapat menerima kontrol orang tua dengan mudah anak

ingin menegaskan dirinya sebagai pribadi yang mandiri. Di sisi lain kadang

anak belum memahami banyak hal dan sering ingin melakukan sesuatu diluar

batas kemampuan fisik sehingga anak sering mengucapkan kata “tidak”

sebenarnya kata tersebut merupakan ungkapan dari kemampuan yang baru

saja ditemukan, yaitu kemampuan untuk memilih. Anak suka sekali melatih

kemampuan untuk memilih meskipun anak tidak tahu apa yang sebenarnya

diinginkan, misalnya memilih baju yang akan dipakai. Sebagai orang tua,

dapat membantu anak mengatasi pilihan tersebut dengan menyederhanakan

pilihan yang ada, tetapi anak pada usia prasekolah merasa dapat mandiri

maka anak akan melakukan segala sesuatunya sendiri dan tidak mau kalau

dibantu orang lain. Dalam hal ini orang tua memberi kesempatan pada anak

untuk melakukannya sendiri (Subrata, 1997).

2.3 Konsep Gadget


22

2.3.1 Definisi Gadget

Gadget merupakan sebuah istilah dari bahasa Inggris yaitu suatu

benda atau alat elektronik yang berbentuk kecil namun memiliki berbagai

macam fungsi khusus, tetapi biasa diasosiasikan sebagai sebuah inovasi baru

(Hafiz, 2017). Pendapat lain mengenai pengartian gadget adalah perangkat

elektronik kecil yang memiliki tujuan dan fungsi khusus untuk mengunduh

suatu informasi-informasi terbaru dengan berbagai teknologi maupun fitur-

fitur terbaru, sehingga membuat hidup manusia menjadi lebih praktis

(Setianingsih et al., 2017).

Macam-macam jenis dari gadget sendiri adalah komputer atau laptop,

tablet PC, dan telepon seluler atau smartphone. Gadget menjadi salah satu

media teknologi yang sangat berperan pada era globalisasi saat ini dan

bukan lagi menjadi benda asing untuk semua orang yang berada di

perkotaan maupun di pedesaan. Setiap orang pada saat ini telah mampu

mengoperasikan gadget dengan baik dari berbagai golongan masyarakat

usia tua, dewasa, remaja dan anak-anak. Pada awalnya gadget difokuskan

sebagai media komunikasi tetapi semakin berkembangnya zaman gadget

menjadi semakin canggih dengan teknologi touchscreen dan berisi dengan

berbagai macam aplikasi didalamnya seperti games dan youtube. Karena

adanya kedua fitur tersebut menjadikan anak sangat menyukai untuk

bermain gadget, sehingga hal tersebut dapat menyebabkan anak berlama-

lama untuk menggunakan gadget (Novitasari, 2016).

Gadget yang digunakan oleh para kelompok anak usia dini memiliki

dampak negatif yang akan mengakibatkan semakin memprihatinkan


23

perkembangan anak, anak-anak yang terlalu sering beradaptasi dengan

gawai akan lebih mudah menemukan fitur-fitur yang belum sepatutnya

ditonton oleh anak sehingga akan menganggu perkembangan anak, fiturfitur

tersebut jika belum difilter dengan usia anak juga akan mengakibatkan

gangguan pada psikologis anak itu sendiri (Novitasari & Khotimah, 2016).

Fungsi setiap gadget itu berbeda-beda, seperti smartphone

kegunaannya dapat menghubungi seseorang dari jarak yang dekat hingga

yang jauh sehingga seberapa jauh jarak orang yang akan kita jangkau maka

akan terasa dekat jika dapat berkomunikasi menggunakan gadget. Dengan

keunggulan gadget yang begitu banyak, ketertarikan masyarakat untuk

menggunakan semakin meningkat. Faktanya gawai tidak saja dikenal

dikalangan remaja (usia 12-21 tahun), dewasa atau lanjut usia (usia 60 tahun

keatas), namun dikenal juga pada anak-anak (usia 7-11 tahun) dan gadget

juga sudah diperkenalkan oleh anak (usia 3-6 tahun) yang seharusnya belum

bisa dikenalkan namun sekarang sudah tidak asing lagi bagi anak umur 3-6

tahun ini (Novitasari & Khotimah, 2016).

Disamping memiliki dampak negatif tetapi gadget tetap dapat

menawarkan kemudahan dan berbagai variasi dalam proses anak

mempelajari banyak hal (Alia & Irwansyah, 2018). Menurut penelitian yang

dilakukan Machmud (2018) menyebutkan bahwa dampak positif dari

penggunaan gadget, khususnya oleh anak diantaranya dapat melatih daya

ingat dan pemahaman anak dalam berilmu, misalnya pada penambahan kosa

kata anak, dengan adanya aplikasi yang menarik dapat membuat anak lebih

tertarik dalam belajar karena dilengkapi dengan berbagai musik dan


24

gambar. Anak-anak juga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk

memahami suatu materi.

Para orang tua mengetahui dan percaya pada manfaat gadget,

terutama di bidang pendidikan, teknologi ini digunakan sebagai media

pembelajaran elektronik. Penelitian oleh Tirtayani et al. (2017) menyatakan

bahwa media elektronik merupakan media yang tepat dan baik untuk

merangsang anak dalam melakukan proses belajar, alat pembelajaran yang

dimanipulasi semenarik mungkin dapat meningkatkan minat anak serta

dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, perhatian dan sikap siswa sehingga

memberikan dampak yang positif dari proses dan tujuan pembelajaran.

Selain itu dengan memanipulasi media dalam bentuk animasi bergerak

maupun audio visual anak lebih mengerti dan tujuan pembelajaran mudah

tercapai. Penggunaan informasi dan teknologi juga menjadi tuntunan.

Namun untuk merancang media pembelajaran elektronik memerlukan

kemampuan khusus ini yang menimbulkan berbagai pandangan mengenai

penggunaanya. Menurut Amaliah & Setyowati (2019) bahwa orang tua

memiliki pemahaman mengenai penggunaan media elektronik sangat

berguna dan memudahkan pekerjaan sehingga mereka cendrung akan

memiliki motivasi yang tinggi dalam belajar. Pemahaman yang baik dari

orang tua ini tidak terlepas dari faktor personal yang dimilikinya seperti

pendidikannya.

Menurut Zulfitria (2018) untuk mengurangi penggunaan gadget pada

anak dapat ditentukan dengan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua,

khususnya ketika anak sedang menggunakan gadget-nya. Orang tua


25

hendaknya memberikan pengertian khusus mengenai cara menggunakan

gawai itu sendiri sehingga anak dapat membatasi penggunaan gawainya

tersebut. Anak-anak yang orangtuanya kekurangan informasi dapat dengan

mudah menyalahgunakan gawai yang mereka miliki, sehingga anak-anak

lupa waktu untuk memenuhi kewajiban akademik mereka sebagai siswa

atau memikul kewajiban di rumah. Hal-hal kecil seperti ini dapat membantu

mengatasi penggunaan gadget yang tidak penting bagi anak-anak.

2.3.2 Penggunaan Gadget pada Anak Prasekolah

Penggunaan gadget pada orang dewasa dan anak-anak memiliki

sebuah perbedaan. Pada orang dewasa gadget biasa digunakan sebagai alat

komunikasi, media untuk browsing atau mencari informasi, chatting, sosial

media, youtube, games, membaca berita online, dan masih banyak lagi

hanya dengan cara mengoneksikan gadget pada internet. Sedangkan pada

usia anak-anak lebih mempunyai batasan seperti digunakan sebagai media

pembelajaran, games dan menonton video di youtube. Intensitas

penggunaan gadget antara dewasa dan anak-anak pun mempunyai

perbedaan, yakni orang dewasa biasa menggunakan lebih dari 1-4 jam

secara berkali-kali dalam menggunakan gadget sehari-hari. Hal tersebut

berbeda dengan penggunaan gadget pada anak usia prasekolah, karena

memiliki batas waktu dan intensitas dalam menggunakan gadget. Rata-rata

anak menggunakan gadget ketika berada di rumah, yaitu setelah anak

pulang sekolah dan pada saat makan, dan saat anak menjelang tidur.

Penggunaan gadget pada anak memerlukan adanya pembatasan dan


26

pengawasan dari orang tua maupun keluarga dimana saja ketika mereka

menggunakannya (Hafiz, 2017).

Orang tua perlu memberi pertimbangan kepada anak usia prasekolah

untuk berapa banyak waktu yang diperbolehkan kepada anak saat

menggunakan gadget, dikarenakan total lama penggunaan gadget dapat

mempengaruhi perkembangan pada anak. Berdasarkan Asosiasi dokter anak

Amerika dan Canada, mengatakan bahwa anak usia 3-5 tahun diberikan

batasan durasi bermain gadget sekitar 1 jam per hari, dan untuk anak usia 6-

18 tahun selama 2 jam perhari (Anindya, 2017).

2.3.3 Dampak Gadget untuk Anak Prasekolah

Perkembangan teknologi pada saat ini bagaikan memiliki dua sisi

mata uang, disamping dapat memberikan dampak positif terhadap

kemampuan pada anak akan tetapi jika penggunaan gadget tidak digunakan

secara bijak maka dapat pula menimbulkan dampak negatif (Alamiyah Syifa

Syarifah & Zamzamy Ahmad, 2017).

