Anda di halaman 1dari 155

Ubijalar:

Dari Morfologi dan Pola Pertumbuhan


hingga Prospek Pengembangan
UBIJALAR:
Dari Morfologi dan Pola Pertumbuhan
hingga Prospek Pengembangan

Didik Harnowo
Joko Susilo Utomo

Editor:
Tri Sudaryono
Febria Cahya Indriani

Universitas Negeri Malang


Anggota IKAPI No. 059/JTI/89
Anggota APPTI No. 002.103.1.09.2019
Jl. Semarang 5 (Jl. Gombong 1) Malang, Kode Pos 65145
Telp. (0341) 562391, 551312 psw 1453
Harnowo, D. & Joko Susilo Utomo
UBIJALAR: Dari Morfologi dan Pola Pertumbuhan hingga Prospek
Pengembangan – Oleh: Didik Harnowo & Joko Susilo Utomo – Cet. I –
Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang, 2020.

xvii, 134 hlm; 14,8 x 21 cm

ISBN: 978-602-470-319-6 (PDF)

UBIJALAR:
Dari Morfologi dan Pola Pertumbuhan
hingga Prospek Pengembangan

Didik Harnowo & Joko Susilo Utomo

Editor:
Tri Sudaryono
Febria Cahya Indriani

Design cover : Yusuf D.

• Hak cipta yang dilindungi:


Undang-undang pada : Penulis
Hak Penerbitan pada : Universitas Negeri Malang
Dicetak oleh : Universitas Negeri Malang

Dilarang mengutip atau memperbanyak dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis
dari penulis. Isi diluar tanggung jawab Penerbit.

• Universitas Negeri Malang


Anggota IKAPI No. 059/JTI/89
Anggota APPTI No. 002.103.1.09.2019
Jl. Semarang 5 (Jl. Gombong 1) Malang, Kode Pos 65145
Telp. (0341) 562391, 551312; psw. 1453

• Cetakan I: 2020
PRAKATA

Tanaman ubijalar, setidaknya pada dua dekade yang lalu


masih dinilai/dipandang sebagai “tanaman inferior atau a neglected
crop”. Namun demikian kini tanaman ini mendapat perhatian cukup
besar dari pemerintah, karena bukan saja menjadi bahan pangan
potensial sumber karbohidrat, melainkan juga sebagai penghasil
bahan baku untuk berbagai industri.
Informasi mengenai tanaman ubijalar, termasuk varietas
unggul baru dengan berbagai sifat keunggulan, teknik budidaya,
pemanfaatan, dan prospek pengembangannya dalam satu buku yang
ringan dibawa dan mudah dibaca/dipahami bagi mahasiswa, praktisi,
maupun pengambil kebijakan jarang ditemui. Buku ini diharapkan
memenuhi kriteria tersebut. Menurut kami, buku “Ubijalar: : Dari
Morfologi dan Pola Pertumbuhan hingga Prospek Pengembangan”
merupakan jawaban untuk mengatasi masalah-masalah yang terkait
dengan pengembangan tanaman ubijalar.
Buku ini kami tulis menggunakan bahasa yang mudah
dipahami, terdiri dari lima bab, yakni : (a) morfologi dan pola
pertumbuhan, (b) nilai ekonomi, (c) sistem produksi, (d) produk
pangan olahan, dan (e) prospek pengembangan.
Semoga buku ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang menaruh
minat besar terhadap komoditas ubijalar untuk berbagai kepen-
tingan, baik sebagai bahan pangan, pakan, dan bahan baku industri
berbagai produk turunannya. Kritik dan saran konstruktif dari semua
pihak sangat kami perlukan untuk penyempurnaan buku ini di masa
yang akan datang.

Malang, November 2020


Penulis,

Prof. (Riset) Dr. Ir. Didik Harnowo, MS.


Ir. Joko Susilo Utomo, MP., Ph.D.

v
vi
KATA PENGANTAR

Kebiasaan di masa lalu bahwa bahan pangan sumber


karbohidrat selalu diidentikkan dengan beras perlu dirubah. Hal
tersebut penting guna mengurangi tekanan atau beban Pemerintah
dalam memproduksi padi secara nasional. Ubijalar mulai saat ini dan
ke depan harus menjadi komoditas prioritas untuk dikembangkan.
Hal tersebut karena komoditas ini selain menjadi bahan pangan
potensial utamanya sumber karbohidrat juga menjadi komoditas
bernilai ekonomi tinggi yang mampu meningkatkan devisa negara
maupun kesejahteraan petani.
Terbitnya buku :”Ubijalar: Dari Morfologi dan Pola Pertum-
buhan hingga Prospek Pengembangan” perlu diapresiasi tinggi.
Penulis buku ini adalah peneliti senior di bidangnya (Prof. (R) Dr.
Didik Harnowo, MS. dan Ir. Joko Susilo Utomo, MP., PhD.), dari
Lembaga Penelitian Pertanian milik Pemerintah di bawah Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian – Kementerian Pertanian,
yakni Balitkabi (Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi).
Di dalam buku ini dibahas secara komprehensif tentang nilai
ekonomi, sistem produksi dan teknik budidaya, berbagai jenis pangan
olahan beserta cara pembu-atannya, serta prospek pengembangannya
ke depan.
Semoga buku ini bermanfaat untuk memajukan pertanian
Indonesia di bidang agroindustri dan agribisnis ubijalar, sehingga
mampu meningkatkan devisa negara dan secara signifikan mening-
katkan kesejahteraan petani.

Malang, November 2020


Editor,

Dr. Ir. Tri Sudaryono, MS.


Dr. Febria Cahya Indriani, SP., MP.

vii
viii
KATA PENGANTAR

Ubijalar kini bukan lagi sebagai komoditas


pertanian inferior, namun telah menjadi
komoditas pangan penting setelah padi dan
jagung. Dengan kandungan antosianin dan
betakaroten yang tinggi pada beberapa
varietas tertentu, ubijalar merupakan pangan
fungsional yang sangat penting, saat ini
maupun pada masa yang akan datang.
Hingga kini produksi ubijalar dari dalam
negeri belum mampu mencukupi kebutuhan sehingga peningkatan
produksi masih diperlukan.
Terbitnya buku “Ubijalar: Dari Morfologi dan Pola
Pertumbuhan hingga Prospek Pengembangan” perlu diapresiasi,
karena buku ini terbit pada saat yang tepat, dimana Pemerintah mulai
menaruh perhatian cukup besar kepada komoditas ubijalar untuk
dikembangkan. Buku ini disusun oleh peneliti yang cukup berpenga-
laman, khususnya tanaman aneka kacang dan umbi yakni Prof. Dr.
Didik Harnowo, MS. dan Ir. Joko Susilo Utomo, MP., Ph.D.
Buku ini sangat sesuai untuk dijadikan acuan, sekaligus sumber
informasi terkait tanaman ubijalar, bagi para praktisi, dosen dan
mahasiswa bidang agroteknologi maupun agribisnis, serta para
pengambil kebijakan. Semoga buku ini bermanfaat bagi kemajuan
pembangunan pertanian Indonesia, khususnya di bidang agroindustri
dan agribisnis ubijalar.

Malang, November 2020

Prof. Dr. Nuhfil Hanani AR, MS.


(Rektor Universitas Brawijaya Malang)

ix
x
DAFTAR ISI

PRAKATA ..................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................. vii
KATA PENGANTAR .................................................................. ix
DAFTAR ISI .................................................................................. xi
DAFTAR TABEL .......................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................... 1
BAB 2 MORFOLOGI DAN POLA PERTUMBUHAN ... 9
2.1. Morfologi tanaman ......................................... 9
2.2. Pola pertumbuhan tanaman ......................... 18
BAB 3 NILAI EKONOMI UBIJALAR ............................... 23
3.1. Kaitannya dengan kandungan zat gizi ....... 23
3.2. Kaitannya dengan produk pangan olahan .. 28
3.3. Kaitannya dengan keuntungan usahatani .. 29
3.4. Kaitannya dengan nilai perdagangan ......... 30
3.5. Kaitannya dengan diversifikasi pangan ..... 32
BAB 4 SISTEM PRODUKSI ............................................... 35
4.1. Syarat tumbuh dan musim tanam .............. 35
4.2. Teknik budidaya ubijalar .............................. 37
4.3. Hama/penyakit dan pengendaliannya ....... 49
4.4. Panen dan penanganan pascapanen .......... 71
BAB 5 PRODUK PANGAN OLAHAN ............................ 77
BAB 6 PROSPEK PENGEMBANGAN UBIJALAR ....... 87
6.1. Terkait produksi ubijalar (onfarm) .............. 87
6.2. Terkait pengembangan agroindustri produk
olahan .............................................................. 90
DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 95
LAMPIRAN .................................................................................. 111
INDEKS ......................................................................................... 129
TENTANG PENULIS 1 ............................................................... 131
TENTANG PENULIS 2 ............................................................... 133

xi
xii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi kimia umbi dan daun ubijalar tiap


gram bahan edibel .................................................. 2
Tabel 2. Komposisi zat gizi ubijalar (umbi segar) dan
beras (padi) berdasarkan kesetaraan angka
kecukupan gizi harian tiap orang dewasa ......... 4
Tabel 3. Luas panen (dalam ha) ubijalar per Provinsi di
Indonesia 2014-2018 ............................................... 5
Tabel 4. Fase pertumbuhan dan perkembangan ubijalar .. 21
Tabel 5. Beberapa macam/jenis radikal bebas atau
Reactive Oxygen Species/ROS dan antioksidan
yang menetralkannya ....................................... 24
Tabel 6. Tingkat kesesuaian lahan untuk budidaya
ubijalar ...................................................................... 36
Tabel 7. Konsentrasi kritis unsur hara untuk defisiensi
dan keracunan, serta kisaran kecukupan
konsentrasi unsur hara untuk ubijalar ................. 42
Tabel 8. Cara budidaya ubijalar varietas Beny Azuma di
Sumatera Utara untuk ekspor ................................ 45
Tabel 9. Keragaan analisis input-output usahatani
ubijalar sistem rotasi dan tumpangsari ............ 47
Tabel 10. Hasil ubijalar dan jagung serta LER dalam
sistem tumpangsari ............................................... 48
Tabel 11. Hama utama pada ubijalar .................................... 50
Tabel 12. Cara budidaya di berbagai negara untuk
pengendalian kumbang ubijalar ...................... 53
Tabel 13. Jumlah telur dan larva C. formicarius setelah
perlakuan pestisida nabati (Be-Bas), insetisida
kimia, dan tapa perlakuan ..................................... 55
Tabel 14. Kerusakan umbi akibat C. formicarius dan rata-
rata bobot umbi per tanaman akibat perlakukan
pestisida nabati (Be-Bas), insektisida kimia, dan
tanpa perlakuan ............................................... 55

xiii
xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pohon industri pengolahan ubijalar .................. 8


Gambar 2. Morfologi tanaman ubijalar secara umum ....... 10
Gambar 3. Tipe perakaran tanaman ubijalar ....................... 12
Gambar 4. Tipe pertumbuhan tanaman ubijalar ................. 13
Gambar 5. Bentuk kerangka/helaian daun (A) dan tipe-
tipe kedalaman cuping daun (B) ubijalar ......... 15
Gambar 6. Bentuk-bentuk/tipe cuping daun ubijalar ......... 15
Gambar 7. Tipe-tipe/bentuk umbi ubijalar ........................... 17
Gambar 8. Tipe susunan/formasi umbi ubijalar .................. 17
Gambar 9. Contoh variasi warna daging umbi dominan
pada ubijalar .......................................................... 18
Gambar 10. Efek sinergisme senyawa nutrisi dan kompo-
nen bioaktif pada daun ubijalar bagi pence-
gahan penyakit dan peningkatan kesehatan .... 27
Gambar 11. Contoh bentuk guludan untuk penanaman
ubijalar ............................................................. 37
Gambar 12. Foto contoh pertanaman ubijalar umur sekitar
4 minggu setelah tanam di atad gulud/baris
tanaman............................................................ 39
Gambar 13. Gejala visual tanaman ubijalar (utamanya pada
daun) yang mengalami kekurangan/defisiensi
unsur hara tertentu ........................................ 41
Gambar 14. Larva hama boleng (a), imago (b), dan gejala
kerusakan pada umbi .......................................... 51
Gambar 15. Umbi ubijalar yang tidak rusak (P1, P2, dan
P3), dan umbi yang rusak (P4 dan P5) akibat C.
formicarius .............................................................. 56
Gambar 16. Lubang gerekan pada pangkal batang (a),
pupa pada batang tanaman (b), dan kotoran
ulat menutup lubang gerekan pada batang (c). 57
Gambar 17. Bintil puru pada permukaan atas daun (a),
puru pada permukaan bawah daun (b), dan
puru pada batang dan tangkai daun (c) ........... 58

xv
Gambar 18. Ulat (a), serangga dewasa B. convolvuli (b),
daun melipat yang telah terbuka, terdapat
ulat dan kotoran di dalam lipatan daun (c),
dan gejala daun ubi jalar yang melipat (d) ....... 59
Gambar 19. Gejala bintik klorotik daun ubi jalar yang
dihisap oleh B. tabaci (a), gejala daun mengu-
ning di lapang (b), dan serangga dewasa B.
tabaci pada permukaan bawah daun (c) ........... 60
Gambar 20. Serangga dewasa sedang mengisap tangkai
daun (a), dan kelompok serangga dewasa pada
batang E. latifolia (b) ............................................. 61
Gambar 21. Larva uret/lundi (a) dan gejala kerusakan pada
umbi dan akar tanaman ubijalar akibat
serangan lundi (b) ................................................. 63
Gambar 22. Gejala kudis pada pucuk tanaman, ditandai
oleh daun mengeriting (a), gejala kudis pada
permukaan bawah daun (b), dan gejala kudis
pada batang dan tangkai daun (c) ..................... 65
Gambar 23. Gejala penyakit bercak daun P. batatas (a), dan
gejala serangan berat, mengakibatkan daun
menjadi kering dan rontok (b) ........................... 66
Gambar 24. Gejala serangan penyakit busuk batang, ba-
tang membusuk ditumbuhi miselia jamur ber-
warna putih (a) dan batang dan cabang tana-
man ubijalar berwarna coklat dan busuk (b) ... 67
Gambar 25. Gejala tanaman ubijalar terserang virus,
berupa bercak melingkar ungu (a), bercak
klorotik (b) dan mosaik pada daun (c) .............. 68
Gambar 26. Gejala serangan penyakit busuk lunak
R. Stolonifer ............................................................ 69
Gambar 27. Variasi gejala penyakit busuk hitam
(C. fimbriata) pada umbi ubijalar ....................... 70
Gambar 28. Contoh gejala penyakit busuk permukaan
(Surface Rot) oleh Fusarium sp. pada umbi
ubi jalar .................................................................. 71

xvi
Gambar 29. Panen ubijalar secara mekanis menggunakan
mesin/traktor ........................................................ 73
Gambar 30. Onde-Onde (A) dan Kue Mangkok (A dan B)
Ubijalar ................................................................... 79
Gambar 31. Ice Cream (A) dan kue Pukis (B) Ubijalar ........ 80
Gambar 32. Kue Lumpur (A) dan Donat (B) Ubijalar .......... 81
Gambar 33. Kue kering Sweet Potato Stick (A) dan Lidah
Kucing (B) .............................................................. 82
Gambar 34. Butter Cookies (A) dan kue Brownies Kukus
(B) Ubijalar ............................................................. 83
Gambar 35. Selai Ubijalar rasa nenas, anggur, dan mangga 84
Gambar 36. Es Puter Ubijalar Ungu (A), Mie Ubijalar
Orange (B), dan Mie Ubijalar Ungu (C) ............ 85

xvii
BAB 1.
PENDAHULUAN

Tanaman ubijalar diyakini ditemukan pertama kali di Benua


Amerika. Berdasarkan jumlah spesies yang berkaitan/sepadan dan analisis
terhadap variasi morfologinya, pusat geografi asal tanaman ubijalar
diduga kuat berada di antara Semenanjung Yucatan di Mexiko dan Sungai
Orinoco di Venezuela (Austin, 1987 dalam Lebot, 2009). Ubijalar mulai
menyebar ke seluruh dunia, terutama ke negara-negara beriklim tropis,
diperkirakan pada abad ke-16. Penyebaran ubijalar pertama kali terjadi ke
Spanyol melalui Tahiti, kepulauan Guam, Fiji, dan Selandia Baru.
Disebutkan bahwa orang-orang Spanyol menyebarkan ubijalar ke kawasan
Asia, terutama Filipina, Jepang, dan Indonesia. Pada tahun 1960-an
penanaman ubijalar sudah meluas hampir di semua provinsi di Indonesia
(Anonim, Tanpa Tahun).
Secara taksonomi, ubijalar termasuk famili Convolulaceae, genus
Ipomoea. Spesies yang banyak dibudidayakan adalah Ipomoea batatas Lamb.
Sinonim ubijalar berdasarkan negara, daerah, dan bahasa diantaranya
adalah sweetpotato (Inggris), dan beberapa nama seperti camote, kamote,
man thet, dan ubi keladi. Di Indonesia, ubijalar dikenal dengan berbagai
nama, di antaranya tela rambat (Jawa), mantang (Banjar), dan hui (Sunda)
(Wahyuni dan Wargiono, 2012).
Ubijalar menduduki rangking ke tujuh dalam produksi tanaman
pangan global dan sebagai tanaman umbi-umbian terpenting ketiga setelah
kentang dan ubi kayu (Loebenstein, 2015). Umbi ubijalar kaya karbobidrat
dan vitamin A, dan daunnya banyak mengandung protein. Secara detail,
kandungan nutrisi ubijalar disajikan pada Tabel 1. Ubijalar dikenal mampu
menghasilkan energi per hektar, bahkan per hari tertinggi dibanding
terigu/wheat, padi/rice, dan ubi kayu/cassava (Lebot, 2009). Komoditas ini
juga memiliki banyak kegunaan, yakni : (a) umbinya untuk bahan
konsumsi segar (rebus, kukus, goreng, kolak, keripik, saos, dll.) dan
daunnya untuk sayur dan pakan ternak, (b) tepung dan pati untuk
berbagai produk pangan olahan (mie, kue kering, kue basah, gula-gula, (c)
bahan pewarna alamiah, dan (d) alkohol (Suyamto et al., 2012). Menurut

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 1


pengembangan
Tabel 1. Komposisi kimia umbi dan daun ubijalar tiap gram bahan edibel.
Kandungan gizi Warna daging umbi Daun
ubijalar Putih Ungu Oranye
Energi (kkal) 123,0 123,0 136,0 47,0
Protein (g) 1,8 1,8 1,1 2,8
Lemak (g) 0,7 0,7 0,4 0,4
Kabohidrtat/pati (g) 27,9 27,9 32,3 10,4
Serat (g) - - 0,7 15,171)
Abu (g) - - 1,2 -
Air (g) 68,5 68,5 68,5 84,7
Kalsium (mg) 30,0 30,0 57,0 1,201)
Fosfor (mg) 49,0 49,0 52,0 66,0
Natrium (mg) - - 5,0 -
Kalium (mg) - - 393,0 -
Niacin (mg) - - 0,6 -
Vitamin A (IU) 60,0 7.700 900,0 6.105
Vitamin B1 (mg) 0,9 0,9 0,1 0,12
Vitamin B2 (mg) - - 0,04 -
Vitamin C (mg) 22,0 22,0 35,0 22,0
Antosianin -2) 150,73) - -
Betakaroten -2) -3) 4.6294) 205)

Sumber: Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan (2002 dalam Utomo dan
Ginting, 2012), 1)Marlina dan Askar (2004) (%bb),
- = tidak ada data, 2)= varietas Pating 1,
3)= varietas Antin 3 (mg/100 g (bb), 4)= varietas Beta 2 ug/100 g (bb),

5)= mg/100 g bahan kering dalam bentuk karotenoid (Woolfe, 1992).

Widowati dan Wargiono (2012), di Indonesia ubijalar merupakan bahan


pangan sumber karbohidrat utama urutan keempat setelah padi, jagung,
dan ubi kayu sehingga memiliki potensi besar untuk dikembangkan guna
mendukung penganekaragaman konsumsi pangan. Ubijalar juga memiliki
keunggulan zat gizi tertentu dibandingkan padi/beras (Tabel 2) sehingga
sangat sesuai sebagai bahan pangan substitusi beras terutama yang
2 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
kandungan zat gizi pada beras rendah. USDA (2002 dalam Loebenstein,
2015) melaporkan bahwa pada daun ubijalar terkandung kalsium,
magnesium, dan kalium lebih tinggi daripada di umbi, masing-masing 37
mg berbanding 22 mg, 94 mg berbanding 28 mg, dan 518 mg berbanding
204 mg, per 100 g bahan.
Tanaman ubijalar mudah dibudidayakan. Budidaya ubijalar di
Indonesia telah lama dlakukan oleh masyarakat/petani, meskipun tidak
diketahui secara pasti kapan pembudidayaan komoditas ini dimulai. Yang
pasti adalah bahwa komoditas ini telah dibudidayakan di seluruh provinsi
di Indonesia, kecuali di DKI Jakarta. Enam besar daerah sentra produksi
berdasarkan luas panen adalah berturut-turut Papua, Jawa Barat, Jawa
Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan (Tabel 3).
Secara umum, berdasarkan jumlah produksi pada tahun 2017, maka
enam besar provinsi sentra produksi ubijalar (mulai yang terbesar)
berturut-turut: Jawa Barat, Papua, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera
Barat, dan Sumatera Utara (Kementan, 2018). Selama kurun waktu tersebut
(2014-2018), secara nasional terjadi penurunan dalam luas panen maupun
produksi komoditas ini. Menurunnya luas panen ubijalar tersebut bahkan
telah terjadi sejak hampir dua dasawarsa yang lalu, mengindikasikan
bahwa ketersediaan lahan untuk usahatani ubijalar semakin terbatas
(Sayaka et al., 2012). Oleh karena itu efisiensi yang tinggi dalam
penggunaan lahan merupakan hal yang sangat penting dan perlu
diprioritaskan untuk keberlanjutan usahatani ubijalar. Hal ini penting
mengingat peran komoditas aneka umbi, termasuk ubijalar, yang semakin
penting menuju tahun 2030 (Scott et al., 2000). Semakin pentingnya
komoditas ubijalar juga dinyatakan oleh Joe Hara (dalam Sudarman, 2014)
bahwa ubijalar adalah tanaman masa depan, atas dasar komposisi
kandungan zat gizi yang sangat bermanfaat bagi kesehatan, sebagai
sumber karbohidrat, dan fungsi lainnya sebagai bahan industri produk-
produk turunannya.

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 3


pengembangan
Tabel 2. Komposisi zat gizi ubijalar (umbi segar) dan beras (padi)
berdasarkan kesetaraan angka kecukupan gizi harian tiap
orang dewasa.
Komposisi AKG Padi Ubijalar
(beras) (umbi
segar)
Gizi makro:
- Karbohidrat (g bb)* 300 380 1.075
- Protein (g) 50 33,3 19,3
- Lemak (g) 55 5,0 7,5
Gizi mikro:
Vitamin/pigmen:
- Betakaroten (mg)1) 600 0 49-729
- Vit. B (mg) 1,2 0,5 1,0
- Vit. C (mg)2) 90 0 273
- Antosianin - 5,363) 150,74)
Mineral:
- Kalsium/Ca (mg) 800 50 323
- Fosfor/P (mg) 600 529 527
- Besi/Fe (mg) 26 3,1 7,5
- Seng/Zn (mg) 24 - -
Pangan fundsional:
- Serat pangan larut (%) 9 1,99 364-6.351
- Serat pangan tdk. larut (%) 3 2,57
- Daya cerna pati (%) - 70
- Indek glikemik (%) - 83 54-645)
Sumber: Karmini dan Briawan (2004), Balitkabi (2004), dan Ditgizi (2007)
diolah dalam Suyamto et al. (2012)
1): umbi dengan warna daging umbi jingga/ungu

2): umbi dengan warna daging umbi kuning/putih

3): Abdullah (2017), ug/100g

4): pada varietas Antin 3, mg/100 g bb (Balitkabi, 2016)

5) : Widowati dan Wargiono (2009)

4 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Tabel 3. Luas panen (ha) ubijalar di Indonesia 2014-2018.

Provinsi Tahun
2014 2015 2016 2017 2018*
Aceh 903 793 527 613 418
Sumut 11.130 8.952 6.379 5.831 5.884
Sumbar 5.394 5.127 4.604 4.753 3.716
Riau 981 793 597 453 568
Jambi 2.945 2.511 1.672 1.604 1.245
Sumsel 2.112 1.459 1.247 954 951
Bengkulu 3.931 2.950 2.035 2.630 2.251
Lampung 4.309 2.958 2.441 1.866 2.111
Jabar 25.641 23.514 23.157 20.642 22.377
Jateng 9.053 7.076 7.274 5.870 6.348
Jatim 13.483 12.782 10.569 10.524 10.028
Banten 2.089 1.523 1.553 1.216 1.222
Bali 4.378 3.141 2.654 2.111 2.084
NTB 1.082 1.120 915 491 669
NTT 8.177 8.701 7.772 9.705 9.453
Kalbar 1.809 1.673 1.250 1.213 1.186
Kalteng 1.270 1.049 828 580 512
Kalsel 1.806 1.257 1.360 1.130 1.099
Kaltim 1.217 978 694 1.033 883
Sulut 3.945 2.657 2.750 1.845 2.212
Sulteng 1.832 1.533 1.107 1.287 1.215
Sulsel 5.082 4.717 4.433 4.009 2.873
Sultra 2.688 2.525 1.884 2.080 1.928
Sulbar 531 755 566 467 576
Maluku 1.660 1.899 2.261 761 2.041
Malut 3.649 2.118 1.656 1.991 1.880
Papua Barat 1.080 1.157 1.170 1.558 1.046
Papua 3.041 36.091 29.293 22.290 18.469
Indonesia 156.758 143.125 123.574 110.514 106.226
Sumber: Kementan (2018), dari data BPS 2014-2018.
Keterangan: *) Aram 1 (Hasil Rakor di Solo tanggal 25-27 Juli 2018).
Enam provinsi dengan areal panen rata-rata <300 ha/tahun (Kaltara, DIY,
Gorontalo, DKI Jakarta, Kep. Riau, dan Babel) tidak ditulis.

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 5


pengembangan
Pada dua dekade yang lalu, sekitar 89% produksi ubijalar di
Indonesia masih digunakan untuk bahan pangan, dan masih terbatas pada
jenis-jenis makanan tradisional, tetapi sejak satu dekade yang lalu sudah
semakin banyak pemanfatan ubijalar selain untuk pangan (Araska, 2011).
Selanjutnya dinyatakan bahwa memperluas pemanfaatan ubijalar, baik
dari bahan segar maupun bahan/produk antara akan memperbaiki citra
produknya dan akan meningkatkan nilai tambah. Menurut Pusdatin
(2016), tingkat konsumsi ubijalar adalah 4,3 kg/kapita/tahun, meningkat
dibandingkan pada tahun 2013 yang mencapai 2,5 kg/kapita/tahun. Pada
tahun 2020 tingkat konsumsi ubijalar diprediksi menjadi sekitar 3,13
kg/kapita/tahun. Dengan prediksi jumlah penduduk pada tahun 2020
mencapai 275.520.864 jiwa (BPPKP, 2013), maka kebutuhan ubijalar
untuk konsumsi pada tahun 2020 mencapai sekitar 859.625 ton umbi segar.
Lebih dari itu, sejak 10 tahun yang lalu Scott et al. (2000) menyatakan
dalam bukunya berjudul “Roots and Tubers in the Global Food System: A
Vision Statement to the Year 2020” bahwa sekitar 2,5 milyar penduduk Asia,
Afrika, dan Amerika Latin menggunakan umbi-umbian (termasuk ubijalar)
sebagai bahan pangan, pakan, industri, dan sumber pendapatan (terutama
bagi petani berpendapatan rendah).
Hingga kini jumlah produksi ubijalar belum dapat memenuhi
kebutuhan, baik untuk pangan, pakan, dan bahan baku industri non
pangan secara kontinyu sepanjang tahun. Skenario telah dilakukan untuk
peningkatan produksi dan penggunaan ubijalar mulai 2010 hingga 2030
(Suyamto et al., 2012), yakni skenario 1 dengan laju peningkatan produksi
3,5%/tahun, dan skenario 2 dengan laju peningkatan produksi 5,0%/tahun.
Target peningkatan luas areal tanam dan produksi pada tahun 2020
berdasarkan skenario 2 adalah berturut-turut 199.000 ha dan 3.185.000 ton;
sedangkan pada tahun 2030 yang akan datang, target tersebut menjadi
230.000 ha dan 5.181.000 ton. Di sisi lain, masih terdapat senjang
hasil/produktivitas (yield gap) yang cukup tinggi (Swastika dan Nuryanti,
2012; Wargiono et al., 2012) antara hasil penelitian (20-30 t/ha) dan di
tingkat petani (15-20 t/ha). Peningkatan produktivitas akan cepat dapat
dicapai apabila dilakukan melalui usahatani komersial (intensifikasi).
Usahatani komersial dapat berkembang bila didukung oleh pasar lokal,
regional/wilayah, dan nasional yang dapat menjamin harga hasil yang
6 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
layak dan stabil. Pengembangan produksi melalui perluasan areal tanam
(ekstensifikasi) perlu didukung oleh ketersediaan lahan. Oleh karena itu,
diperlukan adanya program pengembangan agribisnis ubijalar dengan
arah dan sasaran yang terukur.
Pada buku ini akan disampaikan beberapa aspek terkait ubijalar,
meliputi: (a) morfologi dan pola pertumbuhan, (b) nilai ekonomi, (c) sistem
produksi, (d) produk pangan olahan, dan (e) prospek pengembangan.
Diharapkan, dengan penjelasan di dalam buku ini mengenai aspek-aspek
tersebut di atas mampu memberikan pemahaman yang lebih kompre-
hensip bagi para pembaca, yang selanjutnya diharapkan menjadi lebih
mencintai ubijalar dan mendukung untuk suksesnya pengembangan
ubijalar di Indonesia.

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 7


pengembangan
Gambar 1. Pohon industri pengolahan ubijalar.
Sumber: Ginting et al. (2006) dengan sedikit modifikasi.

8 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
BAB 2.
MORFOLOGI DAN POLA PERTUMBUHAN

2.1. Morfologi tanaman ubijalar.

Ubijalar bersifat spesifik agroekologi, oleh karena itu varietas lokal


yang berkembang sangat bervariasi; demikian juga varietas unggul baru.
Ciri-ciri/karakteristik morfologi sangat penting yakni sebagai pedoman
dasar secara morfologis untuk mendeskripsikan klon-klon/varietas unggul
baru (Wahyuni dan Wargiono, 2012). Tanaman ubijalar secara umum
terdiri atas dua bagian utama, yakni organ yang berada di atas permukaan
tanah (berupa batang utama dan cabang/sulur, daun, bunga, dan biji);
serta organ yang berada di dalam tanah (berupa akar/fiberous roots dan
umbi/tuberous roots). Batang ubijalar beruas-ruas, dan pada setiap buku
ruas tumbuh daun, cabang, tangkai bunga, dan buah (bila terjadi
penyerbukan untuk varietas yang mempunyai sifat kompatibel). Jika buku
ruas berada pada ruangan lembab/bersentuhan dengan tanah yang lembab
maka akan tumbuh akar. Organ tanaman yang ada di dalam tanah
merupakan sistem perakaran, yang terdiri atas akar serabut, akar rambut,
akar yang bentuknya menebal menyerupai pensil, dan akar yang
berdiferensiasi menjadi umbi sebagai penyimpan fotosintat.
Para ahli agronomi dan pemuliaan tanaman pada dasarnya memi-
liki tanggungjawab menemukan inovasi antara lain yang dapat
memperbaiki hasil (potensi hasil tanaman), maka para ahli fisiologi
berusaha mencari penjelasan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Menurut
Kramer (1980), varietas unggul tanaman mampu berdaya hasil tinggi
karena mempunyai karakter morfologi yang sesuai dengan lingkunganya,
sehingga mampu menghasilkan proses fisiologi yang optimal. Oleh karena
itu, salah satu peranan penting para ahli fisiologi tanaman pada dasarnya
adalah menyediakan informasi tentang karakter morfologi dan proses
fisiologi tanaman yang menjadi latar belakang mengapa potensi hasil
genotipe tertentu lebih tinggi dibandingkan yang lain pada kondisi
lingkungan tertentu. Dengan demikian, maka seleksi tetua pada program
pemuliaan dan pengelolaan tanaman, menurut Rasmusson dan
Gengenbach (1983), pada dasarnya ditujukan bagi karakter morfo-fisiologi
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 9
pengembangan
tertentu yang telah diketahui menyebabkan peningkatan hasil. Secara
umum, morfologi ubijalar disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Morfologi tanaman ubijalar secara umum.


Sumber: Huaman (1992), digambar ulang.

Keragaan morfologis bagian-bagian tanaman ubijalar bervariasi


bergantung pada klon/varietas (genetis) dan lingkungan tumbuhnya.
Karakter morfologis yang sifat/penampilannya mudah berubah adalah
karena dipengaruhi faktor lingkungan (disebut sebagai karakter kuanti-
tatif) seperti panjang sulur, panjang tangkai daun, diameter batang,
panjang dan lebar helaian daun, dan hasil umbi. Karakter yang penam-
pilannya stabil/tdak berubah adalah karena tidak dipengaruhi oleh ling-
kungan (karakter kualitatif), misalnya warna daun tua dan pucuk daun,

10 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
warna tangkai daun, warna batang dan tulang daun, bentuk helaian daun,
serta warna daging dan kulit umbi (Wahyuni dan Wargiono, 2012).
Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk membedakan satu klon/varietas
dengan klon/varietas lainnya dapat diketahui secara visual
berdasarkan karakter morfologi batang, daun, bunga, dan umbi. Karakter
morfologi yang dapat digunakan sebagai penciri klon/varietas cukup
banyak. Menurut CIP et al. (1991), tidak kurang dari 83 penciri/
karakteristik untuk mendiskripsikan klon/varietas ubijalar, antara lain
berdasarkan warna dominan daging umbi, warna dominan kulit umbi,
ketebalan kortek umbi, pigmentasi petiole, panjang petiole, warna daun
muda, warna daun tua, warna dominan batang, panjang ruas batang, dan
panjang batang utama.
Pada buku ini, penjelasan mengenai morfologi tanaman ubijalar
hanya diberikan untuk beberapa organ saja, yakni : akar, batang, daun,
umbi, bentuk umbi, tipe formasi umbi, serta warna kulit dan daging umbi.
Dengan penjelasan mengenai beberapa organ tersebut diharapkan pem-
baca lebih memahami mengenai ubijalar dari aspek morfologi tanaman,
dan selanjutnya adalah pemahaman mengenai begitu banyaknya variasi
antar klon/varietas pada tanaman ubijalar.

