Anda di halaman 1dari 57

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyusunan rencana kerja mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor

20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah dan Peraturan Pemerintah

Nomor 21 Tahun 2004 tentang RKA-KL. Penyusunan rencana kerja kementerian

negara/lembaga untuk periode satu tahun dituangkan dalam RKA-KL. Untuk

selanjutnya, petunjuk teknis penyusunan RKA-KL ditetapkan setiap tahun melalui

Keputusan Menteri Keuangan.

Reformasi di bidang penyusunan anggaran juga diamanatkan dalam

Undang-undang 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang memuat berbagai

perubahan mendasar dalam pendekatan penyusunan anggaran. Perubahan

mendasar tersebut, meliputi aspek-aspek penerapan pendekatan penganggaran

dengan prospektif jangka menengah (medium term expenditure framework),

penerapan penganggaran secara terpadu (unified budget), dan penerapan

penganggaran berdasarkan kinerja (performance budget). Dengan menggunakan

pendekatan penyusunan anggaran tersebut, maka penyusunan rencana kerja dan

anggaran diharapkan akan semakin menjamin peningkatan keterkaitan antara

proses perencanaan dan penganggaran (planning and budgeting).

Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat ditentukan oleh kualitas

perencanaan dan penganggaran. Namun hingga saat ini proses penyusunan

perencanaan dan penganggaran belum sepenuhnya dapat terlaksana sesuai


2

harapan. Permasalahan yang sering dihadapi oleh para perencana setiap tahun

diantaranya adalah sulitnya sinkronisasi dan koordinasi antar unit serta waktu

perencanaan yang terkesan singkat atau tergesa-gesa. Untuk mengatasi

permasalahan tersebut, maka para perencana diharapkan dapat memahami siklus

dan jadwal serta kegiatan umum perencanaan dan penganggaran. Hal ini untuk

memudahkan penyusunan Rencana Kerja (Renja) di tingkat Pusat

(Kementerian/Lembaga) dan Daerah (provinsi dan kabupaten/kota) yang

bersumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), baik dari rupiah

murni, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan atau Pinjaman/Hibah Luar

Negeri (P/HLN). Perhatian ditekankan pada sinkronisasi an ara Pusat dan Daerah

khususnya untuk Dana Dekonsentrasi (Dekon) dan Tugas Pembantuan (TP).

Dengan mengetahui dan memahami siklus dan jadwal penyusunan serta kegiatan

umum perencanaan APBN ini, diharapkan dapat Menyusun perencanaan dengan

baik dan tepat waktu.

Dinas Kesehatan sebagai salah satu organisasi sektor publik dituntut

untuk menghadapi tekanan agar lebih efisien, memperhitungkan biaya ekonomi

dan biaya sosial, serta dampak negatif atas aktifitas yang dilakukan. Aktifitas

utama dari Dinas Kesehatan adalah memberikan pelayanan dan perawatan, salah

satunya di persediaan obat. Perhatian terhadap persediaan obat-obatan di Dinas

Kesehatan sangat penting, karena hal tersebut akan mempengaruhi kualitas

pelayanan suatu Dinas Kesehatan sehingga dengan tersedianya persediaan obat-

obatan tersebut dapat memenuhi kebutuhan pengguna jasa Dinas Kesehatan

(pasien). Pengelolaan obat pada Dinas Kesehatan bertujuan untuk menjamin


3

kelangsungan, ketersediaan, dan keterjangkauan obat yang efesien, efektif dan

rasional. Dimana pengendalian obat merupakan kegiatan untuk memastikan

tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai strategi dan program yang telah

ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan atau kekosongan obat

di unit pelayanan kesehatan dasar.

Organisasi sektor publik merupakan sektor pelayanan yang menyediakan

barang atau jasa bagi masyarakat umum dengan sumber dana yang berasal dari

pajak dan penerimaan negara lainnya, dimana kegiatannya banyak diatur dengan

ketentuan atau peraturan. Jenis kegiatan yang dilakukan adalah penyediaan

pelayanan yang bersifat monopolistik, yang dipandang sebagai bagian dari

kebutuhan masyarakat. Menurut PP No 51 tahun 2009, apotek menjalankan fungsi

sebagai sarana pelayanan kefarmasian berupa penjualan atas obat-obatan yang

sangat rentan untuk mengalami kerusakan, pencurian dan kadaluarsa. Penerapan

pengendalian internal atas persediaan obat dalam Puskesmas Bahu sudah ada tapi

belum diketahui apakah sudah dilaksanakan atau sudah diterapkan dalam

persediaan obat tersebut.

Pengendalian Internal merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh

suatu organisasi, perusahaan bahkan instansi agar tidak terjadi penyalahgunaan.

Pengendalian internal diperlukan untuk melakukan tindakan pengamanan dimana

bertujuan agar bisa mencegah terjadinya kerusakan, pencurian, maupun tindakan

penyimpangan lainnya. Selain itu, pengendalian internal ditujukan agar semua

aturan yang ditetapkan dilaksanakan oleh semua staff organisasi (Daos dan Angi,

2019).
4

Committee of Sponsoring Organization atau disingkat (COSO), adalah

suatu inisiatif dari sektor swasta yang dibentuk pada tahun 1985. Tujuan

utamanya adalah untuk mengidentifikasih faktor-faktor yang menyebabkan

penggelapan laporan keuangan dan buat rekomendasi untuk mengurangi kejadian

tersebut. Pengendalian internal menurut Committee of Sponsoring Organization

(COSO) dibagi kedalam lima komponen yaitu, lingkungan pengendalian,

penetapan risiko, aktifitas pengendalian, informasi, dan komunikasi serta

pengawasan (Suryani, 2019). Oleh karena itu setiap organisasi, perusahaan

maupun instansi perlu menjalankan pengendalian internal agar tujuan yang

ditetapkan dapat tercapai. Sedangkan pengendalian internal menurut PP No 60

tahun 2008 tentang SPIP adalah proses yang integral pada Tindakan dan kegiatan

yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk

memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan oerganisasi melalui

kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan laporan keuangan, pengamanan asset

negara dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

Menurut (Makikui et al., 2017), salah satu jenis pengendalian yang harus

dilakukan pada sebuah organisasi adalah pengendalian terhadap persediaan,

karena persediaan merupakan salah satu sumber pemasukan. Dan menurut Ikatan

Akuntansi Indonesia dalam PSAK No. 14 (2014), Persediaan adalah aset tersedia

untuk dijual dalam kegiatan usaha normal, aset dalam proses produksi atau dalam

perjalanan, dan aset dalam bentuk bahan atau perlengkapan (supplies) untuk

digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa. Sedangkan menurut

Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah (PSAP) No. 5 peraturan pemerintah


5

No. 71 Tahun 2010, Persediaan adalah asset lancer dalam bentuk barang atau

perlengkapan yang dimaksudkan untuk mendukung kegiatan operasional

pemerintah dan barang-barang yang dimaksudkan untuk dijual dan / atau

diserahkan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, instansi

dinas kesehatan yang memiliki persediaan obat diperlukan pengendalian internal

untuk melindungi persediaan obat tersebut dan dapat memberikan informasi yang

lebih akurat mengenai persediaan obat.

Pengendalian internal persediaan juga sangat memiliki arti penting,

dimana pengendalian internal bisa menjaga ketersediaan persediaan dan juga

dapat menargetkan kapan persediaan tersebut habis dan kapan persediaan perlu

diperbaharui. Pengelolaan persediaan obat pada Dinas Kesehatan sangatlah

penting karena peresediaan tersebut akan di supplies ke pelayanan kesehatan yang

berada dibawah naungan Dinas Kesehatan seperti Puskesmas, Polindes, dan juga

Apotik yang dibangun oleh pemerintah yang dimana menjadi Unit Pelaksanaan

Teknis Daerah dan dituntut untuk selalu efisien dalam memberikan pelayanan dan

perawatan terhadap masyarakat.

Penelitian tentang analisis pengendalian internal terhadap persediaan obat

telah dilakukan oleh bebrapa peneliti sebelumnya. Menurut Djuharni (2021)

dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan Sistem Pengendalian Internal Atas

Persediaan Obat-Obatan Pada UPTD Puskesmas Puncu” menyatakan bahwa hasil

penelitian ini menampilkan bahwa sistem pengendalian internal pada UPTD

Puskesmas Puncu telah berjalan baik dengan didukung oleh tata nilai yang telah

ditetapkan oleh organisasi. Puskesmas Puncu menggunakan tata nilai PERMATA


6

(profesional, empati, ramah, memuaskan, aktif tanggap dan aman) sebagai

landasan untuk mendukung efektivitas pengendalian internal.

