Anda di halaman 1dari 12

Tinjauan filosofis, teoritis, psikologis, pedagogis, empiris, yuridis tentang penyelenggaraan

pendidikan inklusif di Indonesia

1. Filosofis
a. Pancasila, lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar
lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan
kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertikal maupun horizontal. Kebinekaan vertikal
ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial,
kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dsb. Sedangkan kebinekaan horizontal
diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal,
daerah, afiliasi politik, dsb.
b. Pandangan agama khususnya Islam antara lain ditegaskan bahwa: (1) manusia dilahirkan
dalam keadaan suci, (2) kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan bukan karena fisik tetapi
taqwanya, (3) Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri, (4)
manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi(‘inklusif’)
c. Pandangan universal hak azasi manusia, menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai
hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, hak pekerjaan
2. Teoritis
Pendidikan inklusif adalah sitem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak
berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-
teman seusianya ( Sapon Shevin dalam O’Neil 1994). Sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini
menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan
kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat
diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil (Stainback, 1980). Berdasarkan batasan
tersebut pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang
mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di
sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Semangat penyelenggaraan
pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan atau kases yang seluas-luasnya kepada
semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan
individu peserta didik tanpa diskriminasi.
3. Psikologis
Dengan perlakuan dan kesempatan yang sama, maka :
a. Menghindarkan anak berkebutuhan khusus yang tergolong cacat menjadi rendah diri
yang tergolong unggul menjadi tinggi hati.
b. Akan mengurangi rasa takut dan dapat membangun persahabatan, menghargai orang
lain, dan saling pengertian.
c. Sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.
d. Memberikan kemudahan untuk melakukan penyesuaian sosial.
e. Siswa dapat saling belajar tentang pengetahuan dan keterampilan.
4. Pedagogis
Pasal 3 Undang-undang No 20 tahun 2003 menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional
adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Jadi, melaui
pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartispiasi
dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari
teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya mereka harus diberi
kesempatan bersama teman sebayanya.
5. Empiris
a. Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan se dunia. Deklarasi
ini sebenarnya penagasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan
berbagai deklarasi lajutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993
tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan
sebagai bagian integral dari system pendidikan ada. Deklarasi Salamanca menekankan
bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa
memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
b. Konvensi Hak Anak, 1989
c. Konferensi dunia tentang Pendidikan untuk semua, 1990
d. Resolusi PBB nomor 48/49 tahun 1993 tentang persamaan kesempatan bagi orang
berkelainan.
e. Pernyataan Salamanca tentang pendidikan inklusi, 1994
f. Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk semua, 2000
g. Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusif,”
h. Rekomendasi Bukittinggi (2005), bahwa pendidikan yang inklusif dan ramah terhadap
anak
6. Yuridis
a. UUD 1945 (Amandemen) Pasal 31 : (1) berbunyi setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan. Ayat (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.
b. UU no 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 48 Pemerintah wajib
menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 tahun untuk semua anak. Pasal 49
Negara, Pemerintah, Keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.
c. Di Indonesia, penerapan pendidikan inklusif dijamin oleh Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya
menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkekurangan
atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif
d. Peraturan pemerintah no 19 tahun 2005 tentang standar Nasional pendidikan Pasal 2 ayat
(1) Lingkungan Standar Nasional Pendidikan meliputi standar isi, standar proses, standar
kompetensi lulusan, standar pendidik dan kependidikan, standar sarana prasarana,
standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Dalam PP
No 19/2005 tersebut juga dijelaskan bahwa satuan pendidikan khusus terdiri atas SDLB,
SMPLB, SMA LB.

Kaitan dengan kompetensi professional guru, guru perlu memahami pedoman khusus
penyelenggara inklusi.