Akar. Umumnya ubijalar diperbanyak secara vegetatif (menggunakan stek


batang). Setelah stek ditanam, satu atau dua hari kemudian tumbuh akar
adventif. Akar-akar tersebut tumbuh cepat dan membentuk sistem
perakaran dengan fungsi spesifik untuk tiap jenis akar. Menurut Wahyuni
dan Wargiono (2012), penetrasi akar mampu menembus tanah yang
lembab/basah hingga kedalaman > 2 m, bergantung pada kondisi fisik,
kimia, dan status air tanah. Penetrasi akar bersifat relatif, yakni agar
tanaman mampu bertahan hidup pada kondisi tercekam kekeringan.
Dengan kemampuan penetrasi akar yang tinggi, akar dapat memperoleh
air dari lapisan tanah yang lebih dalam sehingga menjadikan tanaman
ubijalar toreran terhadap kekeringan (Wargiono, 1980). Tipe/sistem
perakaran ubijalar secara umum disajikan pada Gambar 3.
Berdasarkan morfologinya, secara garis besar Wilson (1982)
membedakan akar ubijalar menjadi tiga jenis, yaitu:

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 11


pengembangan
a. Akar utama yang tumbuh pada batang (akar adventif) secara tegak lurus
ke bawah (akar geotropik positif), yang terdiri atas akar-akar pendek kecil
dan besar, akar-akar yang kecil, sedang, dan panjang, serta akar-akar
yang tumbuh ke samping, baik besar maupun kecil, di zona perakaran
dekat permukaan tanah (akar diageotropik),
b. Akar cabang atau akar baru yang tumbuh pada akar utama, sebagian
besar tumbuh ke arah samping (akar lateral),
c. Akar umbi, yaitu akar yang tumbuh pada umbi, baik pada kulit umbi
maupun pada akar di bagian ujung umbi.

Pertumbuhan akar besar yang akan menjadi umbi berbeda dengan


akar kecil, yaitu meristem apikal yang letaknya dekat buku batang tumbuh
cepat ke samping sebagai wujud dari pertumbuhan awal umbi.
Pertumbuhan tersebut umumnya dimulai pada umur 4-8 minggu, dan bila
terjadi lignifikasi pada jaringan stele sekunder akan terbentuk akar pensil,
yang terus tumbuh ke arah lateral dan longitudinal menjadi umbi
(Wargiono, 1980; Wilson, 1982).

Gambar 3. Tipe perakaran tanaman ubijalar.


Sumber: Huaman (1992), digambar ulang.

12 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Akar adventif bisa berasal dari buku. Akar-akar adventif beberapa
klon memiliki pigmen dan tidak berpigmen. Akar geotropik dari perba-
nyakan ubijalar menggunakan stek yang menebal berpotensi menjadi akar
serabut, akar rambut, akar pensil; dan pada tanaman ubijalar yang
perbanyakannya menggunakan umbi, ada kalanya mampu menghasilkan
anakan (doughter tubers). Beda antara akar besar dengan akar umbi terletak
pada bentuk dan fungsi akar tersebut. Akar umbi berkembang makin besar
dan mengendalikan proses inisiasi pembesaran umbi, sedangkan akar
besar/utama relatif tetap dan mengendalikan pertumbuhan dan menyerap
air dan larutan hara.

Batang (sulur). Batang ubijalar bentuknya membulat atau agak angular


pada potongan melintang. Warna batang dominan adalah hijau, kuning,
ungu, atau kombinasi dari ketiganya. Sejumlah lentisel terdapat pada
permukaan batang. Ada kalanya terdapat rambut pada permukaan batang
yang masih muda, tetapi cenderung rontok sejalan dengan bertambahnya
umur tanaman. Beberapa karakter tetap untuk mencirikan morfologi
batang (sulur) diantaranya adalah tipe pertumbuhan tanaman, diameter
batang, panjang ruas, warna batang, dan keberadaan bulu pada batang.
Menurut Huaman (1999), tipe tumbuh/pertumbuhan ubijalar adalah tegak
(erect), semi tegak (semi-erect), menyebar/menjalar, dan sangat menjalar.
Morfologi batang secara umum dan tipe pertumbuhan ubijalar disajikan
pada Gambar 4.

Gambar 4. Tipe pertumbuhan tanaman ubijalar.


Sumber: Huaman (1992), digambar ulang.

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 13


pengembangan
Daun. Morfologi daun ubijalar telah dijelaskan secara rinci oleh Wahyuni
dan Wargiono (2012), antara lain dengan ciri-ciri sebagai berikut:
(a) letak daun ubijalar pada batang adalah berbentuk spiral. Panjang
tangkai daun (petiole) berkisar 5-25 cm. Petiole membengkak pada
bagian yang berhubungan dengan batang. Tangkai daun juga memi-
liki kemampuan tumbuh menjadi tanaman dengan organ yang
lengkap sehingga dapat digunakan sebagai bahan tanaman jika bahan
perbanyakan (stek batang) terbatas, asalkan helaian daun memper-
oleh sinar/cahaya matahari yang maksimal dan lingkungan tumbuh
lainnya mendukung,
(b) helaian daun sangat bervariasi, baik ukuran maupun bentuk,
meskipun pada tanaman yang sama. Daun berbentuk sederhana atau
bercuping. Helaian daun berwarna hijau, kadang-kadang terdapat
warna ungu atau kuning khususnya di sepanjang urat/tulang daun.
Stomata terdapat pada permukaan atas maupun bawah daun, tetapi
jumlahnya lebih banyak di permukan bawah daun. Panjang dan lebar
helaian daun bergantung pada klon/varietas dan dipengaruhi oleh
faktor lingkungan,
(c) panjang tangkai daun bervariasi, mulai sangat pendek hingga sangat
panjang; dengan warna yang juga bervariasi, bisa hijau atau dengan
pigmen ungu yang terdapat pada bagian yang berhubungan dengan
helaian daun atau batang, di sepanjang tangkai daun atau pada
keduanya,
(d) bentuk daun dewasa (sudah berkembang sempurna) dideskripsikan
berdasar bentuk kerangka daun (tepi daun), kedalaman cuping daun,
jumlah cuping daun, dan bentuk cuping daun. Terdapat tujuh kategori
bentuk kerangka daun, yakni : membulat (rounded), berbentuk ginjal
(reniform), berbentuk hati (cordate), segitiga sama sisi (triangular),
berbentuk tombak (hastate), berbentuk cuping (lobed), dan hampir
terbagi-bagi (almost divided),
(e) kedalaman cuping daun (tepi daun) adalah: tepi rata, berlekuk sangat
dangkal, berlekuk dangkal, berlekuk sedang, berlekuk dalam, dan
berlekuk sangat dalam. Pada umumnya daun ubijalar memiliki
cuping 0, 1, 3, 5, 7, 9, dan bahkan lebih dari 9. Jika daun tidak
memiliki cuping samping tetapi meruncing di bagian pusat berarti
14 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
memiliki satu cuping, tetapi jika ujung daun membulat berarti tidak
memiliki cuping. Karakteristik daun ubijalar, seperti dijelaskan di
atas, disajikan Gambar 5 dan 6.

A B
Gambar 5. Bentuk kerangka/helaian daun (A) dan tipe-tipe
kedalaman cuping daun (B) ubijalar.
Sumber: Huaman (1992), digambar ulang.

Gambar 6. Bentuk-bentuk/tipe cuping daun ubijalar.


Sumber: Huaman (1992), digambar ulang.

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 15


pengembangan
Umbi. Ubijalar menghasilkan umbi (sebagai hasil pertumbuhan sekun-
der) dari beberapa akar umbi (tuberous roots) pada zona perakaran (lapisan
tanah sedalam 20-25 cm). Sebagian besar umbi berkembang dari
bakal/calon umbi yang terdapat pada sistem perakaran tersebut. Selain itu,
umbi juga terbentuk dari akar-akar yang tumbuh pada buku-buku
batang yang tumbuh menjalar di permukaan tanah; namun umbi yang
terbentuk biasanya berukuran kecil sehingga tidak bernilai ekonomis,
bahkan berpengaruh terhadap perkembangan umbi di zona perakaran.
Bentuk umbi pada umumnya adalah : (a) membulat (perbandingan
panjang : lebar umbi = 1:1), (b) elip membulat (panjang:lebar = 2:1), (c) elip
(panjang : lebar = 3 : 1), (d) bulat telur (melebar pada bagian ujung umbi =
ovale), (e) bulat telur (melebar pada bagian pangkal = obovale), (f) oblong,
(g) oblong memanjang, (h) elip memanjang, dan (i) tidak beraturan.
Morfologi umbi disajikan pada Gambar 7. Bagian-bagian umbi meliputi
pangkal umbi (proximal end), yakni bagian yang berhubungan dengan
batang melalui tangkai umbi (root stalk) dimana terdapat banyak mata
tunas adventif yang nantinya akan tumbuh menjadi tanaman muda.
Bagian lain dari umbi adalah bagian tengah umbi, yang merupakan bagian
lebih membesar, dan ujung umbi yang letaknya paling jauh dari pangkal
umbi (distal end). Mata tunas terdapat pada bagian tengah dan ujung umbi.
Mata tunas yang berada di bagian ujung umbi biasanya lebih lambat
berkecambahnya dibandingkan dengan yang berada di pangkal umbi.
Karakteristik umbi lainnya adalah tipe formasi umbi (susunan
pembentukan umbi pada sistem perakaran di dalam tanah). Tipe formasi
umbi merupakan salah satu penciri tetap klon/varietas ubijalar, terdiri atas
: tertutup (closed cluster), terbuka (open cluster), tersebar (disperse), dan
sangat tersebar (very disperse). Apabila pola munculnya umbi dari bagian
batang, berdasarkan ukuran tangkai umbi (yang menghubungkan antara
batang dengan umbi) tidak ada atau sangat pendek, maka formasi
pertumbuhan umbi termasuk tertutup, dan apabila tangkai umbi panjang
maka disebut formasi pertumbuhan umbi terbuka. Tipe susunan/ pertum-
buhan umbi ubijalar disajikan pada Gambar 8.

16 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Gambar 7. Tipe-tipe bentuk umbi ubijalar.
Sumber: Huaman (1992), digambar ulang.

Gambar 8. Tipe susunan/formasi umbi ubijalar.


Sumber: Huaman (1992), digambar ulang.

Warna kulit umbi bervariasi, meliputi : krem, keputih-putihan,


kuning, orange, coklat-orange, merah muda, merah-ungu, dan ungu
sangat tua. Warna daging umbi juga bervariasi, yakni putih, krem, kuning,
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 17
pengembangan
orange, dan ungu. Pada beberapa klon/varietas ubijalar terdapat warna
sekunder daging umbi disebabkan pigmen antosianin (warna merah-
ungu) yang menyebar dengan pola berbentuk cincin tipis pada korteks
(daging umbi), berbentuk cincin lebar pada korteks, bercak-bercak
mengelompok melingkar, cincin tipis atau cincin lebar pada daging
umbi, kombinasi cincin dan menutup sebagian besar daging umbi, dan
menutup pada semua bagian daging umbi. Gambar 9 menyajikan contoh
tiga klon/varietas dengan warna daging umbi dominan yakni ungu, putih,
dan orange. Berdasarkan pengamatan dan analisis terhadap 300 aksesi
ubijalar dari pertanaman konservasi 2014-2015 di Kebun Percobaan Pacet-
Jawa Barat, Minantyorini dan Andarini (2017) menyimpulkan bahwa tidak
terdapat hubungan antara karakter morfologi tanaman ubijalar dengan
kadar bahan kering dan kadar gula.

Ungu Putih Orange

Gambar 9. Contoh variasi warna daging umbi dominan pada ubijalar

2.2. Pola pertumbuhan ubijalar.

Pada prinsipnya, pertumbuhan dan perkembangan ubijalar terdiri


dari tiga fase, yakni: (a) fase pertumbuhan awal, (b) fase pembentukan
umbi, dan (c) fase pengisian umbi. Pertumbuhan daun dipengaruhi oleh
waktu dan lingkungan tumbuh. Mulai umur 4 minggu, pertumbuhan daun
berlangsung cepat sampai umur 12 minggu. Sejalan dengan pertumbuhan
daun, intensitas fotosintesis juga meningkat dan hasilnya (fotosintat)
disimpan dalam umbi, sehingga umbi mulai tumbuh dan berlangsung
cepat mulai umur 8 minggu (Wilson, 1982; Hozyo et al., 1986). Agar
pertumbuhan tanaman tidak terhambat, diperlukan lingkungan tumbuh
optimal, diantaranya aerasi tanah, bebas organisme pengganggu, keter-
sediaan hara sesuai kebutuhan tanaman, dan tidak terjadi kompetisi
18 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
antartanaman dalam memperoleh sinar matahari maupun hara. Untuk itu
diperlukan perbikan aerasi tanah dan pengendalian gulma dengan cara
pengeprasan kedua sisi guludan pada umur 3-4 mst.
Pertumbuhan daun berdasarkan indikator indeks luas daun (ILD)
meningkat cepat sampai umur 16 minggu dan selanjutnya menurun. Luas
daun dapat ditingkatkan melalui penggunaan pupuk N dan populasi
tanaman optimal (Hozyo et al., 1986). Penggunaan pupuk N dapat
meningkatkan ILD dari 2,0 m2 menjadi 4,4 m2/m2 pada musim hujan, dan
dari 2,6 m2 menjadi 3,9 m2/m2 pada musim kemarau (Tuherkih dan
Wargiono, 1986 dalam Wargiono dan Manshuri, 2012). ILD optimal adalah
3,5 m2/m2. Dengan demikian peningkatan ILD sampai 4,4 m2/m2 menye-
babkan terjadinya kompetisi cahaya matahari.
Sistem pertumbuhan batang yang berkaitan dengan aspek fisiologis
adalah laju pertumbuhan dan durasi, jumlah ruas, jumlah cabang lateral,
dan panjang batang. Laju pertumbuhan batang berdasarkan indikator
akumulasi bahan kering dipengaruhi oleh musim, walaupun polanya
tidak berbeda. Pada musim hujan, durasi pertumbuhan batang utama dan
cabang lateral relatif lebih pendek dibandingkan pada musim kemarau.
Akumulasi bahan kering maksimal dicapai pada umur 20 minggu, baik
pada musim hujan maupun pada musim kemarau, namun akumulasi
bahan kering maksimal pada musim hujan 20% lebih rendah dibanding
pada musim kemarau. Hal ini disebabkan oleh batang utama dan cabang
lateral yang mati pada musim hujan lebih banyak dibandingkan pada
musim kemarau. Fungsi batang cukup penting tetapi umurnya pendek
pada musim hujan. Hal tersebut mengindikasikan perlunya upaya untuk
mengatasi masalah tersebut, baik melalui rekayasa genetik maupun
agronomis (Wargiono dan Tuherkih, 1986 dalam Wargiono dan Manshuri,
2012).
Pada umur 1-4 minggu akar tumbuh cepat dan jumlahnya me-
ningkat, kemudian melandai dan menurun. Setelah dilakukan penyi-
angan/pengeprasan guludan pada umur sekitar 4 minggu setelah tanam,
sekitar seminggu kemudian, gulma yang tertimbun tanah telah membusuk
dan O2 yang berpenetrasi ke dalam guludan sudah memadai, kemudian
dilakukan pemberian pupuk susulan (diletakkan pada salah satu sisi dasar
guludan agar hara tersedia bagi tanaman). Selanjutnya, tanah keprasan
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 19
pengembangan
dikembalikan hingga terbentuk guludan baru bebas gulma dan aerasinya
menjadi baik. Dengan cara demikian, hasil ubijalar dilaporkan dapat
meningkat 10-25% (Wargiono et al., 1986 dalam Wargiono et al., 2012).
Pertumbuhan umbi dalam periode 8-16 minggu berlangsung cepat,
selanjutnya lambat, yaitu 2,6-8,3 mm/minggu, dan 0,0-0,1 mm/minggu
untuk pertumbuhan longitudinal, sedang pertumbuhan lateral cenderung
meningkat, yaitu 1,1-2,3 mm dan 1,1-3,3 mm/minggu (Wilson, 1982).
Pertumbuhan umbi berdasarkan indikator bobot bahan kering terus
meningkat sejalan dengan umur, namun laju pertumbuhan (Crop Growth
Rate/CGR) berlangsung cepat hingga umur 16 minggu, dan selanjutnya
lambat. Lambatnya laju pertumbuhan umbi setelah umur 16 minggu
karena indeks luas daun menurun, disebabkan oleh gugurnya daun yang
tidak seimbang dengan daun baru yang tumbuh. Tingginya jumlah daun
yang mati disebabkan oleh matinya beberapa cabang utama dan cabang
lateral. Luas helaian daun juga semakin sempit sejalan dengan umur
tanaman (Hozyo et al., 1986). Pola umum ketiga fase pertumbuhan beserta
ciri-cirinya disajikan pada Tabel 4.
Di dataran rendah (hingga sekitar 400 m dpl) ubijalar menyele-
saikan siklus hidupnya (umur panen) sekitar empat bulan (17-20 minggu),
sedangkan di dataran tinggi (800-1200 m dpl) satu siklus hidup ubijalar
adalah sekitar enam bulan. Memahami pola pertumbuhan dan
perkembangan ubijalar tersebut sangat penting karena hal tersebut sangat
bermanfaat bagi upaya peningkatan efektivitas dan efisiensi setiap tinda-
kan dalam budidaya ubijalar, misalnya penyiangan, pengairan, pemba-
likan batang dan perbaikan guludan, serta pemupukan.

20 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Tabel 4. Fase pertumbuhan dan perkembangan ubijalar.

Minggu ke Fase pertumbuhan Ciri Tanaman


0 Fase pertumbuhan awal • Setelah tanam,
pertumbuhan akar
1 muda cepat
• Pertumbuhan batang
2 dan daun lambat
3

4 Fase pembentukan • Terjadi pembentukan


5 umbi umbi
• Pertumbuhan batang
6
dan daun cepat
7
8 Fase pengisian umbi • Pembesaran dan
9 pengisian umbi cepat
• Pertumbuhan batang
10
dan daun berkurang
11 dan akhirnya terhenti
12 • Terjadi
pengangkutan zat-zat
13
dari daun ke umbi
14 • Berkurangnya daun
15 karena rontok
16
17
18
19
Sumber: Wilson (1982), Direktorat Akabi (2015).

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 21


pengembangan
22 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
BAB 3.
NILAI EKONOMI UBIJALAR

3.1. Kaitannya dengan kandungan zat gizi.

Ubijalar memiliki potensi besar sebagai bahan pangan alternatif,


bahkan sebagai bahan pangan pokok di beberapa daerah, maupun untuk
pengembangan agribisnis (Swastika dan Nuryanti, 2012). Umbi segar dan
produk olahannya merupakan sumber pangan sehat (functional food)
karena kandungan serat pangan, vitamin, dan mineral yang cukup tinggi,
serta antosianin (pada ubijalar berdaging umbi ungu dan orange) yang
berperan sebagai antioksidan. Antioksidan adalah senyawa yang dapat
mencegah timbulnya penyakit kanker dan memperlambat proses penuaan/
zat anti ageing (Widowati dan Wargiono, 2009; Ginting et al., 2012).
Penjelasan mengenai antioksidan secara singkat adalah sebagai berikut
(Winarsi, 2007 dalam Edhisambada, 2011). Antioksidan merupakan senya-
wa pemberi elektron (elektron donor) atau reduktan. Senyawa ini
mempunyai bobot molekul kecil tetapi mampu menginaktivasi berkem-
bangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah atau menginaktivasi
radikal bebas. Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki
elektron tidak berpasangan (unpaired electron), atau oksidan (meskipun
tidak setiap oksidan merupakan radikal bebas, tetapi radikal bebas lebih
berbahaya dibandingkan dengan senyawa oksidan nonradikal). Adanya
elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat
reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron
pada molekul yang berada di sekitarnya.
Menurut Khaira (2010) dan Wikipedia (2019), radikal bebas dapat
dihasilkan dari metabolisme tubuh dan faktor eksternal seperti asap rokok,
hasil penyinaran ultra violet, zat pemicu radikal bebas dalam makanan
dan polutan lain. Penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas bersifat
kronis, yaitu dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk penyakit tersebut
menjadi nyata. Contoh penyakit yang sering dihubungkan dengan radikal
bebas adalah kardiovaskuler, jantung koroner, katarak, menurunnya
fungsi ginjal, kanker, serta penuaan dini. Untuk mencegah atau
mengurangi penyakit kronis karena radikal bebas diperlukan antioksidan.

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 23


pengembangan
Dijelaskan oleh Winarsi (2007 dalam Edhisambada, 2011) bahwa target
utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein,
serta unsur DNA termasuk karbohidrat. Dari molekul-molekul target
tersebut, yang paling rentan terhadap radikal bebas adalah asam lemak
tak jenuh. Senyawa radikal bebas di dalam tubuh dapat merusak asam
lemak tak jenuh (ikatan ganda) pada membran sel sehingga dinding sel
menjadi rapuh, merusak basa DNA sehingga mengacaukan sistem gene-
tika, dan berlanjut pada pembentukan sel kanker. Itulah sebabnya me-
ngonsumsi antioksidan (terutama antioksidan alami, seperti halnya pada
ubijalar ungu yakni antosianin, dan pada ubijalar orange yakni betaka-
roten) dalam jumlah cukup secara rutin sangat disarankan.
Menurut Suda et al. (2003), antosianin juga dapat mencegah
gangguan pada fungsi hati, berperan sebagai antihipertensi dan antihi-
perglikemik. Beberapa macam senyawa radikal bebas (sering diidentikkan
dan lebih populer disebut Reactive Oxygen Species/ROS) dan antioksidan
yang menetralkannya disajikan pada Tabel 5. Antosianin, seperti halnya
pada ubijalar ungu termasuk kedalam golongan flavovoid, bersama-sama
asam fenolat dan polifenol (tanin) merupakan jenis senyawa yang
seringkali dianalisis sebagai total fenol. Menurut Yashimoto et al. (1999
dalam Ginting et al., 2012), senyawa fenol yang tinggi berasosiasi dengan
tingginya aktivitas antioksidan pada ubijalar ungu. Kandungan senyawa
fenol pada ubijalar ungu 4,9-6,7 kali lebih tinggi dibandingkan pada
ubijalar kuning; serta 2,5-3,2 kali lebih tinggi dibandingkan pada blueberry
(Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos, 2004).

Tabel 5. Beberapa macam/jenis radikal bebas atau Reactive Oxygen


Species/ROS dan antioksidan yang menetralkannya.
Radikal bebas/ROS Antioksidan yang menetralkan
Radikal Hidroksil Vitamin C, glutation, flavonoid, asam lipoat
Radikal Superoksida Vitamin C, glutation, flavonoid, superoksida
dismutase
Peroksida Hidrogen Vitamin C, glutation, flavonoid, betakaroten, vitamin
E, asam lipoat
Peroksida Lipid Vitamin E, betakaroten, ubikuinon, flavonoid,
glutation peroksidase
Sumber: Percival (1998).

24 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Selain itu, ubijalar juga memiliki indek glikemik (IG) rendah
sehingga sesuai bagi penderita diabetes. IG menggambarkan efek/
kecepatan konsumsi bahan pangan dalam menaikkan kadar gula darah.
Nilai IG < 55 tergolong rendah, 55-70 sedang, dan > 70 tergolong
tinggi (Etika, Tanpa Tahun/b; Mendosa, 2008). Menurut Profesor Ali
Khomsan, MS., Guru Besar dari Departemen Gizi, Fakultas Pertanian, IPB
(dalam Sulaiman, 2016), terkait dengan IG, ubijalar sebagai sumber
karbohidrat sangat cocok bagi penderita diabetes karena indek glike-
miknya yang rendah. Maka, ubijalar seharusnya menjadi pilihan pertama
bagi penderita diabetes. Ubijalar memiliki IG dengan kisaran 54-68, lebih
rendah dibandingkan beras/nasi, roti tawar, dan kentang, namun sedikit
lebih tinggi daripada ubikayu (Astawan dan Widowati, 2005 dalam
Widowati dan Wargiono, 2009; Mendosa, 2008).
Destriyana (2015) juga sangat menyarankan kepada penderita
diabetes untuk mengonsumsi ubijalar (terutama ubijalar ungu) karena
terbukti sangat membantu dalam mengendalikan kadar gula darah. Hal
tersebut karena ubijalar kaya antioksidan yang dapat melindungi organ
tubuh. Selain itu, Vitamin C yang dikandung ubijalar juga dapat
melindungi tubuh dari kerusakan syaraf. Ditambahkan, terdapat tujuh
alasan kenapa penderita diabetes sangat dianjurkan makan ubijalar, yakni :
(a) ubijalar mengandung gula alami yang dapat meningkatkan sensitivitas
insulin sehingga dapat mengatur kadar gula darah, (b) melindungi mata,
(c) menjaga kesehatan otot karena ubijalar kaya kalium, (d) meningkatkan
aliran oksigen di dalam tubuh, (e) meningkatkan kekebalan tubuh, (f) baik
untuk diet, dan (g) kandungan vitamin B6 secara umum dapat melindungi
otak dan jantung.
Informasi IG perlu dilengkapi dengan beban glikemik (BG) atau
Glycemic Load (GL) yang dihitung berdasarkan kandungan karbohidrat
tersedia di bahan tersebut per takaran saji, sehingga menggambarkan
kondisi riil makanan yang dikonsumsi. Mengenai IG, BG, dan kaitannya
dengan takaran saji tidak disampaikan pada buku ini. Informasi secara
lebih detail terkait hal tersebut dapat ditemukan di Mendosa (2008). Bukan
saja dari umbinya, daun ubijalar juga merupakan bahan sayuran
menyehatkan.

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 25


pengembangan
Berdasarkan hasil dari banyak penelitian yang telah dilakukan
(Woolfe, 1992), daun ubijalar merupakan sumber vitamin yang baik,
diantaranya vitamin A, B1, B2, niacin, asam folat, dan vitamin C.
Kandungan vitamin A daun ubijalar erat kaitannya dengan kandungan
betakaroten sebagai sebagai prekursor. Dilaporkan juga bahwa dalam
basis kering, kandungan mineral pada daun relatif jauh lebih tinggi
dibanding pada umbinya. Yang paling menonjol mengenai kandungan
mineral pada daun ubijalar adalah kandungan K (Kalium) yang cukup
tinggi (Monro et al., 1985 dan Ohtsuka et al., 1984 dalam Utomo dan
Ginting, 2012) yakni sekitar 3.018 mg/100 g berat kering, sementara pada
umbinya 342-488 mg/100 g berat basah. Suda et al. (2003) juga melaporkan
bahwa daun ubijalar mengandung sedikitnya 15 jenis antosianin dan
enam senyawa fenol yang dapat berfungsi sebagai antioksidan,
antimutagenik, antiperadangan, dan antikarsinogen.
Peneliti lain (Ishiguro dan Yoshimoto, 2005; Islam, 2006) juga
melaporkan bahwa daun ubijalar mengandung karotenoid dan terutama
lutein yang sangat bermanfaat bagi kesehatan mata yakni mencegah
katarak dan penurunan fungsi mata pada usia lanjut. Mohanraj dan
Sivasankar (2014) menyatakan bahwa daun ubijalar merupakan sumber
nutrisi berupa komponen bioaktif seperti : antosianin, polifenol, flavonoid,
dan derivat asam kafeat. Komponen-komponen tersebut memiliki
kemampuan antioksidatif, antimutagenik, antikanker, antibakterial,
antipenuaan, serta mampu meningkatkan sistem imun. Menurut Johnson
dan Pace (2010), terdapat efek sinergisme senyawa nutrisi dan komponen
bioaktif pada daun ubijalar bagi pencehagan penyakit dan peningkatan
kesehatan. Secara kualitatif, kandungan nutrisi dan komponen senyawa
bioaktif dalam daun ubijalar serta manfaatnya disajikan pada Gambar 10.
Manfaat dari kandungan zat-zat gizi pada ubijalar (termasuk pada daun
ubijalar) sebagaimana dijelaskan di atas jelas menunjukkan besarnya
potensi nilai ekonomi ubijalar, baik melalui kegiatan agroindustri maupun
farmasi, serta untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat.
Daun ubijalar juga sangat potensial untuk pakan ternak bermutu
tinggi. Sebagai contoh, di Kepulauan Nias Sumatera Utara, hasil utama
budidaya ubijalar terutama adalah daun (hijauan) yang dimanfaatkan se-

26 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Menurunkan risiko penyakit kronis yang tidak menular (mis. CVD, diabetes militus, hipertensi,
kanker) dan meningkatkan kesehatan

Gambar 10. Efek sinergisme senyawa nutrisi dan komponen bioaktif pada
daun ubijalar bagi pencegahan penyakit dan peningkatan
kesehatan.
Sumber: Johnson dan Pace (2010).

bagai pakan ternak babi (Haloho, 2016). Sirait dan Simanihuruk (2010)
melaporkan bahwa daun, tangkai/batang, dan tepung daun merupakan
pakan ternak bermutu bagi ruminansia kecil. Berdasarkan hasil penelitian
Kebede et al. (2008) disimpulkan bahwa pemberian daun ubijalar segar
dapat menggantikan konsentrat hingga 50% dengan pertambahan bobot
hidup yang relatif sama pada kambing Arsi-Bale. Hasil penelitian lain
(Khalid et al., 2013) menunjukkan bahwa kambing Nubian yang diberi
pakan daun dan batang ubijalar segar menghasilkan bobot badan akhir
tertinggi, nyata secara statistik dibanding dengan kambing yang diberi
pakan batang sorghum atau pakan hijauan clitoria (Clitoria ternate).
Kambing yang diberi pakan daun dan batang ubijalar secara harian juga
menghasilkan susu terbanyak, serta kandungan protein susu, lemak susu,
dan padatan terlarut tertinggi dibandingkan dengan yang diberi dua jenis
pakan lainnya. Disimpulkan juga bahwa daun ubijalar memiliki potensi
besar untuk perbaikan dalam konsumsi protein nabati dan penyediaan
asam amino pada diet rendah serat untuk ternak ruminansia. Hal-hal yang

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 27


pengembangan
disampaikan di atas mengindikasikan bahwa ubijalar (termasuk daun
ubijalar) ke depan akan menjadi komoditas sumber bahan pangan
fungsional yang semakin penting, bahan baku industri, maupun sebagai
pakan ternak, yang bernilai ekonomi tinggi.

3.2. Kaitannya dengan produk pangan olahan.

Ubijalar dapat dibuat menjadi berbagai produk pangan olahan dan


produk-produk industri turunan lainnya, sebagaimana telah ditunjukkan
pada Gambar 1 (pada Bab 1/Pendahuluan). Hal tersebut mengindikasikan
potensi nilai ekonomi ubijalar yang sangat besar guna meningkatkan daya
saing komoditas ini. Basuki et al. (2003) menyatakan pentingnya perbaikan
kualitas umbi (termasuk peningkatan kandungan antosianin, betakaroten,
protein, dan ketahanan terhadap serangan hama boleng (Cylas formicarius)
untuk meningkatkan nilai ekonomi ubijalar; sementara Adnan dan
Sihombing (2013) menekankan pentingnya penerapan teknologi pengo-
lahan hasil ubijalar secara luas untuk meningkatkan nilai tambah dan
nilai ekonomi komoditas ini.
Selaras dengan kedua pendapat sebagaimana disebutkan di atas,
Swastika dan Nuryanti (2012) juga berpendapat bahwa besarnya potensi
ubijalar untuk dapat diolah menjadi bahan baku industri (baik untuk
industri pangan maupun non pangan) menunjukkan besarnya potensi
ubijalar untuk dikembangkan di Indonesia menjadi komoditas yang
semakin penting dan bernilai ekonomi tinggi, sekaligus akan mening-
katkan derajad/status ubijalar dari komoditas “inferior” menjadi
komoditas “superior” sehingga dapat mempercepat terimplementasinya
diversifikasi pangan dan mengurangi ketergantungan pada beras.
Dinyatakan juga bahwa berbagai produk olahan dari ubijalar segar dapat
diekspor ke berbagai negara yang permintaannya terus meningkat.
Dengan demikian, produk industri ubijalar mempunyai daya saing yang
tinggi di pasar internasional. Dari sisi petani, pengembangan industri
pengolahan umbi segar di perdesaan selain mampu menciptakan nilai
tambah, juga mampu menambah lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Berbagai produk pangan olahan akan disampaikan dalam Bab tersendiri

28 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
(berikutnya), termasuk produk antara (khususnya tepung yang memiliki
banyak keunggulan).

3.3. Kaitannya dengan keuntungan usahatani.

Pengusahaan ubijalar di tingkat petani dilaporkan menguntungkan.


Di Jawa Timur, misalnya, keuntungan yang diperoleh petani mencapai
sekitar Rp. 5.211.300,-/ha, pada tingkat hasil 18 t/ha umbi segar, biaya
produksi Rp. 9.588.700,-/ha, dan harga ubi segar Rp. 800,-/kg, dengan nilai
R/C 1,5 (Heriyanto, 1995 dalam Heriyanto dan Rozi, 2012). Besarnya
keuntungan dipengaruhi antara lain oleh tingkat hasil (produktivitas),
harga ubi segar dan harga saprodi. Hasil penelitian lain yang dilakukan
oleh Leovita et al. (2015) di Sumatera Barat menunjukkan bahwa usahatani
ubijalar mampu memperoleh pendapatan atas biaya tunai sekitar Rp.
27.914.528,-/ha (tidak dihitung tenaga kerja dalam keluarga, penyusutan
peralatan, dan sewa lahan), pada tingkat hasil ubijalar 20,8 t/ha dan harga
umbi segar Rp. 2.568,-/kg. Apabila biaya tidak tunai diperhitungkan, maka
pendapatan yang diterima adalah Rp. 24.659.314,-/ha. Dengan hanya biaya
tunai yang diperhitungkan, maka diperoleh nilai R/C rasio 2,1; sedangkan
apabila biaya tidak tunai juga diperhitungkan, maka nilai R/C rasio adalah
1,8. Hal tersebut juga didukung Herdiman (2010) dan Agrowindo (Tanpa
Tahun/a) berdasarkan kajiannya tentang analisis ekonomi usahatani
ubijalar. Berdasarkan contoh-contoh kajian tersebut di atas, maka dapat
dikatakan bahwa usahatani ubijalar adalah menguntungkan. Menurut
Bappeda Provinsi Jawa Timur (2013), setelah memahami bahwa usahatani
ubijalar menguntungkan, maka PTPN XII berani berinvestasi mengem-
bangkan/membudidayakan tanaman ubijalar sebagai tanaman sela di
lahan seluas 412 hektar untuk memenuhi pasar ekspor ke Jepang dan
Korea.
Panjang-pendeknya rantai pemasaran ubijalar juga berpengaruh
terhadap keuntungan yang diterima petani. Pada daerah sentra produksi
dan pengguna (industri pengolahan berada dekat dengan lokasi produksi),
maka rantai pemasaran yang mungkin terjadi adalah : (1) petani –
pedagang pasar – konsumen, atau (2) petani – penebas – pedagang pasar –
konsumen. Pada kondisi yang demikian, ubijalar umumnya bukan
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 29
pengembangan
sebagai bahan makanan sehari-hari melainkan sebagai makanan ringan
(kudapan). Pada kondisi yang berbeda, rantai pemasaran ubijalar terjadi
relatif panjang. Hal tersebut biasanya terjadi di daerah yang bukan sentra
produksi. Di daerah ini umumnya konsumen menggunakan ubijalar
sebagai makanan sehari-hari, terutama pada saat cadangan/stok beras di
tingkat keluarga relatif kurang/terbatas. Rantai pemasaran ubijalar yang
lebih panjang adalah : (1) petani – penebas – pedagang pengumpul –
pedagang pasar besar/induk – konsumen, atau (2) petani – penebas –
pedagang pengumpul – pedagang besar – pedagang pasar besar/induk –
konsumen. Atas dasar contoh rantai pemasaran pada dua kondisi yang
berbeda tersebut dapat dimaknai bahwa pemasaran dengan mata rantai
yang efisien penting artinya bagi petani dalam memperoleh insentif yang
memadai, yang sekaligus akan meningkatkan nilai ekonomi ubijalar
(Heriyanto, 1995 dalam Heriyanto dan Rozi, 2012).