Priyastiwi (2021) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis

Pengendalian Internal Atas Persediaan Obat (Studi Kasus Di Apotek Mukti)”

menunjukan bahwa apotik mukti telah menerapkan sebagian besar pengendalian

internal atas persediaan obat yang sesuai dengan standar pengendalian internal

menurut COSO (Committee Of Sponsoring Organization). Komponen yang belum

sepenuhnya diterapkan yaitu lingkungan pengendalian.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Eriswanto (2020) dengan

judul Analisis Sistem Pengendalian Internal atas Persediaan Obat (Studi Kasus di

Puskesmas Bojonggenteng Kabupaten Sukabumi menunjukan bahwa Puskesmas

Bojonggenteng sudah menerapkan sebagian besar pengendalian internal namun,

belum memiliki dewan komisaris yang melakukan fungsi pengawasan terhadap

pengendalian internal persediaan selain itu puskesmas telah membentuk striuktur

organisasi namun masih terdapat rangkap fungsi yang dilakukan karyawan

pengeloalaan persediaan yang ada di puskesmas tidak lepas dari berbagai resiko

yang mungkin terjadi.

Dari uraian ketiga penelitian diatas memiliki persamaan dan perbedaan.

Persamaannya adalah sama-sama mengukur penerapan pengendalian internal.

Sedangkan perbedaanya terletak pada hasil penelitiaanya dimana menurut

Djuharni (2011) menggunakan tata nilai PERMATA (profesional, empati, ramah,

memuaskan, akif, tanggap dan aman, menurut Priyastiwi (2021) komponen yang

belum sepenuhnya diterapkan yaitu lingkungan pengendalian, dan menurut


7

Eriswanto (2020) belum memiliki dewan komisaris yang melakukan fungsi

pengawasan terhadap pengendalian internal persediaan.

Dari beberapa penelitian diatas penulis ingin menguji kembali dengan

penelitian dari penulis dengan judul Pengendalian Internal atas Persediaan Obat

pada Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka. Yang membedakan penelitian terdahulu

dengan penelitian yang penulis lakukan adalah periode waktu terbaru yaitu 2023

dan tempat penelitiannya yaitu Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka. Dinas

Kesehatan Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur yang beralamat Jalan Eltari

Maumere merupakan instansi yang bertanggung jawab mengenai kesehatan dan

memiliki tugas untuk perumusan kebijakan bidang kesehatan, melaksanakan

kebijakan bidang kesehatan, melaksanakan evaluasi dan pelaporan bidang

kesehatan, melaksanakan administrasi bidang kesehatan dan melaksanakan fungsi

lain yang terkait dengan urusan kesehatan.

Pada Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka dalam pengendalian internal, jika

dilihat berdasarkan COSO (Committee Of Sponsoring Organization), komponen

yang belum sepenuhnya diterapkan yaitu lingkungan pengendalian yaitu prosedur

pengelolaan persediaan awal, penerimaan persediaan, pengeluaran persediaan dan

sisa akhir persediaan. Berdasarkan data laporan tahunan ketersediaan obat Gudang

Farmasi Kesehatan (GFK) Sikka tahun 2017 - 2021 (data terlampir) dapat dilihat

bahwa total obat Gudang banyak tersisa, sehingga persediaan obat tersebut

diedarkan ke rumah sakit (RS) atau puskesmas. Untuk setiap tahunnya terdapat

stok obat yang berlebih dan expired. Stok obat yang expired akan dilakukan

pemusnahan sehingga hal ini perlu adanya perencanaan yang baik agar stok obat
8

pada gudang tidak berlebihan dan sesuai dengan standar serta prosedur yang

berlaku pada Dinkes Kabupaten Sikka. Berdasarkan uraian latar belakang diatas,

maka penulis tertarik untuk mengambil judul penelitian yaitu: “Analisis

Pengendalian Internal Atas Persediaan obat Pada Dinas Kesehatan

Kabupaten Sikka”

1.2 Rumusan Masalah

Melihat peranan dari sistem pengendalian yang menunjang kegiatan

Dinas Kesehatan, maka penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan sistem pengendalian internal atas persedian obat pada

Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka ditinjau dari standar pengendalian internal

menurut PP No. 60 Tahun 2008 ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan sistem pengendalian internal

atas persedian obat pada Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka ditinjau dari

standar pengendalian internal menurut PP No. 60 Tahun 2008.


9

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

1) Bagi Penulis

Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan serta

pengetahuan yang lebih luas mengenai pengendalian internal atas

persediaan obat pada dinas kesehatan.

2) Bagi Universitas Nusa Nipa

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi dan dapat

berguna bagi pihak yang ingin menambah wawasan mengenai

pengendalian internal atas persediaan obat pada dinas kesehatan.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Dinas Kesehatan

Sebagai bahan pertimbangan yang bermanfaat untuk mendukung kemajuan

dan kelancaran persediaan obat di dinas kesehatan.

2. Bagi Pembaca

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan

pembaca mengenai persediaan obat pada dinas kesehatan.


10

1.5 Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan

BAB II : Tinjauan Teori dan Konsep

Bab ini berisi tentang teori-teori yang akan digunakan sebagai dasar

penelitian, penelitian terdahulu, kerangka pemikiran dan juga hipotesis

BAB III : Metodologi Penelitian

Bab ini menjelaskan tentang rancanga penelitian, tempat dan waktu

penelitian, jenis dan sumber data, populasi dan sampel, meode

pengumpulan data, defenisi operasional variabel, dan analisis data.


11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori dan Konsep

2.1.1 Akuntabilitas

Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan

pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah

sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi

saling mengawasi. Akuntabilitas sebagai pertanggungjawaban pihak yang diberi

kuasa mandat untuk memerintah kepada yang memberi mereka mandat.

Sedangkan Lembaga Administrasi Negara menyimpulkan akuntabilitas sebagai

kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan

pengelolaan dan pengendalaian sumberdaya dan pelaksanaan kebijakan yang

dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan

melalui pertanggungjawaban secara periodik (Kaihatu, 2006).

Berbeda dengan kaihatu yang mendefinisikan akuntabilitas menurut

perspektif swasta, Dykstra justru mendefinisikan akuntabilitas menurut perspektif

pemerintah. Dykstra (1939) menyatakan bahwa akuntabilitas adalah sebuah

konsep etika yang dekat dengan administrasi publik (Lembaga eksekutif

pemerintah lembaga legislatif parlemen dan lembaga yudikatif-kehakiman) yang

mempunyai beberapa arti, hal ini sering digunakan secara sinonim dengan konsep-

konsep seperti yang dapat dipertanggujawabkan, yang dapat dipersalahkan dan


12

yang mempunyai ketidak bebasan termasuk istilah lain yang mempunyai

keterkaitan dengan harapan dapat menerangkan salah aspek dari administrasi

publik atau pemerintahan, hal ini sebenarnya telah menjadi pusat-pusat diskusi

yang tingkat problembilitas disektor publik, perusahaan nirlaba, yayasan dan

perusahaan-perusahaan.

The Liang Gie (2001) menyatakan bahwa akuntabilitas adalah kesadaran

dari seorang pengelola kepentingan publik untuk melaksanakan tugasnya dengan

sebaik-baiknya tanpa menurut untuk disaksikan oleh pihak-pihak lain yang

menjadi sasaran pertanggungjawaban. Perbedaan antara responsibility dengan

akuntability adalah tanggung jawab dalam konteks responsibility ditujukan oleh

seorang pengelola kepentingan publik kepada pihak- pihak lain, sedangkan

tanggung jawab dalam konteks akuntabilitas ditujukan oleh seorang pengelola

kepentigan publik kepada dirinya sendiri. Menurut Mardiasmo (2006)

akuntabilitas publik adalah kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk

memberikan pertangggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan

mengungkapkan segala aktifitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya

kepada pihak pemberi amanah (principel) yang memiliki hak dan kewenangan

untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Mardiasmo (2006) memberikan

pengertian Akuntabilitas publik sebagai pemberian informasi dan pengungkapan

atas aktivitas dan kinerja finansial kepada pemerintah kepada pihak-pihak yang

berkepentingan dengan laporan tersebut.

Dalam lingkungan birokrasi, akuntabilitas suatu instansi pemerintah

merupakan suatu perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan


13

keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi instansi bersangkutan,

Akuntabilitas sering disamakan dengan responsibilitas, pertanggungjawaban,

tanggung gugat. Dalam akuntabilitas terkandung kewajiban untuk menyajikan dan

melaporkan segala kegiatan, terutama dalam bidang administrasi keuangan kepada

pihak yang lebih tinggi.

2.1.2 Sistem Pengendalian Intern

2.1.2.1 Pengertian Sistem Pengendalian Intern

Menurut Mulyadi (2008: 163), menyatakan bahwa sistem pengendalian

intern meliputi struktur organisasi, metode dan ukuran-ukuran yang

dikoordinasikan untuk menjaga kekayaan organisasi, mengecek ketelitian dan

keandalan data akuntansi, mendorong efisiensi dan mendorong dipatuhinya

kebijakan manajemen. Berdasarkan pengertian pengendalian intern yang telah

dikemukakan diatas, dapat dipahami bahwa pengendalian intern suatu sistem yang

terdiri dari berbagai unsur dan tidak terbatas pada metode pengendalian yang

dianut oleh bagian akuntansi dan keuangan, tetapi meliputi pengendalian

anggaran, biaya standar, program pelatihan pegawai dan staf pemeriksaan intern.