Ada beberapa manfaat atau dampak positif karena penggunaan

gadget, diantaranya adalah:

1. Membangun kreatifitas dengan berbagai media aplikasi yang mudah

diakses pada gadget dapat memberikan manfaat bagi anak sebagai

media belajar. Sebagai contoh terdapat aplikasi menebak warna dan

dapat membantu anak mempelajari tentang kemampuan dalam

mengenali warna-warna. Manfaat lain dari media pada gadget yaitu

dapat melatih kemampuan anak dalam berbahasa asing karena tanpa


27

disadari media program yang digunakan anak adalah menggunakan

bahasa asing. Dengan kemudahan akses melalui gadget akan

memudahkan anak untuk melihat berbagai film dan video, sehingga hal

tersebut secara tidak langsung telah menjadikan anak terpapar dengan

bahasa asing sedari dini.

2. Sumber informasi dan komunikasi, salah satu manfaat dari gadget

adalah dapat digunakan sebagai media untuk mendapatkan suatu

informasi. Dengan mengoneksikan gadget dan internet yang hanya

butuh dengan satu klik saja, pengguna dapat memperoleh informasi

yang dibutuhkan. Anak dapat dengan mudah menggunakan fasilitas ini

ketika mereka sedang mempelajari hal baru. Selain itu, manfaat utama

dari gadget adalah media untuk berkomunikasi. Perkembangan

teknologi pada saat ini menyebabkan variasi lebih banyak sebagai

media komunikasi. Hal tersebut memudahkan pengguna untuk

berkomunikasi dengan orang lain seperti halnya anak dapat mengirim

pesan gambar atau dapat bertatap muka melalui fitur video call dengan

orang tua dan keluarga mereka pada saat berjauhan. Tidak hanya

memberikan dampak positif saja namun gadget juga dapat

menyebabkan beberapa dampak negatif yaitu bisa menimbulkan

masalah perilaku pada anak, menyebabkan masalah kesehatan fisik

yaitu dimana ketika anak terlalu asyik menggunakan gadget maka

aktivitas yang dilakukan akan berkurang sehingga hal tersebut menjadi

faktor risiko anak menjadi obesitas atau kegemukan. Disamping itu

dampak dari penggunaan gadget secara berlebihan akan membuat anak

terlalu lama diam sehingga dapat mengganggu perkembangan anak.


28

Pada anak usia dini merupakan tahap perkembangan motorik yang

mengharuskan anak banyak bergerak sehingga jika anak cenderung

diam maka akan menghambat perkembangan motorik, menghambat

perkembangan bahasa dan cara bersosialisasi dengan orang lain

menjadi terhambat.

Dampak yang perlu diketahui oleh orang tua dampak yang

ditimbulkan gadget sebelum memutuskan untuk memberikan gadget pada

anak antara lain:

1. Kesehatan mata pada anak yang menggunakan gadget terlalu lama dan

secara terus-menerus hal tersebut dapat mengakibatkan radiasi yang

berbahaya sehingga dapat menyebabkan beberapa masalah pada mata

anak, seperti: mata merah, mata merasa seperti lelah, mata terasa

kering, merasa buram ketika melihat dan dapat terjadi iritasi pada mata.

2. Ketika anak-anak terlalu senang menggunakan gadget seperti halnya

sedang bermain game dan menonton video di youtube akan membuat

kebiasaan jam tidur anak menjadi terganggu. Rata-rata anak terbiasa

menonton video terlebih dulu sebelum tidur dan memiliki jam tidur di

atas jam 9 malam.

3. Kebiasaan menggunaan gadget secara berlebihan dapat mempengaruhi

tingkat konsentrasi anak dalam belajar. Berbagai penelitian mengatakan

terdapat hubungan antara kebiasaan menggunakan gadget dengan

menurunnya konsentrasi belajar pada anak.


29

4. Menurunnya prestasi belajar anak yang disebabkan oleh gadget

merupakan sebuah dampak yang ditimbulkan ketika anak telah terbiasa

menggunakan gadget salah satunya yaitu menjadikan anak sulit dalam

berkonsentrasi. Anak menjadi malas menulis dan membaca diakibatkan

mereka terbiasa menggunakan gadget untuk melihat video youtube

dengan hanya melihat gambar saja tanpa harus menulis apa yang

mereka cari. Hal tersebut secara tidak langsung berpengaruh ketika

proses pembelajaran dan anak akan mengalami kesulitan dalam proses

belajar sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan penurunan prestasi

anak dalam belajar.

5. Berkurangnya perkembangan sosial anak yang diakibatkan oleh

penggunaan gadget merupakan dampak yang memiliki kemudahan

dalam menggunakan media teknologi gadget menyebabkan anak

menjadi malas untuk bergerak dan juga beraktivitas. Anak lebih

memilih untuk duduk di depan gadget dan menikmati dunia mereka

yang ada didalam gadget tersebut. Hal ini tentu berdampak buruk bagi

anak salah satunya yaitu menjadikan anak melupakan kesenangan

bermain dengan teman sebaya dan berkurangnya interaksi sosial dengan

anggota keluarga maupun orang di sekitarnya.

6. Perkembangan bahasa pada anak yang terbiasa menggunakan gadget

akan cenderung diam, anak akan menirukan bahasa yang sering mereka

dengar pada saat menonton video di youtube. Anak menjadi enggan

untuk berkomunikasi dengan teman, saudara dan orang-orang yang

berada disekitarnya ketika anak sedang menikmati bermain gadget.


30

7. Perubahan perilaku anak yang ditimbulkan karena penggunaan gadget

tanpa pengawasan dari orang tua yaitu dapat mempengaruhi perilaku

pada anak. Sebagai contoh pada saat bermain games dan melihat

adegan yang memiliki unsur kekerasan dalam video di youtube dapat

membuat anak menirukan tindakan tersebut. Hal tersebut dapat

mempengaruhi pola perilaku dan karakter anak yang dapat

menimbulkan tindakan kekerasan terhadap teman sebaya dan orang-

orang yang ada di sekitarnya.

8. Penggunaan gadget yang berlebihan dapat menimbulkan risiko

ketergantungan pada gadget yang awalnya anak menggunakan gadget

hanya untuk bermain game dan melihat video youtube, namun lama-

kelamaan anak menemukan kesenangan dengan gadget sehingga hal

tersebut dapat menjadi sebuah kebiasaan untuk menggunakan gadget.

Berdasarkan penjelasan mengenai dampak positif dan negatif dari

penggunaan gadget tersebut dapat disimpulkan bahwa gadget adalah alat

yang digunakan untuk memudahkan berkomunikasi dalam kehidupan

sehari-hari, namun memiliki beberapa manfaat dan kerugian yang dapat

ditimbulkan dari gadget itu sendiri tergantung dari segi pemanfaatan media

gadget tersebut digunakan untuk hal yang berguna atau tidak.

2.3.4 Panduan Pendampingan Penggunaan Gadget pada Anak

Dalam penelitian (Palar & Oroh, 2018) mengatakan bahwa semakin

baik peran keluarga dalam mendampingi anak dalam menggunakan gadget

maka semakin baik pula perilaku anak. Dimana terdapat hubungan antara
31

peran keluarga dalam menghindari dampak negatif penggunaan gadget pada

anak dengan perilaku. Walaupun gadget memiliki dampak positif

khususnya sebagai media komunikasi dan dalam pedidikan, namun

penggunaan gadget yang berlebihan dapat mengakibatkan beberapa dampak

negatif.

Dokter anak yang berasal dari Amerika Serikat, Cris Rowman dalam

tulisannya di Huffington Post mengatakan bahwa “perlu ada larangan

penggunan gadget pada anak usia dibawah 12 tahun karena dapat

mengakibatkan pertumbuhan otak terlalu cepat, gangguan tidur, obesitas,

penyakit mental, agresif, serta pikun digital” (Palar & Oroh, 2018). Oleh

karena itu, perlu adanya dampingan dari orang tua kepada anak saat

menggunakan gadget. Langkah-langkah yang dapat digunakan oleh orang

tua pada saat mendampingi anak dalam penggunaan gadget adalah sebagai

berikut (Alamiyah, Syifa & Zamzamy, 2017):

1. Membuat batasan penggunaan gadget pada anak karena orang tua dan

anak memerlukan sebuah kesepakatan seputar penggunaan media

gadget, hal ini bukan untuk memproteksi anak tetapi bertujuan untuk

memberikan keterampilan yang tepat pada saat anak mulai terpapar

oleh informasi dari media, karena sebagai orang tua yang memiliki

kegiatan lain tidak menutup kemungkinan tidak selalu bisa mengawasi

anak dalam penggunaan gadget. Hal yang harus dilakukan oleh orang

tua dalam penggunaan gadget pada anak salah satunya yaitu

memberikan batasan baik dari segi durasi dalam menggunakan media

digital dan konten-konten apa saja yang boleh dilihat di dalamnya. Bila
32

perlu buat aturan tidak diperbolehkan untuk menggunakan gadget saat

sedang berkumpul dengan keluarga dan di waktu-waktu tertentu. Hal

tersebut penting supaya terjalin adanya waktu yang berkualitas antara

orang tua, anak dan anggota keluarga tanpa ada internet didalamnya.

Sebagai contoh dengan mengikuti aturan 18-21 yaitu aturan yang tidak

memperbolehkan menggunakan gadget pada jam 18 sampai dengan jam

21. Sebagai gantinya mengisi waktu luang tersebut digunakan untuk

berkumpul bersama anak-anak dan keluarga.