3.4. Kaitannya dengan nilai perdagangan.

Hingga tahun 2013, Indonesia menjadi negara kelima terbesar


produsen ubijalar dunia setelah China, Nigeria, Tanzania, Ethiopia. Sekitar
75% produksi ubijalar dunia berada di Asia, terutama di China
(Gerbaud, 2016). Menurut Swastika dan Nuryanti (2012), di Indonesia
ubijalar belum dianggap sebagai komoditas penting, sementara di negara-
negara maju komoditas ini justru lebih penting dan lebih mahal diban-
ding komoditas lain seperti beras dan terigu karena tidak saja menjadi
bahan pangan, namun juga menjadi bahan baku industri nonpangan,
seperti farmasi, tekstil, perekat, dan kosmetik. Diprediksi bahwa hingga
tahun 2020 pertumbuhan penggunaan ubijalar segar untuk pakan, bibit,
industri, dan pangan di Indonesia meningkat dengan laju masing-masing
3%, 1%, 19%, dan 2% per tahun. Disampaikan juga bahwa pada tahun 2020
diprediksi produksi ubijalar mencapai 3.434.000 ton; dengan kebutuhan
untuk pangan 1.836.000 ton, untuk pakan 50.000 ton, untuk industri
1.153.000 ton, dan untuk kebutuhan lainnya 395.000 ton. Dengan kondisi
tersebut diharapkan industri berbasis ubijalar semakin berkembang,
termasuk volume produk ekspor juga meningkat.

30 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Riani (2015) telah melakukan studi tentang posisi daya saing ekspor
ubijalar Indonesia. Volume ekspor ubijalar Indonesia semakin meningkat,
mengindikasikan ubijalar merupakan komoditas pertanian yang memiliki
nilai ekonomi tinggi. Hasil studi menunjukkan bahwa posisi daya saing
kompetitif ubijalar Indonesia memiliki rata-rata nilai XCI (Export
Competitiveness Index) 1,184, berada pada peringkat ketiga setelah Mesir
(1,592) dan Belanda (1,192), diikuti Amerika Serikat (1,148) dan China
(0,975). Untuk meningkatkan daya saing kompetitif, pemerintah perlu
membidik pasar-pasar baru yang potensial bagi ekspor ubijalar dan
mengikuti pameran-pameran dagang internasional untuk lebih menge-
nalkan ubijalar Indonesia. Untuk meningkatkan spesialisasi perdagangan
dapat dilakukan dengan meningkatkan nilai ekspor ubijalar, misalnya
meningkatkan harga ekspor melalui peningkatan kualitas ubijalar dan juga
informasi terkait kualitas ubijalar yang tersedia sesuai dengan kebutuhan
pasar. Terkait peningkatan daya saing komparatif, Riani (2015) menya-
rankan perlunya peningkatan produktivitas dan produksi ubijalar melalui
intensifikasi dan ekstensifikasi.
Keunggulan komparatif ubijalar Indonesia dalam perdagangan di
pasar internasional juga disampaikan oleh Wulandari (2013) pada hasil
studinya berdasarkan nilai Revealed Comparative Advantage (RCA).
Ditunjukkan bahwa nilai RCA ubijalar Indonesia > 1, berarti ubijalar
Indonesia memiliki keunggulan komparatif. Namun demikian, berbeda
dengan hasil studi Riani (2015), daya saing ubijalar Indonesia masih lebih
rendah dibandingkan dengan daya saing ubijalar Amerika dan China yang
merupakan negara produsen dan eksportir ubijalar dunia. Dijelaskan lebih
lanjut bahwa kondisi internal komoditas ubijalar Indonesia juga memiliki
keunggulan kompetitif pada faktor sumberdaya alam, dengan tingkat
produktivitas komoditas ini yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Disarankan bahwa untuk meningkatkan daya saing ubijalar Indonesia
perlu adanya peningkatan kualitas dan kuantitas dari penjualan ubijalar
dengan mengembangkan dan meningkatkan ekspor ubijalar dalam bentuk
olahan (diversifikasi) sehingga dapat meningkatkan volume dan nilai
ekspornya. Selain itu, penanganan pascapanen ubijalar harus lebih
ditingkatkan dan dalam bentuk olahan, karena daya tahannya selama
pengiriman lebih kuat/lebih lama dan harganya akan lebih mahal. Untuk
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 31
pengembangan
mendukung hal tersebut diperlukan pelatihan dan bimbingan kepada
petani dan industri pengolahan agar ubijalar, penyediaan fasilitas, dan
meningkatkan penelitian yang berkaitan dengan proses dan teknik
pengolahan ubijalar.
Beberapa catatan kuantitas ekspor ubijalar sejak beberapa tahun
silam adalah sebagai berikut. FAOSTAT (2010 dalam Prasetiawati dan
Radjit, 2012) melaporkan bahwa sejak 2003-2007 ekspor ubijalar dari
Indonesia ke beberapa negera (Jepang, Malaysia, Singapura, Korea, dan
negara lain) tidak kurang dari 10,96 juta ton. Selain itu, Abi (2019)
melaporkan bahwa selama tahun 2016 tercatat ekspor ubijalar sebanyak
9.592 ton dengan nilai Rp. 108 milyar, dan pada tahun 2018 tercatat 10.856
ton dengan nilai Rp. 137 milyar. Selanjutnya, hingga Juni 2019 ekspor
ubijalar telah mencapai 4.856 ton dengan nilai Rp. 55 milyar, dengan
negara tujuan Jepang, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Hongkong,
Thailand, China, dan Amerika Serikat. Beberapa perusahaan eksportir
yang telibat antara lain : PT. Eka Dura Indonesia, PT. Inecda, PT. Sumber
Boga Abadi, PT. Tunas Prospekta Agribisnis, dan PT. Galih Estetika.
Anonim (2019a) melaporkan juga bahwa ekportir lainnya yang terlibat
dalam ekspor ubijalar beku dari Sumatera Utara adalah PT. Wahana Graha
Makmur, CV. Alam Hijau Indonesia, dan PT. Vindia Agroindustri. Anwar
(2019) melaporkan bahwa ekspor ubijalar dalam bentuk tepung (tepung
ubijalar) juga sudah terjadi, yakni dari Sumatera Utara dengan tujuan
Jepang, sebanyak 26 ton senilai sekitar Rp. 1,254 milyar.

3.5. Kaitannya dengan diversifikasi pangan.

Widodo (2007) telah menyatakan bahwa pengembangan ubijalar


sangat penting dalam mendukung kedaulatan pangan melalui penggu-
naannya sebagai bahan pangan yang mampu menggantikan sebagian
sebagian atau bahkan seluruhnya beras/nasi sebagai sumber karbohidrat
(diversifikasi pangan). Apabila hal tersebut dapat terealisir, berarti
komoditas ubijalar berpotensi sebagai komoditas yang bernilai ekonomi
tinggi dalam agribisnis. Besarnya potensi ubijalar untuk mendukung
suksesnya program diversifikasi pangan juga telah disampaikan secara
komprehensif oleh Harnowo et al. (2019). Bahkan, Hendriadi (dalam Waris,
32 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
2019) menyatakan bahwa tepung lokal (termasuk di dalamnya tepung
ubijalar) dan pemanfaatannya akan dijadikan program strategis BKP
(Badan Ketahanan Pangan) Kementerian Pertanian RI untuk mengurangi
impor gandum, sekaligus untuk lebih mempercepat implementasi diver-
sifikasi pangan. Selain itu, sesuai dengan keunggulan kandungan/
komposisi kimia ubijalar (termasuk di dalamnya unsur Kalium, vitamin A,
betakarote, dan antosianin), sangat relevan bahwa BKP sangat mendorong
peningkatan diversifikasi pangan melalui peningkatan konsumsi makanan
yang lebih beragam dalam rangka mengurangi konsumsi bahan pangan
padi-padian, sekaligus untuk memperbaiki komposisi dan meningkatkan
skor PPH (Pola Pangan Harapan).
Sebelum itu, Hendriadi (dalam Atjo, 2018) telah menyatakan bahwa
pengembangan diversifikasi pangan akan dilaksanakan dari hulu hingga
hilir berbasis industri rumah tangga. Namun demikian, berda-sarkan
bahasan yang disampaikan oleh beberapa peneliti/pengamat (Anonim,
2019b: Andri, 2019; Ariani, Tanpa Tahun; Nugroho, 2019) bahwa hingga
kini diversifikasi pangan belum terimplementasi di lapangan sesuai yang
diharapkan. Peneliti LIPI, Esta Lestari (dalam mediaindonesia.com, 2017)
juga menyatakan bahwa kebijakan diversifikasi pangan masih tersendat
dan lemahnya realisasi kebijakan diversifikasi pangan tidak terlepas dari
pilihan pemerintah yang masih mengutamakan produksi tanaman pangan
padi, jagung, dan kedelai. Dalam acara Talkshow Diversifikasi Pangan di
Jakarta pada 24 Oktober 2017, Sembiring (dalam Julianto, 2017) juga
menyatakan bahwa program diversifikasi pangan masih banyak kendala
disebabkan antara lain penyediaan bahan pangan lokal di pasaran belum
dalam bentuk siap olah seperti halnya beras. Tanpa membahas/menyoroti
tentang belum terimplementasinya program diversifikasi pangan di
lapangan secara mendalam, tetapi dengan harapan besar bahwa program
diversifikasi pangan cepat terimplementasi di lapangan, maka ubijalar
akan berperan sangat penting untuk diversifikasi pangan ke depan,
sekaligus meyakinkan bahwa komoditas ubijalar, dalam waktu dekat dan
pada masa yang akan datang, akan menjadi komoditas bernilai ekonomi
tinggi di Indonesia.

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 33


pengembangan
34 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
BAB 4.
SISTEM PRODUKSI

4.1. Syarat tumbuh dan musim tanam.

Ubijalar termasuk tanaman yang tahan dalam kondisi kekeringan,


dengan bagian di atas tanah (daun dan batang) masih tetap hijau dalam
kondisi cukup kering/kekurangan air, meskipun pertumbuhan akarnya
terbatas. Untuk pertumbuhan yang baik, curah hujan tahunan yang
diperlukan adalah 750 mm atau lebih. pH tanah ideal untuk pertumbuhan
dan perkembangan tanaman ubijalar adalah 5,6-6,6. Pada tanah masam
(pH < 4,5) ubijalar kurang cocok dibudidayakan, namun dapat diusahakan
dengan menanam varietas tahan/toleran terhadap kemasaman tanah, atau
dengan memodifikasi lingkungan (menaikkan pH tanah melalui
pengapuran atau pemberian dolomit (Djazuli, 1992 dalam Setyono et al.,
1995). Ubijalar dapat tumbuh mulai 0 hingga 2100 m dpl (di atas
permukaan laut), dengan persyaratan tanah yang subur untuk hasil
maksimal (Jana, 1982). Agata (1982) telah mengidentifikasi pertumbuhan
ubijalar pada kisaraan suhu rata-rata selama pertumbuhan 24,2 + 3,6 oC
dan penyinaran matahari 399 + 85 calori/detik cm/hari. Pada kondisi
tersebut, awal pertumbuhan umbi terjadi sekitar 30 hari setelah tanam
(hst). Mulai sekitar 40 hst hingga 4 bulan setelah tanam terjadi
pertambahan bobot kering (perkembangan) umbi secara linear; sementara
indeks luas daun (leaf area index/LAI) maksimum terjadi sekitar 2 bulan
setelah tanam, dan setelah itu menurun secara gradual karena mulai
terjadi penuaan daun dan gugur daun/senescence. Hozyo et al. (1986)
melaporkan bahwa pertumbuhan umbi dengan indikator bobot bahan
kering berlangsung cepat hingga tanaman berumur sekitar 16 minggu, dan
selanjutnya lambat. Persyaratan iklim dan tanah secara rinci disajikan
pada Tabel 6.
Ubijalar di Indonesia dibudidayakan baik di lahan sawah (setelah
padi) pada musim kemarau 1 (MK 1) atau musim kemarau 2 (MK 2)
maupun di lahan kering pada musim hujan (MH) dan di dataran tinggi
pada awal hingga pertengahan musim hujan. Karena ketatnya persaingan
penggunaan lahan, terutama lahan sawah terkait dengan ketersediaan air
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 35
pengembangan
irigasi, maka ubijalar umumnya dibudidayakan di lahan sawah manakala
padi tidak memungkinkan untuk ditanam.

Tabel 6. Tingkat kesesuaian lahan untuk budidaya ubijalar.


Indikator Tingkat kesesuaian lahan
S1 S2 S3
Suhu (oC):
Tanah: Siang 30 25 >37
Malam 20 22 <16
Udara: Siang 29 25 37
Malam 27 20 30
Curah hujan:
Rata-rata (mm/bulan) 200 200-300 <200/>300
Jumlah bulan basah 3 2/4 <2/>4
Zona perakaran (cm) >60 40-59 20-39
Tekstur tanah Lempung liat Lempung Pasir
berpasir berpasir berlempung
Debu Lempung Liat
lempung liat liat berdebu
Lempung liat berdebu -----
berdebu ------
Retensi hara:
KTK (me/100 g) Sedang- Rendah Sangat
pH: sub-soil tinggi 6,1-7,0 rendah
top-soil 5,0-6,0 4,9-4,5 7,1-8,5
5,0-6,0 4,5-4,0
Ketersediaan hara (top-
soil):
Total N Medium Rendah Sangat rdh.
P2O5 tersedia Medium- Rendah Sangat rdh.
K2O tersedia tinggi Rendah Sangat rdh.
Medium
Salinitas (mmhos/sm) <3 3-5
Topografi/kemiringan 0-5 5-15
(derajad)
Sumber: (Edmond, 1971 dan Wargiono, 1980 dalam Wargiono et al.,
2012).

36 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
4.2. Teknik budidaya ubijalar.

Komponen teknik budidaya ubijalar, sebagaimana untuk tanaman


lainnya meliputi : bibit/pembibitan, pengolahan tanah/penyiapan lahan,
cara dan jarak tanam, pemupukan, pemeliharaan, pengairan, pengendalian
hama/penyakit dan gulma, serta panen. Penelitian mengenai teknik
budidaya ubijalar pada dasarnya telah dilakukan sejak tahun 1994 oleh
Balitkabi Malang, bekerjasama dengan Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya Malang, dengan dukungan IDRC Canada (Guritno et al., 1995).
Uraian di bawah ini akan menjelaskan secara singkat mengenai komponen-
komponen teknik budidaya tersebut dengan mengacu pada hasil-hasil
penelitian yang telah dilakukan.

Penyiapan lahan. Pada prinsipnya, ubijalar menghendaki kondisi tanah


yang gembur agar pembesaran umbi terjadi secara optimal. Oleh karena itu
tanah-tanah ringan dengan kandungan bahan organik cukup tinggi adalah
ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan ubijalar. Pada tanah-tanah
berat, penambahan bahan organik sebanyak 5-10 ton/ha sangat diperlukan
(Widodo, 1990). Untuk budidaya ubijalar, lahan perlu diolah dan dibuat
guludan dengan lebar 40-60 cm dan tinggi sekitar 40 cm. Jarak antar
puncak guludan 80-100 cm (Taufiq et al., 2010). Baik di lahan sawah pada
musim kemarau maupun di lahan kering pada musim hujan, pembuatan
guludan merupakan suatu keharusan. Hal tersebut untuk menghindari
agar daerah perakaran tidak terendam air, karena air yang menggenangi
perakaran menyebabkan pembentukan dan pembesaran umbi terhambat.
Contoh guludan untuk penanaman ubijalar disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Contoh bentuk guludan


untuk penanaman ubijalar.

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 37


pengembangan
Penyiapan bibit. Ubijalar ditanam dengan stek pucuk. Stek diambil dari
tanaman yang tumbuh sehat dan normal, sudah berumur dua bulan atau
lebih. Setiap batang dapat diambil sekitar 80 cm bahan stek. Stek dipotong
sekitar 20 cm menggunakan pisau tajam, dilakukan pada pagi hari. Untuk
menjaga stek tetap segar, beberapa daun dewasa perlu dipotong (guna
mengurangi penguapan yang berlebihan). Pengambilan stek perlu mem-
pertimbangkan bahwa stek yang diambil/disiapkan harus dapat tertanam
dalam satu hari. Kelebihan stek yang sudah terpotong yang tidak dapat
tertanam pada hari tersebut perlu diamankan pada tempat yang teduh,
untuk 1-2 hari penanaman berikutnya.
Penyiapan bibit perlu menganut kriteria tujuh tepat, yaitu tepat
waktu, varietas, jumlah/kuantitas, kualitas, lokasi, harga, dan berke-
lanjutan. Karena bibit ubijalar diperbanyak secara vegetatif, sehingga
batasan kelas bibit antara bibit penjenis sampai bibit sebar tidak tegas
seperti pada biji-bijian. Idealnya, bibit sumber berupa umbi, dan stek
batang diperbanyak secara vegetatif di lokasi pembibitan di daerah sentra
produksi. Namun demikian, hingga kini penangkaran bibit belum
dilakukan sesuai dengan sistem perbenihan/perbibitan baku, yaitu FS oleh
BBI, SS oleh BBU, dan ES oleh penangkar; kecuali BS sudah dilakukan oleh
UPBS, sebagai contoh UPBS Balitbangtan di Balitkabi Malang (Harnowo
dan Utomo, 2017). Untuk menjamin kemurnian genetis perlu dilakukan
pengawasan oleh BPSB mulai FS hingga ES. Namun demikian, hal tersebut
nampaknya belum dapat terlaksana secara ideal di lapangan. Yang sering
ditemui adalah penangkaran bibit ES dilakakuan oleh tiap petani dengan
sumber bibit berupa stek batang atau umbi dari tanaman sendiri atau
antarpetani. Menurut Wargiono et al., (2000), luas pembibitan dapat
dihitung berdasarkan penggandaan, yaitu tiap tanaman menghasilkan 10-
20 stek batang; sebagai contoh, 200-400 m2 untuk menyediakan bibit pada
pertanaman seluas 1 ha. Ke depan, kebutuhan ubijalar di dalam negeri
akan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan
semakin berkembangnya industri berbahan baku ubijalar segar, demikian
juga untuk memenuhi permintaan ekspor. Untuk memfasilitasi mening-
katnya kebutuhan tersebut, penyediaan dan penggunaan bibit varietas
unggul melalui sistem perbenihan yang handal menjadi sangat urgen.

38 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Penanaman. Stek pucuk ditanam tegak atau miring ke arah barat dengan
2-3 ruas terbenam ke dalam tanah atau guludan. Jarak tanam yang
dianjurkan (sepanjang guludan) adalah 25-30 cm (populasi 33.000-50.000
tanaman/ha. Menurut Setyono et al. (1995), cara tanam dengan posisi
stek miring dapat menghasilkan umbi besar-besar tetapi jumlahnya
sedikit, sedangkan cara tanam dengan posisi stek mendatar dapat
menghasilkan umbi banyak tetapi ukuran umbinya kecil. Setiap lubang
ditanam satu stek. Apabila kondisi lahan agak kering (kekurangan air),
maka setelah selesai penanaman sebaiknya pertanaman diairi agar stek
menjadi segar dan cepat tumbuh. Penanaman ubijalar secara tumpangsari
dapat dilakukan asalkan tingkat naungan kurang dari 30%. Penyulaman
stek dapat dilakukan pada saat tanaman berumur 7-10 hari setelah tanam.
Contoh pertanaman ubijalar dalam larikan pada guludan berumur sekitar
4 minggu disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12. Foto contoh pertanaman ubijalar umur


4 mst di atas gulud/baris tanaman.

Pemupukan. Tanaman ubijalar termasuk respon terhadap pemupukan.


Oleh karena itu, pada budidaya ubijalar, pemupukan menjadi penentu
produktivitas (Paturohman dan Sumarno (2015). Pada tanah-tanah yang
kurang subur, untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik dan
hasil yang tinggi pemupukan diperlukan. Unsur hara makro yang banyak
diperlukan oleh tanaman ubijalar adalah N dan K, sedangkan unsur P
diperlukan relatif sedikit (tergantung kondisi ketersediaannya di dalam
tanah). Hasil penelitian Basuki dan Guritno (1990) tentang pemupukan N,
P, dan K menunjukkan bahwa : (1) pupuk P tidak diperlukan pada
penanaman ubijalar di lahan sawah setelah padi yang dipupuk P secara

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 39


pengembangan
cukup, (2) pupuk N sebanyak 50 kg/ha + pupuk K sebanyak 60 kg K2O/ha
dinilai cukup untuk menghasilkan umbi cukup tinggi (> 35 t/ha) bila
diaplikasikan dua kali, yakni pada saat tanam dan sekitar 2 bulan setelah
tanam. Kasno et al. (1992) melaporkan bahwa respon varietas/klon ubijalar
terhadap pemupukan nitrogen berbeda. Tangkuman et al. (1994)
melaporkan bahwa berdasarkan penelitian selama 4 tahun di Kuningan
Jawa Barat, hasil umbi per hektar umumnya meningkat hingga pemu-
pukan N dengan takaran 80-100 kg/ha.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian mengenai pemupukan, maka
untuk budidaya ubijalar monokultur, dosis pemupukan yang disarankan
secara umum adalah 100-200 kg Urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl per
hektar (Taufiq et al., 2010); sedangkan menurut Paturohman dan Sumarno
(2015), secara umum anjuran pemberian pupuk untuk ubijalar adalah
pupuk N dengan dosis rendah hingga sedang (40-75 kg N/ha), pupuk P
dosis rendah (20-50 kg P2O5/ha), dan pupuk K dosis sedang hingga tinggi
(75-100 kg K2O/ha), dikombinasikan dengan pupuk kandang minimal 3-10
t/ha. Jumlah pupuk yang diperlukan secara tepat tergantung tingkat
kesuburan lahan dan spesifik lokasi. Sangat disarankan sebelum tanam
dilakukan analisis/uji kecukupan hara, minimal menggunakan alat PUTS
atau PUTK. Sukmasari et al., (2017) melakukan penelitian penggunaan
bakteri pelarut fosfat (BPF) dikombinasikan dengan dosis pupuk P pada
ubijalar. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah penggunaan BPF
meningkatkan serapan P dan efieiensi pemupukan P. Pemberian BPF
meningkatkan serapan P tanaman secara nyata dari 11,28 mg/tanaman
(pada perlakuan tanpa BPF + 36 kg/ha P2O5) menjadi 29,27 mg/tanaman
(pada perlakuan 50 kg BPF + 27 kg/ha P2O5), dan hasil umbi dari perlakuan
yang sama juga meningkat dari 11,56 menjadi 18,30 kg/petak. Dijelaskan
bahwa mikroba pelarut fosfat dapat mensubstitusi sebagian atau seluruh
kebutuhan hara P tanaman. Selain itu, pemberian inokulum BPF akan
memperbaiki struktur dan stabilitas agregat tanah sehingga memudahkan
penetrasi akar ke dalam tanah guna menyerap nutrisi yang tersedia.
Penelitian pemupukan pada pertanaman tumpangsari ubijalar
dengan kacang tanah juga telah lama dilakukan (Widodo dan Hartojo
1994) pada lahan tegal berpasir di Blitar. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemupukan dengan 100 kg Urea + 100 kg KCl + 20 t pupuk
40 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
kandang mampu menghasilkan umbi 23,31 t/ha untuk klon Taiwan, dan
19,17 t/ha untuk klon lokal Genjah Rante. Tanpa penambahan pupuk
(teknologi petani), hasil umbi sangat rendah yakni sekitar 13 t/ha. Bila
ditumpangsarikan dengan kacang tanah (di Kediri), hasil ubijalar turun
19%. Namun demikian, penurunan tersebut dapat digantikan dengan hasil
kacang tanah yang mencapai sekitar 1,2 t/ha polong kering. Pemberian
mulsa pada ubijalar dapat meningkatkan hasil umbi sekitar 14% tetapi
tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil kacang tanah.
Untuk mendeteksi apakah tanaman ubijalar mengalami kekurangan
unsur hara tertentu, dapat digunakan indikator tanaman yang mengalami
defisiensi/kekurangan unsur hara tertentu, seperti disajikan pada Gambar
13; sedangkan untuk mengetahui secara kuantitatif batas kritis kekurangan
atau keracunan unsur hara dapat digunakan hasil kajian O’Sullivan et al.
(1997) sebagaimana disajikan pada Tabel 7.

Kurang N Kurang P

Kurang K Kurang Ca

Gambar 13. Gejala visual tanaman ubijalar (utamanya pada


daun) yang mengalami kekurangan/defisiensi
unsur hara tertentu.
Sumber: O’Sullivan et al. (1997).
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 41
pengembangan
Tabel 7. Konsentrasi kritis unsur hara untuk defisiensi dan keracunan
serta kisaran kecukupan konsentrasi unsur hara untuk ubijalar.
. Unit/ Konsentrasi Kisaran Konsentrasi
Unsur hara Satuan kritis untuk cukup kritis untuk
defisiensi keracunan
Nitrogen % 4,0 4,2-5,0
Phosphor % 0,22 0,26-0,45
Kalium % 2,6 2,8-6,0
Kalsium % 0,76 0,90-1,2
Magnesium % 0,12a 0,15-0,35
Sulfur % 0,34 0,35-0,45
Khlor % - - 0,9-1,5
Besi mg/kg 33 45-80
Boron mg/kg 40 50-200 220-350
Mangane mg/kg 19 26-500 1600a
Zinc mg/kg 11 a 30-60 70-85
Tembaga mg/kg 4-5 5-14 15,5a
Molibdenum mg/kg 0,2 0,5-7
Sumber: O’Sullivan et. al. (1997).
Keterangan: diukur pada daun ke 7 hingga ke 9, dari contoh tanaman
berumur 28 hst (dari percobaan dengan kultur larutan)
aKonsentrasi kritis ini telah divalidasi dan kadang-kadang tidak konsis-

ten dengan observasi di lapangan, atau terlalu bervariasi dengan kon-


disi lingkungan; menunjukkan sangat relevan untuk dibahas kembali.

Pemeliharaan. Pemeliharaan tanaman terdiri atas pengendalian gulma,


perbaikan guludan, pengendalian organisme pengganggu, pembalikan
batang, dan pengairan. Operasional kegiatan disesuaikan dengan pola
pertumbuhan tanaman agar aktivitas organ tanaman tiap fase pertum-
buhan tidak terganggu. Periode kritis tanaman ubijalar terhadap gulma
adalah pada umur tanaman sekitar 2 bulan setelah tanam. Setelah periode
tersebut biasanya tanaman tumbuh dengan vigor sehingga cepat menutup
permukaan tanah dan menekan pertumbuhan gulma. Untuk mendapatkan
pertumbuhan dan perkembangan tanaman ubijalar secara baik, penyi-
angan perlu dilakukan dua kali, yakni pada sekitar 6 minggu setelah
tanam dan pada saat tanaman berumur 2 bulan, tergantung keadaan

42 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
gulma. Pada penyiangan kedua, sangat disarankan dilakukan perbaikan
guludan/pembumbunan dan pembalikan batang.
Pembumbunan dimaksudkan agar tanah pada guludan tetap
gembur dan cukup tinggi sehingga memungkinkan umbi dapat berkem-
bang dengan leluasa. Selain itu, pembumbunan dimaksudkan agar umbi
yang berkembang tidak keluar/muncul ke atas permukaan tanah atau ke
samping guludan. Hal tersebut penting guna menghindari/mencegah
serangan hama boleng (Cylas formicarius), yang merupakan hama
utama/penting ubijalar. Pembalikan batang berujuan untuk membatasi
menjalarnya batang ke segala jurusan dan terbentuknya umbi yang kecil-
kecil pada setiap ruas karena hal tersebut akan sangat mengurangi jumlah
dan ukuran umbi yang besar (umbi yang layak dipasarkan/dijual) yang
dapat menyebabkan rendahnya produksi (Setyono et al., 1995). Pada saat
yang bersamaan dengan pembalikan batang disarankan dilakukan juga
pemangkasan tajuk. Menurut Dimyati dan Zuraida (1992), pemangkasan
tajuk tanaman ubijalar tidak mempengaruhi hasil, bahkan daun dan
batang pangkasan dapat digunakan sebagai pakan ternak.
Pada budidaya ubijalar telah dilakukan penelitian tentang turun
gulud (pengeprasan guludan). Turun gulud bertujuan untuk menekan
pertumbuhan gulma, mengurangi jumlah umbi yang idak diharapkan
selain umbi utama, penggemburan tanah, dan memperbaiki aerasi tanah di
daerah perakaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggu-
nakan 20 klon ubijalar, turun gulud yang dilakukan pada saat tanaman
berumur satu bulan dan naik gulud (pengembalian tanah ke guludan
semula) pada saat tanaman berumur dua bulan ternyata justru menu-
runkan hasil umbi dibandingkan dengan tanpa turun gulud (Wahyuni et
al., 2017).
Aerasi tanah yang buruk di zona perakaran dapat menghambat
induksi dan pertumbuhan umbi. Pada kondisi perakaran tergenang,
pembentukan umbi sulit karena kekurangan O2. Salah satu solusi untuk
mengatasi masalah tersebut adalah penanaman ubijalar pada guludan,
terutama pada musim hujan. Pada tanah yang kompak/padat, pertum-
buhan umbi ke samping (membesar) terhambat, akibatnya umbi tumbuh
memanjang dan kadar seratnya meningkat. Dengan demikian, selain
produktivitasnya rendah, kualitas umbi juga rendah yang selanjutnya
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 43
pengembangan
berujung pada harga jual umbi yang rendah. Kondisi tersebut ditemui
pada pertanaman ubijalar pada tanah berat bukan guludan. Hal tersebut
memberikan gambaran bahwa pembuatan guludan pada penanaman
ubijalar berfungsi memperbaiki sifat fisik/struktur tanah agar tidak padat
sehingga dapat mencegah terhambatnya ekspansi umbi ke samping
(Wargiono dan Manshuri, 2012).
Cara budidaya ubijalar di Sumatera untuk ekspor ke Jepang telah
diidentifikasi oleh Gurning dan Haloho (2007). Pada prinsipnya komponen
budidaya meliputi pengolahan tanah, penyiapan lahan, pemupukan,
pengendalian gulma dan hama, sedangkan komponen pada pascapanen
meliputi sortasi hasil dan pengemasan. Secara rinci cara budidaya ubijalar
varietas Beny Azuma di Sumatera Utara untuk ekspor disajikan pada
Tabel 8. Dengan cara budidaya tersebut dilaporkan produktivitas ubijalar
yang dapat dipasarkan (marketable) masih jauh dari potensi hasil varietas.
Namun demikian, berdasarkan hasil analisis usahatani di daerah tersebut
mampu memberikan nilai R/C rasio 1,8 dan berarti menguntungkan.
Teknologi budidaya ubijalar pada lahan Pasang Surut Kalimantan Selantan
untuk ubijalar ekspor juga telah diidentifikasi, bahkan telah divalidasi
(Widodo et al., 2019). Dilaporkan bahwa untuk menghasilkan umbi cukup
tinggi diperlukan pupuk kandang sekitar 7,5 t/ha + dolomit 1 t/ha +
Phonska (N-P-K-S : 15-15-15-10) 200 kg/ha. Dengan teknologi tersebut hasil
ubijalar meningkat dari sekitar 17 t/ha (dengan cara/teknik kebiasaan
petani setempat) menjadi sekitar 25 t/ha.
Waktu penanaman disesuaikan dengan penggunaan dan agro-
ekologi serta pola konsumsi. Sebagai contoh adalah yang terjadi di
Kabupaten Garut (Jawa Barat), dimana ubijalar ditanam pada musim
kemarau dengan tujuan utama hijauannya sebagai pakan ternak
ruminansia karena sumber pakan berupa hijauan pada musim kemarau
terbatas, dan umbinya sebagai bahan pangan tambahan (biasanya untuk
sarapan dan makan sore) pada musim hujan sampai masa panen padi dan
palawija. Di dataran rendah Papua, pola konsumsinya adalah sagu-talas-
ubijalar, dan di dataran tinggi adalah gembili-ubijalar, sehingga ubijalar
monokultur ditanam pada musim hujan. Kondisi tersebut sekaligus
menunjukkan besarnya peran ubijalar sebagai bahan pangan dalam
diversifikasi pangan (Wargiono et al., 2001).
44 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
Budidaya ubijalar monokultur dalam sistem usahatani semi
komersial dan komersial umumnya dilakukan pada lahan sawah dan waku
tanamnya dipengaruhi oleh pola ketersediaan air. Pada musim kemarau
setelah padi musim hujan (rendengan) pada lahan sawah tadah hujan,
misalnya, pola rotasinya adalah padi-ubijalar. Di daerah yang ketersediaan
airnya untuk tanaman padi mulai pertengahan musim hujan, ubijalar
ditanam pada awal musim hujan dan pertengahan musim kemarau
dengan pola rotasi ubijalar-padi-ubijalar. Akan tetapi, bila air hanya
tersedia sekitar 50% dari luas areal untuk padi, maka diperlukan pergiliran
waktu tanam padi (Wargiono et al., 2012).

Tabel 8. Cara budidaya ubijalar varietas Beny Azuma di


Sumatera Utara untuk ekspor.
Komponen/Kegiatan Pelaksanaan
Pengolahan tanah 1x bajak dengan traktor
Kebutuhan bibit 40.000 stek/ha
Penyiapan lahan Digulud 60 cm x 30 cm, jarak antar
gulud 100 cm
Agroekologi Lahan kering pada musim hujan
(MH)
Jarak tanam 20 cm dalam guludan/barisan
Pupuk Urea 100 kg saat tanam + 30 hst
Pupuk SP36 50 kg saat tanam + 30 hst
Pupuk KCl 25 kg saat tanam + 30 hst
Pupuk NPK 25 kg saat tanam + 30 hst
Pengendalian gulma Penyiangan secara manual (2 bulan
setelah tanam) diikuti pembum-
bunan
Pemeliharan tanaman Pembalikan batang 2 kali (2 dan 4
bulan setelah tanam)
Pengendalian tikus Pengumpanan
Sumber: Gurning dan Haloho (2007).

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 45


pengembangan
Berkaitan dengan kondisi agroekologi, terutama mengenai
ketersediaan air dan pola tanam setempat, penanaman ubijalar secara
terus-menerus (ubijalar-ubijalar) perlu dihindari karena tidak memutus
siklus hidup hama dan penyakit. Selain itu, akar-akar ubijalar yang
tertinggal di dalam tanah dapat berdampak negatif pada tanaman
berikutnya karena mengandung senyawa alelopat. Senyawa tersebut bila
dilepas dan dibebaskan ke lingkungan perakaran tanaman akan saling
menekan dan dapat menurunkan produktivitas hingga 50%. Oleh karena
itu, penanaman ubijalar perlu digilir dengan tanaman pangan lainnya,
kecuali jagung, karena akarnya juga mengandung senyawa alelopat.
Usahatani ubijalar yang umumnya dilakukan pada lahan sawah
dengan sistem rotasi dengan padi adalah baik, dengan beberapa
keuntungan, yakni: (a) dapat memutus siklus hidup hama dan penyakit
padi maupun ubijalar, (b) dapat memperbaiki sistem perakaran padi
karena lapisan keras di bawah lapisan olah dapat terbongkar pada saat
pembuatan guludan ubijalar, sehingga produktivitas padi meningkat, (c)
residu pupuk dari pertanaman padi dapat dimanfaatkan oleh ubijalar, dan
(d) indeks panen lahan dan pendapatan petani meningkat (Wargiono et al.,
2001). Pola tanam ubijalar-ubijalar, walaupun secara finansial layak
berdasarkan B/C rasio 1,64, namun perlu dipertimbangkan karena siklus
hidup hama dan penyakit tanaman tidak terputus. Sebaliknya, pola tanam
rotasi ubijalar dengan padi dan jagung serta tumpangsari ubijalar + jagung
– kacang tanah juga layak secara finansial berdasarkan nilai B/C rasio
masing-masing 1,32 dan 1,90 serta 1,30 (Tabel 9).
Ubijalar umumnya juga ditumpangsarikan dengan jagung. Jagung
dapat dipanen muda (masak susu) maupun tua (masak fisiologis).
Kelemahan sistem tumpangsari adalah penurunan hasil karena adanya
kompetisi cahaya matahari dan hara serta kemungkinan adanya senyawa
alelopati dari tanaman utama yang dapat merugikan tanaman sela.
Namun demikian sistem tumpangsari memiliki keunggulan tertentu.
Keunggulan sistem tumpangsari tersebut dapat menjadi kekuatan internal
bila kompetisi antara tanaman utama dan tanaman sela dapat dimini-
malisir, sehingga penurunan produktivitas tanaman utama maupun
tanaman sela juga minimal.

46 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Dalam sistem tumpangsari ubijalar + jagung, walaupun hasilnya
menurun tetapi masih menguntungkan, baik dari segi teknis (memutus
siklus hama dan penyakit serta memperbaiki sifat fisik tanah) maupun
dalam efisiensi penggunaan lahan dan finansial. Efisiensi penggunaan
lahan berdasarkan perhitungan adalah 1,64 (Tabel 10) dan nilai hasilnya
lebih tinggi dibandingkan dengan pola rotasi ubijalar-padi monokultur,
namun lebih rendah dibandingkan dengan pola ubijalar-jagung mono-
kultur, karena pengaruh alelopati dalam sistem tumpangsari lebih kuat
dibandingkan dengan pola rotasi. Beberapa cara untuk meminimalisir
kompetisi tersebut adalah melalui pengaturan waktu tanam dan panen
serta letak/posisi tanaman pada guludan.

Tabel 9. Keragaan analisis input-output usahatani ubijalar


sistem rotasi dan tumpangsari.
Pola tanam Nilai (Rp. 000,--/ha)
Ubijalar-ubijalar:
Biaya produksi (Rp. 000,-/ha) 8.300
Hasil (18,5 t/ha + 8,9 t/ha) 21.920
B/C rasio 1,64
Ubijalar-padi:
Biaya produksi (Rp. 000,-/ha) 8.900
Hasil (19,6 t/ha + 2,5 t/ha) 20.680
B/C rasio 1,32
Ubijalar-jagung:
Biaya produksi (Rp. 000,-/ha) 8.000
Hasil (19,5 t/ha + 4,9 t/ha) 23.195
B/C rasio 1,9
Ubijalar+jagung – kacang tanah:
Biaya produksi (Rp. 000,-/ha) 9.190
Hasil (9,7 t/ha + 4,0 t/ha + 1,4 t/ha) 21.120
B/C rasio 1,3
Sumber: Wargiono et al. (1994 dalam Wargiono et al., 2012).

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 47


pengembangan
Menurut Wargiono et al. (2012), untuk memperbaiki tingkat
kompetisi antara jagung dengan ubijalar dapat diupayakan melalui: (a)
penanaman jagung sebulan sebelum ubijalar ditanam dan dipanen muda
(masak susu) sebagai jagung rebus/bakar, (b) jagung ditanam pada salah
satu sisi guludan dan dipupuk sesuai dengan kebutuhan jagung, dan (c)
akar jagung dibongkar bersamaan dengan pengeprasan sisi guludan
dalam kegiatan pemeliharaan. Fungsi pengeprasan sisi guludan adalah: (a)
memperbaiki aerasi tanah, (b) mengubur gulma di sisi guludan dan kanal
antargulud, (c) menyiapkan alur tempat pupuk susulan, dan (d)
membuang tunggul + akar jagung pada sisi guludan. Untuk meminimalisir
pengaruh alelopati dapat dilakukan dangan penggunaan pupuk organik.
Dijelaskan juga bahwa sistem tumpangsari dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan hara karena kepadatan akar (akar ubijalar + akar jagung)
pada zona perakaran.

Tabel 10. Hasil ubijalar dan jagung serta LER dalam sistem
tumpangsari.
Inikator Hasil (t/ha)
Hasil (t/ha)
Monokultur
Ubijalar 35,8
Jagung 7,4
Tumpangsari (ubijalar + jagung)
Ubijalar 28,8
Jagung 6,2
Nilai hasil (Rp.. 000,--/ha)
Monokultur
Ubijalar 26.850
Jagung 11.470
Tumpangsari
Ubijalar 21.600
Jagung 9.610
Total tumpangsari 31.210
Efisiensi penggunaan lahan (LER) 1,64
Sumber: Wan (1982 dalam Wargiono et al., 2012).
48 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
4.3. Hama/penyakit dan pengendaliannya.

Hama Tanaman Ubijalar

Meskipun pengendalian hama/penyakit pada dasarnya termasuk ke


dalam aspek budidaya, namun pada buku ini hama/penyakit dan
pengendaliannya sengaja dibuat subbab tersendiri (terpisah dari subbab
teknik budidaya), semata-mata karena aspek ini perlu perhatian sendiri.
Selain itu, di lapangan yang ada adalah “petugas pengamat hama/
penyakit”, dan tidak ada “petugas pengamat cara tanam atau petugas
pemupukan”, walaupun sebenarnya semua aspek penting karena pada
akhirnya bermuara pada capaian produktivitas dan produksi tanaman
yang tinggi.
Hama dan/atau penyakit merupakan faktor yang secara tidak
langsung dapat mempengaruhi tingkat produktivitas tanaman. Secara
lebih khusus serangan hama/penyakit menyebabkan kehilangan hasil
tanaman. Oleh karenanya, dalam budidaya tanaman, diperlukan penge-
lolaan hama/penyakit secata baik dan benar agar tidak terjadi kondisi
dimana serangan hama/penyakit melampaui ambang batas yang dapat
merugikan petani. Ulasan berikut adalah mengenai hama dan penyakit
penting pada ubijalar, gejala, bioekologi, dan cara pengendaliannya.
Saleh et al. (2015) telah mengidentifikasi dan melaporkan sebanyak
sembilan jenis hama, lima jenis penyakit pada tanaman ubijalar selama
prapenen, serta lima jenis penyakit simpanan/pascapanen penting pada
ubijalar. Kumbang ubijalar merupakan hama paling penting di dunia dan
spesies yang berbeda sangat mungkin terjadi pada lokasi geografi yang
berbeda. Di Amerika Selatan dan di beberapa lokasi lainnya, spesies yang
banyak ditemui adalah Euscepes postfasciatus (Coleoptera: Curculionidae).
sedangkan spesies di Asia adalah Cylas formicarus (Coleoptera: Brentidae).
Kini, hama C. formicarius secara ekstensif mendominasi di daerah tropis
(Lebot, 2009). Secara lebih lengkap, spesies-spesies hama yang banyak
menyerang ubijalar dan bagian tanaman yang menjadi sasaran disajikan
pada Tabel 11.
Ulasan megenai hama, bioekologi dan pengendalian, serta gambar
hama dan gejalanya pada ubijalar yang disampaikan pada buku ini
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 49
pengembangan
diambil/diadopsi semuanya dari tulisan Saleh et al. (2015). Sebagian besar
hama pada tanaman ubijalar berupa serangga (insekta), kecuali puru
tungau Eriophytes gastrotrichus yang termasuk kelas Acarina. Kerusakan
tanaman ubijalar akibat serangan hama dipengaruhi oleh jenis hama yang
menyerang, tingkat ketahanan tanaman terhadap hama, umur tanaman
waktu terjadi serangan, dan periode lamanya serangan hama. Bila tanaman
terlambat ditanam, peluang terjadinya serangan lebih lama sehingga
kehilangan hasil yang ditimbulkan akan semakin tinggi. Selain itu,
serangan beberapa hama juga dapat mengakibatkan penurunan kualitas
stek. Beberapa hama penting pada tanaman ubijalar adalah sebagai berikut.

Tabel 11. Hama utama pada ubijalar.

Spesies Nama umum Bagian tanaman sasaran


Umbi Batang Daun
Cylas formicarius Kumbang ubijalar (SPW) x x
C. brunneus SPW x x
C. puncticollis SPW x x
Euscepes postfasciatus SPW x x
Blosyrus spp. Kumbang kasar/Rough SPW x x
Alcidodes dentipes Kumbang bergaris/Striped x x
SPW
A. erroneus Kumbang bergaris/Striped x x
SPW
Omphysa anastomasalis Penggerek batang/Vine borer x
Diabrotica spp. x
Brachmia spp.
Ochyrotica fasciata x
Cosmopterix spp. x
Bemisia tabaci Sweetpotato whitefly x
Conoderes amplicolis Gulf wireworm x
Chaetocnema confinis Fleabeetles x
Acraea acerata Sweetpotato butterfly x
Agrius convulvuli Sweetpotato hornworm x
Sumber: Lebot (2009).

50 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
1. Kumbang Ubi Jalar, Cylas formicarius (populer disebut
“Hama Boleng”).

Awal terjadinya serangan adalah, imago betina meletakkan telurnya


satu per satu pada cekungan di dalam batang atau umbi. Telur tidak
mudah dilihat karena ditutup dengan bahan semacam gelatin yang
berwarna coklat. Telur berbentuk oval, berukuran panjang 0,65 mm dan
lebar 0,46 mm, berwarna putih jernih dan halus dengan permukaan tidak
rata pada saat baru diletakkan. Telur yang akan menetas berwarna krem
dengan noda kecil coklat tak beraturan. Larva berwarna putih, tidak
berkaki, dengan kepala berwarna coklat.
Serangga dewasa/kumbang berukuran panjang 5-7 cm, ramping,
halus, punggung keras, moncong panjang dan tumpul. Kepala, sayap
depan, dan perut berwarna biru metalik. Kaki dan rongga dada berwarna
coklat kemerah-merahan. Kumbang betina dan jantan dapat dibedakan
dari bentuk antena dan ukuran tubuhnya. Ujung antena pada kumbang
betina berbentuk gada, sedangkan pada kumbang jantan berbentuk
benang. Larva, imago, dan gejala serangan Cylas formicarius disajikan pada
Gambar 14. Kumbang makan/merusak daun bendera, daun-daun, batang
dan umbi dengan cara membuat lubang gerekan. Selain kumbangnya,
larva juga menggerek dan makan bagian dalam batang dan umbi yang
dicirikan dengan adanya kotoran yang ditimbun di sekitar lubang gerekan
dan bau yang khas. Umbi yang terserang hama ini tidak layak dikonsumsi
manusia maupun hewan, karena jaringan yang terserang menghasilkan
senyawa terpin yang berbau tidak sedap dan terasa pahit.

(a) (b) (c)


Gambar 14. Larva hama boleng (a), imago (b), dan gejala
kerusakan pada umbi.

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 51


pengembangan
Cara pengendalian yang disarankan antara lain: (1) rotasi tanaman
dengan tanaman bukan inang, (2) sanitasi lahan, yakni membershkan sisa-
sisa umbi atau batang yang terserang, (3) penggunaan stek pucuk (bukan
stek tengah atau pangkal), (4) pengairan lahan secara rutin, agar tanah
tidak retak yang memudahkan dimasuki kumbang, (5) menaikkan
guludan secara tepat waktu yakni sebelum kumbang muncul dan bertelur,
(6) panen lebih awal, karena serangan kumbang menurun secara nyata bila
di daerah endemis jadual panen dimajukan 1-2 minggu lebih awal, dan (7)
pencelupan stek sebelum tanam, dilanjutkan dengan penyemprotan agens
hayati Beuveria bassiana dan/atau insektisida permetrin, karbofuran, dan
karbosulfan bila populasi hama telah melampaui nilai ambang kendali.
Stathers et al. (2005) telah mengidentifikasi cara-cara budidaya (praktek
teknik budidaya tanaman/ cultural prctices) di beberapa negara untuk
pengendalian kumbang ubijalar, sebagaimana disajikan pada Tabel 12.
Pengendalian hama menggunakan biopestisida dalam satu dekade
terakhir menjadi perhatian dan mulai banyak diterapkan oleh petani. Hal
tersebut karena cara pengendalian tersebut dinilai berdampak jauh lebih
aman, baik kepada manusia maupun lingkungan, dan produk yang
dihasilkan jauh lebih sehat karena akan terbebas dari kemungkinan
adanya residu pestisida. Tantawizal dan Prayogo (2016) telah melakukan
penelitian efikasi Beauveria bassiana, cendawan entomopatogen yang efektif
mengendalian hama dari ordo Coleoptera, pada ubijalar. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa aplikasi cendawan entomopatogen B. bassiana
dengan kerapatan konidia 108/ml dengan cara disemprotkan ke
permukaan tanah dan bagian tanaman sebanyak 5 kali (pada tanaman
berumur 6, 8, 10, 12, dan 14 minggu setelah tanam) mampu menekan
populasi hama C. formicarius dan efektif mengurangi kerusakan umbi.
Hasil penelitian terbaru ditunjukkan oleh Prayogo dan Ika Bayu (2019)
pada pengendalian Cylas formicarius pada ubijalar menggunakan pestisida
nabati Be-Bas. Be-Bas adalah nama pestisida nabati/hayati yang telah
dipatenkan dengan nomor patent P00201605992 (Prayogo, 2016). Selain
digunakan pada ubijalar, Be-Bas telah digunakan untuk pengendalian
hama pada tanaman pangan lainnya, tanaman hortikultura, dan tanaman
perkebunan. Prayogo (2019) menyatakan bahwa serangan penggerek umbi
ini juga menjadi kendala utama pada peningkatan hasil ubijalar di
52 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
berbagai negara sentra produksi. Kerugian hasil yang disebabkan oleh
hama ini dapat mencapai 100%.

Tabel 12. Cara budidaya di berbagai negara untuk pengendalian


kumbang ubijalar.
Kulur teknis Lokasi diterapkan Hasil atau efektivitas
Pembumbunan Afrika Tmur, Pembumbunan harus dilaksanakan
Taiwan, Philippines, secara baik sebelum musim kering
Indonesia, Vietnam, dan sebelum serangga dewasa
India, Cuba, mencapai perakaran dan meletakkan
Amerika Selatan telur-telurnya.
Panen awal Afrika Timur, Panen 2 minggu lebih awal dapat
Vietnam, Cuba, mengurangi kehilangan hasil (umbi
Philippines, rusak akibat kumbang ubijalar) dari
Amerika Selatan >30% menjadi <5%
Penggunaan mulsa Afrika Timur, Penggunaan mulsa jerami padi
Taiwan, India, dapat mengurangi kerusakan umbi
Amerika Selatan akibat kumbang ubijalar. Permu-
kaan tanah perlu ditutup segera
setelah tanam dengan mulsa dan
harus terjaga hingga panen
Tumpangsari Philippines, India Lebih dari 100 jenis intercrop
(tumpangsari) telah diuji, dan hasil
terbaik diperoleh menggunakan
“coriander”
Irigasi secara rutin Phillipines, Taiwan, Menghindari retak tanah dan oleh
Amerika, Vietnam, karenanya efektif bagi petani
Indonesia dengan pengairan secara mencukupi
Sanitasi lahan Taiwan, Philippines Sanitasi lahan efisien jika diakukan
pada kawasan yang luas atau secara
bersama-sama. Akar yang terinfes-
tasi harus dipendam secara dalam di
dalam tanah (>15 cm).
Irigasi berlebih Indonesia Penjenuhan lahan lebih dari 48 jam
dapat membunuh larva yang ada di
daerah perakaran
Sumber: Stathers et al. (2009).

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 53


pengembangan
Be-Bas merupakan biopestisida yang mengandung bahan aktif
konidia cendawan entomopatogen Beauveria bassiana, yang diformu-
lasikan dalam bentuk tepung (powder) di dalam kemasan botol. Prayogo
(2019) menambahkan bahwa umbi yang sudah tergerek oleh C. formicarius
tidak layak dikonsumsi manusia karena mengandung toksin yang dapat
menyebabkan penyakit kanker. Sesuai dengan klasifikasi biopestisida
menurut The Environment Protection Agency (EPA) atau Lembaga
Perlindungan Lingkungan (LPL) dalam Kumar (2015), biopestisida Be-Bas
termasuk kedalam kelompok “microbial boipesticide” (biopestisida mikroba)
dan secara spesifik masuk dalam sub kelompok “fungal biopesticides” atau
bipestisida yang mengandung bahan aktif cendawan.
Biopestisida Be-Bas memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh
insektisida kimia, yaitu bersifat ovisidal (membunuh serangga pada stadia
telur). Selain itu Be-Bas toksik pada stadia larva/nimfa maupun stadia
imago. Be-Bas aman terhadap serangga berguna (predator dan parasitoid
pada stadia tertentu, binatang ternak/piaraan, tidak meracuni manusia dan
tidak mencemari sumber air serta aman terhadap lingkungan (Prayogo,
2019). Kawalekar (2013) menyatakan bahwa biopestisida memiliki target
spesifik dan tidak meninggalkan residu yang membahayakan. Hasil
pengamatan terhadap jumlah telur dan jumlah larva disajikan pada Tabel
13, dan kerusakan umbi dan bobot umbi per tanaman disajikan pada
Tabel 14. Aplikasi Be-Bas adalah sebagai berikut: larutan konidium
dengan densitas 107/ml disemprotkan pada pangkal/permukaan tanah
atau diaplikasikan pada lubang tanaman. Menurut Hubbard et al. (2014),
pada pestisida kimia sintetik, biasanya digunakan senyawa/bahan kimia
secara tunggal dengan cara kerja tunggal (a single mode of action), sementara
pada biopestisida memiliki cara kerja yang komplek atau holistik.
Data pada Tabel 13 dan 14 menunjukkan bahwa hama C. formicarius
yang hidup pada pangkal batang dan permukaan tanah dapat
dikendalikan menggunakan agen hayati B. bassiana. Mekanisme yang
terjadi adalah B. bassiana menghasilkan metabolit-metabolit dari miselium
dan conidium, yakni bassionalide, oosporin, beauvericin, dan
beauveriolides yang mampu (bersifat) meracuni aphids (aphicidal),
bersifat anti-feeding, menghambat produksi telur dan proses oviposition.

54 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Umbi yang rusak akibat C. formicarius dan yang tidak rusak ditunjukkan
pada Gambar 15.

Tabel 13. Jumlah telur dan larva C. formicarius setelah perlakuan


Be-Bas, insektisida kimia, dan tanpa perlakuan.
Perlakuan Jumlah Jumlah
telur larva
Be-Bas diaplikasikan pada lubang tanam 5,30 c 0,0 c
Be-Bas diaplikasikan pada pangkal batang/ 5,25 c 0,0 c
permukaan tanah
Stek direndam 30 menit dalam larutan Be-Bas 5,50 c 0,0 c
sebelum tanam
Aplikasi insektisida kimia*) 19,50 b 3,0 b
Tanpa perlakuan (kontrol) 23,50 a 7,0 a
Angka-angka sekolom yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata
pada uji DMRT (a=0,05).
*)Penyemprotan insektisida kimia berbahan aktif Lambda-cyhalothrin

mulai tanaman berumur 30 hari setelah tanam dan dilanjutkan


dengan interval 1 minggu.
Sumber: Prayogo dan Ika Bayu (2019).

Tabel 14. Kerusakan umbi akibat C. formicarius dan rata-rata bobot


umbi per tanaman akibat perlakukan pestisida nabati
(Be-Bas), insektisida kimia, dan tanpa perlakuan.
Kerusakan Bobot
Perlakuan umbi (%) umbi/
tnm. (g)
Be-Bas diaplikasikan pada lubang tanam 0,0 c 575,5 a
Be-Bas diaplikasikan pada pangkal batang/ 0,0 c 565,3 b
permukaan tanah
Stek direndam 30 menit dalam larutan Be-Bas 0,0 c 565,2 b
sebelum tanam
Aplikasi insektisida kimia 17,5 b 495,8 c
Tanpa perlakuan (kontrol) 60,5 a 495,9 c
Angka-angka sekolom yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata
pada uji DMRT (a=0,05).
Sumber: Prayogo dan Ika Bayu (2019).

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 55


pengembangan
Gambar 15. Umbi ubijalar yang tidak rusak (P1, P2, dan P3),
dan umbi yang rusak (P4 dan P5) akibat Cylas
formicarius.
Sumber: Prayogo dan Ika Bayu (2019).

2. Penggerek batang (Omphimisia anastomasalis).

Telur hama ini berbentuk oval berwarna kuning, diletakkan secara


berkelompok dalam celah batang atau di bagian tepi permukaan daun
bagian bawah. Terkadang sebaris telur yang terdiri dari 6 butir atau lebih
juga diletakkan di sepanjang tulang daun di permukaan bagian bawah.
Tubuh larva yang baru menetas berwarna kemerah-merahan dengan
kepala berwarna hitam. Setelah beberapa hari, warna larva berubah
menjadi kekuningan dengan bercak kehitaman pada sisi dorsal dan lateral.
Serangan hama ini dimulai dengan larva yang menggerek batang
utama dan kadang-kadang masuk ke dalam umbi. Serangan larva ditandai
dengan batang layu dan akhirnya mati karena adanya lubang gerekan
dalam batang. Serangan penggerek batang yang terjadi pada fase
pertumbuhan awal akan menghambat pembentukan umbi, karena
mempengaruhi translokasi unsur hara dan asimilat ke umbi. Gerekan
larva bisa sampai ke umbi dan menyebabkan umbi tidak laku dijual.
Gejala serangan dicirikan dengan adanya kotoran larva di dekat batang
yang terserang. Serangan hama penggerek batang dapat mengakibatkan
kehilangan hasil 30-50%. Gejala serangan hama penggerek batang O.
anastomasalis disajikan pada Gambar 16.

56 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
(a) (b) (c)
Gambar 16. Lubang gerekan pada pangkal batang (a), pupa
pada batang tanaman (b), dan kotoran ulat
menutup lubang gerekan pada batang (c).

Pengendalian hama penggerek batang ini yakni secara kultur teknis


dan pengendalian biologis. Pengendalian secara kultur teknis meliputi: (a)
menanam stek yang terbebas dari telur penggerek melalui seleksi stek
secara ketat, dan (b) sanitasi lahan dengan cara membersihkan lahan dari
pupa penggerek dan sisa batang ubi jalar setelah panen. Pengendalian
secara biologis yakni menggunakan pemangsa cecopet dan semut, serta
menggunakan parasit dari famili Encyrtidae (Himenoptera).

3. Puru (Tungau puru: Eriophyes gastrotrichus).

Tungau berukuran sangat kecil dan sangat sulit dilihat dengan mata
telanjang karena panjang badan hanya sekitar 148-160 um dan tebal 46 um.
Tungau berwarna putih agak jingga (orange), berbentuk silindris dan
meruncing di bagian ujung abdomen (pantat). Serangan puru terjadi pada
daun, tangkai daun, dan batang. Berat ringannya serangan dapat dilihat
dari kepadatannya. Pada serangan yang parah, puru bisa saling tumpang
tindih sehingga membentuk segerombol puru dengan tiga sampai
empat puncak. Di lapangan, gejala serangan terlihat pada semua varietas
dan klon-klon harapan serta dapat terjadi pada berbagai umur tanaman
ubi jalar. Serangan hama tungau puru disajikan pada Gambar 17.

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 57


pengembangan
(a) (b) (c)
Gambar 17. Bintil puru pada permukaan atas daun (a), puru
pada permukaan bawah daun (b), dan puru pada
batang dan tangkai daun (c).

Hasil pengujian 50 aksesi plasma nutfah ubijalar di Kebun Perco-


baan Kendalpayak Malang dengan investasi tanaman sumber menunjuk-
kan bahwa serangan tungau puru mampu menurunkan hasil sekitar 28%.
Adanya tanaman sumber di lapangan berpengaruh nyata terhadap
penyebaran serangan hama puru dan hasil umbi (Indiati et al., 2018).
Pengendalian hama tungau puru dapat dilakukan dengan cara kultur
teknis, yakni menanam stek yang terbebas dari puru melalui seleksi stek
yang ketat, dan sanitasi lahan dengan cara membersihkan gulma sebagai
inang dari tungau puru. Pengendalian secara mekanis adalah dengan
memotong bagian tanaman yang terserang puru, kemudian dibakar.

4. Penggulung daun (Brachmia covulvuli Wals).

Telur hama ini berbentuk oval putih kekuningan saat baru


diletakkan, dan berubah menjadi kuning kemerahmudaan pada saat mau
menetas. Telur diletakkan sendiri-sendiri pada sepanjang urat-urat daun
di permukaan atas atau di pucuk, setelah 3-5 hari telur akan menetas.
Larva yang baru muncul awalnya berwarna putih, kemudian berubah
menjadi kuning abu-abu polos. Pada instar ke dua, pola warna putih dan
hitam yang jelas pada kepala, dada, dan dua segmen perut mulai muncul.
Pada instar yang lebih tua, pola warna hitam menjadi meluas dan lebih
dominan sampai pada fase akhir larva.

58 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Larva menggulung daun dan dalam gulungan daun tampak jaring-
jaring berwarna putih. Larva memakan jaringan daun yang digulung.
Larva muda memakan permukaan atas daun dengan menyisakan
epidermis permukaan bawah daun. Setelah larva mencapai instar yang
lebih tua, akan memakan helai daun sehingga daun tampak berlubang
dengan menyisakan tulang-tulang daun. Areal daun yang telah terserang
biasanya akan berubah warna menjadi coklat dan banyak kotoran
berwarna kehitaman. Ulat, serangga dewasa dan gejala daun yang
menggulung disajikan pada Gambar 18. Pengendalian secara mekanis
adalah dengan memotong dan membuang daun yang terserang.

a b c

d
Gambar 18. Ulat (a), serangga dewasa B. convolvuli (b), daun
melipat yang telah terbuka, terdapat ulat dan ko-
toran di dalam lipatan daun (c), dan gejala daun
ubijalar yang melipat (d).

5. Kutu kebul/Whitefly (Bemisia tabaci Genadius).

Serangga dewasa kutu kebul berukuran kecil, lebih kurang panjang


1/25 inch, berwarna putih atau kuning pucat, dengan sepasang sayap
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 59
pengembangan
berwarna putih. Tubuh serangga ini seringkali ditutup dengan lapisan
atau serbuk lilin berwarna putih. Kutu kebul memiliki mata majemuk
berwarna merah. Serangga betina meletakkan telur di permukaan bawah
daun muda. Telur berwarna kuning terang dan bertangkai seperti kerucut.
Serangga muda (nimfa) yang baru keluar dari telur berwarna pucat,
tubuhnya berbentuk bulat telur dan pipih. Hanya instar satu yang kakinya
berfungsi, sedang instar 2 dan instar 3 melekat pada daun selama
pertumbuhannya. Hama ini mempunyai inang yang sangat luas,
diperkirakan menyerang lebih dari 500 jenis tanaman, dari famili
Compositae, Cucurbitaceae, Cruciferae, Solanaceae, dan Leguminoceae.
Serangga muda dan dewasa menghisap cairan daun dan akan
menyebabkan noda kuning pada permukaan daun bagian atas. Respon
pada beberapa klon ditunjukkan adanya pigmentasi ungu sehingga
menimbulkan noda berwarna ungu. Kutu kebul menghasilkan sekresi
embun madu yang merupakan medium cendawan jelaga, yang
menyebabkan permukaan daun tanaman sering tampak berwarna hitam.
Pada tanaman ubijalar, kutu kebul merupakan serangga penular penyakit
Sweet Potato Chlorotic Stunt Virus (SPCSV), Sweet Potato Leaf-Curl Virus
(SPLCV), dan Sweet Potato Mild Mottle Virus (SPMMV). Gejala serangan
kutu kebul dan bentuk serangga dewasanya disajikan pada Gambar 19.

(a) (b) (c)


Gambar 19. Gejala bintik klorotik daun ubijalar yang dihisap oleh B. tabaci
tabaci (a), gejala daun menguning di lapang (b), dan serangga
dewasa B. tabaci pada permukaan bawah daun (c).

Beberapa cara pengendalian yang disarankan adalah: (1) budidaya


tanaman sehat menggunakan stek pucuk yang sehat, pemupukan
berimbang, dan pemantauan lahan dan tanaman secara rutin, (2) penye-
60 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
baran beberapa musuh alami dari kelompok predator, meliputi kumbang
helm, sayap jala (Neurotere), larva lalat bunga (Syrphidae), dan parasit
dari ordo Himenoptera (tawon kecil) cukup efektif mengendalikan
populasi kutu kebul secara alami sehingga jarang terjadi lonjakan
populasi, (3) pengumpulan dan pemusnahan daun dan pucuk tanaman
yang terserang kutu kebul pada saat awal serangan karena penyebarannya
masih terbatas, dan (3) penyemprotan insektisida nabati dari rendaman
daun dan serbuk mimba 50 g/l dapat mengusir kutu kebul secara efektif.

6. Kepik coklat (Physomerus grossipes).

Serangga dewasa betina meletakkan kelompok telur pada permu-


kaan bawah daun atau pada batang. Periode telur sekitar 15 hari. Setelah
menetas, muncul nimfa muda yang aktif bergerak. Nimfa mempunyai lima
stadia dan untuk menjadi serangga dewasa jantan perlu waktu 85 hari,
sementara untuk dewasa betina perlu 88 hari. Serangga dewasa berwarna
coklat, memiliki panjang tubuh sekitar 20 mm. Selain ubijalar, serangga
kepik ini juga banyak menyerang tanaman krangkongan (E. latifolia). Cara
menyerangnya adalah : nimfa dan serangga dewasa mengisap cairan
batang dan tangkai daun ubijalar sehingga mengakibatkan tanaman layu
ataupun terhambat pertumbuhannya. Serangga kepik coklat dan kelom-
pok serangga dewasa disajikan pada Gambar 20. Cara pengendaliannya
adalah serangga yang berkelompok dalam jumlah besar (sedang makan)
dapat dikumpulkan secara manual, atau tanaman yang terserang dipotong
dan serangganya dimatikan.

a b
Gambar 20. Serangga dewasa sedang mengisap tangkai
daun (a), dan kelompok serangga dewasa
pada batang E. latifolia (b).
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 61
pengembangan
7. Uret/Lundi (Anomala cuprea, A. rufocuprea, Maladera
japonica, dll.)

Lundi mempunyai inang yang luas, bisa menyerang rumput liar


seperti Chenopodium dan Amaranthus. Larva lundi berukuran cukup besar,
gemuk, putih, badannya tembus cahaya, kepala berwarna coklat, dan me-
memiliki taring yang besar. Kaki berwarna coklat, terdapat pada rongga
dada. Larva membentuk kurva berbentuk huruf C. Imago memakan daun-
daunan dan juga dianggap sebagai hama pada tanaman hias.
Imago mulai terbang di sore hari pada pertengahan bulan Juni.
Mereka terbang ke cabang pohon dan semak dalam jumlah besar. Puncak
penerbangan umumnya terjadi sekitar pukul 21.00. Pada bulan Juli, imago
betina dewasa menghasilkan feromon sexs untuk menarik imago jantan
untuk kawin. Setelah imago jantan menemukan betina, terjadilah perka-
winan (dapat berlangsung hingga dua minggu). Setelah kawin, imago
betina menggali sebuah lubang kecil di tanah dan meletakkan hanya satu
telur per lubang. Untuk meletakkan telur, pada awalnya imago betina
mencari dan tertarik pada kondisi kelembaban tanah yang tepat dan
kondusif untuk pematangan telur. Imago betina meletakkan 3-5 telur per
malam. Telur menetas antara 7 sampai 10 hari, tergantung pada suhu dan
kondisi kelembaban tanah. Ketika telur menetas, lundi instar 1 muncul dan
memakan akar rumput selama dua minggu; lundi kemudian ganti kulit ke
instar 2 dan makan sekitar tiga minggu, kemudian ganti kulit lagi ke instar
3 dan terus makan dari pertengahan Agustus sampai memasuki tahap
pupa (istirahat/tahap transisi) pada dua minggu pertama bulan Juni tahun
berikutnya. Lundi/uret dewasa muncul pada pertengahan Juni, berwarna
putih, kemudian mengeras dan berubah warna menjadi coklat. Bila sudah
siap untuk terbang, mereka makan daun pohon-pohonan, namun tidak
sampai pada tingkat yang merusak. Bentuk larva uret/lundi dan gejala
kerusakan pada umbi dan akar tanaman disajikan pada Gambar 21.

62 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
a b
Gambar 21. Larva uret/lundi (a) dan gejala kerusakan pada
umbi dan akar tanaman ubijalar akibat serangan lundi (b).

Pengendalian hama ini dapat dilakukan dengan tiga cara, yakni


secara kultur teknis, biologis, dan mekanis. Secara kultur teknis adalah: (a)
rotasi tanaman dengan tanaman bukan inang, akan memutuskan siklus
hama, (b) pemberoan lahan, (c) tanam serempak, (d) sanitasi lahan, yaitu
membersihkan lahan dari sisa-sisa tanaman dan gulma, (e) membajak dan
menggaru lahan yang dalam dua kali sebelum tanam untuk memaparkan
telur dan lundi/uret ke pemangsa dan sinar matahari, (f) perendaman
lahan selama 48 jam sehingga dapat mematikan uret yang ada di dalam
tanah, dan (g) menumbuhkan tanaman yang sehat dengan cara nenanam
bibit yang baik, memberikan air dan pupuk secara cukup. Pengendalian
secara biologis adalah dengan penebaran jamur Metarhizium anisopliae.
Pengendalian secara mekanis adalah dengan mengambil, mengumpulkan,
dan mematikan uret; serta memasang lampu perangkap dengan tempat
penampungan yang diberi air sabun.

Penyakit pada ubi jalar.

Penyakit tanaman disebabkan oleh patogen yang berupa jazat yang


berukuran sangat kecil, antara lain: jamur, bakteri, mikoplasma, dan virus
tanaman. Patogen tersebut apabila menginfeksi tanaman selanjutnya
berkembang biak dan menyebar dalam tanaman, akhirnya tanaman
mengalami ketidaknormalan metabolisme yang terekspresikan dalam
bentuk hambatan pertumbuhan, perubahan warna, kematian sel/jaringan,
yang disebut gejala penyakit. Gejala penyakit pada ubijalar dapat dilihat
pada daun, batang, dan umbi. Infeksi virus bersifat sistemik, artinya virus
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 63
pengembangan
terdapat di seluruh jaringan tanaman terserang. Bibit yang diambil dari
tanaman yang terinfeksi virus akan mengandung virus dan tanaman yang
tumbuh dari stek tersebut juga terinfeksi virus. Penyakit yang diakibatkan
oleh patogen bersifat menular dari tanaman sakit ke tanaman di
sekitarnya. Selain menurunkan hasil, serangan penyakit juga dapat
mengurangi kualitas umbi ataupun bahan tanam (stek) ubijalar. Beberapa
penyakit penting pada ubijalar di Indonesia akan disampaikan di sini,
semuanya (ekobiologi, gejala serangan, gambar, dan pengendaliannya)
diambil dari tulisan Saleh et al. (2015).

1. Kudis (Sphaceloma batatas (Saw.).

Penyakit kudis termasuk penyakit sangat penting pada ubijalar.


Penyakit ini berkembang lebih baik dalam cuaca lembab dan sejuk. Oleh
karena itu, pengairan yang berlebihan harus dihindari. Penyebaran
penyakit adalah oleh spora jamur yang terdapat pada permukaan daun/
batang yang berkudis, yang tercuci dan terpencar oleh percikan air hujan.
Mula-mula kudis berupa bercak, kemudian membentuk benjolan
seperti kudis, biasanya terdapat pada tulang-tulang daun bagian bawah.
Jika cuaca mendukung, kudis tersebar sampai mencapai daun-daun yang
berada di pucuk, dan pucuk seperti terpilin dan tumbuh tegak. Gejala
tunas terpilin dan tumbuh tegak tersebut secara cepat dapat dilihat dari
jarak agak jauh. Penyakit kudis dapat menyerang tulang-tulang daun,
batang, dan pucuk tanaman, yang dicirikan dengan daun-daun yang
terserang menjadi kecil, berkerut (keriting) dan tidak membuka sepe-
nuhnya. Pada serangan berat, pucuk menjadi kerdil dan akhirnya mati.
Gejala penyakit kudis disajikan pada Gambar 22. Beberapa cara pengen-
dalian penyakit kudis adalah: (1) menanam varietas tahan, (2) sanitasi
lahan dengan memotong dan membakar atau mengubur batang/cabang
tanaman yang terserang penyakit kudis di dalam tanah, dan penyem-
protan menggunakan fungisida Clorotalonit, Dithane M-45 pada umur
satu hingga tiga bulan dengan interval waktu satu bulan.

64 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
a b c
Gambar 22. Gejala kudis pada pucuk tanaman, ditandai oleh daun
mengeriting (a), gejala kudis pada permukaan bawah
daun (b), dan gejala kudis pada batang dan tangkai
daun (c).

2. Bercak daun Phyllosticta (Phyllosticta batatas).

Penyakit bercak daun Phyllosticta banyak menyerang pada kondisi


yang lembab, terutama pada musim hujan. Jamur terutama menyerang
daun ubijalar di bagian bawah yang berdekatan dengan tanah. Penyakit
disebarluaskan melalui spora jamur dengan bantuan percikan air hujan
dan angin, dan mungkin oleh serangga. Umumnya jamur menyerang
daun yang tua. Sejauh ini kerugian hasil ubijalar akibat serangan
penyakit ini tidak diketahui tetapi karena menyerang daun maka meng-
akibatkan kualitas bahan untuk stek dan pakan ternak menjadi tidak baik.
Gejala pada daun terserang berupa luka berwarna keabu-abuan dan
batas coklat tua atau keunguan yang jelas, biasanya berdiameter kurang
dari 10 mm. Pada bagian pusat bercak sering terdapat bintik kehitaman
yang merupakan piknidia jamur. Gejala penyakit P. batatas disajikan pada
Gambar 23. Hingga kini belum ada teknologi pengendalian penyakit P.
batatas karena secara umum penyakit ini tidak banyak menimbulkan
kerugian. Penggunaan bahan stek sehat merupakan salah satu cara yang
sangat dianjurkan untuk mengendalikan penyakit ini.

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 65


pengembangan
a b
Gambar 23. Gejala penyakit bercak daun P. batatas (a) dan gejala
serangan berat, mengakibatkan daun menjadi kering
dan rontok (b).

3. Busuk batang Sclerotium (Sclerotium rolfsii).

Penyakit ini di Lousiana, Amerika, S. rolfsii mengakibatkan hawar


terutama pada pembibitan ubijalar dan dikenal dengan busuk batang atau
busuk pesemaian. Patogen terbawa oleh bibit ubijalar yang ditandai
dengan gejala busuk lunak, yang kemudian menginfeksi kecambah/tunas
yang muncul. Di Indonesia, penyakit busuk batang menyerang tanaman
ubijalar di lapang pada musim hujan, di mana lahan dan kondisi udara
lembab. Selain menyerang tanaman ubijalar, jamur ini juga menyerang
beberapa tanaman lain seperti tomat, terong, cabai, dan aneka kacang.
Gejala khas penyakit busuk batang adalah daun menguning dan
tanaman layu. Pada tanaman ubijalar, jamur hanya dapat menyerang salah
satu cabang, sementara cabang yang lain masih sehat. Pada kondisi ideal
yang mendukung perkembangan penyakit ini, selain gejala berupa busuk
pada batang, seringkali ditandai adanya miselia jamur berwarna putih dan
sklerotia jamur yang bulat, kecil seperti biji sawi. Bentuk gejala serangan
penyakit ini pada batang ubijalar disajikan pada Gambar 24. Penyakit ini
dapat dikendalikan dengan penggunaan bibit sehat (untuk menghindari
serangan pada pembibitan), pencelupan bibit/umbi dalam larutan fungi-
sida sebelum tanam, dan mengusahakan drainase secara baik.

66 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
a b
Gambar 24. Gejala serangan penyakit busuk batang, batang
membusuk ditumbuhi miselia jamur berwarna
putih (a) dan batang dan cabang tanaman ubi-
jalar berwarna coklat dan busuk (b).

4. Virus.

Di Indonesia, penelitian penyakit virus pada tanaman ubijalar masih


sangat kurang. Berdasarkan uji serologi dilaporkan bahwa paling tidak
terdapat enam jenis virus yang menyerang tanaman ubijalar yaitu: Sweet
Potato Feathery Mottle Virus (SPFMV), Sweet Potato Mild Mottle Virus
(SPMMV), Sweet Potato Chlorotic Fleck Virus (SPCFV), Sweet Potato Latent
Polyvirus (SPLV), Sweet Potato Virus-6 dan Sweet Potato Virus-8. Di antara
virus-virus tersebut, yang paling dominan adalah SPFMV.
Gejala infeksi virus pada tanaman ubijalar beragam, tergantung
jenis virus dan varietas ubijalar yang terinfeksi. Di lapang, seringkali satu
tanaman terifeksi oleh bermacam-macam jenis virus. Gejala yang umum
meliputi perubahan warna: bercak klorotik, mosaik, belang (mottle)
berwarna ungu, perubahan bentuk (malformasi) daun, dan terham-
batnya pertumbuhan (kerdil). Bentuk gejala tanaman terserang penyakit
virus disajikan pada Gambar 25. Beberapa cara pengendalian yang
disarankan adalah: (a) menanam varietas tahan, (b) menanam bibit yang
sehat, bebas infeksi virus, (c) rotasi tanamann (d) sanitasi dan eradikasi
tanaman sakit, dan (e) pengendalian vektor dengan pestisida.

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 67


pengembangan
a b c
Gambar 25. Gejala tanaman ubijalar terserang virus, berupa
bercak melingkar ungu (a), bercak klorotik (b),
dan mosaik pada daun (c).

5. Penyakit busuk lunak (Rhyzopus stolonifer).

Gejala awal yang nampak dari serangan penyakit busuk lunak di


lapang adalah pada kulit umbi yang terinfeksi terdapat semacam bercak
yang tenggelam dan mempunyai bentuk yang tidak teratur, berwarna
coklat muda sampai coklat kehitaman. Umbi yang terserang menjadi
lunak, berair, dan berserat-serat. Apabila umbi dibelah, pada bagian
berdaging awalnya umbi yang berwarna kuning akan berubah menjadi
warna putih dan lunak. Pada serangan yang parah, umbi akan rusak sama
sekali.
Gejala serangan busuk lunak di penyimpanan ditandai dengan
adanya umbi yang menjadi lunak, basah/berair serta mengeluarkan cairan
yang jernih jika jaringan yang busuk pecah. Jaringan yang busuk berwarna
coklat muda sampai coklat keabu-abuan. Busuk lunak ini biasanya
berawal dari salah satu ujung dan dapat berkembang dengan cepat bila
suhu dan kelembaban cocok. Dalam keadaan yang demikian, hanya dalam
waktu beberapa hari saja seluruh umbi dapat hancur. Visualisasi gejala
serangan penyakit busuk lunak disajikan pada Gambar 26.

68 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Gambar 26. Gejala serang penyakit busuk lunak R. Stolonifer.

Beberapa cara pengendalian yang disarankan adalah: (a) melakukan


panen secara hati-hati untuk mencegah terjadinya luka (merupakan cara
yang paling efektif), (b) menyimpan umbi di ruang simpan dengan suhu
55-60 oF, (c) menghindari penanganan umbi secara berlebihan karena akan
menimbulkan luka baru, (d) menggunakan fungisida setelah umbi
dipanen, dan (e) menghindari umbi terkena sengatan matahari untuk
mencegah luka bakar.

6. Busuk hitam (Certocystis fimbriata).

Serangan penyakit busuk hitam dapat terjadi baik di lapang


maupun pada penyimpanan. Pada kondisi tertentu penetrasi sudah
banyak yang terjadi di lapang, tetapi karena gejalanya masih sangat kecil
maka belum terlihat oleh mata telanjang. Apabila umbi disimpan pada
suhu dan kelembaban yang cukup tinggi, maka secara bertahap penyakit
tersebut berkembang, hingga setelah satu atau dua bulan terbentuklah
bercak yang mengendap berbentuk agak bulat dan berwarna hitam.
Meskipun bagian yang busuk biasanya dekat dengan permukaan
tetapi kadang-kadang dapat masuk ke dalam umbi sampai hampir
mencapai pusatnya. Di bawah bercak, daging umbi biasanya berwarna
hitam kebiruan. Bagian yang busuk biasanya menjadi padat dan tetap
dangkal. Pembusukan yang dalam biasanya disebabkan adanya organisme
lain. Penyakit ini berkembng cepat pada suhu 25 oC, dan akan berkurang
bila suhu meningkat. Gejala penyakit busuk hitam (C. fimbriata) dapat
dilihat pada Gambar 27.
Cara yang disarankan untuk pengendalian penyakit ini adalah: (a)
melakukan rotasi tanaman, (b) menggunakan lahan baru untuk
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 69
pengembangan
pesemaian, atau melakukan disinfeksi lahan persemaian bila lokasi yang
bersih tidak diperoleh, (c) menggunakan bahan tanam (stek) dari tanaman
sehat, (d) memperlakukan umbi segera setelah dipanen pada suhu 85-90 oF
dan kelembaban 85-90% selama 5-10 hari, (e) tidak mencuci atau
mengemas umbi yang menunjukkan gejala busuk hitam, dan (f)
melakukan dekontaminasi peralatan yang digunakan dan memfumigasi
ruang simpan.

Gambar 27. Variasi gejala penyakit busuk hitam (C. fimbriata)


pada umbi ubijalar.

7. Busuk permukaan atau Surface Rot (Fusarium oxysporum).

Proses terjadinya serangan penyakit ini diawali dengan penetrasi


yang terjadi pada pangkal rambut akar pada saat panen atau permulaan
penyimpanan. Gejala awalnya bercak hampir bulat pada permukaan umbi
yang bervariasi baik dalam jumlah maupun ukurannya dan bagian yang
busuk dangkal. Selanjutnya umbi mengerut, terutama pada tepi bercak,
akhirnya menjadi kering dan seperti mummi. Mulai saat infeksi sampai
timbul gejala tersebut perlu waktu 6-8 minggu. Busuk permukaan
berukuran kurang dari 1 inci, berwarna coklat kelabu dan bentuknya
teratur. Gejala penyakit busuk permukaan disajikan pada Gambar 28.
Beberapa saran cara pengendalian penyakit busuk permukaan
adalah: (a) melakukan tindakan sanitasi dan menangani hasil panen secara
lebih berhati-hati, (b) meminimalkan terjadinya luka pada umbi selama
panen, terutama bila kondisi tanah lembab, (c) mengasapi umbi segera
setelah dipanen, (d) mengendalikan nematoda dan serangga yang dapat
merusak kulit umbi, dan (e) menanam dengan stek yang bebas penyakit
dan mencelupkan stek dalam larutan fungisida.

70 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Gambar 28. Contoh gejala penyakit busuk permukaan (Surface
Rot) oleh Fusarium sp. pada umbi ubijalar.

Secara umum sering terjadi bahwa kegagalan dalam pelaksanaan


pengendalian melalui teknik budidaya dapat menyebabkan terjadinya
outbreak (peledakan atau kejadian yang sangat parah/luar biasa) hama dan
penyakit sehingga menyebabkan semakin banyak tanaman rusak. Oleh
karena itu usaha pencegahan atau preventif sangat disarankan kepada
petani. Lozano et al. (1981) telah mengusulkan beberapa cara pencegahan,
yakni: (a) penggunaan bibit sehat (bebas penyakit), (b) penggunaan
klon/varietas toleran, (c) menghindari penggunaan lahan yang terinfestasi
dengan serangga dan patogen tular tanah, atau menunda tanam hingga
populasi patogen sudah jauh berkurang, (d) penggunaan insektisida dan
fungisida secara selektif (yang tepat sasaran) untuk menghindari
kerusakan/kepunahan musuh alami, (e) aplikasi pestisida selektif hanya
dilakukan jika batas ambang kerusakan sudah terlewati, dan (f)
penerapan karantina dalam distribusi bibit untuk menghindari hama/
penyakit (termasuk penyakit akibat virus) di area/daerah yang belum
mengalami kerusakan akibat hama dan/atau penyakit.

4.4. Panen dan penanganan pascapanen.

Panen merupakan tahap akhir kegiatan budidaya (onfarm). Kegiatan


panen dapat berpengaruh terhadap tingkat kehilangan hasil dan kualitas
hasil panen, terutama komposisi kimia umbi segar maupun kualitas
tepung umbi yang dihasilkan. Panen yang dilaksanakan sebelum umbi
mencapai masak optimal, kandungan patinya masih rendah; sebaliknya
bila panen dilaksanakan pada saat umur umbi terlalu tua, kandungan
patinya telah menurun dan kandungan seratnya meningkat/tinggi.
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 71
pengembangan
Menurut Antarlina (1991), saat panen yang tepat kaitannya dengan
kualitas umbi yang baik adalah bila kandungan patinya tinggi dan
kandungan seratnya rendah. Untuk itu, panen pada saat yang tepat
dengan cara yang tepat sangat dianjurkan. Menurut Widodo dan
Rahayuningsih (2009), indikator waktu panen yang tepat untuk ubijalar
antara lain daun-daun pada tajuk yang saling menutup sesamanya mulai
menguning. Pada saat tersebut umbi sudah cukup tua (matang fisiologis),
yang dicirikan oleh kandungan tepung atau patinya maksimal. Pada
kondisi tersebut, apabila umbi direbus (dikukus) rasanya enak dan tidak
berair.
Menurut Wargiono (1980), beberapa faktor yang mempengaruhi
umur panen ubijalar adalah klon/varietas, kesuburan tanah, ketinggian
tempat (altitude), dan musim. Berdasarkan klon/varietas, umur panen
ubijalar yang disarankan adalah sesuai dalam deskripsi varietas (Tabel
Lampiran 1). Pada tanah-tanah yang kurang subur, biasanya siklus hidup
tanaman menjadi lebih lebih pendek atau tanaman cepat tua, sehingga
umur panen yang tepat biasanya lebih pendek dibandingkan bila ubijalar
ditanam pada kondisi tanah subur. Lokasi dengan altitude semakin tinggi
berakibat umur tanaman ubijalar bertambah. Harnowo dan Widodo (1994)
telah mengidentifikasi umur panen ubijalar di dataran tinggi (750 – 1.500
m dpl) adalah 5-7 bulan, sementara di dataran rendah (< 400 m dpl) adalah
berkisar 3,5–4,0 bulan.
Cara panen juga dapat mempengaruhi kualitas umbi. Ubijalar
biasanya dipanen dengan terlebih dahulu memotong/memangkas bagian
tanaman di atas tanah (batang, cabang, dan daun/hijauan) sekitar 15 cm
dari pangkal batang, kemudian hijauan tersebut dipindahkan dari guludan
untuk memudahkan pembongkaran/pengggalian umbi. Pembongkaran
umbi biasanya dilakukan menggunakan cangkul, atau cukup dicabut
secara manual dari sisa batang di atas tanah. Dilaporkan oleh Zuraida dan
Galib (1994), bahwa pemanenan dengan cara demikian memerlukan
tenaga kerja cukup banyak yakni sekitar 63 HOK/ha, urutan kedua
kebutuhan tenaga kerja setelah pengolahan tanah, yakni 115 HOK/ha.
Dengan semakin sedikit/menurunnya jumlah tenaga kerja di bidang
pertanian saat ini dan kemungkinan ke depan, yang berdampak pada
semakin mahalnya harga tenaga kerja per orang per hari (Hari Orang
72 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
Kerja/HOK) dan potensi menurunnya pendapatan usahatani ubijalar,
maka pemanenan ubijalar secara mekanis (menggunakan tenaga mesin)
di Indonesia selayaknya dapat dilakukan. Di beberapa negara-negara
produsen ubijalar (utamanya di Amerika), pemanenan ubijalar secara
mekanis menggunakan mesin telah dilakukan (Gambar 29).

Gambar 29. Panen ubijalar secara mekanis menggu-


nakan mesin/traktor.
Sumber: Edmunds et al. (2013).

Di Uganda, petani memanen ubijalar jika daun-daun pada batang


bagian bawah sudah menguning dan mulai mengering, atau dengan
mengamati beberapa umbi dengan membongkarnya dan ukuran umbi
sudah layak untuk dipanen. Panen biasanya dimulai 3-4 bulan setelah
tanam, tergantung varietas. Praktek panen yang dilakukan (terutama pada
musim kemarau) serupa dengan yang dilakukan di Indonesia, yakni
dengan terlebih dahulu memotong bagian di atas tanah) 3-7 hari sebelum
pembongkaran umbi. Pada musim penghujan, bagian di atas tanah tetap
dipertahankan hingga saat panen untuk menghindari investasi penyakit
pascapanen pada umbi selama di lapang (Abong et al., 2016).
Berdasakan resiko terjadinya kerusakan umbi pada saat panen
seperti dijelaskan di atas, yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa
kerusakan umbi selama pemanenan perlu dihindari (diusahakan
seminimal mungkin) karena akan berpengaruh terhadap kualitas umbi,
yang dapat berlanjut pada penurunan harga jual umbi segar. Umbi dalam
kondisi memar seringkali dijumpai dalam jumlah banyak setelah/akibat

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 73


pengembangan
proses panen. Curing adalah perlakuan penyembuhan umbi yang memar.
Penyimpanan umbi segar hingga beberapa waktu tertentu diperlukan dan
sangat bermanfaat bagi usaha pengolahan ubijalar untuk konsumsi
langsung, seperti direbus/dikukus atau digoreng, maupun untuk
pengolahan selai dan saos ubijalar (Ginting et.al., 2006). Dengan demikian
tujuan utama perlakuan curing adalah menyembuhkan memar akibat luka
sehingga umbi tersebut tetap dalam kondisi yang baik untuk dipasarkan
setelah disimpan beberapa waktu. Umbi yang telah sembuh tersebut juga
dapat digunakan sebagai bibit untuk musim tanam berikutnya. Prosedur
curing yang ideal adalah umbi disimpan pada suhu 29 oC dengan
kelembaban relatif 85-95% selama 4-7 hari. Meskipun dapat mengurangi
jumlah umbi yang busuk, tetapi curing dapat mengurangi bobot umbi
selama penyimpanan, namun tidak berpengaruh terhadap komponen gizi
umbi (Bouwkamp, 1985 dalam Yulifianti et al., 2012).
Meskipun penyimpanan melalui curing dapat memperpanjang daya
simpan, penyimpanan umbi segar dalam waktu lama tidak menguntung-
kan bagi industri pengolahan pangan berbasis ubijalar. Hasil penelitian
Antarlina dan Yusuf (2001) menunjukkan bahwa ubijalar segar yang
disimpan dengan cara curah/ditumpuk selama lima hari setelah panen
berakibat menurunnya rendemen tepung rata-rata 1,75% per hari.
Dinyatakan bahwa upaya penyimpanan/pengawetan umbi segar lebih
bermanfaat bagi usaha pengolahan untuk konsumsi langsung, seperti
direbus/dikukus, digoreng, atau untuk diolah menjadi selai, saos berbahan
baku ubijalar, dan produk olahan yang bukan dibuat dari tepung.
Hasil studi di Amerika juga menyebutkan bahwa penanganan
pascapanen ubijalar dari lahan petani hingga konsumen tidak boleh
diabaikan. Hasil studi tersebut juga menunjukkan bahwa kehilangan hasil
atau kerusakan umbi secara nyata terjadi, disebabkan penanganan
pascapanen yang tidak tepat dan berbagai faktor lainnya. Dilaporkan
bahwa secara rata-rata, 20-25% umbi rusak selama curing dan
penyimpanan, 5-15% umbi rusak selama transportasi dan selama
penjualan (retailing), dan 10-15% umbi mengalami kerusakan setelah
sampai di konsumen (Edmunds, et al., 2013).
Yang perlu mendapat perhatian terkait panen ubijalar untuk bahan
baku industri (misalnya saus dan tepung), dimana dibutuhkan jumlah
74 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
tertentu umbi segar secara harian, adalah kontinyuitas pasokan bahan
baku. Apabila di suatu daerah/wilayah, penanaman dilakukan hampir
bersamaan, maka nantinya dapat diprediksi akan terjadi saat panen yang
hampir bersamaan juga (akan terjadi over supply bahan baku) dan jatuhnya
harga umbi segar di tingkat petani. Pada saat tersebut petani pada kondisi
bargaining posision yang lemah. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan
pengaturan waktu tanam sedemikian rupa agar waktu panen tidak
bersamaan. Atau, perlu diupayakan menggunakan varietas ubijalar
dengan karakteristik umur panen yang berbeda. Peran instansi terkait di
Daerah sangat penting dalam mengupayakan kesadaran dan kesepahaman
antar Kelompok Tani di lapangan.

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 75


pengembangan
76 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
BAB 5.
PRODUK PANGAN OLAHAN

Produk-produk pangan olahan berbasis ubijalar penting disam-


paikan pada buku ini untuk menunjukkan besarnya potensi pengem-
bangan industri pangan olahan yang dapat dilakukan pada skala industri
rumah tangga maupun industri kecil dan menengah. Meskipun
pengolahan pangan dapat menyebabkan berkurangnya kandungan
beberapa zat kimia tertentu (terutama antosianin dan betakaroten), namun
pengolahan pangan tidak dapat dihindari untuk menjadikan bahan segar
hasil panen dapat dikonsumsi. El Husna et al. (2013) melaporkan bahwa
produk olahan ubijalar kukus memiliki tingkat penurunan kadar anto-
sianin paling rendah (34%) dibandingkan dengan produk olahan rebus
(71%). Hal tersebut disebabkan kontak dengan air pada proses pengu-
kusan adalah yang paling sedikit (antosianin adalah senyawa yang larut
dalam air). Selain itu, bahan yang dikukus hanya mencapai suhu 70 oC.
Berdasarkan aktivitas antioksidan pada ubijalar ungu pekat, produk
olahan yang digoreng menunjukkan nilai aktivitas antioksidan yang
paling tinggi (47%), sementara pada produk olahan yang dikukus adalah
25%, dan yang direbus 6%.
Berkembangnya industri olahan pangan diharapkan dapat menjadi
pemicu pengembangan produksi ubijalar on-farm dan peningkatan
pendapatan serta kesejahteraan petani. Penggunaan tepung ubijalar dalam
pembuatan berbagai produk pangan olahan berpotensi mengurang impor
tepung terigu karena bahan olahan pangan berbasis ubijalar mampu
mensubstitusi tepung terigu 75-100%. Teknologi pengolahan tepung
ubijalar telah tersedia dan dapat diterapkan pada industri rumah tangga di
pedesaan (Anonim, Tanpa Tahun/a; Antarlina et al., 2012), demikian juga
alat/mesin sederhana untuk proses pembuatannya (Sutrisno dan Ananto,
1999; Anonim, Tanpa Tahun/a; Hilman et al., 2005). Kadar tepung telah
diketahui bervariasi antar klon/varietas (Antarlina et al., 1995). Oleh karena
itu pemilihan klon/varietas yang berkadar tepung tinggi untuk pengem-
bangan industri pangan olahan berbasis tepung ubijalar menjadi penting.
Beberapa jenis produk pangan olahan berupa kue basah dan kue kering
dijelaskan di bawah ini, meliputi bahan, cara pembuatan, dan visualisasi

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 77


pengembangan
produknya; semuanya diambil dari resep yang dibuat oleh Ginting et al.
(2015) dan Balitkabi (2016b).

1. Onde-Onde dan Kue Mangkok Ubijalar.

(a). Onde-Onde Ubijalar.

Bahan:
Kulit: 2 kg pasta ubijalar ungu (umbi kukus yang dihaluskan), 250 g
tepung tapioka, 500 g tepung ketan, 200 g gula, ½ kg wijen, dan 300 ml
air hangat.
Isi: ½ kg kacang hijau (kupas kulit), 350 g gula pasir, dan ½ sdt garam.

Cara pembuatan:
Isi: (1) rendam kacang hijau kupas sekitar 60 menit, lalu kukus hingga
matang dan haluskan, (2) tambahkan gula pasir dan garam, aduk
hingga rata, dan (3) bentuk adonan menjadi bola-bola kecil.
Kulit: masukkan semua bahan, lalu tambahkan air secukupnya,
kemudian uleni hingga adonan kalis.
Onde-onde: (1) ambil adonan kulit, pipihkan dan isi dengan bol-bola
kacang hijau, bentuk menjadi bulatan (ukuran bulatan sesuai selera), (2)
lumuri bagian luar onde-onde dengan wijen, lalu goreng dengan api
kecil dan sesekali dibalik agar matangnya rata, dan (3) kalau sudah
mengapung di atas minyak, angkat onde-onde dan tiriskan.

(b). Kue Mangkok Ubijalar.

Bahan 1: 100 ml air kelapa, 50 g terigu, dan 1 sdm ragi instan.


Bahan 2: 400 g pasta ubijalar, 400 g tepung terigu, 400 g gula pasir,
2 butir telur, 1 sdt vanili, 200 ml santan kental, dan ½ sdt garam.
Cara pembuatan: (1) campurkan semua bahan 1, diamkan selama 20
menit, (2) campurkan semua bahan 2, uleni hingga kalis, (3) tambahkan
bahan 1 ke bahan 2, diamkan selama 60 menit, (4) buang gas yang ada
dalam adonan dengan cara diaduk-aduk hingga adonan rata kembali,
dan (5) masukkan adonan ke dalam cetakan yang sudah disiapkan, lalu
78 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
kukus selama 15 menit. Visualisasi Kue Onde-Onde dan Kue Mangkok
ubijalar disajikan pada Gambar 30.

A B B
Gambar 30. Onde-Onde (A) dan Kue Mangkok (A dan B) Ubijalar.

2. Ice Cream dan Kue Pukis Ubijalar.

(a). Ice Cream Ubijalar.


Bahan: 150 g (1 sachet) DP (bahan es krim komersial), 1 kaleng susu
kental manis, 600 ml air rebusan ubijalar ungu, 15 g tepung ubijalar
ungu.
Pembuatan air rebusan ubijalar ungu: (1) ambil 1 kg umbi ubijalar
ungu segar, cuci bersih, lalu iris-iris, kemudian masukkan ke dalam 2 l
air yang telah mendidih selama 20 menit, dan (2) saring ubi jalar ungu,
dinginkan lalu simpan di dalam lemari es selama 1 hari.
Pembuatan es krim: (1) campurkan air rebusan ubijalar ungu dan susu
kental manis, mixer dengan kecepatan rendah, (2) tambahkan DP dan
tepung ubijalar, mixer dengan kecepatan sedang, (3) setelah semua
tercampur, naikkan kecepatan mixer, aduk sampai volume es krim 3
kali volume awal, (4) masukkan adonan es krim ke dalam cup/wadah
es krim, dan (5) bekukan di dalam freezer selama sekitar 24 jam.

(b). Kue Pukis Ubijalar.


Bahan: 150 g pasta ubijalar kuning (umbi kukus yang dihaluskan), 150
g tepung terigu, 1 sdt ragi instan, 50 g gula pasir, 1 butir telur (dikocok),
200 ml santan kental, dan 50 g margarin.

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 79


pengembangan
Cara pengolahan: (1) campurkan pasta, tepung terigu, ragi instan,
dan gula pasir, (2) masukkan santan dan telur yang sudah dikocok,
lalu diaduk sampai rata, (3) masukkan margarin yang telah
dilelehkan dan diamkan selama sekitar 30 menit, dan (4) panggang
dalam cetakan sampai matang. Visualisasi Ice Cream dan kue Pukis
ubijalar disajikan pada Gambar 31.

A B
Gambar 31. Ice Cream (A) dan kue Pukis (B) Ubijalar

3. Kue Lumpur dan Donat Ubijalar.

(a). Kue Lumpur Ubijalar.

Bahan: 200 g pasta ubijalar kuning (umbi kukus yang dihaluskan), 50 g


tepung terigu, 25 g gula pasir, 1 butir telur (dikocok), 200 ml santan
kental, dan 50 g margarin.

Cara pembuatan: (1) campurkan pasta, tepung terigu, dan gula pasir,
(2) masukkan air santan dan telur yang sudah dikocok, lalu diaduk
sampai rata, (3) masukkan margarin yang telah dilelehkan dan
diamkan sekitar 30 menit, dan (4) panggang cetakan yang telah berisi
adonan (no. 3) dalam oven sampai matang.

(b). Kue Donat Ubijalar.

Bahan: 150 g pasta ubijalar kuning (umbi kukus yang dihaluskan), 350
tepung terigu, 1 sdt ragi instan, 50 g gula pasir, 1 butir telur, dan 100 g
margarin.

80 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Cara pembuatan: (1) campurkan semua bahan, uleni hingga kalis, lalu
diamkan selama 1 jam, (2) bentuk adonan sesuai selera, diamkan
selama 10 menit, dan (3) goreng hingga kuning kecoklatan. Visualisasi
kue Lumpur dan Donat ubijalar disajikan pada Gambar 32.

A B
Gambar 32. Kue Lumpur (A) dan Donat (B) Ubijalar.

4. Sweet Potato Stick dan Kue Kering Lidah Kucing.

(a). Sweet Potato Stick.

Bahan: 100 g pasta ubijalar ungu (umbi kukus yang dihaluskan), 250 g
tepung ketan, 50 g gula pasir, 2 butir telur, 50 g margarin, dan 20 ml air.

Cara pembuatan: (1) mixer telur dan gula, kemudian masukkan tepung
ketan, air, pasta ubi jalar ungu, margarin yang sudah dicairkan, dan
garam, lalu aduk hingga rata, dan (2) cetak adonan (bentuk seperti
stick), lalu goreng hingga matang.

(b). Kue Kering Lidah Kucing.

Bahan: 125 g tepung ubijalar, 125 g tepung terigu, 200 g gula halus, 250
g margarin, 4 butir telur, dan ½ sdt vanili.

Cara pembuatan: (1) kocok margarin, gula halus, dan vanili hingga
lembut, (2) sambil dikocok, masukkan putih telur sedikit demi sedikit
sampai habis, (3) masukkan tepung ubijalar dan terigu ke dalam
adonan hingga tercampur rata, (4) masukkan adonan ke dalam plastik,
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 81
pengembangan
potong bagian ujung plastik sebesar jari kelingking, (5) cetak adonan di
atas loyang dengan panjang sekitar 5 cm, dan (6) oven dengan suhu ±
150 oC hingga berwarna kuning kecoklatan. Visualisasi kue kering
Sweet Potato Chip dan Lidah Kucing disajikan pada Gambar 33.

A B
Gambar 33. Kue kering Sweet Potato Stick (A) dan
Lidah Kucing (B).

5. Butter Cookies dan Brownies Kukus Ubijalar.

(a). Butter Cookies Ubijalar.

Bahan: 300 g tepung ubijalar, 100 g tepung terigu, 200 g gula halus,
200 g margarin, 4 butir kuning telur, ½ sdt vanili, dan 1 sdt soda
kue.
Cara pembuatan: (1) kocok margarin, gula halus, kuning telur, dan
vanili hingga lembut, (2) campurkan tepung terigu, tepung ubi
jalar, dan soda kue, masukkan sedikit demi sedikit ke dalam
adonan, aduk dengan menggunakan sendok hingg rata, (3) cetak
butter cookies sesuai selera dengan cetakan, kemudian olesi
permukaannya dengan kuning telur, dan (4) oven hingga matang
(berwarna kuning kecoklatan).

(b). Brownies Kukus Ubijalar.

Bahan: 75 g tepung ubijalar ungu, 75 g tepung terigu, 5 butir telur,


150 g gula pasir, 20 g coklat bubuk, 1 sdt TBM, ½ sdt baking

82 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
powder, 50 ml susu kental manis, 100 g coklat masak, dan 200 g
margarin.

Cara pembuatan: (1) campurkan telur, gula, dan TBM, lalu kocok
hingga mengembang, (2) masukkan tepung terigu, tepung ubi
jalar, coklat, dan baking powder ke dalam adonan dan aduk
hingga rata, (3) tambahkan susu kental manis, coklat, dan
margarin yang sudah dilelehkan, lalu aduk hingga rata, (4) tuang
adonan ke dalam loyang yang sudah diolesi margarin, lalu taburi
dengan tepung terigu, dan (5) kukus selama 30 menit hingga
matang. Visualisasi Butter Cookies dan kue Brownis Kukus
ubijalar disajikan pada Gambar 34.

A B
Gambar 34. Butter Cookies (A) dan Kue Brownies
Kukus (B) Ubijalar.

6. Selai Ubijalar Rasa Nenas, Anggur, dan Mangga.

Bahan utama: 500 g ubijalar ungu + 500 g anggur (untuk ras anggur),
500 g ubijalar kuning + 500 g nenas (untuk rasa nenas), dan 500 g ubi
jalar kuning/oranye + 500 g mangga (untuk rasa mangga).
Bahan tambahan: 500 ml air, 550 g gula pasir, 3 g asam sitrat, dan 2 g
pektin komersial.

Penyiapan botol kemasan: (1) cuci botol dan tutupnya hingga bersih,
(2) keringkan botol dan tutupnya di dalam oven pada suhu 100 oC
selama 2 jam, dan (3) botol yang sudah kering dan steril harus segera
digunakan.

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 83


pengembangan
Cara pembuatan selai: (1) cuci bersih ubijalar (ungu/kuning/ oranye),
kemudian dikukus 30 menit, (2) anggur dicuci dan dipotong-potong
(bila ingin rasa anggur), untuk nenas dan mangga dikupas dan
dipotong kecil-kecil (bila ingin rasa nenas atau mangga), (3) ubijalar
kukus dikupas kulitnya, dipotong kecil-kecil, kemudian diblender
bersama anggur/nenas/mangga dan ditambah air 500 ml, kemudian
tuang ke dalam panci enamel, (4) tambahkan gula, asam sitrat, dan
pektin, lalu panaskan dengan api sedang selama sekitar 25 menit
sampai mengental, dan (5) angkat dan masukkan selai ke dalam botol
steril dalam kondisi masih panas.

Pasteurisasi: (1) botol yang telah berisi selai dikukus selama 20 menit di
dalam panci dengan keadaan tutup botol setengah terbuka; setelah 20
menit diangkat dan ditutup rapat-rapat, dan (2) untuk menggunaan
jangka panjang, selai sebaiknya disimpan dalam kulkas. Visualisasi
Selai ubijalar tiga rasa disajikan pada Gambar 35.

Gambar 35. Selai ubijalar rasa nenas,


anggur, dan mangga.

7. Es Puter Ubijalar Ungu dan Mie Ubijalar Orange/Ungu.

(a). Es Puter Ubijalar Ungu.

Bahan: ½ kg pasta ubijalar ungu (umbi kukus yang dihaluskan), 1 liter


santan, dan 250 g tape ketan/kelapa muda serut.

84 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Cara pembuatan: (1) rebus air santan dan gula sampai mendidih, lalu
biarkan hingga dingin, (2) blender pasta ubijalar dengan air rebusan
tadi, lalu masukkan tape ketan/kelapa muda, dan (3) masukkan es
puter ke dalam freezer, setelah agak beku dimixer; lakukan hingga 2-3
kali, dan es puter ubijalar ungu siap dihidangkan.

(b). Mie Ubijalar Oranye/Ungu.

Bahan: 60 g tepung ubijalar oranye/ungu, 120 g tepung terigu, 20 g


tepung tapioka, 2 butir telur (dikocok), 2 g garam, dan 1 sdt soda kue.

Cara pembuatan: (1) campurkan semua bahan, aduk hingga rata, (2)
bentuk campuran yang telah diaduk rata tersebut menjadi lembaran
dengan menggunakan alat penggiling mie/molen. Setelah permukaan
lembaran rata dan halus, cetak menjadi bentuk mie dengan
menggunakan alat penggiling mie/molen, (3) kukus selama 3 menit
dengan posisi menggantung tegak, dan (4) oven pada suhu 70 oC
selama 4 jam dengan posisi tegak, lalu keluarkan dari oven dan
dinginkan. Mie siap untuk dikemas. Visualisasi Es Puter Ubijalar Ungu
dan Mie Ubijalar disajikan pada Gambar 36.

A B C
Gambar 36. Es Puter Ubijalar Ungu (A), Mie Ubijalar Orange (B),
dan Mie Ubijalar Ungu (C).

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 85


pengembangan
86 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
BAB 6.
PROSPEK PENGEMBANGAN UBIJALAR

6.1. Terkait produksi ubijalar (onfarm).


Sasaran pengembangan ubijalar adalah pemenuhan permintaan
untuk pangan, pakan, bahan baku industri, serta potensi permintaan
ekspor secara berkelanjutan. Untuk mencapai sasaran tersebut perlu
dilakukan upaya dan aksi melalui peningkatan produksi, kinerja sosial
ekonomi, dan peran kelembagaan, baik untuk sasaran jangka menengah
(10 tahun ke depan) maupun jangka panjang (20 tahun ke depan).
Menurut Pusdatin (2016), produksi ubijalar nasional pada tahun 2020
diharapkan mencapai 2.715.825 ton; sedangkan pada tahun 2030 produksi
ubijalar diharapkan menjadi 5 juta ton. Produksi sebanyak itu diharapkan
dapat memenuhi permintaan untuk pangan yang meningkat dengan laju
1,69%/tahun. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, kebutuhan
ubijalar untuk memenuhi potensi ekspor di masa mendatang juga cukup
besar (Suyamto et al., 2012). Semua itu mengindikasikan bahwa pengem-
bangan produksi ubijalar, baik untuk jangka menengah maupun jangka
panjang masih diperlukan, yang berarti bahwa prospek pengembangan
produksi ubijalar terbuka luas. Adapun strategi untuk mencapai sasaran
produksi tersebut di atas adalah meningkatkan produksi melalui intensi-
fikasi, ekstensifikasi, dan kombinasi keduanya.
Pada peningkatan produksi secara intensifikasi (dengan asumsi luas
tanam dan luas panen stagnan), sasaran produksi dapat dicapai bila
produktivitas di tingkat petani meningkat dengan laju sekitar 5%/tahun,
yakni menjadi sekitar 30 t/ha pada tahun 2030. Berdasarkan fakta selama
10 tahun terakhir (2010-2019), target peningkatan produktivitas tersebut
sulit direalisasikan walaupun didukung oleh kekuatan internal seperti
potensi genetis (potensi hasil varietas unggul baru) melalui pengelolaan
tanaman secara optimal, karena deviasi penggunaan teknologi inovatif
masih cukup besar yakni antara 17-78%. Potensi genetis tersebut dapat
dicapai bila usahatani ubijalar dapat dilakukan secara komersial. Hal
tersebut didasarkan pada perilaku petani komersial yang responsif
terhadap perubahan harga ubi segar dan produk turunannya, baik di
pasar domestik maupun di pasar global. Oleh karena itu, untuk
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 87
pengembangan
mencapai sasaran produksi tersebut perlu didukung oleh pengembangan
industri regional untuk memacu berkembangnya usahatani komersial.
Berdasarkan data Kementan (2018), luas pertanaman ubijalar terus
menurun, mengindikasikan bahwa peningkatan produksi secara
ekstensifikasi dengan laju hingga 2,5%/tahun untuk mencapai target
produksi tersebut di atas nampaknya juga sulit diimplementasikan.
Sasaran produksi lebih berpotensi diwujudkan jika laju peningkatan
produksi diturunkan menjadi 3,5%/tahun untuk produktivitas dan
1,5%/tahun untuk luas areal tanam. Namun demikian, Mulyani dan Agus
(2017) menyatakan bahwa lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan
nasional dan realita ketersediaan lahan cadangan menjelang tahun 2045
masih cukup. Berdasarkan perhitungannya, khusus untuk ubijalar,
kebutuhan lahan kering adalah 54.000 ha, sedangkan ketersediaan dan
kesesuaiannya adalah 44.000 ha, maka kekurangan lahan kering mencapai
10.000 ha. Kekurangan tersebut sangat berpotensi dipenuhi dari keter-
sediaan lahan kering potensial yang masih cukup yakni mencapai sekitar
1,14 juta ha yang tersebar di Sumatera, Jawa, Bali dan NTT, Sulawesi, dan
Papua (Mulyani et al., 2017).
Prospek pengembangan ubijalar dapat diukur berdasarkan faktor
internal (potensi dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan
ancaman). Untuk mendapatkan peta kinerja prospek pengembangan perlu
ditentukan bobot, skor, dan nilainya serta menghitung resultante dari
kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman. Perhitungan untuk
menentukan resultante dilakukan terhadap setiap faktor untuk aspek
produksi, sosial ekonomi, dan kelembagaan, sebagaimana dijelaskan oleh
Sianipar dan Entang (2001). Peluang yang cukup besar terhadap usaha
industri tepung ubijalar telah disampaikan oleh Anonim (Tanpa Tahun/a)
demikian juga untuk usaha kue ubijalar (Anonim, Tanpa Tahun/b). Contoh
perhitungan untuk menentukan strategi pengembangan agroindustri
pengolahan ubijalar telah dilakukan oleh Edvan (2019), terutama agro-
industri pengolahan tepung, di Provinsi Lampung. Disimpulkan bahwa
strategi yang tepat untuk pengembangan tepung ubijalar adalah ‘strategi
intensif’, dengan prioritas berupa penetrasi pasar, kemudian pengem-
bangan pasar, dan disusul pengembangan produk. Pada buku ini,
perhitungan untuk mendapatkan nilai kuantitatif resultante berdasarkan
88 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
faktor internal dan eksternal tidak disampaikan. Yang akan disampaikan
di sini adalah kesimpulan dari hasil perhitungan tersebut, seperti yang
telah dijelaskan secara rinci oleh Suyamto et al. (2012), yakni:

1. Pengembangan ubijalar berdasarkan aspek produksi cukup prospektif


karena peluangnya cukup besar, namun diperlukan kebijakan dan
strategi untuk mengatasi kelemahan internal, yakni upaya peningkatan
produktivitas melalui intensifikasi, dengan tetap menguntungkan
petani secara ekonomi usahatani.
2. Pengembangan ubijalar berdasarkan aspek sosial ekonomi cukup
prospektif karena potensinya cukup besar, walaupun diperlukan kebi-
jakan dan strategi untuk mencegah ancaman eksternal, yakni persa-
ingan akibat membanjirnya produk olahan dari luar negeri.
3. Pengembangan ubijalar berdasarkan aspek kelembagaan juga cukup
prospektif, namun diperlukan kebijakan dan strategi agar dominasi
hambatan untuk faktor internal dan eksternal dapat diatasi.

Pengembangan ubijalar dalam bentuk integrasi tanaman dengan


ternak menjadi sebuah sistem pertanian bioindustri berkelanjutan juga
memiliki prospek baik. Hal tersebut didukung potensi ubijalar (terutama
daunnya) sebagai bahan pakan ternak bermutu tinggi (Kebede et al., 2008;
Khalid et al., 2013; Ketaren dan Yusuf, 2012; Sirait dan Simanihuruk, 2010).
Contoh implementasi integrasi tanaman ubijalar dengan ternak telah
dilaporkan oleh Haloho (2016) di Kepulauan Nias, Sumatera Utara dan
oleh Usman et al., (2016) di Dataran Tinggi Jayawijaya, Papua. Sistem
pertanian bioindustri berkelanjutan/SPBB (Biroren-Sekjen Kementan, 2014)
memandang revolusi hayati (biorevolution) sebagai pengganti teknologi
revolusi hijau sebagai basis pertanian dalam menuju pertanian Indonesia
yang bermartabat, mandiri, maju, adil, dan makmur; dengan visi “terwu-
judnya sistem pertanian-bioindustri berkelanjutan yang menghasilkan
beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumber-
daya hayati pertanian dan kelautan tropika”.
Perbaikan dalam aspek kelembagaan sangat penting dan tidak boleh
dikesampingkan dalam mendukung pengembangan ubijalar. Kebijakan

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 89


pengembangan
yang diperlukan terkait aspek kelembagaan untuk mendukung
pengembangan ubijalar onfarm yakni:
a. Peningkatkan kinerja penyuluhan pertanian yang tidak bias hanya
kepada tanaman superior, serta mendorong terwujudnya kerjasama
antarsektor yang terkait dengan pengembangan ubijalar,
b. Pembinaan dan fasilitasi kelompok tani agar proses alih teknologi
dapat optimal dan petani dapat memilih teknologi inovatif yang secara
ekonomi menguntungkan,
c. Fasilitasi dan pembinaan P3A agar kinerjanya meningkat dan pola
rotasi padi-ubijalar dapat berkembang, sehingga permintaan ubi segar
untuk mendukung program diversifikasi pangan terjamin,
d. Perbaikan sistem pemasaran produk melalui pola kemitraan antara
petani pemasok bahan baku dengan industri berbahan baku ubijalar
segar berbasis kuota, dan
e. Tetap mempertahankan bahkan lebih mengembangkan potensi pasar
ubijalar, baik di dalam negeri maupun luar negeri (ekspor) melalui
perluasan promosi secara lebih massif.

6.2. Terkait pengembangan agroindustri pangan olahan.

Anonim (Tanpa Tahun/b) melaporkan bahwa saat ini sudah


tersedia berbagai peralatan/mesin dengan harga yang terjangkau untuk
usaha industri kue ubijalar tingkat rumah tangga. Untuk menjalankan
usaha tersebut telah dilakukan perhitungan secara rinci mengenai waktu
pengembalian modal, yakni hanya 2 (dua) bulan. Sejalan dengan hal
tersebut, (Rozi, 2007) berdasarkan hasil penelitiannya telah menyarankan
perlunya dilakukan sosialisasi produk ke semua jenis industri rumah
tangga yang menggunakan ubijalar sebagai bahan baku. Dilaporkan juga
bahwa informasi dari masyarakat pengguna (terutama petani) sebagai
umpan balik kepada peneliti sangat penting, dimana ternyata keputusan
utama dari mayoritas petani dalam memilih varietas ubijalar yang akan
ditanam (sesuai prioritas) adalah berturut-turut produktivitas, biaya
investasi teknologi (budidaya), dan warna daging umbi. Ubijalar dengan
daging umbi berwarna ungu mampu terjual dengan harga yang lebih
tinggi daripada ubijalar dengan warna umbi putih atau yang lainnya.

90 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Berdasarkan berbagai kajian menunjukkan bahwa agroindustri
tepung ubijalar memiliki prospek cukup baik untuk dikembangkan
(Anonim, Tanpa Tahun/a; Djami, 2007; Heriyanto dan Winarto, 1999;
Layuk et al., 2012: Anwar, 2019; Edvan, 2019; Utomo dan Antarlina, 1999).
Bahkan, perhitungan secara rinci mengenai peluang usaha tepung ubijalar
juga telah tersedia (Anonim, Tanpa Tahun/a). Dilaporkan bahwa peluang
usaha tepung ubijalar cukup besar, dan peralatan/mesin untuk operasional
pembuatan tepung ubijalar kini sudah tersedia dengan harga yang
terjangkau untuk tingkat industri rumah tangga, dengan perhitungan
waktu pengembalian modal selama 3 (tiga) bulan. Menurut Antarlina et al.
(2012), pengembangan industri tepung ubijalar perlu dilakukan karena
penggunaan tepung ubijalar sebagai bahan substitusi sebagian terigu
secara ekonomi menguntungkan. Hal tersebut karena dapat menekan
biaya produksi sekaligus menghemat devisa karena akan mengurangi
impor terigu. Perlunya pembuatan tepung ubijalar dari umbi segar
terutama dirasakan pada saat panen raya, dimana produksi ubijalar
melimpah dan harga jual umbi segar di tingkat petani merosot. Dalam
kondisi demikian, pengolahan ubijalar segar menjadi tepung merupakan
alternatif yang menguntungkan.
Nur’azkiya (2017) telah melakukan penelitian mengenai strategi
pengembangan pasar bagi produk olahan ubijalar di PT. Galih Estetika
Indonesia (PT. GEI), salah satu perusahaan di bidang agribisnis ubijalar
yang cukup besar (termasuk ekspotir ubijalar), dimana perusahaan
tersebut telah mengalami persaingan global yang semakin ketat baik di
dalam maupun di luar negeri. Berdasarkan hasil penelitian tersebut
disarankan agar perusahaan tersebut : (1) perlu lebih focus pada
penciptaan pasar dalam negeri, dan (2) perlu lebih fokus pada
pengembangan pasar luar negeri/ekspor. Kedua hal tersebut harus
ditopang oleh kemitraan yang terintegrasi antara perusahaan, pemerintah,
dan petani produsen bahan baku.
Prospek pengembangan agroindustri ubijalar berdasarkan potensi
komoditas ini sebagai bahan pangan lokal untuk diversifikasi pangan juga
cukup besar. Dengan berjalannya diversifikasi pangan berbasis
sumberdaya bahan pangan lokal diharapkan akan terjadi peningkatan
pola pangan harapan masyarakat melalui konsumsi pangan secara lebih
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 91
pengembangan
beragam, bergizi, dan seimbang, yang pada gilirannya akan mengurangi
beban pemerintah terhadap penyediaan beras sebagai makanan pokok
masyarakat. Potensi ubijalar untuk diversifikasi pangan telah dibahas
secara komprehensif oleh Harnowo et al. (2019), meliputi: (1) tanaman
ubijalar berumur panen pendek, (2) mudah dalam pembudidayaan dan
daya adaptasinya luas, (3) telah diusahakan oleh petani di hampir seluruh
Provinsi di Indonesia dengan usahatani yang secara ekonomi mengun-
tungkan, (4) memiliki keunggulan dalam hal kandungan beberapa zat gizi
penting, dan (5) dukungan kebijakan dan komitmen Pemerintah yang
cukup tinggi. Fitriadi (dalam Araska, 2011) juga menyatakan bahwa
pengembangan agroindustri ubijalar mempunyai prospek yang baik.
Aplikasinya di lapangan yakni dengan sistem kemitraan antara industri
skala kecil/menengah (UKM) dengan industri besar, dan melibatkan
semua stake holder, mulai petani sampai pengolah. Sosialisasi dan
promosi sangat diperlukan untuk memasyarakatkan produk olahan
ubijalar kepada konsumen, sementara untuk memacu adopsi teknologi
pengolahan ubijalar di kalangan pengolah diperlukan penyuluhan dan
pelatihan pengembangan agroindustri agar mendapatkan bahan baku dan
produk olahan yang terjamin mutunya sehingga dapat bersaing di
pasaran.
Keunggulan lain komoditas ubijalar dalam mendukung prospek
pengembangannya adalah dari perananannya sebagai pangan fungsional,
sebagaimana telah dijelaskan pada Bab terdahulu, dimana ubijalar
mengandung banyak senyawa bioaktif yang dapat menghambat dan
mengurangi berbagai penyakit (seperti kanker, hipertensi, katarak,
gangguan fungsi hati, kardiovaskuler, gangguan fungsi ginjal, diabetes,
dan penuaan dini). Informasi terbaru hasil penelitian dari University of
Washington (dalam Nakita, 2020) bahwa ubijalar memiliki skor nilai
makanan tertinggi dengan harga yang sangat terjangkau. Disebutkan
bahwa selain manfaat antosianin, betakaroten pada ubijalar memiliki
manfaat anti kanker yang terbukti secara ilmiah. Orang yang mengon-
sumsi makanan tinggi betakaroten (termasuk ubijalar) disebutkan
memiliki resiko kanker yang lebih rendah, terutama kanker paru-paru,
usus besar, dan lambung. Informasi yang lebih membanggakan lagi
berdasarkan hasil penelitian tersebut adalah senyawa bioaktif tertentu
92 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
pada ubijalar mampu dengan cepat membunuh sel-sel kanker lidah. Oleh
karenanya para peneliti dari Universitas tersebut berpendapat bahwa
ubijalar mungkin sangat berguna untuk terapi kanker lidah manusia.
Kementan (2019) telah menetapkan sasaran pengembangan ubijalar
pada tahun 2020, yakni: (1) luas tanam 86.105 ha, (2) luas panen 83.126 ha,
(3) produktivitas 19,33 t/ha umbi segar, (4) produksi 1.606.683 ton, dan (5)
target ekspor 47.968 ton. Aneka jenis produk turunan yang harus dihiliri-
sasi adalah : pasta, tepung, Chips, BTP, dll (13 jenis produk). Hal-hal
tersebut merupakan tantangan, sekaligus menunjukkan besarnya prospek
pengembangan ubijalar di Indonesia, terutama untuk produk-produk
olahan, baik untuk pangan maupun untuk bahan baku industri non
pangan. Secara teknis, aspek pendukung untuk pengembangan ubijalar di
Indonesia sudah tersedia, yakni: VUB dengan potensi hasil tinggi dan
sifat-sifat unggul lainnya, seperti pada Lampiran 1 (Balitkabi 2016a),
teknologi budidaya spesifik lokasi, dan teknologi pengolahan untuk
pangan olahan, pakan, dan industri non pangan. Dari aspek non teknis,
beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, antara lain: peningkatan
status ubijalar sebagai bahan pangan, penguatan posisi tawar petani
produsen, penyediaan sarana produksi secara mencukupi dan tepat
waktu, stabilisasi harga ubijalar segar, dan komitmen Pemerintah mulai
tingkat Pusat hingga Kabupaten/Kota untuk keberhasilan pengembangan
agroindustri dan agribisnis ubijalar nasional. Berkembangnya agroindustri
dan agribisnis ubijalar diyakini berkontribusi posistif terhadap semakin
mantabnya ketahanan pangan nasional, peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan petani, dan meningkatnya PDB kabupaten/ kota, provinsi,
dan nasional.
Pentingnya sinergitas dalam hal mensukseskan program pem-
bangunan pertanian (termasuk pada aspek penyediaan pangan sehat
secara mencukupi dan berkelanjutan) telah dinyatakan oleh Suswono
(2013), yakni merupakan kunci bagi terwujudnya sistem bioindustri
berkelanjutan yang memproduksi makanan sehat serta produk pertanian
dan kelautan tropis bernilai tinggi. M. Natsir (dalam Irawan, 2018)
menekankan pentingnya sinergitas dalam pembangunan di segala bidang
untuk mencapai hasil yang lebih baik, serta untuk mempercepat terwu-
judnya target/sasaran meningkatnya kesejahteraan masyarakat, terutama
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 93
pengembangan
dalam menghadapi era Revolusi Industri 4.0; sementara Harnowo dan
Baliadi (2018) menyatakan perlunya sinergitas antar Kementerian/
Lembaga dalam perencanaan program hingga implementasi di lapangan
untuk cepat tercapainya sasaran pembangunan pertanian seperti yang
diharapkan (temasuk berkembangnya agroindustri dan agribisnis ubijalar
yang mampu mensejahterakan masyarakat/petani).

94 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, B. 2017. Peningkatan kadar antosianin beras merah dan beras


hitam melalui biofortifikasi. Jurnal Litbang Pertanian, 36(2): 91-98.
Abi, Y. 2019. Ubijalar Indonesia mulai dilirik pasar Jepang dan Korea
Selatan. www.tabloidsinartani.com/detail/industri-perdagangan/
olahan-pasar/9374-Ubi-jalar-........... Diakses 27 November 2019.
Abong, GO., VCM. Ndanyi, A. Kaaya, S. Shibairo, MW. Okoth, PO.
Lamuka, NO. Odongo, E. Wanjekeche, J. Mulindwa, and P. Sopade.
2016. A review of Production, Post Harvest Handling and Mar-
keting of Sweetpotatoes in Kenya and Uganda. Current Research in
Nutrition and Food Science, 4(3): 163-181. www.DOI:http:/
/dx.doi.org/ 10.12944/ CRNF5J.4.3.03. Diakses 27 Desember 2019.
Adnan dan SRD. Sihombing. 2013. Penerapan teknologi pengolahan hasil
ubijalar untuk meningkatkan nilai tambah. Prosiding Semnas
Akselerasi Pemanfaatan Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Mendukung Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani Nelayan.
BBP2TP, Bogor. p. 392-395.
Agata, W. 1982. The characteristics of dry matter and yield production in
sweet potato under field conditions. In Sweet Potato: Proceedings of
The First International Symposium (Editors: L. Villareal and TD.
Griggs). p. 119-128.
Andri, DPY. 2019. Bisakah diversifikasi pangan pokok diwujudkan lewat
BPNT?. www.ekonomi.bisnis.com/read/2019715/12/1124275/ bisakah
-diversifikasi-pangan-pokok-............ Diakses 23 Desember 2019.
Anonim. 2019a. Diversifikasi pangan: solusi terwujudnya kemandirian
pangan berkelanjutan?. www.kompasiana.com/hipotesafemipb/
5d7b4ad097136749874a413/.......... Diakses 23 Desember 2019.
Anonim. 2019b. Empat negara ini pemasok ubijalar beku dari Dairi, Jepang
pemasok terbesar. www.suaratani.com/news/agro-industri/ empat-
negara-ini-pemasok-ubi-jalar-beku-........ Diakses 27 November 2019.
Anonim. Tanpa Tahun/a. Peluang usaha tepung ubi dan analisa usahanya.
https://www.agrowindo.com/peluang-usaha-tepung-ubi-dan-
analisa-usahanya.html. Diakses 28 November 2019.

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 95


pengembangan
Anonim. Tanpa Tahun/b. Peluang usaha kue ubijalar dan analisa
usahanya. https://www.tokomesin.com/peluang-usaha-kue-ubi-jalar
-dan-analisa-usahanya. Diakses 28 November 2019.
Anonim. Tanpa Tahun/c. Peluang usaha budidaya ubijalar dan analisis
usahanya. www.agrowindo.com/peluang-usaha-budidaya-ubi-jalar-
dan-analisis-usahanya. Diakses 27 Desember 2019.
Anonim. Tanpa Tahun/d. Kajian Ubijalar dengan Pendekatan Rantai Nilai
dan Iklim Usaha di Kabupaten Jayawijaya (Laporan Studi). Program
Pembangunan Berbasis Masyarakat Fase II: Implementasi Institusi-
onal Pembangunan Mata Pencaharian Yang Lestari untuk Masya-
rakat Papua. ILO-PCdP2-UNDP. 80 hlm.
Antarlina, SS., D. Harnowo, dan Heriyanto. 1995. Penyediaan klon-klon
ubijalar untuk bahan tepung ubijalar. Laporan Teknis Balitkabi,
Malang TA.1994/1995. 67p.
Antarlina, SS., E. Ginting, dan JS. Utomo. 2012. Teknologi pengolahan
produk antara. Dalam J. Wargiono dan Hermanto (Penyunting).
Ubijalar: Inovasi Teknologi dan Prospek Pengembangan. Puslit-
bangtan, Bogor. p.231-249.
Antarlina, SS. dan M. Jusuf. 2001. Pengolahan tepung ubijalar beberapa
varietas pada umur panen yang berbeda. Prosiding Semnas Inovasi
Alat dan Mesin Pertanian untuk Agribisnis. Badan Litbang
Pertanian – PERTETA. Jakarta. p. 227-235.
Antarlina, SS. 1991. Pengaruh umur panen dan klon terhadap beberapa
sifat sensoris, fisis, dan kimiawi tepung ubijalar. Tesis S-2 Fakultas
Pascasarjana UGM. Program KPK UGM-Unibraw (tidak diter-
bitkan).
Anwar, C. 2019. Tepung ubijalar asal Siborong-borong diekspor ke Jepang.
www.medanbisnisdaily.com/m/news/online/read/2019/09/86279/
tepung-ubi-jalar-asal-siborong-.............Diakses 27 November 2019.
Araska. 2011. Peningkatan nilai ekonomi ubijalar. www.artpartner-
news.blogspot.com/2011/10/peningkatan-nilai-ekonomi-ubi-jalar.
html. Diakses 25 November 2019.
Ariani, M, Tanpa Tahun. Diversifikasi Konsumsi Pangan di Indonesia:
Antara Harapan dan Kenyatan. www.docplayer.info/29881523-
Diversifikasi-pangan-di-indonesia-....... Diakses 25 September 2019.
96 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
Atjo, MA. 2018. Skor PPH 90,1: Kementan dorong konsumsi pangan sehat
dan bergizi. www.berita2bahasa.com/berita/08/20522203-skor-pph-
90-1-kementan-dorong-konsumsi-........ Diakses 26 September 2019.
Balitkabi. 2016a. Deskripsi varietas unggul tanaman aneka kacang dan
umbi. Balitkabi Malang.
Balitkabi. 2016b. Resep produk olahan aneka kacang dan umbi (Leaflet).
Balitkabi Balitbangtan.
Bappeda Provinsi Jatim. 2013. PTPN XII Budidayakan Tanaman Ubi Jalar.
https://www.bisnis-Jatim,com. Diakses 20 Desember 2019.
Basuki, N. dan B. Guritno. 1990. Fertilizer study on sweet potato. In Y.
Widodo and Sumarno (Editors). Root Crops Improvement in
Indonesia. MARIF-UNIBRAW-CENDRAWASIH UNIV.-IDRC
Canada. p. 63-65.
Basuki, N., Harijono, dan Kuswanto. 2003. Perbaikan kualitas ubi untuk
meningkatkan nilai ekonomi ubijalar. Project Report: Direktorat
Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Ditjen DIKTI,
Depdiknas, Malang (Abstrak). www.repository.ub.ac.id/12000/
Diakses 25 November 2019.
BBPKP. 2013. Laporan Akhir Analisis Dinamika Konsumsi Pangan
Masyarakat Indonesia. Badan Pengkajian & Pengembangan
Kebijakan Perdagangan, Kementerian Perdagangan RI. Jakarta.
76p.www.Kemendag.go.id/files/pdf/2015/02/27/laporan-dinamika-
pola-1425036045.pdf. Diakses 21 Oktober 2019.
Biroren-Sekjen Kementan. 2014. Konsep Strategi Induk Pembangunan
Pertanian 2015-2045: Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan Solusi
Pembangunan Indonesia Masa depan. Kementerian Pertanian,
Jakarta. 210p.
Cevallos-Casals, BA. and LA. Cisneros-Zevallos. 2004. Stability of
anthocyanin-bases aqueou extract of Andean purple corn and red-
fleshed sweet potato compared to syntehetic and natural colorants.
Food Chemistry, 86: 69-77. https://www.citeseerx,ist.psu.edu/
viewdoc/download?doi=10.1.1.565.7639&rep1&type=pdf. Diakses 24
Desember 2019.
CIP, AVRDC, and IBPGR. 1991. Descriptor for Sweet Potato (Editor : Z.
Huaman). International Board for Plant Genetic Resources. Rome,
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 97
pengembangan
Italy. 134p. www.cgspace.cgir.org/bitstream/handle/10568/ 72951/
Descriptors_Sweet_Potato_263.pdf?sequence=1&iaAllowed=y.
Diakses 17 Desember 2019.
Destriyana. 2015. Tujuh alasan kenapa penderita diabetes dianjurkan
makan ubijalar. https://www.merdeka.com/sehat/7-alasan-kenapa-
penderita-diabetes-dianjurkan-makan-ubi-jalar.html. Diakses 24
Desember 2910.
Dimyati, A. dan N. Zuraida. 1992. Pengaruh pemangkasan tajuk klon
ubijalar terhadap hasil. Dalam Suprapto Hardjosumadi dkk.
(Penyunting). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan.
Balittan, Bogor. p. 9-12.
Direktorat Akabi. 2015. Sehatnya Ubi Peningkat Kesejahteraan: Seri
Agribisnis Ubijalar. Direktorat Aneka Kacang dan Umbi, Ditjen
Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian .Jakarta. 118p.
Djami, SA. 2007. Prospek pemasaran tepung ubijalar ditinjau dari potensi
permintaan industri kecil di Wilayah Bogor. Fakultas Manajemen
IPB. https://www.repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/
15353/3/H0tsaj.pdf. Diakses 2 Desember 2019.
Edhisambada. 2011. Antioksidan dan Radikal Bebas. https://www.
edhisambada.wordpress.com/2011/02/22/antioksidan-dan-radikal-
bebas/. Diakses 23 Desember 2019.
Edvan, BT. 2019. Strategi pengembangan agroindustri tepung ubijalar
(Ipomoea batatas L.) di Provinsi Lampung. Tesis Program Pasca-
sarjana, Magister Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Pertanian
Universitas Lampung. 168 hlm. https://www.digilib.unila.ac.id/
58797/3/TESIS%20TANPA%20PEMBAHASAN.pdf. Diakses 28
November 2019.
Edmunds, BA., MD. Boyette, CA. Clark, DM.Ferrin, TP. Smith, and GJ.
Holmes. 2013. Postharvest handling of sweetpotatoes. Nort Carolina.
56p. Cooperative Extension Service. www.plantpathology.ces.
ncsu.edu/wp-content/up;oads/2013/12/sweetpotatoes_postharvest/
1.pdf?fwd=no. Diakses 27 Desember 2019.
El Husna, N., M. Novita, dan S. Rohaya. 2013. Kandungan antosianin dan
aktivitas antioksidan ubijalar ungu segar dan produk olahannya.
Agritech., 33(3): 296-302.
98 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
Etika M., NM. Tanpa Tahun (a). Panduan menjalani diet Indeks Glikemik
untuk turun berat badan dan menurunkan gula darah.
www.hellosehat.com/pusat-kesehatan/diabetes-kencing-manis/diet-
indek-glikemik-gula-darah. Diakses 23 Desember 2019.
Etika M., NM. Tanpa Tahun (b). Daftar makanan dengan Indeks Glikemik
rendah yang baik untuk penderita diabetes. www.hellosehat.com/
pusat-kesehatan/diabetes-kencing-manis/makanan-untuk-diabetes-
glikemik-rendah/. Diakses 23 Desember 2019.
Gerbaud, P. 2016. Sweet Potato: A Vegetable Boom?. www. fruittrop.com/
en/Articles-by-subject/Economic-analyses/2016/Sweet-potato.
Diakses 25 November 2019.
Ginting, E., JS. Utomo, dan N. Richana. 2012. Keunggulan fungsional
ubijalar dari aspek kesehatan. Dalam J. Wargiono dan Hermanto
(Penyunting). Ubijalar: Inovasi Teknologi dan Prospek Pengem-
bangan. Puslitbangtan, Bogor. p. 302-316.
Ginting, E., JS. Utomo, dan R. Yulifianti. 2015. Produk Olahan Aneka Umbi
(Penyunting: A. Winarto). Balitkabi, Malang. 44p.
Ginting, E., SS. Antarlina, JS. Utomo, dan Ratnaningsih. 2006. Teknologi
pascapanen ubijalar mendukung diversifikasi pangan dan
agroindustri. Buletin Palawija No.11: 15-28.
Guritno, B., Y. Sugito, D. Harnowo, WH. Utomo, Y. Widodo, N. Basuki, F.
Rozi, and R. Howeler. 1995. Development and dissemination of root
crop production technique in Indonesia (A Report of Collaboration
Research). Research Supported by IDRC Canada (Unpublished).
Malang. 1995. 105p.
Gurning, TM. dan L. Haloho. 2007. Cara budidaya ubijalar untuk ekspor di
Sumatera Utara. Prosiding Seminas Nasional Hasil Penelitian
Tanaman Akabi Tahun 2006. Puslitbangtan, Bogor. p. 687-593.
Haloho, L. 2016. Prospek, kendala, dan peluang pengembangan ubijalar di
Kepulauan Nias. Prosiding Semnas Hasil Penelitian Tanaman Akabi
Tahun 2015. Puslitbangtan, Bogor. p. 633-641.
Harnowo, D. dan JS. Utomo. 2017. Sejarah, Tugas Pokok, dan Kinerja UPBS
Agro Inovasi Akabi. Balitkabi, Puslitbangtan, Bogor. 130p.
Harnowo, D. dan Y. Baliadi. 2018. Sinergitas Pembangunan Pertanian dan
Perikanan berbasis sumberdaya lokal berkelanjutan dalam mencapai
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 99
pengembangan
kedaulatan pangan. Prosiding Seminar Nasional Pertanian dan Peri-
kanan 2018. Faperta Universitas Samudra, Langsa, Aceh 1(1): 1-16.
Harnowo, D., Y. Widodo, dan Y. Baliadi. 2019. Potensi ubijalar untuk
mendukung program diversifikasi pangan. Makalah disampaikan
pada Seminar Nasional di Polbangtan Malang dalam rangka Dies
Natalis I Polbangtan. Malang. 23 hlm.
Harnowo, D. dan Y. Widodo. 1994. Production potential and postharvest
handling of sweet potato at two high altitude areas in Java.
Dinamika Pamor, 1(2):88-97.
Herdiman, F. 2010. Analisis pendapatan usahatani ubijalar di Desa
Gunung Malang Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor.
www.repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/60660/1/H10fhc
.pdf. Diakses 27 Desember 2019.
Heriyanto dan F. Rozi. 2012. Usahatani dan pemasaran hasil. Dalam J.
Wargiono dan Hermanto (Penyunting). Ubijalar: Inovasi Teknologi
dan Prospek Pengembangan. Puslitbangtan, Bogor. p. 365-377.
Hilman, Y., E. Ginting, dan IK. Tastra. 2005. Teknologi inovatif pascapanen
kacang-kacangan dan umbi-umbian untuk mendukung diversifikasi
pangan dan pengembangan agroindustri. Prosiding Semnas
Teknologi Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Industri
Berbasis Pertanian. BB Pascapanen dan FTP IPB Bogor. p. 358-375.
Hozyo, Y., M. Megawati, and J. Wargiono. 1986. Plant production and
potential productivity of sweetpotato. Laporan Kemajuan Penelitian
Agronomi : Umbi-umbian. Puslitbangtan 12: 99-112.
Huaman, Z. 1992. Systematic Botany and Morphology of the Sweet-potato
Plant. Technical Information Buletin 25. International Potato Center,
Lima, Peru. 22p. www.sweetpotatoknoledge.org/wp-content/
uploads/2016/01/Systematic-Botany-... Diakses 12 Desember 2919.
Hubbard, M., RK. Hynes, M. Erlandson, and KL. Bailey. 2014. The
biochemistry behind biopesticide efficacy. https://sustainable
chemicalprocess.springeropen.com/articles/10.1186. Diakses 18
Oktober 2019.
Indiati, SW., W. Rahajeng, dan M. Rahayu. 2018. Tingkat kerusakan plasma
nutfah ubi jalar terhadap hama tungau puru, Eriophyes gastrotrichus.

100 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Tanaman Akabi Tahun
2017. Puslitbangtan, Bogor. p. 632-647.
Irawan, D. 2018. Sinergi Antar Kementerian Modal Menghadapi Revolusi
Industri 4.0. http://kabar24.bisnis.com/read/20180411/255/783300/
sinergi-antar-kementerian-modal-............. Diakses 26 Juni 2018.
Ishiguro, K. and M. Yoshimoto. 2005. Content of an eye-protective nutrient
lutein in sweet potato leaves. Proceeding of International
Symposium on Sweet Potato and Cassava: Innovative Technologies
for Commercialization. ActaHortic.703: 253-256. https://doi.org/
10.17660/ActaHortic.2006.703.32. Diakses 1 Oktober 2020.
Islam, S. 2006. Sweet Potato (Ipomoea batatas L.) Leaf: Its Potential Effect on
Human Health and Nutrition. Journal of Food Science, 71(2): R13-
R21.
Jana, RK. 1982. Status of sweet potato cultivation in East Africa and its
future. In Sweet Potato: Proceedings of The First International
Symposium (Editors: L. Villareal and TD. Griggs). p. 63-76.
Johnson, M. and RD. Pace. 2010. Sweet potato leaves: properties and
synergistic interaction that promote health and prevent disease
(Special Article). Nutrition Review, 68(10): 604-615.www.doi:10.1111/
j.1753-4887.2010.00320.x. Diakses 1 Oktober 2020.
Julianto, PA. 2017. Program diversifikasi pangan masih banyak kendala.
www.ekonomi.kompas.com/read/2017/10/25/08000012b/program-
diversifikasi-pangan--masih-banyak-kendala. Diakses 23/12/2019.
Kasno, A., Y. Widodo, Sunardi, dan A. Winarto. 1992. Hasil-hasil Penelitian
Balittan Malang Tahun 1990/1991. p. 62-66.
Kawalekar, JS. 2013. Role of biofertilizers and biopesticides for sustainable
agriculture. J.Biol. Innov. 2(3): 73-78. www.citeseerx. psu.edu/
viewdox/download?doi=10.1.1.377.2436&rep=rep1&type=pdf.
Diakses 23 Oktober 2019.
Kebede, T., T. Lemma, E. Tedesse, and M. Guru. 2008. Effect of level of
substitution of sweet potato (Ipomea batatas L) vines for concentrate
on body weight gain and carcass characteristics of browsing Arsi-
Bale goats. J. Cell. Anim. Bio., 2(2): 036-042. www.academic
journals.org/journal/JCAB/article-full-text-pdf/78702DD12038.
Diakses 27 November 2019.
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 101
pengembangan
Kementan. 2018. Data lima tahun terakhir tanaman pangan.www.
pertanian.go.id/home/?show=page&act=view&id=61. (Ubi Jalar).
Diakses 10 September 2019.
Kementan. 2019. Target produksi dan ekspor tanaman pangan tahun 2020.
Materi Rapim A Kementerian Pertanian. Desember 2019. Jakarta.
Ketaren, PP. dan M. Yusuf. 2012. Potensi pengembangan ubijalar sebagai
pakan ternak berbasis keunggulan gizi dan pranata budaya. Dalam J.
Wargiono dan Hermanto (Penyunting). Ubijalar: Inovasi Teknologi
dan Prospek Pengembangan. Puslitbangtan, Bogor. p. 340-350.
Khaira, K. 2010. Menangkal radikal bebas dengan anti-oksidan. Jurnal
Sainstek, 11(2): 183-187. www.media.neliti.com/media/ publications/
129475-ID-menangkal-radikal-bebas-...... Diakses 23 Desember 2019.
Khalid, AF., KM. Elamin, AE. Amin, AA. Tameem Eldar, ME. Mohamed,
HE. Hassan, and MD. Mohammed. 2013. Effects of using fresh sweet
potato (Ipomoea batatas) vines on performance and milk yield of
lactating Nubian Goats. J. Anim. Sci. Adv., 3(5): 226-232.
www.khartoumspace.uofk.edu/bitstream/handle/123456789/18070/
Efects%20of%20Using%20Fresh....... Diakses 27 November 2019.
Kilmanun, JC. dan T. Sugiarti. 2016. Prospek pengembangan usahatani
ubijalar di Kalimantan Barat (studi kasus: Desa Rasau Jaya II Kec.
Rasau Jaya Kab. Kubu Raya). Prosiding Semnas Hasil Penelitian
Tanaman Akabi Tahun 2015. Puslitbangtan, Bogor. p. 627-632.
Kramer, JK. 1980. Drought stress and origin of adaptations. In NC.Turner
and PJ. Kramer (Eds.). Adaptation of plant to water and high
temperature stress. A Willey-Interscience Publication. John Willey
and Sons, New York. p. 7-9.
Kumar, V. 2015. A review on efficacy of biopesticides to control the
agricultural insect’s pest. International Journal of Agricuktural
Science Research 4(8): 168-179. https://www.researchgate.net/
publication/290061838. Diakses 18 Oktober 2019.
Layuk, P., M. Lintang, Bahtiar, dan JG. Kindangen. 2012. Kajian
pengembangan agroindustri tepung ubijalar dan produk olahannya
di Kabupaten Minahasa. Prosiding Semnas Inovasi Teknologi
Pertanian Spesifik Lokasi (Buku 2). BBP2TP, Bogor. p. 496-500.

102 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Lebot, V. 2009. Tropical Root and Tuber Crops: Cassava, Sweet Potato,
Yams, and Aroids. Section II : Sweet Potato. Crop Production Science
in Horticulture 17. CABI Publ. Printed in the UK by the MPG Books
Group. p. 89-180.
Leovita, A., RW. Asmarantaka, dan HKS. Daryanto. 2015. Analisis
pendapatan dan efisiensi teknis usahatani ubijalar di Kecamatan
Ampek Angkek, Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat. Jurnal
Agribisnis Indonesia, 3(1): 11-24. www.media.neliti.com/ media/
publications/73346-ID-analisis-pendapatan-dan-efisiensi-teknis.pdf.
Diakses 26 November 2019.
Loebenstein, G. 2015. Control of Sweet Potato Virus Diseases (Chapter
Two). Advances in Virus Research, 91: 33-45. http://doi.org/ 10.1016/
bs.aivir.2014.10.005. Diakses 26 November 2019.
Marlina, M. dan S. Askar. 2004. Komposisi kimia bahan limbah pertanian
dan industri pengolahan hasil pertanian. Prosiding Temu Teknis
Nasional Tenaga Fungsional Pertanian. Bogor, 3 Agustus 2004.
Puslitbang Peternakan, Bogor. p. 99-103.
Mediaindonesia.com. 2017. LIPI: Kebijakan diversifikasi pangan masih
tersendat. http://mediaindonesia.com/news/read/130366/lipi-
kebijakan-diversifikasi-pangan-masih-tersendat/2017-11-03). Diakses
23/12/2019.
Mendosa. 2008. Revised international table of Glycemic Index (GI) and
Glycemic Load (GL) values-2008. https://www.mendosa.com/
gilist.html. Diakses 27 Desember 2019.
Minantyorini dan YN. Andarini. 2017. Keterkaitan karakteristik morfologi
tanaman ubijalar dengan kadar gula dan kadar bahan kering umbi.
Prosiding Semnas Hasil Penelitian Tanaman Akabi 2016. Puslit-
bangtan, Bogor. p. 588-596.
Mohanraj, R. and S. Sivasankar. 2014. Sweet Potato (Ipomoea batatas (L)
Lam) : A Valuables Medicinal Food (A Review). J. Med. Food, 17(7):
733-741. www.pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24921903/. Diakses 22
Oktober 2020.
Mulyani, A. dan F. Agus. 2017. Kebutuhan dan ketersedian lahan cada-
ngan untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai lumbung pa-
ngan dunia tahun 2045. Analisis Kebijakan Pertanian, 15(1):1-17.
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 103
pengembangan
Mulyani, A., D. Nursyamsi, dan D. Harnowo. 2017. Potensi dan tantangan
pemanfaatan lahan suboptimal untuk tanaman aneka kacang dan
umbi. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Tanaman Akabi
Tahun 2016. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. p.16-30.
Nakita. 2020. Manfaat ubijalar yang tak banyak diketahui orang: punya zat
yang bisa melemahkan kanker. http://babe.topbuzz.com/article/
i6779774671643476481?app_id=... Diakses 10 Januari 2020.
Nugroho, A. 2019. Diversifikasi pangan berbasis lokal (Opini Direktur
Pangan dan Pertanian Bappenas). www.beritasatu.com/opini/6314/
diversifikasi-pangan-berbasis-lokal. Diakses 23 Desember 2019.
Nur’azkiya, L. 2017. Strategi pengembangan usaha pengolahan ubijalar
pada PT. Galih Estetika Indonesia melalui pendekatan Business
Model Canvas. Tesis Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. 114p.
https://www.repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/
91075/1/2017lnu.pdf. Diakses 30 November 2019.
O’Sullivan, JN., CJ. Asher, and FPC. Blamey. 1997. Nutrient Disorders of
Sweet Potato. ACIAR (Australian Centre for International
Agricultural Research). Canberra, Australia. 136p.
Percival, M. 1998. Antioxidants. NUT 031 1/96, Rev. 10/98. CLINICAL
NUTRITION INSIGHT: Advanced Nutrition Publication, Inc.,.
www.acudoc.com/Antioxidants.PDF. Diakses 24 Desember 2019.
Paturochman, E. dan Sumarno. 2015. Pemupukan sebagai penentu
produktivitas ubijalar. Iptek Tanaman Pangan, 10(2): 77-84.
Prasetiawati, N. dan BS. Radjit. 2012. Ubijalar sebagai komoditas ekspor.
Dalam J. Wargiono dan Hermanto (Penyunting). Ubijalar: Inovasi
Teknologi dan Prospek Pengembangan. Puslitbangtan, Bogor. p.
389-397.
Prayogo, Y. and MSY. Ika Bayu. 2019. Efficacy of bipesticide Be-Bas against
Sweet Potato Weevils (Cylas formicarius Fabricius) in Tidal Land.
Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, 23(1): 6-15. www.jurnal.
ugm.ac.id/jpti/article/view/32752/24976. Diakses 11 Oktober 2019.
Prayogo, Y. 2016. Proses Pembuatan Biopestisida Berbahan Aktif
Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana dan Kompo-sisinya.
Paten No.: P00201605992. Balitkabi, Malang.

104 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Prayogo, Y. 2019. Be-Bas, Biopestisida untuk mengendalikan hama
penggerek ubijalar di lahan Pasang Surut Kalimantan Selatan
(Leaflet). Balitkabi, Balitbangtan.
Pusdatin. 2016. Outlook Komoditas Pertanian Sub Sektor Tanaman
Pangan: Ubi Jalar. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian
(Pusdatin), Kementan. 87p. www.perpustakaan.bappenas.go.id/
lontar/file?file=digital/166973[_konten_]-Konten%20 D1888.pdf.
Diakses 10 September 2019.
Rasmusson, DD. and BB. Gengenbach. 1984. Genetics and the use of
physiological variability in crop breeding. In NB. Tesar (Ed.).
Physiological Basis of Crop Growth and Development. American
Sociaty of Agronomy Inc. Crop Sci. Sociaty. Madison, Wisconsin,
USA. p. 237-241.
Riani, FA. 2015. Analisis daya saing ekspor ubijalar Indonesia di pasar
internasional (Abstrak Tesis). https://www.repository.ub.ac.id/id/
eprint/130290. Diakses 2 Desember 2019.
Rozi, F. 2007. Pendekatan eksploratif penciptaan pasar untuk komoditas
ubijalar antosianin tinggi. Prosiding Semnas Hasil Penelitian
Tanaman Akabi Tahun 2006. Puslitbangtan, Bogor. p. 554-566.
Saleh, N., SW. Indiati, Y. Widodo, Sumartini, dan St.A. Rahayuningsih.
2015. Hama, Penyakit, dan Gulma pada Tanaman Ubi Jalar.
Balitkabi, Puslitbangtan, Bogor. 80p.
Sayaka, S., J. Wargiono, dan N. Prasetiawati. 2012. Usahatani skala rumah
tangga. Dalam J. Wargiono dan Hermanto (Penyunting). Ubijalar:
Inovasi Teknologi dan Prospek Pengembangan. Puslitbangtan,
Bogor. p. 378-388.
Scott, GJ., R. Best, M. Rosegrant, and M. Bokanga. 2000. Roots and Tubers
in the Global Food System: A Vision Statement to the Year 2020. A
co-publication of CIP, CIAT, IFPRI, IITA, and IPGRI (Printed in
Lima, Peru: International Potato Center). 44p. www.pdfs.
semanticsholar.org/942b/51e4e854711f5b870. Diakses 23 Oktober
2019.
Setyono, A., Suparyono, O. Lesmana, dan S. Nugraha. 1995. Teknik
Budidaya dan Penanganan Pascapanen Ubijalar. Buletin Teknik
Sukamandi No. 3-1995. Balai Penelitian Padi, Sukamandi. 39p.
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 105
pengembangan
Sianipar, JPG. dan HM. Entang. 2001. Teknik-teknik Analisis Managemen.
LAN-R, Jakarta.
Sirait, J. dan K. Simanihuruk. 2010. Potensi dan pemanfaatan daun
ubikayu dan ubijalar sebagai sumber pakan ternak ruminansia kecil.
Wartazoa 20(2): 75-84.
Stathers, T., S. Namanda, ROM. Mwanga, G. Khisa, and R. Kapinga. 2005.
Manual for Sweet Potato Integrated Production and Pest
Management for Farmer Field Schools in Sub-Saharan Africa.
International Potato Centre, CIP, Kampala.
Suda, I., T. Oki, M. Masuda, M. Kobayashi, Y. Nishiba, and S. Fututa. 2003.
Physiological fungsionality of purple-flashed sweet potatoes
containing anthocyanins and their utilization in foods. JARQ, 37(3):
167-173. https://www.jstage.jst.go.jp/article/jarq/37_167/ _article.
Diakses 24 Desember 2019.
Sudarman, M. 2014. Ubijalar, Komoditi Masa Depan. www.Republika.
co.id. Mei 2014. Diakses 18 Desember 2019.
Sulaiman, MR. 2016. Bagi Pasien Diabetes, Ubi Ungu Bisa Jadi Pilihan
Asupan yang Disarankan. https://www.health.detik.com/berita-
detikhealth/d-3312418/bagi-pasien-diabetes-ubi-ungu-bisa-jadi-
pilihan-asupan-yang-disarankan. Diakses 20 Desember 2019.
Sukmasari, MD., B. Waluyo, dan A. Kurniawan. 2017. Pengaruh bakteri
pelarut fosfat terhadap efisiensi pemupukan P, serapan P, dan hasil
ubijalar. Prosiding Semnas Hasil Penelitian Tanaman Akabi Tahun
2016. Puslitbangtan, Bogor. p. 567-573.
Suswono. 2013. Membangun Asa Petani: Bunga Rampai Mentan Menyapa.
Penerbit : Biro Umum dan Hubungan Masyarakat, Sekretariat
Jenderal Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. 196
hal.
Sutrisno dan EE. Ananto. 1999. Peralatan industri tepung ubijalar untuk
bahan baku industri pangan. Edisi Khusus Balitkabi No.15-1999:
Pemberdayaan Tepung Ubijalar sebagai Substitusi Terigu, dan
Potensi Kacang-kacangan untuk Pengayaan Kualitas Pangan
(Penyunting: AA. Rahmianna, dkk.) Balitkabi, Malang. p. 45-60.
Suyamto, H. Sembiring, MM. Adie, dan J. Wargiono. 2012. Prospek dan
kebijakan pengembangan. Dalam J. Wargiono dan Hermanto
106 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
(Penyunting). Ubijalar.: Inovasi Teknologi dan Prospek Pengem-
bangan. Puslitbangtan, Bogor. p. 3-20.
Swastika, DKS. dan S. Nuryanti. 2012. Potensi ekonomi. Dalam J. Wargiono
dan Hermanto (Penyunting). Ubijalar: Inovasi Teknologi dan
Prospek Pengembangan. Puslitbangtan, Bogor. p. 21-34.
Tangkuman, F., M. Noch, A. Setyono, dan O. Lesmana. 1994. Pemupukan
NPK dan S pada ubijalar. Dalam Risalah Seminar Penerapan
Teknologi Produksi dan Pascapanen Ubijalar Mendukung Agro-
industri. Edisi Khusus Balittan Malang No. 3, 1994. p. 257-268.
Tantawizal dan Y. Prayogo. 2016. Efikasi cendawan entomopatogen
Beauveria bassiana untuk mengendalikan hama boleng Cylas
formicarius pada ubijalar. Prosiding Semnas Hasil Penelitian
Tanaman Akabi Tahun 2015. Puslitbangtan, Bogor. p. 596-604.
Taufiq, A., M. Yusuf, MM. Adie, N. Saleh, R. Iswanto, A. Kasno, dan
Subandi. 2010. Teknologi produksi kedelai, kacang tanah, kacang
hijau, ubi kayu, dan ubijalar. Balitkabi Malang. 36p.
Usman, BMW. Tiro, dan S. Tirajoh. 2016. Kelayakan usahatani integrasi
ubijalar-babi di dataran tinggi Jayawijaya, Papua. Prosiding Semnas
Hasil Penelitian Tanaman Akabi Tahun 2015. Puslitbangtan, Bogor.
p. 651-656.
Utomo, JS. dan E. Ginting. 2012. Komposisi kimia. Dalam J. Wargiono dan
Hermanto (Penyunting). Ubijalar: Inovasi Teknologi dan Prospek
Pengembangan. Puslitbangtan, Bogor. p. 271-301.
Utomo, JS. dan SS. Antarlina. 1999. Tepung komposit, potensi dan peluang
mendukung diversifikasi ubijalar. Edisi Khusus Balitkabi No. 15-
1999.: Pemberdayaan Tepung Ubijalar sebagai Substitusi Terigu, dan
Potensi Kacang-kacangan untuk Pengayaan Kualitas Pangan.
Balitkabi, Malang. p. 180-190.
Wahyuni, TS., J. Restuono, dan FC. Indriani. 2017. Pengaruh turun gulud
terhadap hasil dan komponen hasil klon ubi jalar di lahan kering
masam. Prosiding Semnas Hasil Penelitian Tanaman Akabi 2016.
Puslitbang-tan, Bogor. p. 550-558.
Wahyuni, TS. dan J. Wargiono. 2012. Morfologi dan anatomi tanaman.
Dalam J. Wargiono dan Hermanto (Penyunting). Ubijalar: Inovasi

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 107


pengembangan
Teknologi dan Prospek Pengembangan. Puslitbangtan, Bogor. p. 37-
56.
Wargiono, J. dan AG. Mashuri. 2012. Fisiologi Tanaman. Dalam J.
Wargiono dan Hermanto (Penyunting). Ubijalar: Inovasi Teknologi
dan Prospek Pengembangan. Puslitbangtan, Bogor. p. 57-71.
Wargiono, J. A. Hasanudin, S. Partohardjono, dan UG. Kartasasmita. 2001.
Analisis sistem produksi pangan alternatif dalam mendukung
ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis. Hasil Penelitian
Anjak Puslitbangtan (tidak dipublikasikan).
Wargiono, J., Harnoto, JR. Hidayat, dan M. Yusuf. 2000. Teknologi produk-
si bibit ubi kayu dan ubijalar. Puslitbangtan. 59p.
Wargiono, J., TS. Wahyuni, dan AG. Manshuri. 2012. Pengembangan areal
pertanaman dan sistem produksi. Dalam J. Wargiono dan Hermanto
(Penyunting). Ubijalar: Inovasi Teknologi dan Prospek Pengem-
bangan. Puslitbangtan, Bogor. p. 117-142.
Wargiono, J. 1980. Ubijalar dan Cara Bercocok Tanamnya. Buletin Teknik
No. 5. Puslitbangtan, Bogor. 37p.
Waris, G. 2019. Tepung lokal, program strategis BKP Kementan kurangi
impor gandum. www.berita2bahasa.com/berita/08/148257-tepung-
lokal-program-bkp-kementan-kurangi-impor-gandum. Diakses 26
September 2018.
Widodo, Y. dan D. Harnowo. 1994. Potensi dan prospek ubi-ubian untuk
dimanfaatkan dalam program diversifikasi. Dinamika Pamor 1(2):
98-109.
Widodo, Y. dan K. Hartojo. 1994. Pemupukan dan pemberian mulsa pada
ubijalar dalam sistem monokultur dan tumpangsari dengan kacang
tanah di tanah berpasir. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman
Pangan Tahun 1993. Balittan Malang. p. 356-362.
Widodo, Y., S. Wahyuningsih, D. Harnowo, Yusmani, Sumartini, dan E.
Ginting. 2019. Validasi teknologi budidaya ubijalar untuk ekspor di
lahan pasang surut Kalimantan Selatan. Disampaikan pada Seminar
& Exhibition Riset Hulu-Hilir Bioindustri Ubi Kayu dan Aneka
Umbi di Indonesia. SITH-ITB Bandung, 29-30 Agustus 2019.

108 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Widodo, Y. dan St.A. Rahayuningsih. 2009. Teknologi budidaya praktis
ubijalar mendukung ketahanan pangan dan usaha agribisnis.
Buletin Palawija No. 17 : 21-32.
Widodo, Y. 1990. Effects of organic and inorganic fertilizers on growth and
yield of sweetpotato in young volcanic soil. In Y. Widodo and
Sumarno (Editors). Root Crops Improvement in Indonesia. MARIF -
UNIBRAW-CENDRAWASIH UNIV.-IDRC Canada. p. 52-55.
Widowati, S. dan J. Wargiono. 2009. Nilai gizi dan sifat fungsional ubikayu
dan ubijalar. Dalam Ubi kayu: Inovasi Teknologi dan Kebijakan
Pengembangan (Editor: J. Wargiono, Hermanto, dan Sunihardi).
Puslitbangtan, Bogor. p. 320-331.
Wikipedia. 2019. Radikal Bebas. https://www.id.wikipedia.org/wiki/
Radikal_bebas. Diakses 23 Desember 2019.
Wilson, LA. 1982. Tuberization in sweetpotato (Ipomoea batatas (L) Lam.). In
Sweet Potato. Proc. 1st International Symposium (Editors: LR.
Villareal and TD. Griggs). AVRDC, Taiwan, China. p. 79-94.
Woolfe, JA. 1992. Sweet potato: an untapped food resource. Cambridge
Unuversity Press. Cambridge. 643p.
Wulandari, RA. 2013. Analisis daya saing ubijalar Indonesia di Pasar
Internasional. Fakultas Ekonomi dan Agribisnis IPB. 78 p.
www.repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65993/1/H13ra
w.pdf. Diakses 2 Desember 2019.
Yulifianti, R., Ratnaningsih, dan IK. Tastra. 2012. Penanganan pasca-panen.
Dalam J. Wargiono dan Hermanto (Penyunting). Ubijalar: Inovasi
Teknologi dan Prospek Pengembangan. Puslitbangtan, Bogor. p.
205-214.
Yusuf, M., SS. Antarlina, IG. Mok, dan Irfansyah. 1999. Evaluasi klon-klon
ubijalar untuk produksi tepung. Edisi Khusus Balitkabi No.15-1999.
Balitkabi, Malang. p. 73-79.
Zuraida, R. dan R. Galib. 1994. Usahatani Ubi Alabio untuk meningkatkan
pendapatan petani di lahan rawa lebak Kalimantan Selatan. Dalam
A. Winarto, dkk. (Eds.). Risalah Seminar Penerapan Teknologi
Produksi dan Pascapanen Ubijalar Mendukung Agroindustri.
Balittan Malang. p. 374-378.

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 109


pengembangan
110 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
LAMPIRAN :
Deskripsi beberapa varietas (beberapa ciri/sifat) ubijalar yang dilepas
2001-2019 (Balitkabi, 2016a).

Nama varietas : CILEMBU


Dilepas tanggal : 8 Februari 2001
SK Mentan : 124/Kpts/TP.240/2/2001
Asal : Desa Cilembu, Kec. Tanjungsari, Kab.
Sumedang, Jawa Barat
Daya hasil : 20 t/ha
Hasil rata-rata : 12-17 t/ha
Umur panen : 5-7 bulan
Tipe pertumbuhan : Merambat
Bentuk daun : Menjari dengan pinggir daun rata
Warna daun muda : Hijau keunguan
Warna daun tua : Hijau
Warna tulang daun : Bagian bawah hijau keunguan
Warna tangkai daun : Hijau dengan lingkar ungu bagian ujung
Panjang tangkai daun : 75-145 cm
Warna bunga : Putih keunguan
Warna batang : Ungu
Panjang batang : 80-130 cm
Warna kulit umbi : Krem kemerahan/kuning
Warna daging umbi mentah : Krem kemerahan/kuning
Warna daging umbi masak : Kuning
Bentuk umbi : Panjang dan berurat nyata
Tekstur umbi : Baik, tidak berair
Rasa umbi : Enak, manis, dan bermadu
Keunggulan lain : Bentuk umbi panjang, bahan kering tinggi
Ketahanan thd. hama : Peka hama lanas/penggerek (C. formicarius)
Ketahanan thd. penyakit : Tahan penyakit kudis/Scab (Elsinoe batatas)
Daerah adaptasi : Cocok ditanam ahan sawah tadah hujan
setelah padi pada elevasi 800-1000 m dpl.
Pemulia : Hamzah B., Mulyati, Endang P., Lenny,
Ateng, Ngadimin PS., Agus T, Agoes S.,
Asep R., Entin Kartini, Endang S., Musli R.,
Ujang DH., Pathmi N., Rijanti R. Maulana, H.
Nurdin, H. Surachmat, dan Basuki S.

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 111


pengembangan
Nama varietas : SARI
Dilepas tanggal : 22 Oktober 2001
SK Mentan : 525/Kpts/TP.240/10/2001
Asal : Persilangan Klon Lokal Genjah Rante x Lapis
Daya hasil : 30,0-35,0 t/ha
Umur panen : 3,5-4 bulan
Tipe tanaman : Semi kompak
Diameter buku ruas : Sangat tipis
Panjang buku ruas : Pendek
Warna dominan sulur : Hijau
Bentuk kerangka daun : Segitiga sama sisi
Kedalaman cuping daun : Tepi daun berlekuk dangkal
Jumlah cuping daun : Lima
Bentuk cuping pusat : Lancelatus
Ukuran daun dewasa : Kecil
Warna tulang daun : Hijau (bagian bawah)
Warna daun dewasa : Hijau dengan ungu melingkari tepi daun
Warna daun muda : Agak ungu
Panjang tangkai daun : Sangat pendek
Bentuk umbi : Blat telur, melebar pada ujung umbi
Pertumbuhan umbi : Terbuka
Warna kulit umbi : Merah
Warna daging umbi : Kuning tua
Rasa umbi : Enak dan manis
Kadar bahan kering : 28%
Kadar serat : 1,63%
Kadar protein : 1,91%
Kadar gula : 5,23%
Kadar pati : 32,48%
Kadar betakaroten : 380,92 ug/100 g
Kadar vitamin C : 21,52 mg/100 g
Ketahanan thd. hama : Agak tahan boleng (Cylas formicarius) dan
tahan hama penggulung daun
Ketahanan thd. penyakit : Tahan kudis (S. batatas) dan bercak daun
(Cercospora sp.)
Pemulia : St.A. Rahayuningsih, Sutrisno, Gatot S., dan
Joko Restuono

112 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Nama varietas : BOKO
Dilepas tanggal : 22 Oktober 2001
SK Mentan : 526/Kpts/TP.240/10/2001
Asal : Persilangan No. 14 x MLG 1258
Daya hasil : 25,0-30,0 t/ha
Umur panen : 4,0-4,5 bulan
Tipe tanaman : Semi kompak
Diameter buku ruas : Sangat tipis
Panjang buku ruas : Pendek
Warna dominan sulur : Hijau
Bentuk kerangka daun : Berbentuk cuping
Kedalaman cuping daun : Tepi daun berlekuk sedang
Jumlah cuping daun : Tiga
Bentuk cuping pusat : Bergerigi
Ukuran daun dewasa : Sedang
Warna tulang daun : Ungu (bagian bawah)
Warna daun dewasa : Hijau
Warna daun muda : Ungu
Bentuk umbi : Elips panjang
Pertumbuhan umbi : Tersebar
Warna kulit umbi : Merah
Warna daging umbi : Krem
Rasa umbi : Enak dan manis
Kadar bahan kering : 32%
Kadar serat : 1,04%
Kadar protein : 1,73%
Kadar gula : 4,69%
Kadar pati : 32,48%
Kadar betakaroten : 108,11 ug/100 g
Kadar vitamin C : 30,89 mg/100 g
Ketahanan thd. hama : Agak tahan boleng (Cylas formicarius) dan
tahan hama penggulung daun (S. batatas)
Ketahanan thd. penyakit : Toleran kudis (Scab) dan bercak daun
(Cercospora sp.)
Pemulia : St.A. Rahayuningsih, Koes H., Isgiyanto,
Sutrisno, Sumartini, Supardi, Gatot S., dan
Joko Restuono

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 113


pengembangan
Nama varietas : SUKUH
Dilepas tanggal : 22 Oktober 2001
SK Mentan : 531/Kpts/TP.240/10/2001
Asal : Persilangan dari klon induk betina AB 940
Daya hasil : 25,0-30,0 t/ha
Umur panen : 4,0-4,5 bulan
Tipe tanaman : Kompak
Diameter buku ruas : Tipis
Panjang buku ruas : Pendek
Warna dominan sulur : Hampir semua ungu
Bentuk kerangka daun : Berbentuk hati
Kedalaman cuping daun : Tidak ada
Jumlah cuping daun : Satu
Bentuk cuping pusat : Gerigi
Warna tulang daun : Ungu (semua tulang)
Warna daun dewasa : Hijau dengan tulang daun ungu
Warna daun muda : Hijau dengan ungu melingkari tepi daun
Panjang tangkai daun : Pendek
Bentuk umbi : Elips membulat
Pertumbuhan umbi : Terbuka
Warna kulit umbi : Kuning
Warna daging umbi : Putih
Rasa umbi : Enak
Kadar bahan kering : 35,0%
Kadar serat : 0,85%
Kadar protein : 1,62%
Kadar gula : 4,56%
Kadar pati : 31,16%
Kadar betakaroten : 36,59 ug/100 g
Kadar vitamin C : 19,21 mg/100 g
Ketahanan thd. hama : Agak tahan hama boleng (Cylas formicarius)
dan penggulung daun
Ketahanan thd. penyakit : Tahan kudis (Scab) dan bercak daun
(Cercospora sp.)
Pemulia : M. Yusuf, I Gin Mok, Lisna Ningsih,
Tjintokohadi, S. Pambudi, Khusnul Makin,
dan Joko Restuono

114 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Nama varietas : JAGO
Dilepas tanggal : 22 Oktober 2001
SK Mentan : 530/Kpts/TP.240/10/2001
Asal : Dari famili klon B 0059-3
Daya hasil : 25,0-30,0 t/ha
Umur panen : 4,0-4,5 bulan
Tipe tanaman : Semi kompak
Diameter buku ruas : Sedang
Panjang buku ruas : Sangat pendek
Warna dominan sulur : Hijau
Bentuk kerangka daun : Berbentuk cuping
Kedalaman cuping daun : Tepi daun berlekuk dalam
Jumlah cuping daun : Lima
Bentuk cuping pusat : Elips
Ukuran daun dewasa : Sedang
Warna daun dewasa : Ungu
Warna daun muda : Hijau (atas), ungu (bawah)
Bentuk umbi : Membulat
Pertumbuhan umbi : Agak terbuka
Panjang tangkai umbi : Pendek
Warna kulit umbi : Putih
Warna daging umbi : Kuning muda
Rasa umbi : Enak
Kadar bahan kering : 33,3%
Kadar serat : 1,09%
Kadar protein : 1,50%
Kadar gula : 4,26%
Kadar pati : 30,73%
Kadar betakaroten : 84,99 ug/100 g
Kadar vitamin C : 20,65 mg/100 g
Ketahanan thd. hama : Agak tahan hama boleng (Cylas formicarius)
dan tahan hama penggulung daun
Ketahanan thd. penyakit : Agak tahan kudis (S. batatas) dan bercak daun
(Cercospora sp.)
Pemulia : M. Yusuf, I Gin Mok, Minantyorini, Lisna
Ningsih, Tjintokohadi, S. Pambudi, Khusnul
Makin, dan Joko Restuono

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 115


pengembangan
Nama varietas : KIDAL
Dilepas tanggal : 22 Oktober 2001
SK Mentan : 529/Kpts/TP.240/10/2001
Asal : Persilangan bebas dari induk Inaswang
Daya hasil : 25,0-30,0 t/ha
Umur panen : 4,0-4,5 bulan
Tipe tanaman : Semi kompak
Diameter buku ruas : Sedang
Panjang buku ruas : Pendek
Warna dominan sulur : Hijau
Bentuk kerangka daun : Berbentuk hati
Kedalaman cuping daun : Tidak ada
Jumlah cuping daun : Satu
Bentuk cuping pusat : Gerigi
Ukuran daun dewasa : Sedang
Warna daun dewasa : Hijau
Warna daun muda : Hijau; warna ungu melingkari tepi daun
Panjang tangkai daun : Sedang
Bentuk umbi : Membulat
Pertumbuhan umbi : Tertutup
Panjang tangkai umbi : Tidak bertangkai
Warna kulit umbi : Merah
Warna daging umbi : Kuning tua
Rasa umbi : Enak dan manis
Kadar bahan kering : 31,0%
Kadar serat : 1,07%
Kadar protein : 1,62%
Kadar gula : 4,82%
Kadar pati : 32,85%
Kadar betakaroten : 347,84 ug/100 g
Kadar vitamin C : 20,22 mg/100 g
Ketahanan thd. hama : Agak tahan hama boleng (Cylas formicarius)
dan hama penggulung daun
Ketahanan thd. penyakit : Tahan kudis (S. batatas) dan bercak daun
(Cercospora sp.)
Pemulia : M. Yusuf, Minantyorini, S. Pambudi, Khusnul
Makin, dan Joko Restuono

116 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Nama varietas : SHIROYUTAKA
Asal : Persilangan Kyukei 708-13 dengan S 684-6
Tipe tanaman : Menyebar
Potensi hasil : 25,0-30,0 t/ha
Umur panen : 4,0-4,5 bulan
Diameter buku ruas : Sedang (7-9 mm)
Panjang buku ruas : Sedang (6-9 mm)
Warna dominan sulur : Hijau
Bentuk kerangka daun : Segitiga sama sisi
Kedalaman cuping daun : Tidak ada
Jumlah cuping daun : Satu
Bentuk cuping pusat : Gerigi
Ukuran daun dewasa : Sedang (8-15 cm)
Warna daun dewasa : Hijau
Pigmentasi tangkai daun : Hijau, ujung tangkai ada cincin ungu
Bentuk umbi : Bulat telur, melebar pada ujung umbi
Susunan umbi : Terbuka
Panjang tangkai umbi : Pendek (10-20 cm)
Warna kulit umbi : Putih
Warna daging umbi : Putih
Rasa umbi : Enak
Kadar bahan kering : 40,2%
Kadar serat : 2,2%
Kadar protein : 3,2%
Kadar gula total : 4,8%
Kadar pati : 26-27%
Kadar betakaroten : 7,38 ug/100 g (db)
Kadar vitamin C : 16 mg/100 g (db)
Ketahanan thd. hama : Peka hama boleng (Cylas formicarius)
Ketahanan thd. penyakit : Tahan penyakit kudis (S. batatas)
Keterangan lain : Cocok ditanam pada lahan tegalan dan
sawah tadah hujan, dan dianjurkan untuk
pakan ternak
Pemulia : M. Yusuf dan St.A. Rahayuningsih
Teknisi : Muchlizar M, Irwan S., Farizal, Asep S., Tati
H., Yuniar, Emmiyati, Nana K, dan Heri D.
Pengusul : PT. Toyota Bio Indonesia, Lampung

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 117


pengembangan
Nama varietas : PAPUA SOLOSSA
Dilepas tanggal : 2 Oktober 2006
SK Mentan : 593/Kpts/SR.120/10/2006
Asal : Turunan dari persilangan terkendali varietas
Muara Takus dan Siate (Lokal Papua)
Potensi hasil (dat. Tinggi) : 30,0 t/ha
Rataan hasil (dat. tinggi) : 24,2 t/ha
Umur panen (dat. Tinggi) : 6 bulan
Tipe tanaman : Semi kompak
Warna dominan sulur : Hampir semua berwarna ungu
Bentuk kerangka daun : Berbentuk tombak
Jumlah cuping daun : Lima
Bentuk cuping pusat : Agak elip
Warna daun muda : Hijau berwarna ungu
Pigmentasi tangkai daun : Hijau, ujung tangkai ungu
Bentuk umbi : Elip membulat
Pertumbuhan umbi : Terbuka
Panjang tangkai umbi : Pendek
Warna kulit umbi : Kuning kecoklatan
Warna daging umbi : Kuning tua
Rasa umbi : Enak
Kadar bahan kering : 32,8%
Kadar abu : 0,73%
Kadar serat : 4,93%
Kadar protein : 2,12%
Kadar gula total : 4,87%
Kadar pati : 32,85%
Kadar betakaroten : 533,8 ug/100 g
Ketahanan thd. hama : Agak peka hama boleng (Cylas formicarius)
Ketahanan thd. penyakit : Tahan penyakit kudis (Sphaceloma. batatas) dan
bercak daun (Cercospora sp.)
Sifat lain : Agak toleran kekeringan
Keterangan : Dianjurkan ditanam pada lahan sawah dan
tegalan daerah pegunungan dengan
ketinggian tempat minimal 1000 m dpl.
Pemulia : M. Yusuf, St.A. Rahyuningsih, T.S. Wahyuni
Pengusul : Balitkabi, CIP-ESEAP, dan BPTP Papua

118 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Nama varietas : PAPUA PATIPPI
Dilepas tanggal : 2 Oktober 2006
SK Mentan : 594/Kpts/SR.120/10/2001
Asal : Persilangan bebas dari induk betina Gowok
(klon Lokal asal Jawa Barat) pada polycross
nursery
Potensi hasil (dat. Tinggi) : 32,5 t/ha
Rataan hasil (dat. Tinggi) : 26,0 t/ha
Umur panen (dat. Tinggi) : 6 bulan
Tipe tanaman : Menyebar
Warna dominan sulur : Hampir semua berwarna ungu
Bentuk kerangka daun : Berbentuk hati
Kedalaman cuping daun : Berlekuk sangat dangkal
Jumlah cuping daun : Tiga
Warna daun dewasa : Hijau, tulang daun berwarna ungu
Bentuk umbi : Elip memanjang
Pertumbuhan umbi : Tertutup
Panjang tangkai umbi : Pendek
Warna kulit umbi : Krem
Warna daging umbi : Kuning pucat
Rasa umbi : Enak dan manis
Kadar bahan kering : 32,4%
Kadar abu : 0,62%
Kadar serat : 5,17%
Kadar protein : 2,28%
Kadar gula total : 4,57%
Kadar betakaroten : 245,3 ug/100 g
Ketahanan thd. hama : Agak peka hama boleng (Cylas formicarius)
dan hama penggulung daun
Ketahanan thd. penyakit : Agak tahan penyakit kudis (S. batatas)
Keterangan : Dianjurkan ditanam pada lahan sawah dan
tegalan daerah pegunungan dengan
ketinggian tempat minimal 1000 m dpl.
Pemulia : M. Yusuf, A. setiawan, dan Tjintokohadi
Tim peneliti : D. Peters, C. Cargil, J. Limbongan, A.
Soplanet, A. Malik, S. Mahalay, Sumartini.
Pengusul ; Balitkabi, CIP-ESEAP, dan BPTP Papua

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 119


pengembangan
Nama varietas : SAWENTAR
Dilepas tanggal : 2 Oktober 2006
SK Mentan : 595/Kpts/SR.120/10/2006
Asal : Persilangan bebas dari induk betina Mantang
Merah (klon Lokal asal Jawa Barat) pada
polycross nursery
Potensi hasil (dat. Tinggi) : 30,0 t/ha
Rataan hasil (dat. Tinggi) : 24,8 t/ha
Umur panen (dat. Tinggi) : 6 bulan
Tipe tanaman : Semi kompak
Panjang buku ruas : Pendek
Warna dominan sulur : Hijau
Bentuk kerangka daun : Berbentuk hati
Bentuk cuping pusat : Gerigi
Warna daun dewasa : Hijau
Warna daun muda : Hijau dengan warna tulang daun ungu
Bentuk umbi : Elip membulat
Pertumbuhan umbi : Tertutup
Warna kulit umbi : Merah
Warna daging umbi : Krem
Rasa umbi : Enak
Kadar bahan kering : 33,5%
Kadar abu : 0,55%
Kadar serat : 5,347%
Kadar protein : 1,94%
Kadar gula total : 5,23%
Kadar betakaroten : 350,12 ug/100 g
Ketahanan thd. hama : Agak peka hama boleng (C. formicarius)
Ketahanan thd. penyakit : Tahan penyakit kudis (S. batatas)
Sifat lain : Agak toleran kekeringan
Keterangan : Dianjurkan ditanam pada lahan sawah dan
tegalan di daerah pegunungan dengan
ketinggian tempat minimal 1000 m dpl.
Pemulia : M. Yusuf, A. Setiawan, dan Tjintokohadi
Tim peneliti : D. Peters, C. Cargil, S. Mahalay, M. Nasri,
Atekan, Sumartini, dan Supriyatin.
Pengusul : Balitkabi dan CIP-ESEAP

120 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Nama varietas : BETA 1
Dilepas tanggal : 19 Mei 2009
SK Mentan : 2217/Kpts/SR.120/5/2009
Asal : Hasil persilangan bebas dari induk betina
MSU 01015. MSU 01015 berasal dari
persilangan varietas Kidal dengan BB 97281-16
Potensi hasil : 35,7 t/ha
Rata-rata hasil : 25,6 t/ha
Umur panen : 4-4,5 bulan
Tipe tanaman : Menyebar
Panjang buku ruas : Pendek
Warna dominan sulur : Hijau
Bentuk kerangka daun : Segitiga sama sisi
Jumlah cuping daun : Satu
Warna daun dewasa : Hijau
Bentuk umbi : Elip panjang
Pertumbuhan umbi : Menyebar
Warna kulit umbi : Merah
Warna daging umbi : Oranye tua
Rasa umbi : Enak dan manis
Kadar bahan kering : 25,3%
Kadar abu : 5,28% (bk)
Kadar serat : 4,04% (bk)
Kadar amilosa : 15,98% (bk)
Kadar gula reduksi : 8,18% (bk)
Kadar pati : 73,25% (bk)
Kadar betakaroten : 12.032 ug/100 g (bb)
Vitamin C : 16,5 mg/100 g (bb)
Ketahanan thd. hama : Agak tahan hama boleng (C. formicarius)
Ketahanan thd. peny. : Agak tahan penyakit kudis (S. batatas)
Sifat lain : Agak toleran kekeringan
Keterangan lain : Kandungan betakaroten tinggi, rasa enak,
cocok ditanam pada lahan tegalan dan sawah
sesudah tanaman padi
Pemulia : M. Yusuf, St.A. Rahayuningsih, TS. Wahyuni,
J. Restuono, dan G. Santoso
Peneliti pascapanen : Erliana Ginting

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 121


pengembangan
Nama varietas : BETA 2
Dilepas tanggal : 19 Mei 2009
SK Mentan : 2216/Kpts/SR.120/5/2009
Asal : Hasil persilangan bebas dari induk betina MSU
Persilangan varietas Kidal dengan BB 97281-16
Potensi hasil : 34,7 t/ha
Rata-rata hasil : 28,6 t/ha
Umur panen : 4-4,5 bulan
Tipe tanaman : Semi kompak
Panjang buku ruas : Sangat pendek
Warna dominan sulur : Hijau
Warna sekunder sulur : Tidak ada
Bentuk kerangka daun : Cuping
Jumlah cuping daun : Lima
Bentuk cuping pusat : Agak elip
Ukuran daun dewasa : Kecil
Warna daun dewasa : Hijau
Bentuk umbi : Elip membulat
Pertumbuhan umbi : Terbuka
Warna kulit umbi : Merah
Warna daging umbi : Oranye
Rasa umbi : Enak
Kadar bahan kering : 23,8%
Kadar serat : 3,55% (bk)
Kadar amilosa : 23,08% (bk)
Kadar gula reduksi : 5,00% (bk)
Kadar pati : 17,8% (bb)
Kadar betakaroten : 4.629 ug/100 g (bb)
Vitamin C : 21,0 mg/100 g (bb)
Ketahanan thd. hama : Agak tahan hama boleng (C. formicarius)
Ketahanan thd. penya. : Agak tahan penyakit kudis (S. batatas)
Keterangan lain : Rasa enak, bentuk umbi bagus, cocok ditanam
pada lahan tegalan dan sawah sesudah tanaman
padi
Pemulia : M. Yusuf, St.A. Rahayuningsih, TS. Wahyuni, J.
Restuono, dan G. Santoso
Peneliti Pascapanen : Erliana Ginting

122 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Nama varietas : BETA 3
Dilepas tanggal : 10 Juni 2016
SK Mentan : 377/Kpts/TP.010/6/2016
Asal : Klon hasil persilangan antar induk betina klon
MIS 139-5 dengan tetua jantan klon MIS 547-2
Potensi hasil : 34,0 t/ha
Rata-rata hasil : 29,4 t/ha
Umur panen : 4-5 bulan setelah tanam
Tipe tanaman : Semi kompak
Panjang buku ruas : Pendek (4-5 cm)
Warna dominan sulur : Hijau
Bentuk kerangka daun : Seperti hati
Ukuran daun dewasa : Sedang
Warna daun muda : Hijau muda kekuningan, tepi daun dilingkari
warna ungu kadang tipis, kadang agak tebal
Bentuk umbi : Bulat telur melebar di ujung hingga elip
Pertumbuhan umbi : Tersebar
Warna kulit umbi : Merah cerah
Warna daging umbi : Jingga (skor 475)
Rasa umbi : Enak pulen
Kadar bahan kering : 32,50%
Kadar air : 68,02%
Kadar serat : 3,68% (bk)
Kadar protein : 11,04% (bk)
Kadar gula total : 11,13% (bk)
Kadar pati : 62,91% (bk)
Kadar betakaroten : 9.630 ug/100 g (bb)
Vitamin C : 23,34 mg/100 g (bb)
Ketahanan thd. hama : Agak tahan hama boleng (C. formicarius)
Ketahanan thd. peny. : Tahan penyakit kudis (S. batatas)
Keterangan : Beradaptasi luas
Pemulia : St.A. Rahayuningsih, TS. Wahyuni, M. Yusuf,
Wiwit Rahajeng, Gatot Santoso, J. Restuono,
dan Sudjarwo
Peneliti : E. Ginting, R. Yulifianti, Didik Harnowo,
Sumartini, dan SW. Indiati
Pengusul : Balitkabi, Balitbangtan

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 123


pengembangan
Nama varietas : ANTIN 1
Dilepas tanggal : 15 Januari 2013
SK Mentan : 165/Kpts/SR.120/1/2013
Asal : Turunan dari hasil persilangan bersari bebas
dari varietas Samarinda (Lokal Blitar) dan Kinta
(Lokal Papua)
Potensi hasil : 33,2 t/ha
Rata-rata hasil : 25,8 t/ha
Umur panen : 4-5 bulan setelah tanam
Tipe tanaman : Semi kompak
Warna dominan sulur : Hijau dengan beberapa bercak ungu
Bentuk kerangka daun : Segitiga sama sisi
Jumlah cuping daun : Satu
Warna daun muda : Hijau bagian atas, ungu bagian bawah
Bentuk umbi : Bulat telur, lebar pada tangkai umbi
Pertumbuhan umbi : Terbuka
Warna kulit umbi : Putih
Warna dominan daging : Ungu
umbi
Warna sekunder daging : Putih
umbi
Rasa umbi : Enak
Kadar bahan kering : ± 31,5%
Kadar serat : ± 2,3%
Kadar protein : ± 1,9%
Kadar gula total : ± 1,7%
Kadar pati : ± 19,3%
Kadar betakaroten : ± 7,8 %
Vitamin C : ± 21,8 %
Ketahanan thd. hama : Agak tahan hama boleng (C. formicarius)
Ketahanan thd. peny. : Agak tahan penyakit kudis (S. batatas)
Keterangan : Toleran kekeringan, warna daging umbi
menarik, sangat cocok untuk keripik, dan cocok
ditanam pada lahan tegalan dan sawah
Pemulia : M. Yusuf, St.A. Rahayuningsih, TS. Wahyuni,
Joko Restuono, dan Gatot Santoso
Pengusul : Balitkabi Malang, Balitbangtan

124 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Nama varietas : ANTIN 2
Dilepas tanggal : 7 Februari 2014
SK Mentan : 189/Kpts/SR.120/2/2014
Asal : Persilangan terkendali klon MSU 01008-16
dengan varietas Samarinda (lokal Blitar)
Potensi hasil : 37,1 t/ha
Rata-rata hasil : 24,5 t/ha
Umur panen : 4-4,5 bulan
Tipe tanaman : Semi kompak
Panjang buku ruas : Pendek
Warna dominan sulur : Hijau dengan sedikit bercak ungu
Bentuk kerangka daun : Berbentuk cuping
Jumlah cuping daun : Tiga
Warna daun dewasa : Hijau
Pigmentasi tangkai daun : Hijau, pangkal dan tangkai berwarna ungu
Warna daun muda : Kuning kehijauan
Bentuk umbi : Bulat lonjong (elips)
Pertumbuhan umbi : Terbuka
Warna kulit umbi : Ungu kemerahan
Warna daging umbi : Ungu
Rasa umbi : Enak dan agak manis
Kadar bahan kering : ± 32,6% (bb)
Kadar serat : ± 0,9% (bb)
Kadar protein : ± 0,6% (bb)
Kadar gula reduksi : ± 0,4% (bb)
Kadar pati : ± 22,2% (bb)
Kadar vitamin C : ± 22,1 mg/100 g (bb)
Kadar antosianin : ± 130,2 mg/100 g (bb)
Ketahanan thd. hama : Agak tahan hama boleng (C. formicarius)
Ketahanan thd. peny. : Agak tahan penyakit kudis (S. batatas)
Keterangan : Kandungan antosianin tinggi, rasa enak, toleran
kekeringan, cocok ditanam pada lahan tegalan
dan sawah sesudah padi
Pemulia : M. Yusuf, St.A. Rahayuningsih, TS. Wahyuni, J.
Restuono, dan Gatot Santoso
Peneliti pascapanen : Erliana Ginting dan Rahmi Yulifianti.
Pengusul ; Balitkabi Malang, Balitbangtan Jakarta

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 125


pengembangan
Nama varietas : ANTIN 3
Dilepas tanggal : 7 Februari 2014
SK Mentan : 190/Kpts/SR.120/2/2014
Asal : Persilangan bebas dari tetua betina MSU 03028
pada pertanaman Polycross Nursery
Potensi hasil : 30,6 t/ha
Rata-rata hasil : 23,4 t/ha
Umur panen : 4-4,5 bulan
Tipe tanaman : Semi kompak
Panjang buku ruas : Pendek
Warna dominan sulur : Hijau dengan bebrapa bercak ungu
Bentuk kerangka daun : Berbentuk cuping
Jumlah cuping daun : Tiga
Warna daun dewasa : Hijau
Pigmentasi tangkai daun : Hijau, ujung tangkai ungu
Warna daun muda : Permukaan atas dan bawah ungu
Bentuk umbi : Bulat lonjong (elips)
Pertumbuhan umbi : Terbuka
Warna kulit umbi : Merah keunguan
Warna daging umbi : Ungu tua
Rasa umbi : Enak, manis, dan agak sepat
Kadar bahan kering : ± 31,3% (bb)
Kadar serat : ± 1,1% (bb)
Kadar protein : ± 0,6% (bb)
Kadar gula total : ± 0,9% (bb)
Kadar pati : ± 18,2% (bb)
Kadar vitamin C : ± 20,1 mg/100 g (bb)
Kadar antosianin : ± 150,7 mg/100 g (bb)
Ketahanan thd. hama : Agak tahan hama boleng (C. formicarius)
Ketahanan thd. peny. : Agak tahan penyakit kudis (S. batatas)
Keterangan : Kandungan antosianin sangat tinggi, toleran
kekeringan, cocok ditanam pada lahan tegalan
dan sawah sesudah tanaman padi
Pemulia : M. Yusuf, St.A. Rahayuningsih, TS. Wahyuni,
Joko Restuono, dan Gatot Santoso
Peneliti pascapanen : Erliana Ginting dan Rahmi Yulifianti.
Pengusul ; Balitkabi Malang, Balitbangtan

126 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
Nama varietas : PATING 1
Dilepas Tahun : Mei 2018
SK Mentan : 345/Kpts/TP.010/05/2014
Asal : Persilangan bebas dari induk betina Mamasa 2
pada Polycross Nursery 2010
Potensi hasil : 29,9 t/ha
Rata-rata hasil : 26,8 t/ha
Umur panen : 4-4,5 bulan
Tipe tanaman : Semi kompak
Warna dominan sulur : Hijau dengan beberapa bercak ungu
Bentuk kerangka daun : Berbentuk cuping
Jumlah cuping daun : Lima
Bentuk cuping pusat : Segi tiga sama sisi
Warna daun dewasa : Hijau
Warna daun muda : Ungu
Bentuk umbi : Membulat
Pertumbuhan umbi : Terbuka
Warna kulit umbi : Putih
Warna daging umbi : Putih
Rasa umbi : Enak dan manis
Kadar bahan kering : 36,88% (bb)
Kadar abu : 2,45% (bk)
Kadar serat : 0,85% (bb)
Kadar protein : 0,57% (bb)
Kadar gula reduksi : 2,44% (bb)
Kadar pati : 24,83% (bb)
Kadar vitamin C : 20,1 mg/100 g (bb)
Ketahanan thd. hama : Agak tahan hama boleng (Cylas formicarius)
Ketahanan thd. penyakit : Agak tahan penyakit kudis (S. batatas)
Keterangan : Kadar pati dan bahan kering tinggi, rasa enak,
cocok ditanam pada lahan tegalan dan sawah
sesudah padi
Pemulia : M. Yusuf, Joko Restuono,, TS. Wahyuni, FC.
Indriani, Wiwit Rahajeng, dan Gatot Santoso
Peneliti : Erliana Ginting, SW. Indiati, Sumartini, dan
Rahmi Yulifianti.
Pengusul ; Balitkabi Malang, Balitbangtan

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 127


pengembangan
Nama varietas : PATING 2
Dilepas tanggal : Mei 2018
SK Mentan : 346/Kpts/TP.010/05/2018
Asal : Persilangan bebas dari tetua betina Mamasa 2
pada Polycross Nursery
Potensi hasil : 31,8 t/ha
Rata-rata hasil : 28,7 t/ha
Umur panen : 4-4,5 bulan
Tipe tanaman : Semi kompak
Diameter buku ruas : Tipis
Warna dominan sulur : Hijau dengan beberapa bercak ungu
Bentuk kerangka daun : Berbentuk cuping
Bentuk cuping pusat : Segitiga sama sisi
Warna daun dewasa : Hijau
Pigmentasi tangkai daun : Hijau dengan garis-garis ungu
Warna daun muda : Hijau, dengan warna ungu melingkari tepi
Bentuk umbi : Ellips membulat
Pertumbuhan umbi : Terbuka
Warna kulit umbi : Krem
Warna daging umbi : Kuning
Rasa umbi : Enak dan agak manis
Kadar bahan kering : 35,65% (bb)
Kadar abu : 2,67% (bk)
Kadar serat : 0,92% (bb)
Kadar protein : 0,56% (bb)
Kadar gula reduksi : 3,24% (bb)
Kadar pati : 23,33% (bb)
Kadar vitamin C : 20,1 mg/100 g (bb)
Kadar antosianin : 150,2 mg/100 g (bb)
Ketahanan thd. hama : Agak tahan hama boleng (Cylas formicarius)
Ketahanan thd. penyakit : Agak tahan penyakit kudis (S. batatas)
Keterangan : Kadar pati dan bahan kering sangat tinggi,
cocok ditanam pada lahan tegalan dan sawah
sesudah padi
Pemulia : M. Yusuf, Joko Restuono, TS. Wahyuni, FC.
Indriani, Wiwit Rahajeng, dan Gatot Santoso
Pengusul ; Balitkabi Malang, Balitbangtan

128 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
INDEKS

adonan 76, 77, 78, 79, 80, 81 99, 102, 105, 118, 119, 120, 121,
alamiah 2 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128,
antosianin 18, 23, 24, 25, 27, 32, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135
75, 90, 97, 132, 133, 135 hara 13, 18, 19, 34, 38, 39, 40, 41,
beban glikemik 25 45, 47, 56
Be-Bas 51, 53, 54, 102 hipertensi 90
antioksidan 24, 33, 34 imago 50, 53, 61
bercak 18, 56, 64, 65, 66, 67, 68, 69, inang 51, 57, 59, 61, 62
119, 120, 121, 122, 123, 125, 131, indek glikemik 25
132, 133, 134, 135 infeksi 66, 69
betakaroten 24, 26, 27, 75, 90, 119, insektisida 51, 53, 54, 60, 70
120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, instar 58, 59, 62
127, 128, 129, 130, 131 jamur 63, 64, 65, 66
cendawan 51, 53, 59, 105 jantung 23, 25
diabetes 25, 90, 96, 97, 104 jaringan 12, 50, 58, 63, 67
diversifikasi 27, 30, 31, 32, 43, 88, karakter 9, 10, 13, 18
89, 93, 97, 98, 99, 101, 105, 106 katarak 23, 90
doughter tubers 13 klon 9, 10, 11, 14, 16, 18, 38, 39, 42,
ekologi 43 57, 59, 70, 71, 75, 94, 96, 105,
ekonomi 7, 26, 27, 28, 29, 31, 32, 107, 121, 122, 126, 127, 130, 132
85, 86, 87, 88, 89, 90, 93, 94, 95, komposisi 3, 32, 71
99, 104 krem 17, 50
elektron 23 larutan 13, 41, 53, 54, 66, 70
entomopatogen 51, 53, 105 larva 50, 52, 53, 54, 56, 58, 60, 62
eradikasi 67 lateral 12, 19, 20, 56
fisiologi 9 lemak 24, 26
genetik 19 lingkungan9, 10, 14, 18, 33, 41, 45,
gula 2, 18, 25, 76, 78, 79, 80, 81, 82, 51, 53
83, 97, 101, 119, 120, 121, 122, longitudinal 12, 20
123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, meristem 12
130, 131, 132, 133, 134, 135 molekul 23, 24
hama 27, 35, 42, 43, 45, 46, 48, 49, morfologi 7, 9, 11, 13, 18, 101
50, 51, 55, 56, 57, 58, 61, 62, 70, morfologi tanaman 9, 10
UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 129
pengembangan
nabati 26, 51, 54, 60 tangkai 9, 10, 14, 16, 26, 57, 61, 64,
nimfa 53, 59, 60 118, 119, 121, 122, 123, 124, 125,
oksidan 23, 100 126, 131, 132, 133, 135
oksidasi 23 tapioka 76, 83
organ 9, 11, 14, 25, 41 tepung 1, 26, 27, 31, 53, 71, 73, 74,
pasta 76, 78, 79, 83, 91 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 83, 86,
pati 1, 2, 4, 119, 120, 121, 122, 123, 89, 91, 94, 96, 100, 104, 106, 107
124, 125, 128, 129, 130, 131, 132, tungau 49, 57, 99
133, 134, 135 ubijalar 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10,
patogen 63, 70 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 20,
penggerek 51, 56, 102, 118 21, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30,
penuaan 23, 33, 90 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39,
penyerbukan 9 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48,
petiole 11, 14 49, 51, 52, 55, 57, 59, 60, 62, 63,
pigmen 4, 13, 14, 18 64, 65, 66, 67, 70, 71, 72, 73, 74,
populasi 19, 37, 51, 60, 70 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83,
protein 1, 24, 26, 27, 119, 120, 121, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93,
122, 123, 124, 125, 126, 127, 130, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101,
131, 132, 133, 134, 135 102, 103, 104, 105, 106, 107
R/C rasio 28, 43 usahatani 3, 6, 28, 43, 44, 46,
radikal bebas 23, 24, 100 72, 85, 87, 90, 98, 100, 105
rantai pemasaran 28
varietas 2, 9, 10, 11, 16, 18, 33,
reduktan 23
resep 76 36, 38, 43, 44, 57, 64, 66, 70,
ruas 9, 11, 13, 19, 37, 42, 119, 120, 71, 72, 74, 75, 85, 88, 94, 95,
121, 122, 123, 124, 127, 128, 129, 117, 118, 119, 120, 121, 122,
130, 132, 133, 135 123, 124, 125, 126, 127, 128,
seleksi 9, 56, 57 129, 130, 131, 132, 133, 134
spora 63, 64
vitamin 1, 23, 24, 25, 26, 32,
stek batang 11, 14, 36
sulur 9, 10, 13, 119, 120, 121, 122, 119, 120, 121, 122, 123, 124,
123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 132, 133, 134, 135
130, 131, 132, 133, 134, 135

130 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek


pengembangan
TENTANG PENULIS I

Didik Harnowo, Prof. (Riset) Dr., M.S., Ir., lahir di Trenggalek, adalah
Peneliti Ahli Utama bidang Budidaya dan Produksi Tanaman pada Balai
Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) Malang, Badan
Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian. Program Strata 1 dan Strata 2
ditempuh di IPB, Bogor. Program S3 (lulus 2004) ditempuh di UPM
(University Putra Malaysia) Kuala Lumpur.

Jabatan fungsional sebagai Peneliti Ahli Utama diraih pada tahun 2010 dan
hingga kini telah menghasilkan tidak kurang dari 110 karya tulis ilmiah.
Beberapa buku juga telah diterbitkan. Penghargaan sebagai Profesor Riset
dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) diperoleh melalui Orasi
Profesor Riset pada bulan Agustus 2017, dan memperoleh Penghargaan
Satyalencana Karya Satya XXX Tahun dari Presiden RI (Ir. H. Joko
Widodo) tertanggal 16 Maret 2018.

Penulis aktif membimbing skripsi mahasiswa dari berbagai Perguruan


Tinggi, baik negeri maupun swasta, serta membimbing dan/atau menguji
mahasiswa Program S3. Sebagai seorang peneliti profesional, ia sering
diundang menjadi nara sumber (pembicara utama/dosen tamu) di
berbagai Perguruan Tinggi, yakni : Universitas Brawijaya Malang,
Universitas Haluoleo Kendari, Universitas Muhammadiyah Malang,
Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Universitas Diponegoro Semarang,
Universitas Samudra Langsa di Aceh, Universitas Sumatera Utara Medan,
dan Universitas Lampung.

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 131


pengembangan
132 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
TENTANG PENULIS II

Joko Susilo Utomo, Ir, MP, PhD. lahir di Banyuwangi pada tanggal 23 Juli
1961. Telah menyelesaikan studi S1 pada Fakultas Teknologi Pertanian di
Universitas Gadjah Mada pada tahun 1986. Magister pertanian di
universitas yang sama pada tahun 1994 pada bidang yang sama.
Pendidikan S3 diselesaikan di University Putra Malaysia pada bidang
Food Science and Technology pada tahun 2009, dengan Judul Disertasi:
“Development of Restructured Sweet potato Frech Fries Type Product”.

Karir sebagai peneliti diawali semenjak tahun 1986 sebagai peneliti bidang
Pasca Panen pada Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang, Badan
Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian. Berbagai karya tulis ilmiah
telah dihasilkan dan terpublikasi pada Jurnal ilmiah di dalam dan luar
negeri. Sebanyak 35 jurnal telah dihasilkan dan 10 diantaranya dipublikasi
pada jurnal internasional. Selain itu, beberapa karya tulis juga dipubli-
kasikan pada prosiding seminar dalam dan luar negeri. Beberapa buku
telah pula ditulis bersama dengan peneliti lingkup Kementerian Pertanian.
Selain karirnya sebagai peneliti, hingga kini penulis aktif mengajar di
beberapa Perguruan Tinggi di Malang pada bidang keahliannya.

UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek 133


pengembangan
134 UBIJALAR : Dari morfologi dan pola pertumbuhan hingga prospek
pengembangan
SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, kami penulis KTI (Buku Ilmiah)
berjudul : “Ubijalar: Dari Morfologi dan Pola Pertumbuhan Hingga
Prospek Pengembangan” yang diterbitkan oleh Penerbit Nasional di luar
institusi Kementerian Pertanian, yakni Universitas Negeri Malang Press
(Anggota IKAPI No. 059/JTI/89) Tahun 2020, jumlah halaman 133,
dengan ini menyatakan bahwa kontributor penulisan KTI (Buku Ilmiah)
tersebut adalah sebagai berikut:

Kontributor Utama: Didik Harnowo, Peneliti Ahli Utama.

Kontributor Anggota: Joko Susilo Utomo, Peneliti Ahli Madya.

Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya, untuk


dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Malang, 7 Desember 2020

Kontributor Utama : Kontributor Anggota:

Didik Harnowo Joko Susilo Utomo

Anda mungkin juga menyukai