Anda di halaman 1dari 1

✎ almanhaj ☰

Hukum Bangkai
HUKUM BANGKAI

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Pengertian Bangkai
Bangkai, dalam bahasa Arab disebut al mayyitah.
Pengertiannya, yaitu sesuatu yang mati tanpa
disembelih.[1] Sedangkan menurut pengertian para
ulama syari’at, al mayyitah (bangkai) adalah hewan
yang mati tanpa disembelih secara syar’i, dengan
cara mati sendiri tanpa sebab campur tangan
manusia. Dan terkadang dengan sebab perbuatan
manusia, jika dilakukan tidak sesuai dengan cara
penyembelihan yang diperbolehkan.[2]

Dengan demikian definisi bangkai mencakup:

1. Yang mati tanpa disembelih, seperti kambing


yang mati sendiri.
2. Yang disembelih dengan sembelihan tidak
syar’i, seperti kambing yang disembelih orang
musyrik.
3. Yang tidak menjadi halal dengan disembelih,
seperti babi disembelih seorang muslim sesuai
syarat penyembelihan syar’i.[3]

Para ulama berpendapat, anggota tubuh (daging)


yang dipotong dari hewan yang masih hidup,
termasuk dalam kategori bangkai, dengan dasar
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

َ َ‫طعَ ِمنْهَا فَ ُهو‬


‫ميْتَ ٌة‬ ِ ‫ ٌة فَمَ ا ُق‬3‫هيَ حَ ي‬
ِ ‫طعَ ِم ْن ا ْلبَ ِهيمَ ِة َو‬
ِ ‫مَا ُق‬

(Semua yang dipotong dari hewan dalam keadaan


masih hidup adalah bangkai).[4] Dengan demikian,
hukumnya sama dengan hukum bangkai.

Najisnya Bangkai
Menilik keadaan hewan bangkai, maka dapat dibagi
menjadi tiga bagian.

1. Yang ada di luar kulit, seperti bulu dan


rambutnya serta yang sejenisnya.
Hukumnya suci, tidak najis,[5] berdasarkan firman
Allah :

ِ ٰ‫متَاعًا إِ َلى‬
ٍ=‫ح‬ ِ ‫صو‬
ْ َ ‫َافهَا َوأ َ ْوبَا ِرهَا َوأ‬
َ ‫شعَا ِرهَا أَثَاثًا َو‬ ْ َ ‫َو ِم ْن أ‬

Dan (dijadikannya pula) dari bulu domba, bulu onta


dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan
perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).
[an-Nahl/16:80].

Ayat ini bersifat umum, yakni meliputi hewan yang


disembelih dan tidak disembelih. Allah juga
menyampaikan ayat ini untuk menjelaskan karunia-
Nya terhadap hamba-hamba-Nya yang menunjukkan
kehalalannya.[6]

2. Bagian bawah kulitnya, seperti daging dan


lemak.
Hukumnya najis secara ijma’[7] dan tidak dapat
disucikan dengan disamak.[8] Berdasarkan firman
Allah Ta’ala:

‫ن‬ ِ َ‫ع َلىٰ ط‬


ْ َ ‫ أ‬K3 ِ‫اعم ٍ يَطْعَمُ ُه إ‬ ِ ُ ‫ج ُد ِفي مَا أ‬
َ ‫رمًا‬3 َ‫ مُح‬3‫وحيَ إِ َلي‬ ِ َ ‫ أ‬Kَ ‫ُق ْل‬
ْ ‫س أ َ ْو ِف‬
‫س ًقا‬ ِ ‫َسفُوحً ا أ َ ْو َلحْ َم‬
ٌ ْ‫ ُه ِرج‬3‫خنْ ِزي ٍر فَ ِإن‬ ْ ‫ميْتَ ًة أ َ ْو َدمًا م‬ َ ‫يَ ُكو‬
َ ‫ن‬
ِ3`‫غيْ ِر ا‬َ ِ‫ل ل‬3 ‫ه‬ِ ُ‫أ‬

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang


diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi
orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor-
atau binatang disembelih atas nama selain Allah”. [al
An’am/6:145].

Dikecualikan dalam hal ini, yaitu:


a. Bangkai ikan dan belalang, berdasarkan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫ا‬3‫ن فَا ْلحُ وتُ َوا ْلجَ َرا ُد َوأَم‬ ْ ‫ا‬3‫ن فَأَم‬
ِ ‫َيْتَتَا‬d‫ا‬ ِ ‫ن َو َدمَا‬ ِ ُ‫أ‬
َ ‫لتْ َل ُك ْم‬3 ‫ح‬
ِ ‫ميْتَتَا‬
ُ َ‫ح‬h‫ن فَا ْل َك ِب ُد َوالط‬
‫ال‬ ِ ‫دمَا‬3 ‫ال‬

Dihalalkan bagi kalian dua bangkai dan dua darah.


Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan
belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati
(liver) dan limpa. [HR Ibnu Majah no. 3314, dan
dishohihkan Syaikh al Albani dalam Silsilah al Ahadits
ash-Shohihah, no. 1118].

b. Bangkai hewan yang tidak memiliki darah yang


mengalir, seperti lalat, lebah, semut dan sejenisnya,
berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :

‫ن ِفي‬ 3 ‫ع ُه فَ ِإ‬ ْ ‫غ ِم‬


ْ ‫م لِيَنْ ِز‬3 ُ ‫س ُه ث‬ ْ َ‫اب أَحَ ِد ُك ْم فَ ْلي‬ َ ‫َاب ِفي‬
ِ ‫ش َر‬ ُ ‫ب‬k‫إِذَا َو َقعَ الذ‬
ِ ‫خ َرى‬
‫شفَا ًء‬ ْ ُ p‫ا‬ ْ ‫إِحْ دَى جَ نَاحَ ي ِْه دَا ًء َو‬

Apabila seekor lalat hinggap di minuman salah


seorang kalian, maka hendaknya
menenggelamkannya kemudian membuangnya.
Karena, pada salah satu dari kedua sayapnya
penyakit, dan (sayap) yang lainnya (sebagai) obatnya
(penawar). [HR al Bukhari, no. 3320].

c. Tulang, tanduk dan kuku bangkai. Ini semuanya


suci, sebagaimana dijelaskan Imam al Bukhori, dari
az-Zuhri tentang tulang bangkai, seperti gajah dan
lainnya, dengan sanad mu’allaq dalam Shohih al
Bukhori (1/342).

Imam az-Zuhri berkata,”Aku telah menemui sejumlah


orang dari ulama salaf menggunakannya sebagai
sisir dan berminyak dengannya. Mereka
membolehkannya.”[9]

d. Bangkai manusia, berdasarkan sabda Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ُ ُ‫ يَنْج‬Kَ ‫سلِ َم‬


‫س‬ ْ ُ d‫ا‬
ْ ‫ن‬3 ِ‫ِ إ‬3`‫ن ا‬
َ ‫سبْحَ ا‬
ُ

Sesungguhnya seorang muslim itu tidak najis. [HR al


Bukhari].

Syaikh Majduddin Ibnu Taimiyyah berkata,”


(Pengertian) ini umum mencakup yang hidup dan
yang mati”.

Imam al Bukhari berkata, Ibnu ‘Abbas berkata:


“Seorang muslim itu tidak najis, baik ketika masih
hidup atau setelah mati”. Imam al Bukhori juga
membuat bab dalam kitab al Muntaqa, yaitu bab
yang menerangkan bahwa muslim itu tidak najis.[10]

Adapun tubuh orang kafir, terjadi perselisihan tentang


kesuciannya. Yang rojih, yaitu pendapat mayoritas
ulama yang mengatakan kesuciannya, berdasarkan
firman Allah :

ٌ َ‫ن نَج‬
‫س‬ َ ‫ش ِر ُكو‬
ْ ُ d‫ا‬ َ ‫ل ِذي َن آ‬3 ‫هَا ا‬k‫يَا أَي‬
ْ ‫مَ ا‬3‫منُوا إِن‬

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-


orang yang musyrik itu najis. [at-Taubah/9:28].

Ini karena keyakinan dan joroknya mereka dan


dibolehkannya menikahi wanita Ahlu Kitab; padahal
jelas akan bersentuhan dan tidak dapat dielakkan,
khususnya ketika berhubungan intim. Wallahu a’lam.

3. Kulitnya
Hukum najisnya mengikuti hukum bangkainya.
Apabila bangkai hewan tersebut suci, maka
kulitnyapun suci; dan bila hewan tersebut najis, maka
kulitnyapun najis. Di antara contoh yang suci adalah
ikan, dengan dasar firman Allah:

‫متَاعًا َل ُك ْم‬ ُ ‫صيْ ُد ا ْلبَحْ ِر َوطَعَا‬


َ ‫م ُه‬ َ ‫ل َل ُك ْم‬3 ‫ح‬
ِ ُ‫أ‬

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan


(yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat
bagimu. [al Maidah/5:96].

