Anda di halaman 1dari 2

Perkembangan perkotaan meningkatkan kebutuhan lahan terbangun untuk tempat tinggal, bekerja, dll.

Di Buenos Aires, aglomerasi pembangunan dan konversi lahan terjadi pada pinggiran kota, mengubah
lahan-lahan pertanian menjadi lahan permukiman padat, memindahkan tanah subur pada lapisan
teratas untuk fungsi lain; hal ini disebut geofagi. Area hutan di tepian sungai yang merupakan kawasan
vital juga terkonversi. Pembangunan-pembangunan ini dilakukan tanpa perencanaan sistem
pembuangan limbah dan air bersih. [2] Pada jangka panjang, hal ini akan berdampak terhadap ekologi
kota, seperti peningkatan polusi pada sungai misal tercemar oleh bakteri E-Coli, peningkatan suhu
lingkungan, dan akhirnya pada masyarakat terkena penyakit diare, penyakit kulit, dan potensi malaria. [4]
[5]

Di kota Orebro di Swedia, perkembangan perkotaan telah mengurangi jumlah pohon, semakin berkurang
dari pinggiran ke tengah kota. Kekayaan spesies burung pun semakin berkurang dari pinggiran ke tengah
kota, seperti burung pelatuk, burung hutan, dan burung yang bersarang di lubang. Dapat dikatakan
perkembangan kota saat itu tidak dapat mengakomodasi kebutuhan hidup spesies lain. [6]

Selain keberlanjutan spesies lain, konversi lahan hijau (green space) menjadi terbangun (grey space)
akan meningkatkan suhu kota. Di Kota Semarang, luasan RTH yang berkurang dari 15.28% menjadi 9.91%
berdampak pada peningkatan suhu rata-rata kota dari 20.750C menjadi 22.070C. [3]

Dalam perkembangannya, untuk meningkatkan keberlanjutan, dibuatlah konsep infrastruktur hijau


(penggunan material alami, perencanaan lanskap yang mendukung ruang hijau, teknologi pengolahan
air) dan usaha rehabilitas lingkungan untuk mengurangi suhu kota. Contohnya ialah Kota Oakland yang
menanam vegetasi bambu pada hutan kota, di pinggiran sungai, dan sebagai sabuk hijau. Manfaatnya
ialah udara, tanah, dan air tersaring, meningkatkan kualitas udara, dan mengurangi limpasan air badai.
[1]

Di Indonesia, kebijakan terkait infrastruktur hijau ditetapkan melalui Program Pengembangan Kota Hijau
(P2KH) meliputi 8 atribut, salah satunya ruang terbuka hijau. Dari sisi sosial, RTH berdampak baik
terhadap kerekatan komunitas. [7]

[1] Bucknum, B. Urban Biofilter: Environmental Justice Via Green Infrastructure.

[2] Morello, J. dkk. 2000. R. Casas Urbanization and the consumption of fertile land and other ecological
changes: the case of Buenos Aires. Environment&Urbanization Vol 12 No 2 October 2000.

[3] Nugraha, S.B., Sidiq, W.A.B.N., Hanafi, F. 2016. Landsat Image Analysis for Open Spaces Change
Monitoring to Temperature Changes in Semarang City. Advances in Social Science, Education and
Humanities Research, volume 79 pada 1st International Conference on Geography and Education (ICGE
2016).

[4] Puspitasari, D.E., 2009. Dampak Pencemaran Air terhadap Kesehatan Lingkungan dalam Perspektif
Hukum Lingkungan. Mimbar Hukum Volume 21 No 1 Februari 2009 halaman 23-34.
[5] Susanto, Arif. 2013. Pengaruh Modifikasi Iklim Mikro dengan Vegetasi Ruang Terbuka Hijau (RTH)
dalam Pengendalian Penyakit Malaria. Jurnal Sainsdan Teknologi Lingkungan ISSN: 2085-1227 Vol 5
Nomor 1 Januari 2013 Hal 01-11.

[6] U.G. Sandström a, P. Angelstam a b, G. Mikusiński. 2006. Ecological diversity of birds in relation to the
structure of urban green space. Landscape and Urban Planning Volume 77, Issues 1–2, 15 June 2006,
Pages 39-53. doi.org/10.1016/j.landurbplan.2005.01.004.

[7] Zhu, Y., et al. 2017. The Impact of Green Open Space on Community Attachment—A Case Study of
Three Communities in Beijing. Sustainability 2017, 9, 560; doi:10.3390/su9040560.

Anda mungkin juga menyukai