Delapan Dekade Menanam, Menyiram, Bertumbuh Dan Berbuah Marger - Compressed
Delapan Dekade Menanam, Menyiram, Bertumbuh Dan Berbuah Marger - Compressed
261
Del Delapan Dekade GPM menanam, menyiram, berfumbuh dan berbuah :
All rights reserved. Save Exception stated by the law, no part of this
publication may be reproduced, srored in a retrieval system ofany nature, or
transmitted in any form or by any means electronic, mechanical,
photocopying, recording or others.ise, included a complete or paftial
transcription, without the prior writren permission of the author, application
for which should be addressed to author-
Diterbitkan oleh:
Satya rfr/acana University Press
Universitas Kristen Satya Wacaua
[. Diponegoro 52-60 Salatiga
Telp. (0298) 3212128xt.229, Fax. (0298) 311995
Bekerjasama dengan
KataPengantar---iii
Sambutan Gubernur Maluku - - - ix
Sambutan Presiden Uniting Church in Australia - - - xi
DaftarIsi---xii
Prolog:
Delapan Dekade Menanam, Menyiram, Berarmbuh dan Berbuah: Refleksi
Sosio-Teologis Historik ber-GPM
John Chr. Ruhulessin -- - xvii
xil
Gereja Sebagai Keluarga Allah: Eklesiologi Kontekstual
PaulusRefraly---123
4. Konteks Pengembangan GPM
Victor Untailawan * - - l4l
5. |emaat Sebagai Sentra Pengembangan Ekonomi Gereja
Simon Pieter Soegijono- - - 148
Pekerjaan Sosial dan Sumbangannya bagi Diakonia Transformatif
Gereja Protestan Maluku
Marthin lonas Maspaitella- -- 169
xilt
6. Damai di Negeri Salam-Sarane: Perspektif Seorang Anak Piara
Muslim
Lailarul Fitriyah- -- 339
xtv
2. Bergereja Bersama Basudara Muslim: Pengalaman Bersama di Seram
Bagian Timur
Lodewik W. Laisila dan Fridolin R. Kwalomine- - -512
3. Berseru Kepada Pohon Tumbang: Refleksi Teologis dalam Krisis
Lingkungan di Seram Utara
/ondry Paays- - -525
4. GPM dan Advokasi Lingkungan
Simson M. Reskir- - - 536
5. Perempuan Kei dalam Citra Bergereja: Dinamika dan Tantangan di
Kepulauan Kei
Adonia Titiahy-Leiwaka bessy - - - 552
6. Namaku Indonesia, Mataku Memandang Australia: Menjadi GPM di
Beranda Depan Negara
Daniel Zwingly Wutwensa - - - 560
7. Beribadah di Rumah Ternak: Pengalaman Penggembala di Klasis Leti
Moa Lakor
MelkyTimisela---576
8. Quo Vadis Benjina?
Peter Robert Manuputty- * - 586
9. Problematik Kesehatan Masyarakat dan Implikasinya bagi ]emaat
/ohanis Fritzgal Rehena --- 593
Epilog:
Perlukah Pesan Tobat |ilid DuaT
Iohn Chr. Ruhulessin- - - 681
ParaPenulis---689
xvt
PROLOG:
xvil
Namun, pada bagian ini saya tidak bermaksud menjelaskannya sebagai suatu
sejarah total (total lustory) yang mencakup lingkungan, struktur, jemaat dan
gambaran mental meliputi perilaku dan pemikiran setiap orang dalam sejarah
pelayanan GPM, melainkan sedikit membuat refleksi teologis dalam
perspektif historis tentang keberadaan GPM dalam ruang dan waktu (space
and time) sebagai gereja yang melayani umat Tuhan (menanam dan
menyiram) di Maluku secara khusus, masyarakat Maluku, Indonesia dan
dunia secara umum. Hal ini bernrjuan untuk menunjukkan bahwa GPM
benar-benar mewujudkan dirinya sebagai gereja yang diutus ke dalam dunia
dan turut mewarnai dunia ini sesuai dengan amanat pelayanan Yesus, Kepala
Gereja.
Bersamaan dengan itu pula, dijelaskan tentang Allah yang ikut
berkarya secara nyata dalam sejarah GPM sehingga GPM tetap eksis dan
bertumbuh dalam melaksanakan pelayanannya, meskipun menghadapi tan-
tangan dan pergumulan gereja yang begitu berat seLama delapan dekade di
Maluku (delapan puluh tahun), sejak menjadi gereja yang mandiri pada 6
September 1935 hingga sekarang.
Dengan berhikmat, para pendiri gereja ini memilih 1 Korintus 3:6
menjadi motto GPM. Selain menggambarkan kepekaan terhadap potensi ben-
turan dan perselisihan yang dapat muncul dalam kehidupan bergereja dan
bermasyarakat (sebagaimana konteks jemaat Korintus kala itu), sekaligus
mengingatkan kita tentang sumber "Pemberi Buah" atas segala jerih-lelah
kita dalam menaman dan menyiram, yaitu Tuhan Allah sendiri. Di sini kita
semua tepekur sejenak untuk menyadari siapa kita sesungguhnya di "Kebun
Cengkeh" Allah ini.
Metafora Gereja Pohon Cengkeh mengandaikan bahwa pohon
cengkeh dan tanaman apapun mesti dirawat dan dijaga agar bertumbuh dan
berbuah. fauh sebelum teknologi pertanian canggih diperkenalkan, para
leluhur Maluku hanya menanam cengkeh seadanya. Di atas tanah yang
subur, cengkgh bertumbuh dan berbuah rimbun. Pada usia tertentu cengkeh
akan berhenti berbuah. Pohonnya mungkin makin besar dan kokoh tetapi
bisa jadi buahnya tidak serimbun dulu. Kalaupun berbuah, akan sulit untuk
memetiknya. Ia menjadi tempat berteduh bagi burung-burung dan hewan
lainnya. Satu-satunya langkah yang perlu dilakukan agar cengkeh tetap ber-
buah adalah "meremajakannya".
Ya, memperkuat sumber daya manusia merupakan sebentuk proses
"peremajaan". Saya kira salah satu tantangan terbesar GpM saat ini adalah
proses kaderisasi atau penguatan sumber daya manusia yang mesti terus
dilakukan dengan sungguh-sungguh. GPM mesti melihat segenap porensinya,
baik para pelayan maupun umatnya, sebagai kekuatan yang perlu dirawat.
Investasi berupa program dan alokasi anggaran untuk mendukung pengem-
xviii
bangan sumber daya manusia GPM merupakan kebutuhan sekaligus langkah
yang strategis. Benarlah pepatah tua yang berkata: jika ingin Panen sebulan
tanamlah jrgurg, jika setahun tanamlah pohon, jika seratus tahun tanamlah
manusia. Tetapi tidak hanya peremajaan, pengkaderan, penguatan SDM baik
pelayan maupun umat, melainkan juga penyiapan "lahan" yang memadai dan
benih yang baik. Tidak hanya penyiapan lahan yang memadai dan benih
yang baik, tetapi juga proses dan kultur bergereja, kultur pelayanan yang
memadai, dan tidak kalah pentingnya visi, misi dan strategi yang tepat dan
benar yang dapat mengembangkan penyelenggaraan proses pelayanan GPM
ke arah dan sasaran yang tepat.
xtx
Pergumulan GPM dengan TUHAN dan konteksnya terus-menerus
mempertanyakan akar sejarah dan akar sosialnya di tengah-tengah
realitas konteks yang dihadapi dan rantangan dari panggilan
TUHAN-nya. Pergumulan itu menghantarnya ke penghujung
tanggal 4 Mei 1960, di mana dari situasi yang berat dalam puncak-
puncak pergumulannya dicanangkanlah "Pesan Tobat Sinode
1960". Pesan ini merupakan suatu moment opname, dimana gereja
ini tidak hanya menyadari keadaannya yang lemah dan gagal,
melainkan juga menyatakan keikatannya unruk "diperbarui oleh
Roh Kudus dan memperbarui dirinya". Pesan menegaskan bahwa
pertobatan total dari seluruh anggota dan pejabat GPM untuk
menaklukan diri di bawah Firman Allah seraya mewujudkannya di
dalam keseluruhan hidup, di tengah-tengah dunia ini". Pada
umumnya diterima kenyataan akan tahun 1960 itu sebagai suatu
titik balikbagi GPM di mana diakui satu-sarunya kenyataan bahwa
pembaruan hanya dapat terjadi oleh ketaatan kepada Firman Aliah
dan karya Roh Kudus.6
xx
Kita mempunyai pengalaman yang kaya dan beragam dalam
lintasan sejarah. Pada zaman Orde Lama, gereja-gereja berjuang untuk ambil
bagian dalam nation-building. Begitu pula pemerintah berusaha menunjuk-
kan kepedulian kepada gereja (baca: GPM). Sebagai contoh, ketika Bung
Karno, presiden pertama RI, datang ke Ambon dan "menghadiahkan" gedung
gereja pusat. Ini merupakan sebuah tindakan simbolis tentang kepedulian
negara kepada gereja-gereja. Demikian pula GPM juga pernah diuji dalam
momentum 1950, ketika integritas dan komitmen GPM kepada RI
dipertanyakan.
Kita mendengar bahwa betapa Pdt. Thom Pattiasina, sebagai Ketua
Sinode GPM saat itu sekaligus eksponen angkatan 1945, menunjukkan
prinsip dan visi kebangsaan gereja yang jelas dan tegas. Om Thom (begitu
beliau akrab disapa) menunjukkan komitmen GPM bagi pembangunan
bangsa.T Mungkin belum banyak orang mengetahui hal ini sehingga tanpa
didasarkan bukti yang kuat dan pertimbangan yang matang sebagian orang
memberi stigma yqng keliru soal posisi GPM dengan RI. 8 Pada fase
kemerdekaan, kesadaran gereja sebagai bagian dari arak-arakan perjalanan
bangsa tampak dalam sikap keberpihakan gereja bagi perjuangan nasional.
Sikap tersebut juga dipahami sebagai peran profetik gereja.
Pada zaman Orde Baru, gereja-gereja termasuk GPM
diperhadapkan dengan pergumulan yang tidak ringan. Pada awalnya
Kekristenan seperti mendapat ruang untuk tetap eksis di republik ini.
Namun, di ujung masa kepemimpinan Presiden Soeharto, kita diperhadapkan
dengan kebijakan-kebijakan politik yang cenderung memarjinalkan posisi
gereja-gereja. Demikian pula kebijakan politik rezim Orde Baru yang
sentralistik telah menimbulkan dampak sistemik bagi relasi gereja dan
pemerintah, khususnya di jemaat-jemaat.
Pdt. Dr. Frank Cooley pada tahun 1961, dengan mengambil sampel
beberapa desa di Maluku Tengah, yakni Allang, Soya, Erie dan Aboru,
menunjukkan hubungan lembaga-lembaga keagamaan, khususnya gereja,
dengan pemerintah(an) di Maluku Tengah. s Dalam bukunya, Cooley
mencermati hubungan yang "manis-pahit" antara mimbar dan tahta.
UU Pemerintah Desa nomor 5 tahun 1975 misalnya, menimbulkan
persoalan bagi negeri-negeri di Maluku. Di sini gereja terpanggil merespons
hal tersebut, khususnya dalam rangka membina relasi antara unsur jemaat
dan pemerintah negeri. Pada tahun 2011, GPM meresponi hubungan tersebut
melalui regulasi di antaranya berupa Pedoman Kerjasama Majelis |emaat
dengan Pemerintah Negeri yang diharapkan dapat menyinergikan potensi
kedua lembaga tersebut untuk bersama-sama mengusahakan kesejahteraar
bersanla. Sudah tidak zamannya lagi masing-masing pihak berjalan sendiri-
sendiri, apalagi terus terjebak daiam relasi yang saling menegasi. |ika di level
xxt
mikro (jemaat/desa) hubungan itu dapat terbina dan terawat maka dapat
dipastikan di level meso dan makro hubungan itu makin bermuara pada
percepatan kesejahteraan bersama.
Fenomena hubungan gereja-negara, agama-politik, ternyata tidak
cukup dengan merekam begitu saja peristiwa-peristiwa politik yang
berdampak pada relasi gereja-negara. Fenomena relasi gereja-negara
membutuhkan sebuah cara pandang teologis-etik untuk menolong gereja
memosisikan hubungan gereja-negara, agama-politik secara lebih mendasar
dan proporsional. Model kooptasi agama atas ideologi (politik), atau
sebaliknya kooptasi ideologi atas agama, bukanlah model yang ideal dalam
membangun relasi agama potitik. Model yang mungkin bisa dikembangkan
adalah model dialog agama-ideologi serta kepedulian etika. Model ini
mengakui otonomi dan integritas masing-masing entitas. Dialog keduanya
tidak mungkin berjalan bila terjadi subordinasi antar keduanya' Kalaupun
berjalan, diatog keduanya tidak produktif. Dialog harus dilakukan secara
kritis dan terbuka, didasari oleh komitmen bersama terhadap nilai-nilai
kemanusiaan sebagai standar moral bersama. Dalam relasi kedualya yang
dialogis itu, keduanya setara, dan dengan begitu keduanya bisa diarahkan
pada kepedulian etis.
xxii
ini sebelum ada provokasi politik sebagai energi baru untuk memobilisasi
konflik.
Kedua, konflik telah melahirkan kesadaran institusi keagamaan
berbenah diri. Pembenahan secara sistematis terlihat terutama dalam tubuh
GPM. Dalam beberapa keputusan dan laporan program kerja GpM 10 tahun
terakhir, terlihat keinginan GPM untuk hadir sebagai "Gereja orang Maluku".
Pembaruan teologi Gereja "pro-kehidupan", misalnya, telah membantu
aparat Gereja merumuskan program konkret dalam mempromosikan
perdamaian dan rekonsiliasi.
Di sisi lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku di tengah
konservatisme yang melanda MUI di level nasional justru dapat menem-
patkan diri pada konteks lokal yang mesti tetap mengampanyekan penting-
nya "pluralisme" bagi masyarakat Maluku. Setelah konflik, MUI bersama
GPM dan Keuskupan Amboina aktif mendorong kelahiran Lembaga Antar-
Iman Maluku. Lahir pula pemikir Muslim di Maluku yang sedang bergumul
merumuskan "Islam Mazhab Ambon", sebuah pandangan yang memper-
juangkan proses inkulturasi Islam dan budaya lokal.10
Pendapat ini selain mengapresiasi apa yang sedang dilakukan oleh
GPM dalam merawat perdamaian di kepulauan Maluku, sekaligus memberi
tantangan bagi kita untuk tetap konsisten menjadi agen-agen perdamaian
seperti yang disampaikan Tuhan Yesus sendiri.
Berkaitan dengan itu penting disebutkan bahwa tahun 2005-2010
yang dikenal dengan fase pertumbuhan yang difokuskan pada usaha
menumbuhkan peace and trust building di Maluku dan Maluku utara. pada
fase ini seluruh desain pelayanan GPM diarahkan untuk meningkatkan rasa
saling percaya dan menumbuhkan semangat hidup "orang basudara". Fase ini
menentukan apakah GPM dapat keluar dari krisis dan membawa gereja dan
masyarakat keluar dari krisis ataukah tidak. Di sini kita bersama-sama
mengembangkan kesadaran pluralisme di kalangan pelayan dan jemaat serta
menggerakkan interaksi sosial antarwarga dan antariman. Ruang perjumpaan
yang ada dimaksimalkan serra dikreasikan pula titik-titik temu baru dengan
mendayagunakan kearifan lokal masyarakat. pada fase ini pura GpM
bersama-sama pemerintah melakukan apa yang disebut sebagai "recovery
Malukti'. Dalam fase recovery ini, salah saru hal yang tidak pernah diduga
sebelumnya dari akibat konflik Maluku adalah terbangunnya sentra-sentra
ekonomi kerakyatan di kalangan jemaat-jemaat Kristen di kota dan pulau
Ambon.
Pada 2010-2015, kita memasuki fase pertumbuhan dengan
beberapa penekanan, antara lain: 2011-2012 - perrumbuhan GpM dengan
penekanan pada aspek koinonia transformatif di antara jemaat/masyarakat,
dan koinonia semesta dalam relasi dengan alam ciptaan Tuhan. Dalam
xxilt
hubungan ini, perhatian dan kepedulian GPM terhadap persoalan lingkungan
telah pula melahirkan kesadaran GPM untuk memahami dan menjelaskan
alam ciptaan sebagai "sacramenturd', gagasan yang dicetuskan oleh Pdt. Dr.
M.M. Hendriks.
2012-2013 - Pertumbuhan GPM dengan penekanan pada tanggung
jawab memelihara keutuhan ciptaan dalam arti yang lebih konkret, yakni
pelestarian lingkungan. Dengan penekanan ini, GPM ikut mendorong
terjaminnya hak-hak masyarakat adat di seluruh Maluku dan Maluku Lltara,
melalui proses advokasi sosial dan hukum.
2013-2014 - Proses pertumbuhan dengan penekanan pada tugas
mengartikulasi pembinaan umat melalui pencerdasan dan peningkatan
kapasitas umat dar pelayan baik kecerdasan sosial, politik, intelektual,
spiritual dan teologi. Dalam usaha pencerdasan itu, pendidikan politik dan
penguatan kapasitas spiritual secara komprehensif dilaksanakan di semua
level dan pada basis-basis rumah tangga dan jemaat.
2014-2015 - Pertumbuhan GPM sedang dan harus difokuskan pada
usaha menuju Kem3tangan Bergereja dengan memboboti spiritualitas umat
dan pelayan. Pada fase ini kita sudah mengantar GPM sampai delapan dekade
pelayanan sebagai Gereja Bagian Mandiri (GBM), dan harus memantapkan
terus posisi dan perannya ke dekade berikutnya (2015- 2025).
xxiv
puluh tahun kehidupan ber-GPM mesti merenungkan dan menjawab dengan
serius dan sungguh-sungguh apakah jemaat-jemaat kita sudah mengalami
kemandiran teologi itu ataukah belum. Mengenai hal ini akan saya kem-
bangkan dalam refleksi teologis di bagian akhir paper ini.
]ika jemaat masih menggantungkan semuanya pada sosok pendeta,
dan pendeta sendiri menikmati posisinya sebagai yang sentral Qrcndeta-
xatris) maka sinyalemen yang disampaikan Hendrik Kraemer sebelum GPM
berdiri dapat diakui keberlakuannya. Namun, jika jemaat-;'emaat makin
manfi1"i, percaya diri dan bertumbuh dalam penghayatan imannya maka itu
pertanda GPM sedang memasuki masa-masa kemandirian yang dicita-citakan
para pendiri gereja ini ketika gereja ini "berjarak" dari pemerintah Belanda
kala itu, 6 September 1935.11
xxvi
masyarakat dengan visi dan integritas kuat. Dalam kaitan ini, eksistensi dan
peran lembaga pendidikan formal GPM, yakni SM-TPI dan Katekisasi mesti
terus dibenahi, ditingkatkan dan dioptimalkan kualitasnya sehingga ber-
kontribusi bagi kemajuan gereja.
xxvil
cerdas. Dengan menyadari bentangan wilayah pelayanan GpM di Maluku
dan Maluku Utara yang tersebar pada berbagai kota dan kabupaten, dalam
rangka membangun komunikasi dan relasi gereja dan pemerintah (daerah)
maka dibutuhkan perspektif bahkan ketrampilan (skill) agar tidak terjadi
kemacetan dan kebuntuan komunikasi, namun terbina relasi kritis dan
kreatif untuk bersama-sama mewujudkan kebaikan bersama bagi semua.
Relasi gereja-negara ini juga tidak terlepas dari isu-isu politik, termasuk
politik praktis, dimana gereja perlu merumuskan sikapnya yang jelas dalam
rangka tanggung jawabnya sebagai warga bangsa dan juga tugas profetiknya
sebagai gereia. untuk ini, suatu perspektif teorogi politik harus difor-
mulasikan oleh GPM.
xxvlil
Keenam: Peradaban Maritim dan Teologi Kelautan
|auh sebelum Presiden |okowi menggulirkan isu maritim,
sesungguhnya kesadaran konteks GPM sebagai gereja laut-pulau sudah
muncul dalam lintasan sejarah GPM. Tulisan Pdt. Dr. H.L. Sapulete (mantan
Dekan Fakultas Teologi UKIM) tentang "Menuju Teologi Kelautan"
merupakan tanda kepekaan dan respons terhadap isu dimaksud. Hanya saja
diakui bahwa pengembangan lebih lanjut dari konsep teologi kelautan
tersebut mengalami kendala sehingga format teologi kelautan dimaksud
hingga kini belum tersedia. Olehnya perlu dipikirkan kembali sebuah teologi
yang merespons konteks laut-pulau GPM dan bersinergi dengan paradigma
pembangunan bangsa saat ini. Tenru persoalan merumuskan teologi yang
peka konteks laut-pulau (entah apapun namanya: teologi kelautan, teologi
kepulauan, teologi laut-pulau, teologi maritim/bahari), mesti selalu
berkoneksi dengan praksis sehari-hari jemaat. Dengan kata lain, selain
perlunya sebuah rumusan teologi, akta berteologi yang ramah terhadap
konteks laut-pu1au ini juga urgen dan penting dilakukan. Aftinya, para
pelayan dan umao'yang hidup di pulau-pulau dan menyusuri laut serta
menjadikan laut sebagai sumber penghidupan dapat secara kreatif
menggunakan metafora, simbol dan idiom-idiom laut untuk memaknai
panggilan hidup bergereja dan bermasyarakatnya. Dengan begitu, kesadaran
membangun peradaban maritim itu bukan semata sesuatu yang datang dari
atas (top-dorn) melainkan mesti lahir dari bawah. Tujuan dari ikhtiar ini
adalah agar laut dapat mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat dan
disorientasi pembangunan selama ini dapat dikoreksi dan diupayakan
solusinya yang tepat. Dengan demikian, tercipta budaya mencintai laut dan
secara optimal ambil bagian dalam pelestarian laut besefta segala isinya dan
kegunaannya.
xxtx
beragama; bagaimana GPM dalam hidup sebagai gereja di tengah
kemajemukan masalah dan tantangan, konsern dan ekspektasinya,
seharusnya menolong GPM mendesain theological framework dalam
semangat beroikoumenis dan hidup bersama dengan agama-agama lain secara
pro-eksitensi dan dengan pemerintah untuk bergerak bersama dalam arak-
arakan membangun keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan;
mewujudkan sebuah tatanan masyarakat Maluku yang berkeadilan,
bersaudara dan berkesejahteraan.
xxx
pertanian telah menyandera masyarakat kecil, termasuk petani yang mulanya
berdaulat terhadap benih dan pangan yang ada, kini telah beralih ke tangan
para pemodal sambil berlindung di balik Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).
Persoalan ketahanan pangan ini juga berkaitan dengan eksistensi masyarakat
di puiau-pulau kecil. Termasuk di dalamnya pola konsumsi dan jenis
makanan yang dikonsumsi setiap hari. Kebiasaan jemaat-jemaat dan
masyarakat di Kepulauan Babar yang biasanya mengonsumsi jagung telah
beralih menjadi konsumen beras.la Hal ini menjadi ironis jika saat ini muncul
kecemasan tentang adanya "beras plastik". Diversifikasi pangan mesti
digerakkan oleh jemaat-jemaat melalui program-program kreatif, misalnya
gerakan sehari tanpa nasi, kampanye cinta makanan sagu, ubi-ubian, dll. Isu
ketahanan pangan mesti disikapi oleh gereja tidak semata-mata sebagai isu
ekonomi tetapi juga isu teologi: bagaimana misalnya mengupayakan
tumbuhnya spiritualitas keugaharian sebagai kultur ekonomi di kalangan
jemaat dan menjadi kultur gereia secara keseluruhan.
xxxt
ibadah jemaat mesti terus ditingkatkan. Dalam kaitan ini teologi ekologi yang
merupakan kebutuhan gereja saat ini perlu dikembangkan dan dijemaatkan.
xxxii '
Dukungan kelembagaan dimana semua perangkat pelayanan gereja harus
berjalan bersama untuk melaksanakan semua program pelayanan; 121
Dukungan anggaran sebagai indikator kemampuan pembiayaan pelayanau
[3] Dukungan paftisipasi jemaat sebagai elemen pokok, yakni perwujudan
imamat am orang percaya dan kesatuan tubuh Kristus yang saling
mendukung dan menopang satu dengan lainnya.
Memang hampir tidak mungkin, jika tidak hendak dikatakan
mustahil, untuk dengan "pasti" dapat memprediksi masa depan. Tetapi asumsi
itu jangan sampai membuat kita longgar selonggarnya sehingga kehilangan
fokus. Perencanaan ini terkait pula dengan kemampuan kita menganalisis
wilayah-wilayah persoalan dan persoalan-persoalan wilayah, isu-isu global
s€perti kemiskinan dan keadilan sosial, isu lingkungan hidup, isu oikoumenis,
radikalisme hubungan antaragama, tetapi juga perubahan masyarakat.
Ketajaman analisis itu selanjutya terekam dalam dokumen perencanaan
strategis yang dipedomani dan dihidupi oleh jemaat-jemaat bahkan gereja
secara keseluruhan.
Problematika di atas tentu tidak dapat diselesaikan dalam waktu
dekat dan oleh gereja sendiri. Diperlukan strategi dan kerja sama yang
berkelanjutan untuk menyikapi persoalan-persoalan tersebut dengan bijak.
Di sinilah diperlukan soliditas di antara kita semua. Soliditas antara jemaat-
iemaat, klasis-klasis, antara pelayan dan umat. Termasuk relasi dan kerja
sama dengan pemerintah, swasta dan berbagai pihak lainnya. |ika kembali ke
akar budaya kita, maka kita membutuhkan kerja "masohi", "maren", "maano"
untuk bahu-membahu membangun masa depan bersama yang lebih cerdas.
xxxilt
menegaskan bahwa ada perubahan-perubahan yang serius dengan institusi-
institusi keluarga, dan ketika konsep householdhendak dikedepankan maka
itu sekaligus menggotong isu-isu perubahan institusi sosial yang cenderung
merespons kebutuhan ekonomi dan materi.16
Cengkeh yang ditanam 80 tahun lalu mungkin telah kering
dan/atau berguguran daun-daunnya. Bahkan mungkin bukan cengkeh lagi
yang menjadi primadona negeri ini sekarang. Ada berbagai tanaman lain
yang menyiratkan pentingnya diversifikasi tanaman. Begitu pula orientasi
pembangunan saat ini sedang diarahkan ke laut untuk mengelola anugerah
Tuhan yang tersedia di lautan kepulauan Maluku yang luas dan kaya. Hal ini
jrg" memberi tanda tentang pentingnya rnempertimbangkan kembali
orientasi berteologi dan bergereja kita saat ini. Tentu kita tidak sekadar
mengikuti trend yang sedang terjadi luar sana, tetapi gereja juga mesti
responsif terhadap perubahan yang sedang terjadi. Delapan puluh tahun ber-
GPM tentu tidak membuat gereia menjadi berpuas diri, lengah apalagi
berputus asa. Seperti kata Yesus kepada murid-murid di pantai Genezaret.'
"bertolaklah ke tempat yang lebih dalam, maka kamu pasti akan menangkap
banyak ikan" (Luk. 5:4). Saya kira ajakan ini penting kita pertimbangkan dan
responi lebih sungguh. Kita perlu bertolak lebih dalam lagi. Apa yang sudah
kita capai hingga 80 tahun ini? Apa saja tantangan dan peluang yang perlu
diresponi dengan kesediaan bahkan dengan iman bahwa Tuhanlah yang yang
menyrruh kita bertolak lebih dalam? Kita harus terus bergerak, sebelum pada
akhirnya jala kita akan menangkap banyak ikan. Sama seperti cengkeh yang
berbuah dan mewangi karena kita setia menanam dan menyiram, demikian
pula jaring yang penuh dengan hasil tangkapan karena kita taat dan setia
pada perintah Yesus: "Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam". Tuhan
memberkati kita semua.
xxxiv
pada dekade awal mereka adalah bagian dari Gereja Negara yang mendukung
penuh pelayanan GPM. Tetapi kemudian ketika era itu berakhir, GPM harus
mengurus dirinya sendiri. Ketika banyak teolog GPM berkata ini lonceng
kematian bagi GPM, dipastikan tidak ada guru jemaat atau para penginjil
yang meminta diberhentikan dari GPM karena tidak didukung secara
finansial oleh Gereja Negara pada waktu itu. Apa yang rnenarik di sana? Para
teolog yang meramalkan kematian GPM pasca Gereja Negara sama sekali
tidak memperhitungkan aspek penting dan fundamental {ari gereja, yaitu
Kuasa Tuhan. Baru beberapa dekade sesudah tahun 1960an orang sadar
bahwa ada inuisible hand yang menatang gereja, yaitu "tangan Tuhan".
Warga jemaat, guru jemaat dan penginjil yang berkarya saat itu mengalami
sungguh-sungguh campur tangan Tuhan dan mengaku betapa Tuhan tidak
melepaskan tangan-Nya dari GPM. Ketika "tangan dunia" lepas, tangan
Tuhan tidak pernah lepas.
Selama delapan dekade GPM seharusnya sadar untuk lebih Percaya
pada kuasa Roh Kudus yang menuntun dan mengajar gereja ini tentang apa
arti Tuhan sebagai Kepala Gereja. Refleksi kehidupan Israel dalarn Alkitab
memperlihatkan bangsa ini sangat sadar sejarah. Kredo mereka tentang
Tuhan dibangun atas dasar kesadaran mereka tentang Allah yang menyertai
Abraham, Ishak dan Yakub. Mereka berhenti menyembah Baal unzuk
menyembah Allah yang memperkenalkan diri kepada, Musa. Menyembah
Allah yang adalah Subyek yang masih terus bekerja serta karya Roh Kudus
sejak Yesus hingga Pentakosta dan seterusnya hingga saat ini adalah dua
dasar fundamental untuk gereja di mana pun yang menyadari aspek historis
dari teologi. Teologi itu harus historis, sebab basis teologi adalah iman jemaat.
Iman adalah respons terhadap wahyu Allah dalarn ketegangan dengan
konteks yang historis. Gereja mengakui bahwa iman tanpa perbuatan adalah
mati. Apa artinya itu? Artinya iman itu punya dimensi sejarah. Ia bernrmbuh
dan berakar dalam sejarah. Pertanyaan itu sama dengan pertanyaan mengapa
Allah harus menjadi manusia? Sebab hanya dengan menjadi manusia Allah
menjadi konkret dan firman-Nya dapat disaksikan. Di situ kita juga mengerti
mengapa kita harus menjadi gereja. Dengan menjadi gereja, kita meniadi
obyek yang menunjuk kepada Kristus sebagai subyek yang berkarya dengan
Roh-Nya di dalam gereja.
Pertanyaan ini penting sebab teologi adalah jantung gereja. Teologr
itu menentukan masa depan gereja. Teologi itu hidup dan berakar dalam
femaat. Para penginiitr, guru jemaat, dan pendeta tidak sala berbicara kepada
iemaat tentang Tuhan dan iman, tetapi mereka mengalami Tuhan itu
bersama-sama jemaat-jemaat yang mereka layani. Itu sebabnya walau GPM
hampir kolaps karena kondisi keuangan pasca era Gereja Negara,, tetapi Roh
Kudus tidak pernah kolaps di tengah gereja ini. Delapan puluh tahun dalann
proses bergereja telah mengantar GPM sebagai bagian dari tradisi masyarakat
dimana jemaat-iemaat iru bertumbuh. GPM tidak hanya sekadar suatu
organisasi apatagl "gereja" Per se yang dimengerti banyak orang dari diktat-
diktat kuliah yang dipelajari di sekoiah-sekolah teologi. |emaat-jemaat kita
telah beriman dengan format teologi mereka sendiri' Iman yang mereka
alami adalah basis dari teologi mereka. Itu sebabnya yanS kita perlukan
sekarang adalah bagaimana mengartikulasi iman dan teologi mereka menjadi
teologi lereja dalam konteks dan ruang tertentu, yang dari sana menjadi basis
untuk merumuskan teologi gereja (GPM).
Mengapa kita butuh teologi gereja (GPM)? Itu bukan berarti kita
tidak punya teologi. Tetapi bagaimana pengalaman iman jemaat dan pera
pelayan tentang Tuhan yang berkarya dalam kuasa Roh Kudus-Nya meniadi
Lasis dari teologi gereja. Secara teoretis, itu baru teologi yang benar.
