Anda di halaman 1dari 5

1. Jenis-jenis perjanjian internasional dari pihaknya?

- a. Perjanjian Internasional Bilateral yakni perjanjian internasional yang jumlah peserta atau
pihaknya hanya terdiri atas dua pihak.
- b. Perjanjian Internasional Multilateral yakni perjanjian internasional yang pesertanya atau
pihak-pihak yang terikat di dalamnya lebih dari dua pihak (negara).

2. Apakah reservasi dapat dilakukan dalam perjanjian bilateral


 UU No 24 tahun 2000, Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 angka 5; “Persyaratan
(Reservation) adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima
berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang
dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu
perjanjian internaisonal yang bersifat multilateral.”
 Pasal 19 Vienna Convention 1969:
A State may, when signing, ratifying, accepting, approving or acceding to a treaty,
formulate a reservation unless:
(a) the reservation is prohibited by the treaty;

(b) the treaty provides that only specified reservations, which do not include the
reservation in question, may be made; or

(c) in cases not failing under subparagraphs (a) and (b), the reservation is
incompatible with the object and purpose of the treaty.

 Reservasi dalam perjanjian bilateral adalah proses di mana suatu negara mengajukan
reservasi terhadap pasal atau ketentuan yang bersangkutan dalam perjanjian
internasional yang diandai oleh dua negara. Beberapa pembatasan dalam mengajukan
reservasi dalam perjanjian bilateral meliputi:
1. Reservasi harus dinyatakan secara formal dan dalam bentuk tertulis
2. Reservasi itu tidak boleh diajukan jika persyaratan tersebut melarang atau menyetakan
penegasan di dalam perjanjian itu sendiri yang sebaliknya dari pembatasan atau
tegasnya
3. Reservasi itu bertentangan dengan dengan tujuan dan maksud suatu perjanjian
3. Apakah seorang ibu negara membutuhkan full power jika meninggalkan dia dalam suatu
perjanjian internasional
- Pasal 1 angka 3: “Surat Kuasa (Full Powers) adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden
atau Menteri yang memberkan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili
Pemerntah Republik Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian,
menyatakan persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau
penyelesaikan hal-hal yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional.
- Pasal 7 ayat 2: “Pejabat yang tidak memerlukan Surat Kuasa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 3 adalah : a. Presiden, dan b. Menteri.
- Tidak ada kaitan antara seorang ibu negara dengan full power dalam suatu perjanjian
internasional. Surat Kuasa (Full Powers) adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau
Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili negara
untuk menyatakan persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau
penyelesaian hal-hal yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional.

4. Apa notulensi rapat penggunaan perjanjian internasional dapat dijadikan bahan untuk
menafsirkan perjanjian internasional.
- Article 32 Supplementary means of interpretation: “Recourse may be had to supplementary
means of interpretation, including the preparatory work of the treaty and the circumstances of
its conclusion, in order to confirm the meaning resulting from the application of article 31, or
to determine the meaning when the interpretation according to article 31:
(a) leaves the meaning ambiguous or obscure; or
(b) leads to a result which is manifestly absurd or unreasonable.
- Notulensi rapat penggunaan perjanjian internasional dapat dijadikan bahan untuk
menafsirkan perjanjian internasional. Notulensi rapat dapat menjadi salah satu sumber untuk
menafsirkan perjanjian internasional, terutama jika notulensi tersebut mencerminkan
kesepakatan antara para pihak yang kemudian dijadikan dasar dalam perjanjian internasional.
Namun, dalam konteks hukum internasional, proses interpretasi perjanjian internasional
didasarkan pada prinsip-prinsip hukum internasional, termasuk Konvensi Wina 1969 tentang
Hukum Perjanjian. Oleh karena itu, notulensi rapat hanya merupakan salah satu dari berbagai
faktor yang dapat dipertimbangkan dalam menafsirkan perjanjian internasional.

5. Apakah perlindungan thdp subjek hukum nasional dapat digunakan untuk justifikasi
(alasan hukum) bagi pemerintah indonesia untuk mengakhiri suatu perjanjian internasional?
Note:- baca natural content sm legal content (subjek hukum indonesia) - jelasin mengenai
kepentingan nasional, baca pasal 18 uu no 24/2000
 Perlindungan terhadap subjek hukum nasional tidak dapat digunakan sebagai
justifikasi atau alasan hukum bagi pemerintah Indonesia untuk mengakhiri suatu
perjanjian internasional. Perlindungan hukum merupakan fungsi dari hukum untuk
memberikan perlindungan bagi subjek hukum, sedangkan pengakhiran perjanjian
internasional diatur oleh hukum internasional yang terpisah dari hukum nasional.
Oleh karena itu, perlindungan terhadap subjek hukum nasional tidak dapat digunakan
sebagai alasan hukum untuk mengakhiri perjanjian internasional.
 Pasal 18 uu no 24/2000;
Perjanjian internasional berakhir apabila :
a terdapat kesepakatan pada pihak melalui prosedur yang ditetapkan
dalam perjanjian;
b. tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;
c. terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan
perjanjian;
d. salah satu pihak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;
e. dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
f. muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
g. objek perjanjian hilang;
h. terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.
1. Jenis-jenis perjanjian internasional dari pihaknya?
- a. Perjanjian Internasional Bilateral yakni perjanjian internasional yang jumlah peserta atau pihaknya hanya terdiri
atas dua pihak.
- b. Perjanjian Internasional Multilateral yakni perjanjian internasional yang pesertanya atau pihak-pihak yang terikat
di dalamnya lebih dari dua pihak (negara).
2. Apakah reservasi dapat dilakukan dalam perjanjian bilateral
- UU No 24 tahun 2000, Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 angka 5
- Pasal 19 Vienna Convention 1969:
- Reservasi dalam perjanjian bilateral adalah proses di mana suatu negara mengajukan reservasi terhadap pasal atau
ketentuan yang bersangkutan dalam perjanjian internasional yang diandai oleh dua negara. Beberapa pembatasan
dalam mengajukan reservasi dalam perjanjian bilateral meliputi:
a. Reservasi harus dinyatakan secara formal dan dalam bentuk tertulis
b. Reservasi itu tidak boleh diajukan jika persyaratan tersebut melarang atau menyetakan penegasan di dalam
perjanjian itu sendiri yang sebaliknya dari pembatasan atau tegasnya
c. Reservasi itu bertentangan dengan dengan tujuan dan maksud suatu perjanjian
3. Apakah seorang ibu negara membutuhkan full power jika meninggalkan dia dalam suatu perjanjian internasional
- Pasal 1 angka 3
- Pasal 7 ayat 2
- Tidak ada kaitan antara seorang ibu negara dengan full power dalam suatu perjanjian internasional. Surat Kuasa
(Full Powers) adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau
beberapa orang yang mewakili negara untuk menyatakan persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian,
dan/atau penyelesaian hal-hal yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional.
4. Apa notulensi rapat penggunaan perjanjian internasional dapat dijadikan bahan untuk menafsirkan perjanjian
internasional.
- Article 32 Supplementary means of interpretation
- Notulensi rapat penggunaan perjanjian internasional dapat dijadikan bahan untuk menafsirkan perjanjian
internasional. Notulensi rapat dapat menjadi salah satu sumber untuk menafsirkan perjanjian internasional, terutama
jika notulensi tersebut mencerminkan kesepakatan antara para pihak yang kemudian dijadikan dasar dalam perjanjian
internasional. Namun, dalam konteks hukum internasional, proses interpretasi perjanjian internasional didasarkan
pada prinsip-prinsip hukum internasional, termasuk Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian. Oleh karena itu,
notulensi rapat hanya merupakan salah satu dari berbagai faktor yang dapat dipertimbangkan dalam menafsirkan
perjanjian internasional.
5. Apakah perlindungan thdp subjek hukum nasional dapat digunakan untuk justifikasi (alasan hukum) bagi
pemerintah indonesia untuk mengakhiri suatu perjanjian internasional?
- Perlindungan terhadap subjek hukum nasional tidak dapat digunakan sebagai justifikasi atau alasan hukum bagi
pemerintah Indonesia untuk mengakhiri suatu perjanjian internasional. Perlindungan hukum merupakan fungsi dari
hukum untuk memberikan perlindungan bagi subjek hukum, sedangkan pengakhiran perjanjian internasional diatur
oleh hukum internasional yang terpisah dari hukum nasional. Oleh karena itu, perlindungan terhadap subjek hukum
nasional tidak dapat digunakan sebagai alasan hukum untuk mengakhiri perjanjian internasional.
- Pasal 18 uu no 24/2000;

Anda mungkin juga menyukai