1) Guru mampu menyusun instrumen asesmen pendidikan bersamasama dengan guru kelas
dan guru mata pelajaran.
2) Mampu membangun sistem koordinasi antar guru, pihak sekolah, dan orang tua peserta
didik.
3) Melaksanakan pendampingan ABK pada kegiatan pembelajaran bersama-sama dengan
guru kelas/guru bidang studi/mata pelajaran.
4) Memberikan bantuan layanan khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang
mengalami hambatan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas umum, berupa
remidi ataupun pengayaan. Guru dituntut mampu membuat Curriculum Based
Assesment (CBA) dalam kegiatan pembelajaran.
5) Memberikan bimbingan secara berkelanjutan dan membuat catatan khusus kepada anak-
anak berkebutuhan khusus selama mengikuti kegiatan pembelajaran
6) Memberikan bantuan (berbagi pengalaman) pada guru kelas dan/atau guru mata
pelajaran agar mereka dapat memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak
berkebutuhan khusus.

e. UU no 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional.


1) Pasal 5 ayat (1) setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan bermutu. Ayat (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual dan /atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus. Ayat (3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat
adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. Ayat (4) Warga
negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh
pendidikan khusus.
2) Pasal 11 ayat (1) dan (2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan
layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu
bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap
warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
3) Pasal 12 ayat (1) setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak
mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dngan bakat, minat dan kemampuannya
(1b) Setiap peserta didik berhak pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan
pendidikan lain yang setara (1e)
4) Pasal 32 ayat (1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang
memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan
fisik, emosional, mental, sosial, dan /atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa. Ayat (2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta
didik di daerah teerpencil atau terbelakang, masyarakat adat terpencil, dan /atau
mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
5) Dalam penjelasan pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa pendidikan khusus
merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau
peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara
inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan
menengah.
6) Pasal 45 ayat (1) Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan
sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial,
emosional, dan kejiwaan peserta didik.
f. Peraturan pemerintah no 19 tahun 2005 tentang standar Nasional pendidikan Pasal 2 ayat
(1) Lingkungan Standar Nasional Pendidikan meliputi standar isi, standar proses, standar
kompetensi lulusan, standar pendidik dan kependidikan, standar sarana prasarana,
standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Dalam PP
No 19/2005 tersebut juga dijelaskan bahwa satuan pendidikan khusus terdiri atas SDLB,
SMPLB, SMA LB.
g. Surat edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No 380/C.C6/MNB/2003 tanggal 20 Januari
2003 perihal pendidikan inklusif menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap
kabupaten /kota sekurang-kurangnya 4 sekolah yang terdiri dari : SD, SMP, SMA, dan
SMK.

HOTS C4, C5, C6

1. C4 (MENGANALISIS)
Kemampuan Butir Soal C4 (Menganalisis), pada tahap C4 telah memenuhi kriteria untuk
dapat dikatakan bahwa soal tersebut telah mengajak siswa untuk menganalisis dan
menemukan suatu topik dalam teks. Meskipun demikian soal-soal tersebut belum mengajak
siswa untuk berpikir kritis dalam menghadapi soal. Siswa hanya diajak untuk sekadar
menganalisis dan menemukan fenomena yang terdapat dalam teks tanpa ada tindak lanjut,
sehingga dapat dikatakan bahwa soal tersebut belum memenuhi kriteria soal HOTS
2. C5 (MENGEVALUASI)
Kemampuan Butir Soal C5 (Mengevaluasi), tahapan C5 yaitu, tahap di mana siswa diajak
untuk menilai dari suatu teks. Meskipun demikian soal tersebut belum dapat dikatakan untuk
memenuhi kriteria soal HOTS. Soal tersebut hanya sekadar meminta siswa untuk menilai,
membandingkan dan menyimpulkan dari suatu permasalahan teks.Tingkatan soal evaluasi
mengajak siswa untuk menilai, mecermati, meimbang, serta memutuskan mana yang benar-
salah, baik-benar terhadap fenomena yang mereka analisis.Evaluasi lebih pada tahab belajar
membandingkan dan mempertimbangkan sesuatu atas dasar sebab akibat.Melalui tahap
evaluasi siswa belajar untuk bertanggung jawab atas hal yang disampaikan.
3. C6 (MENCIPTA)
Kemampuan Butir Soal C6 (Mencipta), salah satu yang menjadi karakteristik soal HOTS
pada bagian mencpita adalah siswa diajak untuk berfikir menerapkan teori yang sudah
didapatkannya.Dalam hal ini guru harus kreatif menentukan hasil akhir yang ingin diperoleh
dari pekerjaan siswa.Soal yang diberikan kepada siswa harus mampu membuat siswa untuk
kreatif dalam membuat jawaban

