Anda di halaman 1dari 12

JURNAL SOSIOLOGI USK: MEDIA PEMIKIRAN & APLIKASI

Volume 17, Nomor 1, Juni 2023, Halaman: 181-192


P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
DOI: 10.24815.jsu.v17i1.32865
……………..………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..……………………………………………

Penerapan dan Tantangan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh


* Firdaus M. Yunus1, Azwarfajri2, Muhammad Yusuf3
1-2
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh
*email: firdaus.myunus@ar-raniry.ac.id

Abstract
This research discusses the application and challenges of Islamic law (sharia) in Aceh,
particularly the lack of socialization and limited participation of the community in filling
the open corners of Islamic law implementation. This study employs a qualitative
descriptive method. The obtained results indicate that the programs for the
implementation of sharia have not been well integrated into the education curriculum and
social order of the community. Despite having a strong legal foundation through
legislation, thorough preparation and effective management are required to achieve
successful implementation. Islamic law is considered as divine regulations that
encompass all aspects of the lives of Muslims. In this research, the theory of religious
sociology is utilized to analyze the formalization of the application and implementation
of Islamic law in Aceh and its impact on the community. The religious sociology
approach provides a deeper understanding of the formalization process and its
implications for the Acehnese society.
Keywords: Application of Islamic Law, Aceh, Socialization, Community Participation

Abstrak
Penelitian ini membahas penerapan dan tantangan syariat Islam di Aceh, terutama
kurangnya sosialisasi dan keterbatasan partisipasi masyarakat dalam mengisi sudut-sudut
terbuka pelaksanaan syariat Islam. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
kualitatif. Adapun hasil yang diperoleh, bahwa program-program penerapan syariat
belum terintegrasi dengan baik dalam kurikulum pendidikan dan tatanan sosial
masyarakat. Meskipun undang-undang telah memberikan dasar hukum yang kuat,
persiapan yang matang dan pengelolaan yang baik diperlukan untuk mencapai
implementasi yang efektif. Syariat Islam dianggap sebagai peraturan ilahiah yang
mencakup semua aspek kehidupan umat Islam. Dalam penelitian ini, teori sosiologi
agama digunakan untuk menganalisis formalisasi penerapan dan pelaksanaan syariat
Islam di Aceh dan dampaknya terhadap masyarakat. Pendekatan sosiologi agama
memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang proses formalisasi dan
implikasinya bagi masyarakat Aceh.
Kata Kunci: Penerapan Syariat Islam, Aceh, Sosialisasi, Partisipasi Masyarakat.

M. Yunus, dkk.,: Penerapan dan Tantangan Pelaksanaan Syariat Islam ....

181
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.32865
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 181-192

A. Pendahuluan
Sosialisasi syariat Islam secara komprehensif masih mengalami berbagai kendala.
Hal ini menyebabkan pemahaman yang kurang baik mengenai substansi syariat Islam
yang diterapkan. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam mengisi ruang-ruang syariat
juga terbatas, sehingga penerapan syariat lebih bersifat top-down. Meskipun upaya
penerapan syariat Islam sudah berlangsung selama beberapa dekade, program-program
yang dijalankan belum sepenuhnya terintegrasi dengan kurikulum pendidikan, baik di
tingkat sekolah, dayah, maupun perguruan tinggi, serta tatanan sosial masyarakat
(Srimulyani 2008). Dalam konteks teori sosiologi agama, partisipasi aktif dan
pemahaman yang baik dari masyarakat merupakan faktor penting dalam memperkuat dan
menjaga keberhasilan penerapan syariat Islam.
Terdapat harapan besar dari umat Islam di seluruh dunia terhadap pemberlakuan
syariat Islam secara kaffah di Aceh. Namun, terdapat hambatan hukum yang menghalangi
implementasi syariat Islam di daerah lain. Di Aceh, peluang untuk menerapkan syariat
Islam secara kaffah menjadi lebih terbuka setelah adanya Undang-Undang yang mengatur
pelaksanaan syariat Islam, seperti Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-undang tersebut memberikan dasar hukum
yang kuat bagi Aceh untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah (Abubakar 2006;
Ismail and Manan 2014).
Perlu disadari penerapan syariat Islam secara kaffah membutuhkan persiapan
yang matang dan pengelolaan yang baik. Euforia tanpa persiapan yang memadai dapat
menggeser makna sebenarnya dari syariat Islam. Untuk itu, implementasi syariat Islam
harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan pemahaman masyarakat, serta
dilakukan secara bertahap dalam berbagai aspek kehidupan. Menemukan format ideal
dalam penerapan syariat Islam tidaklah mudah, walaupun sebagian besar ajaran Islam
telah diamalkan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat (Abubakar 2006; Ismail
and Manan 2014).
Dalam perspektif teori sosiologi agama, syariat Islam dianggap sebagai peraturan
ilahiah yang harus ditaati manusia dalam semua aspek kehidupan agar mencapai
kebahagiaan di dunia dan di akhirat (Suyanta 2008). Syariat Islam memiliki peran sentral
dalam mengumpulkan dan mengikat umat Islam melalui sistem hukum dan Aqidah Islam.
Oleh karena itu, keberhasilan umat Islam tergantung pada tegaknya penerapan syariat
(Abbas 2009). Secara realistis masyarakat Aceh telah lama mengidamkan penerapan
syariat Islam secara kaffah, dan dengan adanya Undang-Undang serta qanun-qanun
pelaksanaan syariat Islam, tanggung jawab untuk menegakkan syariat Islam secara kaffah
menjadi tanggung jawab pemerintah Aceh, masyarakat, dan individu-individu (Abbas
2009).
Tanggung jawab bersama harus terintegrasi secara baik agar dapat menjadi
kekuatan di berbagai lini, syariat Islam sebagai sebuah term besar maka harus di lihat
melalui metode dan pendekatan teori yang relevan. Untuk itu metode perundang-
M. Yunus, dkk.,: Penerapan dan Tantangan Pelaksanaan Syariat Islam ....

182
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.32865
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 181-192

undangan, teori sosiologi agama dapat digunakan untuk menganalisis formalisasi


pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Teori ini mempertimbangkan aspek perubahan sosial
yang terkait dengan kebijakan pemerintahan. Penerapan teori ini akan membantu
memahami dinamika perubahan hukum dan perubahan sosial yang terjadi dalam konteks
penerapan syariat Islam di Aceh, mulai dari pengesahan Undang-Undang Nomor 44 tahun
1999 hingga pencabutan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 dan pengesahan
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006.
Selain itu, teori sosiologi agama dapat digunakan untuk menganalisis formalisasi
pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Pendekatan ini melibatkan studi tentang proses
implementasi hukum di lapangan, termasuk langkah-langkah yang diambil oleh
pemerintah dan lembaga terkait untuk melaksanakan undang-undang dan peraturan
daerah terkait syariat Islam. Dalam konteks ini, peraturan daerah yang dihasilkan oleh
pemerintah Aceh, seperti Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 4
Tahun 1999 tentang Larangan Minuman Beralkohol dan Peraturan Daerah Provinsi
Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam, dapat
dianalisis dalam konteks implementasi hukum dan dampaknya terhadap masyarakat.
Penggunaan pendekatan metode hukum dan teori sosiologi agama, menjadi salah
satu cara untuk melihat lebih dalam formalisasi pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Pendekatan ini akan memungkinkan peneliti untuk memberikan pemahaman yang lebih
mendalam tentang proses formalisasi tersebut serta dampaknya terhadap masyarakat
Aceh. Dengan mengaitkannya dengan teori sosiologi agama, analisis ini dapat
memberikan wawasan tentang perubahan hukum dan implementasi syariat Islam terhadap
dinamika sosial, identitas agama, dan partisipasi masyarakat dalam konteks masyarakat
Aceh.

B. Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Pemilihan
metode ini didasarkan pada tujuan penelitian, yaitu untuk memahami gambaran sejarah
pelaksanaan syariat Islam di Aceh dan mengidentifikasi tantangan yang dihadapi dalam
pelaksanaannya di lapangan. Pengumpulan data dilakukan melalui verifikasi data primer
dan data sekunder (Safrilsyah Syarif 2013). Data primer yang digunakan adalah karya-
karya yang ditulis oleh para penggagas Undang-undang dan qanun syariat Islam.
Sementara itu, data sekunder berupa hasil penelitian yang telah diterbitkan dalam bentuk
buku maupun jurnal ilmiah yang berfokus pada pelaksanaan syariat Islam. Data yang
terkumpul kemudian dianalisis menggunakan metode deskriptif analisis. Metode ini
dipilih untuk mendapatkan gambaran yang konkret mengenai pelaksanaan syariat Islam
dan berbagai tantangan yang dihadapi selama pelaksanaannya secara legal dan formal di
Provinsi Aceh.

C. Hasil dan Pembahasan


1. Sejarah Perjuangan Penegakan Syariat Islam
Dalam konteks sejarah, pelaksanaan syariat Islam di Aceh berkaitan erat dengan
perubahan zaman. Generasi saat ini mengharapkan agar penerapan syariat Islam
M. Yunus, dkk.,: Penerapan dan Tantangan Pelaksanaan Syariat Islam ....

183
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.32865
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 181-192

dilaksanakan secara menyeluruh di Aceh (Azra 2003). Penyebab utamanya adalah


ketidakstabilan kehidupan beragama sejak kedatangan Belanda ke Aceh, di mana kolonial
Belanda secara tegas menghalangi dan merusak aspek-aspek syariat Islam, terutama
dalam bidang dagang dan hukum pidana (Abubakar 2006). Sejak saat itu, masyarakat
Aceh beserta pemimpinnya terus berjuang untuk mengembalikan pelaksanaan syariat
Islam secara komprehensif (Abubakar 2006).
Sebelum Aceh dijajah, daerah ini memiliki peran sentral dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat, seperti dalam bidang hukum, adat, dan seluruh pranata sosial
masyarakat. Kehadiran Islam di Aceh sudah ada sejak abad ke-9 M, hal ini dapat ditandai
atas berdirinya Kerajaan Perlak, diikuti oleh Kerajaan Pasai pada abad ke-13 M.
Penerapan sistem dan ajaran Islam di Aceh didasarkan pada hukum Islam (Hadi 2010).
Pelaksanaan syariat Islam itu sendiri dapat ditinjau melalui tiga naskah (qanun) yang
menjadi acuan dasar pelaksanaan syariat Islam, yaitu (1) Adat Meukuta Alam, (2) Qanun
al-Asyi Ahlussunnah wal Jamaah (Qanun Mukuta Alam Sultan Iskandar Muda), dan (3)
Qanun Syarak Kerajaan Aceh (Ali Abubakar 2011).
Berdasarkan catatan sejarah, pelaksanaan syariat Islam secara menyeluruh terjadi
pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) (Raniri 1966), (Muchtar Aziz 2007).
Syariat Islam tidak hanya diterapkan dalam bidang Aqidah dan hukum privat, tetapi juga
mencakup penerapan hukum publik seperti hukum pidana (Ayang Utriza NWAY 2009).
Syariat Islam pada masa Kesultanan Aceh Darussalam menjadi hukum yang sah di negara
tersebut, sehingga hanya ada satu hukum yang berlaku, yaitu hukum syariat Islam.
Hukum syariat Islam mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat Aceh, termasuk
politik, pendidikan, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Masyarakat
Aceh memandang hukum syariat Islam sebagai norma yang mengatur perilaku mereka,
baik dalam hal kemaslahatan di dunia maupun di akhirat nanti. Oleh karena itu, hukum
syariat Islam dianggap sebagai hukum yang hidup (living law) dan memiliki keterkaitan
dengan dimensi sosial dan dimensi wahyu (sakralitas) (Abbas 2006).
Sebagai bagian dari implementasi tradisi keislaman pada masa kerajaan, gelar-
gelar penguasa di Aceh mencerminkan nuansa Islami, seperti gelar Malik al-Salih, Malik
al-Zahir, dan sebagainya. Mata uang juga menggunakan simbol-simbol Islam, yang
menunjukkan kecenderungan Islami yang kuat dalam kerajaan-kerajaan Aceh (Alfian
1986), (Hidayatullah 2014), (Hermansyah dan Nasruddin 2013). Menurut catatan Ibn
Battutah, yang pernah mengunjungi Kerajaan Pasai pada tahun 1345 dan 1346, dia
melihat bahwa berbagai perayaan keagamaan terjadi di sana, dan penguasa setempat,
yaitu Sultan Malik al-Zahir, secara aktif mendukung pelaksanaan syariat Islam. Bahkan,
ia terlibat dalam diskusi keagamaan baik di istana maupun di masjid. Kedatangan dua
ulama besar dari Persia, yaitu qadi Sharif Amir Sayyid dari Shiraz dan Taj al-Din semakin
menambah semangat masyarakat dalam mengamalkan dan menjalankan agama Islam.
Agama Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat di Aceh
terlihat jelas ketika Islam menjadi ideologi perlawanan terhadap ancaman bangsa-bangsa
penjajah (Portugis, Belanda) (Hadi 2011). Pemimpin Aceh menggambarkan kehadiran
bangsa penjajah sebagai ancaman terhadap kehidupan masyarakat yang dapat

M. Yunus, dkk.,: Penerapan dan Tantangan Pelaksanaan Syariat Islam ....

184
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.32865
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 181-192

menyebabkan kehancuran. Selain mereka membunuh, bangsa penjajah juga berusaha


menghancurkan tatanan Islam (Hadi 2011).
Hukum Islam mengajarkan bahwa perjuangan melawan orang-orang kafir tidak
boleh berhenti, dan jihad atau perang suci menjadi kewajiban agama yang harus dipikul
oleh setiap Muslim (Kern 1997). Keberadaan bangsa Portugis di Melaka (1511-1641)
dipandang sebagai ancaman terhadap Islam di wilayah Nusantara. Oleh karena itu,
perlawanan terhadap Portugis dimulai sejak masa Sultan Aceh pertama, Ali Mughayat
Syah (1515) (Reid 1969). Perlawanan tersebut dilakukan dalam berbagai bentuk,
termasuk militer, politik, dan perdagangan.
Pada masa Kesultanan Iskandar Muda, upaya besar-besaran dilakukan untuk
mengusir Portugis. Setelah Portugis berhasil di usir, pada masa kesultanan berikutnya
bangsa Belanda ikut datang untuk menguasai hasil alam dan menyebarkan agama Kristen
di Aceh, kedatangan Belanda di sambut dengan peperangan yang dimulai pada 26 Maret
1873, perang ini dianggap sebagai perang terlama dan termahal dalam sejarah Hindia
Belanda (Siegel 1969). Bagi rakyat Aceh, perang melawan penjajah kafir memiliki dua
konsekuensi penting. Pertama, sebagai kewajiban agama untuk membela agama Allah.
Kedua, untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Perang ini dianggap sebagai
fardhu ain bagi setiap Muslim, dan dikenal dengan sebutan "perang sabi" atau "prang
lawan kaphee" (perang melawan kafir) (A. Hasjmy 1997; Alfian 1999; Hadi 2010).
Islam merupakan identitas yang melekat pada masyarakat Aceh. Dalam konteks
sosiologi agama, perjuangan untuk memperjuangkan syariat Islam di Aceh dapat
dipahami sebagai upaya masyarakat Aceh untuk mempertahankan identitas dan
kepercayaan terhadap ajaran agama mereka. Sejarah mencatat, bahwa pelaksanaan syariat
Islam mengalami tantangan, hambatan, dan perubahan dari masa ke masa, meskipun
demikian cita-cita dan harapan mereka tidak pernah surut dalam upaya mewujudkan
penerapan syariat Islam.
Sejarah tersebut terlihat nyata ketika pemerintah tidak memberikan pelaksanaan
syariat Islam di Aceh, meskipun terdapat harapan saat Presiden Soekarno berkunjung ke
Aceh pada tahun 1947 dan berjanji memberikan otonomi khusus kepada Aceh
(Kawilarang 2010). Namun, harapan tersebut sirna ketika pemerintah pusat tidak
memenuhi janjinya, bahkan Aceh dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara pada tahun
1950, yang menyebabkan kekecewaan mendalam dan mendorong pemberontakan DI/TII
oleh Tgk. M. Daud Beureueh (Jasin 1969).
Dalam menghormati perjuangan rakyat Aceh dan pentingnya agama Islam bagi
masyarakat, pemerintah melalui keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No.
1/Missi/1959 memberikan status keistimewaan kepada Aceh dalam bidang agama,
pendidikan, dan adat (Jasin 1969). Hal ini berkonsekuensi pada perubahan daerah Aceh
menjadi Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Meskipun daerah Aceh menjadi provinsi
tersendiri, pentingnya pelaksanaan syariat Islam tidak pernah diberikan melalui undang-
undang oleh pemerintah pada saat itu (Jasin 1969).
Dalam konteks perubahan politik dan kebijakan pemerintah pasca-reformasi,
terjadi amandemen UUD 1945 yang diikuti oleh perubahan peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah. Fenomena ini memberikan dampak serius bagi Aceh yang
M. Yunus, dkk.,: Penerapan dan Tantangan Pelaksanaan Syariat Islam ....

185
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.32865
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 181-192

saat itu tengah mengalami konflik, di mana pemerintah menjadikan Aceh sebagai daerah
otonomi khusus dengan kewenangan khusus, termasuk pelaksanaan syariat Islam secara
menyeluruh.
Untuk mendukung pelaksanaan tersebut, pemerintah pusat mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh untuk Menerapkan Syariat Islam
(Abubakar 2013). Undang-undang ini memberikan cakupan luas terhadap pelaksanaan
syariat Islam, yang didefinisikan sebagai tuntunan ajaran Islam dalam segala aspek
kehidupan (Abubakar 2013).
Pada tahun 2006, melalui kesepakatan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005,
pemerintah Indonesia diwajibkan untuk menyusun rancangan Undang-Undang tentang
Aceh yang mencakup semua isi kesepakatan dan hal-hal lain yang dianggap baik dan
perlu bagi Aceh. Rancangan tersebut kemudian disahkan menjadi Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-undang ini mengatur secara
lebih rinci pelaksanaan syariat Islam dalam tiga bab yang berurutan, yaitu Bab XVII
tentang syariat Islam dan pelaksanaannya, Bab XVIII tentang Mahkamah Syar'iyah, dan
Bab XIX tentang MPU (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, 2006). Dengan adanya undang-undang ini, pemerintah pusat
menjadikan Aceh sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang dapat melaksanakan
syariat Islam secara legal dalam kerangka hukum dan sistem peradilan negara Indonesia.
2. Tantangan-Tantangan dalam Pelaksanaan
Syariat Islam, sebagai satu sistem doktrin yang komprehensif dan sempurna, lahir
sebagai respons terhadap kebutuhan umat Islam untuk memahami hukum-hukum Allah
dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Dalam konteks ini, teori sosiologi agama
memberikan kontribusi penting untuk memahami dinamika dan implikasi sosial dari
implementasi syariat dalam masyarakat.
Menurut Abbas (2009), syariat Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia,
baik hak dan kewajiban sebagai makhluk Tuhan maupun dalam konteks kehidupan sosial.
Syariat juga berfungsi sebagai penghambat terhadap perilaku yang dapat menyebabkan
degradasi dan kerusakan pada individu dan lingkungan sekitarnya. Dalam perspektif
sosiologi agama, hal ini dapat di lihat sebagai upaya untuk mencapai kemaslahatan sosial,
di mana kepentingan kolektif ditempatkan di atas kepentingan individu. Prinsip ini
konsisten dengan teori sosiologi agama yang menekankan pentingnya mengutamakan
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Selain itu, syariat Islam juga memberikan perhatian terhadap aspek-aspek lain
dalam kehidupan, seperti menjaga kesehatan, menghindari tindakan yang berbahaya,
mempromosikan moralitas, memenuhi janji, dan membangun keluarga yang harmonis.
Pendekatan ini mencerminkan kontribusi sosiologi agama dalam memahami peran agama
dalam membentuk perilaku dan norma-norma sosial yang diinginkan dalam masyarakat.
Furqani (2016) menjelaskan bahwa implementasi syariat Islam di Aceh tidak
seharusnya terbatas pada pemahaman yang sempit dan reduksionisme tentang hukum
M. Yunus, dkk.,: Penerapan dan Tantangan Pelaksanaan Syariat Islam ....

186
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.32865
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 181-192

keagamaan semata. Sebaliknya, syariat Islam harus dipahami sebagai bagian integral dari
agenda pembangunan yang lebih luas, termasuk aspek ekonomi, pendidikan, budaya, dan
pemerintahan. Dalam konteks sosiologi agama, hal ini menekankan pentingnya
memahami syariat Islam sebagai landasan nilai yang mencakup berbagai dimensi
kehidupan masyarakat, dan bukan hanya terbatas pada aspek keagamaan semata.
Pentingnya memahami maqasid al-syariah atau tujuan-tujuan syariat Islam,
sebagaimana dijelaskan oleh Furqani (2016), juga sesuai dengan perspektif sosiologi
agama. Pemahaman yang jelas tentang tujuan-tujuan tersebut memberikan pedoman dan
panduan dalam implementasi syariat Islam dalam konteks masyarakat Aceh. Dalam
sosiologi agama, pemahaman terhadap tujuan-tujuan agama dan nilai-nilai yang ingin
dicapai oleh masyarakat adalah penting untuk memahami peran agama dalam membentuk
struktur sosial dan arah pembangunan sosial. Dalam kesimpulannya, pemahaman dan
implementasi syariat Islam dalam konteks Aceh dapat dianalisis melalui lensa teori
sosiologi agama. Teori ini membantu dalam memahami bagaimana syariat Islam
memenuhi kebutuhan umat Muslim, mengedepankan kemaslahatan sosial, dan menjadi
bagian penting dari agenda pembangunan yang lebih luas. Dengan mempertimbangkan
aspek-aspek sosial, ekonomi, pendidikan, budaya, dan pemerintahan, serta memahami
tujuan-tujuan syariat Islam, masyarakat Aceh dapat merumuskan pemahaman yang lebih
holistik dan kontekstual tentang syariat Islam yang relevan dengan kebutuhan zaman
yang semakin kompleks.
Menurut Al Yasa' Abubakar (2006), dalam merumuskan syariat Islam, terdapat
dua tujuan yang perlu diperhatikan. Pertama, mendekatkan syariat Islam dengan adat
istiadat masyarakat setempat, sehingga konsep "hukum dengan adat bagaikan zat dengan
sifat" benar-benar dapat terwujud dalam kehidupan masyarakat. Kedua, merumuskan
syariat Islam yang akan dilaksanakan, dengan melahirkan qanun melalui kesepakatan
bersama yang mengacu ke masa depan dan mempertimbangkan kemaslahatan umat.
Pendekatan ini menekankan perlunya menghindari pendapat pribadi atau fatwa yang
hanya mengutip pendapat masa lalu tanpa mempertimbangkan konteks dan kebutuhan
masyarakat Aceh masa kini dan masa depan (Furqani 2016).
Dalam konteks sosiologi agama, pendapat yang diharapkan oleh syariat Islam
adalah pendapat yang dapat dipertanggungjawabkan dan didasarkan pada kitab suci, serta
dapat memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Hal ini berbeda dengan pendekatan yang terfokus pada masa sahabat
abad ketujuh Masehi atau masa kejayaan kerajaan Aceh Darussalam terdahulu. Dalam
perspektif sosiologi agama, pemahaman yang inklusif terhadap syariat Islam adalah
penting, sehingga aspek-aspek selain fiqh juga diperhatikan dan dipahami oleh
masyarakat (Nashir 1999).
Fiqh, sebagai bagian dari paradigma hukum Islam, memiliki peran penting dalam
menerapkan syariat baik dalam konteks individual maupun sosial (Ismail 2009). Oleh
karena itu, pemahaman yang baik tentang syariat Islam oleh masyarakat sangat penting
dalam mendorong penegakan hukum syariat di Aceh. Syariat Islam sebaiknya dipahami
secara universal, tidak terbatas pada hukum pidana semata, tetapi juga mencakup dimensi
ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan etika, serta menjaga kelestarian ekosistem untuk
M. Yunus, dkk.,: Penerapan dan Tantangan Pelaksanaan Syariat Islam ....

187
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.32865
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 181-192

mencapai keseimbangan alam dan kehidupan sosial. Dalam perspektif sosiologi agama,
pemahaman yang komprehensif terhadap syariat Islam mengacu pada pandangan
Giddens, bahwa manusia tidak dapat memprediksi masa depan dengan pasti, dan
perubahan teknologi serta pembangunan berkelanjutan mempengaruhi pengelolaan
sumber daya alam (Giddens 2002). Oleh karena itu, menjaga keseimbangan lingkungan
harus menjadi agenda yang diperhatikan.
Agar syariat Islam dapat diterapkan secara menyeluruh, partisipasi dari semua
lapisan masyarakat diperlukan, tanpa memilih-milih. Setiap individu yang beragama
Islam yang tinggal di Aceh diwajibkan untuk menjalankan ajaran Islam sesuai dengan
syariat. Untuk mewujudkan ini semua, diperlukan upaya keras dari semua pihak dan
perhatian terhadap kesiapan sumber daya manusia yang memahami hukum syariat, serta
kesiapan masyarakat dalam menjalankan syariat Islam. Oleh karena itu, sosialisasi yang
intensif dan berkelanjutan harus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
dalam menjalankan syariat Islam (Furqani 2016).
Dalam konteks penerapan syariat Islam di Aceh, terdapat kekurangan dalam
sosialisasi yang memadai kepada masyarakat, yang mengakibatkan minimnya
pemahaman masyarakat tentang substansi syariat Islam yang diterapkan. Hal ini juga
disebabkan oleh kurangnya partisipasi masyarakat dalam mengisi ruang-ruang syariat,
sehingga penerapan syariat cenderung bersifat top-down. Meskipun penerapan syariat
Islam sudah berjalan lebih dari satu dasawarsa, namun program-program yang
dilaksanakan belum sepenuhnya terintegrasi dengan kurikulum sekolah, dan kurikulum
universitas, serta tatanan sosial di semua level masyarakat (Srimulyani 2008). Dalam
konteks ini partisipasi dan pemahaman seluruh pemangku kebijakan menjadi sangat
penting dalam memperkuat dan memastikan penerapan syariat Islam yang kaffah.
Seiring dengan harapan umat Islam di seluruh dunia untuk pemberlakuan syariat
Islam secara kaffah di Aceh, terdapat kendala hukum yang menghalangi implementasi
syariat Islam di daerah lain. Namun, Aceh memiliki peluang yang terbuka untuk
melaksanakan syariat Islam secara kaffah setelah diberlakukannya Undang-Undang yang
mengatur pelaksanaan syariat Islam, seperti Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-Undang-Undang tersebut memberikan
landasan yang kuat bagi Aceh untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah (Abubakar
2006; Ismail and Manan 2014).
Meskipun berbagai undang-undang di atas apabila dilaksanakan secara euforia
tanpa persiapan dan pengelolaan yang baik dapat menggeser makna sebenarnya dari
syariat itu sendiri. Oleh karena itu, penerapan syariat Islam perlu disesuaikan dengan
tingkat pendidikan dan pemahaman masyarakat, serta dilakukan secara bertahap dalam
semua aspek kehidupan. Tidak mudah untuk menemukan format ideal dalam penerapan
syariat Islam, meskipun sebagian besar ajaran Islam sudah diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari oleh masyarakat (Abubakar 2006; Ismail and Manan 2014).

M. Yunus, dkk.,: Penerapan dan Tantangan Pelaksanaan Syariat Islam ....

188
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.32865
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 181-192

Dalam perspektif sosiologi agama, syariat Islam merupakan peraturan ilahiah


yang harus diikuti oleh manusia dalam semua aspek kehidupan agar mencapai
kebahagiaan di dunia dan di akhirat (Suyanta 2008). Oleh karena itu, syariat Islam
dianggap sebagai sistem yang mampu mengumpulkan dan mengikat umat Islam dalam
praktik kehidupan mereka. Penerapan syariat Islam secara kaffah di Aceh menjadi
harapan masyarakat, dan dengan adanya Undang-Undang yang diberikan oleh pemerintah
serta pelaksanaan qanun-qanun syariat, tanggung jawab untuk menegakkan syariat Islam
secara kaffah menjadi tugas pemerintah Aceh, masyarakat, dan individu-individu (Abbas
2006).
3. Analisis
Perjuangan penegakan syariat Islam di Aceh terkait erat dengan perubahan waktu.
Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan syariat Islam di suatu masyarakat tidak statis,
tetapi dapat mengalami perubahan dan penyesuaian sesuai dengan perkembangan zaman.
Pelaksanaan syariat Islam di Aceh memiliki hubungan yang kompleks dengan faktor
sejarah, seperti kedatangan penjajah Belanda yang menghalangi dan merusak aspek-
aspek syariat Islam. Hal ini mencerminkan pentingnya konteks sejarah dalam memahami
dinamika pelaksanaan agama dalam suatu masyarakat.
Pelaksanaan syariat Islam di Aceh juga tidak hanya terbatas pada aspek
keagamaan semata, tetapi mencakup berbagai aspek kehidupan seperti politik,
pendidikan, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya. Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan
syariat Islam memiliki dimensi sosial yang penting dalam membentuk perilaku dan
norma-norma masyarakat.
Perjuangan untuk memperjuangkan syariat Islam di Aceh dapat dipahami sebagai
upaya masyarakat Aceh untuk mempertahankan identitas dan kepercayaan agama
mereka. Hal ini mencerminkan pentingnya agama dalam membentuk identitas sosial dan
nilai-nilai yang dijunjung oleh suatu masyarakat. Implementasi syariat Islam di Aceh
tidak terlepas dari konteks politik, seperti perlawanan terhadap bangsa penjajah dan upaya
pemerintah dalam memberikan status keistimewaan kepada Aceh dalam bidang agama,
pendidikan, dan adat. Ini menunjukkan bahwa faktor politik memiliki peran penting
dalam penegakan syariat Islam dalam suatu masyarakat.
Tantangan dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh meliputi pemahaman yang
sempit dan reduksionisme tentang hukum keagamaan, serta pentingnya memahami
syariat Islam sebagai bagian integral dari agenda pembangunan yang lebih luas. Hal ini
mencerminkan pentingnya memahami syariat Islam dalam konteks sosial dan ekonomi
yang lebih luas, bukan hanya dalam konteks agama semata.
Pemahaman terhadap tujuan-tujuan syariat Islam (maqasid al-syariah) penting
dalam implementasinya. Tujuan ini memberikan pedoman dalam memahami peran
agama dalam membentuk perilaku dan nilai-nilai sosial yang diinginkan dalam
masyarakat. Dengan pendekatan sosiologi agama, analisis ilmiah terhadap perjuangan
penegakan syariat Islam di Aceh dapat memperluas pemahaman tentang dinamika sosial,
politik, dan keagamaan yang terlibat dalam implementasi syariat Islam dalam suatu
masyarakat.
M. Yunus, dkk.,: Penerapan dan Tantangan Pelaksanaan Syariat Islam ....

189
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.32865
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 181-192

D. Kesimpulan
Sejarah pelaksanaan syariat Islam di Aceh menunjukkan perubahan yang terjadi
seiring perubahan waktu. Dalam konteks sejarah, kehadiran Belanda yang menghalangi
dan merusak pelaksanaan syariat Islam menjadi pemicu perlawanan masyarakat Aceh
terhadap Belanda, sehingga masyarakat Aceh terus berjuang agar Belanda tidak
mengganggu dan merusak tatanan kehidupan adat dan agama Islam di Aceh. Pelaksanaan
syariat Islam di Aceh terjadi secara menyeluruh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda. Syariat Islam di Aceh mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat, dan
dianggap sebagai hukum yang hidup dan memiliki keterkaitan dengan dimensi sosial dan
wahyu. Identitas Islam melekat kuat pada masyarakat Aceh.
Perjuangan untuk memperjuangkan pelaksanaan syariat Islam di Aceh dapat
dipahami sebagai upaya untuk mempertahankan identitas dan kepercayaan agama
masyarakat. Dalam sejarah Aceh, terdapat momen ketika pemerintah tidak mampu
memberikan pelaksanaan syariat Islam di Aceh, tetapi kemudian melalui keputusan
Perdana Menteri Republik Indonesia (Missi Hardi), Aceh diberikan status keistimewaan
dalam bidang agama, pendidikan, dan adat. Amandemen UUD 1945 dan perubahan
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah memberikan dasar hukum untuk
pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Pelaksanaan syariat Islam yang sedang berjalan tidak terlepas dari tantangan-
tantangan. Pentingnya memahami syariat Islam dalam konteks yang luas, termasuk aspek
ekonomi, pendidikan, budaya, dan pemerintahan, menjadi penting. Pemahaman tujuan-
tujuan syariat Islam dan maqasid al-syariah diperlukan untuk mengarahkan implementasi
syariat Islam dalam konteks masyarakat Aceh. Dalam sosiologi agama, pemahaman
terhadap tujuan-tujuan agama dan nilai-nilai yang ingin dicapai oleh masyarakat menjadi
penting dalam membentuk struktur sosial dan arah pembangunan sosial.
.
***

Daftar Pustaka

A. Hasjmy. 1997. Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan Dan Pembangunan


Tamadun Bangsa. Jakarta: Bulan Bntang.
Abbas, Syahrizal. 2006. “Reposisi Syariat Islam Di Aceh”, Dalam Eddy S. Soepadmo
(Direktur Program), Aceh Serambi Bermartabat. Jakarta: Kota Kita Press.
Abbas, Syahrizal. 2009. Syariat Islam Di Aceh, Ancangan Metodologis Dan
Penerapannya. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh.
Abubakar, Al Yasa’. 2006. Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Paradigma Kebijakan Dan Kegiatan. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
Abubakar, Al Yasa’. 2013. Penerapan Syariat Islam Di Aceh Upaya Penyusunan Fiqih
Dalam Negara Bangsa. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh.

M. Yunus, dkk.,: Penerapan dan Tantangan Pelaksanaan Syariat Islam ....

190
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.32865
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 181-192

Alfian, Teuku Ibrahim. 1986. Mata Uang Emas Kerajaan-Kerajaan Di Aceh. Banda
Aceh: Proyek Pembangunan Permuseuman Daerah Istimewa Aceh.
Alfian, Teuku Ibrahim. 1999. Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah. Banda Aceh: Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Ali Abubakar. 2011. “Hubungan Hukum Islam Dengan Hukum Adat Dalam
Ketatanegaraan Kerajaan Aceh Darussalam Dalam Naskah Undang-Undang Aceh.”
Jurnal Ar-Raniry Media Kajian Keislaman 1(87):23.
Ayang Utriza NWAY. 2009. ““Adakah Penerapan Syariat Islam Di Acheh?: Tinjauan
Sejarah Hukum Di Kesultanan Acheh Tahun 1516-1688 M.” Jurnal Gelombang
Baru Mesin Syariat Edisi IV:53–54.
Azra, Azyumardi. 2003. Implementasi Syari’at Islam Di Nanggroe Aceh Darussalam:
Perspektif Sosio-Historis. Revitalisasi Syariat Islam: Problem, Solusi, Dan
Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam Di Nanggroe Aceh Darussalam.
Jakarta: Logos.
Furqani, Hafas. 2016. ““Syariat Dan ‘Maslahah".”
Giddens, Anthony. 2002. The Third Way, Terj. Ketut Arya Mahardika. Jakarta: Gramedia.
Hadi, Amirul. 2010. Aceh, Sejarah, Buadaya, Dan Tradisi. Jakarta: Obor.
Hadi, Amirul. 2011. “Menggali Makna Jihad Bagi Masyarakat Aceh: Studi Hikayat
Prang Sabi”, Dalam, R. Michael Feener, Patrick Daly, Dan Anthony Reid
(Penyunting), Memetakan Masa Lalu Aceh. Denpasar Bali: Pustaka Larasan.
Hermansyah dan Nasruddin. 2013. Benteng Kesultanan Aceh Kajian Filologi, Arkeologi
Dan Topografi. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Hidayatullah, Moch. Syarif. 2014. Khotbah; Berjihad Perang Aceh Abad XIX. Jakarta:
Lectura Press.
Ismail, Fauzi. 2009. “Dinamika Realitas Penerapan Syariat Islam Di Aceh Persepsi Dan
Paradigma,” Dalam Soufyan Ibrahim, Dkk, Toleransi Dan Kiprah Perempuan Dalam
Penerapan Syariat Islam Banda Aceh.” Banda Aceh: Dinas Syariat Islam.
Ismail, Fauzi, and Abdul Manan. 2014. Syari’at Islam Di Aceh: Realitas Dan Respon
Masyarakat. Banda Aceh: Ar-Raniry Press.
Jasin, M. 1969. “Pesan Dan Harapan”, Dalam, T. Alibasjah Talsya, 10 Tahun Daerah
Istimewa Atjeh. Banda Aceh: Pustaka Putroe Tjanden.
Kawilarang, Harry. 2010. Aceh Dari Sultan Iskandar Muda Ke Helsinki. Banda Aceh:
Bandar Publishing.
Kern, R. A. 1997. Hasil Penyelidikan Tentang Sebab Musabab Terjadinya “Pembunuhan
Aceh”, Alih Bahasa Aboe Bakar. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi
Aceh.
Muchtar Aziz. 2007. “Tinjauan Sejarah Terhadap Pelaksaan Syariat Islam Masa
Kerajaan Islam Dan NKRI Di Aceh”, Dalam. T.H Thalhas Dan Choirul Fuad Yusuf,
Pendidikan Dan Syariat Islam Di Naggroe Aceh Darussalam. Jakarta: Gaalura Pase.
Nashir, Haedar. 1999. Agama Dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

M. Yunus, dkk.,: Penerapan dan Tantangan Pelaksanaan Syariat Islam ....

191
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.32865
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 181-192

Raniri, Nuruddin Ar. 1966. Bustanu’s-Salatin, Bab II, Fasal 13, Disunting Oleh T.
Iskandar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Reid, Anthony. 1969. The Contest for North Sumatra. Kuala Lumpur: University of
Malaya.
Safrilsyah Syarif, Firdaus M. Yunus. 2013. Metode Penelitian Sosial. Banda Aceh:
Ushuluddin Publishing.
Siegel, James T. 1969. The Rope of God. Berkeley and Los Angeles: University of
California Press.
Srimulyani, Eka. 2008. “Syariat Islam Melalui Tiga Educational Networks: Keluarga,
Sekolah Dan Masyarakat”, Dalam Eka Srimulyani, Dkk, Filosofi Pendidikan
Berbasis Syariat Islam Dalam Educational Networks. Banda Aceh: Dinas Syariat
Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Suyanta, Sri. 2008. Dinamika Peran Ulama Di Aceh. Banda Aceh: Ar- Raniry Press.

M. Yunus, dkk.,: Penerapan dan Tantangan Pelaksanaan Syariat Islam ....

192

Anda mungkin juga menyukai