Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Empirik

Beberapa hasil penelitian terdahulu yang mendasari pemikiran dalam

penelitian ini adalah :

1) Penelitian dari Lestari (2003), menganalisis pembiayaan kesehatan daerah

bersumber pemerintah di Kabupaten Tangerang. Studi dengan pendekatan

DHA (District Health Account) pada dinas kesehatan dan instansi yang

menjadi finance intermediares pembiayaan kesehatan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa 64,17 % pembiayaan kesehatan berasal dari APBD.

Besaran pembiayaan kesehatan per kapita adalah Rp.26.744 per tahun yang

berarti terdapat resources gap hampir 54 % dari kebutuhan menurut estimasi

Bank Dunia sebesar Rp.41.174/kapita/tahun. Dilihat dari peruntukannya,

proporsi belanja publik (langsung) lebih besar dibandingkan belanja aparatur

(tidak langsung). Sebagian besar alokasinya untuk belanja operasional, dan

perhitungan input cost untuk program prioritas (Tuberculosis dan Demam

Berdarah) telah tercukupi (tidak ada resource gap).

2) Penelitian yang dilakukan oleh Irwansyah (2003), menganalisis pembiayaan

sektor kesehatan bersumber pemerintah di Kabupaten Lampung Selatan.

Dengan metode penelitian kualitatif, dan pendekatan District Health Account /

DHA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alokasi anggaran pembiayaan

sektor kesehatan perkapita sebesar Rp.41.857 yang berarti mencukupi

standar pembiayaan perkapita dari Bank Dunia saat itu. Namun begitu,

proporsi pembiayaan kesehatan baru sekitar 6,12% dari total APBD. Alokasi

dana belum mengacu pada program prioritas, yaitu zona pantai sehat,

peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan peningkatan manajemen

pelayanan. 10
11

3) Penelitian yang dilakukan oleh Dharmawan (2004), menganalisis Alokasi

APBD dalam pelaksanaan desentralisasi pembangunan kesehatan di

Kabupaten Sukabumi. Dengan metode kualitatif ditelusuri alur penganggaran

mulai dari pengusulan hingga penetapan APBD. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa alokasi APBD untuk sektor kesehatan hanya sekitar

4,72% dari total APBD. terjadi aliran

4) Penelitian yang dilakukan oleh Harmana (2006), menganalisis faktor-faktor

yang mempengaruhi pembiayaan kesehatan daerah bersumber pada APBD

di Kabupaten Pontianak. Dengan metode kualitatif data dan hasil wawancara

dilakukan perhitungan menggunakan software computer. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa proporsi anggaran kesehatan sebesar 8,99% dari total

APBD. Pembiayaan per kapita adalah Rp.34.579 per tahun. Sedangkan

faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan kesehatan daerah adalah ;

komitmen daerah, kemampuan advokasi, kemampuan perencanaan, prioritas

masalah kesehatan, pemilihan intervensi program, Informasi alur pembiayaan

dan Keseimbangan antara mata anggaran.

5) Penelitian yang dilakukan oleh Alam (2009), menganalisis kebijakan alokasi

anggaran kesehatan pada dinas kesehatan Kabupaten Lahat. Dengan

metode kualitatif dan teknik analisis menggunakan segitiga analisis kebijakan

(Policy Analysis Triangle). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kesehatan

merupakan salah satu sektor yang menjadi prioritas dalam pembangunan,

namun proporsi alokasi anggaran tidak menggambarkan sebagai prioritas.

Proses perencanaan penganggaran kesehatan tergantung pada pagu

anggaran yang ditetapkan oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).

Peran pemerintah daerah sangat besar namun demikian tidak dapat

meningkatkan proporsi anggaran. Pemerintah Daerah kurang berkomitmen


12

untuk pembangunan kesehatan. Kewenangan dalam Undang-Undang

Otonomi Daerah tidak dimanfaatkan untuk meningkatkan proporsi anggaran

kesehatan. Kebijakan daerah dan kemampuan keuangan daerah belum

berpengaruh terhadap anggaran kesehatan.

6) Penelitian yang dilakukan oleh Nuraihan (2008), menganalisis pembiayaan

sektor kesehatan bersumber pemerintah di Kota Banda Aceh. Dengan

metode kuantitatif dan kualitatif. Teknis analisis menggunakan pendekatan

DHA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun jumlah pendanaan

sektor kesehatan cenderung meningkat, namun belum mencukupi

pendanaan per kapita dari standar WHO. Penggunaan dana lebih banyak

untuk membayar gaji dan honor petugas, belum terkoordinasi dengan baik

dan belum ada program prioritas yang ditetapkan pengambail kebijakan di

tingkat Dinas Kesehatan.

7) Penelitian yang dilakukan oleh Sembiring (2009), menganalisis pembiayaan

program Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Jayapura. Dengan metode

kualitatif dan kuantitatif. Teknik analisis menggunakan perhitungan software

computer dengan pendekatan instrument DHA (District Health Account)

mengacu pada KW-SPM (Kewenangan Wajib Standar Pelayanan Minimal).

Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun komitmen pengambil kebijakan

sudah ada untuk pemberantasan Tuberkulosis, namun belum terealisasi

dalam besaran alokasi anggaran yang disediakan. Dengan perhitungan KW-

SPM diperlukan dana sebesar Rp.883.107.064, sementara dana yang

tersedia adalah Rp.478.566.000,-, sehingga terdapat kekurangan dana

(funding gap) Rp.404.541.064,- atau 45,81%. Sedangkan berdasarkan fungsi

program, alokasi terbesar masih untuk kegiatan kuratif (60 – 70 %),

sedangkan untuk kegiatan promotif hanya sekitar 1,7 %.


13

2.2. Kajian Teoritik

2.2.1. Batasan Pembiayaan Kesehatan

Pembiayaan kesehatan adalah besarnya dana yang harus disediakan

untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan

yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat (Azwar,

1996).

Dalam sistem Kesehatan Nasional, pembiayaan kesehatan adalah

penataan sumber daya keuangan yang mengatur penggalian, pooling dan

pembelanjaan sumber daya keuangan dengan prinsip-prinsip efesiensi,

ekonomis, efektif, adil, berkelanjutan, transparan dan akuntabel untuk

terselenggaranya upaya kesehatan yang cost efective dalam meningkatkan

derajat kesehatan penduduk (Depkes RI, 2004)

Pembiayaan kesehatan mempengaruhi pengembangan tenaga,

penyelenggaraan upaya kesehatan dan kontribusi finansial untuk mewujudkan

derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Dalam mengukur aktifitas yang

berkaitan dengan upaya peningkatan kesehatan, pada dasarnya WHO

memberikan bahwa setiap kriteria global bahwa dikatakan sebagai pengeluaran

untuk kesehatan adalah segala pengeluaran/pembiayaan yang dikeluarkan

dengan tujuan utama adalah meningkatkan derajat kesehatan, baik individu

maupun kelompok (PMPK UGM, 2001)

Sistem kesehatan seperti apa yang dijelaskan sebelumnya mencakup hal

yang amat luas, jika disederhanakan dapat dibedakan atas dua subsistem.

Pertama, subsistem pelayanan kesehatan. Kedua, subsistem pembiayaan

kesehatan. Untuk dapat terselenggaranya upaya kesehatan yang baik, kedua

subsistem ini perlu ditata dan dikelola dengan sebaik-baiknya.


14

Menurut Azwar (1996) yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan

adalah menunjuk kepada kesatuan yang utuh dan terpadu dari berbagai upaya

kesehatan yang diselenggarakan dalam suatu negara. Sedangkan yang

dimaksud dengan subsistem pembiayaan kesehatan adalah menunjuk kepada

kesatuan yang utuh dan terpadu dari pembiayaan upaya kesehatan yang berlaku

dalam suatu negara.

Sedangkan dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 2009 memiliki

subsistem-subsistem, subsistem tersebut lebih kompleks dari pada subsistem

pada SKN 2004 yang hanya terdiri dari subsistem upaya kesehatan dan

subsistem pembiayaan. Dalam SKN 2009 terdiri dari 6 (enam) subsistem, yaitu :

1) Subsistem Upaya Kesehatan,

2) Subsistem Pembiayaan Kesehatan,

3) Subsistem Sumberdaya Manusia Kesehatan,

4) Subsistem Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Makanan,

5) Subsistem Manajemen dan Informasi Kesehatan, dan

6) Subsistem Pemberdayaan Masyarakat.

Subsistem upaya kesehatan adalah Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM)

dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) secara terpadu dan saling mendukung

guna menjamin tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Sedangkan subsistem pembiayaan kesehatan adalah tatanan yang menghimpun

berbagai upaya penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan sumberdaya

keuangan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya

derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Akan tetapi dengan begitu luasnya arti sehat yang dirumuskan WHO

maka pembiayaan pembangunan perumahan dan atau pengadaan pangan serta

perbaikan lingkungan pemukiman, yang juga memiliki dampak terhadap


15

kesehatan, seharusnya turut diperhitungkan dalam subsistem pelayanan dan

subsistem pembiayaan. Hanya saja peninjauan yang luas seperti ini tidaklah

mungkin dilakukan, maka pelayanan kesehatan dan pembiayaan kesehatan

dibatasi pada program-program yang berhubungan erat dengan penerapan

langsung ilmu dan teknologi kedokteran.

Pembiayaan kesehatan merupakan unsur penting dalam

penyelenggaraan kesehatan, karena tanpa dukungan pembiayaan, upaya

pelayanan kesehatan dapat terwujud. Untuk dapat memenuhi apa yang

dimaksud dengan pembiayaan kesehatan maka terlebih dahulu perlu dilakukan

pembatasan terhadap biaya itu sendiri. Dari pembatasan ini akan terlihat bahwa

biaya kesehatan dapat ditinjau dari dua sudut. Pertama adalah dari perspektif

penyediaan pelayanan kesehatan, yang kedua adalah dari perspektif pemakian

jasa pelayanan. Yang dimaksud dengan biaya kesehatan dari sudut penyedia

pelayanan kesehatan (health provider) adalah besarnya dana yang harus

disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya kesehatan. Dari pengertian ini

terlihat bahwa biaya dari sudut penyedia pelayanan adalah persoalan bagi pihak-

pihak yang akan menyelenggarakan upaya kesehatan atau dapat dikatakan

sebagai persoalan bagi provider untuk terselenggaranya suatu upaya kesehatan,

baik yang berasal dari swasta ataupun dari pemerintah.

Sedangkan yang dimaksud dengan biaya kesehatan dari sudut pemakai

jasa pelayanan (health consumer) adalah besarnya dana yang harus disediakan

untuk dapat memanfaatkan jasa pelayanan. Hal ini dapat disebut pula sebagai

biaya yang dikorbankan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang

dibutuhkan. Dari pengertian ini maka biaya kesehatan menjadi persoalan utama

bagi pemakai jasa pelayanan. Pada batas-batas tertentu, pemerintah juga turut
16

mempersoalkannya yakni dalam rangka terjaminnya pemenuhan kebutuhan

pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkannya.

2.2.2 Sumber Pembiayaan Kesehatan

Sumber pembiayaan kesehatan suatu negara berbeda dengan negara

lain. Secara umum menurut Azwar (1996) sumber pembiayaan kesehatan

dibedakan menjadi dua macam sumber yaitu :

1. Sumber pembiayan kesehatan didapat seluruhnya bersumber dari anggaran

pemerintah.

Keadaan ini tergantung dari bentuk pemerintahan yang dianut suatu negara.

Negara yang sumber pembiayan kesehatannya sepenuhnya ditanggung oleh

pemerintah, tidak ditemukan pelayanan kesehatan swasta. Seluruh

pelayanan kesehatan diselenggarakan oleh pemerintah dan pelayanan

kesehatan tersebut dilaksanakan secara cuma-cuma.

2. Sebagian ditanggung oleh masyarakat

Pada beberapa negara lain sumber biaya kesehatannya sebagaian tidak

hanya berasal dari pemerintah tetapi juga berasal dari masyarakat.

Masyarakat dihimbau untuk berperan serta baik dalam menyelenggarakan

upaya kesehatan ataupun pada waktu memanfaatkan jasa pelayanan

kesehatan. Dengan ikut sertanya masyarakat dalam menyelenggarakan

pelayanan kesehatan maka pelayanan kesehatan tidaklah cuma-cuma.

Masyarakat diharuskan membayar pelayanan kesehatan yang

dimanfaatkannya.

Sedangkan menurut Gani (2002) sumber pembiayaan kesehatan yang

berasal dari pemerintah terdiri dari :

1. Pemerintah Pusat : APBN, JPSBK, dan bantuan dan pinjaman dari luar negeri.
17

2. Pemerintah Propinsi : APBD Propinsi.

3. Pemerintah Kabupaten/Kota : APBD Kabupaten/Kota.

Pembiayan kesehatan daerah yang bersumber dari APBD dapat

dikelompokkan menjadi dua yaitu alokasi untuk sektor kesehatan dan sektor non

kesehatan. Sektor kesehatan adalah satuan kerja yang memiliki fungsi utamanya

melakukan serta memberikan pelayanan kesehatan dan kegiatan kesehatan

seperti Dinas Kesehatan, Rumah Sakit Umum Daerah, Laboratorium Kesehatan

Daerah serta Perbekalan dan Gudang Farmasi.

Sektor non kesehatan adalah satuan kerja atau instansi yang memiliki

fungsi utamanya tidak langsung melakukan pelayanan kesehatan tetapi

melakukan kegiatan kesehatan, seperti Dinas Sosial, BKKBN dan lain-lain.

Sedangkan menurut Depkes (2004) sumber pembiayaan bagi

pembangunan kesehatan berasal dari pemerintah, masyarakat termasuk swasta

dan sumber lain. Sumber pembiayaan pemerintah berasal dari pemerintah pusat,

propinsi, kabupatem/kota dan bantuan luar negeri (BLN). Sedangkan sumber

pembiayaan swasta berasal dari pengeluaran rumah tangga atau perorangan

(out of pocket), perusahaan swasta/BUMN untuk membiayai karyawan, badan

penyelenggara beberapa jenis jaminan pembiayaan kesehatan dan lembaga non

pemerintah yang umumnya digunakan untuk kegiatan kesehatan yang bersifat

sosial kemasyarakatan.

2.2.3 Issue Pokok Dalam Pembiayaan Kesehatan

Sebagai subsistem penting dalam penyelenggaraan pembangunan

kesehatan, terdapat beberapa faktor penting dalam pembiayaan kesehatan yang


18

mesti diperhatikan. Pertama, besaran (kuantitas) anggaran pembangunan

kesehatan yang disediakan pemerintah maupun sumbangan sektor swasta.

Kedua, tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan (funsionalisasi) dari anggaran

yang ada. Menurut Azwar (1996) menyatakan bahwa pembiayaan kesehatan

mempunyai ciri-ciri yang harus memenuhi beberapa syarat pokok dalam

pembiayaan yaitu :

a. Jumlah

Syarat utama dari pembiayaan kesehatan haruslah tersedia dalam jumlah

yang cukup, dalam arti dapat membiayai penyelenggaraan semua upaya

kesehatan yang dibutuhkan serta tidak menyulitkan dan memberatkan

masyarakat yang ingin memanfaatkannya.

b. Penyebaran

Syarat lain yang harus dipenuhi ialah penyebaran dana yang harus sesuai

dengan kebutuhan. Jika dana yang tersedia tidak dapat dialokasikan dengan

baik maka akan menyulitkan penyelenggaraan setiap upaya kesehatan,

artinya dengan penyebaran dana ini akan memudahkan untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat secara adil.

c. Pemanfaatan

Sekalipun jumlah dana dan penyebaran dana baik, akan tetapi jika

pemanfaatannya tidak mendapatkan pengaturan yang seksama maka akan

menimbulkan masalah yang jika berkelanjutan akan menyulitkan masyarakat

artinya kebutuhan pelayanan kesehatan kadang tidak sesuai dengan apa

yang diinginkan oleh masyarakat banyak.

Dari ketiga syarat pokok tersebut kita menyadari bahwa jumlah dana yang

tersedia selalu bersifat terbatas oleh karenanya dalam pendanaan kesehatan


19

perhatian tidak hanya dicurahkan pada upaya penambahan dana tetapi juga

pada pengaturan penyebaran dan pemanfaatan dana yang tersedia.

Ada tiga isu pokok berkaitan dengan Pembiayaan kesehatan yang

terbatas (Gani, 2002), yaitu :

1. Prioritas masalah kesehatan

2. Pemilihan program atau intervensi yang cost-effective.

3. Keseimbangan pengalokasian pembiayaan antara mata anggaran.

Menurut Depkes (2004) ada lima faktor yang menentukan kecukupan

dalam pengalokasian anggaran kesehatan didaerah, yaitu :

1. Jumlah penerimaan daerah berasal dari pemerintah pusat dan daerah yang

tercantum dalam jumlah APBD.

2. Skala prioritas terhadap bidang kesehatan dimata para pemimpin daerah

atau kepala daerah.

3. Kemampuan Dinas Kesehatan dalam melakukan advokasi.

4. Kemampuan Dinas Kesehatan dalam menyusun rencana anggaran

kesehatan yang baik.

5. Kemampuan menyajikan informasi dan alur pendanaan kesehatan daerah

termasuk informasi sumber-sumber dana yang ada, sampai bagaimana

penggunaan dana tersebut terhadap pencapaian program-program

kesehatan.

Sedangkan menurut SKN 2009 terdapat tiga unsur utama dalam

subsistem pembiayaan kesehatan, yakni penggalian dana, aloksi dan

pembelanjaan. Ketiga unsur ini menjadi unsur utama, baik bagi pihak penyedia

pelayanan kesehatan ataupun pihak pemakai jasa layanan kesehatan.

Dalam penyelenggaraan pembiayaan kesehatan harus mengacu pada

beberapa prinsip-prinsip agar tidak menyimpang dari maksud dan tujuan yang
20

akan dilakukan pada pembiayaan kesehatan. Prinsip-prinsip penyelenggaraan

subsistem pembiayaan kesehatan menurut SKN 2009 adalah :

1. Jumlah dana untuk kesehatan harus cukup tersedia dan dikelola secara

berdaya guna, adil dan berkelanjutan yang didukung oleh transparasi dan

akuntabilitas.

2. Dana pemerintah diarahkan untuk pembiayaan upaya kesehatan masyarakat

dan upaya kesehatan perseorangan bagi masyarakat dan keluarga miskin.

3. Dana masyarakat diarahkan untuk pembiayaan upaya kesehatan perorangan

yang terorganisir, adil, berhasil guna dan berdaya guna melalui jaminan

pemeliharaan kesehatan, baik berdasarkan prinsip solidaritas sosial yang

wajib maupun sukarela, yang dilaksanakan secara bertahap.

4. Pemberdayaan masyarakat dalam pembiayaan kesehatan diupayakan

melalui penghimpunan secara aktif dana sosial untuk kesehatan, misalnya

dana sehat atau memanfaatkan dana masyarakat yang telah terhimpun

(misal : dana sosial keagamaan) untuk kepentingan kesehatan.

5. Pada dasarnya penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan pembiayaan

kesehatan di daerah merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Namun

untuk pemerataan kesehatan, pemerintah menyediakan dana perimbangan

bagi daerah yang kurang mampu.

Di Indonesia, proporsi anggaran pembangunan kesehatan tidak pernah

mencapai angka “dua digit” dibandingkan dengan total APBN/APBD. Padahal,

Badan Kesehatan Dunia (WHO) jauh-jauh hari telah menstandarkan anggaran

pembangunan kesehatan suatu negara pada kisaran minimal 5% dari GDP

(Gross Domistic Produk). Pada tahun 2003, pertemuan para Bupati/Walikota se-

Indonesia di Blitar telah juga menyepakati komitmen besarnya anggaran

pembangunan kesehatan di daerah-daerah sebesar 15% dari APBD.