Pengendalian intern terdiri dari rencana organisasi dan semua metode serta

tindakan atau ukuran yang terkoordinir dan diciptakan dalam suatu badan usaha

untuk menjaga atau mengamankan kekayaan perusahaan, mengecek ketelitian dan

keandalan data akuntansi, meningkatkan efisiensi operasi dan menunjang ketaatan

terhadap kebijaksanaan manajemen yang telah ditetapkan.


14

2.1.2.2 Sistem Pengendalian Internal Pemerintah

Undang-undang di bidang keuangan negara membawa implikasi perlunya

sistem pengelolaan keuangan negara yang lebih akuntabel dan transparan. Hal ini

baru dapat dicapai jika seluruh Tingkat pimpinan menyelenggarakan kegiatan

pengendalian atas keseluruhan kegiatan di instansi masing-masing. Dengan

demikian maka penyelenggaraan kegiatan pada suatu Instansi Pemerintah, mulai

dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, sampai dengan pertanggungjawaban,

harus dilaksanakan secara tertib, terkendali, serta efisien dan efektif. Untuk itu

dibutuhkan suatu sistem yang dapat memberi keyakinan memadai bahwa

penyelenggaraan kegiatan pada suatu Instansi Pemerintah dapat mencapai

tujuannya secara efisien dan efektif, melaporkan pengelolaan keuangan negara

secara andal, mengamankan aset negara, dan mendorong ketaatan terhadap

peraturan perundang-undangan. Sistem ini dikenal sebagai Sistem Pengendalian

Intern yang dalam penerapannya harus memperhatikan rasa keadilan dan

kepatutan serta mempertimbangkan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan

fungsi Instansi Pemerintah tersebut. Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara memerintahkan

pengaturan lebih lanjut ketentuan mengenai sistem pengendalian intern

pemerintah secara menyeluruh dengan Peraturan Pemerintah.


15

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan

kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh

pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan

organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan

keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan

perundang-undangan.

2. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang selanjutnya disingkat SPIP,

adalah Sistem Pengendalian Intern yang diselenggarakan secara

menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Sistem Pengendalian Intern dalam Peraturan Pemerintah ini dilandasi

pada pemikiran bahwa Sistem Pengendalian Intern melekat sepanjang kegiatan,

dipengaruhi oleh sumber daya manusia, serta hanya memberikan keyakinan yang

memadai, bukan keyakinan mutlak. Berdasarkan pemikiran tersebut,

dikembangkan unsur Sistem Pengendalian Intern yang berfungsi sebagai pedoman

penyelenggaraan dan tolok ukur pengujian efektivitas penyelenggaraan Sistem

Pengendalian Intern. Pengembangan unsur Sistem Pengendalian Intern perlu

mempertimbangkan aspek biaya- manfaat (cost and benefit), sumber daya

manusia, kejelasan kriteria pengukuran efektivitas, dan perkembangan teknologi

informasi serta dilakukan secara komprehensif.


16

2.1.2.3 Tujuan Sistem Pengendalian Intern

Menurut Nugroho (2008: 181), tujuan sistem pengendalian intern adalah:

1. Mengamankan aktiva perusahaan.

Kekayaan fisik suatu perusahaan dapat dicuri, disalahgunakan atau

hancur karena kecelakaan, kecuali kekayaan tersebut dilindungi

dengan pengendalian yang memadai, begitu juga dengan kekayaan

perusahaan yang tidak memiliki wujud fisik seperti piutang dagang

akan rawan oleh resiko kecurangan jika dokumen penting tidak dijaga.

2. Mengecek kecermatan dan ketelitian data akuntansi.

Manajemen memerlukan informasi keuangan yang diteliti dan handal

untuk menjalankan kegiatan usahanya. Banyak informasi akuntansi

digunakan manajemen untuk dasar pengambilan keputusan penting.

3. Meningkatkan efisisensi.

Pengendalian intern ditujukan untuk mencegah duplikasi usaha yang

tidak perlu atau pemborosan dalam kegiatan bisnis perusahaan dan

untuk mencegah penggunaan sumber daya perusahaan yang tidak

efisien. Dalam akuntansi, sistem pengendalian intern yang berlaku

dalam perusahaan/entitas merupakan faktor yang menentukan

keandalan laporan keuangan yang dihasilkan oleh entitas tersebut.

Oleh karena itu, dalam memberikan pendapat atas kewajaran laporan

yang diauditnya, auditor melelakkan kepercayaan alas efektivitas

sistem pengendalian intern dalam mencegah terjadinya kesalahan yang

material dalam proses akuntansi.


17

Menurut SPIP PP No. 60 Tahun 2008 tujuan pengendalian internal

tercantum dalam Pasal 2 :

1) Untuk mencapai pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien,

transparan, dan akuntabel, menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan

bupati/walikota wajib melakukan pengendalian atas penyelenggaraan

kegiatan pemerintahan.

2) Pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dengan berpedoman pada SPIP

sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.

3) SPIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertujuan untuk memberikan

keyakinan yang memadai bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi

pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara, keandalan

pelaporan keuangan, pengamanan asset negara, dan ketaatan terhadap

peraturan perundang-undangan.

2.1.2.4 Unsur-unsur Sistem Pengendalian Intern Persediaan

Menurut Mulyadi (2008: 164), menyatakan bahwa unsur-unsur sistem

pengendalian intern persediaan adalah:

1. Struktur organisasi yang memisahkan tanggungjawab secara tegas.

Struktur organisasi merupakan kerangka pembagian tanggung jawab

fungsional kepada unit-unit organisasi yang dibentuk untuk melaksanakan


18

kegiatan-kegiatan pokok perusahaan. Pembagian tanggung jawab

fungsional dalam organisasi ini didasarkan pada prinsip-prinsip berikut ini:

a. Harus dipisahkan fungsi-fungsi operasi dan penyimpanan dan fungsi

akuntansi

b. Suatu fungsi tidak boleh diberi tanggung jawab penuh untuk

melaksanakan semua tahap suatu transaksi.

2. Sistem otorisasi dan prosedur pencatatan.

Dalam organisasi setiap transaksi harinya terjadi atas dasar pejabat yang

meimiliki wewenang untuk menyetujui terjadinya transaksi tersebut.

Dalam prosedur pencatatan ini terdapat formulir yang merupakan media

untuk merekam penggunaan wewenang untuk memberikan otorisasi

terlaksananya transaksi dalam organisasi. Penggunaan formulir harus

diawasi sedemikian rupa guna mengawasi pelaksanaan otorisasi. Prosedur

pencatatan yang baik akan menghasilkan informasi yang teliti dan dapat

dipercaya mengenai kekayaan, utang, pendapatan dan biaya suatu

organisasi.

3. Sistem informasi akuntansi dalam persediaan.

Sistem Informasi akuntansi merupakan kumpulan sumber daya, seperti

manusia dan peralalan yang dirancang untuk mengubah data keuangan dan

data lainnya ke dalam informasi. Sistem informasi akutansi dalam

persediaan dibagi menjadi 2 bagian :


19

A. Prosedur

Prosedur dalam persediaan barang antara lain prosedur penerimaan,

penyimpanan, dan pengawasan.

(1) Prosedur penerimaan persediaan. Prosedur penerimaan persediaan

dilakukan oleh fungsi penerimaan. Prosedur penerimaan yang

memenuhi peraturan :

a) Penerimaan barang dilakukan oleh fungsi penerimaan

b) Barang yang diierima oleh fungsi penerimaan harus sesuai

dengan surat order pembelian

c) Adanya laporan penerimaan barang sebagai bukti barang telah

diterima fungsi penerimaan.

d) Laporan penerimaan didistribusikan kebagian pembelian bagian

gudang dan bagian akntansi

(2) Prosedur penyimpanan persediaan. Prosedur pemyimpanan

persediaan dilakukan oleh bagian gudang. Kegiatan penerimaan

barang ada 3 kemungkinan yang dihadapi :

a) Menerima barang dalam j umlah berbeda dengan jumlah yang

dipesan.

b) Menerima barang yang rusak

c) Menerima barang dengan kuantitas rendah.

(3) Prosedur pengawasan persediaan. Prosedur pengawasan persediaan

yang memenuhi aturan sebagai berikut:


20

a) Perusahaan harus dapat mempertahankan suatu jumlah persediaan

yang optimal.

b) Pengadaan dan penyimpanan untuk memenuhi kebutuhan dalam

kuantitas dan kualitas.

c) Meminimumkan penanaman modal/investasi bahan.

d) Terjaminya barang yang diterima sesuai dengan spesifikasi

pesanan pembelian.

e) Terlindung dari pencurian, kerusakan dan kerusakan mutu.

f) Dapat melayani produksi dengan bahan-bahan yang dibutuhkan

pada waktu, tempat, serta mencegah penyalahgunaan dan

penyeiewengan.

g) Pencatatan persediaan yang akurat tentang barang masuk, keluar

dan penggunannya.

(4) Praktik yang sehat. Pembagian tanggung jawab fungsional dan sistem

wewenang dan prosedur pencatatan yang telah ditetapkan, tidak akan

terlaksana dengan baik jika tidak diciptakan cara-cara untuk menjamin

praktik yang sehat dalam pelaksanaannya. Adapun cara-cara yang

umumnya ditempuh oleh perusahaan dalam menciptakan praktik yang

sehat yaitu:

a) Penggunaan formulir bemomor unit tercetak

b) Pemeriksaan mendadak
21

c) Setiap transaksi tidak boleh dilaksanakan dan awal sampai akhir

oleh satu orang atau satu unit organisasi, tanpa ada campur tangan

dan orang atau unit organisasi lain.

d) Perputaran jabatan

e) Keharusan pengambilan cuti bagi karyawan dengan catatannya

f) Pembentukan unit organisasi yang bertugas untuk mengecek

efektifitas unsur-unsur sistem pengendalian intern yang lain.

(5) Karyawan yang mutunya sesuai dengan langgungjawab .Jika

perusahaan mempunyai karyawan yang kompeten dan jujur, maka

unsur pengendalian intern yang lain akan dapat dikurangi sampai

batas yang minimum. Karyawan yang jujur dan ahli dalam bidangnya

akan dapat melaksanakan pekerjaannya dengan efisien dan efektif,

meskipun hariya sedikit unsur sistem pengendalian yang

mendukungnya.

B. Dokumen

Dokumen yang terlibat dalam persediaan barang dagang terdiri dari :

(1) Surat permintaan pembelian

(2) Surat order pembelian

(3) Laporan penerimaan barang

Dari uraian yang dijelaskan unsur-unsur sistem pengendalian intern

tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa tanggung jawab untuk

mengembangkan dan mengoperasikan pengendalian intern akuntansi dalam


22

perusahaan adalah terletak di tangan manajemen puncak, karena dipundak

merekalah bertanggung jawab diatas pengolahan dana yang dipercayakan oleh

pemilik perusahaan terletak.

Unsur-unsur sistem pengendalian internal berdasarkan SPIP, PP No. 60

Tahun 2008 :

1) Unsur sistem pengendalian intern yang pertama adalah lingkungan

pengendalian. Lingkungan pengendalian diwujudkan melalui:

a. penegakan integritas dan nilai etika;

b. komitmen terhadap kompetensi;

c. kepemimpinan yang kondusif;

d. pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan;

e. pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat;

f. penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan

g. sumber daya manusia;

h. perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif;

dan

i. hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait.

2) Unsur pengendalian intern yang kedua adalah penilaian risiko. Penilaian risiko

diawali dengan penetapan maksud dan tujuan Instansi Pemerintah yang jelas

dan konsisten baik pada tingkat instansi maupun pada Tingkat kegiatan.

Selanjutnya Instansi Pemerintah mengidentifikasi secara efisien dan efektif

risiko yang dapat menghambat pencapaian tujuan tersebut, baik yang

bersumber dari dalam maupun luar instansi. Terhadap risiko yang telah
23

diidentifikasi dianalisis untuk mengetahui pengaruhnya terhadap pencapaian

tujuan. Pimpinan Instansi Pemerintah merumuskan pendekatan manajemen

risiko dan kegiatan pengendalian risiko yang diperlukan untuk memperkecil

risiko. Pimpinan Instansi Pemerintah atau evaluator harus berkonsentrasi pada

penetapan tujuan instansi, pengidentifikasian dan analisis risiko serta

pengelolaan risiko pada saat terjadi perubahan.

3) Unsur sistem pengendalian intern yang ketiga adalah kegiatan pengendalian.

Kegiatan pengendalian intern adalah kebijakan dan prosedur yang dapat

membantu memastikan dilaksanakannya arahan pimpinan Instansi Pemerintah

untuk mengurangi risiko yang telah

diidentifikasi selama proses penilaian risiko.

4) Unsur pengendalian intern keempat adalah informasi dan komunikasi. Instansi

Pemerintah harus memiliki informasi yang relevan dan dapat diandalkan baik

informasi keuangan maupun nonkeuangan, yang berhubungan dengan

peristiwa-peristiwa eksternal serta internal. Informasi tersebut harus direkam

dan dikomunikasikan kepada pimpinan Instansi Pemerintah dan lainnya di

seluruh Instansi Pemerintah yang memerlukannya dalam bentuk serta dalam

kerangka waktu, yang memungkinkan yang bersangkutan melaksanakan

pengendalian intern dan tanggung jawab operasional.

5) Pemantauan merupakan unsur pengendalian intern yang kelima atau terakhir.

Pemantauan Sistem Pengendalian Intern dilaksanakan melalui pemantauan

berkelanjutan, evaluasi terpisah, dan tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan

reviu lainnya. Pemantauan berkelanjutan diselenggarakan melalui kegiatan


24

pengelolaan rutin, supervisi, pembandingan, rekonsiliasi, dan tindakan lain

yang terkait dalam pelaksanaan tugas. Evaluasi terpisah diselenggarakan

melalui penilaian sendiri, reviu, dan pengujian efektivitas Sistem

Pengendalian Intern yang dapat dilakukan oleh aparat pengawasan intern

pemerintah atau pihak eksternal pemerintah dengan menggunakan daftar uji

pengendalian intern. Tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya

harus segera diselesaikan dan dilaksanakan sesuai dengan mekanisme

penyelesaian rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya yang ditetapkan.

2.1.2.5 Komponen Pengendalian Internal

Committee of Sponsoring Organization (COSO) 2013, pengendalian

internal mempunyai lima komponen yaitu:

1. Lingkungan pengendalian adalah seperangkat standar, proses dan struktur yang

memberikan dasar untuk melaksanakan pengendalian internal di seluruh

organisasi.

2. Penilaian risiko melibatkan proses yang dinamis dan berulang untuk

mengidentifikasi dan menilai risiko terhadap pencapaian tujuan. Risiko terhadap

pencapaian tujuan dianggap relatif atau tergantung pada toleransi risiko yang

ditetapkan entitas. Dengan demikian, penilaian risiko membentuk dasar untuk

menentukan bagaimana risiko akan dikelola.


25

3. Aktivitas pengendalian adalah tindakan yang ditetapkan melalui kebijakan dan

prosedur yang membantu memastikan arahan manajemen untuk mngurangi resiko

terhadap pencapaian tujuan dilakukan.

4. Informasi diperlukan entitas untuk melaksanakan tanggung jawab pengendalian

internal untuk mendukung pencapaian tujuan manajemen menggunakan informasi

yang relevan untuk mendukung berfungsinya komponen lain dari pengendalian

internal. Komunikasi adalah bersifat terus menerus yang menyediakan berbagai

dan memperoleh informasi yang diperlukan. Komunikasi internal adalah sarana

untuk menyebarkan informasi ke seluruh organisasi.

5. Pemantauan adalah evaluasi berkelanjutan, evaluasi terpisah, atau beberapa

kombinasi dari keduanya yang digunakan untuk memastikan apakah masing-

masing dari lima komponen pengendalian internal ada dan berfungsi.

2.1.2.6 Keterbatasan Pengendalian Internal

Tidak ada satu sistem pun yang dapat mencegah secara sempuma semua

pemborosan dan penyeiewengan yang terjadi pada suatu perusahaan. karena

pengendalian internal setiap perusahaan memiliki keterbatasan bawaan.

Keterbatasan bawaan yang melekat pada pengendalian internal menurut Mulyadi

(2008 : 181) sebagai berikut:


26

1. Kesalahan dalam pertimbangan

Seringkali, manajemen dan personil lain dapat salah dalam

mempertimbangkan keputusan bisnis yang diambil atau dalam

melaksanakan tugas rutin karena tidak memadainya informasi,

keterbatasan waktu, atau tekanan lain.

2. Gangguan

Gangguan dalam pengendalian yang telah ditetapkan dapat terjadi karena

personil secara keliru memahami penntah atau membuat kesalahan karena

kelalaian, tidak adanya perhatian, atau kelelahan. Perubahan yang bersifal

sementara atau permanen dalam personil atau dalam system dan prosedur

dapat pula mengakibatkan gangguan.

3. Kolusi

Tindakan bersama beberapa individu untuk tujuan kejahatan disebut

dengan kolusi (collusion). Kolusi dapat mengakibatkan bobolnya

pengendalian internal yang dibangun untuk melindungi kekayaan entitas .

dan tidak terungkapnya kelidakberesan atau tidak terdeleksinya

kecurangan oleh pengendalian internal yang dirancang.

4. Pengabaian oleh manajemen

Manajemen dapat mengabaikan kebijakan atau prosedur yang telah

ditetapkan untuk tujuan yang tidak sah seperti keuntungan pribadi

manajer, penyjian kondisi keuangan yang berlebihan, atau kepatuhan

semu.
27

5. Biaya lawan manfaat

Biaya yang diperlukan untuk mengoperasikan pengendalian internal tidak

boleh melebihi manfaat yang diharapkan dari pengendalian internal

tersebut. Karena pengukuran secara tepat baik biaya maupun manfaat

biasanya tidak mungkin dilakukan, manajemen harus memperkirakan dan

mempertimbangkan secara kuantitatif dan kualitatif dalam mengevaluasi

biaya dan manfaat suatu pengendalian internal.

2.1.3 Persediaan

2.1.3.1 Pengertian Persediaan

Persediaan adalah suatu aktiva yang meliputi barang-barang milik

perusahaan dengan maksud untuk dijual dalam satu periode usaha yang normal,

termasuk barang yang dalam pengerjaan / proses produksimenunggu masa

penggunaannya pada proses produksi (Prasetyo, 2008:65). Persediaan adalah

sejumlah barang jadi , bahan baku, bahan dalam proses yang dimiliki perusahaan

dagang dengan tujuan untuk dijual atau diproses lebih lanjul". Kesimpulannya

adalah bahwa persediaan merupakan suatu istilah yang menunjukkan segala

sesuatu dari sumber daya yang ada dalam suatu proses yang bertujuan untuk

menganlisipasi terhadap segala kemungkinan yang terjadi baik karena adanya

permintaanmaupun ada masalah lain (Rudianto 2008:236). Dari definisi tersebut

dapat disimpulkan bahwa Dari uraian diatas diketahui bahwa jenis persediaan

yang dimiliki perusahaan dapat digolongkan menjedi 3 (tiga) golongan yaitu:

1. Persediaan bahan baku (Raw Material)


28

2. Persediaan dalam proses (Work in Proses)

3. Persediaan barang jadi (Finish good)

2.1.3.2 Fungsi Persediaan

Persediaan memiliki beberapa fungsi penting bagi perusahaan, (Mulyadi

2008:142) yaitu

1. agar dapat memenuhi permintaan yang diantisipasi akan terjadi,

2. untuk menyeimbangkan produksi dengan distribusi,

3. untuk memperoleh keuntungan dari potongan kuantitas, karena membeli

dalam jumlah yang banyak ada diskon,

4. untuk hedging dari inflasi dan perubahan harga,

5. untuk menghindari kekurangan persediaan yang dapat terjadi karena

cuaca, kekurangan pasokan, mutu, dan ketidak tepatan pengiriman,

6. untuk menjaga kelangsungan operasi dengan cara persediaan dalam

proses. Biaya persediaan terdiri dari seluruh pengeluaran, baik yang

langsung maupun yang tidak langsung, yang berhubungan dengan

pembelian, persiapan,dan penempatan persediaan untuk dijual. Biaya

persediaan bahan baku atau barang yang diperoleh untuk dijual kembali,

biaya termasuk harga pembelian ,pengiriman, penerimaan.

2.1.3.3 Jenis-Jcnis Pcrsediaan

Persediaan dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis, yaitu Herjanto

(2008:77):
29

1. Fluctuation stock,

merupakan persediaan yang dimaksudkan untuk menjaga terjadinya

lluktuasi permintaan yang tidak diperkirakan sebelumnya, dan untuk

mengatasi bila terjadi kesalahan/penyimpangan dalam prakiraan penjualan,

waktu produksi, atau pengiriman barang.

2. Anticipation stock,

merupakan persediaan untuk menghadapi permintaan yang dapat

diramalkan pada musim permintaan tinggi, tetapi kapasitas produksi pada

saat itu tidak mampu memenuhi permintaan. Persediaan ini juga

dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan sukamya diperoleh bahan baku

sehingga tidak mengakibatkan terhentinya produksi.

3. Lot-size inventory,

merupakan persediaan yang diadakan dalam jumlah yang lebih besar

daripada kebutuhan saat itu. Persediaan dilakukan untuk mendapatkan

keuntungan dari harga barang (berupa diskon) karena membeli dalam

jumlah yang besar, atau untuk mendapatkan pcnghematan dari biaya

pengakutan per unit yang lebih rendah.

4. Pipeline inventory,

merupakan persediaan yang dalam proses pengiriman dari tempat asal ke

tempat dimana barang tersebut akan digunakan. Msalnya, barang yang

dikirim dari pabrik menuju tempat penjualan, yang dapat memakan waktu

beberapa hari atau minggu.


30

2.1.3.4 Penggolongan Persediaan

Mulyadi (2008:155) mengelompokkan persediaan barang dagang sebagai

berikut:

1. persediaan produk Jadi,

2. persediaan produk dalam proses,

3. persediaan bahan baku,

4. persediaan bahan penolong,

5. persediaan habis pakai pabrik,

6. persediaan suku cadang.

Dalam perusahaan dagang persediaan hanya terdiri dari satu golongan saja

yaitu persediaan barang dagangan.

2.1.3.5 Tujuan Pengendalian Persediaan

Suatu pengendalian persediaan yang dijalankan oleh suatu perusahaan

tenlu mempunyai tujuan. Adapun tujuan piengendalian persediaan Mulyadi

(2008 : 169) sebagai berikut:

1. Menjaga jangan sampai perusahaan kehabisan persediaan sehingga

mengakibatkan terhentinya kegiatan produksi.

2. Menjaga agar pembentukan persediaan oieh perusahaan tidak terlalu besar

atau berlebihan, sehingga biaya-biaya yang timbul dari persediaan tidak

terlalu besar.
31

3. Menjaga agar pembelian kecil-kecilan dapat dihindari karena ini akan

memperbesar biaya pemesanan.

Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari

pengendalian persediaan adalah untuk memperoleh kualitas dan jumlah yang tepat

dari bahan-bahan barang yang tersedia pada waktu yang dibutuhkan dengan biaya

yang minimum untuk memperoleh keuntungan. Dengan kata lain, pengendalian

persediaan menjamin terdapatnya persediaan pada tingkat yang optimal agar

produksi dapat beijalan dengan lancar dan meminimalkan biaya persediaan.

2.1.3.6 Pengendalian Intern Pembelian dan Penerimaan Persediaan

Menurut Mulyadi (2008; 166) Tujuan pengendalian pembelian dan

penerimaan persediaan:

1. Materi akan benar dikontrol sehingga kerugian dari kerusakkan pencurian

organisasi akan eliminated, organisasi setidaknya dikurangi seminimal

mungkin.

2. setiap materi atau merchandise adalah penerimaan akan diperiksa,

organisasi cunted bobot dan membandingkan dengan persediaan untuk

kualitas dan deskripsi.

3. Hanya bahan diotorisasi yang telah diterima akan vouchered dan dibayar.

4. Hanya outhorizet bahan dagangan organisasi yang tepat akan dibeli.


32

Untuk mencapai hal tersebut maka harus dilakukan pengendalian dengan

adanya pemisahan fungsi operasi, penyimpangan dan pencatatan. Fungsi operasi

dipegang oleh bagian pembelian dan penerimaan. Fungsi penyimpanan dipegang

oleh bagian gudang dan fungsi pencatatan dipegang oleh bagian akuntansi. Jadi

tidak ada satupun transaksi yang dilaksanakan oleh satu bagian saja. Dengan

demikian akan terdapat pengecekan intern (internal check), sehingga kekayaan

perusahaan terjamin keamanannya dan data akuntansi terjamin ketelitian dan

keandalannya.

Transaksi terjadi harus memperoleh otoritas dari pejabat yang

berwewenang, tidak ada satupun transaksi yang terjadi tanpa otorisasi dari pejabat

berwenang. Untuk itu otorisasi diberikan dengan cara membubuhkan tanda tangan

pada dokumen, baik dokumen sumber maupun dokumen pendukung. Setiap

transaksi yang terjadi harus dicatat kedalam catatan akuntansi berdasarkan

prosedur pencatatan tertentu. Dengan demikian harta perusahaan dapat diamankan

dan catatan akuntansi terjamin ketelitian dan keandalannya, karena transaksi

terjadi berdasarkan otorisasi pejabat yang berwewenang dan dicatat pada catatan

akuntansi sebagaimanan mestinya.

Pembagian langgungjawab serta sistem dan prosedur pencatatan dapat

terlaksana sesuai dengan yang diharapkan maka harus diciptakan cara-cara yang

dapat menjamin terjadinya peraktek yang sehat. Praktek yang sehat merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari pembagian langgungjawab serta sistem dan

prosedur pencatatan dalam sistem pengendalian intern. Tanpa peraktek yang sehat
33

tidak akan ada manfaatnya pembagian tanggimg jawab dan sistem prosedur

pencatatan.

Suatu hal yang paling menentukan dalam pengendaliaan intern adalah

karyawan yang kompeten dan dapat dipercaya. Faktor yang satu ini merupakan

faktor yang mutlak ada dalam sistem pengendalian intern yang baik. Akan tetapi,

tanpa pembagian tanggung jawab serta sistem dan prosedur pencatatan, karyawan

yang kompeten dan dapat dipercaya saja pun tidak cukup, karena sifat manusia

yang alami, sehingga ada saatnya menjadi malas, mempunyai tujuan yang

bertentangan dengan tujuan perusahaan, tidak puas dan adanya masalah pribadi

yang menyebabkan terganggunya pelaksanaan keijanya. Elemen-elemen

pengendalian intern pembelian dan penerimaan persediaan Terdiri dari:

1. Organisasi

2. Sistem Otorisasi dan Prosedur Pencatatan

3. Praktek Yang Sehat

4. Bagian Gudang

5. Bagian Pembelian

6. Bagian Penerimaan

7. Bagian Utang

8. Bagian Kartu Persediaan dan Kartu Biaya

2.1.3.6 Pengendalian Intern Pengeluaran dan Pemakaian Persediaan

Menurut Mulyadi (2008: 170) Pengendalian intern pengeluaran dan

pemakaian sangat diperlukan agar persediaan yang dikeluarkan dan yang dipakai
34

betul-betul persediaan yang diperlukan. Bagian produksi yang memegang fungsi

operasi harus terpisah dari bagian gudang yang memegang fungsi penyimpanan,

serta bagian akuntansi yang memegang fungsi pencatatan. Adanya pemisahan

fungsi ini memungkinkan adanya saling mengecek antara fungsi yang satu dengan

ftmgsi yang lainnya. Tidak ada satupun transaksi dilaksanakan secara keseluruhan

oleh hanya satu bagian saja. pengeluaran dan pemakaian persediaan diperlukan

otorisasi oleh pejabat berwewenang, yang diberikan dengan secara membubuhkan

tanda tangan pada dokumen. Disamping itu juga harus ada prosedur pencatatan

yang telitih dan dapal diandalkan. Dalam pengendalian intern tidak hanya itu saja

yang diperlukan melainkan juga diperlukan praktek yang sehat, yaitu

dilaksanakannya pemisahan tanggung jawab sistem dan prosedur pencatatan

sebagaimana mestinya, sesuai dengan kebijakan oleh perusahaan.

Praktek yang sehat hanya dapat dilaksanakan oleh karyawan yang

berkopeten dan dapat dipercaya. Tanpa elemen ini pengendalian intern tidak akan

dapat dilaksanakan dengan baik. Untuk mendapatkan karyawan yang

berkompeten dan dapat dipercaya harus dimulai sejak dari penerimaan karyawan

dengan melakukan seleksi dan tes-tes untuk memenuhi kriteria yang telah

ditetapkan dan terus diianjutkan dengan melakukan latihan-latihan bagi karyawan

agar ia dapat meningkatkan potensi dirinya. Bagian yang terlibat dalam

pengendalian intern pengeluaran dan pemakaian persediaan:

1. Bagian Produksi

2. Bagian kartu persediaan dan Kartu Biaya

3. Bagian Jumal, Buku Besar dan Laporan


35

2.2 Penelitian Terdahulu

Tabel 2. Penelitian Terdahulu

No Nama dan Judul Penelitian Metode Hasil Penelitian

Tahun Penelitian

Penelitian

1. Edi Sudiarto, Makna Kualitatif Penerapan sistem

Dicky Pengendalian dengan pengendalian internal

Kurniawan, Internal Atas Pendekatan atas persediaan obat-

Darti Djuharni Persediaan Obat- Etnometodologi obatan pada UPTD

(2021) Obatan di Puskesmas Puncu

Puskesmas Puncu dalam mendukung

tujuannya, Puskesmas

Puncu menggunakan

PERMATA sebagai

landasan untuk

mendukung efektivitas

pengendalian internal.

2. RC Analisis Metode Hasil penelitian ini

Kartikaningtyas Pengendalian Deskriptif menunjukan bahwa

, P Priyastiwi Internal Atas Kooperatif apotik mukti telah

(2021) Persediaan Obat menerapkan sebagian


36

(Studi Kasus Di besar pengendalian

Apotek Mukti) interal atas persediaan

obat yang sesuai

dengan standar

pengendalian internal

menurut COSO

(Committee Of

Sponsoring

Organization)

3. Elan Eriswanto Analisis Sistem Kualitatif Penelitian ini

(2020) Pengendalian menunjukan bahwa

Internal atas Puskesmas

Persediaan Obat Bojonggenteng sudah

(Studi Kasus di menerapkan sebagian

Puskesmas besar pengendalian

Bojonggenteng internal namun, belum

Kabupaten memiliki dewan

Sukabumi) kommisaris yang

melakukan fungsi

pengawasan terhadap

pengendalian internal

persediaan

4. Ni Kadek Analisis Sistem Kualitatif Apotek saat ini telah


37

Oktaviani Pengendalian Deskriptif sepenuhnya memenuhi

(2023) Internal Terhadap komponen

Persediaan Obat pengendalian internal

pada Apotek Star terkait penilaian resiko

Medika Abianbase dengan 4 prinsip yang

menyangkut kegiatan

pengendalian dibawah

COSO.

5. A. Alyani Analisis Analisis pengendalian internal

Achmad, Azwar Pengendalian Atas Dskriptif atas persediaan obat

Anwar, Fajriani Persediaan Obat Kualitatif dan alat kesehatan pada

Azis (2023) dan Alat Kesehatan Apotek Malomo Farma

Pada Apotek belum seutuhnya

Malomo Farma. efektif.Terdapat salah

satu komponen yakni

kegiatan pemantauan

tidak terpenuhi

implementasinya di

Apotek Malomo

Farma.

6. Rofiatul Hasana Analisis Komperatif Menunjukan

(2019) Pengendalian pengendalian internal

Internal Prosedur yang diterapkan di


38

Penerimaan Kas klinik Az-Zahro kurang

(Studi Kasus Pada efektif.

Klinik Az-Zahro Ketidakefektifan

Sumenep) tersebut terdapat pada

komponen lingkungan

pengendalian

7 Triyaningsih, Analisis Kualitatif Hasil peneliatan

Mayun (2017) Pengendalian menunjukan bahwa PT

Internal Atas Sarana Sehat Utama

Persediaan Obat sudah cukup efektif

(Studi Kasus Pada dalam pengendalian

Pt Sarana Sehat internal persediaan

Utama) obat, hal ini terbukti

dengan struktur

organisasi yang

memisahkan tugas,

dokemn yang

digunakan di otorisasi

oleh pihak yang

berwenang,

penggunaan dokumen

bernomor urut dan

pemilihan karyawan
39

sesuai dengan

kebutuhan perusahaan

8 Juniarti Melisa Analisis kualitatif Hasil penelitian

Maruf, Jantje J. Pengendalian deskriptif menunjukkan bahwa

Tinangon, Internal Atas Apotek Puskesmas

Stanley Kho Persediaan Obat Bahu telah menerapkan

Walandouw Pada Organisasi sebagian besar

Sektor Publik Di pengendalian internal

Puskesmas Bahu menurut COSO

(Committee of

Sponsoring

Organization).

9 Purwati, Heny Analisis Sitem Analisis Hasil penelitian secara

(2016) Pengendalian Kualitatif keseluruhan instalasi

Internal Atas Dskriptif farmasi rumah sakit

Persediaan Obat jiwa Dr. Radjiman

(Studi Kasus Pada Wediodiningrat

Intalasi Farmasi Lawang, pengendalian

Rumah Sakit Jiwa internal atas persediaan

Dr. Radjiman obat kurang efektif

Wediodiningrat karena memiliki

Lawang) beberapa kekurangan


40

10 Tresya Romen Analisis Sistem Deskripsi Hasil penelitian

Dika , Asrofi Pengendalian Intern Komparatif menunjukan bahwa

Langgeng , Atas Persediaan Apotek Gajah Mada

Mohamad Obat Pada Apotek Tegal telah

Alfian (2022) Gajah Mada Tegal menerapkan sebagai

besar pengendalian

internal atas persediaan

COSO (Committee of

Sponsoring

Organisation).

Komponen yang belum

sepenuhnya diterapkan

yaitu limgkungan

pengendalian

2.3 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran merupakan sintesa tentang hubungan antar variabel

yang disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan kemudian dianalisis

secara kritis dan sistematis, sehingga menghasilkan sintesa tentang hubungan


41

variabel tersebut yang selanjutnya digunakan untuk merumuskan hipotesis

(Sugiyono,2009). Hal ini merupakan jaringan hubungan antar variabel yang

secara logis diterangkan, kembangkan, dan dielaborasi dari perumusan masalah

yang telah diitentifikasi (Kuncoro, 2013). Dalam penelitian ini, peneliti akan

meneliti pada Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka dari sini yang peneliti butuhkan

adalah data-data mengenai laporan persediaan obat atau lebih tepatnya penulis

akan mengambil data laporan persediaan obat yang dimana ini akan dianalisis.

Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka

Laporan Persediaan Obat


42

Analisis penerapan pengendalian


internal persediaan obat menurut
Peraturan Pemerintah No 60
Tahun 2008

Lingkungan Kegiatan Pemantauan


Penilaian Resiko Informasi Dan
Pengendalian Pengendalian Pengendalian
Komunikasih
Internal

Hasil Analisis

Kesimpulan

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


43

Rancangan penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat

deskriptif untuk mengetahui kenyataan dari kejadian yang diteliti sehingga

memudahkan penelitian untuk mendapatkan data yang objektif dalam rangka

mengetahui sistem pengendalian internal persediaan obat di Dinas Kesehatan

Kabupaten Sikka.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi

Penelitian ini dilakukan di Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka yang

beralamat di Jalan Eltari Maumere

3.2.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian akan dilaksanakan pada 05 februari 2024

3.4 Jenis dan Sumber Data

3.4.1 Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif

yang bersifat deskriptif.

3.4.2 Sumber Data

Sumber data penelitian dibedakan menjadi 2 yaitu sumber data primer

dan data sekunder (Sugiyono, 2015):


44

1. Data Primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada

pengumpul data.

2. Data Sekunder sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada

pengumpul data misalnya lewat orang lain ato lewat dokumen.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder

yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang erat kaitannya dengan

masalah yang dibahas, data ini bersal dari dalam instansi maupun dari luar

instansi.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Menurut Sugiyono (2015:193) bahwa metode pengumpulan data adalah

cara yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Dalam penelitian ini

peneliti menggunakan teknik pengumpulan data:

1. Dokumentasi

Pengumpulan data dengan cara mencatat data yang berkaitan

dengan masalah yang akan diteliti dari dokumen-dokumen pada

Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka.

2. Wawancara
45

Pengumpulan data dengan cara tanya jawab yang berkaitan dengan

masalah yang akan dieliti pada dengan informannya kepala

Gudang Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka.

3.6 Analisis Data

Miles dan Hubermen (1984:133), mengemukakan bahwa aktivitas

dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara

terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Ukuran kejenuhan data

ditandai dengan tidak diperolehnya lagi data atau informasi baru. Aktivitas dalam

analisis meliputi reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) serta

Penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing/ verification). Sejumlah

peneliti kualitatif berupaya mengumpulkan data selama mungkin dan bermaksud

akan menganalisis setelah meninggalkan lapangan. Cara tersebut untuk peneliti

kualiatatif salah, karena banyak situasi atau konteks yang tak terekam dan peneliti

lupa penghayaatan situasinya, sehingga berbagai hal yang terkait dapat berubah

menjadi fragmen-fragmen tak berarti. Sehingga pekerjaan pengumpulan data bagi

peneliti kaulitatif harus langsung diikuti dengan pekerjaan menuliskan, mengedit,

mengklasifikasikan, mereduksi, dan menyajikan; yang selanjutnya Analisis data

kualitatif model Miles dan Hubermen terdapat 3 (tiga) tahap:

1. Tahap Reduksi Data

Sejumlah langkah analisis selama pengumpulan data menurut Miles dan

Huberman adalah : Pertama, meringkaskan data kontak langsung dengan orang,

kejadian dan situasi di lokasi penelitian. Pada langkah pertama ini termasuk pula
46

memilih dan meringkas dokumen yang relevan. Kedua, pengkodean. Pengkodean

hendaknya memperhatikan setidak-tidaknya empat hal. Digunakan simbul atau

ringkasan, kode dibangun dalam suatu struktur tertentu, kode dibangun dengan

tingkat rinci tertentu dan keseluruhannya dibangun dalam suatu sistem yang

integratif. Ketiga, dalam analisis selama pengumpulan data adalah pembuatan

catatan obyektif. Peneliti perlu mencatat sekaligus mengklasifikasikan dan

mengedit jawaban atau situasi sebagaimana adanya, faktual atau obyektif-

deskriptif. Keempat, membuat catatan reflektif. Menuliskan apa yang terangan

dan terpikir oleh peneliti dalam sangkut paut dengan catatan obyektif tersebut

diatas. Harus dipisahkan antara catatan obyektif dan catatan reflektif Kelima,

membuat catatan marginal.

Miles dan Huberman memisahkan komentar peneliti mengenai subtansi

dan metodologinya. Komentar subtansial merupakan catatan marginal. Keenam,

penyimpanan data. Untuk menyimpan data setidak-tidaknya ada tiga hal yang

perlu diperhatikan. Pemberian label, mempunyai format yang uniform dan

normalisasi tertentu serta menggunakan angka indeks dengan sistem terorganisasi

baik. Ketujuh, analisis data selama pengumpulan data merupakan pembuatan

memo. Memo yang dimaksud Miles dan Huberman adalah teoritisasi ide atau

konseptualisasi ide, dimulai dengan pengembangan pendapat atau porposisi.

Kedelapan, analisis antarlokasi. Ada kemungkinan bahwa studi dilakukan pada

lebih dari satu lokasi atau dilakukan oleh lebih satu staf peneliti.

Pertemuan antar peneliti untuk menuliskan kembali catatan deskriptif,

catatan reflektif, catatn marginal dan memo masing-masing lokasi atau masing-
47

masing peneliti menjadi yang konform satu dengan lainnya, perlu dilakukan.

Kesembilan, pembuatan ringkasan sementara antar lokasi. Isinya lebih bersifat

matriks tentang ada tidaknya data yang dicari pada setiap lokasi. Mencermati

penjelasan di atas, seorang peneliti dituntut memiliki kemampuan berfikir sensitif

dengan kecerdasan, keluasan serta kedalaman wawasan yang tertinggi.

Berdasarkan kemampuan tersebut peneliti dapat melakukan aktivitas

reduksi data secara mandiri untuk mendapatkan data yang mampu menjawab

pertanyaan penelitian. Bagi peneliti pemula, proses reduksi data dapat dilakukan

dengan mendiskusikan pada teman atau orang lain yang dipandang ahli. Melalui

diskusi tersebut diharapkan wawasan peneliti akan berkembang, data hasil

reduksi lebih bermakna dalam menjawab pertanyaan penelitian.

2. Tahap Penyajian Data/ Analisis Data

Setelah Pengumpulan Data Pada tahap ini peneliti banyak terlibat dalam

kegiatan penyajian atau penampilan (display) dari data yang dikumpulkan dan

dianalisis sebelumnya, mengingat bahwa peneliti kualitatif banyak menyusun teks

naratif.Display adalah format yang menyajikan informasi secara tematik kepada

pembaca. Miles dan Huberman (1984:133) memperkenalkan dua macam format,

yaitu : diagram konteks (context chart) dan matriks. Penelitian kualitatif biasanya

difokuskan pada kata-kata, tindakan- tindakan orang yang terjadi pada konteks

tertentu. Konteks tersebut dapat dilihat sebagai aspek relevan segera dari situasi

yang bersangkutan, maupun sebagai aspek relevan dari sistem sosial dimana

seseorang berfungsi (ruang kelas, sekolah, departemen, keluarga, agen,


48

masyarakat lokal). Penyajian data diarahkan agar data hasil reduksi

terorganisirkan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga makin mudah dipahami

dan merencanakan kerja penelitian selanjutnya. Pada langkah ini peneliti

berusaha menyusun data yang yang relevan sehingga menjadi informasi yang

dapat disimpulkan dan memiliki makna tertentu. Prosesnya dapat dilakukan

dengan cara menampilkan data, membuat hubungan antar fenomena untuk

memaknai apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang perlu ditindaklanjuti untuk

mencapi tujuan penelitian.

Penyajian data yang baik merupakan satu langkah penting menuju

tercapainya analisis kualitatif yang valid dan handal. Miles dan Hubermen

menyatakan ”the most frequent form of display data for qualitative research data

in the post has been narrative text” yang paling sering digunakan untuk

menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat

naratif. Miles dan Huberman membantu para peneliti kualitatif dengan model-

model penyajian data yang analog dengan model-model penyajian data kuantitatif

statis, dengan menggunakan tabel, grafiks, amatriks dan semacamyana bukan

diisi dengan angka-angka melainkan dengan kata atau phase verbal. Dalam

bukunya Qualitative Data Analisis disajikan mengenai model-model penyajian

data untuk analisis kualitatif. Miles dan Huberman dengan model-modelnya itu

dimaksudkan untuk mendorong tumbuhnya kreativitas membuat modelnya

sendiri, bukan hanya sekedar konsumen model Miles dan Huberman.

3. Tahap Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi


49

Langkah selanjutnya adalah tahap penarikan kesimpulan berdasarkan

temuan dan melakukan verifikasi data. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa

kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah

bila ditemukan bukti-bukti buat yang mendukung tahap pengumpulan data

berikutnya. Proses untuk mendapatkan bukti-bukti inilah yang disebut sebagai

verifikasi data. Apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung

oleh bukti-bukti yang kuat dalam arti konsisten dengan kondisi yang ditemukan

saat peneliti kembali ke lapangan maka kesimpulan yang diperoleh merupakan

kesimpulan yang kredibel. Langkah verifikasi yang dilakukan peneliti sebaiknya

masih tetap terbuka untuk menerima masukan data, walaupun data tersebut

adalah data yang tergolong tidak bermakna. Namun demikian peneliti pada tahap

ini sebaiknya telah memutuskan anara data yang mempunyai makna dengan data

yang tidak diperlukan atau tidak bermakna. Data yang dapat diproses dalam

analisis lebih lanjut seperti absah, berbobot, dan kuat sedang data lain yang tidak

menunjang, lemah, dan menyimpang jauh dari kebiasaan harus dipisahkan.

Kualitas suatu data dapat dinilai melalui beberapa metode, yaitu :

a. Mengecek representativeness atau keterwakilan data.

b. Mengecek data dari pengaruh peneliti.

c. Mengecek melalui triangulasi.

d. Melakukan pembobotan bukti dari sumber data-data yang dapat

dipercaya.

e. Membuat perbandingan atau mengkontraskan data.


50

f. Menggunakan kasus ekstrim yang direalisasi dengan memaknai

data negatif.

Dengan mengkonfirmasi makna setiap data yang diperoleh dengan

menggunakan satu cara atau lebih, diharapkan peneliti memperoleh informasi

yang dapat digunakan untuk mendukung tercapainya tujuan penelitian. Penarikan

kesimpulan penelitian kualitatif diharapkan merupakan temuan baru yang belum

pernah ada. Temuan tersebut dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek

yang sebelumnya remang-remang atau gelap menjadi jelas setelah diteliti.

Temuan tersebut berupa hubungan kausal atau interaktif, bisa juga berupa

hipotesis atau teori.

Pengumpulan Data Penyajian Data

Verifikasi/
Penarikan
Reduksi Data Kesimpulan

Gambar 2.2 Analisis Data Kualitatif menurut Miles dan Huberman.

Sebagai salah satu instansi pemerintahan, Dinas Kesehatan harus selalu

menjaga manajemen persediaan obat yang dimana apabila manajemen obat yang
51

kurang baik akan mrngakibatkan persediaan obat mengalami kelebihan persediaan

obat (stagnant) dan kekurangan atau kekosongan persediaan obat (stockout).

Persediaan obat yang berlebihan akan memiliki risiko kedaluarsa dan kerusakan

bila tidak disimpan dengan baik dan kekosongan atau kekurangan persediaan obat

akan berdampak terhadap unit-unit pelaksanakan teknis daerah dalam melayani

masyarakat, mengingat dimana unit puskesmas memiliki rencana pengajuan

permintaan obat setiap dua bulan sekali terhadap pemerintah atau pihak ketiga

yaitu Dinas Kesehatan.


52

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, A. A., Anwar, A., Azis, F., & Akuntansi, J. (n.d.). ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL

ATAS PERSEDIAAN OBAT DAN ALAT KESEHATAN PADA APOTEK. In Bongaya Journal of

Research in Accounting (Vol. 6).

Dika, T. R., Langgeng N, A., & Alfian, M. (n.d.). ANALISIS SISTEM

PENGENDALIAN INTERN ATAS PERSEDIAAN OBAT PADA APOTEK GAJAH

MADA TEGAL.

Gesah, R., Prabowo, M., Rahmawati, S., & Tulungagung, U. (n.d.). Journal of

Accounting and Tax ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERNAL ATAS

PERSEDIAAN BARANG JADI PADA GALLERY MAYA PROJECT.

Kadek Oktaviani, N., Studi Akuntansi, P., Ekonomi, F., Pariwisata, dan, Hindu

Indonesia Jl Sangalangit, U., Denpasar Tim, K., & Denpasar, K. (n.d.). Analisis

Pengendalian Internal Atas Persediaan Obat Pada Apotek Star Medika

Abianbase Sang Ayu Putu Arie Indraswarawati (2) (1)(2).

Saputra, D., & Abrar. (2022). Analisis Pengendalian Internal Dalam Pengelolaan

Persediaan Obat Pada Apotek Di Pekanbaru. Jurnal Akuntansi Dan Ekonomika,

12(1), 23–33. https://doi.org/10.37859/jae.v12i1.3189

Lawang SKRIPSI Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Gelar

Sarjana Ekonomi, W., & Purwati, H. (n.d.). ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN


53

INTERNAL ATAS PERSEDIAAN OBAT (Studi Kasus pada Instalasi Farmasi

Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman.

Maruf, J. M., Tinangon, J. J., & Walandouw, S. K. (2019). ANALISIS

PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN OBAT PADA

ORGANISASI SEKTOR PUBLIK DI PUSKESMAS BAHU ANALYSIS OF

INTERNAL DEVELOPMENT OF MEDICINE INVENTORY IN PUBLaIC

SECTOR ORGANIZATIONS IN PUSKESMAS BAHU. Analisis… 3099 Jurnal

EMBA, 7(3), 3099–3108.

Najiyah, yati, Eriswanto, E., Kartini, T., Akuntansi, P., & Ekonomi, F. (n.d.).

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN OBAT

(Studi Kasus di Puskesmas Bojonggenteng Kabupaten Sukabumi) (Vol. 9, Issue

2).

Skripsi Oleh, A. (n.d.). ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL PROSEDUR

PENERIMAAN KAS PADA KLINIK AZ-ZAHRO SUMENEP.

Sudiarto, E., Kurniawan, D., Djuharni, D., Tinggi Ilmu Ekonomi Malangkuçeçwara, S.,

& Timur Alamat Korespondensi, J. (n.d.). MAKNA PENGENDALIAN INTERNAL

ATAS PERSEDIAAN OBAT-OBATAN DI PUSKESMAS PUNCU.

Aditya Pangadda, R., & Atmanto, D. (2015). ANALISIS SISTEM DAN PROSEDUR PERSEDIAAN

OBAT-OBATAN DALAM UPAYA MENDUKUNG PENGENDALIAN INTERN (Studi pada


54

Rumah Sakit Islam Unisma Malang). In Jurnal Administrasi Bisnis (JAB)|Vol (Vol. 27, Issue

2).

Buku Sistem Akuntansi. (n.d.).

dan Siti Suryani Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pelita Indonesia Jalan Jend Yani, F. A.

(2017). ANALYSIS OF INTERNAL CONTROL OF TRADE IN GOODS

INVENTORIES TOKO UTAMA SECURITY CCTV PEKANBARU (Vol. 1, Issue

2).

Irman, M., Rini, D., Sekolah, A., Ilmu, T., Pelita, E., Jalan, I., & Yani, J. A. (n.d.).

Analisis Sistem Pengendalian Internal terhadap Persediaan Barang Dagang pada

PT. Abetama Sempurna Pekanbaru (Mimelientesa Irman) ANALYSIS OF

INTERNAL CONTROL SYSTEM MERCHANDISE INVENTORY AT THE PT.

ABETAMA SEMPURNA PEKANBARU.

Penelitian, L., Penerbitan, D., Penelitian, H., & Ekonomipersada Bunda, S. (2019).

SISTEM PENGENDALIAN INTERN PERSEDIAAN BARANG DAGANG

PADAPD. MUTIARA JAYA RESTI RIANDI. 1. http://jurnal.ensiklopediaku.org


55

DAFTAR WAWANCARA

Pengendalian internal menggunakan SPIP PP No 60 tahun 2008 :

1. Lingkungan Pengendalian

a. Bagaimana dinas Kesehatan memastikan bahwa nilai- nilai etika dan

integritas tercemin dalam kebijakan dan praktik pengelolaan

persediaan obat- obatan?

b. Apa langkah kongkret yang diambil dalam mengembangkan dan

memelihara budaya organisasi yang mendukung efektivitas

pengendalian internal atas persediaan obat?

c. Bagaimana manajemen melibatkan staf dalam pengembalian

keputusan yang berkaitan dengan persediaan obat- obatan dan

baagaimana ini mendukung terciptanya lingkungan pengendalian yang

efektif?

2. Penilaian Resiko

a. Bagaimana dinas Kesehatan mengidentifikasi resiko- resiko kritis

terkait persediaan obat- obatan dan sejauh mana resiko- resiko tersebut

dievaluasi?

b. Bisakah anda memberikan contoh tindakan yang diambil untuk

mengelola resiko resiko yang diidentifikasi,termasuk upaya

pencegahan dan mitigasi?


56

c. Bagaimana proses penilain resiko diperbarui atau direvisi secara

berkala mengingat perubahan dalam tata kelola persediaan obat dan

kondisi eksternal?

3. Aktivitas Pengendalian

a. Bagaimana dinas Kesehatan memastikan adanya pemisahan tugas yang

efektif dalam pengelolaan persediaan obat- obatan dan bagaimana

pemantauan terhadap pemisahan tugas tersebut dilakukan?

b. Apakah terdapat kebijakan atau prosedur konkret yang mengatur

langkah- langkah pengendalian seperti pemantauan suhu, pemantauan

kadaluwarsa, dan pengawasan penerimaan barang?

c. Apakah ada sistem pelaporan internal untuk melaporkan pelanggaran

atau kejanggalan terkait pengendalian persediaan obat, bagaimana

pengelolaannya?

4. Informasi Dan Komunikasi

a. Bagaimana dinas Kesehatan memastikan bahawa informasi terkait

persediaan obat- obatan disampaikan dengan jelas dan cepat kepada

pihak-pihak terkait, termasuk staf, manajemen, dan pemasok?

b. Apakah ada pelatihan atau komunikasi khusus untuk memastikan

pemahaman yang tepat terkait kebijakan dan prosedur pengendalian

persediaan obat?

c. Bagaimana informasi tentang perubahan dalam kebijakan atau

prosedur pengendalian disampaikan dan dipahami diseluruh

organisasi?
57

5. Pemantauan

a. Bagaimana proses pemantauan dilakukan untuk mengukur kinerja

sistem pengendalian internal dalam persediaan obat-obatan secara

berkala?

b. Apakah ada indikator kinerja khusus atau metrik yang digunakan

untuk menilai efektivitas pengendalian internal, dan bagaimana hasil

pemantauan tersebut digunakan untuk perbaikan berkelanjutan?

c. Bagaimana dinas Kesehatan merespon temuan atau hasil pemantauan

yang menunjukkan ketidaksesuain dengan kebijakan atau prosedur

pengendalian?

Anda mungkin juga menyukai