Ibnu ‘Abbas mengatakan: ” ‫صيْ ُد ا ْلبَحْ ِر‬


َ adalah yang
ُ ‫ َوطَعَا‬adalah yang
diambil hidup-hidup, dan ‫م ُه‬
diambil sesudah mati”. Sehingga, kulitnyapun suci.
[11]

Hukum Memakan Bangkai


Syari’at Islam telah mengharamkan memakan
bangkai. Dasar pengharaman bangkai ini, terdapat di
dalam al Qur`an dan Sunnah.

Pengharaman bangkai dalam al Qur’an ada dalam


beberapa ayat, di antaranya:

َ ِ‫ل ِب ِه ل‬3 ‫ه‬


ِ3`‫غيْ ِر ا‬ ِ ُ ‫خنْ ِزي ِر َومَا أ‬
ِ ‫د َم َو َلحْ َم ا ْل‬3 ‫َيْتَ َة َوال‬d‫ا‬
ْ ‫ع َليْ ُك ُم‬
َ ‫ر َم‬3 َ‫مَ ا ح‬3‫ن‬

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu


bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang
ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. [al
Baqarah/2:173].

‫ِ ِب ِه‬3`‫غيْ ِر ا‬
َ ِ‫ل ل‬3 ‫ه‬
ِ ُ ‫خنْ ِزي ِر َومَا أ‬ِ ‫د ُم َو َلحْ ُم ا ْل‬3 ‫َيْتَ ُة َوال‬d‫ا‬
ْ ‫ع َليْ ُك ُم‬
َ ْ‫مت‬ َ ‫ر‬h ُ‫ح‬
‫ مَا‬K3 ِ‫السبُعُ إ‬3 ‫طيحَ ُة َومَا أ َ َك َل‬ِ 3‫ديَ ُة َوالن‬h ‫ُتَ َر‬d‫ا‬
ْ ‫َوْ ُقوذَةُ َو‬d‫ا‬ْ ‫خ ِن َق ُة َو‬
َ ْ‫ُن‬d‫ا‬ْ ‫َو‬
‫كيْتُ ْم‬3 َ‫ذ‬

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,


daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas
nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang
jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas,
kecuali yang sempat kamu menyembelihnya. [al
Maidah/5:3].

Baca Juga Kurma Untuk Mentahnik Bayi,


Contoh Dalam Bershadakah

‫ن‬ ِ َ‫ع َلىٰ ط‬


ْ َ ‫ أ‬K3 ِ‫اعم ٍ يَطْعَمُ ُه إ‬ ِ ُ ‫ج ُد ِفي مَا أ‬
َ ‫رمًا‬3 َ‫ مُح‬3‫وحيَ إِ َلي‬ ِ َ ‫ أ‬Kَ ‫ُق ْل‬
‫س ًقا‬ ْ ‫س أ َ ْو ِف‬ ِ ‫َسفُوحً ا أ َ ْو َلحْ َم‬
ٌ ْ‫ ُه ِرج‬3‫خنْ ِزي ٍر فَ ِإن‬ ْ ‫ميْتَ ًة أ َ ْو َدمًا م‬ َ ‫يَ ُكو‬
َ ‫ن‬
‫ِ ِب ِه‬3`‫غيْ ِر ا‬ َ ِ‫ل ل‬3 ‫ه‬
ِ ُ‫أ‬

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang


diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi
orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor-
atau binatang disembelih atas nama selain Allah“. [al
An’am/6:145]

Adapun di dalam Sunnah Rasululloh, adalah hadits


Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, beliau berkata:

ٌ‫ة‬Kَْ ‫مو‬
َ ‫ْطيَتْهَا‬ِ ‫تَ ًة أُع‬h‫مي‬َ ً‫شاة‬ َ ‫ع َلي ِْه َو‬
َ ‫ل َم‬3 ‫س‬ َ ُ3`‫لى ا‬3 ‫ص‬ َ k‫ ِبي‬3‫َوجَ َد الن‬
َ ‫ع َلي ِْه َو‬
wَ3 ‫ل َم ه‬3 ‫س‬ َ ُ3`‫لى ا‬3 ‫ص‬
َ k‫ ِبي‬3‫ال الن‬ َ ‫الص َد َق ِة َف َق‬
3 ‫َيْمُ ونَ َة ِم ْن‬dِ
َ ‫ميْتَ ٌة َق‬
‫مَ ا حَ ُر َم أ َ ْك ُلهَا‬3‫ال إِن‬ َ ‫هَا‬3‫ج ْل ِدهَا َقا ُلوا إِن‬
ِ ‫انْتَفَ ْعتُ ْم ِب‬

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati seekor


bangkai kambing yang diberikan dari shodaqah untuk
maula (bekas budak) milik Maimunah, lalu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mengapa
tidak kalian manfaatkan kulitnya?” Mereka
menjawab,”Ini adalah bangkai,” beliau bersabda,”
Yang diharamkan hanyalah memakannya.”
(Muttafaqun ‘alaihi)

Oleh karena itu kaum Muslimin sepakat tentang


larangan memakan bangkai dalam keadaan tidak
darurat. [12]

Yang Dihalalkan Dari Bangkai


Semua hokum memakan bangkai diatas berlaku
pada semua bangkai kecuali dua jenis:

1. Bangkai hewan laut.


Berdasarkan firman Allah:

‫متَاعًا َل ُك ْم‬ ُ ‫صيْ ُد ا ْلبَحْ ِر َوطَعَا‬


َ ‫م ُه‬ َ ‫ل َل ُك ْم‬3 ‫ح‬
ِ ُ‫أ‬

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan


(yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat
bagimu. [al Maidah/5:96].

Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam


dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang
berbunyi:

‫ا‬3‫ِ إِن‬3`‫ول ا‬ َ ‫س‬ ُ ‫ال يَا َر‬ َ ‫ع َلي ِْه َو‬


َ ‫ل َم فَ َق‬3 ‫س‬ َ ُ3`‫لى ا‬3 ‫ص‬ َ ِ3`‫ول ا‬ َ ‫س‬ ُ ‫سأ َ َل َرجُ ٌل َر‬
َ
‫َضأْنَا ِب ِه‬3 ‫ن تَو‬ ِ َ d‫ا‬
ْ ‫اء فَ ِإ‬ ْ ‫يل ِم ْن‬ َ ِ‫م َعنَا ا ْل َقل‬َ ‫ب ا ْلبَحْ َر َونَحْ ِم ُل‬ُ ‫نَ ْر َك‬
‫ع َلي ِْه‬
َ ُ3`‫لى ا‬3 ‫ص‬ َ ِ3`‫ول ا‬ ُ ‫س‬ ُ ‫ال َر‬ ِ ‫َضأ ُ ِم ْن م‬
َ ‫َاء ا ْلبَحْ ِر فَ َق‬ 3 ‫شنَا أَفَنَتَو‬ ِ ‫ع‬
ْ ‫َط‬
‫ميْتَتُ ُه‬ ِ ‫هُو ُر مَا ُؤهُ ا ْل‬3‫هوَ الط‬
َ ‫ل‬k ‫ح‬ ُ ‫ل َم‬3 ‫س‬ َ ‫َو‬

Seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu


‘alaihi wa sallam seraya berkata: “Wahai Rasulullah!
Kami mengarungi lautan dan hanya membawa sedikit
air. Apabila kami berwudhu dengannya (air itu), maka
kami kehausan. Apakah kami boleh berwudhu
dengan air laut?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab,”Laut itu suci airnya dan halal
bangkainya.” [HR Sunan al Arba’ah, Ibnu Khuzaimah
dan Ibnu Hibban dan dishohihkan Syaikh al Albani di
dalam al Irwa’ul Gholil, no.9 dan Silsilah al Ahadits
ash-Shohihah, no. 480].

Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫ا‬3‫ن فَا ْلحُ وتُ َوا ْلجَ َرا ُد َوأَم‬ ْ ‫ا‬3‫ن فَأَم‬
ِ ‫َيْتَتَا‬d‫ا‬ ِ ‫ن َو َدمَا‬ ِ ُ‫أ‬
َ ‫لتْ َل ُك ْم‬3 ‫ح‬
ِ ‫ميْتَتَا‬
ُ َ‫ح‬h‫ن فَا ْل َك ِب ُد َوالط‬
‫ال‬ ِ ‫دمَا‬3 ‫ال‬

Dihalalkan bagi kalian dua bangkai dan dua darah.


Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan
belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati
(liver) dan limpa.

Hal ini dikuatkan dengan perbuatan Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya
yang memakan bangkai ikan yang ditemukan di
pantai, sebagaimana dijelaskan Jabir dalam salah
satu perkataannya:

‫ش ِديدًا‬ َ ‫عبَيْ َدةَ فَجُ ْعنَا جُ وعًا‬ ُ ‫م َر أَبُو‬ ِ ‫خب‬


h ُ ‫َط َوأ‬ َ ‫ْش ا ْل‬ َ ‫غزَ ْونَا جَ ي‬ َ
‫ال َل ُه ا ْل َعنْبَ ُر فَأ َ َك ْلنَا ِمنْ ُه‬
ُ ‫تًا َل ْم نَ َر ِمث ْ َل ُه يُ َق‬h‫مي‬ َ ‫فَأ َ ْل َقى ا ْلبَحْ ُر حُ وتًا‬
‫ب تَحْ تَ ُه‬ ُ ‫اك‬ِ ‫ر‬3 ‫ر ال‬3 َ‫ام ِه َفم‬
ِ ‫ظ‬َ ‫ظمً ا ِم ْن ِع‬ ْ ‫ع‬َ َ‫عبَ ْي َدة‬ ُ ‫خذَ أَبُو‬ َ َ ‫ش ْه ٍر َفأ‬ َ َ‫صف‬ ْ ‫ِن‬
‫ال‬َ ‫ل َم فَ َق‬3 ‫س‬ َ ‫ع َلي ِْه َو‬
َ ُ3`‫لى ا‬3 ‫ص‬ َ h‫ ِبي‬3‫ك لِلن‬ َ ِ‫ َ ِدينَ َة َذ َك ْرنَا َذل‬d‫ا‬
ْ ‫منَا‬ ْ ‫ ا َق ِد‬3‫فَ َلم‬
‫ْض ُه ْم فَأ َ َك َل ُه‬ُ ‫م َع ُك ْم فَأَتَاهُ بَع‬ َ ‫ن‬ َ ‫ن َكا‬ ْ ِ‫ُ أَطْ ِعمُ ونَا إ‬3`‫خ َرجَ ُه ا‬ ْ َ ‫ُك ُلوا ِرزْ ًقا أ‬

Kami berperang pada pasukan al Khobath.[13] Dan


yang menjadi amir (panglima) adalah Abu ‘Ubaidah.
Saat kami merasa sangat lapar, tiba-tiba lautan
melempar bangkai ikan yang tidak pernah kami lihat
sebesar itu, dinamakan ikan al anbar (paus). Kami pun
memakan ikan tersebut selama setengah bulan. Lalu
Abu ‘Ubaidah memasang salah satu tulangnya, lalu
orang berkendaraan dapat lewat dibawahnya. Ketika
sampai di Madinah, kami sampaikan hal tersebut
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu beliau
bersabda: “Makanlah! Itu rizki yang dikaruniakan
Allah. Berilah untuk kami makan bila (sekarang) masih
ada bersama kalian”. Lalu sebagian mereka
menyerahkannya dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memakannya. (HR al Bukhori dan Muslim).

2. Belalang
Berdasarkan pada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang berbunyi:

‫ا‬3‫ن فَا ْلحُ وتُ َوا ْلجَ َرا ُد َوأَم‬ ْ ‫ا‬3‫ن فَأَم‬
ِ ‫َيْتَتَا‬d‫ا‬ ِ ‫ن َو َدمَا‬ ِ ُ‫أ‬
َ ‫لتْ َل ُك ْم‬3 ‫ح‬
ِ ‫ميْتَتَا‬
ُ َ‫ح‬h‫ن فَا ْل َك ِب ُد َوالط‬
‫ال‬ ِ ‫دمَا‬3 ‫ال‬

Dihalalkan bagi kalian dua bangkai dan dua darah.


Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan
belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati
(liver) dan limpa.

Hal inipun didukung oleh perbuatan Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya
yang memakan belalang, seperti dikisahkan
‘Abdullah bin Abi ‘Aufa:

‫ا‬3‫ستًّا ُكن‬ ِ ‫ات أ َ ْو‬


ٍ ‫غزَ َو‬ َ َ‫سبْع‬ َ ‫ع َلي ِْه َو‬
َ ‫ل َم‬3 ‫س‬ َ ُ3`‫لى ا‬3 ‫ص‬ َ ‫غزَ ْونَا‬
َ h‫ ِبي‬3‫معَ الن‬ َ
‫م َع ُه ا ْلجَ َرا َد‬
َ ‫نَأ ْ ُك ُل‬

Kami berperang bersama Rasulullah Shallallahu


‘alaihi wa sallam dalam tujuh atau enam peperangan.
Kami memakan bersama beliau belalang. (HR al
Jama’ah, kecuali Ibnu Majah).

Demikian juga para ulama sepakat membolehkan


memakan belalang.