2. Memberikan gadget pada anak diusia yang tepat akan menjadikan anak

tersebut mulai memperkenalkan media gadget yang dapat diberikan

ketika anak sudah memasuki uisa 5 tahun. Hal tersebut berhubungan

dengan perkembangan otak anak yang sudah optimal apabila diberikan

rangsangan sensorik secara langsung pada anak. Sedangkan waktu yang

tepat yang dapat diberikan kepemilikan gadget pada anak yaitu saat

usia 13 tahun keatas.

3. Memberikan contoh yang baik pada anak-anak sehingga mereka tidak

bisa menjadikan alasan untuk melawan pada saat anak diingatkan untuk

tidak menggunakan gadget. Orang tua bertindak sebagi role model

untuk anak, mereka cenderung akan menirukan perilaku yang dilakukan

oleh orang tua atau orang-orang yang ada di sekitarnya. Salah satunya

dalam hal penggunaan gadget, jika orang tua tidak menghendaki anak-

anak menggunakan gadget secara berlebihan maka sebaiknya orang tua

memberikan contoh untuk membatasi penggunaan gadget di depan

anak-anak mereka. Bila diperlukan buatlah kesepakatan antara orang


33

tua dengan anak mengenai kapan dapat menggunakan gadget dan pada

saat kapan orang tua harus menyimpan gadget tersebut. Jangan

menyimpan gambar atau video yang bersifat negatif di dalam gadget,

karena bisa saja anak dapat melihat dan mengakses hal tersebut

sewaktu-waktu tanpa sepengetahuan dari orang tua. Manfaatkan

informasi yang di peroleh dari gadget tentang berbagai macam orang

dengan latar belakang yang berbeda untuk mengenalkan

keanekaragaman pada anak.

4. Sebelum orang tua memberikan ijin kepada anak untuk menggunakan

atau memainkan permainan, orang tua perlu meneliti terlebih dahulu

tentang semua aplikasi media sosial dan seluruh konten atau alur dari

permainan tersebut. Jika orang tua sudah yakin bahwa hal tersebut

aman dan baik untuk anak-anak, maka orang tua dapat memberikan ijin

kepada anak-anak untuk menggunakan aplikasi tersebut tetapi harus

tetap dengan batasan waktu yang telah disepakati. Sebaiknya orang tua

menghindari tayangan program media digital yang dapat mengandung

unsur kekerasan, menakutkan, hantu, dan seksualitas untuk

menghindari anak-anak menirukan tentang hal yang telah dilihatnya

pada saat bermain gadget. Bangun ikatan yang kuat dengan anak

supaya anak menjadi lebih dekat dan nyaman bercerita dengan orang

tuanya. Pada saat anak sudah merasa nyaman dengan orang tua, mereka

tidak akan lagi mencari kegiatan lain untuk mengisi kebosanannya.

Selain itu, ketika anak tidak sengaja melihat konten yang dilarang, anak

mungkin akan menceritakannya pada orang tua, karena anak merasa

yakin bahwa orang tua mereka tidak akan memarahinya.


34

2.4 Konsep Pola Asuh

2.4.1 Definisi Pola Asuh

Berdasarkan tata bahasanya, pola asuh terdiri dari kata pola dan asuh.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata pola berarti model, sistem,

cara kerja, bentuk (struktur yang tetap), sedangkan kata asuh mengandung

arti menjaga, merawat, mendidik anak agar dapat berdiri sendiri dan

memimpin (mengepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau lembaga.

Orang tua merupakan guru, fasilitator, dan penjaga gerbang dalam

penggunaan media oleh anak, sehingga orang tua mempunyai andil dalam

meminimalisir pengaruh penggunaan smartphone pada anaknya (John et al.,

2021).

Gunarsa (dalam Adawiah 2017) pola asuh merupakan cara orang tua

bertindak sebagai orang tua terhadap anak-anaknya dimana mereka

melakukan serangkaian usaha aktif.

Pola asuh yang diberikan orang tua adalah pendidikan pertama bagi

seorang anak karena pertama kalinya mereka mengenal dunia dan terlahir di

lingkungan keluarga dan dididik oleh orang tua. Keteladanan orang tua

dalam tindakan sehari-hari akan menjadi wahana pendidikan moral bagi

anak, membentuk anak sebagai makhluk sosial, religius untuk menciptakan

kondisi yang dapat menumbuh kembangkan inisiatif dan kreatifitas anak

(Santosa et al., 2018). Pola asuh merupakan tata cara yang diterapkan orang

tua dalam mengasuh, merawat, melindungi dan mendidik anak-anaknya

(Persepsi et al., 2019).


35

Menurut Djamarah (2014) Pola asuh orang tua merupakan gambaran

tentang sikap dan perilaku orang tua dan anak dalam berinteraksi,

berkomunikasi selama mengadakan kegiatan pengasuhan, dalam kegiatan

memberikan pegasuhan ini, orang tua akan memberikan perhatian,

peraturan, disiplin, hadiah dan hukuman, serta tanggapan terhadap

keinginan anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat,

dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau

tidak sadar akan diresapi kemudian menjadi kebiasaan bagi anak-anaknya.

Komunikasi adalah suatu proses yang memungkinkan seseorang

menyampaikan rangsangannya (biasanya dengan menggunakan lambang

verbal) untuk mengubah perilaku orang lain dalam Mokalu dkk. (2016).

Menurut Hovland, Janis dan Kelly dalam Mokalu dkk. (2016)

komunikasi adalah proses individu mengirim rangsangan atau stimulus yang

biasanya dalam bentuk verbal untuk mengubah tingkah laku orang lain.

Pada definisi ini mereka menganggap komunikasi sebagai suatu proses.

Pengertian handphone adalah sebuah perangkat komunikasi elektronik yang

memiliki kemampuan dasar yang sama dengan telepon konvensional saluran

tetap, tetapi bersifat portable atau mobile (dapat di bawa kemana-mana)

sehingga tidak perlu di sambungkan dengan jaringan telepon kabel dalam

Mokalu (2016).

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 7 ayat 1 berbunyi:

“orang tua mempunyai kewajiban untuk mengasuh putra-putrinya, yang

dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungan hidupnya, serta diwarnai


36

oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing dan

mengarahkan putra-putrinya”. Sikap tersebut tercermin dalam pola

pengasuhan kepada anak-anaknya, karena setiap orang tua memiliki peran

pola asuh yang berbeda. Pola asuh tersebut juga gaya pengasuhan orang tua

yang diterapkan kepada anak dan biasanya bersifat relatif konsisten. Pola

asuh dikatakan efektif bila diterapkan dalam kondisi yang tepat dan sesuai

dengan situasi yang ada. Di sinilah letak terjadi beberapa perbedaan dalam

pola asuh. Disatu sisi orang tua harus bisa menentukan pola asuh yang tepat

dalam mempertimbangkan kebutuhan dan situasi anak, disisi lain orang tua

juga mempunyai keinginan dan harapan untuk membentuk anak.

Petranto (dalam Adawiah 2017) pola asuh orang tua merupakan pola

perilaku yang diterapkan pada anak bersifat relatif konsisten dari waktu ke

waktu. Pola perilaku ini dirasakan oleh anak, dari segi negatif maupun

positif. Pola asuh yang ditanamkan kelurga berbeda, hal ini tergantung

pandangan dari tiap orang tua.

Pola asuh orang tua merupakan suatu interaksi antara orang tua dan

anak, dimana orang tua bermaksud menstimulasi anaknya dengan

mengubah tingkah laku, pengetahuan serta nilai-nilai yang dianggap paling

tepat oleh orang tua, agar anak dapat mandiri, tumbuh dan berkembang

secara sehat dan optimal (Kemandirian et al., 2014). Anak memiliki

gambaran tentang prinsip-prinsip kehidupan yang ditentukan oleh proses

pola asuh (Djuwitaningsih, 2018). Pola pengasuhan dari orang tua

merupakan perilaku yang ditetapkan kepada anak bersifat flexibel dari

waktu ke waktu (Dayak & Kabupaten, 2017) (Education et al., 2015)).


37

Pengasuhan anak merupakan suatu kegiatan berkelanjutan melalui

proses interaksi orang tua dan anak untuk mendorong pertumbuhan serta

perkembangan anak yang optimal (Rakhmawati, 2017). Pola pengasuhan

yang dilakukan oleh oran tua memegang peranan yang sangat penting bagi

perkembangan anak. Menurut (Candra et al., 2019) menyatakan bahwa

pengasuhan orang tua terhadap anaknya dapat berpengaruh terhadap

pembentukan karakter dan perilaku anak itu sendiri. Pola asuh yang tepat

bagi anak dan sesuai dengan kebutuhan anak akan memungkinkan

dukungan positif diterima oleh anak. Pola asuh yang positif ini sangat

mendukung pembentukan kepribadian yang mandiri dan semangat belajar

(Dewi et al., 2020). Pola prilaku ini dirasakan oleh anak mau itu positif

ataupun negatif. Di dalam pola pengasuhan terdapat gaya dalam

pengasuhan, disetiap keluarga pasti berbeda-beda tergantung dari

pandangan orang tua.