Tingkatan soal C4-C6 mengajak siswa untuk menilai, mecermati, meimbang, serta
memutuskan mana yang benar-salah, baik-benar terhadap fenomena yang mereka analisis.
Menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta lebih pada tahab belajar membandingkan dan
mempertimbangkan sesuatu atas dasar sebab akibat. Melalui tahap tersebut siswa belajar untuk
bertanggung jawab atas hal yang disampaikan. Hal-hal yang menyebabkan soalsoal tersebut
belum memenuhi kategori HOTS, yaitu siswa belum diajak mengevaluasi lebih dalam suatu
bacaan, terjadi kerancuan perintah soal yang membuat siswa bingung dengan perintah yang
dipaparkan dalam soal, dan perintah soal yang digunakan belum membangun konsep soal HOTS
karena soal yang dibuat masih terlalu sederhana. Hal tersebut, akhirnya berdampak pada
pergeseran kemampuan siswa dalam membangun HOTS yang dimulai dari dasar.

Higher Order Thinking Skill (HOTS) adalah keterampilan berpikir tingkat tinggi yang
menuntut pemikiran secara kritis, kreatif, analitis, terhadap informasi dan data dalam
memecahkan permasalahan.Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tipe soal HOTS
merupakan salah satu tipe soal yang bertujuan untuk mengajak siswa lebih dalam menganalisis
suatu permasalahan yang dipaparkan.Adapun dalam praktiknya masih ditemukan beberapa
kendala, di antaranya yaitu a) siswa kurang bisa membedakan mana kategori soal antara C4, C5,
ataupun C6 dalam penerapan membuat soal, b) siswa masih kesulitan dalam mengaplikasikan
kata kerja operasional (KKO) dalam pembuatan soal-soal C4, C6, ataupun C6, c) terjadi
ketidakselarasan antara capaian kategori dengan perintah dalam soal.

Membuat keputusan kelayakan pendidikan khusus

1. Memahami disabilitas yang diakui oleh Undang-Undang Peningkatan Pendidikan


Penyandang Disabilitas.

2. Memahami bagaimana kebutuhan akan pendidikan khusus ditetapkan


3. Memahami tim multidisiplin (komposisi dan tanggung jawab mereka).
4. Memahami proses untuk menentukan kelayakan (termasuk pengamanan prosedural,
persyaratan untuk penilaian yang valid, dan proses tim).
5. Memahami masalah umum dalam menentukan kelayakan