Hukum Menjual Bangkai


Syari’at Islam melarang menjual bangkai,
sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam sabdanya:

ِ ‫صنَام‬
ْ َ p‫ا‬ ِ ‫َيْتَ ِة َوا ْل‬d‫ا‬
ْ ‫خنْ ِزي ِر َو‬ َ ‫ر َم بَيْعَ ا ْل‬3 َ‫سو َل ُه ح‬
ْ ‫خمْ ِر َو‬ 3 ِ‫إ‬
ُ ‫َ َو َر‬3`‫ن ا‬
‫الس ُف ُن‬
k ‫هَا يُطْ َلى ِبهَا‬3‫َيْتَ ِة فَ ِإن‬d‫ا‬
ْ ‫شحُ و َم‬ ُ َ‫ِ أ َ َرأَيْت‬3`‫ول ا‬
َ ‫س‬ ُ ‫يل يَا َر‬َ ‫َف ِق‬
‫م‬3 ُ ‫هوَ حَ َرا ٌم ث‬ ُ Kَ ‫ال‬َ ‫اس فَ َق‬ُ 3‫َص ِبحُ ِبهَا الن‬ ْ ‫َست‬ْ ‫ه ُن ِبهَا ا ْلجُ ُلو ُد َوي‬ َ ‫َويُ ْد‬
‫ن‬3 ِ‫ُ ا ْليَهُو َد إ‬3`‫ك َقات ََل ا‬ َ ِ‫ل َم ِعنْ َد ذَل‬3 ‫س‬
َ ‫ع َلي ِْه َو‬
َ ُ3`‫لى ا‬3 ‫ص‬ َ ِ3`‫ول ا‬ ُ ‫س‬ ُ ‫ال َر‬ َ ‫َق‬
‫م بَاعُوهُ فَأ َ َك ُلوا ثَمَ نَ ُه‬3 ُ ‫مهَا جَ مَ ُلوهُ ث‬ ُ ‫ر َم‬3 َ‫َا ح‬d3 َ3`‫ا‬
َ ‫شحُ و‬

Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah


mengharamkan jual beli khomr (minuman keras),
bangkai, babi dan patung berhala. Lalu ada yang
bertanya: “Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu
tentang lemak bangkai, karena ia dapat digunakan
untuk mengecat (mendempul) perahu, meminyaki
kulit dan untuk bahan bakar lampu,” maka beliau
menjawab,”Tidak boleh! Itu haram,” kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
ketika itu: “Semoga Allah mencelakakan orang
Yahudi. Sungguh Allah telah mengharamkan
lemaknya, lalu mereka meleburnya (menjadi minyak),
kemudian menjualnya dan memakan hasil
penjualannya”. [HR al Jama’ah].

Baca Juga Air Daur Ulang

Larangan ini bersifat umum pada semua bangkai,


termasuk manusia, kecuali hewan laut dan belalang.
Larangan menjual bangkai manusia mencakup
muslim dan kafir. Oleh karena itu, Imam al Bukhori
membuat bab dalam kitab shohihnya dengan judul
Bab Thorhu Jaif al Musyrikin wala Yu’khodz Lahum
Tsaman. Yaitu bab yang menjelaskan membuang
bangkai orang-orang musyrikin dan tidak mengambil
untuknya tebusan harta.

Ibnu Hajar memberikan penjelasan terhadap bab ini,


bahwa pernyataan Imam al Bukhori “tidak
mengambil untuknya tebusan harta”, (ini)
mengisyaratkan kepada hadits Ibnu ‘Abbas yang
berbunyi:

َ ‫ش ِر ِك‬
‫= فَأَبَى‬ ْ ‫س َد َرجُ ٍل ِم ْن‬
ْ ُ d‫ا‬ َ َ‫َشتَ ُروا ج‬ ْ ‫ني‬ َ ‫ش ِر ِك‬
ْ َ ‫= أ َ َرادُوا أ‬ ْ ُ d‫ا‬
ْ ‫ن‬3 َ‫أ‬
‫اهُ )أخرجه الترمذي‬3‫ن يَ ِبي َع ُه ْم إِي‬ َ ‫ع َلي ِْه َو‬
ْ َ ‫ل َم أ‬3 ‫س‬ َ ُ3`‫لى ا‬3 ‫ص‬ َ k‫ ِبي‬3‫الن‬
(‫وغيره‬

Sungguh kaum Musyrikin ingin membayar jasad


seorang musyrik, tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam enggan menjualnya kepada mereka. [HR at-
Tirmidzi dan selainnya].[14]

Adapun Ibnu Ishaq di dalam kitab al Maghazi


menyebutkan:

‫ن يَ ِبيْ َع ُه ْم‬ َ ‫ع َلي ِْه َو‬


ْ َ ‫ل َم أ‬3 ‫س‬ َ ُ3`‫لى ا‬3 ‫ص‬ َ 3‫ ِبي‬3‫سأ َ ُلوْا الن‬ َ =َ ‫ش ِر ِك‬
ْ ُ d‫ا‬
ْ ‫ن‬3 َ‫أ‬
‫ال‬َ ‫خنْ َدقَ ; فَ َق‬ َ ‫ن ا ْقتَحَ َم ا ْل‬ َ ‫ َو َكا‬, ‫ ُ ِغيْ َر ِة‬d‫ا‬
ْ ‫ن‬ِ ْ‫عب ِْد ا`ِ ب‬
َ ‫ن‬ِ ْ‫س َد نَوْفَ َل ب‬
َ َ‫ج‬
‫س ِد ِه‬ َ َ‫َ ج‬K‫َ حَ اجَ َة َلنَا ِبثَمَ ِن ِه َو‬K :َ‫لم‬3 ‫س‬ َ ‫ع َلي ِْه َو‬
َ ُ3`‫لى ا‬3 ‫ص‬ َ k‫ ِبي‬3‫الن‬

“Sungguh kaum Musyrikin meminta Nabi Shallallahu


‘alaihi wa sallam untuk menjual kepada mereka jasad
Naufal bin ‘Abdillah bin al Mughiroh, dan ia dulu ikut
menyerang Khondak,” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab: “Tidak butuh dengan nilai
harganya dan tidak juga jasadnya”.

Ibnu Hisyam berkata,”Telah sampai kepada kami dari


az-Zuhri, bahwa mereka telah mengeluarkan untuk
itu sepuluh ribu.”

Imam Bukhori mengambil sisi pendalilan atas hadits


bab dari sisi adat menguatkan, bahwa keluarga
orang kafir yang terbunuh dalam perang Badar,
seandainya mengetahui uang tebusan mereka akan
diterima untuk mendapatkan jasad-jasad mereka
(yang terbunuh), tentu mereka akan mengeluarkan
sebanyak mungkin untuk itu. Ini sebagai penguat
atas hadits Ibnu ‘Abbas, walaupun sanadnya tidak
kuat.[15]

Hikmah Diharamkan Bangkai[16]


Sebagian ulama menyampaikan beberapa hikmah
diharamkannya bangkai, di antaranya:

1. Pada umumnya, bangkai itu berbahaya karena


mati, sakit, lemah atau karena mikroba, bakteri
dan virus, serta sejenisnya yang mengeluarkan
racun. Terkadang mikroba penyakit bertahan
hidup dalam bangkai tersebut cukup lama.
2. Tabiat manusia menolaknya, menganggapnya
jijik dan kotor.
3. Adanya darah jelek yang tertahan tidak keluar
dan tidak hilang, kecuali dengan sembelihan
syar’i.

Demikian berkaitan dengan hukum bangkai, mudah-


mudahan membuat kita semakin berhati-hati dalam
memilih makanan. Allah Subhaahu wa Ta’ala telah
berfirman dalam surat al Mu’minun/23 ayat 51:

‫ن‬َ ْ‫يْ ِبمَ ا تَعْمَ ُلو‬h‫صالِحً اۗ اِن‬ ِ ‫ب‬h‫ي‬3‫س ُل ُك ُلوْا ِم َن الط‬


َ ‫ٰت َواعْمَ ُلوْا‬ ُ ‫ر‬k ‫هَا ال‬k‫يٰٓاَي‬
‫عَلِيْ ٌم‬

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-


baik, dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Juga dalam surat al Baqarah/2 ayat 172:

ِ ‫ب‬h‫منُوْا ُك ُلوْا ِم ْن طَي‬


‫ٰت مَا َرزَ ْقنٰ ُك ْم‬ َ ٰ ‫ل ِذيْ َن ا‬3 ‫هَا ا‬k‫يٰٓاَي‬

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara


rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu . . .

Wabillahit-Taufiq.

Maraji`:

1. Al Ath’imah wa Ahkam ash-Shoid wadz-


Dzaba‘ih, Dr. Sholih bin ‘Abdillah al Fauzan,
Cetakan Kedua, Tahun 1419H, Maktabah al
Ma’arif, Riyadh.
2. Al Mughni, Ibnu Qudamah, Tahqiq ‘Abdullah bin
Abdul Muhsin at-Turki, Cetakan Kedua, Tahun
1413H, Dar Hajar.
3. Al Qamus al Muhith, al Fairuzzabadi, Tahqiq
Muhammad Na’im Al ‘Urqususi, Cetakan
Kelima, Tahun 1416H, Muassasah ar-Risalah,
Beirut.
4. Fat-hul Bari Syarah Shohih al Bakhori, Ibnu
Hajar al Asqalani, al Maktabah as-Salafiyah,
tanpa cetakan dan tahun.
5. Nailul-Author bi Syarhil-Muntaqa lil Akhbar,
Muhamad bin Ali asy-Syaukani, Tahqiq
Muhammad Salim Hasyim, Cetakan Pertama,
Tahun 1415H, Darul-Kutub al ‘Ilmiyah, Beirut.
6. Shohih Fiqhus-Sunnah, Abu Malik Kamal bin
as-Sayyid Salim, tanpa tahun, al Maktabah al
Taufiqiyah, Kairo, Mesir.
7. Syarhul-Mumti’ ‘ala Zadul-Mustaqni’, Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin, Tahqiq Kholid al Musyaiqih dan
Sulaimin Abu Khoil, Cetakan Kedua, Tahun
1414 H, Muassasatu Asam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun


XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-
858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran
085290093792, 08121533647, 081575792961,
Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat al Qamus al Muhith, al Fairuz Abadi, Tahqiq
Muhammad Na’im al ‘Urqususi, Cetakan Kelima,
Tahun 1416H, Muassasah ar-Risalah, Bairut, hlm.
206.
[2] Al Ath’imah wa Ahkam ash-Shoid wadz-Dzaba‘ih,
Dr. Sholih bin ‘Abdillah al Fauzan, Cetakan Kedua,
Tahun 1419H, Maktabah al Ma’arif, Riyadh, hlm. 195.
[3] Catatan penulis dari keterangan Syaikhuna Abdul
Qayyum bin Muhammad Asy-Syahibani dalam
pelajaran hadits di Fakultas Hadits, Universitas Islam
Madinah, 13 Jumadal Ula 1418H.
[4] HR Abu Dawud no. 2858 dan Ibnu Majah no.
3216. Hadits ini dishohihkan Syaikh al Albani dalam
Shohih Sunan Abu Dawud.
[5] Syarhul-Mumti’ ‘ala Zadul-Mustaqni’, Syaikh Ibnu
‘Utsaimin, Tahqiq Dr. Kholid al Musyaiqih dan
Sulaimin Abu Khoil, Cetakan Kedua, Tahun 1414 H,
Muassasatu Asam (1/78).
[6] Catatan penulis dari keterangan Syaikhuna Abdul
Qayyum bin Muhammad Asy-Syahibani dalam
pelajaran hadits.
[7] Shohih Fiqhus-Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-
Sayyid Salim, tanpa tahun, al Maktabah at-
Taufiqiyah, Kairo, Mesir (1/73).
[8] Syarhul-Mumti’ (1/78).
[9] Shohih Fiqhus-Sunnah (1/73).
[10] Lihat Nailul-Author bi Syarhil-Muntaqa lil Akhbar,
Muhamad bin Ali asy-Syaukani, Tahqiq Muhammad
Salim Hasyim, Cetakan Pertama, Tahun 1415H,
Darul-Kutub al ‘Ilmiyah, Beirut (1/67)
[11] Syarhul-Mumti’ (1/69).
[12] Al Mughni, Ibnu Qudamah, Tahqiq ‘Abdullah bin
Abdul Muhsin at-Turki, Cetakan Kedua, Tahun
1413H, Dar Hajar (13/330).
[13] Dinamakan demikian, karena mereka memakan
dedaunan yang gugur dari pohonnya.
[14] Didhoifkan Syaikh al Albani dalam Dho’if Sunan
at-Tirmidzi.
[15] Fat-hul Bari Syarah Shohih al Bukhori, Ibnu Hajar
al Asqalani, al Maktabah as-Salafiyah, tanpa cetakan
dan tahun (6/283).
[16] Lihat al Ath’imah wa Ahkam ash-Shoid wadz-
Dzaba‘ih, hlm. 196.

Home / A9. Fiqih Ibadah9 Makanan... /

Hukum Bangkai

Ancaman Bagi Istri Yang Durhaka Berani Kepada


Suaminya, Nasih Mansuh, Sejarah Shalat Tarawih
Berjamaah, Do A Keluarga Sakinah, Keutamaan
Shalat Isyraq

SSD VPS

Anda mungkin juga menyukai