2.4.2 Jenis-Jenis Pola Asuh Orang Tua

Menurut Desmita (2013) sejumlah ahli mempercayai bahwa “Kasih

sayang orang tua atau pengasuh selama beberapa tahun pertama kehidupan

merupakan kunci utama perkembangan sosial anak, meningkatkan

kemungkinan anak memiliki kompotensi secara sosial dan penyesuaian diri

yang baik pada tahun-tahun prasekolah dan sesudahnya”. Salah satu aspek

penting dalam hubungan orang tua dan anak adalah gaya pengasuhan yang

diterapkan oleh orang tua.

Menurut Olds dan Feldman (dalam Helmawati 2014) “Pembentukan

anak bermula atau berasal dari keluarga. Pola asuh orang tua terhadap anak-
38

anaknya sangat menentukan dan mempengaruhi kepribadian (sifat) serta

prilaku anak”. Anak menjadi baik atau buruk semua tergantung dari pola

asuh orang tua dalam keluarga.

Menurut Woolfolk (Ekasari & Witarsa, 2018) terdapat tiga jenis pola

pengasuhan orang tua yang secara umum yaitu pola pengasuhan demokratis,

otoriter dan permisif.

1. Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan

kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu dalam mengendalikan anak

(Padjrin, 2016). Pola asuh ini memberikan tempat atau ruang untuk anak

dalam memberikan gagasan atau masukannya mengenai pendapat atau

keinginan anak Alviana (2013). Keputusan anak turut dipertimbangkan

dalam pengambilan keputusan dalam, komunikasi bersifat dua arah atau

terbuka aturan yang telah ditetapkan berdasarkan keputusan bersama

antara anak dan orang tua. Pola asuh demokratis salah bentuk perlakuan

yang dapat diterapkan orang tua untuk membentuk kepribadian anak

dengan mengutamakan kepentingan anak (Suteja, 2017). Ciri-ciri pola

asuh demokratis: memberikan pengarahan tentang perbuatan yang

dipertahankan, yang baik dan perbuatan yang tidak baik agar di

tinggalkan, menentukan kedisiplinan dan aturan-aturan tetapi

mempertimbangkan agar dapat diterima dan dimengerti anak,

menciptakan suasana komunikatif di dalam keluarga, menciptakan

keharmonisan dalam keluarga. Jika orang tua menggunakan pola asuh

demokratis maka anak akan merasakan kasih sayang orang tuanya dan

tidak merasa terkekang dan anak akan lebih bertanggung jawab dan
39

mandiri dengan kehidupan nya (Yunita et al., 2020). Pola asuh

demokratis orang tua bersikap acceptance dan mengontrol tinggi,

bersikap responsive terhadap kebutuhan anak, mendorong anak untuk

menyatakan pendapat, memberikan penjelasan tentang hal yang baik dan

yang buruk, memberikan kebebasan anak memilih dan melakukan

sebuah tindakan (Sofiani & Sumarni, 2020).

2. Pola asuh otoriter bercirikan keras, kaku dan bersifat paksaan. Orang tua

membuat aturan yang kaku dan aturan tersebut tidak di inginkan anak.

ketika anak tidak mematuhi aturan yang sudah di buat, orang tua tidak

segan untuk menghukum anak. Hukuman fisik hampir sama dengan

pelecehan anak, jadi jika hukuman fisik dilakukan secara berlebihan itu

bisa menjadi pelecehan anak (Olla et al., 2018). Menurut (Kemandirian

et al., 2014) Perilaku anak yang mendapatkan pengasuhan otoriter

cendrung bersikap mudah tersinggung, penakut pemurung selain itu tipe

pengasuhan ini kurang kasih sayang kepada anak, kurang simpatik dan

anak cendrung sering disalahkan (Pratiwi, 2020). Pola asuh otoriter yang

diterapkan oleh orang tua memiliki kelebihan yaitu menjadikan anak

lebih patuh kepada orang tua sedangkan kelemahannya anak menjadi

kurang percaya diri dan kurang bebas, serta cendrung tidak mampu untuk

mengeluarkan pendapatnya, anak mengalami kesulitan dalam

berkomunikasi dengan orang lain (Hasanah, 2020).

3. Pola asuh permisif adalah pola asuh yang tidak perduli kepada anak. Pola

asuh ini cendrung membebaskan anak, tidak mengendalikan anak, dan

tidak memberikan hukuman bila anak melakukan kesalahan. Pola asuh

ini biasa terjadi kepada orang tua yang sibuk bekerja. Orang tua yang
40

menerapkan pola pengasuhan ini hanya akan memenuhi kebutuhan anak

saja (Hazizah, 2019).

Pola asuh permisif merupakan jenis pola asuh yang memberikan

kebebasan anak tanpa adanya bimbingan dan tuntunan dari orang tua.

Orang tua jarang melakukan kontrol, orang tua juga tidak memantau

kegiatan anak dan jarangnya komunikasi antara orang tua dan anak.

Penelitian mengungkapkan bahwa anak yang dibesarkan dengan

pengasuhan permisif akan sulit untuk bersosialisasi dengan

lingkungannya (Juharta et al., 2015). Orang tua yang menggunakan pola

asuh permisif tidak memberikan struktur batasan yang tepat bagi anak.

Orang tua yang menggunakan tipe ini sangat mempercayai bahwa tidak

adanya larangan dan mengekspresikan kebebasan dari keinginan hati dan

harapan sangatlah penting bagi perkembangan psikologi (Education et

al., 2015)

2.4.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua

Setiap orang mempunyai kisah sejarah sendiri dan latar belakang yang

sering sangat jauh berbeda. Perbedaan ini sangat memungkinkan terjadinya

pola asuh yang berbeda kepada anak. Maccoby dkk (Madyawati, 2016),

menyatakan bahwa ada beberapa factor yang mempengaruhi pola asuh

orang tua, yaitu:

1. Faktor sosial ekonomi Lingkungan sosial berkaitan dengan pola

hubungan sosial atau pergaulan yang dibentuk oleh orang tua maupun

anak dengan lingkungan sekitar. Anak dari orang tua yang sosial

ekonominya rendah cenderung tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang


41

yang lebih tinggi atau bahkan tidak pernah mengenal bangku

pendidikan sama sekali karena terkendala faktor sosial ekonomi.

2. Pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan

sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa. Latar belakang

pendidikan orang tua dapat mempengaruhi pola pikir orang tua baik

formal maupun nonformal, lalu akan berpengaruh pada aspirasi atau

harapan orang tuanya kepada anaknya.

3. Nilai-nilai agama juga menjadi hal penting yang ditanamkan orang tua

kepada anak dalam pengasuhan yang mereka lakukan sehingga lembaga

keagamaan juga turut berperan di dalamnya.

4. Dalam mengasuh anak, orang tua tidak hanya mengkomunikasikan

fakta, gagasan, dan pengetahuan saja, melainkan membantu menumbuh

kembangkan kepribadian anak. Pendapat tersebut berdasarkan teori

humanistik yang menitik beratkan pendidikan yang bertumpu pada

peserta didik, artinya anak perlu mendapat perhatian dalam membangun

sistem pendidikan. Jika anak telah menunjukkan gejala-gejala yang

kurang baik, berarti mereka sudah tidak menunjukkan niat belajar yang

sesungguhnya. Bila hal ini dibiarkan terus-menerus akan menjadi

masalah di dalam mencapai keberhasilan belajar pada diri anak.

5. Jumlah anak yang dimiliki keluarga akan mempengarui pola asuh yang

diterapkan para orang tua. Semakin banyak jumlah anak dalam

keluarga, akan ada kecenderungan orang tua tidak begitu menerapkan

pola pengasuhan secara maksimal pada anak karena perhatian dan

waktunya terbagi antara anak yang satu dan lainnya.


42

6. Usia orang tua dapat menjadi salah satu faktor penerapan pola asuh

kepada anak. Orang tua yang masih muda memahami dan mengikuti

perkembangan teknologi yang terjadi saat ini dan mengetahui bahwa

perilaku demokratis merupakan pola asuh yang efektif untuk anak.

Menurut penelitian Adawiah (2017), menyatakan bahwa orang tua

dengan usia yang lebih muda cenderung menerapkan pola asuh yang

demokratis dan permisif jika dibandingkan dengan orang tua yang berusia

lebih tua. Selain itu, tidak jarang orang tua yang menuruti keinginan

anaknya supaya anak menjadi tenang dan tidak rewel. Berdasarkan

keterangan tersebut, peneliti berpendapat bahwa perbedaan usia yang

dimiliki oleh orang tua dapat mempengaruhi pola asuh yang diberikan pada

anak. Orang tua dengan usia yang lebih muda cenderung mengikuti

perkembangan zaman sehingga sebagaian besar dari orang tua akan

menerapkan pola asuh demokratis dan permisif yang biasanya lebih disukai

oleh anak sendiri. Kematangan dari usia sendiri dapat mempengaruhi

pengalaman orang tua dalam mendidik anak.

Kemudian menurut (Sumarni & Sofiani, 2019) mengemukakan bahwa

ada dua faktor yang mempengaruhi dalam pengasuhan seseorang yaitu

faktor eksternal dan faktor internal. Factor eksternal adalah lingkungan

social dan lingkungan fisik serta lingkungan kerja orang tua, sedangkan

faktor internal adalah model pola pengasuhan yang pernah didapat

sebelumnya, secara lebih lanjut pembahasan faktor-faktor yang ikut

berpengaruh dalam pola asuh pengasuhan orang tua yaitu budaya, orang tua

mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orang tua, sehigga

tetap menggunakan cara pola pengasuhan orang tua dulu karena di anggap
43

berhasil mendidik mereka dengan baik, tingkat pendidikan orang tua, orang

tua lebih memiliki ilmu pengetahuan lebih banyak dalam mengasuh anak,

status sosial ekonomi, orang tua dari kelas menengah cenderung lebih keras

dalam mengasuh anak.