21

Minimnya anggaran negara yang diperuntukan bagi sektor kesehatan,

dapat dipandang sebagai rendahnya apresiasi kita akan pentingnya bidang ini

sebagai elemen penyangga, yang bila terabaikan akan menimbulkan rangkaian

problem baru yang justru akan menyerap keuangan negara lebih besar lagi.

Terbatasnya anggaran kesehatan di negeri ini, diakui banyak pihak, bukan tanpa

alasan. Selain karena rendahnya kesadaran pemerintah untuk menempatkan

pembangunan kesehatan sebagai sektor prioritas, juga karena alasan kesehatan

belum menjadi komoditas politik yang laku dijual di negeri yang sedang

mengalami transisi demokrasi ini.

Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan

memegang peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan

kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan

kesehatan di suatu negara diantaranya adalah pemerataan pelayanan kesehatan

dan akses (equitable access to health care) dan pelayanan yang berkualitas

(assured quality). Oleh karena itu reformasi kebijakan pembiayaan kesehatan di

suatu negara seyogyanya memberikan fokus penting kepada kebijakan

pembiayaan kesehatan untuk menjamin terselenggaranya kecukupan

(adequancy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency) dan efektifitas

(effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri.

Bila memperhatikan hal pokok diatas maka untuk dapat memenuhi syarat

pembiayaan kesehatan tersebut adalah tidak mudah. Adapun permasalahan

pembiayaan kesehatan tersebut diuraikan Gani (2002), sebagai berikut :

1. Kurangnya dana yang tersedia


22

Dibanyak negara berkembang dana yang disediakan untuk menyelenggarkan

pelayanan kesehatan tidak memadai. Rendahnya alokasi ini berkaitan

dengan masih kurangnya kesadaran pengambil keputusan akan pentingnya

arti kesehatan. Kebanyakan dari pengambil keputusan menganggap

pelayanan kesehatan tidak bersifat produktif melainkan bersifat konsumtif.

Dan karena itu kurang mendapat prioritas.

2. Penyebaran dana yang tidak sesuai

Masalah lain yang dihadapi adalah penyebaran dana yang tidak sesuai

karena kebanyakan justru di daerah perkotaan. Padahal jika ditinjau dari

penyebaran penduduk terutama di negara yang sedang berkembang

kebanyakan bertempat tinggal dipedesaan.

3. Pemanfaatan dan yang tidak tepat

Pemanfaatan dana yang tidak tepat juga merupakan salah satu masalah

yang dihadapi dalam pendanaan kesehatan ini. Adalah mengejutkan bahwa

di banyak negara ternyata pelayanan kedokteran jauh lebih tinggi dari pada

pelayanan kesehatan masyarakat. Padahal semua pihak telah mengetahui

bahwa pelayanan kedokteran dipandang kurang efektif daripada pelayanan

kesehatan masyarakat.

4. Pengelolaan dana yang belum sempurna

Seandainya dana yang tersedia amat terbatas, penyebaran dan

pemanfaatnya belum begitu sempurna jika apa yang dimiliki tersebut dapat

dikelola dengan baik dalam batas-batas tertentu tujuan dari pelayanan

kesehatan masih dapat dicapai. Sayangnya kehendak yang seperti ini sulit

diwujudkan. Penyebab utamanya ialah karena pengelolaannya memang

belum sempurna, tidak hanya terkait dengan pengetahuan dan keterampilan


23

yang masih terbatas, tetapi terkait juga dengan sikap mental para

pengelolanya.

5. Biaya kesehatan yang selalu meningkat

Masalah lain yang dihadapi dalam pembiayaan kesehatan ialah makin

meningkatanya pelayanan kesehatan itu sendiri. Banyak penyebab yang

berperan disini seperti tingkat inflasi, tingkat permintaan, kemajuan ilmu dan

teknologi, perubahan pola penyakit dan sebagainya yang turut mendukung

makin tingginya pembiayaan kesehatan yang mesti disediakan.

Selanjutnya Gani (2002) mengemukakan solusi dari issue permasalahan

pembiayaan kesehatan daerah menggunakan instrument District Health Account

(DHA) untuk melakukan koreksi dari berbagai issue tersebut, dengan penjelasan

sebagai berikut :

1. Jumlahnya kecil

Biaya kesehatan yang tersedia sangat kecil. Dengan DHA daerah/dinas

kesehatan dapat menyatakan secara eksplisit seberapa jauh kecilnya biaya

tersebut. Data atau informasi itu dapat dipergunakan untuk bahan advokasi

anggaran kesehatan.

2. Terfragmentasi

Biaya kesehatan datang dari banyak sumber dan masih tetap terfragmentasi

sebagaimana halnya terjadi dalam masa sentralistis yang sudah lampau,

informasi yang dihasilkan DHA dapat dipergunakan untuk mengintegrasikan

anggaran kesehatan.

3. Tidak seimbang antara biaya untuk kegiatan langsung dan tidak langsung.

Ketidakseimbangan antara biaya untuk kegiatan langsung dan tidak langsung

menunjukan gambaran piramida terbalik, banyak terpakai pada jenjang atau

unit organisasi yang lebih tinggi (kantor dinas, rapat, pertemuan dan
24

konsultasi) dan sedikit pada unit pelaksana di lapangan (puskesmas,

perjalanan, laboratorium dan lain-lain).

4. Tidak jelas untuk program apa dipergunakan.

Di daerah sering ditemui kesulitan dalam mengetahui program dan biaya

yang digunakan dalam pembiayaan kesehatan, hal ini bisa ditelusuri dengan

instrument DHA.

2.2.4 Implementasi Otonomi Daerah Terhadap Pembiayaan Kesehatan

1. Makna Otonomi Daerah

Beberapa pengertian yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32

tahun 2004 tentang Otonomi Daerah adalah sebagai berikut :

a. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonomi

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan-peraturan.

b. Daerah otonomi adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus prakarsa

sendiri berdasarkan aspirasi dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

c. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh

pemeintah kepada daerah atonom untuk mengatur dan mengurus

pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

d. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh

pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada

instansi vertikal di wilayah tertentu.

e. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah

dan/atau desa dari pemerintah propinsi kepada kabupaten/kota dan/atau


25

desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk

melaksanakan tugas tertentu.

2. Kewenangan Daerah

Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan daerah sebagimana dimaksud Undang-Undang Nomor 32 tahun

2004 adalah bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas

otonomi dan tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan

wajib pemerintah daerah kabupaten/kota adalah meliputi :

- Perencanaan dan pengendalian pembangunan

- Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang

- Penyelenggaran ketertiban umum dan ketentraman masyarakat

- Penyediaan sarana dan prasarana umum

- Penanganan sarana dan prasarana umum

- Penanganan bidang kesehatan

- Penyelenggaraan pendidikan

- Penanggulangan masalah sosial

- Pelayanan bidang ketenagakerjaan

- Fasilitas pengembangan koperasi usaha kecil dan menengah

- Pengendalian lingkungan hidup

- Pelayanan pertanahan

- Pelayanan kependudukan dan catatan sipil

- Pelayanan administrasi umum dan pemerintahan

- Pelayanan administrasi penanaman modal

- Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya


26

- Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan

Urusan pemerintah kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan

pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi

unggulan daerah yang bersangkutan.

Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak dan

kewajiban. Hak yang dimiliki daerah antara lain adalah ; mengelola kekayaan

daerah, memungut pajak daerah dan retribusi daerah, mendapatkan bagi hasil

dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di

daerah, mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah. Sedangkan

kewajiban yang harus dilakukan oleh daerah antara lain adalah mengembangkan

kualitas kehidupan masyarakat, mewujudkan keadilan dan pemerataan,

meningkatkan pelayanan dasar pendidikan dan menyediakan fasilitas kesehatan

serta kewajiban lain yang menjadi urusan wajib pemerintah daerah.

2.2.5 Proses Penyusunan Arah dan Kebijakan Umum APBD

Dalam rangka mencapai tujuan nasional diperlukan sinkronisasi kebijakan

pemerintah dengan pemerintah daerah melalui persamaan persepsi terhadap

berbagai persoalan dan program pembangunan daerah dalam kerangka

pembangunan yang berkesinambungan. Untuk itu beberapa hal yang perlu

diperhatikan oleh pemerintah daerah dalam penyusunan arah dan kebijakan

umum anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), yaitu : 1) peningkatan

pelayanan dasar dan pembangunan perdesaan, 2) percepatan pertumbuhan

yang berkualitas dengan memperkuat daya tahan ekonomi yang didukung oleh

pembangunan pertanian, infrastruktur dan energi, 3) peningkatan upaya anti


27

korupsi, reformasi birokrasi, serta pemantapan demokrasi dan keamanan dalam

negeri (Permendagri No. 32 Tahun 2008).

Pelaksanaan pembangunan di daerah merupakan manifestasi

keberadaan pemerintah di daerah, yang bertujuan untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk menyelenggarakan

pembangunan diperlukan sejumlah biaya sebagai sarana dalam pelaksanaanya.

Biaya tersebut disusun melalui perencanaan penganggaran disetiap pelaksana

(unit kerja). Oleh karena itu perencanaan anggaran di tingkat unit kerja menjadi

bagian kebijakan yang sangat penting. Hal ini disebabkan semua anggaran dari

seluruh unit kerja tersebut menjadi anggaran dan belanja daerah. Secara rinci

arah dan kebijakan umum anggaran pendapatan dan belanja daerah memuat

uraian yang menjadi dasar penyusunan strategis dan prioritas program

pembangunan di daerah.

Arah dan kebijakan umum APBD memuat komponen-komponen

pelayanan dan tingkat pencapaian yang diharapkan pada setiap bidang

kewenangan pemerintah daerah yang akan dilaksanakan dalam satu tahun

anggaran. Komponen dan kinerja pelayanan yang diharapkan tersebut disusun

berdasarkan aspirasi masyarakat dengan mempertimbangkan kondisi dan

kemampuan daerah, termasuk kinerja pelayanan yang telah dicapai dalam

tahun-tahun anggaran sebelumnya. Berdasarkan Permendagri No. 32 Tahun

2008, kriteria penyusunan arah dan kebijakan umum didasarkan pada :

1. Sesuai dengan visi, misi, tujuan, sasaran dan kebijakan yang ditetapkan

dalam rencana strategis daerah dan dokumen perencanaan lainnya yang

ditetapkan oleh daerah.

2. Sesuai dengan aspirasi masyarakat yang berkembang dan

mempertimbangkan kondisi dan kemampuan daerah.


28

3. Memuat arah yang diinginkan dan kebijakan umum yang disepakati sebagai

pedoman penyusunan strategis dan prioritas APBD serta penyusunan

rancangan APBD dalam satu tahun anggaran.

4. Disusun dan disepakati bersama antara DPRD dengan pemerintah daerah.

5. Memberikan fleksibelitas untuk dijabarkan lebih lanjut dan memberi peluang

untuk pengembangan kreativitas pelaksananya.

Berdasarkan tata cara penetapannya APBD merupakan produk dari

sebuah kebijakan publik. Hal ini yang mendasari bahwa APBD merupakan

kebijakan publik adalah terjadinya pemilihan prioritas pengalokasian anggaran

sesuai dengan fungsi alokasi dan komitmen yang telah ada pada visi dan misi

serta rencana strategis pembangunan daerah tersebut.

2.2.6 Kebijakan Penyusunan APBD

Proses penyusunan dan penetapan APBD diatur dalam Undang-Undang-

Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah

No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan mekanisme

teknisnya diatur dalam Permendagri No. 32 tahun 2008 tentang Pedoman

Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Penetapan APBD

berkaitan erat dengan sistem perencanaan pembangunan nasional sebagimana

diatur dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional.

Pokok-pokok kebijakan dalam penyusunan APBD yang tertuang dalam

Permendagri No. 32 tahun 2008, adalah kebijakan pendapatan daerah, kebijakan

belanja daerah serta kebijakan penerimaan pembiayaan dan pengeluaran

pembiayaan daerah, ketiga komponen ini sesungguhnya tidak terpisah, tetapi

terintegrasi satu sama lain sebagai berikut :


29

1. Kebijakan Pendapatan Daerah, kebijakan untuk meningkatkan target PAD

didasari alasan untuk apa dana tersebut akan digunakan. Pendapatan

Daerah terdiri dari : Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan,

Lain-Lain Pendapatan Yang Sah.

2. Kebijakan Belanja Daerah, belanja daerah dimaksudkan untuk melaksanakan

tupoksi masing-masing SKPD sesuai dengan target yang ditentukan. Dengan

demikian, prioritas belanja tidak hanya pada besaran angka, tetapi juga pada

jaminan bahwa pelaksanaan anggaran tersebut tepat tepat pada waktunya.

Belanja Daerah terdiri dari : Belanja tidak langsung dan Belanja langsung.

3. Kebijakan Pembiayaan Daerah, pembiayaan merupakan komponen APBD

yang secara tidak langsung adalah turunan dari pendapatan dan belanja.

Kebijakan penyusunan APBD saat ini terdapat keterlibatan masyarakat

(buttom up) dengan menjaring aspirasi masyarakat (tokoh masyarakat, pemuka

agama, LSM dan sektor swasta) melalui forum musyawarah rencana

pembangunan (musrenbang) di tingkat desa, kecamatan dan kabupaten yang

nantinya akan sesuaikan dengan visi dan misi Pemerintah Daerah yang tertuang

dalam Restra Daerah.

Restra Daerah yang dijabarkan pada masing-masing unit kerja dalam hal

ini melalui forum Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) mengakomodasi tugas

dan fungsi masing-masing kewenangan bidang pembangunan sehingga

didapatlah dokumen perencanaan yang memiliki kesinambungan dan sesuai

dengan kebutuhan dilapangan.

Dokumen ini nantinya dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah

Daerah (RKPD), dimana RKPD ini menjadi pedoman dan acuan dalam

penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) yang

sesuai dengan visi, misi dan prioritas pembangunan daerah.


30

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2008, ada

beberapa hal yang perlu mendapat perhatian pemerintah daerah dalam

menyusun APBD, adalah sebagai berikut :

1. Subtansi Kebijakan Umum Anggaran (KUA) yang tediri dari : kondisi ekonomi

makro daerah; asumsi-asumsi dasar dalam penyusunan RAPED; kebijakan

pendapatan daerah meliputi PAD, Dana Perimbangan dan lain-lain

pendapatan daerah yang sah serta strategi untuk mencapainya; kebijakan

belanja daerah menginformasikan total rencana belanja daerah dan langkah-

langkah optimalisasi pelaksanaannya yang disusun secara terintegrasi

dengan kebijakan dan prioritas pembangunan nasional yang dilaksanakan

daerah; kebijakan pembiayaan daerah dalam rangka menutupi defisit belanja

daerah atau memanfaatkan surplus APBD.

2. Substansi PPAS menginformasikan prioritas pembangunan daerah dikaitkan

dengan sasaran yang ingin dicapai, SKPD yang akan melaksanakan, dan

program yang prioritas.

3. Dalam rangka percepatan pembahasan KUA dan PPAS, Kepala Daerah

menyampaikan KUA dan PPAS kepada DPRD dalam waktu yang bersamaan

dan ditandatangani pada waktu yang bersamaan.

4. Pedoman Penyusunan RKA-SKPD kepada seluruh SKPD dan RKA-PPKD

kepada SKPKD hanya memuat prioritas pembangunan daerah dan

program/kegiatan yang terkait, alokasi plafon anggaran sementara untuk

setiap program/kegiatan SKPD, batas waktu penyampaian RKA-SKPD

kepada PPKD, dan dokumen sebagai lampiran surat edaran dimaksud

meliputi KUA, PPAS, analisis standar belanja dan standar satuan harga.
31

5. RKA-SKPD memuat rincian anggaran pendapatan, rincian anggaran belanja

tidak langsung SKPD dan rincian anggaran belanja langsung menurut

program dan kegiatan SKPD.

6. RKA-PPKD memuat rincian pendapatan yang berasal dari dana perimbangan

dan pendapatan hibah, belanja tidak langsung terdiri dari belanja bunga,

belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil,

belanja bantuan keuangan dan belanja tidak terduga, rincian penerimaan

pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan.

7. Dalam rangka penyederhanaan dokumen penjabaran APBD, beberapa

informasi yang dituangkan dalam kolom penjelasan penjabaran APBD

ditiadakan.

8. Dengan ditetapkanya Permendagri Nomor 32 Tahun 2008, maka dalam

penyusunan APBD wajib menyesuaikan kodefikasi urusan pemerintah

daerah dan kodefikasi organisasi perangkat daerah yang akan melaksanakan

urusan pemerintah dimaksud.

2.2.7. Penyusunan Anggaran Program Prioritas dalam APBD

Penyusunan arah dan kebijakan umum APBD umumnya menggunakan

sejumlah asumsi dan untuk mencapainya seiring dijumpai berbagai

permasalahan, kendala dan tantangan karena keterbatasan sumber daya. Dalam

hal ini, diperlukan strategi atau cara tertentu yang diharapkan dapat

memperlancar atau mempercepat pencapaian arah dan kebijakan umum APBD.

Prioritas diperlukan karena adanya keterbatasan sumber daya untuk mencapai

arah dan kebijakan umum APBD.

Strategi dan Prioritas APBD dalam pengarahan daerah termasuk katagori

perumusan kebijakan anggaran yang disusun berdasarkan arah dan kebijakan

umum APBD. Perumusan strategi dan prioritas APBD umumnya dimaksudkan


32

untuk mengatasi permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh daerah dalam

pencapaian arah dan kebijakan umum APBD. Strategi diarahkan pada upaya

pencapaian target kinerja berdasarkan kemampuan sumber daya (manusia,

dana dan atau teknologi) yang tersedia serta kondisi lingkungan. Strategi

mengintegrasikan semua sumber daya yang tersedia dilakukan untuk

memanfaatkan kekuatan dan peluang serta mengatasi kelemahan dan tantangan

yang dihadapi.

Dalam penyusunan strategis dan prioritas APBD, daerah dapat

melaksanakannya melalui mekanisme sesuai (pasal 34 (2) PP No. 58 Tahun

2005), sebagai berikut :

1. Berdasarkan arah dan kebijakan umum APBD, pemerintah daerah melalui

tim penyusunan anggaran eksekutif menyusun strategi dan prioritas APBD.

2. Tim penyusunan anggaran eksekutif dalam menyusun strategi dan prioritas

APBD sedapat mungkin menggunakan berbagai sumber data dan metode

penyusunan yang memfokuskan pada identifikasi kondisi yang ada, isue

strategis, tren kedepan dan analisis SWOT, untuk mencapai target yang

diharapkan dalam arah dan kebijakan umum APBD.

3. Tim penyusun anggaran eksekutif dalam mengembangkan strategi dan

prioritas APDB dapat melibatkan tim ahli. Untuk pertimbangan kepraktisan,

keterlibatan tim ahli pada saat penyusunan konsep arah dan kebijakan umum

APBD dapat juga sekaligus terlibat dalam penyusunan strategi dan prioritas

APBD.

4. Strategi dan prioritas APBD yang telah disusun tim anggaran eksekutif,

selanjutnya disampaikan kepada panitia anggaran legislatif untuk konfirmasi

kesesuaiannya dengan arah dan kebijakan umum APBD yang telah

disepakati sebelumnya.
33

5. Arah dan kebijakan umum serta strategi dan prioritas APBD selanjutnya

menjadi dasar bagi tim anggaran eksekutif bersama-sama unit organisasi

perangkat daerah untuk menyiapkan rancangan APBD.

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah disusun perencanaan

pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem pembangunan

nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata

cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana

pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah dan tahunan yang

dilaksanakan oleh unsur penyelenggaran negara dan masyarakat di tingkat pusat

dan daerah.

Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2004, proses perencanaan

adalah merupakan gabungan dari empat proses yaitu :

1. Proses Politik : pemilihan langsung dipandang sebagai proses perencanaan

karena menghasilkan rencana pembangunan dalam bentuk visi, misi dan

program yang ditawarkan oleh kepala daerah terpilih selama kampanye.

2. Proses Teknokratik : perencanaan yang dilakukan oleh perencana

profesional, atau oleh lembaga/unit organisasi yang secara fungsional

melakukan perencanaan.

3. Proses Partisipatif : perencanaan yang melibatkan para pemangku

kepentingan pembangunan (stakholders) antara lain melalui pelaksanaan

musrenbang.

4. Proses Bottom-up dan Top-down : adalah perencanaan yang aliran

prosesnya dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas dalam hirarki

pemerintahan.
34

Perencanaan pembangunan daerah dilaksanakan oleh Badan

Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), merupakan proses

perencanaan yang bersifat politik, teknokratik dan top-down, (UU No. 25 Tahun

2004), dan perencanaan ini disusun secara berjangka, meliputi :

a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang daerah (RPJP) untuk jangka waktu

20 (dua puluh) tahun yang memuat visi, misi, dan arah pembangunan daerah

yang mengacu kepada RPJP nasional.

b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah daerah (RPJM) untuk jangka

waktu 5 (lima) tahun merupakan penjabaran dari visi, misi dan program

kepala daerah yang penyusunannya berpedoman kepada RPJP daerah dan

memperhatikan RPJM nasional.

c. RPJM daerah memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi

pembangunan daerah, kebijakan umum dan program Satuan Kerja

Perangkat Daerah (SKPD), lintas satuan kerja perangkat daerah, dan

program kewilayahan disertai dengan rencana kerja dalam kerangka regulasi

dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.

d. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah selanjutnya disebut Rencana Kerja

Pemerintah Daerah (RKPD) merupakan penjabaran dari RPJM daerah untuk

jangka waktu 1 (satu) tahun yang memuat rencana kerja dan pendanaannya,

baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun ditempuh

dengan mendorong partisipasi masyarakat dengan mengacu kepada rencana

kerja pemerintah.

e. RPJP daerah dan RPJM daerah ditetapkan dengan Perda berpedoman pada

Peraturan Pemerintah (PP).


35

2.2.8. Perlunya Studi Pembiayaan Kesehatan

Menurut Mills & Gilson (1990) dalam Irwansyah (2003), penelitian

pendanaan dan pembiayaan sektor kesehatan umumnya memiliki dua tujuan

utama, yaitu (a) menelisik efisiensi sektor kesehatan dan (b) melengkapi

informasi guna bahan perencanaan anggaran. Dalam praktiknya, informasi

tersebut berguna untuk :

- Mengidentifikasi Siapa yang memperoleh keuntungan dari jasa/pelayanan

kesehatan, sehingga dapat dilihat dengan jelas dampak nya dalam

pemerataan pelayanan.

- Mengidentisikasi Siapa memperoleh Apa, dan menentukan apakah hal

tersebut telah sesuai dengan garis kebijakan yang dibuat.

- Meneliti pola pembiayaan dan pendanaan yang ada untuk dapat digunakan

dalam pembahasan pencarian alternative sumber-sumber keuangan.

- Mengidentifikasi dan menghitung kekurangan sumber daya dengan cara

memperjelas jenis pelayanan yang dihasilkan beserta sumber daya yang

dipergunakan untuk menghasilkan pelayanan

- Meningkatkan koordinasi antara para donor dan pusat-pusat

pembiayaan/pengeluaran.

- Menganalisis cara penggalian sumber daya dan mengidentifikasi

kemungkinan untuk melakukan mobilisasi sumber daya lanjutan.

- Memungkinkan melakukan perbandingan antar Negara mengenai pola

pembiayaan dan pendanaan sektor kesehatan.

Selanjutnya, dalam pelaksanaan penelitian pembiayaan sektor kesehatan,

setidaknya ada empat langkah pokok yang harus dilakukan untuk menilai

masalah pendanaan dan pembelanjaan sektor kesehatan (Mills & Gilson; 1990,

dalam Irwansyah, 2003) :


36

- Mendefinisikan apakah sektor kesehatan itu

- Menjelaskan ruang lingkup dan tujuan penelitian

- Mengumpulkan dan mentabulasikan data

- Menyajikan kesimpulan.

2.2.9. National Health Account dan District Health Account (DHA)

1. National Health Account

Menurut Mills & Gilson (1990) dalam Hermana (2006), pengertian dasar

system akuntansi (accounting system) adalah prosedur pencatatan nilai utang

dari berbagai transaksi pembelian, penjualan, penerimaan, pembayaran dan lain-

lain untuk menunjukkan pengaruh transaksi terhadap posisi keuangan

organisasi. Karena itu Health Account dapat dijelaskan sebagai prosedur

akuntansi yang dioterapkan dalam bidang kesehatan atau institusi kesehatan.

Jika prosedur akuntansi ini dilakukan oleh suatu Negara, maka disebut National

Health Account (NHA). Menurut Andayani (2005) dalam Hermana (2006)

diterangkan NHA versi WHO, perhitungan pengeluaran biaya kesehatan adalah

termasuk pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan professional yang

berijazah resmi dan juga pelayanan yang diberikan oleh tenaga yang tidak

mempunyai ijazah pendidikan tenaga formal kesehatan, termasuk jasa tenaga

kesehatan alternative (tradisional).

NHA adalah kegiatan pencatatan dan analisis data pendanaan kesehatan

pada tingkat nasional yang akan memberikan informasi tentang alur pendanaan

kesehatan di suatu negara, yang dimulai dari sumber-sumber pendanaan sampai

dengan bagaimana biaya tersebut digunakan dan kepada siapa saja biaya

tersebut dialokasikan. NHA dapat berfungsi sebagai alat untuk meringkas,

menggambarkan dan menganalisis pembiayaan kesehatan nasional yang


37

menjadi langkah penting dalam menilai kinerja system kesehatan. Sehingga

instrument ini dipergunakan WHO untuk memahami kondisi financial sektor

kesehatan suatu negara. Manfaat NHA bagi suatu system kesehatan adalah

sebagai estimasi jumlah dan karakteristik biaya kesehatan yang dibelanjakan di

suatu Negara dan dipergunakan oleh pengambil kebijakan (policy maker) atau

perencana kesehatan (health planner). NHA ini dapat digunakan sebagai input

kebijakan, sekaligus sebagai alat ukur outcome dari sistem kesehatan suatu

Negara.

Struktur NHA di Indonesia pada dasarnya mengikuti struktur aliran

keuangan pada umumnya, yaitu (Andayani, 2005 dalam Hermana, 2006) :

1) Aliran keuangan (flow of fund), dari mana uang tersebut berasal, kemana

dipergunakan dan bagaimana uang tersebut dipergunakan

2) Aliran keuangan dalam NHA dapat bermanfaat dan berhasil guna bila

memenuhi enam kriteria dari 10 kriteria yang ditentukan, yaitu “policy

sensitivity, comprehensiveness, consistency, standardization, accuracy dan

timelines

3) Aliran keuangan ini menggambarkan fungsi utama dari health financing.

Alur pengelolaan pembiayaan menurut kaidah NHA dapat dilihat pada

bagan alur berikut ini :

Source Finance Uses


intermediary

Resource Resource

Mobilization Allocation

Gambar 2.1. Aliran Keuangan dalam NHA


38

Keterangan Gambar 2.1 :

1. Sources adalah sumber keuangan yang diperuntukkan kegiatan kesehatan,

yang dapat ditelusuri sebagai pengeluaran rumah tangga dan individu,

firma dan external sources ( donor ).

2. Financing Intermediary ( FI’s ) : menggambarkan entitas yang

mengumpulkan dan mengorganisir keuangan dari sumber-sumber yang

berkontribusi dalam pembiayaan kesehatan dan mengalokasikan untuk

payment/purchase health care.

2. Uses digambarkan sebagai tujuan akhir dari pembiayaan kesehatan, lebih

pada where the money goes and how it is used.

Dalam mengembangkan NHA, yang penting untuk dilakukan adalah

memberi pembatasan tentang hal-hal yang termasuk ke dalam pengeluaran

kesehatan (Boundary). Biro keuangan Depkes RI pada Pelatihan Persiapan

Perhitungan KW-SPM dan P-DHA (Nuraihan, 2008); memberikan kriteria-kriteria

sebagai berikut dalam penetapan Boundary yaitu :

1. Transparans : harus dapat dimengerti oleh semua pihak agar tidak terjadi

perbedaan pengertian.

2. Policy-relevance : pengeluaran biaya dimungkinkan sedekat mungkin

dengan kepentingan pembuatan/penyusunan kebijakan baru dalam bidang

kesehatan.

3. Konsep Validitas untuk Decision maker : harus dapat

dipertanggungjawabkan secara akademis sebagai dasar berpijak para

pengambil kebijakan.

4. Memungkinkan untuk dapat diperbandingkan baik antar

propinsi/kabupaten/kota juga antar negara

5. Memungkinkan untuk diukur atau dilakukan penghitungan.


39

Di tingkat dunia Internasional, WHO sebagai salah satu bagian dari

organisasi dunia memberikan batasan umum tentang prinsip dasar penetapan

Boundary yaitu (Nuraihan, 2008) :

“Semua pendanaan untuk aktifitas yang mempunyai tujuan utama untuk

meningkatkan derajat kesehatan, baik yang ada di dalam/luar departemen

kesehatan dalam kurun waktu tertentu. Pengeluaran biaya untuk kesehatan ini

benar-benar didasarkan pada tujuan utama peningkatan kesehatan tanpa

melihat siapa yang memberikan pelayanan tersebut ( bisa yang profesional atau

nonprofesional, bisa dalam institusi kesehatan maupun non kesehatan ).”

Untuk Indonesia sendiri, telah disepakati batasan biaya kesehatan seperti

yang telah disebutkan dalam Modul 08-P2KT-FKMUI adalah semua biaya yang

dikeluarkan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat yang secara eksplisit

ditujukan untuk memperbaiki keadaan kesehatan.

2. District Health Account (DHA)

District Health Account (DHA) adalah pencatatan dan analis data

pembiayaan kesehatan pada tingkat kabupaten dan kota, yang menghasilkan

informasi pembiayaan kesehatan daeraht ersebut yang diperlukan dan berguna

untuk menentukan kebijaksanaan dan strategi pembiayaan program kesehatan

daerah (Depkes RI, 2002).

Dengan instrument DHA dapat diketahui hal-hal sebagai berikut :

a. Berapa besar biaya kesehatan yang tersedia pada satu tahun, secara

total maupun perkapita

b. Dari mana sumbernya

c. Untuk program apa saja biaya kesehatan terpakai

d. Apakah ada keseimbangan antara mata angaran investasi, operasional

dan pemeliharaan
40

Hal penting dalam DHA adalah menentukan batasan mana yang bisa

disebut sebagai biaya kesehatan dan mana tidak termasuk biaya kesehatan.

Untuk menghilangkan kerancuan, maka dalam teori Health Account disepakati

batasan biaya kesehatan sebagai berikut. Biaya kesehatan adalah semua oleh

pemerintah, swasta dan masyarakat.

Jadi menurut batasan diatas, biaya yang dikeluarkan PDAM bukan biaya

kesehatan karena tidak explisit disebutkan untuk menanggulangi masalah

kesehatan. Namun kalau ada Penampungan air Hujan (PAH) atau pembangunan

Samijaga umum dalam rangka menurunkan atau menanggulangi wabah diarea

suatu wilayah, maka biaya untuk pembangunan sarana tersebut dapat

disebutkan sebagai biaya kesehatan.

Dalam DHA sumber biaya kesehatan secara garis besar ada dua sumber

utama biaya kesehatan adalah sebagai berikut :

1. Pemerintah

a. Pusat : APBN, JPKM, BLN, BOK, Dana Perimbangan

b. Propinsi : APBD propinsi

c. Kabupaten : APBD Kabupaten

2. Non Pemerintah

a. Perusahaan swasta menyangkut biaya kesehatan karyawan

b. Biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh masyarakat

c. Asuransi kesehatan

Khusus untuk pemerintah daerah yaitu total APBD dalam Permendagri

No.13 tahun 2009 beserta perubahannya disebutkan bahwa sumber

APBD adalah :

1). Pendapatan Asli Daerah ; yaitu, pajak daerah, hasil perusahaan Milik

Daerah dan pengelolaan kekayaan daerah serta pendapatan lain


41

yang sah.

2). Dana Perimbangan ; Meliputi Bagi hasil pajak yang sah, DAU, DAK

dan bagi hasil pajak serta bantuan keuangan propinsi

3). Pendapatan lain yang sah ; APBD tersebut dipergunakan untuk

belanja aparatur dan belanja publik. Biaya Kesehatan untuk sektor

kesehatan adalah alokasi Dinas Kesehatan, Puskesmas,RSUD,

Gudang farmasi, Laboratorium daerah. Sedang untuk sektor non

kesehatan yang melakukan kegiatan kesehatan misalnya kegiatan

KB dan Gizi oleh Dinas PMD, UKS oleh Dinas Pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai