Anda di halaman 1dari 8

Filsafat, Ideologi, Paradigma, Teori, Model dan Inovasi

Pendidikan
Herianto1 & Marsigit2
1
Doctoral Program Student, Department of Educational Research and Evaluation, Universitas
Negeri Yogyakarta, Indonesia
email: antoherianto47@gmail.com
2
Professor in Science of Teaching and Learning of Mathematics Universitas Negeri Yogyakarta,
Indonesia
email: marsigit@uny.ac.id
A. Pendahuluan
Ada banyak alasan untuk mempelajari filsafat pendidikan. Apalagi jika menyangkut
pertanyaan rasional yang tidak bisa dijawab di bidang sains dan pendidikan. Para profesional dan
praktisi pendidikan percaya bahwa filosofi yang secara komprehensif membahas konsep dan
praktik pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan
Pendidikan (Camilleri, 2011). Selanjutnya, pendidikan perlu inovatif untuk mengikuti dan
memberikan arah yang jelas dalam menghadapi globalisasi dan modernisasi yang cepat (Dyson &
Millward, 2000). Yang dibutuhkan di sini adalah konstruksi filosofis yang dapat menopang teori
dan praktik pendidikan untuk keberhasilan praktis.
Teori dan praktik pendidikan memiliki ruang lingkup yang sangat luas yang mencakup
semua gagasan dan pengalaman mengenai tujuan, proses, dan hasil pendidikan. Pendidikan dapat
dipelajari secara empiris, berdasarkan pengalaman, atau direfleksikan dengan menelaah makna
pendidikan dalam konteks yang lebih luas. Praktek pendidikan memerlukan teori pendidikan
karena memiliki kelebihan sebagai berikut: (1) Sebagai pedoman untuk mengetahui arah dan tujuan
yang akan dicapai; (2) Dengan memahami teori, kita dapat memilih mana yang dapat diterima dan
mana yang tidak, sehingga mengurangi kesalahan dalam praktik pendidikan. (3) Sebagai indikasi
latar belakang pendidikan (Moon, 2013). Oleh karena itu, uraian ilmiah ini akan berupaya mengulas
secara komprehensif dengan mendudukan “Teori, Model dan Inovasi Pendidikan” sebagai bidang
kajian yang perlu diletakkan di atas landasan filosofis, ideologi dan paradigma pendidikan.
B. Filsafat, Ideologi dan Paradigma Pendidikan
Noddings, N. (2018) menyatakan bahwa filsafat pendidikan adalah studi filosofis
pendidikan dan masalah-masalahnya. Tidak seperti cabang filsafat lainnya, jarang diajarkan dalam
bidang filsafat. Sama seperti filsafat hukum atau kedokteran yang sering diajarkan di sekolah
hukum atau kedokteran, filsafat pendidikan juga biasanya diajarkan di sekolah atau bidang
Pendidikan lainnya. Dalam hal ini, pokok bahasan utamanya adalah Pendidikan. Sedangkan
metodenya adalah metode filsafat.
Dari sudut pandang Filsafat, pendidikan berakar dari sejarah filsafat dan bagaimana
sejarah itu memandang pendidikan sebagai sistem social dalam masyarakat. Jauh sebelum adanya
pakar dan ahli pendidikan profesional, para filsuf dan tokoh-tokoh filsafat seperti Socrates, Plato,
Aristoteles, Rousseau, Peztalozzi, Herbart, Froebel dan John Dewey telah menganalisis dan
mengklarifikasi konsep dan pertanyaan yang menjadi pusat Pendidikan, diantaranya: Apa yang
seharusnya menjadi maksud atau tujuan pendidikan? Siapa yang harus dididik? Haruskah
pendidikan berbeda sesuai dengan minat dan kemampuan alami? Peran apa yang harus dimainkan
negara dalam pendidikan?.
Socrates sendiri mengajar dengan melibatkan orang lain dalam dialog, bukan dengan
menulis. Begitupun dengan Plato yang mendambakan “Negara Ideal”, tidak hanya mengeksplorasi
pertanyaan sensitif dan kompleks tentang hubungan warga negara dengan negara mereka dan
semua fungsinya (Bloom & Kirsch, 1968). Plato percaya bahwa siswa harus dididik sesuai dengan
kapasitas mereka dan tidak semua siswa harus memiliki pendidikan yang persis sama. Berbeda
dengan Plato, Aristoteles tidak mencoba menciptakan negara yang ideal. Dalam menulis tentang
kehidupan moral dan etika, Aristoteles menilai bahwa warga negara yang baik berharap untuk
berkontribusi pada negara, bukan hanya menuntut perlindungannya terhadap hak-hak individu
(Rorty & Oksenberg,1980). Aristoteles merekomendasikan bahwa anak-anak harus dilatih dalam
mode perilaku yang sesuai secara moral (Collins, 2006). Dari pemikiran Aristoteles ini, ada banyak
model-model Pendidikan yang berkembang seperti konsep Pendidikan karakter dan Pendidikan
multikultural.
Diilhami dari pemikiran tersebut, Jean-Jacques Rousseau merekomendasikan untuk
membangun pendidikan berdasarkan minat anak-anak dan memberi mereka banyak pengalaman
langsung. Dalam hal ini, Rousseau menekankan adanya pembelajaran formal yang memberikan
kesempatan kepada anak-anak untuk melakukan, merasakan, dan mengamati. Pandangan Rousseau
ini masih sangat menarik bagi para pendidik, terutama bagi para filsuf dan sejarawan pendidikan.
Seperti halnya Pestalozzi, yang menyempurnakan ide-ide Rousseau dan menciptakan implementasi
khusus (Kozol, 2012). Pestalozzi dikenang karena dedikasinya bekerja dengan anak-anak miskin.
Ia memperlihatkan bahwa anak-anak miskin, jika diasuh dengan baik dan dididik dengan terampil,
dapat belajar sebanyak anak-anak kaya.
Begitupun dengan Herbert yang mengembangkan ide Pestalozzi dan berusaha sangat
spesifik meenrapkan metode pengajarannya. Herbart menyarankan pelajaran empat langkah
pembelajaran berdasarkan cara kerja pikiran manusia, diantaranya: persiapan, presentasi,
perbandingan dan abstraksi, generalisasi, dan aplikasi (John Dewey, 1916: 71). Dari pijakan itu,
muncullah seorang pemikir ketiga yang dipengaruhi oleh Rousseau yaitu Fröbel. Ia dikenal sebagai
ayah dari Pendidikan taman kanak-kanak. Froebel mengibaratkan taman kanak-kanak sebagai
taman tempat anak-anak terbuka dan tumbuh seperti bunga. Dari sudut pandang ini, anak-anak
tumbuh dan selalu membutuhkan koreksi.
Dari perkembangan itulah, seorang John Dewey berhasil merangkumnya dalam
pandangan pragmatisme naturalistik (Noddings, 2018: 25). Dewey mempelajari dan menulis di
hampir setiap cabang filsafat, termasuk logika, metafisika, epistemologi, filsafat ilmu, ontologi,
estetika, filsafat politik, filsafat sosial, dan etika. Dia juga menulis tentang psikologi dan agama.
Tetapi dia berpendapat bahwa filsafat pendidikan adalah cabang filsafat yang paling mendasar dan
penting. Bagi Dewey, filsafat pendidikan adalah filsafat hidup. Sebagai seorang filsuf naturalis,
Dewey menolah hal-hal supernatural dan transendental. Menurutnya, entitas atau konsep adalah
transendental namun menjadi unit ilmiah yang dapat diakses dan bisa diamati. Dalam hal ini, John
Dewey memandang pendidikan adalah suatu proses pembentukan kemampuan dasar yang
fundamental, baik menyangkut tentang pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional),
menuju ke arah tabiat manusia dan manusia biasa.
Ihwal perkembangan pemikiran para filosof di atas bisa dikatakan sebagai gerbang
lahirnya beberapa ideologi yang mewarnai dunia Pendidikan hingga hari ini. Sebagai seperangkat
aturan yang diyakini dan dijadikan landasan bagi pendidikan dalam rangka mencapai tujuan (James
Alexander, 2015: 981), pendidikan diklasifikasikan menjadi dua ideologi besar yaitu ideologi
pendidikan konservatif dan ideologi pendidikan liberal. Klasifikasi itu didasarkan pada perbedaan
paradigma dari keduanya dalam memandang kebenaran dari sebuah sistem Pendidikan (O’Neill,
2008: 32). Ideologi Pendidikan konservatisme cenderung untuk menjadi sebuah humanisme tidak
langsung atau menganggap bahwa nilai tertinggi adalah perujudan diri dan bisa dicapai dengan cara
mengidentifikasikan dan menaati hukum alam dan atau ketuhanan. Sedangkan ideologi
pendididkan Liberal cenderung untuk menjadi humanisme langsung, yang memandang semua
kenyataan berakar pada pengetahuan dan pengalaman manusia secara personal ataupun kolektif.
Adapun menurut Paul Ernest (1991), ideologi Pendidikan dapat dibagi menjadi 5
kategori, diantaranya: aliran Industrial Trainer, Technological Pragmatist, Old Humanist, Progressive
Educator dan Public Educator. Paradigma dari ideologi Pendidikan ini secara jelas dapat dilihat melalui
tabel 1 berikut:
Tabel 1. Ideologi Pendidikan Menurut Paul Ernest

Pertama, aliran Industrial Trainer secara konseptual adalah berupa alur pengajaran atau
pemahaman yang menekankan pada pendidikan atau pelatihan industri. Orientasi pelatihan ini
menekankan pada matematika dan keterkaitan antara pendidikan dengan dunia usaha dan industri.
Dalam konteks pembelajaran matematika atau pendidikan dasar, alur instruktur industri yang
dimaksud adalah kegiatan pelatihan yang dilakukan untuk siswa.
Kedua, Aliran Technological Pragmatist adalah kelompok kontemporer yang diturunkan dari
pendidik industri yang misinya mempromosikan versi modern dari sebuah ideologi dengan tujuan
utilitarian, prinsip utilitas atau kemanfaatan. Secara konseptual, Technological Pragmatist ini dapat
digambarkan sebagai sikap atau perilaku ideologis, mazhab, atau politik yang tidak mau mengubah
sistem secara radikal. Sikap ini biasanya dipegang oleh mereka yang memegang status atau
kekuasaan khusus di dalam struktur, atau setidaknya mereka yang merasa sangat diuntungkan dari
sistem yang ada.
Ketiga, aliran Old Humanist atau sering disebut sebagai "Alto-Humanist" atau "Humani
Lama". Aliran ini berpendapat bahwa sains murni hanya baik untuk dirinya sendiri. Namun
kenyataannya, matematikawan kuno memandang matematika sebagai komoditas yang berharga
dan elemen sentral dari budaya. Dalam matematika yang membuktikan logika, ada nilai dalam
struktur, abstraksi, dan penyederhanaan. Berdasarkan nilai tersebut, maka tujuan pembelajaran
matematika adalah untuk mengajarkan matematika itu sendiri. Ideologi kelompok ini dibagi oleh
relatif absolut. Kelompok humanis kuno adalah kelompok yang menekankan perbaikan diri
dengan membangun kemanusiaan. Menurut ideologi ini, dalam pembelajaran matematika harus
dilakukan pembelajaran yang dapat membangun karakter siswa sehingga tidak hanya ahli dalam
bidang matematika, tetapi agar siswa dapat terus memiliki kepribadian yang baik dalam
kehidupannya. masa depan. Meskipun pembelajaran yang disederhanakan ini sudah berkaitan
dengan pemahaman konsep matematika, pembelajaran yang dipimpin guru masih menggunakan
metode ceramah. Menurut aliran pemikiran ini, matematika memiliki nilai kebenarannya sendiri.
Hal ini sesuai dengan analogi bahasa dalam matematika. Matematika adalah "Ratu Pengetahuan".
Matematika menekankan ketelitian, bukti logis, struktur, abstraksi, kesederhanaan, dan
keanggunan.
Keempat, Aliran Progressive Educator atau sering disebut sebagai aliran pendidikan progresif.
Dalam hal ini, pendidikan progresif didasarkan pada progresivisme, dan pendidikan harus
didasarkan pada sifat manusia sebagai makhluk sosial dan paling baik dipelajari dalam situasi
kehidupan nyata dengan orang lain. Progressive Educator sebenarnya merupakan perpanjangan dari
gagasan tentang pragmatisme pedagogis. Ideologi ini memandang siswa sebagai makhluk sosial
yang aktif. Dalam teori ini, belajar bekerja paling baik ketika berhubungan dengan situasi kehidupan
nyata siswa. Pembelajaran juga harus berpusat pada siswa. Belajar ke arah ini sangat berbeda
dengan belajar oleh pelatih industri, pragmatis teknis, dan arus kemanusiaan kuno. Pembelajaran
pada aliran ini berpusat pada siswa (student centered), dalam arti bahwa subjek dari kegiatan
pembelajaran. Siswa tidak hanya menerima semua ilmu dari gurunya, tetapi mencari atau
membangun sendiri ilmunya.
Kelima, aliran Public Educator yaitu sekelompok atau orang-orang dengan ideologi
demokrasi. Di era sekarang ini, pendidikan bisa menjadi milik semua orang. Dengan kata lain,
pendidikan tidak memandang jenis kelamin, ras, jenis kelamin, status sosial, dan lain-lain. Dalam
perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan ini disebut Pendidikan Inklusif, Kesetaraan Gender,
Disabilitas dan Inklusi Sosial (GEDSI). Sebagai seorang praktisi pendidikan inklusif, penulis
menganut paradigma ini. Menurut ideologi ini, pendidikan harus bertujuan untuk memberikan
pengalaman untuk menemukan atau memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi dan sosial.
Masyarakat pada dasarnya adalah yang terbaik, tetapi masyarakat demokratis adalah yang terbaik,
di mana setiap pekerjaan memiliki peluang dan demokrasi tidak memiliki hierarki sosial. Ideologi
ini juga menekankan bahwa pendidikan tercapai bila anak terlibat aktif dan terintegrasi dalam
semua kegiatan sosial di lingkungannya. Orang tua tidak mengisolasi anaknya di sekolah. Tujuan
lain dari pendidik masyarakat ini adalah agar masyarakat juga berperan sebagai pembimbing dan
guru bagi anak-anak. Teori pembelajaran didiskusikan dan siswa diberikan kebebasan sesuai
dengan kemampuannya. Teori pengajarannya adalah diskusi dan inkuiri.
C. Teori dan Model Pendidikan
Kumpulan pendapat dari para ahli yang membangun paradigma Pendidikan yang telah
dibahas sebelumnya, selanjutnya dapat diklasifikasikan menjadi beberapa gagasan besar atau teori
berdasarkan objek atau entitas yang diamati dalam sebuah pendidikan. Terminologi dari teori
pendidikan ini adalah suatu pandangan atau kumpulan pendapat tentang pendidikan yang disajikan
dalam suatu sistem konsep yang terpadu, menerangkan dan prediktif tentang peristiwa-peristiwa
Pendidikan (Porter & Córdoba, 2009: 327). Teori pendidikan ada yang berperan sebagai asumsi
pemikiran pendidikan dan ada yang beperan sebagai definisi menerangkan makna (Dewey, 1904:
10). Asumsi utama pendidikan itu sendiri adalah untuk mencapai bahwa pendidikan itu praktis,
yaitu pendidikan dimulai dengan situasi aktual dan lingkungan belajar dari pembelajaran individu,
dan bahwa pendidikan itu normatif, yaitu pendidikan yang baik. sasaran. Artinya, pendidikan
berupa pembelajaran individu yang ditujukan pada serangkaian aktivitas, situasi kehidupan nyata,
dan kinerja pribadi yang diharapkan. Teori pendidikan ini dibagi menjadi empat bidang: pendidikan
klasik, pendidikan individu, pendidikan teknologi, dan pendidikan interaktif. Dari ke empat teori
pendidikan tersebut akan menghasilkan model Pendidikan atau desain kurikulum tersendiri yang
akan membentuk masyarakat sesuai dengan tujuan Pendidikan itu sendiri.
Pertama, teori pendidikan klasik (Classical theory of education) didasarkan pada filosofi klasik
seperti perenialisme, esensialisme, dan eksistensialisme, yang memandang pendidikan sebagai
upaya memelihara dan melestarikan warisan budaya (Rikowski, 2020: 29). Konten atau materi
pendidikan diambil dari gudang pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan oleh para
profesional sebelumnya, disusun secara logis dan sistematis. Kedua, teori yang berorientasi pada
Pendidikan pribadi (Personal theory of Education) adalah teori yang mengasumsikan bahwa anak
memiliki potensi tertentu sejak lahir (Flynn, 2004). Pendidikan harus mampu mengembangkan
potensi peserta didik sesuai dengan kebutuhan dan minatnya. Dalam hal ini, peserta didik menjadi
aktor utama pendidikan, dan pendidik hanya menempati posisi kedua yang lebih berperan sebagai
pembimbing, motivator, fasilitator, dan pelayan peserta didik. Ketiga, teori yang berorientasi pada
Pendidikan teknologi yaitu teori Pendidikan yang menitikberatkan pada pembentukan dan
perolehan kompetensi atau keterampilan praktis daripada pelestarian dan pemeliharaan budaya
lama (Jones, Buntting & de Vries, 2013). Dalam teori pendidikan ini, muatan pendidikan berupa
data objektif dan keterampilan yang mengarah pada keterampilan profesional dipilih oleh tim ahli
materi pelajaran. Konten dirancang dalam bentuk rancangan program atau rancangan
instruksional, dikomunikasikan dengan bantuan media elektronik, dan siswa belajar secara
individual. Pembelajar berusaha memperoleh sejumlah besar materi dan pola perilaku secara efisien
dan tanpa refleksi. Keterampilan barunya segera digunakan di masyarakat. Guru berperan sebagai
pemimpin pembelajaran, melakukan tugas-tugas administratif daripada menyampaikan dan
memperdalam materi. Keempat, teori Pendidikan interaksional atau Pedagogi interaktif adalah
konsep pendidikan yang menganggap pemikiran manusia sebagai entitas sosial, terus-menerus
berinteraksi dan bekerja sama dengan orang lain (Pritchard & Woollard, 2013). Pendidikan sebagai
cara hidup juga memiliki kerja sama dan interaksi satu sama lain. Selain itu, dalam metode
penerapan teori ini terdapat interaksi siswa dengan bahan pelajaran, lingkungan, dan interaksi
pemikiran manusia dengan lingkungan. Filosofi yang mendasari pendidikan interaktif adalah
rekonstruksi sosial.
Klasifikasi teori di atas adalah klasifikasi yang didasakan pada konteks hubungan atau
aktivitas social yang terjadi dalam proses Pendidikan. Keempat teori tersebut, dapat dirangkum
menjadi dua bagian teori yaitu Teori mengajar dan teori pembelajaran. Untuk membatasi
pembahasan pada naskah ini, maka teori-teori ini tidak diulas secara detail. Oleh karena, kedua
teori ini memiliki cakupan pembahasan yang sangat luas dan terus berkembang maka dibutuhkan
satu bagian pembahasan tersendiri sebagai entitas dalam kajian tentang pendidikan. Meski begitu,
teori pembelajaran menjadi pembahasan yang tak terpisahkan dengan teori dan model Pendidikan
itu sendiri. Beberapa model pembelajaran yang popular dikenal diantaranya Contextual Teaching and
Learning (CTL), Cooperative Learning (CL), Problem Based Learning (PBL), Pembelajaran bersiklus (Cycle
Learning), dan Realistic Mathematic Education (RME). Namun, dari sekian banyak model pembelajaran
ini, tidak satu pun dapat dianggap sebagai model pembelajaran terbaik karena setiap model selalu
memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing sesuai kondisi lingkungan Pendidikan itu
sendiri. Pendidik boleh memilih beberapa metode yang mereka anggap sesuai dengan kondisi
pendidikan yang mereka hadapi dan materi yang ditawarkan. Teori dan model Pendidikan ini hanya
menjadi pilihan untuk meningkatkan inovasi Pendidikan.
D. Inovasi Pendidikan
Berbicara tentang inovasi Pendidikan, tidak terlepas dari dua istilah yaitu invention dan
discovery. Kedua istilah ini membentuk makna bahwa inovasi adalah proses penemuan yang dapat
dianggap baru untuk suatu gagasan, objek, peristiwa, individu, atau sekelompok orang
(masyarakat). Inovasi dapat merupakan hasil invention atau discovery (Roco & Bainbridge, 2013).
Inovasi dilakukan untuk tujuan tertentu atau untuk memecahkan suatu masalah. Saat ini, inovasi
tersebut dikenal dengan perubahan Pendidikan menuju Pendidikan dan pembelajaran abad 21.
Inovasi Pendidikan di abas 21 tersebut dapat dikembangkan dalam banyak metode salah satunya
melalui kolaborasi, baik antar kelompok maupun antar Lembaga pendidikan. Marsigit (2016)
menegaskan bahwa kerja sama antar lembaga pendidikan seperti mencari model alternatif yang
mengacu pada pengalaman pendidikan dari beberapa negara lain dapat memperoleh beberapa
manfaat peluang untuk: (a) mendiskusikan dan meningkatkan implementasi kurikulum yang
mencakup pengembangan buku teks, bahan ajar, metodologi pengajaran, dan penilaian, (b)
memperkaya pengalaman pendidik matematika dan sains, (c) meningkatkan kualitas pembelajaran
mengajar dan mengembangkan laboratorium, (d) memecahkan masalah pembelajaran pengajaran
matematika dan sains di sekolah, (e) merekomendasikan cara-cara peningkatan pendidikan
matematika dan sains, dan (f) memenuhi harapan masyarakat akan apa yang disebut praktik
pendidikan matematika dan sains yang baik.
Tabel 2. Tinjauan Ideologi dan Paradigma Pendidikan

Sumber: Marsigit. 2023. Paparan Mata Kuliah Filsafat Penelitian dan Evaluasi Pendidikan. (Jumat, 10
Maret 2023)
Tabel di atas dapat menjadi peta yang dapat dijadikan acuan untuk menumbuhkan inovasi
dalam lingkungan pendidikan berdasarkan kerangka filosofis dan paradigma masing-masing
ideologi pendidikan yang dianut oleh sebuah sistem Pendidikan. Dari peta tersebut, para praktisi
Pendidikan dapat menentukan model-model apa saja yang bisa dibangun untuk menghasilkan
perubahan dan pemecahan masalah dalam Pendidikan.

Referensi
Alexander, J. 2015. The major ideologies of liberalism, socialism and conservatism. Political Studies,
63(5), 980-994.
Bloom, A., & Kirsch, A. 1968. The republic of Plato. Vol. 2. New York: Basic Books.
Camilleri, E. 2011. Project Success: Critical Factors and Behaviours. Gower Publishing, Ltd..
Collins, S. D. 2006. Aristotle and the Rediscovery of Citizenship. Cambridge University Press.
Dewey, John. 1916. Democracy and Education. New York: Macmillan.
Dewey, John. 1904. The relation of theory to practice in education. Teachers College Record, 5(6), 9-
30.
Dyson, A., & Millward, A. 2000. Schools and special needs: Issues of innovation and inclusion.
Sage.
Ernest, Paul. 1991. The Philosophy of Mathematics Education. London: The. Falmer Press.
Flynn, P. 2004. Applying Standards-based Constructivism: A two-step guide for Motivating Middle and High
School Students. Eye On Education.
Jones, A., Buntting, C., & de Vries, M. J. 2013. The developing field of technology education: A
review to look forward. International Journal of Technology and Design Education, 23, 191-212.
Kozol, J. 2012. Savage Inequalities: Children in America's schools. Crown.
Marsigit, M. 2016. Pembelajaran matematika dalam perspektif kekinian. Math Didactic: Jurnal
Pendidikan Matematika, 2(3), 132-141. https://doi.org/10.33654/math.v2i3.40
Moon, J. A. 2013. A handbook of Reflective and Experiential Learning: Theory and practice. Routledge.
Noddings, N. 2018. Philosophy of Education. Routledge.
O’Neill, William F. 2008. Ideologi-ideologi Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, cet. ke-2. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Pritchard, A., & Woollard, J. 2013. Psychology for the classroom: The social context. Routledge.
Porter, T., & Córdoba, J. 2009. Three views of systems theories and their implications for
sustainability education. Journal of Management Education, 33(3), 323-347.
Rikowski, G. 2020. Critique of The Classical Theory of Education Crisis. Trabalho & Educação, 29(3),
19-67.
Roco, M. C., & Bainbridge, W. S. 2013. The new world of discovery, invention, and innovation:
convergence of knowledge, technology, and society. Journal of nanoparticle research, 15, 1-17.
Rorty, A. O., & Oksenberg, A. R. (Eds.). 1980. Essays on Aristotle's ethics (No. 2). Univ of California
Press.

Anda mungkin juga menyukai