2.4.4. Pola Pengawasan Orang Tua dalam Penggunaan Gadget

Macam-macam pola pengawasan orang tua yang berkaitan dengan

pemanfaatan internet (internet parenting syle) dibagi menjadi beberapa

model pengawasan. Model-model pengawasannya seperti active mediation

yaitu model pengawasan yang diwujudkan dengan percakapan yang

dilakukan oleh orang tua dengan anak dalam kaitannya dengan internet.

Percakapan yang dilakukan merupakan inisiatif orang tua bertujuan untuk

mendorong anak-anaknya sehingga lebih kritis pada saat menggunakan

internet atau gadget. Introduction yaitu model orang tua yang berperan di

dalam memperkenalkan atau mengajari anak pada saat menggunakan

gadget. Anak-anak perlu memahami bahwa yang dilihatnya di internet

tidaklah semua benar dan bermanfaat bagi anak. Kemudian, restrictive yaitu

pengawasan yang dinyatakan dalam bentuk suatu batasan dari orang tua

yang secara tegas mengatur apa saja yang dapat diakses oleh anak, berapa

lama waktu atau durasi mengakses termasuk game online yang bisa

dimainkan oleha anak-anak mereka. Sedangkan model coviewing

merupakan pengawasan suatu upaya dalam melakukan aksi atau tindakan


44

secara bersama-sama antara orang tua dan anak dalam aktivitas yang

dilakukan saat menggunakan internet (Nugroho, 2017).

2.5 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Kebebasan
Macam-macam pola Pola asuh orang
penggunaan
asuh orang tua yaitu: tua
gadget
1. Demokratis
2. Otoriter
3. Permisif
1. Dampak Positif
a. Membangun kreatifitas
b. Sumber informasi dan
Faktor-faktor yang komunikasi
mempengaruhi pola asuh 2. Dampak Negatif
orang tua: a. Kerusakan mata pada
anak
1. Pendidikan
b. Masalah Tidur
2. Usia
c. Kesulitan
3. Agama
berkonsentrasi
4. Lingkungan
d. Menurunnya prestasi
5. Jumlah anak
belajar
6. Status sosial ekonomi
e. Perkembangan sosial
f. Perkembangan bahasa
g. Perubahan prilaku
h. Ketergantungan
45

Gambar. 2.1. Bagan Krangka Konsep

Keterangan:

: Berhubungan

: Berpengaruh

: Diteliti

: Tidak diteliti

2.6 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara, karena jawaban yang

diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada

fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data (Sugiyono,

2019).

Dengan demikian dapat dipahami bahwa hipotesis adalah jawaban

sementara, terhadap penelitian yang telah dinyatakan dalam bentuk

pertanyaan, dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan pada teori,

hipotesis dirumuskan atas dasar kerangka berfikir yang merupakan jawaban

sementara. Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Hipotesis Alternatif (Ha) ada hubungan signifikan terhadap pola asuh

orang tua dengan kebebasan penggunaan gadget pada anak usia

prasekolah di Taman Kanak-Kanak Maraqittalimat (TK.MT) Tembeng

Putik.
46

2. Hipotesis Nihil (Ho) tidak ada hubungan yang signifikan terhadap pola

asuh orang tua dengan pengggunaan gadget pada anak usia prasekolah

Taman Kanak-Kanak Maraqittalimat (TK.MT) Tembeng Putik.


47

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan jenis

penelitian Analitik Korelasi. Desain yang digunakan dalam penelitian ini

adalah Cross Sectional, dimana pada penelitian ini peneliti hanya

melakukan observasi dan pengukuran variabel pada satu saat tertentu saja.

Pengukuran variabel tidak terbatas harus tepat pada satu waktu bersamaan,

namun mempunyai makna bahwa setiap subjek hanya dikenai satu kali

pengukuran, tanpa dilakukan tindak lanjut atau pergulangan pengukuran

(Saryono & Mekar, 2013).

3.2. Populasi dan Sampel Penelitian

3.2.1. Populasi

Populasi adalah wilayah generasi yang terdiri atas objek/subjek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono 2018).

Pada penelitian ini yang menjadi populasi adalah semua wali murid yang

berjumlah 30 orang di Taman Kanak-Kanak Maraqittalimat (TK.MT)

Tembeng Putik. Kabupaten Lombok Timur.

3.2.2. Sampel Penelitian


48

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut (Sugiyono, 2017). Sampling adalah suatu cara yang

ditempuh dengan pengambilan sampel yang benar-benar sesuai dengan

keseluruhan objek penelitian (Nursalam, 2008). Adapun sampel dari

penelitian ini adalah orang tua yang berjumlah 30 orang.


46
3.2.3. Teknik Sampling

Menurut Nursalam (2017), sampling merupakan proses penyeleksi

porsi dari populasi yang dapat mewakili populasi yang yang ada. Teknik

sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah total sampling. Total

sampling atau yang biasa yang dikenal sebagai sampling jenuh adalah

teknik penarikan sampel yang dilakukan dengan mengambil semua populasi

menjadi sampel penelitian.

Alasan mengambil total sampling karena menurut Pamungkas Adi &

Mayangsari Usman (2017) bilamana jumlah populasinya sedikit atau kurang

dari 100.

3.3. Waktu dan Tempat Penelitian

3.3.1. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan selama 1 bulan yang terhitung dari

tanggal 1 s.d 31 Juli 2022.

3.3.2. Tempat Penelitian


49

Penelitian ini akan dilaksanakan di Taman Kanak-Kanak

Maraqittalimat (TK.MT) Tembeng Putik, Kecamatan Wanasaba Kabupaten

Lombok Timur Tahun 2022.

3.4. Variabel Penelitian

Menurut Silaen (2018) mengungkapkan bahwa variabel penelitian

adalah konsep yang mempunyai bermacam-macam nilai atau mempunyai

nilai yang bervariasi, yakni suatu sifat, karakterististik atau fenomena yang

dapat menunjukan sesuatu untuk dapat diamati atau diukur yang nilainya

berbeda-beda atau bervariasi. Variabel yang diteliti terdiri dari :

3.4.1. Variabel Independen (Bebas)

Menurut (Sugiyono, 2015) variabel independen adalah variabel yang

mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya

variabel dependen (terikat), variabel independen disebut juga dengan

variabel perlakukan, kausa, risiko, variabel stimulus, antecedent, variabel

pengaruh, treatment dan variabel bebas. Dapat dikatakan variabel bebas

karena dapat mempengaruhi variabel lainnya. Sebagai variabel independen

dalam penelitian ini adalah pola asuh orang tua.

3.4.2. Variabel Dependen (Terikat)

Menurut (Sugiyono, 2015) variabel Dependen merupakan variabel

yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas,

variabel dependen disebut juga dengan variabel terikat, variabel output,

konsekuaen, variabel tergantung, kriteria, variabel terpengaruh dan variabel


50

efek. Sebagai variabel dependen dalam penelitian ini adalah penggunaan

gadget.

3.5. Definisi Operasional Penelitian

Definisi operasional dalam variabel penelitian adalah suatu atribut

atau sifat atau nilai dari objek atau kegiatan yang mempunyai variasi

tertentu yang telah ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian

ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2015).

Definisi Skala
No Variabel Parameter Alat ukur Cara ukur
Operasional Ukur

1 Pola asuh Suatu cara Cara orang tua Kuesioner Skor disetiap Ordinal
orang tua menjaga, dalam pilihan jawaban
mendidik mengontrol pada kuesioner
merawat serta atau pola asuh orang
memberikan memantau tua
kasih sayang apa yang
kepada anaknya dilakukan a. Selalu = 3
sehingga anak oleh b. Kadang-
Kadang =2
tersebut dapat anaknya.
c. Tidak
berdiri sendiri Pernah = 1
dengan baik dan a. Otoriter
benar. (pola asuh
yang
diberikan
kepada anak
yang
bersifat
memaksa)
b. Permisif
(pola asuh
yang tidak
perduli
kepada anak
atau
membebask
an anak)
c. Demokratis
(pola asuh
51

yang
mempriorita
skan
kepentingan
anak)
2 Kebebasan Kebebasan anak a. Membuat Kuesioner Skor disetiap Ordinal
Penggunaan dalam batasan pilihan jawaban
gadget menggunakan penggunaan pada kuesioner
gadget hingga gadget pada kebebasan
anak
akhirnya anak b. Memberikan penggunaan
menjadi lupa anak gadget gadget
waktu. di usia yang
tepat a. Selalu = 4
c. Memberikan b. Sering = 3
contoh yang c. Kadang-
baik pada Kadang = 2
anak d. Tidak
d. Memproteks Pernah = 1
i situs dari
konten-
konten yang
negatif di
internet.
Kategori
Kebebasan
Penggunaan
Gadget

Tidak
Baik = 13-
26
b. 27-52

3.6. Instrumen Penelitian dan Metode Pengumpulan Data

3.6.1. Instrumen Penelitian

Instrumen Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 2

instrumen sebagai berikut:

1. Pola Asuh Orang Tua


52

Dalam penelitian teknik pengumpulan data yang digunakan adalah

kuesioner atau angket. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data

yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau

pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya. Kuesioner

merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu

dengan pasti variabel yang akan diukur dan tahu apa yang bisa

diharapkan responden (Saryono & Mekar, 2013).

Instrumen pengumpulan data yang digunakan pada kuesioner pola

asuh orang tua adalah kuesioner tertutup. Artinya, responden menjawab

pernyataan yang alternatif jawabannya sudah disediakan dalam lembar

kuesioner dengan memberikan centang (√) pada alternatif jawaban yang

dianggap tepat. Penyusunan butir soal kuesioner berdasarkan kisi-kisi

yang telah dibuat sebelumnya dengan mengacu pada tinjauan pustaka

yang ada. Skala ukur yang digunakan untuk skoring angket adalah

menggunakan skala likert. Skala likert digunakan untuk mengukur sikap,

pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang

fenomena sosial (Saryono & Mekar, 2013).

Dalam skala likert terdapat 5 alternatif jawaban, tetapi dalam

kuesioner ini hanya digunakan 3 alternatif jawaban agar responden lebih

jelas dalam menyatakan jawabannya, dan tidak cenderung memilih

alternatif jawaban yang tengah atau netral. Kuesioner pola asuh orang tua

terdiri dari 15 pertanyaan.


53

Kuesioner pola asuh orang tua yang diadopsi dari penelitian yang

dilakukan oleh Aprilia Nurul Khotimah pada tahun 2019 yang

sebelumnya sudah dilakukan uji validitas dan uji reabilitas.

Penelitian ini menggunakan kisi-kisi kuesioner sebagai dasar

pembuatan kuesioner. Kisi-kisi kuesioner ini dibuat berdasarkan jenis-

jenis pola asuh orang tua yang disampaikan Woolfolk sebagaimana

dikutip oleh Ekasari & Wiratna (2018).

a. Otoriter adalah pola asuh yang diberikan kepada anak yang

bersifat memaksa.

b. Permisif adalah pola asuh yang tidak perduli kepada anak atau

membebaskan anak.

c. Demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan

anak.

2. Kebebasan Penggunaan Gadget

Dalam penelitian teknik yang pengumpulan data digunakan adalah

kuesioner atau angket. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data

yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau

pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya. Kuesioner

merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu apa

yang bisa diharapkan responden (Saryono & Mekar, 2013)

Instrumen pengumpulan data yang digunakan pada kuesioner

kebebasan penggunaan gadget adalah kuesioner tertutup. Artinya,

responden menjawab pernyataan yang alternatif jawabannya sudah

disediakan dalam lembar kuesioner dengan memberikan centang (P)


54

pada alternatif jawaban yang dianggap tepat. Penyusunan butir soal

kuesioner berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat sebelumnya dengan

mengacu pada tinjauan pustaka yang ada. Skala ukur yang digunakan

untuk skoring angket adalah menggunakan skala likert. Skala likert

digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau

sekelompok orang tentang fenomena sosial (Saryono & Mekar, 2013).

Dalam skala likert terdapat 5 alternatif jawaban, tetapi dalam

kuesioner ini hanya digunakan 4 alternatif jawaban agar responden lebih

jelas dalam menyatakan jawabannya, dan tidak cenderung memilih

alternatif jawaban yang tengah atau netral. Kuesioner kebebasan

penggunaan gadget terdiri dari 13 pertanyaan, di buat oleh peneliti

sendiri dan sudah dilakukan uji validitas dan uji reabilitas.

Untuk hasil Uji Validitas pada angket variabel independent yang

dilakukan di TK AZ-ZIKRA MAMBEN LAUK dengan menggunakan jumlah

responden sebanyak 30 responden, maka nilai r tabel diperoleh melalui

tabel r Product Moment Pearson dengan df (degree of freedom) = n-2,

jadi df = x-2, maka r tabel = 0,374. Butir pertanyaan dikatakan valid jika

nilai r hitung > r tabel yang mana r hitung dapat dilihat dari Corrected

Item Total Corelation (Wiratna, 2014).

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan uji validitas pada 30

responden dengan jumlah pertanyaan sebanyak 16 butir pertanyaan.

Setelah dilakukan uji validitas dengan menggunakan metode korelasi

Product Moment Pearson pada software SPSS 16, pada kuesioner

kebebasan penngunaan gadget ternyata hanya 13 butir pertanyaan

yang dikatakan valid. Ketentuan kevalidan instrumen dengan melihat


55

hasil perhitungan r hitung. Apabila r hitung > r tabel (0,374) maka

pernyataan tersebut valid pada n = 13 atau pada taraf signifikasi 5%

(Wiratna, 2014).

Uji reliabilitas pada penelitian ini dilakukan di TK AZ-ZIKRA

MAMBEN LAUK menggunakan rumus Alpha Cronbach dengan software

SPSS 16. Hasil uji menunjukkan nilai Alpha 0,962, nilai r tabel n = 13

adalah 0,374 pada taraf signifikansi 5%, kesimpulannya Alpha 0,962 > r

tabel 0,374 artinya item pernyataan dikatakan reliabel atau terpercaya

sebagai alat pengumpul data penelitian. Teori lain menyebutkan suatu

variabel dikatakan reliabel juka memberikan nilai Alpha Cronbach > 0,60

(Wiratna, 2014).

Penelitian ini menggunakan kisi-kisi kuesioner sebagai dasar

pembuatan kuesioner. Kisi-kisi kuesioner ini dibuat berdasarkan

a. Membuat batasan penggunaan gadget pada anak.

b. Memberikan anak gadget di usia yang tepat.

c. Memberikan contoh yang baik pada anak.

d. Memproteksi situs dari konten-konten yang negatif di internet.

3.6.2. Metode Pengumpulan Data

Data merupakan sekumpulan informasi atau juga keterangan-

keterangan dari suatu hal yang diperoleh dengan melalui pengamatan atau

juga pencarian ke sumber-sumber tertentu (Gavinov, 2016). Pengumpulan

data yang dilakukan adalah sebagai berikut:


56

1. Pengumpulan data

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Tahap Persiapan

b. Menyelesaikan seluruh perizinan untuk melakukan penelitian.

c. Mengambil data jumlah anak-anak di Taman Kanak-Kanak

(TK.MT) Maraqitta'limat Tembeng Putik.

2. Tahap Penelitian

a. Data tentang karakteristik responden meliputi : nama responden,usia,

jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan.

b. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian serta meminta

persetujuan kepada responden apakah berkenan menjadi responden

penelitian. Ketika menyatakan sanggup responden diminta mengisi

lembar kesanggupan menjadi responden.

c. Peneliti memberikan kuesioner penelitian dan menjelaskan prosedur

pengisian kepada responden, peneliti melakukan observasi dan

menunggu responden selama mengisi kuesioner.

d. Kuesioner yang telah diisi kemudian dikumpulkan dan peneliti

mengecek kembali kelengkapan kuesioner.

e. Peneliti mengumpulkan data yang sudah dijawab responden dan

dianalisis dengan analisis univariat dan bivariat.

3. Pengolahan Data
57

Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data perlu diproses

dan dianalisis secara sistematis supaya bisa terdeteksi. Data tersebut di

tabulasi dan dikelompokkan sesuai dengan variabel yang diteliti.

Langkah-langkah pengolahan data (Notoatmodjo, 2018) meliputi :

a. Editing

Editing adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk melihat

kembali apakah isian pada lembar pengumpulan data sudah cukup

baik sebagai upaya menjaga kualitas data agar dapat di proses

lebih lanjut. Pada saat melakukan penelitian, apabila ada soal

yang belum diisi oleh responden maka responden diminta untuk

mengisi kembali.

b. Coding

Coding atau pengkodean yaitu mengubah data yang berbentuk

kalimat menjadi bentuk angka. Pada penelitian ini diberikan kode

antara lain yaitu:

c. Tabulating

Kegiatan ini yaitu memasukkan data dari hasil penelitian kedalam

komputer berdasarkan tabel yang sesuai dengan karakteristik

yang telah ditetapkan pada kuesioner sesuai dangan skornya.

d. Data entry
58

Proses data penelitian yang dilakukan yaitu memasukkan data

dari kuesioner kedalam paket komputer dalam hal dianalisis

sesuai dengan penelitian

e. Processing

Setelah diedit dan dikoding, proses selanjutnya yaitu memproses

data menggunakan SPSS versi 16 for windows yang dilakukan

untuk menganalisis hubungan antara dua variabel yang saling

berhubungan.

f. Cleaning

Membersihkan data yang sudah tidak dipakai dengan tujuan data

yang tidak dipakai tidak disalahgunakan.

3.7. Analisa Data

3.7.1. Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristrik setiap variabel penelitian. Bentuk variabel penelitian

tergantung dari jenis datanya. Pada umumnya dalam analisis ini hanya

menghasilkan distribusi frekuensi responden berdasarkan umur, jenis

kelamin, tingkat pendidikan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2018). Analisis

dilakukan dengan menggunakan program statistic spss for windows versi

16.00.

3.7.2. Analisis Bivariat


59

Analisis bivariat digunakan untuk menguji hipotesis pertama dan

kedua yaitu untuk menguji koefisien antara variabel bebas dengan variabel

terikatnya. Setelah pengumpulan data selesai dilaksanakan, maka data

tersebut diolah dan dianalisis dengan uji statistik yang digunakan adalah

spearman rank, dengan menggunakan derajat kepercayaan 0,05 % adapun

dari yang digunakan adalah berdasarkan hasil perhitungan statistic yaitu:

a. Jika probalitas (p value) ≤ 0,05 berarti ada hubungan yang bermakna

antara variable independen dengan dependen.

b. Jika probalitas (p value) > 0,05 berarti tidak ada hubungan yang

bermakna antara variabel indevenden dengan dependen.

Menurut Saryono & Mekar (2013), pedoman untuk memberkan

interpretasi koefisien korelasi adalah sebagai berikut:

a. 0,00 — 0.19 = Hubungan sangat lemah

b. 0.20 — 0,39 = Hubungan lemah

c. 0.40 — 0,59 = Hubungan cukup kuat

d. 0.60 — 0,79 = Hubungan kuat

e. 0,95 — 1,00 = Hubungan sangat kuat

Analisis data menggunakan perangkat lunak (software) spss for

windows versi 16.00.

3.8. Etika Penelitian


60

Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan izin

kepada institusi Sekolah Tinggi Kesehatan (STIKES) Hamzar — Lombok

Timur — NTB dan kepala sekolah Taman Kanak-Kanak Maraqittalimat

(TK.MT) Tembeng Putik untuk mendapatkan persetujuan kemudian

menyebarkan kusioner ke subyek-subyek yang diteliti dengan menekankan

masalah etika, yang meliputi :

3.8.1. Informed Consent

Sebelum lembar persetujuan diberikan kepada responden, peneliti

menjelaskan maksud dan tujuan penelitian yang akan dilakukan serta

dampak yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengumpulan data.

Setelah diberikan penjelasan, lembar persetujuan diberikan kepada subyek

penelitian. Jika subyek penelitian bersedia diteliti maka mereka harus

menandatangani lembar persetujuan, namun jika subyek penelitian menolak

untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati

haknya.

3.8.2. Anonymity

Untuk menjaga kerahasiaan subyek penelitian, peneliti tidak

mencantumkan namanya pada lembar pengumpulan data, cukup dengan

member nomor kode pada masing-masing lembar tersebut.

3.8.3. Confidentiality

Kerahasian semua informasi yang diperoleh dari subyek penelitian

dijamin oleh peneliti.


61

3.9. Alur Penelitian

Kepala Sekolah
Taman Kanak-
Surat pengantar Kanak
dari kampus Maraqittalimat
BAPEDA
(TK.MT)
Tembeng Putik

Penentuan populasi Pengambilan data


dan sampel awal

Penyusunan Ujian proposal Revisi proposal


proposal penelitian penelitian penelitian

Turun ke lahan untuk


Membuat skripsi Tabulasi pengambilan data

Ujian skripsi

Gambar. 3.1. Bagan Alur Penelitian


62

DAFTAR PUSTAKA
Adawiah, R. (2017). Pola Asuh Orang Tua dan Implikasinya Terhadap
Pendidikan Anak. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 7(1), 33-48.
Adi, Tri Nugroho. 2017. “Pola Pengawasan Orang Tua terhadap Aktivitas Anak
di Dunia Maya: Studi Kasus pada Keluarga dengan Anak Remaja Usia
12 — 19 Tahun di Purwokerto. Acta Diurna. 13 (1). 1 - 20

Al-Ayouby. M. Hafiz. 2017. Dampak Penggunaan Gadget Pada Anak Usia Dini.
Lampung: Universitas Bandar lampung.

Alia,T., dan Irawansyah. (2018). Pendampingan Orang Tua pada Anak Usia Dini
dalam Penggunaan Teknologi Digital. A Journal of Language,
Literature, Culture, and Education POLYGLOT, Volume 14(1), 65-78.
Tersedia pada https://ojs.uph.edu/index.php/PJI/article/view/639

Alamiyah Syifa Syarifah, Zamzamy Ahmad, RR, Resa Rasyidah. (2017).


Pendampingan dan Pengawasan dalam Penggunaan Media Gadget pada
Anak Usia TK (Taman Kanak-Kanak). Surabaya : Cakra Studi Strategi
Global.

Amaliah, S., & Setyowati, S. (2019). Persepsi Orang Tua Terhadap Penggunaan
Gawai Pada Anak Usia Dini Di Tk Lab School Unesa Ketintang
Surabaya. PAUD Teratai, 8(1).
https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/paud-teratai/article/
view/27946

Anindya, M. 2017. Hubungan Durasi Penggunaan Gadget Dengan Perkembangan


Sosial Anak Prasekolah Di TK PGRI 33 Sumurbroto, Banyumanik.
Departemen Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro

Annisa, A., Marlina, S., & Zulminiati, Z. (2019). Hubungan Persepsi Orang Tua
Tentang Dampak Smartphone Terhadap Perkembangan Sosial Pada
Anak Di Kelompok Bermain Gugus I Kecamatan Nanggalo Kota
Padang. Jurnal Ilmiah POTENSIA, 4(1), 59—66.
https://doi.org/https://doi.org/10.33369/jip.4.1.59-66

Arnis, A. (2016) Praktek Klinik Keperawatan Anak, Kemenkes RI.

Bertens, K. 1997. Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Broto, G. S. D. (2014). Riset Kominfo dan UNICEF Mengenai Perilaku Anak


dan Remaja Dalam Menggunakan Internet. Diambil 27 April 2018,
dari
63

https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3834/Siaran+Pers+No.
+17-PIH-KOMINFO-2-
2014+tentang+Riset+Kominfo+dan+UNICEF+Mengenai+Perilaku+A
nak+dan+Remaja+Dalam+Menggunakan+Internet+/0/siaran_pers
Candra, A. N., Sofia, A., Anggraini, G. F., Lampung, F. U., Prof, J., &
Brojonegoro, S. (n.d.). No Title, (1).
https://doi.org/https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Chusna, P, A. 2017. “Pengaruh Media Gadget pada Perkembangan Karakter


Anak”. Jurnal Dinamika Penelitian: Media Komunikasi Sosial
Keagamaan. Vol. 17 (2): hal. 315-329.

Dayak, M., & Kabupaten, H. (2017). Terhadap pendidikan anak, 7, 33—48.

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum 2004: Standar Kompetensi


Pendidikan Anak Usia Dini. Taman Kanak-kanak dan Raudatul Athfal.
Jakarta, hal 7

Dewi, K. O. R., Murda, I. N., & Astawan, I. G. (2020). Hubungan Pola Asuh
Orang Tua dan Motivasi Belajar Dengan Hasil Belajar PPKN Siswa, 8,
50—60. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.23887/jjpgsd.v8i1.24578

Desmita. 2013. Psikologi PerkembanganAnak. Batusangkar : STAIN


Batusangkar Press.

Dister, 1988. Nico Syukur.Filsafat Kebebasan, Yogyakarta: Kanisius.

Djamarah, Syaiful Bahri. (2014). Pola Asuh Orang Tua Dan Komunikasi Dalam
Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta.
Education, E., Pola, H., Orang, A., Terhadap, T., Bahasa, P., Prasekolah, A., …
Guru, P. (2015). Jurnal paud tambusai, 1(6), 42—48.
https://doi.org/https://doi.org/10.31004/obsesi.v1i1.54

Ekasari, D., & Witarsa, R. (2018). Pengaruh Pola Asuh Ibu terhadap Kecerdasan
Sosial Anak Usia Dini di TK Kenanga Kabupaten Bandung Barat, 2(1),
76—84.

Gavinov, I. T. 2016. Manajemen Perkantoran. Yogyakarta: Parama Publishing.

Hartinah, S. (2020). Pengembangan Peserta Didik. Bandung: PT. Refika Aditama.

Hidayat, A. A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Salemba


Medika.
Hasanah, N. (2020). Jurnal Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini Analisis
Pola Asuh Orang Tua terhadap Keterlambatan Bicara pada Anak Usia
Dini Abstrak, 4(2), 913—922. https://doi.org/10.31004/obsesi.v4i2.456
64

Hazizah, N. (2019).Permisivve parenting effect toward emotional development of


early childhood. https://doi.org/10.24036/kolokium-pls.v7i1.17

Helmawati, 2014. Pendidikan Keluarga.Bandung : PT. Remaja Rosdakarya


Offset.

Juharta, Y.nur fatimah, tjalla,SEBUAH., &Hidayat, de rahmat. (2015).Belajar


Dilihat DaripolaAsuh berwibawa , Otoriter Dan permisif. Wawasan
Jurnal , 4 (1), 1 — 8.https://doi.org/10.21009/INSIGHT.041.18

John, J. J. et al. (2021) „Association of screen time with parent-reported


cognitive delay in preschool children of Kerala, India‟, BMC
Pediatrics, 21(1), pp. 1—8. doi: 10.1186/s12887-021-02545-y.
Kemandirian, D., Sd, A., & Hidayati, N. I. (2014). Pola Asuh Otoriter Orang
Tua , Kecerdasan Emosi , 3(01).
https://doi.org/https://doi.org/10.30996/persona.v3i01.364
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Gizi.Seimbang. Direktorat Jendral
Gizi Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta.

Kemendiknas. (2012). Pedoman pengembangan program pengembangan


pembelajaran di Taman Kanak-Kanank. Jakarta: Dirjen MPDM, Dirjen
PTKK SD

Kemdikbud. (2013). Pendidikan Anak Usia Dini. (2014, 20 Oktober).


http://Paud.Kemdikbud.Go.Id/Main.

Kyle, T., & Carman, S. (2015). Keperawatan pediatrik (Esensial Keperawatan


Anak) . Jakarta: EGC.

Machmud, K. (2018). The Smarthphone use in Indonesian schools:The High


School Students Perspectives. Journal of arts and Humanities, Volume
7(3), 33-40. Tersedia pada https://doi.org/10.18533/journal.v7i3.1354.

Madyawati, Lilis. 2016. Strategi Pengembangan Bahasa Pada Anak. Jakarta:


Prenadamedia Group.

Mahayana, Dimitri, 2014. “Pengaruh gadget terhadap perilaku Masyarakat


Modern”. Makalah, Bandung: ITB.

Maulinda, L, D. 2019. Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Kemampuan


Bicara Anak Kelompok B di TK Aisyiyah Bustanul Athfal 01
Watukebo Desa Andongsari Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember
Tahun Ajaran 2018/2019. Skripsi tidak diterbitkan. Jember:
Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Universitas Jember
65

Markham, L. (2019) Learn what your preschooler needs to thrive, September 25.
dilihat 28 Maret 2021
https://www.ahaparenting.com/Ages-stages/preschoolers/wonder-years.

Mokalu, J.V, N. N. Mewengkang, J. P.M Tangkudung. (2016). Dampak


Teknologi Smartphone Terhadap Perilaku Orang Tua Di Desa Touure
Kecamatan Tompaso Volume V No.1,
(http://www.ejournal.unsrat.ac.id diakses 19 November 2016).
Notoatmodjo, S. 2018. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Novieastari, E. et al. (2019) „Fundamentals of Nursing Vol 1- 9th Indonesian


Edition - Google Books‟, Elsevier Health Sciences, dilihat 28/3/2021
https://www.google.co.id/books/edition/Fundamentals_of_Nursing_Vol
_1_9th_Indone/

Novitasari, W & Khotimah, N. (2016). Dampak Penggunaan Gadget Terhadap


Interaksi Sosial Anak Usia 5 — 6 Tahun. Jurnal PAUD Teratai, 5 (3).
ISSN:2302 - 7363. Tersedia dalam : https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0a
hUKEwiUgqimpvbTAhWJvY8KHQ78AsQQFggnMAA&url=http%3A
%2F%2Fjurnalmahasiswa.unesa.ac.id%2Farticle
%2F21231%2F19%2Farticle.pdf&usg=AFQjCNGOiTJFCyDqHC1veZ
Thv1Ow0FbgAA [Diakses 09 Februari 2017].

Nur Afini Khafsoh, Imam Yudhianto Soetopo, dan Mahfudz Daroini,


Pemanfaatan Gadget Dalam Memaksimalkan Pelayanan Masyarakat,
Jurnal Administrasi Publik, Madiun : IJPA, No. 1 Vol. 3 Juni 2017.

Nursalam, 2017. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan : Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Olla, M. B., Helena, N., Daulima, C., Susanti, Y., & Putri, E. (2018). Enfermería
Clínica. Enfermería clínica, 28, 122—125.
https://doi.org/10.1016/S1130-8621(18)30050-0

Padjrin, P. (2016). Pola Asuh Anak dalam Perspektif Pendidikan Islam.


Intelektualita, 5(1), 1. https://doi.org/10.19109/intelektualita.v5i1.720

Palar, J. E., Onibala, F., & Oroh, W. (2018). Hubungan Peran Keluarga Dalam
Menghindari Dampak Negatif Penggunaan Gadget Pada Anak Dengan
Perilaku Anak Dalam Penggunaan Gadget Di Desa Kiawa 2 Barat
Kecamatan Kawangkoan Utara. Jurnal Keperawatan, 6(2), 1—8.

Persepsi, P., Asuh, P., Setelah, P., Program, M., Ibu, S., Calon, D. A. N., &
Banjarmasin, K. (2019). Perubahan persepsi pola asuh peserta setelah
mengikuti program sekolah ibu dan calon ibu kota banjarmasin, 3(1),
66

11—25.
Pratiwi, K. E. (2020). pengaruh pola asuh orang tua terhadap kemandirian anak
di sd negeri 38 Kota Parepare The Influence Of Parents on Children s
Independence in Primary School 38 State Parepare City, 1(1).
Rakhmawati, I. (n.d.). Peran Keluarga dalam Pengasuhan Anak, 6(1), 1—18.
https://doi.org/https://doi.org/10.21043/kr.v6i1.1037

Santosa, A. I., Rafli, Z., & Lustyantie, N. (2018). Pengaruh Pola Asuh Orang
Tua dan Sikap Bahasa terhadap Kemampuan Membaca Pemahaman
The Influence of Parenting Style and Language Attitude toward the
Reading Comprehension Achievement, 18(April), 69—80.
Setianingsih, Ardani, A.F., & dan Khayati, T.N. (2018). Dampak Penggunaan
Gadget pada Anak Usia Prasekolah dapat Mengakibatkan Resiko
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas. GASTER, Volume
XVI(2), 191-205. Tersedia pada: http://www.jurnal.stikes-
aisyiyah.ac.id/index.php/gaster/article/download/297/191.

Saryono & Mekar, A.D. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif
Dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika

S.I. Benn and R.S. Peters, The Principles of Political Thought, CollietBooks, New
Yark, 1964

Silaen, Sofar. 2018. Metodologi Penelitian Sosial untuk Penulisan Skripsi dan
Tesis. Jakarta: In Media.

Sitoremi fitriana. 2014. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perilaku Jajan
Magelang. Magelang.

Soetjaningsih, 2017. Tumbuh Kembang Anak. EGC: Jakarta


Sofiani, I. K., & Sumarni, T. (2020). Jurnal Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia
Dini Bias Gender dalam Pola Asuh Orangtua pada Anak Usia Dini
Abstrak, 4(2), 766—777. https://doi.org/10.31004/obsesi.v4i2.300

Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung:


Alfabeta.

Sujianti. (2018). Hubungan Lama dan Frekuensi Penggunaan Gadget dengan


Perkembangan Sosial Anak Pra Sekolah di TK Islam AL Irsyad 01
Cilacap” JURNAL KEBIDANAN, Volume 8(1), 54-65. Tersedia
pada
http://ejournal.poltekkes-smg.ac.id/ojs/index.php/jurkeb/article/view
/3735/91.
67

Sukmawati, B. 2019. “Pengaruh Gadget terhadap Perkembangan Bicara Anak


Usia 3 Tahun di TK Buah Hati Kita”. Jurnal Pendidikan Luar Biasa.
Vol. 3 (1): hal. 51-60..

Sumarni, T., & Sofiani, I. K. (2019). Pengaruh gawai dalam pola asuh orang tua
terhadap anak usia dini ( Studi Kasus Orang Tua dari Anak Usia 5
Tahun di TKIT Ibu Harapan Kecamatan Bengkalis ), 11(1), 96—113.
https://doi.org/https://doi.org/10.35445/alishlah.v11i104

Sunita, I. and Mayasari, E. (2018) „Pengawasan Orangtua Terhadap Dampak


Penggunaan Gadget Pada Anak‟, Jurnal Endurance, 3(3), p. 510.
doi: 10.22216/jen.v3i3.2485.
Susanto, A. (2014). Perkembangan Anak Usia Dini. Jakarta: Media Group.
Suteja, J. (2017). Dampak pola asuh orang tua terhadap perkembangan sosial
emosional anak.
https://doi.org/https://doi.org/10.24235/awlady.v3i1.1331

Titus, Harold et ale Persoalan-persoalan Filsafat,alihbahasakan oleh H.M. Rasjidi,


Bulan Bintang, Jakarta, 1984.

Tirtayani, L.A., Magta, M., & Lestari, N.G.A.M.Y. (2017). Teacher Frienly E-
Flashcard:A Development Of Bilingual Learning Media For Young
Learners. Journal of Education Technology, Volume 1(1), 18-29.
Tersedia pada
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JET/article/view/10080/6416

UU Nomor 20 Tahun 2003 (Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional) Bab I


Pasal 1 Ayat 14

Viandari dan susilawati (2019). "Peran pola asuh orangtua dan penggunaan
gadget terhadap interaksi sosial anak prasekolah". Jurnal Psikologi
Udayana. Vol. 6 (1): hal. 76-87.
Wiratna, S. 2014 . Metodologi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta : Gava
Media.

World Health Organization. (2014). Early Child Development. Retrieved October


14, 2018, from www.who.int

Woetzel Robert K., The Philosophy of Freedom, Popular Library, Inc., New
York, 1996.

Wulandari. (2009). Perbedaan Kematangan Sosial Anak Ditinjau Dari


Keikutsertaan Pendidikan Prasekolah (Playgroup). Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
68

Wulandari, P. Y. (2016). Anak Asuhan Gadget. Diambil 2 Agustus 2018, dari


https://www.liputan6.com/health/read /2460330/anak-asuhan-gadget
Yunita, R., Syarifuddin, H., Fitria, Y., Padang, U. N., & Barat, S. (2020). Jurnal
basicedu, 4(3), 571—576.
https://doi.org/https://doi.org/10.31004/basicedu. v4i3.390

Zulfitria. (2017). Pola asuh orang tua dalam penggunaan smarthphone pada anak
sekolah dasar. Holistika: Jurnal Ilmiah PGSD, Volume 1(2). Tersedia
pada:
https://jurnal.umj.ac.id/index.php/holistika/article/download/2502/2070

Anda mungkin juga menyukai