Jenis-Jenis Gangguan

1. Autisme
Siswa autis adalah mereka yang menunjukkan “ketidakmampuan perkembangan
secara signifikan mempengaruhi komunikasi verbal dan nonverbal dan interaksi sosial,
umumnya terlihat sebelum usia 3 tahun, yang berdampak buruk pada kinerja pendidikan
anak. Karakteristik lain yang sering dikaitkan dengan autisme adalah keterlibatan dalam
aktivitas berulang dan gerakan stereotip, resistensi terhadap perubahan lingkungan atau
perubahan rutinitas sehari-hari, dan respons yang tidak biasa terhadap pengalaman
sensorik. Autisme tidak berlaku jika kinerja pendidikan anak terpengaruh terutama
karena anak tersebut memiliki gangguan emosional.”
Siswa dengan suspek autisme biasanya dievaluasi oleh spesialis bicara dan bahasa dan
psikolog setelah ditentukan bahwa beberapa aspek dari: kinerja pendidikan mereka
berada di luar kisaran normal dan berbagai upaya untuk memperbaiki masalah
pendidikan telah gagal. Seringkali, seorang spesialis bicara dan bahasa akan mencari
gangguan komunikasi verbal dan nonverbal. Sebagian besar anak autis bisu, gangguan
yang mudah terlihat. Autisme pada siswa dengan pidato dan bahasa mungkin
memanifestasikan dirinya sebagai pemikiran yang terlalu konkret. Misalnya, seorang
siswa autis mungkin bereaksi terhadap pernyataan seperti "jangan menangisi susu yang
tumpah" secara harfiah ("Saya tidak menumpahkan susu apa pun"). Manifestasi lain
adalah kurangnya percakapan timbal balik (biasanya panjang, sering membosankan, orasi
tentang subjek favorit) dan kegagalan untuk mengenali minat pendengar yang berkurang.
Selain itu, gangguan komunikasi sosial ini akan menjadi ciri yang konsisten dari perilaku
siswa daripada kegembiraan yang berlebihan sesekali. Psikolog mencari perilaku yang
mendefinisikan kondisi: aktivitas berulang (misalnya, perilaku merangsang diri sendiri,
memutar objek, menyelaraskan objek, dan mencium objek), gerakan stereotip (misalnya,
mengayunkan tangan, mengayun, dan membenturkan kepala), resistensi terhadap
perubahan (misalnya, hanya makan makanan tertentu atau mengamuk saat aktivitas
berakhir). Seorang psikolog juga dapat memberikan skala penilaian perilaku (misalnya,
Skala Penilaian Autisme Gilliam) sebagai bantuan untuk diagnosis. Akhirnya, seorang
psikolog mengesampingkan gangguan emosional sebagai penyebab perilaku dan
gangguan siswa.
2. Keterbelakangan mental
Siswa dengan keterbelakangan mental adalah mereka yang menunjukkan "fungsi
intelektual umum yang secara signifikan di bawah rata-rata, yang ada bersamaan dengan
defisit dalam perilaku adaptif dan dimanifestasikan selama periode perkembangan, yang
berdampak buruk pada kinerja pendidikan anak." Siswa yang akhirnya diberi label
"terbelakang mental" sering disebut karena kelambanan umum: Mereka tertinggal dari
teman seusia mereka di sebagian besar bidang prestasi akademik, perkembangan sosial
dan emosional, kemampuan bahasa, dan, mungkin, perkembangan fisik.
Biasanya, psikolog akan memberikan tes kecerdasan yang sesuai dengan usia,
akulturasi, dan kemampuan fisik dan indera siswa. Di sebagian besar negara bagian,
siswa harus memiliki IQ yang dua standar deviasi atau lebih di bawah rata-rata (biasanya
70 atau kurang) pada tes yang diberikan secara sah. Namun, tes kecerdasan saja tidak
cukup. Murid juga harus menunjukkan gangguan dalam perilaku adaptif. Tidak ada
persyaratan federal bahwa tes atau skala penilaian digunakan untuk menilai perilaku
adaptif secara psikometri. Dalam praktiknya, sebagian besar psikolog sekolah akan
mengelola skala perilaku adaptif (misalnya, Skala Perilaku Adaptif Vineland II). Namun,
ketika tidak mungkin untuk melakukannya dengan tepat, seorang psikolog akan
mewawancarai orang tua atau wali dan membuat penilaian klinis tentang perilaku adaptif
siswa.
3. Ketidakmampuan Belajar Spesifik
Siswa dengan ketidakmampuan belajar adalah mereka yang menunjukkan
“kelainan dalam satu atau lebih proses psikologis dasar yang terlibat dalam memahami
atau menggunakan bahasa, lisan atau tulisan, yang dapat memanifestasikan dirinya dalam
kemampuan yang tidak sempurna untuk mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca,
menulis, mengeja, atau melakukan perhitungan matematis, termasuk kondisi seperti cacat
persepsi, cedera otak, disfungsi otak minimal, disleksia, dan afasia perkembangan. . . .
Ketidakmampuan belajar spesifik tidak termasuk masalah belajar yang terutama
disebabkan oleh cacat visual, pendengaran, atau motorik, keterbelakangan mental,
gangguan emosional, atau kerugian lingkungan, budaya, atau ekonomi.”
Siswa yang akhirnya diberi label memiliki ketidakmampuan belajar tidak
mencapai secara memadai atau memenuhi standar tingkat kelas yang disetujui negara
bagian dalam satu atau lebih bidang pencapaian inti ketika diberikan pengalaman belajar
dan instruksi yang sesuai untuk usia anak atau standar tingkat kelas yang disetujui negara
bagian.
Terlepas dari pendekatan yang digunakan, komite yang bertanggung jawab untuk
membuat penentuan yang sebenarnya bahwa seorang siswa memiliki ketidakmampuan
belajar harus mengesampingkan penyebab lain untuk pencapaian yang buruk dalam
ekspresi lisan, pemahaman mendengarkan, ekspresi tertulis, keterampilan membaca
dasar, pemahaman membaca, perhitungan matematika, dan penalaran matematika. IDEA
secara khusus melarang bahwa masalah prestasi siswa disebabkan oleh gangguan
penglihatan, pendengaran, atau motorik; keterbelakangan mental; gangguan emosi; atau
kerugian lingkungan, budaya, atau ekonomi.
Evaluasi formal siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar dimulai setelah
ditentukan bahwa prestasi pendidikan siswa di bidang tertentu (misalnya, keterampilan
membaca dasar) berada di luar kisaran normal dan berbagai upaya untuk mengatasi
masalah pendidikan telah gagal. . Evaluasi siswa ini harus mencakup pengamatan setiap
siswa di lingkungan belajar siswa untuk mendokumentasikan kinerja akademik dan
perilaku siswa di bidang yang menjadi perhatian (§300.310). Siswa juga dapat dievaluasi