Ajaran
gereja harus bersumber dari teologi gereja (GPM)' Delapan puluh tahun GPM
h"rus meniadi momen penting bagi GPM untuk merumuskan secara benar
teologi GPM, suatu teologi yang terlahir dari pergulatan iman jemaat-jemaat
kita. Roh Kudus berbicara tidak hanya dalam bahasa Ibrani dan Yunani,
tetapi juga dalam bahasa-bahasa lokal masyarakat Maluku. Ia berbicara dalam
bahasa Yamdena, Fordata, Melayu Ambon, Lease, Seram , Buru' Kei'
dstnya'
Mengerti tentang Tuhan dan karya-Nya tidak cukup hanya dengan mengerti
jemaat-
bahasa Ibrani dan Yunani, sebab toch sejarah membuktikan bahwa
jemaat kita menjadi percaya karena karya Roh Kudus melalui pekerjaan para
guru jemaat dan guru injil. Dengan mengatakan itu, bukan berarti bahwa
Ibrani dan Yunani tidak penting. Delapan puluh tahun GPM harus mampu
membangkitkan kebanggaan sekaligus merupakan beban yang harus kita
pikul bersama untuk merumuskan teologi GPM yang terbukti menjadi ajang
tuhan mewahy-ukan diri-Nya kepada gereja ini, menolong dan menyertai
gereja ini melewati berbagai tantangan yang pernah dihadapinya' GPM harus
berani memikul beban itu supaya dari pengalaman bergereja selama deiapan
puluh tahun, GPM tidak hanya menjadi acuan bagi gereja-gereja Belanda
i"r,"rrg bagaimana menyelesaikan masalah dan mendorong pembaruan
dalam kehidupan bergereja. Tetapi GPM juga harus menyediakan alternatif
berteologi, bahkan di luar praktik berteologi para rasul maupun gereja mula-
mula, dalam rumusan teologinya yang dapat disebarkan kepada semua gereja
di sepanjang sejarah dan temPat. GPM harus berani bersaksi tentang siapa
Tuhan dan Kristus serta Roh Kudus yang telah menyeftainya selama ini. |ika
GpM menyangkalinya, maka GPM membunuh masa depannya sendiri. oleh
karena dengan cara itu ia menyangkal peran Roh Kudus dalam seiarah
kehidupannya selaku gereja.
Di situ kita berjumpa dengan keluarga sebagai basis bergereja kita.
Seluruh ibadah GPM berpusat dan dilaksanakan dalam rumah jemaat, kecuali
xxxvi
ibadah minggu. Alkitab menceritakan bagaimana Tuhan memanggil
Abraham; ia meninggalkan semua miliknya untuk pergi ke suatu tempat yang
juga tidak ia kenal. Tetapi Abraham memelihara imannya dalam hidup
rumah tangga dan seisi rumahnya; bagaimana ia mendidik anak-anaknya
untuk tetap percaya pada janji Tuhan kepadanya, hingga geuerasi kesekian
barulah janji Tuhan itu digenapi oleh Tuhan satu demi satu. Jemaat-jemaat
kita membaca bagian itu dan percaya serta melakukannya. Itu sebabnya di
negeri-negeri, matarumah adalah akar dari persekutuan sosial keagamaan
GPM. Orang tua memelihara iman itu dan mengajarkannya turun-temurun
sebagai cara memelihara berkat yang dijanjikan Tuhan kepada
keluarga/matarumah.
Di situ common-sense penting. Clifford Geertz (seorang antropolog
Amerika) menyatakan bahwa masuknya Islam dan Kekristenan tidak mampu
mengubur common-sense masyarakat di Nusantara. Itu bukan lalu berarti
Kekristenan Maluku hanya sebentuk "kue lapis". Common-sense itu tanda
dari akal budi yang fungsional. Menurut Geertz, orang bisa hidup tanpa
agama dan ilmu pengetahuan, tetapi orang tidak bisa hidup tanpa conmon-
sense. lemaat-jemaat kita menyerap gagasan-gagasan dalam Alkitab melalui
comrnon-sense yang mereka miliki. Itu sebabnya walau dari segi strata
pendidikan warga jemaat di kampung-kampung maupun para guru Injil itu
tidak tinggi, tetapi pekabaran Injil meluas dan bertahan karena mereka
memelihara common-sensa
Common-sense itu terlahir bersama dengan manusia dan
menyertai hidup manusia. Secara teologis, common-sense adalah tanda dari
Roh Kudus yang menuntun setiap orang untuk percaya kepada Tuhan. Di
situ benar jika dikatakan bahwa teologi tidak akan pernah sama dengan
rasionalitas. Ia hanya akan berkaitan dengan pengasahan rasionalitas ketika
teologi menjadi suatu refleksi kritis dan konseptual (abstrak) atas sesuatu;
tetapi ia akan tetap merupakan teologi dan tidak pernah sama dengan
rasionalitas. Itu sebabnya McKay, seorang teolog, menyatakan bahwa teologi
Kristen yang pertama itu terumus sepefti pernyataan Petrus, ketika ia harus
menjawab pertanyaan Yesus tentang siapakah Dia. Tetapi teologi itu buyar
bersama penyaliban dan kematian Yesus di Golgota. Teologi itu baru bangkit
kembali ketika dinyatakan oleh dua murid yang berjaian ke Emaus dan
menyadari bahwa mereka bertemu Yesus, sang Guru yang hidup, dalam akta
pemecahan roti.
Dalam konteks itu, GPM tidak sekadar gereja atau Kekristelan per
se tetapi GPM telah menjadi identitaskultural tersendiri bagi jemaat-jemaat
kita. Pendet Dr. Nico Radjawane pernah berkata bahwa sejak tahun 1970an
pelayanan GPM dalam melaksanakan pelayanan jemaat dan pembaruan
bergereja menjadi acuan bagi gereja-gereja di Belanda untuk memecahkan
xxxvil
persoalan-persoalan bergereja yang mereka alami di sana. Tetapi yang
mungkin luput dari transformasi itu adalah kesadaran untuk mengakui
bahwa teologi GPM iru bersangkut-paut dengan common-sense orang di
desa, dusun, negeri dimana jemaat-jemaat terbentuk. Itu sebabnya teologi
yang dipelihara di jemaat-jemaat GPM adalah teologi yang fungsional, yang
menjadi dasar untuk orang mengambil keputusan atas seluruh persoalan
hidupnya. Ungkapan yang sering didengar adalah "kerja saja, kerja yang baik
dan sungguh-sungguh, selebihnya serahkan pada Tuhan, nanti Antua akan
melengkapi apa yang kurang." Ini iman yang lahir dari common-sense
masyarakat setempat.
Delapan puluh tahun Gereja ini mengalami Tuhan Kepala Gereja
dalam pergulatan kehidupan jemaat yang konkret, suatu basis yang kokoh
bagi perumusan teologi GPM. Jika Israel bersaksi tentang Tuhan yang
menurunkan manna dan burung pu),uh dari langit saat mereka memasuki
tantangan padang gurun, maka jemaat-jemaat kita mengalami Tuhan yang
mengeluarkan laor menjelang musim timur di pulau-pulau karang sebagai
persediaan di saat musim timur yang ganas. Mereka berjumpa dan mengusir
setan yang diusir Yesus dari orang yang kerakusan di Garesa, dari ujung
Tifure sampai Wetar dalam nama Yesus. Mereka mengalami dan percaya
bahwa "barangsiapa yang meninggaikan keluarganya demi nama-Ku, maka ia
akan memperoleh seratus kali lipat dari apa yang dimilikinya sekarang". Itu
sebabnya para pelayan GPM rela meninggalkan air tawar untuk minum air
payau, rela meninggalkan istri dan anak-anak untuk melayani jemaat yang
jauh dan terpencil. Tetapi Tuhan memelihara iman mereka dengan
memberikan masa depan bagi anak-anak penginjil, guru jemaat, tuagama,
penatua dan diaken yang sungguh-sungguh dengan imannya itu. |emaat-
jemaat kita mengalami iman yang konkret ketika mereka bergumul meminta
air keluar dari gunung batu cadas, ketika mereka berdoa supaya lola keluar
dari pesisir batu dan karang. Mereka tidak hanya membaca kisah Stefanus
yang mati dibunuh karena imannya, tetapi jemaat-jmaat kita di Kisar, Seram,
Buru dan tempat-tempat lainnya mengalami siksaan yang hebat pada masa
pendudukan Jepang. Mereka mati demi iman yang dikenal, dan dipercaya
dan dialaminya melalui pelayanan GPM. Kematian mereka adalah kematian
Kristus, kematian Stefanus, yang harus mati supaya tumbuh benih yang baru.
GPM juga mengalami dampak konflik dan kerusuhan kemanusiaan tahun
1999 dengan segala akibatnya. Banyak jemaat dan klasis tergusur, tetapi tidak
punah. |emaat benar-benar menyaksikan kebesaran karya Roh Kudus yang
ditindas, dianiaya karena imannya itu, tetapi tidak kehilangan pemeliharaan
Tuhan, Sang Kepala Gereja. Di aras itulah GPM bertumbuh dan berbuah.
Delapan puluh tahun GPM bergumul dengan pluralisme. Pastori
adalah locus berharga tempat perjumpaan jemaat dengan pelayannya yang
xxxviii
berasal dari subetnis lain. Guru jemaat dan penginjil Ambon-Lease, Seram,
Buru Saumlaki dan Kei, memencar melalui SK Mutasi memasuki jemaat-
iemaat yang bukan negeri asalnya, sehingga menumbuhkan keterbukaan
terhadap pluralisme. Siapa yang tahu dan mampu memprediksi bahwa dari
kebijakan institusi (BPH Sinode saat itu) itu ternyata memperkuat cara
pandang warga GPM tentang pluralisme, terutama pluralisme di dalam
gereja. Orang Maluku mengenal pluralisme sebagai peradaban abad ke-20 di
pastori jemaat. Sekaligus dengan cara itu meruntuhkan cara pandang Kaemer
)rang pernah melihat potensi perpecahan di GPM karena realitas
keberagaman subetnis. Sekali lagi Kaemer tidak memperhitungkan tangan
Tuhan melalui Roh Kudus yang menuntun gereja menjalani misi-Nya.
Kraemer lupa bahwa Roh Kudus tidak pernah memecah tetapi menyatukan.
Apa artinya itu? Artinya memimpin gereja ini membutuhkan hikmat Roh
Kudus supaya melalui cara-cara manusiawi Allah menyatakan diri dan
penyertaan-Nya. GPM tidak hanya berbicara tentang Roh Kudus yang
menyatukan, tetapi juga mengalami karya-Nya yang menyatukan itu.
Di situ nyxa GPM telah menjadi bagian sejarah Kekristenan di
Maluku, pada masa lalu, sekarang dan masa depan jemaat-jemaatnya. Bahkan
melalui pelayanannya, GPM telah membuka tabir baru bagi budaya dan masa
depan masyarakat. Itu sebabnya tidak berlebihan jika para teolog Belanda
mengakui peran para penginjil dan guru jemaat GPM sebagai pembawa-
pembawa panji peradaban dan kebudayaan di tengah dunia.
Usia 80 tahun mengajarkan GPM bahwa masa depannya tidak akan
pernah ditentukan oleh siapapun, termasuk teologi apapun yang dia hasilkan,
rlain oleh respon dirinya terhadap pemeliharaan Tuhan yang dipercayainya.
Kesetiaan untuk tetap menanam, menyiram sambil berdoa mengharapkan
pemrmbuhan dari Tuhan akan menentukan masa depan gereja. Di situ
rerletak teologi GPM, yang menentukan arah pembaruan gereja ke depan.
Pada akhirnya, hubungan gereja dengan lembaga pendidikan teologi harus
dinyatakan sebagai berikut: bahwa pergulatan GPM bersama Tuhan-Nya
fang konkret itu harus menjadi obyek yang diteliti, direfleksikan,
disistematisasi dan dipertanggungjawabkan secara kritis dan rasional supaya
dari sana lahir teologi GPM yang pertama-tema diajarkan di lembaga
peodidikan teologi miliknya dan disebarkan sampai ke ujung bumi sebagai
bentuk pertanggungjawaban GPM kepada Tuhan yang hidup. Di situ GPM
menjadi bagian dari gereia yang universal, yang dari padanya semua orang
belajar.
Terima kasih kepada semua kontributor yang telah memberi
*rmbangan tulisan dalam buku ini. Saya yakin, tulisan-tulisan yang ada ini
adalah salah satu "buah" berteologi GPM. Ada banyak pemikir dan teolog
yang berkontribusi. Di antara mereka ada warga jemaat, majelis jemaat,
xxxtx
pengasuh SMTPI dan lain-lain. Ada pula "para pecinta GPM", yaitu rekan-
rekan pimpinan umat beragama di Maluku, kawan-kawan akademisi Muslim,
dan saudara-saudara kelompok Kharismatik serta Gereja dalam lingkup PGI
dan/atau GPI.
Pada suatu masa tertentu, pada dekade-dekade berikutnya, tulisan-
tulisan ini
akan menjadi bahan evaluasi dan deskripsi mengenai sejarah
perkembangan pemikiran teologi di GPM. Apalagi kawan-kawan pelayan
dari jemaat dan klasis ternyata mampu menceritakan secara lugas dinamika
gumulan teologi kontekstual dalam bingkai persaudaraan gerejawi dan
agama-agama. Suatu kepantasan jika itu dikatakan sebagai semacam "galian
harta terpendam" yang hampir hilang oleh panasnya api konflik
kemanusiaan. Kini cerita itu telah menjadi cerita baru dalam skala makro
unfuk apa yang disebut teologi. Shalom.
CATATANAKHIR;
I Hendrik Kraemer, From Missionfreld to Independent Church. Report on a
decisive decade in the growth of indigenous churches in Indonesia (London:
SCM Press, 1958).
2
A.N. Radjawane, "Islam di Ambon dan Haruku" dalam W.B. Sidjabat (ed.),
Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini (lakarta: BPK Gunung Mu1ia, 1964),
hlm.71-85.
3 Saya sengaja memilih menggunakan istilah "Kepulauan Maluku" untuk
merangkul entitas Maluku dan Maluku Utara yang dilihat sebagai entitas
sejarah dan budaya ketimbang entitas politik pemerintahan semata.
a Memang jika dipahami maksud Kraemer dengan matafora "Agama
Cengkeh" ini lebih bernada sinis. Baginya, agama Ambon terlalu terikat
dengan adat dan tradisi, dan nilai hakiki Kekristenannya tidak jelas. Ini yang
kemudian disebut "Agama Ambon". Dalam tulisan ini saya tidak membahas
polemik ini, selain karena sudah dibahas pada tulisan-tulisan lain, termasuk
tulisan Radjawane di atas, diskusi tentang tema ini sesungguhnya sedang
memasuki sebuah ruang sosial budaya baru, khususnya dalam kajian
posrcolonial yang lebih positif mengapresiasi adat dan tradisi dan tidak serta-
merta mencapnya sebagai kafir dan sinkretis.
sMetafora cengkeh ini juga digunakan Pdt. Wim Davidz dalam tulisannya:
"Bilakah Cengkih-Pala Berbunga Lagi?" dalam Sri Wismoady Wahono, P.D.
Latuihamalo, Fridolin Ukur (eds.), Tabah Melangkah - Ulang Tahun ke-50
STT |akarta (|akarta: Sekolah Tinggi Theologia ]akarta, 1984), hlm. 272-283.
Menurutnya, "cengkih-pala" merupakan sebuah simbol perjuangan untuk
mendapatkan harga diri/martabat manusiawi. Di dalam simbol itu
terkandung daya yang mendoroug dan menggerakkan pencapaian suatu
identitas yang utuh, bulat, dan penuh. Di dalamnya juga terkandung suaru
xl
misi untuk melakukan transformasi terhadap lingkungan hidup, baik yang
alamiah maupun manusiawi. ]adi rumusan judul dalam bentuk pertanyaan
sedemikian dimaksudkan lebih sebagai suatu desakan yang menantang
perjoangan untuk mencapai tingkat kedewasaan yang ditujui. Oleh sebab
ketika cengkeh-pala memasuki fase berbunga, itu berarti tidak lama lagi tiba
saat pembuahan yang segera akan disusul masa panen. Ketika cengkeh-pala
berbunga, sukacita mulai meronai wajah para petani. Mereka mulai membagi
mimpi dan mengurai harapan.
r Wim Davidz, "Bilakah Cengkih-Pala Berbunga Lagi?" dalam Sri Wismoady
Wahono, P.D. Latuihamalo, Fridolin Ukur (eds-), Tabah Melangkah - lllang
Tahun ke-50 STT fakarta (Jakarta: Sekolah Tinggi Theologia |akarta,
1984),hlm 272-283.
; Saya beruntung pernah mendapat kesempatan melakukan riset terhadap
arsip dan dokumen beliau saat menyusun skripsi dan tesis pada UKSW
Salatiga.
t Sebuah disertasi sedang dikerjakan oleh |ohan Saimina (Departeman Sejarah
LJGM), yang hendak. menunjukkan kontribusi gereja (baca: GPM) dalam
Lritan dengan nasionalisme Indonesia.
e Frank L. Cooiey, Mimbar dan Tahta: Hubungan Lembagalembaga
Keagamaan dan Pemerintalzan di Maluku Tengah (|akarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1987).
10Raja |uli Aothony, "Kerusuhan Baru di Ambon?" 14 September 2011.
Http://nasional.kompas.comlreadl2Dlll09ll4/04245491/Kerusuhan.Baru.di.A
mbon
ir Pendiri gereja di sini merujuk kepada para pelayan dan warga gereja yang
menyiapkan segala sesuatu menjelang 6 September 1935. Tentu tidak
bermaksud menafikan sebuah kebenaran hakiki bahwa pendiri gereja ini
adalah Yesus Kristus sendiri. Namun hendak dikedepankan bahwa Allah
turut memanggil dan bekerja sama dengan pelayan dan umat-Nya selaku
rekan sekerja untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di dunia,
thuzusnya di kepulauan Maluku.
uTentang pergulatan GPM dalam rentangan sejarahnya hingga usia ke-80
tahun, kita dapat mencennati berbagai tema dan subtema pembinaan yang
mencerminkan pergulatan dan respons aktual gereja terhadap berbagai isu
fang mengemuka serta sikap gereja terhadap isu-isu tersebut, yang semuanya
diwujudkan dalam program-program pembinaan dan pelayanan di aras
iemaat, klasis dan sinodal.
13
Sherwood G. Lingenfelter dan Marvin K. Mayers mengemukakan bahwa
Yezus belajar bahasa dan budaya Yahudi (bnd. Luk. 2:46). Anak Allah belajar
bahasa, budaya dan cara hidup masyarakat-Nya sendiri selama tiga puluh
tahun, sebelum Ia memulai pelayanan-Nya. Ia mengetahui segala sesuatu
tentang kehidupan berkeluarga dan masalah-masalah yang mereka hadapi.
u Ternyata soal dominasi beras dalam pangan di Maluku bukan saja muncul
pada rezim Orde Baru. Frank Cooley juga mencatat cerita bahwa pada zaman
xli
kolonial Belanda praktik membagi-bagikan beras kepada siswa juga sudah
dilakukan sebagai cara agar siswa tersebut rajin ke sekolah. praktis ketika
praktik membagi-bagikan beras itu dikurangi atau dihentikan, maka para
siswapun jarang ke sekolah. Lihat Frank Cooley, Mimbar dan Tahta.
is Untuk gambaran lebih
rinci dapat dibaca pada buku Ruth Kadarmanto dkk
(penltrnting), Tuhan Mengangkat Kita Dari Samudera Raya. Sepuluh Bahan
Pemahaman Alkitab Menjelang Sidang Raya ke-16 persekutuan Gereja-
Gereja di Indonesia (fakarta: BPK Gunung Mulia, 2013).
16 Selain merupakan isu teologis,
istilah "household' juga merupakan
diskursus yang intens dalam ilmu-ilmu sosial. Unruk gambaran lebih detail
lihat Robert McC. Netting, Richard R. \ /ilk and Eric f. Arnould, Households.
Comparative and Historical Srudies of The Domestic Group (Berkeley:
University of California Press, 1984).
xlii