[02.21, 22/10/2021] dindarahma: http://repository.radenintan.ac.id/11543/3/BAB%20II-


converted.pdf

[02.22, 22/10/2021] dindarahma: https://media.neliti.com/media/publications/240795-


pendidikan-inklusif-2d95e4e9.pdf

[02.22, 22/10/2021] dindarahma: http://digilib.uinsby.ac.id/5166/5/Bab%202.pdf

file:///C:/Users/Hp/Downloads/12875-26727-1-SM.pdf

Gambar tersebut menggambarkan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Di sini menunjukkan


bahwa anak berkebutuhan khusus berhak memperoleh kesempatan yang sama dengan anak
lainnya (regular) dalam pendidikan. Landasan psikologis penyelenggaraan pendidikan inklusif
ini yaitu dengan perlakuan dan kesempatan yang sama, maka :

1. Menghindarkan anak berkebutuhan khusus yang tergolong cacat menjadi rendah diri yang
tergolong unggul menjadi tinggi hati.

2. Akan mengurangi rasa takut dan dapat membangun persahabatan, menghargai orang lain, dan
saling pengertian.

3. Sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.

4. Memberikan kemudahan untuk melakukan penyesuaian sosial.

5. Siswa dapat saling belajar tentang pengetahuan dan keterampilan.

Dengan landasan psikologis tersebut, diperlukan kompetensi pedagogis guru. Kompetensi


pedagosis ini yaitu kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran. Hal ini meliputi
perencanaan, implementasi, dan evaluasi hasil belajar peserta didik. Seorang pendidik harus
menguasai ilmu yang luas terkait materi pelajaran yang akan disampaikan, memahami serta
menguasai teori dan praktik dalam mendidik, teknologi pendidikan, memahami teori evaluasi
dan psikologi belajar. Sebagaimana landasan psikologis, dalam kompetensi pedagogis guru hal
yang mendasar yang harus dimiliki pendidik adalah menerapkan pembelajaran sesuai dengan
karakteristik siswa, ramah, dan terbuka, sehingga anak berkebutuhan khusus dan regular dapat
belajar berdampingan. Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang baik. Guru harus dapat
mengatasi peserta didik, mempertimbangkan materi pembelajaran baik teori maupun yang
dilakukan secara praktik, dapat menyusun perangkat pembelajaran dengan baik, yang
menggunakan media ataupun tidak, dan mampu memberikan motivasi siswa agar kemampuan
peserta didik berkembang.

Semua ini didasari dari landasan yuridis, yaitu :

a. UUD 1945 (Amandemen) Pasal 31 : (1) berbunyi setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan. Ayat (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya.

b. UU no 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 48 Pemerintah wajib


menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 tahun untuk semua anak. Pasal 49 Negara,
Pemerintah, Keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
anak untuk memperoleh pendidikan.

c. UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat (1) Setiap warga
negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (2) Warga
negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus. (3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta
masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. (4) Warga
negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan
khusus.

d. Peraturan pemerintah no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 2 ayat (1)
Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi: standar isi, standar proses, standar kompetensi
lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar
pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai