Anda di halaman 1dari 33

I{aalqDalam Terbian

261
Del Delapan Dekade GPM menanam, menyiram, berfumbuh dan berbuah :

d Teologi GPM dalam Praksis Berbangsa dan Bermasyarakar / editor


Elizabeth Marantika [et a1.].-- Salatiga : Sarya'Wacana Universiry
Press, 2015.
xlii,698p. ;23 cm.

ISBN: 978-602-1047 -2O-O

1. Church and social problems 2. Church and state 3. Church work


4. Protestant churches--Maluku I. Marantika, Elizabeth IL
Protestant Church of Maluku

Cover photo by Kainalu Gaspersz

All rights reserved. Save Exception stated by the law, no part of this
publication may be reproduced, srored in a retrieval system ofany nature, or
transmitted in any form or by any means electronic, mechanical,
photocopying, recording or others.ise, included a complete or paftial
transcription, without the prior writren permission of the author, application
for which should be addressed to author-

Diterbitkan oleh:
Satya rfr/acana University Press
Universitas Kristen Satya Wacaua
[. Diponegoro 52-60 Salatiga
Telp. (0298) 3212128xt.229, Fax. (0298) 311995

Bekerjasama dengan

Gereja Protestan Maluku (GPM)


]1. Malen DI Panjaitan No.2
Ambon 97124
Telp. (0911) 342442
DEFTAR ISI

KataPengantar---iii
Sambutan Gubernur Maluku - - - ix
Sambutan Presiden Uniting Church in Australia - - - xi
DaftarIsi---xii

Prolog:
Delapan Dekade Menanam, Menyiram, Berarmbuh dan Berbuah: Refleksi
Sosio-Teologis Historik ber-GPM
John Chr. Ruhulessin -- - xvii

Bagian 1: Menjadi Gereja Mandiri


1. 6 September 1935: Sejarah Kemandirian GPM
/ohanSainllma---l
2. Dari GPM di Nieuw Guinea Hingga ke GPI di Papua
/oiceEssuruw---12
3. Harta dalam Piring Tua: fejak Guru Injil Asal Maluku di Tanah Biak,
Papua
Elifas Tomix Maspaitella- -- 19
4. Pesan Tobat 1960 dan Bukti Keseriusan Gereja Menggumuli
Dunianya
/ozef M.N. Hehanussa --- 33

Bagian 2: GPM dan Keindonesiaan


1. Tantangan Berteologi bagi GPM di Indonesia
lohnA. Titaley ---55
2. Pendidikan Kewargaan bagi Praksis Bergereja
lakobTobing---64
3. Politics and Democracy in Christian Perspective
PauI Marshal- - -75

Bagian 3: Eklesiologi GPM: Menjadi Gereja Laut - Pulau


1. Eklesiologi GPM dalam Konteks Masyarakat Kepulauan
/ohn Chr. Ruhulessin - - - 89
2. Agama Keluarga: Pengenalan Reflektif atas Praksis Kultural Agama
Keluarga Masyarakat Lokal Fakfak
Ronald Helweldery- - - 103

xil
Gereja Sebagai Keluarga Allah: Eklesiologi Kontekstual
PaulusRefraly---123
4. Konteks Pengembangan GPM
Victor Untailawan * - - l4l
5. |emaat Sebagai Sentra Pengembangan Ekonomi Gereja
Simon Pieter Soegijono- - - 148
Pekerjaan Sosial dan Sumbangannya bagi Diakonia Transformatif
Gereja Protestan Maluku
Marthin lonas Maspaitella- -- 169

Bagian4: Mengerjakan Kontekstualisasi


1. Kesultanan dan Kekristenan: Sekelumit Narasi Menggereja di Utara
RudyRahabeat---179
Duan Lolat dalam Perspektif Sosial, Etik dan Teologi
Max Chr. Syauta- - - 188
3. |agung dan Spirit Teologi Babar
Welhelmus A.' Beresaby- - - 204
E'lodi: Berteologi sambil Berburu di Pedal.aman Buru
Wendhel Fridholin Lesbassa --- 219
5. Teologi Ina sebagai Bingkai Pembinaan Keluarga
Weldemina Yudit Tiwery- - - 235
Musik Suling Bambu dalam Pusaran Modernisasi di Gereja protestan
Maluku
Maynard RaSntolds Nathanael Alfons - - - 259
7. Teknologi Informatika dan Manajemen Pelayanan GpM
Maryo Indra Manjaruni - - - 264

Bagian 5: GPM dalam Praksis Beragama


i. Revitalisasi rradisi dan Poiitik Identitas: Ambon dalam Indonesia
Steve Gaspersz---273
2. Teologi Orang Basudara: Salam Sarane sebagai panggilan Agama-
agama di Maluku
Markus Takana---289
3. Ketimpangan Relasi Agama dan Adat di Maluku
Yance Z. Rumahuru - - - 302
Pemaknaan Yesus dalam Budaya Pela Menuju Kristologi Masyarakat
Maluku
Yohanes Parihala - - - 313
Islam, Kristen dan'Dunia Lain'di Maluku
Sumanto Al Qurruby- - * 325

xilt
6. Damai di Negeri Salam-Sarane: Perspektif Seorang Anak Piara
Muslim
Lailarul Fitriyah- -- 339

Bagian 6: GPM dan Pengembangan Pendidikan di Maluku


1. Pergumulan Pendidikan Indonesia dan Peranan Gereja
WiIIiToisuta---353
2. Membangun Jemaat dengan Pendidikan yang Bermutu
ThomasPenrury---371
3. Timbulnya Dualisme dalam Sistem Pendidikan di Maluku Tengah
Cornelis Adolf AJyona --- 383
4. Pendidikan Perdamaian dan Praksis Pendidikan Teologi yang
Kontekstual
Nancy Nouitra Souisa* - - 382
5. Merangkai yang Terurai dan Patah: Implementasi Perdamaian
melalui Pemberdayaan Perempuan dan Anak
/eany ElnaMahupale - - - 405

Bagian 7: GPM di Tengah Pusaran Oikoumene dan Perdamaian


1. Tahuri Persaudaraan Telutih: PerspektifTeologis Seram Selatan
George M. Likumahwa--- 423
2. |anji Damai di Batas Negeri: Praksis Berteologi di Lease
Zakarias Sapulette - - - 433
3. Meneroka Ruang-ruang Oikoumene Baru: Sebuah Penjelajahan
Trisno S. Sutanto--- 447
4. GPM dalam Pusaran Gerakan Oikoumene di Indonesia
HenrekLokra---464
5. Gerakan Oikoumene, Gereja dan Masa Depannya di Maluku
Daniel Wattimanela - - - 473
6. Masyarakat Berkeadaban di |alan Susastra dan Seni
RudyFofrd---486
7. Mengawal Simpul-simpul Perekat Antar Umat Beragama di Maluku
Tenggara Barat: Catatan Reflektif
Ricardo Rikumahu * - - 497

Bagian 8: Bergumul di Laut dan Gunung: Praksis Bergereja di Klasis dan


|emaat
1. Mengelola Keesaan Bersama GMIH
OdhieRirimasse---505

xtv
2. Bergereja Bersama Basudara Muslim: Pengalaman Bersama di Seram
Bagian Timur
Lodewik W. Laisila dan Fridolin R. Kwalomine- - -512
3. Berseru Kepada Pohon Tumbang: Refleksi Teologis dalam Krisis
Lingkungan di Seram Utara
/ondry Paays- - -525
4. GPM dan Advokasi Lingkungan
Simson M. Reskir- - - 536
5. Perempuan Kei dalam Citra Bergereja: Dinamika dan Tantangan di
Kepulauan Kei
Adonia Titiahy-Leiwaka bessy - - - 552
6. Namaku Indonesia, Mataku Memandang Australia: Menjadi GPM di
Beranda Depan Negara
Daniel Zwingly Wutwensa - - - 560
7. Beribadah di Rumah Ternak: Pengalaman Penggembala di Klasis Leti
Moa Lakor
MelkyTimisela---576
8. Quo Vadis Benjina?
Peter Robert Manuputty- * - 586
9. Problematik Kesehatan Masyarakat dan Implikasinya bagi ]emaat
/ohanis Fritzgal Rehena --- 593

Bagian 9: GPM dalam Pandangan dan Harapan Pimpinan Umat Beragama


1. Percikan Harapan Islam kepada GPM
I{. Idrus E. Toekan- - - 607
2. Gereja Protestan Maluku: Pendapat dan Harapan Gereja Katolik
Keuskupan Amboina
Mgr. Petrus Canisius Mandrgy- - - 615
3. Delapan Dekade Gereja Protestan Maluku di Mata Umat Buddha
W./auwerissa---623

Bagian 10: Membaca Alkitab pada Delapan Dekade GPM


1. Biarkan Anak-anak itu Datang Kepada-Ku: Tafsir Markus 10:13-16
dari Sudut Pandang Pengasuh
Bace Pattiselano - - - 627
2. Mengasuh Anak di Pulau-pulau
MercyLekransy---640
3. |angan Menghakimi Perempuan itu: Membaca Yohanes 8:1-11 dari
Pengalaman Pendampingan ODFIA
RosaPentury---651
4. Hibrid(isasi) Gereja di Era Postkolonial: Membaca Konflik di Gereja
Korintus bersama Homi K. Bhaba
Ekaputra Tupamahu - - - 662

Epilog:
Perlukah Pesan Tobat |ilid DuaT
Iohn Chr. Ruhulessin- - - 681

ParaPenulis---689

xvt
PROLOG:

DELtrPIIN DEKADE IYIENtrNAM,


IuENYIRAIYI, BERTUIYIBUH DAN
BERBUAH
Refleksi Sosio-Teologis Historilr ber-
GPIYI

---Iohn Chr. Ruhulessia ---


[Ketua MPH Sinode GPM]

SEPERTI CENGIGH: PENGANTAR


Pada tahun 1926, Dr Hendrik Kraemer melakukan perjalanan ke
-\mbon dan tinggal stllama sebulan di pulau ini. Tujuannya adalah mengada-
Lan zurvei tentang perkembangan gereja-gereja di Hindia Belanda.t Selain
menemukan kondisi ekonomi jemaat-jemaat yang memprihatinkan, ia juga
d,engan nada sinis menyebutkan masyarakat Ambon pada umumnya malas
d:n miskin. Bahkan terhadap agama Kristen Ambon, sebagaimana dikutip Dr
-{-N. Radjawane: "rz Ambon religion is a native product, just like tjengkeh
{doves)."2
Kutipan setting historis dan metafora ini menarik untuk
direnungkan kembali. Pertama, apakah telah terjadi perkembangan dan
transformasi dalam kehidupan gereja-gereja di Ambon dan kepulauan
\{aluku pada umumnya? 3 Apakah mentalitas malas dan miskin yang
dikonstatir Kraemer itu masih berlaku hingga saat ini? Kedua, jika Agama
Kristen Ambon dianalogikan dengan "cengkeh" maka pertanyaannya, apakah
cengkeh itu masih terus berbuah dan semerbak ataukah telah kering dan
gugur daun-daunnya?a Tentu masih ada sejumlah pertanyaan krusial lainnya
rang hendak direfleksikan melalui tulisan ini.
Saya hendak menggunakan metafora Kraemer ini secara positif dan
lreatif untuk membicarakan tema: "Delapan Puluh Tahun Menanam, Me-
nl.iram, Bertumbuh, dan Berbuah". Selain sebagai catatan pendahuluan atau
prolog, semoga tulisan ini dapat dilihat pula sebagai sebuah refleksi teologis-
historis pada 80 tahun GPM, tanggal6 September 2015.

GEREIA POHON CENGKEH: MEI.I,A.DI GEREIA YANG BERBUAH5


|ika sejarah GPM dijelaskan sebagai suatu sejarah yang utuh maka
sejarahnya termasuk dalam kategori sejarah yang panjang (lounge duree).

xvil
Namun, pada bagian ini saya tidak bermaksud menjelaskannya sebagai suatu
sejarah total (total lustory) yang mencakup lingkungan, struktur, jemaat dan
gambaran mental meliputi perilaku dan pemikiran setiap orang dalam sejarah
pelayanan GPM, melainkan sedikit membuat refleksi teologis dalam
perspektif historis tentang keberadaan GPM dalam ruang dan waktu (space
and time) sebagai gereja yang melayani umat Tuhan (menanam dan
menyiram) di Maluku secara khusus, masyarakat Maluku, Indonesia dan
dunia secara umum. Hal ini bernrjuan untuk menunjukkan bahwa GPM
benar-benar mewujudkan dirinya sebagai gereja yang diutus ke dalam dunia
dan turut mewarnai dunia ini sesuai dengan amanat pelayanan Yesus, Kepala
Gereja.
Bersamaan dengan itu pula, dijelaskan tentang Allah yang ikut
berkarya secara nyata dalam sejarah GPM sehingga GPM tetap eksis dan
bertumbuh dalam melaksanakan pelayanannya, meskipun menghadapi tan-
tangan dan pergumulan gereja yang begitu berat seLama delapan dekade di
Maluku (delapan puluh tahun), sejak menjadi gereja yang mandiri pada 6
September 1935 hingga sekarang.
Dengan berhikmat, para pendiri gereja ini memilih 1 Korintus 3:6
menjadi motto GPM. Selain menggambarkan kepekaan terhadap potensi ben-
turan dan perselisihan yang dapat muncul dalam kehidupan bergereja dan
bermasyarakat (sebagaimana konteks jemaat Korintus kala itu), sekaligus
mengingatkan kita tentang sumber "Pemberi Buah" atas segala jerih-lelah
kita dalam menaman dan menyiram, yaitu Tuhan Allah sendiri. Di sini kita
semua tepekur sejenak untuk menyadari siapa kita sesungguhnya di "Kebun
Cengkeh" Allah ini.
Metafora Gereja Pohon Cengkeh mengandaikan bahwa pohon
cengkeh dan tanaman apapun mesti dirawat dan dijaga agar bertumbuh dan
berbuah. fauh sebelum teknologi pertanian canggih diperkenalkan, para
leluhur Maluku hanya menanam cengkeh seadanya. Di atas tanah yang
subur, cengkgh bertumbuh dan berbuah rimbun. Pada usia tertentu cengkeh
akan berhenti berbuah. Pohonnya mungkin makin besar dan kokoh tetapi
bisa jadi buahnya tidak serimbun dulu. Kalaupun berbuah, akan sulit untuk
memetiknya. Ia menjadi tempat berteduh bagi burung-burung dan hewan
lainnya. Satu-satunya langkah yang perlu dilakukan agar cengkeh tetap ber-
buah adalah "meremajakannya".
Ya, memperkuat sumber daya manusia merupakan sebentuk proses
"peremajaan". Saya kira salah satu tantangan terbesar GpM saat ini adalah
proses kaderisasi atau penguatan sumber daya manusia yang mesti terus
dilakukan dengan sungguh-sungguh. GPM mesti melihat segenap porensinya,
baik para pelayan maupun umatnya, sebagai kekuatan yang perlu dirawat.
Investasi berupa program dan alokasi anggaran untuk mendukung pengem-

xviii
bangan sumber daya manusia GPM merupakan kebutuhan sekaligus langkah
yang strategis. Benarlah pepatah tua yang berkata: jika ingin Panen sebulan
tanamlah jrgurg, jika setahun tanamlah pohon, jika seratus tahun tanamlah
manusia. Tetapi tidak hanya peremajaan, pengkaderan, penguatan SDM baik
pelayan maupun umat, melainkan juga penyiapan "lahan" yang memadai dan
benih yang baik. Tidak hanya penyiapan lahan yang memadai dan benih
yang baik, tetapi juga proses dan kultur bergereja, kultur pelayanan yang
memadai, dan tidak kalah pentingnya visi, misi dan strategi yang tepat dan
benar yang dapat mengembangkan penyelenggaraan proses pelayanan GPM
ke arah dan sasaran yang tepat.

MEMPROTEKSI "}IAMA" YANG MERUSAK GEREIA


Ibarat tanaman cengkeh yang tidak kebal dari hama yang merusak,
gereja juga selalu diperhadapkan dengan ancaman dan tantangan. Persoalan
cengkeh bukan saja soal pernrmbuhan dan buahnya tetapi juga menyangkut
pengolahan dan pemasaran. Kita pernah mengalami suatu masa dimana
panen cengkeh melirgpah tetapi harga cengkeh anjlok, akibat ulah lembaga
bernama BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih). Bahkan jauh
sebelumnya di era kolonial, kita pernah mengenal kebijakan hongi tochten
yang dilakukan pemerintah Belanda kala itu dengan membatasi penanaman
pepohonan cengkeh di wilayah yang sudah ditentukan Belanda, dan bahkan
membumihanguskan kebun-kebun cengkeh milik rakyat Maluku.
Gereja berada di tengah-tengah dunia. Berbagai persoalan yang
mendera dunia langsung maupun tidak langsung juga mendera gereja.
Persoalan gereja bukan saja persoalan rohani dan ritual semata melainkan
menyangkut pula persoalan sosial, ekonomi, politik, keamanan dan serbaneka
persoalan lainnya. Olehnya gereja mesti peka dan tanggap bahkan memberi
respons yang cerdas terhadap persoalan-persoalan tersebut.
GPM dan gereja-gereja di Indonesia kini dan ke depan akan
diperhadapkan dengan berbagai problematika yang kompleks. Persoalan
ekologis, pengaruh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dan
perkembangan media sosial, masalah narkoba, terorisme, kekerasan,
globalisasi, sekularisme ketidakadilan, kemiskinan etnisitas, dan lain
sebagainya selalu akan menjadi agenda gumulan bagi hidup bergereja dan
bermasyarakat.
Pada lain pihak, ketika belajar dari sejarah ber-GPM, di era 1960-
an saat muncul berbagai pertentangan dan persoalan, gereja perlu memanggil
umat dan pelayan untuk kembali kepada Firman Allah. Pesan Tobat 1960
merupakan tonggak sekaligus momen koreksi bagi gereja untuk tetap setia
pada panggilannya. Pdt. Wim Davidz menggambarkan momen ini sebagai
momen opname. Lebih lanjut beliau menulis:

xtx
Pergumulan GPM dengan TUHAN dan konteksnya terus-menerus
mempertanyakan akar sejarah dan akar sosialnya di tengah-tengah
realitas konteks yang dihadapi dan rantangan dari panggilan
TUHAN-nya. Pergumulan itu menghantarnya ke penghujung
tanggal 4 Mei 1960, di mana dari situasi yang berat dalam puncak-
puncak pergumulannya dicanangkanlah "Pesan Tobat Sinode
1960". Pesan ini merupakan suatu moment opname, dimana gereja
ini tidak hanya menyadari keadaannya yang lemah dan gagal,
melainkan juga menyatakan keikatannya unruk "diperbarui oleh
Roh Kudus dan memperbarui dirinya". Pesan menegaskan bahwa
pertobatan total dari seluruh anggota dan pejabat GPM untuk
menaklukan diri di bawah Firman Allah seraya mewujudkannya di
dalam keseluruhan hidup, di tengah-tengah dunia ini". Pada
umumnya diterima kenyataan akan tahun 1960 itu sebagai suatu
titik balikbagi GPM di mana diakui satu-sarunya kenyataan bahwa
pembaruan hanya dapat terjadi oleh ketaatan kepada Firman Aliah
dan karya Roh Kudus.6

SETETAH 80 TAHT'N BERGEREIAAPAYANG KITA CAPAI?


Tentu butuh penelitian tersendiri untu\ mengetahui sejauhmana
perkembangan gereja dalam rentang delapan dekade ini. Walau demikian,
jika tahun 1935 dijadikan tonggak sejarahnya maka sejarah bukan saja soal
kronos tetapi juga kairos. Bukan saja soal urut-urutan waktu melainkan
kesempatan. Kesempatan-kesempatan itu terkadang dapat kita responi
dengan baik, kadang berlalu begiru saja. Kesemparan iru bisa berupa berbagai
mitra bersama seperti pemerintah, swasta maupun lembaga tertentu.
Kesempatan itu juga menyangkut kepekaan kita mengapresiasi potensi warga
jemaat yang memiliki beragam karunia, yang jika dikelola dengan baik akan
membuat gereja ini akan menjadi gereja yang terus bertumbuh dan berbuah.
Tidak mudah dan tidak bijak mengabaikan hubungan-hubungan
tersebut. Misalnya, hubungan gereja dan negara/pemerintah. Hubungan itu
tak hanya perlu namun juga tetap diletakkan dalam sikap kritis dan
konstruktif. Kritis membuat gereia tetap memiliki positioningdan konstruktif
merujuk pada kemampuan gereja memberi kontribusi bagi perubahan yang
sedang terjadi. |ika hanya kritis saja maka gereja menjadi komunitas yang
sekadar berbeda. Ibarat minyak dengan air di dalam gelas. Masing-masing
entitas berbeda tetapi tidak pernah sinergi. Berada di rumah yang sama tetapi
tidak saling menyatu. Yang kita butuhkan adalah sinergisitas. saling
melengkapi secara setara dan dialogis.

xx
Kita mempunyai pengalaman yang kaya dan beragam dalam
lintasan sejarah. Pada zaman Orde Lama, gereja-gereja berjuang untuk ambil
bagian dalam nation-building. Begitu pula pemerintah berusaha menunjuk-
kan kepedulian kepada gereja (baca: GPM). Sebagai contoh, ketika Bung
Karno, presiden pertama RI, datang ke Ambon dan "menghadiahkan" gedung
gereja pusat. Ini merupakan sebuah tindakan simbolis tentang kepedulian
negara kepada gereja-gereja. Demikian pula GPM juga pernah diuji dalam
momentum 1950, ketika integritas dan komitmen GPM kepada RI
dipertanyakan.
Kita mendengar bahwa betapa Pdt. Thom Pattiasina, sebagai Ketua
Sinode GPM saat itu sekaligus eksponen angkatan 1945, menunjukkan
prinsip dan visi kebangsaan gereja yang jelas dan tegas. Om Thom (begitu
beliau akrab disapa) menunjukkan komitmen GPM bagi pembangunan
bangsa.T Mungkin belum banyak orang mengetahui hal ini sehingga tanpa
didasarkan bukti yang kuat dan pertimbangan yang matang sebagian orang
memberi stigma yqng keliru soal posisi GPM dengan RI. 8 Pada fase
kemerdekaan, kesadaran gereja sebagai bagian dari arak-arakan perjalanan
bangsa tampak dalam sikap keberpihakan gereja bagi perjuangan nasional.
Sikap tersebut juga dipahami sebagai peran profetik gereja.
Pada zaman Orde Baru, gereja-gereja termasuk GPM
diperhadapkan dengan pergumulan yang tidak ringan. Pada awalnya
Kekristenan seperti mendapat ruang untuk tetap eksis di republik ini.
Namun, di ujung masa kepemimpinan Presiden Soeharto, kita diperhadapkan
dengan kebijakan-kebijakan politik yang cenderung memarjinalkan posisi
gereja-gereja. Demikian pula kebijakan politik rezim Orde Baru yang
sentralistik telah menimbulkan dampak sistemik bagi relasi gereja dan
pemerintah, khususnya di jemaat-jemaat.
Pdt. Dr. Frank Cooley pada tahun 1961, dengan mengambil sampel
beberapa desa di Maluku Tengah, yakni Allang, Soya, Erie dan Aboru,
menunjukkan hubungan lembaga-lembaga keagamaan, khususnya gereja,
dengan pemerintah(an) di Maluku Tengah. s Dalam bukunya, Cooley
mencermati hubungan yang "manis-pahit" antara mimbar dan tahta.
UU Pemerintah Desa nomor 5 tahun 1975 misalnya, menimbulkan
persoalan bagi negeri-negeri di Maluku. Di sini gereja terpanggil merespons
hal tersebut, khususnya dalam rangka membina relasi antara unsur jemaat
dan pemerintah negeri. Pada tahun 2011, GPM meresponi hubungan tersebut
melalui regulasi di antaranya berupa Pedoman Kerjasama Majelis |emaat
dengan Pemerintah Negeri yang diharapkan dapat menyinergikan potensi
kedua lembaga tersebut untuk bersama-sama mengusahakan kesejahteraar
bersanla. Sudah tidak zamannya lagi masing-masing pihak berjalan sendiri-
sendiri, apalagi terus terjebak daiam relasi yang saling menegasi. |ika di level

xxt
mikro (jemaat/desa) hubungan itu dapat terbina dan terawat maka dapat
dipastikan di level meso dan makro hubungan itu makin bermuara pada
percepatan kesejahteraan bersama.
Fenomena hubungan gereja-negara, agama-politik, ternyata tidak
cukup dengan merekam begitu saja peristiwa-peristiwa politik yang
berdampak pada relasi gereja-negara. Fenomena relasi gereja-negara
membutuhkan sebuah cara pandang teologis-etik untuk menolong gereja
memosisikan hubungan gereja-negara, agama-politik secara lebih mendasar
dan proporsional. Model kooptasi agama atas ideologi (politik), atau
sebaliknya kooptasi ideologi atas agama, bukanlah model yang ideal dalam
membangun relasi agama potitik. Model yang mungkin bisa dikembangkan
adalah model dialog agama-ideologi serta kepedulian etika. Model ini
mengakui otonomi dan integritas masing-masing entitas. Dialog keduanya
tidak mungkin berjalan bila terjadi subordinasi antar keduanya' Kalaupun
berjalan, diatog keduanya tidak produktif. Dialog harus dilakukan secara
kritis dan terbuka, didasari oleh komitmen bersama terhadap nilai-nilai
kemanusiaan sebagai standar moral bersama. Dalam relasi kedualya yang
dialogis itu, keduanya setara, dan dengan begitu keduanya bisa diarahkan
pada kepedulian etis.

MEI.IIADI GERXIA YANG PRO-IGHIDIIPAIY DAIAM KERAGAMAN


Peristiwa tragedi kemanusiaan di Maluku tahun 1999 merupakan
momentum berharga bagi masyarakat Maluku dan warga GPM pada
khususnya. Selain makin menyadari bahwa konflik dan perang tidak
membawa keuntungan apa-apa, bersama-sama dengan saudara-saudara yang
beragama Islam di Maluku, kita makin menyadari bahwa kita hanya menjadi
korban dari sebuah konstelasi pergulatan kekuasaan yang destruktif. Pada era
kepemimpinan Pdt. Dr. I.W.|. Hendriks, GPM mengembangkan "teologi pro-
hidup" di tengah realitas Maluku pascakonflik.
Dengan visi yang cerdas itu - yang diterjemahkan dalam berbagai
program dan kegiatan di tiap aras pelayanan - GPM hendak menegaskan
panggilan dan pengutusannya untuk membangun suatu tatanan hidup
bersama yang lebih baik. Hal ini dicermati oleh salah seorang peneliti dari
Muhammadiyah (yang melakukan riset disertasi di Ambon), seperti kutipan
pada salah satu tulisannya tentang dua hikmah dari konflik Ambon:
Pertama, kesadaran yang relatif merata di kalangan penduduk
Ambon (dan Maluku secara umum) bahwa mereka adalah korban. Berbagai
macam kerugian fisik dan mental selama konflik mengantar penduduk
Ambon ke titik jenuh untuk berkonflik. Meski hidup segregatif, penduduk
Ambon terus mengembangkan toleransi guna mencegah ketersinggungan
"saudara kita di sebelah". Semua pihak harus menjaga kejenuhan berkonflik

xxii
ini sebelum ada provokasi politik sebagai energi baru untuk memobilisasi
konflik.
Kedua, konflik telah melahirkan kesadaran institusi keagamaan
berbenah diri. Pembenahan secara sistematis terlihat terutama dalam tubuh
GPM. Dalam beberapa keputusan dan laporan program kerja GpM 10 tahun
terakhir, terlihat keinginan GPM untuk hadir sebagai "Gereja orang Maluku".
Pembaruan teologi Gereja "pro-kehidupan", misalnya, telah membantu
aparat Gereja merumuskan program konkret dalam mempromosikan
perdamaian dan rekonsiliasi.
Di sisi lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku di tengah
konservatisme yang melanda MUI di level nasional justru dapat menem-
patkan diri pada konteks lokal yang mesti tetap mengampanyekan penting-
nya "pluralisme" bagi masyarakat Maluku. Setelah konflik, MUI bersama
GPM dan Keuskupan Amboina aktif mendorong kelahiran Lembaga Antar-
Iman Maluku. Lahir pula pemikir Muslim di Maluku yang sedang bergumul
merumuskan "Islam Mazhab Ambon", sebuah pandangan yang memper-
juangkan proses inkulturasi Islam dan budaya lokal.10
Pendapat ini selain mengapresiasi apa yang sedang dilakukan oleh
GPM dalam merawat perdamaian di kepulauan Maluku, sekaligus memberi
tantangan bagi kita untuk tetap konsisten menjadi agen-agen perdamaian
seperti yang disampaikan Tuhan Yesus sendiri.
Berkaitan dengan itu penting disebutkan bahwa tahun 2005-2010
yang dikenal dengan fase pertumbuhan yang difokuskan pada usaha
menumbuhkan peace and trust building di Maluku dan Maluku utara. pada
fase ini seluruh desain pelayanan GPM diarahkan untuk meningkatkan rasa
saling percaya dan menumbuhkan semangat hidup "orang basudara". Fase ini
menentukan apakah GPM dapat keluar dari krisis dan membawa gereja dan
masyarakat keluar dari krisis ataukah tidak. Di sini kita bersama-sama
mengembangkan kesadaran pluralisme di kalangan pelayan dan jemaat serta
menggerakkan interaksi sosial antarwarga dan antariman. Ruang perjumpaan
yang ada dimaksimalkan serra dikreasikan pula titik-titik temu baru dengan
mendayagunakan kearifan lokal masyarakat. pada fase ini pura GpM
bersama-sama pemerintah melakukan apa yang disebut sebagai "recovery
Malukti'. Dalam fase recovery ini, salah saru hal yang tidak pernah diduga
sebelumnya dari akibat konflik Maluku adalah terbangunnya sentra-sentra
ekonomi kerakyatan di kalangan jemaat-jemaat Kristen di kota dan pulau
Ambon.
Pada 2010-2015, kita memasuki fase pertumbuhan dengan
beberapa penekanan, antara lain: 2011-2012 - perrumbuhan GpM dengan
penekanan pada aspek koinonia transformatif di antara jemaat/masyarakat,
dan koinonia semesta dalam relasi dengan alam ciptaan Tuhan. Dalam

xxilt
hubungan ini, perhatian dan kepedulian GPM terhadap persoalan lingkungan
telah pula melahirkan kesadaran GPM untuk memahami dan menjelaskan
alam ciptaan sebagai "sacramenturd', gagasan yang dicetuskan oleh Pdt. Dr.
M.M. Hendriks.
2012-2013 - Pertumbuhan GPM dengan penekanan pada tanggung
jawab memelihara keutuhan ciptaan dalam arti yang lebih konkret, yakni
pelestarian lingkungan. Dengan penekanan ini, GPM ikut mendorong
terjaminnya hak-hak masyarakat adat di seluruh Maluku dan Maluku Lltara,
melalui proses advokasi sosial dan hukum.
2013-2014 - Proses pertumbuhan dengan penekanan pada tugas
mengartikulasi pembinaan umat melalui pencerdasan dan peningkatan
kapasitas umat dar pelayan baik kecerdasan sosial, politik, intelektual,
spiritual dan teologi. Dalam usaha pencerdasan itu, pendidikan politik dan
penguatan kapasitas spiritual secara komprehensif dilaksanakan di semua
level dan pada basis-basis rumah tangga dan jemaat.
2014-2015 - Pertumbuhan GPM sedang dan harus difokuskan pada
usaha menuju Kem3tangan Bergereja dengan memboboti spiritualitas umat
dan pelayan. Pada fase ini kita sudah mengantar GPM sampai delapan dekade
pelayanan sebagai Gereja Bagian Mandiri (GBM), dan harus memantapkan
terus posisi dan perannya ke dekade berikutnya (2015- 2025).

MEMBANGUN KEMANDIRIAN TEOLOGI TEMAAT


Seluruh proses bergereja harus menjadi proses berteologi. Dengan
kesadaran semacam itu, maka proses berteologi harus menjadi proses ber-
gereja seluruh gereja ini. Dengan cara pandang itu maka misalnya, persi-
dangan gereja di aras jemaat, klasis dan sinode tidak semata-mata dilihat
sebagai pertanggungjawaban administratif dan keuangan semata, melainkan
mesti dilihat pula sebagai proses berteologi jemaat. Ketika setiap warga gereja
diposisikan sebagai subjek teologi, maka segala tindakan yang dilakukan
dalam kaitan dengan tanggung jawab membangun gereja mesti diiihat sebagai
ikhtiar berteologi. Sebab teologi yang sejati tidak pernah terkurung dalam
tembok-tembok akademik dan rumusan-rumusan yang rigid dan
komprehensif semata.
Teologi hendaknya menjadi teologi yang hidup (liuing theologs) di
tengah-tengah dan bersama-sama jemaat. Dengan begitu gap (j,arang) yang
bersifat elitis dan hierarkhis dapat dijembatani. |ika perspektif ini dikede-
pankan, bukan berarti menafikan proses berteologi yang sedang dikerjakan di
lembaga-lembaga pendidikan teologi, melainkan hal ini mesti dilihat sebagai
upaya berjalan bersama, proses bersinergi demi menghadirkan teologi yang
hidup itu. Lembaga teologi juga harus menjadi lembaga pengembangan ilmu
teologi dan sekaligus berkontribusi dalam penguatan teologi jemaat. Delapan

xxiv
puluh tahun kehidupan ber-GPM mesti merenungkan dan menjawab dengan
serius dan sungguh-sungguh apakah jemaat-jemaat kita sudah mengalami
kemandiran teologi itu ataukah belum. Mengenai hal ini akan saya kem-
bangkan dalam refleksi teologis di bagian akhir paper ini.
]ika jemaat masih menggantungkan semuanya pada sosok pendeta,
dan pendeta sendiri menikmati posisinya sebagai yang sentral Qrcndeta-
xatris) maka sinyalemen yang disampaikan Hendrik Kraemer sebelum GPM
berdiri dapat diakui keberlakuannya. Namun, jika jemaat-;'emaat makin
manfi1"i, percaya diri dan bertumbuh dalam penghayatan imannya maka itu
pertanda GPM sedang memasuki masa-masa kemandirian yang dicita-citakan
para pendiri gereja ini ketika gereja ini "berjarak" dari pemerintah Belanda
kala itu, 6 September 1935.11

TMBAK PANGGIL OMBAK: PROBLEMATIKA GPM


Dalam pemetaan problematika GPM sebagaimana terbaca dalam
dokumen PIP-RIPP GPM maka ada kurang lebih 12 problematika yang
sedang dan akan terus digumuli GPM ke depan. Problematika tersebut tidak
pernah akan berakhir, ibarat ungkapan orang tua-tua "ombak panggil
ombak". Persoalan kita bukanlah kapan ombak itu akan berhenti, tetapi
bagaimana cara kita menyikapi ombak masalah tersebut. Adapun ke-12 pro-
blematika yang digumuli GPM, yakni: [1] degradasi lingkungan hidup dan
bencana alam; [2] kemiskinan dan ketahanan ekonomi umat; [3] penang-
gulaagan HIV/AIDS; [4] pengembangan PFG dan Pendidikan Teologi Warga
Gereja; [5] penguatan ketahanan spiritual keluarga; [6] peningkatan kapasitas
pelayan; [7] penguatan hubungan oikoumene; [8] dialog dan kerjasama lintas
imen; [9] penguatan pendidikan dasar dan perguruan tinggi; [10] peran
politik GPM; [11] harta milik Gereja (HMG); [12] pengembangan balitbang
,len infodok.
Terhadap ke-12 isu di atas dan berbagai isu lainnya yang akan terus
menjadi pergumulan GPM saat ini dan mendatang, termasuk dalam rangka
ndihat peta pergumulan sepuluh tahun ke depan (2015 -2025) maka be-
berapa isu berikut ini hendak diberi penegasan, yakni:l2

Fertama: pgningkatnn Spiritualitas Pelayan dan Umat


GPM dalam perjalanan sejarahnya terus-menerus menggumuli isu
srmber daya manusia gereja, yakni para pelayan dan umat. Isu ini berkorelasi
dpngan komitrnen dan kecintaan untuk sungguh-sungguh melaksanakan
tngrs pengufusan di gereja kepulauan ini. Terkadang tantangan konteks GpM
&pat melemahkan semangat bersaksi dan melayani, sehingga muncul
sinisme seperti istilah "Pendeta 6:1", yang merupakan salah satu cerminan
trisis rasa keterpanggilan (sense of calling) dan krisis rasa memiliki dan
mencintai gereja ini (sense of belonging). Olehnya berbagai upaya
peningkatan spiritualitas pelayan dan umat sudah, sedang dan akan terus
dilakukan ke depan. Penting untuk menegaskan bahwa corak spiritualitas
yang dikembangkan adalah spiritualitas yang tidak sekadar berciri kero-
hanian semata, melainkan juga mengasah kepekaan, daya tanggap dan daya
kritis pelayan dan umat untuk meresponi berbagai persoalan sosial kemasya-
rakatan yang sedang terjadi. Spiritualitas yang mengarah kepada dunia sambil
tetap menaruh pengharapan kepada Kristus dan Roh-Nya sebagai kekuatan
utama. Peristiwa Pentakosta yang dimaknai sebagai hari ulang tahun gereja,
menegaskan peran mutlak Roh Kudus dalam pertumbuhan dan perkem-
bangan gereja di dunia ini. Gereja tidak semata-mata dibangun pada kekuatan
dan kehebatan manusia melainkan selalu terbuka untuk karya Roh Kudus
yang melampaui segala akal dan pikiran kita. Sampai pada titik kesadaran ini,
maka tanggung jawab gereja melalui Lembaga Pembinaan femaat GPM (LPI)
GPM dan Lembaga Pendidikan Teologi GPM (Fakultas Teologi UKIM) diha-
rapkan memainkan peran strategis, penting dan fundamental untuk
menemukan, menformulasikan theological spirirual framework GPM.

Kedua: Optimalisasi Peran Pendidikan oleh Gereja


Pendidikan merupakan salah satu fungsi gereja, dan fungsi itu
terlembaga dalam wujud sekolah dan perguruan tinggi. Umumnya terdapat
lembaga penting gereja sejak kehadiran Kekristenan di Indonesia dan Maluku
pada khususnya, yakni kesehatan dan pendidikan. Diakui bahwa dalam
konteks saat ini, pembangunan pendidikan yang dikelola oleh gereja bu-
kanlah perkara yang mudah. Selain kebutuhan sarana-prasarana dan tenaga
pendidik yang berkualitas, dibutuhkan juga manajeman yang visioner. Gereja
mencoba merespons hal ini diantaranya ketika Raker YPPK di Tepa tahun
2011 yang menyepakati kebijakan pengambilan dana lozir untuk pendidikan
(khususnya YPPK). Selanjutnya di MPL di Telutih tahun 2014 dialokasikan
sejumlah dana untuk para pendeta yang studi lanjut.
Ke depan hal ini harus dilihat secara sistemik dan berkelanjutan
sebagai tanda progres itu, sehingga tidak reaktif atau trend semata. Bagitu
pula kerja sama dengan Universitas Pelita Harapan (UPH), dan yang lainnya,
ke depan perlu dikembangkan dalam perspektif networking (jejaring).
Pendidikan Kristen juga mesti melahirkan manusia-manusia yang berka-
rakter di tengah dunia yang makin sekuler dan hedonis. Pada lain pihak,
lembaga pendidikan tinggi milik GPM (UKIM) terus diupayakan sebagai
salah satu lembaga pendidikan tinggi terbaik di Maluku. Hal ini tentu tak
dapat dipisahkan dari peran Yaperti melalui berbagai program dan tero-
bosannya. UKIM juga diharapkan menjadi lembaga riset yang kompeten dan
menghasilkan sarjana-sarjana yang kompeten di bidangnya, menjadi pembaru

xxvi
masyarakat dengan visi dan integritas kuat. Dalam kaitan ini, eksistensi dan
peran lembaga pendidikan formal GPM, yakni SM-TPI dan Katekisasi mesti
terus dibenahi, ditingkatkan dan dioptimalkan kualitasnya sehingga ber-
kontribusi bagi kemajuan gereja.

Ketiga: Kemiskinan, Kekerasan dan Keadilan


Persoalan kemiskinan, kekerasan dan ketidakadilan saling ber-
kelindan. Kita bisa melihat kembali amatan Kraemer dan perspektifnya
dalam melihat kemiskinan, misalnya. Sebabnya persoalan kemiskinan bukan
semata-mata adanya budaya miskin dengan sifat malas sebagai pemicunya.
Persoalan kemiskinan juga erat kaitannya dengan struktur-struktur yang
tidak adil, yang tidak berpihak kepada orang miskin. Sejarah berbangsa dan
bernegara selama republik ini berdiri turut menegaskan hal itu. Ketika
kebijakan pembangunan hanya terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu
saja, maka masyarakat di wilayah lain relatif akan miskin hidupnya. Tentu
kita dapat mencatat indikator-indikator kemiskinan yang bisa digunakan
sebagai parameter, tetapi persoalan keadilan merupakan imperatif dalam
rangka mengentaskan problem kemiskinan.
Kemiskinan dan ketidakadilan juga dapat memicu kekerasan baik
dalam lingkup domestik (misalnya, KDRT) maupun di ruang publik
(misalnya, kerusuhan, konflik bahkan peperangan). Kekerasan akan menjadi
matarantai yang awet (lingkaran setan) jika persoalan kemiskinan dan
keadilan tidak disikapi secara arif dan tuntas. Olehnya, gereja terpanggil
untuk ambil bagian dalam upaya-upaya pengentasan kemiskinan termasuk
menyuarakan keadilan dan kebenaran agar belenggu kemiskinan dan ke-
kerasan dapat terlepas. Hal ini sejalan dengan visi-misi GPM yang antara lain
untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah, yakni kasih, keadilan,
perdamaian dan keutuhan ciptaan.

Keempafl Relasi Gereja dan Negara/Pemerintah


Diskursus relasi gereja dan negara/pemerintah merupakan isu
permanen bergereja dan bermasyarakat. Artinya, kedua entitas ini akan terus
berinteraksi dan berinterelasi satu sama lain. Dari sejarah kita belajar bahwa
diperlukan perspektif dan komunikasi yang kritis-kreatif dalam menyikapi
isu relasi gereja dan negara. Pilihan GPM untuk mandiri 6 September 1935
juga tidak dapat dilepaspisahkan dari isu ini. Demikian pula selama fase
kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga saat ini, persoalan relasi gereja
dan negara masih tetapi dinamis. Ada banyak pelajaran berharga yang dapat
diambil dalam bentangan sejarah tersebut. Bahkan ketika Indonesia me-
masuki Orde Reformasi yang ditandai dengan gerakan otonomi daerah yang
makin menguat, maka relasi-relasi ini menjadi penring untuk disikapi dengan

xxvil
cerdas. Dengan menyadari bentangan wilayah pelayanan GpM di Maluku
dan Maluku Utara yang tersebar pada berbagai kota dan kabupaten, dalam
rangka membangun komunikasi dan relasi gereja dan pemerintah (daerah)
maka dibutuhkan perspektif bahkan ketrampilan (skill) agar tidak terjadi
kemacetan dan kebuntuan komunikasi, namun terbina relasi kritis dan
kreatif untuk bersama-sama mewujudkan kebaikan bersama bagi semua.
Relasi gereja-negara ini juga tidak terlepas dari isu-isu politik, termasuk
politik praktis, dimana gereja perlu merumuskan sikapnya yang jelas dalam
rangka tanggung jawabnya sebagai warga bangsa dan juga tugas profetiknya
sebagai gereia. untuk ini, suatu perspektif teorogi politik harus difor-
mulasikan oleh GPM.

Kelima: Perkuatan Tradisi Iokal dalam rangka Berteologi Kontekstual


Selain pergumulan dengan persoaran membangun sikap teologi-
politik seperti yang digambarkan di atas, GpM juga turut menggumuli makna
kehadirannya sebagai gereja dalam konteks budaya masyarakat Kristen di
Maluku. orang Maluku sangat kuat menjalankan tradisi adat-istiadat atau
budaya mereka, sehingga membentuk percampuran antara adat dan Injil,
yang kemudian dikenal dengan sebutan "Agama Ambon,, (Cooley, tggZ:162,
253). Percampuran keduanya yang begitu kental membuat GpM mengambil
sikap untuk mengeluarkan "pesan tobat" pada tahun 1960. Intinya adalah
untuk memurnikan Injil dari adat-istiadat yang dipraktikkan oleh masyarakat
Maluku. Praktik adat dianggap negatif atau berlawanan dengan Injil. Sikap
tegas Sinode GPM pada masa ini, boleh dikatakan memiliki niat baik untuk
membangun iman orang Kristen Maluku. Namun di sisi yang rain, sikap
demikian secara tidak langsung telah menghilangkan identitas budaya masya-
rakat Kristen Maluku- Alih-alih takut terhadap bahaya sinkretisme, budaya
yang sebenarnya menjadi sarana untuk membangun teologi kontekstual bagi
jemaat dipandang sebagai hal yang negatif dan karena itu harus
dihilangkan.
oleh karena itu, sikap gereja terhadap budaya seperti demikian harus
dievaluasi kembali dalam kerangka membangun teologi yang relevan dengan
konteks budaya dimana jemaat itu hidup dan bertumbuh, sehingga teologi
yang berakar dalam kehidupan bergereja adarah teologi yang lahir dari
konteks/budaya masyarakat tersebut. seperti yang telah ditunjukkan oleh
Yezus ketika Ia sendiri memilih untuk berinkarnasi d.alam budaya yahudi.
Ia
mengidentifikasi diri-Nya secara total dengan mereka, kepada siapa Ia diutus
dan menyebut firi-Nya sebagai Anak Manusia. Metalui cara ini, yesus mulai
memberitakan ajaran-Nya dan banyak orang menjadi percaya dan mengikuti-
Ny"."

xxvlil
Keenam: Peradaban Maritim dan Teologi Kelautan
|auh sebelum Presiden |okowi menggulirkan isu maritim,
sesungguhnya kesadaran konteks GPM sebagai gereja laut-pulau sudah
muncul dalam lintasan sejarah GPM. Tulisan Pdt. Dr. H.L. Sapulete (mantan
Dekan Fakultas Teologi UKIM) tentang "Menuju Teologi Kelautan"
merupakan tanda kepekaan dan respons terhadap isu dimaksud. Hanya saja
diakui bahwa pengembangan lebih lanjut dari konsep teologi kelautan
tersebut mengalami kendala sehingga format teologi kelautan dimaksud
hingga kini belum tersedia. Olehnya perlu dipikirkan kembali sebuah teologi
yang merespons konteks laut-pulau GPM dan bersinergi dengan paradigma
pembangunan bangsa saat ini. Tenru persoalan merumuskan teologi yang
peka konteks laut-pulau (entah apapun namanya: teologi kelautan, teologi
kepulauan, teologi laut-pulau, teologi maritim/bahari), mesti selalu
berkoneksi dengan praksis sehari-hari jemaat. Dengan kata lain, selain
perlunya sebuah rumusan teologi, akta berteologi yang ramah terhadap
konteks laut-pu1au ini juga urgen dan penting dilakukan. Aftinya, para
pelayan dan umao'yang hidup di pulau-pulau dan menyusuri laut serta
menjadikan laut sebagai sumber penghidupan dapat secara kreatif
menggunakan metafora, simbol dan idiom-idiom laut untuk memaknai
panggilan hidup bergereja dan bermasyarakatnya. Dengan begitu, kesadaran
membangun peradaban maritim itu bukan semata sesuatu yang datang dari
atas (top-dorn) melainkan mesti lahir dari bawah. Tujuan dari ikhtiar ini
adalah agar laut dapat mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat dan
disorientasi pembangunan selama ini dapat dikoreksi dan diupayakan
solusinya yang tepat. Dengan demikian, tercipta budaya mencintai laut dan
secara optimal ambil bagian dalam pelestarian laut besefta segala isinya dan
kegunaannya.

Kenrjuh: Isu Radikalisme, kebebasan beragama dan hubungan antaragama


dan antariman
Gereja dan masyarakat serta umat manusia secara universal
menghadapi sejumlah kekerasan dalam berbagai manifestasinya sekarang ini:
kekerasan secara domestik dan kekerasan di arena publik. Sebut saja
kekerasan dan perbudakan yang terjadi di Benjina, kekerasan terhadap
pengungsi Rohingya dari Myanmar, kekerasan yang terjadi terhadap
beberapa gereja di Indonesia, kelompok Ahmadiyah, dll. Menghadapi
fenomena radikalisme yang mencuat akhir-akhir ini, maka diperlukan
pemikiran dan strategi bagaimana kemudian GPM membangun kerja sama
interreligius dan interfaith untuk harmoni bersama di tengah-tengah
intoleransi dan politisasi agama; bagaimana pula GpM mengupayakan
kesatuan untuk bersaksi dan bermisi dalam konteks multikehidupan

xxtx
beragama; bagaimana GPM dalam hidup sebagai gereja di tengah
kemajemukan masalah dan tantangan, konsern dan ekspektasinya,
seharusnya menolong GPM mendesain theological framework dalam
semangat beroikoumenis dan hidup bersama dengan agama-agama lain secara
pro-eksitensi dan dengan pemerintah untuk bergerak bersama dalam arak-
arakan membangun keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan;
mewujudkan sebuah tatanan masyarakat Maluku yang berkeadilan,
bersaudara dan berkesejahteraan.

Kedelapan: Pemanapan Kemandirian Ekonomi Gereja


Salah satu problem krusial ber-GPM dalam rentang 80 tahun
keberadaannya tak dapat dipisahkan dari pergumulannya dengan isu-isu
ekonomi. Perlahan namun pasti kondisi ekonomi dan keuangan gereja terus
dibenahi, baik dalam rangka perkuatan kelembagaan maupun membangun
kemandirian ekonomi umat. Pada masa kepemimpinan Pdt. S.P. Titaley,
misalnya, gaung pemberdayaan ekonomi umat tercermin antara lain melalui
program Tahun Pengembangan Ekonomi Keluarga (TAPEI(). |emaat-jemaat
terus dipacu untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya baik sumber
daya alam maupun sumber daya manusia. Implementasinya adalah dengan
program-program kemitraan antarjemaat yang berarjuan saling menopang
antara jemaat yang kuat dan jemaat yang membutuhkan pendampingan.
Perencanaan pengembangan pelayanan ekonomi gereja ke depan hendaknya
makin memantapkan kemandirian ekonomi jemaat-jemaat sebagai basis
utama gereja. HaI ini tidak bermaksud mengabaikan kerja sama dengan
pemerintah maupun swasta serta lembaga lainnya. Namun jika basis ekonomi
umat makin kuat, maka tentu akan berkontribusi positif bagi perjalanan
gereja ke depan. Sentralisasi keuangan 30:70 yang diupayakan selama sepuluh
tahun terakhir tentu saja harus dikawal, dibenahi dan dikembangkan secara
baik, tidak hanya pada sistem dan manajemen pengelolaan keuangan gereja
secara keseluruhan pada semua jenjang kepemimpinan gereja, jemaat, klasis,
sinode, melainkan juga diperlukan theological framework yang mendasar
tentang apakah makna uang sebagai aset gereja, apakah tujuannya, apakah
implikasinya bagi pelayanan gereja secara keseluruhan. Saya merasa sudah
saatnya bagi GPM untuk merumuskan secara mendasar dan komprehensif
apakah yang dimaksudkan dengan aset gereja itu secara keseluruhan.

Kesembilan: Menuju Kedaulatan Pangan


Diskusi ketahanan pangan telah bergeser ke isu kedaulatan pangan.
Artinya, kita tidak boleh hanya merasa puas ketika rersedia pangan tetapi
harus bergerak maju mengupayakan akses dan otonomi terhadap pangan,
termasuk benih menjadi penting untuk disikapi bersama. Globalisasi

xxx
pertanian telah menyandera masyarakat kecil, termasuk petani yang mulanya
berdaulat terhadap benih dan pangan yang ada, kini telah beralih ke tangan
para pemodal sambil berlindung di balik Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).
Persoalan ketahanan pangan ini juga berkaitan dengan eksistensi masyarakat
di puiau-pulau kecil. Termasuk di dalamnya pola konsumsi dan jenis
makanan yang dikonsumsi setiap hari. Kebiasaan jemaat-jemaat dan
masyarakat di Kepulauan Babar yang biasanya mengonsumsi jagung telah
beralih menjadi konsumen beras.la Hal ini menjadi ironis jika saat ini muncul
kecemasan tentang adanya "beras plastik". Diversifikasi pangan mesti
digerakkan oleh jemaat-jemaat melalui program-program kreatif, misalnya
gerakan sehari tanpa nasi, kampanye cinta makanan sagu, ubi-ubian, dll. Isu
ketahanan pangan mesti disikapi oleh gereja tidak semata-mata sebagai isu
ekonomi tetapi juga isu teologi: bagaimana misalnya mengupayakan
tumbuhnya spiritualitas keugaharian sebagai kultur ekonomi di kalangan
jemaat dan menjadi kultur gereia secara keseluruhan.

Kesepuluh: lss Tinghrngan Hidup dan Peran Advokasi Gereja


Mesti diakui dan disadari dengan sungguh-sungguh bahwa dalam
sepuluh tahun terakhir kita baik di Maluku, Indonesia dan belahan dunia lain
menghadapi pengalaman-pengalaman traumatik bencana alam yang
mengakibatkan kerusakan hidup manusia. Berbagai narural disaster seperti
tsunami, gempa bumi, letusan gunung api, banjir dan tanah longsor,
menyebabkan pengrusakan secara meluas. Semua kenyataan ini
mengingatkan kita tentang bumi yang sedang sakit, yang menghancurkan
seluruh ciptaan. Berbagai bencana alam yang berlangsung selama ini, seperti
persoalan ekologis yang mengancam masa depan umat manusia, cuaca
ekstrem, praktik-praktik pembangunan yang tidak ramah lingkungan,
termasuk gaya hidup sehari-hari yang masih jauh dari perilaku cinta
lingkungan, semisal pembuangan sampah di laut, merupakan tantangan
bersama yang butuh respons serius.
Dalam konteks Maluku dan Maluku Utara maka berbagai isu
lingkungan yang disikapi dalam berbagai sidang gerejawi menunjukkan
bahwa gereja sebagai lembaga terpanggil untuk melakukan tugas-tugas
advokasi lingkungan hidup secara terukur dan berkelanjutan. Secara
organisatoris, keberadaan Biro Hukum dan Advokasi GPM maupun Badan
Litbang GPM dapat bersinergi untuk merumuskan dan merencanakan
prograrn-prograrn advokasi lingkungan yang didukung oleh segenap potensi
warga gereja. Demikian pula program-program penyadaran yang
dideseminasikan rnelalui lembaga pendidikan formal gereja, termasuk melalui
wadah keluarga, unit, wadah-wadah pelayanan dan profesi dan ibadah-

xxxt
ibadah jemaat mesti terus ditingkatkan. Dalam kaitan ini teologi ekologi yang
merupakan kebutuhan gereja saat ini perlu dikembangkan dan dijemaatkan.

Kesebelas: Hub,ungan Oikoumene yang Dinamis


Sejak berdiri hingga saat ini, GPM tetap berkomitmen dan berperan
dalam arak-arakan gerakan oikoumene di aras lokal, nasional bahkan
internasional. Tercatat bahwa ada kader-kader GPM yang turut aktif dalam
gerakan oikoumene tersebut, salah satunya adalah Pdt' Dr' M'M' Hendriks-
Ririmasse. Keterlibatan GPM dalam gerakan oikoumene menuniukkan
bahwa GPM merupakan gereja yang terbuka dan terus mengupayakan
kebersamaan antara gereja-gereja dengan berbagai denominasinya' Gerakan
dimaksud tentu bukan saja di level elite tetapi juga termanifestasi dalam
berbagai program pelayanan hingga ke jemaat-jemaat. Pada lain pihak, tidak
dapat dinafikan pula bahwa ada berbagai kendala yang dihadapi dalam arak-
arakan oikoumene tersebut. Relasi antargereja/jemaat yang sering diwarnai
ketegangan bahkan konflik tentu membutuhkan penyikapan yang bijaksana.
Demikian pula tebangkitan gerakan Pentakostalisme dan Kharismatik perlu
disikapi dengan komunikasi eksternal sekaligus penataan internal gereja
sehingga umat memiliki kedewasaan dan kematangan daiam menyikapi
fenomena tersebut.

Keduabelas: Pentingnya Perencanaan Pelayanan Gereja yang Berkelaniutan


PIP-RIPP menempatkan dimensi perencanaan dalam rencana
Allah. Namun itu sama sekali tidak mengurangi kesungguhan kita untuk
terus-menerus membenahi perspektif perencanaan, kinerja dan regulasi
sebagai tanda kita turut bekerja bersama A1lah dalam bingkai perspektif
rekan sekerja Allah. oleh karena itu, perumusan PIP-RIPP 10 tahun ke
depan selain memperhatikan aspek kesinambungan dengan sejarah pada
masa-masa sebelumnya, tetapi juga membutuhkan kecakapan dan ketajaman
membaca realitas sosial yang terus berubah dan kecenderungan-
kecenderungan utama di masa depan.
Menurut hemat saya, PIP/RIPP GPM merupakan suatu kreasi yang
cerdas, mengingat kita diajak untuk merencanakan pelayanan yang benar-
benar dapat menjawab kebutuhan dan masalah riel atau malah urgen.
Renstra dan Prolita (klasis) pun menjadi suatu produk perencanaan yang
cerdas sehingga perlu diejahwantahkan secara lebih konsisten.
Konsistensinya terukur pada bagaimana penyiapan sumber daya manusia,
dalam hal ini para penyusun Renstra |emaat dan Prolita Klasis yang andal.
Dengan demikian, kita tidak bisa menafikan perlunya serangkaian pelatihan
yang komprehensif. Aspek ini menjadi perlu karena penetapan Renstra
femaat mengindikasikan bahwa pelayanan gereja harus ditopang oleh: [1]

xxxii '
Dukungan kelembagaan dimana semua perangkat pelayanan gereja harus
berjalan bersama untuk melaksanakan semua program pelayanan; 121
Dukungan anggaran sebagai indikator kemampuan pembiayaan pelayanau
[3] Dukungan paftisipasi jemaat sebagai elemen pokok, yakni perwujudan
imamat am orang percaya dan kesatuan tubuh Kristus yang saling
mendukung dan menopang satu dengan lainnya.
Memang hampir tidak mungkin, jika tidak hendak dikatakan
mustahil, untuk dengan "pasti" dapat memprediksi masa depan. Tetapi asumsi
itu jangan sampai membuat kita longgar selonggarnya sehingga kehilangan
fokus. Perencanaan ini terkait pula dengan kemampuan kita menganalisis
wilayah-wilayah persoalan dan persoalan-persoalan wilayah, isu-isu global
s€perti kemiskinan dan keadilan sosial, isu lingkungan hidup, isu oikoumenis,
radikalisme hubungan antaragama, tetapi juga perubahan masyarakat.
Ketajaman analisis itu selanjutya terekam dalam dokumen perencanaan
strategis yang dipedomani dan dihidupi oleh jemaat-jemaat bahkan gereja
secara keseluruhan.
Problematika di atas tentu tidak dapat diselesaikan dalam waktu
dekat dan oleh gereja sendiri. Diperlukan strategi dan kerja sama yang
berkelanjutan untuk menyikapi persoalan-persoalan tersebut dengan bijak.
Di sinilah diperlukan soliditas di antara kita semua. Soliditas antara jemaat-
iemaat, klasis-klasis, antara pelayan dan umat. Termasuk relasi dan kerja
sama dengan pemerintah, swasta dan berbagai pihak lainnya. |ika kembali ke
akar budaya kita, maka kita membutuhkan kerja "masohi", "maren", "maano"
untuk bahu-membahu membangun masa depan bersama yang lebih cerdas.

ARAI(3T{-ARAKAN OIKOI'MENIS MENTIIJ T4ASA DEPAN BERSAMA:


SEBUAH HARAPAN DI SEPI'LUH WINDUHIDUP MENGGEREIAGPM
Sidang Raya PGI tahun 2014 di Nias mengisyaratkan tema: "Tuhan
Mengangkat Kita dari Samudera Raya." Tema itu erat terkait dengan tema
Sidang Raya Dewan Gereja-gereja se-Dunia di Busan, Korea (2013) yakni:
Gd of Life, Lead Us to /ustice and Peace, dan tema Sidang Raya Dewan
Gereja-gereja se-Asia di |akarta (Mei 2015): Iiuing Together in The
Households of God. |ika tema PGI direfleksikan lebih dalam maka hal itu
menyentuh tiga isu mendasar, yakni antara kehidupan dan kematian,
penoalan identitas dalam relasi diri dengan sang lain, dan relasi gereja dan
dunia. 15 Selanjutnya, tema Dewan Gereja-gereja se-Asia (CCA) hendak
menandaskan pentingnya hidup bersama dalam semangat pertetanggaan
(aeighborhood) dan keramahtamahan (hospitality) yang saling mengasihi.
Mencuatnya isu household (rumah tangga) mengisyaratkan adanya
perubahan dan pergeseran dalam memahami unit sosial. Isu ini memang
ridak menafikan unit keluarga sebagai basis analisis, tetapi sekaligus

xxxilt
menegaskan bahwa ada perubahan-perubahan yang serius dengan institusi-
institusi keluarga, dan ketika konsep householdhendak dikedepankan maka
itu sekaligus menggotong isu-isu perubahan institusi sosial yang cenderung
merespons kebutuhan ekonomi dan materi.16
Cengkeh yang ditanam 80 tahun lalu mungkin telah kering
dan/atau berguguran daun-daunnya. Bahkan mungkin bukan cengkeh lagi
yang menjadi primadona negeri ini sekarang. Ada berbagai tanaman lain
yang menyiratkan pentingnya diversifikasi tanaman. Begitu pula orientasi
pembangunan saat ini sedang diarahkan ke laut untuk mengelola anugerah
Tuhan yang tersedia di lautan kepulauan Maluku yang luas dan kaya. Hal ini
jrg" memberi tanda tentang pentingnya rnempertimbangkan kembali
orientasi berteologi dan bergereja kita saat ini. Tentu kita tidak sekadar
mengikuti trend yang sedang terjadi luar sana, tetapi gereja juga mesti
responsif terhadap perubahan yang sedang terjadi. Delapan puluh tahun ber-
GPM tentu tidak membuat gereia menjadi berpuas diri, lengah apalagi
berputus asa. Seperti kata Yesus kepada murid-murid di pantai Genezaret.'
"bertolaklah ke tempat yang lebih dalam, maka kamu pasti akan menangkap
banyak ikan" (Luk. 5:4). Saya kira ajakan ini penting kita pertimbangkan dan
responi lebih sungguh. Kita perlu bertolak lebih dalam lagi. Apa yang sudah
kita capai hingga 80 tahun ini? Apa saja tantangan dan peluang yang perlu
diresponi dengan kesediaan bahkan dengan iman bahwa Tuhanlah yang yang
menyrruh kita bertolak lebih dalam? Kita harus terus bergerak, sebelum pada
akhirnya jala kita akan menangkap banyak ikan. Sama seperti cengkeh yang
berbuah dan mewangi karena kita setia menanam dan menyiram, demikian
pula jaring yang penuh dengan hasil tangkapan karena kita taat dan setia
pada perintah Yesus: "Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam". Tuhan
memberkati kita semua.

I]\,IAN [EMAAT: MERAMBAH IATAN BARU TEOLOGI GEREIA


Saya ingin mengakhiri pikiran pengantar ini dengan sebuah refleksi
teologis. Apa yang menarik dari GPM selama 80 tahun bergereja di Maluku?
Apakah GPM hanya sebuah organisasi? Apa arti GPM bagi jemaat-jemaat?
Apakah GPM hanya suatu aliran keagamaan yang secara kebetulan hadir
dalam kehidupan jemaat-jemaat? GPM sebetulnya bukan gereja yang
berttrmbuh karena organisasi yang kuat. Di GPM, orang tidak setia kepada
organisasi (walau itu perlu sense of belonging) tetapi orang belajar untuk
setia kepada Tuhan. Tetapi mereka memahami gereja sebagai cara Tuhan
menyatakan diri-Nya. Organisasi hanya alat dan bukan kekuatan gereja.
Kekuatan gereja terletak pada Roh Kudus.
Hal itu sungguh historis. Warga jemaat serta para penginjil dan
guru jemaat yang diutus pada awal abad ke-20 mengalami dua masa dimana

xxxiv
pada dekade awal mereka adalah bagian dari Gereja Negara yang mendukung
penuh pelayanan GPM. Tetapi kemudian ketika era itu berakhir, GPM harus
mengurus dirinya sendiri. Ketika banyak teolog GPM berkata ini lonceng
kematian bagi GPM, dipastikan tidak ada guru jemaat atau para penginjil
yang meminta diberhentikan dari GPM karena tidak didukung secara
finansial oleh Gereja Negara pada waktu itu. Apa yang rnenarik di sana? Para
teolog yang meramalkan kematian GPM pasca Gereja Negara sama sekali
tidak memperhitungkan aspek penting dan fundamental {ari gereja, yaitu
Kuasa Tuhan. Baru beberapa dekade sesudah tahun 1960an orang sadar
bahwa ada inuisible hand yang menatang gereja, yaitu "tangan Tuhan".
Warga jemaat, guru jemaat dan penginjil yang berkarya saat itu mengalami
sungguh-sungguh campur tangan Tuhan dan mengaku betapa Tuhan tidak
melepaskan tangan-Nya dari GPM. Ketika "tangan dunia" lepas, tangan
Tuhan tidak pernah lepas.
Selama delapan dekade GPM seharusnya sadar untuk lebih Percaya
pada kuasa Roh Kudus yang menuntun dan mengajar gereja ini tentang apa
arti Tuhan sebagai Kepala Gereja. Refleksi kehidupan Israel dalarn Alkitab
memperlihatkan bangsa ini sangat sadar sejarah. Kredo mereka tentang
Tuhan dibangun atas dasar kesadaran mereka tentang Allah yang menyertai
Abraham, Ishak dan Yakub. Mereka berhenti menyembah Baal unzuk
menyembah Allah yang memperkenalkan diri kepada, Musa. Menyembah
Allah yang adalah Subyek yang masih terus bekerja serta karya Roh Kudus
sejak Yesus hingga Pentakosta dan seterusnya hingga saat ini adalah dua
dasar fundamental untuk gereja di mana pun yang menyadari aspek historis
dari teologi. Teologi itu harus historis, sebab basis teologi adalah iman jemaat.
Iman adalah respons terhadap wahyu Allah dalarn ketegangan dengan
konteks yang historis. Gereja mengakui bahwa iman tanpa perbuatan adalah
mati. Apa artinya itu? Artinya iman itu punya dimensi sejarah. Ia bernrmbuh
dan berakar dalam sejarah. Pertanyaan itu sama dengan pertanyaan mengapa
Allah harus menjadi manusia? Sebab hanya dengan menjadi manusia Allah
menjadi konkret dan firman-Nya dapat disaksikan. Di situ kita juga mengerti
mengapa kita harus menjadi gereja. Dengan menjadi gereja, kita meniadi
obyek yang menunjuk kepada Kristus sebagai subyek yang berkarya dengan
Roh-Nya di dalam gereja.
Pertanyaan ini penting sebab teologi adalah jantung gereja. Teologr
itu menentukan masa depan gereja. Teologi itu hidup dan berakar dalam
femaat. Para penginiitr, guru jemaat, dan pendeta tidak sala berbicara kepada
iemaat tentang Tuhan dan iman, tetapi mereka mengalami Tuhan itu
bersama-sama jemaat-jemaat yang mereka layani. Itu sebabnya walau GPM
hampir kolaps karena kondisi keuangan pasca era Gereja Negara,, tetapi Roh
Kudus tidak pernah kolaps di tengah gereja ini. Delapan puluh tahun dalann
proses bergereja telah mengantar GPM sebagai bagian dari tradisi masyarakat
dimana jemaat-iemaat iru bertumbuh. GPM tidak hanya sekadar suatu
organisasi apatagl "gereja" Per se yang dimengerti banyak orang dari diktat-
diktat kuliah yang dipelajari di sekoiah-sekolah teologi. |emaat-jemaat kita
telah beriman dengan format teologi mereka sendiri' Iman yang mereka
alami adalah basis dari teologi mereka. Itu sebabnya yanS kita perlukan
sekarang adalah bagaimana mengartikulasi iman dan teologi mereka menjadi
teologi lereja dalam konteks dan ruang tertentu, yang dari sana menjadi basis
untuk merumuskan teologi gereja (GPM).
Mengapa kita butuh teologi gereja (GPM)? Itu bukan berarti kita
tidak punya teologi. Tetapi bagaimana pengalaman iman jemaat dan pera
pelayan tentang Tuhan yang berkarya dalam kuasa Roh Kudus-Nya meniadi
Lasis dari teologi gereja. Secara teoretis, itu baru teologi yang benar.
Ajaran
gereja harus bersumber dari teologi gereja (GPM)' Delapan puluh tahun GPM
h"rus meniadi momen penting bagi GPM untuk merumuskan secara benar
teologi GPM, suatu teologi yang terlahir dari pergulatan iman jemaat-jemaat
kita. Roh Kudus berbicara tidak hanya dalam bahasa Ibrani dan Yunani,
tetapi juga dalam bahasa-bahasa lokal masyarakat Maluku. Ia berbicara dalam
bahasa Yamdena, Fordata, Melayu Ambon, Lease, Seram , Buru' Kei'
dstnya'
Mengerti tentang Tuhan dan karya-Nya tidak cukup hanya dengan mengerti
jemaat-
bahasa Ibrani dan Yunani, sebab toch sejarah membuktikan bahwa
jemaat kita menjadi percaya karena karya Roh Kudus melalui pekerjaan para
guru jemaat dan guru injil. Dengan mengatakan itu, bukan berarti bahwa
Ibrani dan Yunani tidak penting. Delapan puluh tahun GPM harus mampu
membangkitkan kebanggaan sekaligus merupakan beban yang harus kita
pikul bersama untuk merumuskan teologi GPM yang terbukti menjadi ajang
tuhan mewahy-ukan diri-Nya kepada gereja ini, menolong dan menyertai
gereja ini melewati berbagai tantangan yang pernah dihadapinya' GPM harus
berani memikul beban itu supaya dari pengalaman bergereja selama deiapan
puluh tahun, GPM tidak hanya menjadi acuan bagi gereja-gereja Belanda
i"r,"rrg bagaimana menyelesaikan masalah dan mendorong pembaruan
dalam kehidupan bergereja. Tetapi GPM juga harus menyediakan alternatif
berteologi, bahkan di luar praktik berteologi para rasul maupun gereja mula-
mula, dalam rumusan teologinya yang dapat disebarkan kepada semua gereja
di sepanjang sejarah dan temPat. GPM harus berani bersaksi tentang siapa
Tuhan dan Kristus serta Roh Kudus yang telah menyeftainya selama ini. |ika
GpM menyangkalinya, maka GPM membunuh masa depannya sendiri. oleh
karena dengan cara itu ia menyangkal peran Roh Kudus dalam seiarah
kehidupannya selaku gereja.
Di situ kita berjumpa dengan keluarga sebagai basis bergereja kita.
Seluruh ibadah GPM berpusat dan dilaksanakan dalam rumah jemaat, kecuali

xxxvi
ibadah minggu. Alkitab menceritakan bagaimana Tuhan memanggil
Abraham; ia meninggalkan semua miliknya untuk pergi ke suatu tempat yang
juga tidak ia kenal. Tetapi Abraham memelihara imannya dalam hidup
rumah tangga dan seisi rumahnya; bagaimana ia mendidik anak-anaknya
untuk tetap percaya pada janji Tuhan kepadanya, hingga geuerasi kesekian
barulah janji Tuhan itu digenapi oleh Tuhan satu demi satu. Jemaat-jemaat
kita membaca bagian itu dan percaya serta melakukannya. Itu sebabnya di
negeri-negeri, matarumah adalah akar dari persekutuan sosial keagamaan
GPM. Orang tua memelihara iman itu dan mengajarkannya turun-temurun
sebagai cara memelihara berkat yang dijanjikan Tuhan kepada
keluarga/matarumah.
Di situ common-sense penting. Clifford Geertz (seorang antropolog
Amerika) menyatakan bahwa masuknya Islam dan Kekristenan tidak mampu
mengubur common-sense masyarakat di Nusantara. Itu bukan lalu berarti
Kekristenan Maluku hanya sebentuk "kue lapis". Common-sense itu tanda
dari akal budi yang fungsional. Menurut Geertz, orang bisa hidup tanpa
agama dan ilmu pengetahuan, tetapi orang tidak bisa hidup tanpa conmon-
sense. lemaat-jemaat kita menyerap gagasan-gagasan dalam Alkitab melalui
comrnon-sense yang mereka miliki. Itu sebabnya walau dari segi strata
pendidikan warga jemaat di kampung-kampung maupun para guru Injil itu
tidak tinggi, tetapi pekabaran Injil meluas dan bertahan karena mereka
memelihara common-sensa
Common-sense itu terlahir bersama dengan manusia dan
menyertai hidup manusia. Secara teologis, common-sense adalah tanda dari
Roh Kudus yang menuntun setiap orang untuk percaya kepada Tuhan. Di
situ benar jika dikatakan bahwa teologi tidak akan pernah sama dengan
rasionalitas. Ia hanya akan berkaitan dengan pengasahan rasionalitas ketika
teologi menjadi suatu refleksi kritis dan konseptual (abstrak) atas sesuatu;
tetapi ia akan tetap merupakan teologi dan tidak pernah sama dengan
rasionalitas. Itu sebabnya McKay, seorang teolog, menyatakan bahwa teologi
Kristen yang pertama itu terumus sepefti pernyataan Petrus, ketika ia harus
menjawab pertanyaan Yesus tentang siapakah Dia. Tetapi teologi itu buyar
bersama penyaliban dan kematian Yesus di Golgota. Teologi itu baru bangkit
kembali ketika dinyatakan oleh dua murid yang berjaian ke Emaus dan
menyadari bahwa mereka bertemu Yesus, sang Guru yang hidup, dalam akta
pemecahan roti.
Dalam konteks itu, GPM tidak sekadar gereja atau Kekristelan per
se tetapi GPM telah menjadi identitaskultural tersendiri bagi jemaat-jemaat
kita. Pendet Dr. Nico Radjawane pernah berkata bahwa sejak tahun 1970an
pelayanan GPM dalam melaksanakan pelayanan jemaat dan pembaruan
bergereja menjadi acuan bagi gereja-gereja di Belanda untuk memecahkan

xxxvil
persoalan-persoalan bergereja yang mereka alami di sana. Tetapi yang
mungkin luput dari transformasi itu adalah kesadaran untuk mengakui
bahwa teologi GPM iru bersangkut-paut dengan common-sense orang di
desa, dusun, negeri dimana jemaat-jemaat terbentuk. Itu sebabnya teologi
yang dipelihara di jemaat-jemaat GPM adalah teologi yang fungsional, yang
menjadi dasar untuk orang mengambil keputusan atas seluruh persoalan
hidupnya. Ungkapan yang sering didengar adalah "kerja saja, kerja yang baik
dan sungguh-sungguh, selebihnya serahkan pada Tuhan, nanti Antua akan
melengkapi apa yang kurang." Ini iman yang lahir dari common-sense
masyarakat setempat.
Delapan puluh tahun Gereja ini mengalami Tuhan Kepala Gereja
dalam pergulatan kehidupan jemaat yang konkret, suatu basis yang kokoh
bagi perumusan teologi GPM. Jika Israel bersaksi tentang Tuhan yang
menurunkan manna dan burung pu),uh dari langit saat mereka memasuki
tantangan padang gurun, maka jemaat-jemaat kita mengalami Tuhan yang
mengeluarkan laor menjelang musim timur di pulau-pulau karang sebagai
persediaan di saat musim timur yang ganas. Mereka berjumpa dan mengusir
setan yang diusir Yesus dari orang yang kerakusan di Garesa, dari ujung
Tifure sampai Wetar dalam nama Yesus. Mereka mengalami dan percaya
bahwa "barangsiapa yang meninggaikan keluarganya demi nama-Ku, maka ia
akan memperoleh seratus kali lipat dari apa yang dimilikinya sekarang". Itu
sebabnya para pelayan GPM rela meninggalkan air tawar untuk minum air
payau, rela meninggalkan istri dan anak-anak untuk melayani jemaat yang
jauh dan terpencil. Tetapi Tuhan memelihara iman mereka dengan
memberikan masa depan bagi anak-anak penginjil, guru jemaat, tuagama,
penatua dan diaken yang sungguh-sungguh dengan imannya itu. |emaat-
jemaat kita mengalami iman yang konkret ketika mereka bergumul meminta
air keluar dari gunung batu cadas, ketika mereka berdoa supaya lola keluar
dari pesisir batu dan karang. Mereka tidak hanya membaca kisah Stefanus
yang mati dibunuh karena imannya, tetapi jemaat-jmaat kita di Kisar, Seram,
Buru dan tempat-tempat lainnya mengalami siksaan yang hebat pada masa
pendudukan Jepang. Mereka mati demi iman yang dikenal, dan dipercaya
dan dialaminya melalui pelayanan GPM. Kematian mereka adalah kematian
Kristus, kematian Stefanus, yang harus mati supaya tumbuh benih yang baru.
GPM juga mengalami dampak konflik dan kerusuhan kemanusiaan tahun
1999 dengan segala akibatnya. Banyak jemaat dan klasis tergusur, tetapi tidak
punah. |emaat benar-benar menyaksikan kebesaran karya Roh Kudus yang
ditindas, dianiaya karena imannya itu, tetapi tidak kehilangan pemeliharaan
Tuhan, Sang Kepala Gereja. Di aras itulah GPM bertumbuh dan berbuah.
Delapan puluh tahun GPM bergumul dengan pluralisme. Pastori
adalah locus berharga tempat perjumpaan jemaat dengan pelayannya yang

xxxviii
berasal dari subetnis lain. Guru jemaat dan penginjil Ambon-Lease, Seram,
Buru Saumlaki dan Kei, memencar melalui SK Mutasi memasuki jemaat-
iemaat yang bukan negeri asalnya, sehingga menumbuhkan keterbukaan
terhadap pluralisme. Siapa yang tahu dan mampu memprediksi bahwa dari
kebijakan institusi (BPH Sinode saat itu) itu ternyata memperkuat cara
pandang warga GPM tentang pluralisme, terutama pluralisme di dalam
gereja. Orang Maluku mengenal pluralisme sebagai peradaban abad ke-20 di
pastori jemaat. Sekaligus dengan cara itu meruntuhkan cara pandang Kaemer
)rang pernah melihat potensi perpecahan di GPM karena realitas
keberagaman subetnis. Sekali lagi Kaemer tidak memperhitungkan tangan
Tuhan melalui Roh Kudus yang menuntun gereja menjalani misi-Nya.
Kraemer lupa bahwa Roh Kudus tidak pernah memecah tetapi menyatukan.
Apa artinya itu? Artinya memimpin gereja ini membutuhkan hikmat Roh
Kudus supaya melalui cara-cara manusiawi Allah menyatakan diri dan
penyertaan-Nya. GPM tidak hanya berbicara tentang Roh Kudus yang
menyatukan, tetapi juga mengalami karya-Nya yang menyatukan itu.
Di situ nyxa GPM telah menjadi bagian sejarah Kekristenan di
Maluku, pada masa lalu, sekarang dan masa depan jemaat-jemaatnya. Bahkan
melalui pelayanannya, GPM telah membuka tabir baru bagi budaya dan masa
depan masyarakat. Itu sebabnya tidak berlebihan jika para teolog Belanda
mengakui peran para penginjil dan guru jemaat GPM sebagai pembawa-
pembawa panji peradaban dan kebudayaan di tengah dunia.
Usia 80 tahun mengajarkan GPM bahwa masa depannya tidak akan
pernah ditentukan oleh siapapun, termasuk teologi apapun yang dia hasilkan,
rlain oleh respon dirinya terhadap pemeliharaan Tuhan yang dipercayainya.
Kesetiaan untuk tetap menanam, menyiram sambil berdoa mengharapkan
pemrmbuhan dari Tuhan akan menentukan masa depan gereja. Di situ
rerletak teologi GPM, yang menentukan arah pembaruan gereja ke depan.
Pada akhirnya, hubungan gereja dengan lembaga pendidikan teologi harus
dinyatakan sebagai berikut: bahwa pergulatan GPM bersama Tuhan-Nya
fang konkret itu harus menjadi obyek yang diteliti, direfleksikan,
disistematisasi dan dipertanggungjawabkan secara kritis dan rasional supaya
dari sana lahir teologi GPM yang pertama-tema diajarkan di lembaga
peodidikan teologi miliknya dan disebarkan sampai ke ujung bumi sebagai
bentuk pertanggungjawaban GPM kepada Tuhan yang hidup. Di situ GPM
menjadi bagian dari gereia yang universal, yang dari padanya semua orang
belajar.
Terima kasih kepada semua kontributor yang telah memberi
*rmbangan tulisan dalam buku ini. Saya yakin, tulisan-tulisan yang ada ini
adalah salah satu "buah" berteologi GPM. Ada banyak pemikir dan teolog
yang berkontribusi. Di antara mereka ada warga jemaat, majelis jemaat,

xxxtx
pengasuh SMTPI dan lain-lain. Ada pula "para pecinta GPM", yaitu rekan-
rekan pimpinan umat beragama di Maluku, kawan-kawan akademisi Muslim,
dan saudara-saudara kelompok Kharismatik serta Gereja dalam lingkup PGI
dan/atau GPI.
Pada suatu masa tertentu, pada dekade-dekade berikutnya, tulisan-
tulisan ini
akan menjadi bahan evaluasi dan deskripsi mengenai sejarah
perkembangan pemikiran teologi di GPM. Apalagi kawan-kawan pelayan
dari jemaat dan klasis ternyata mampu menceritakan secara lugas dinamika
gumulan teologi kontekstual dalam bingkai persaudaraan gerejawi dan
agama-agama. Suatu kepantasan jika itu dikatakan sebagai semacam "galian
harta terpendam" yang hampir hilang oleh panasnya api konflik
kemanusiaan. Kini cerita itu telah menjadi cerita baru dalam skala makro
unfuk apa yang disebut teologi. Shalom.

CATATANAKHIR;
I Hendrik Kraemer, From Missionfreld to Independent Church. Report on a
decisive decade in the growth of indigenous churches in Indonesia (London:
SCM Press, 1958).
2
A.N. Radjawane, "Islam di Ambon dan Haruku" dalam W.B. Sidjabat (ed.),
Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini (lakarta: BPK Gunung Mu1ia, 1964),
hlm.71-85.
3 Saya sengaja memilih menggunakan istilah "Kepulauan Maluku" untuk
merangkul entitas Maluku dan Maluku Utara yang dilihat sebagai entitas
sejarah dan budaya ketimbang entitas politik pemerintahan semata.
a Memang jika dipahami maksud Kraemer dengan matafora "Agama
Cengkeh" ini lebih bernada sinis. Baginya, agama Ambon terlalu terikat
dengan adat dan tradisi, dan nilai hakiki Kekristenannya tidak jelas. Ini yang
kemudian disebut "Agama Ambon". Dalam tulisan ini saya tidak membahas
polemik ini, selain karena sudah dibahas pada tulisan-tulisan lain, termasuk
tulisan Radjawane di atas, diskusi tentang tema ini sesungguhnya sedang
memasuki sebuah ruang sosial budaya baru, khususnya dalam kajian
posrcolonial yang lebih positif mengapresiasi adat dan tradisi dan tidak serta-
merta mencapnya sebagai kafir dan sinkretis.
sMetafora cengkeh ini juga digunakan Pdt. Wim Davidz dalam tulisannya:
"Bilakah Cengkih-Pala Berbunga Lagi?" dalam Sri Wismoady Wahono, P.D.
Latuihamalo, Fridolin Ukur (eds.), Tabah Melangkah - Ulang Tahun ke-50
STT |akarta (|akarta: Sekolah Tinggi Theologia ]akarta, 1984), hlm. 272-283.
Menurutnya, "cengkih-pala" merupakan sebuah simbol perjuangan untuk
mendapatkan harga diri/martabat manusiawi. Di dalam simbol itu
terkandung daya yang mendoroug dan menggerakkan pencapaian suatu
identitas yang utuh, bulat, dan penuh. Di dalamnya juga terkandung suaru

xl
misi untuk melakukan transformasi terhadap lingkungan hidup, baik yang
alamiah maupun manusiawi. ]adi rumusan judul dalam bentuk pertanyaan
sedemikian dimaksudkan lebih sebagai suatu desakan yang menantang
perjoangan untuk mencapai tingkat kedewasaan yang ditujui. Oleh sebab
ketika cengkeh-pala memasuki fase berbunga, itu berarti tidak lama lagi tiba
saat pembuahan yang segera akan disusul masa panen. Ketika cengkeh-pala
berbunga, sukacita mulai meronai wajah para petani. Mereka mulai membagi
mimpi dan mengurai harapan.
r Wim Davidz, "Bilakah Cengkih-Pala Berbunga Lagi?" dalam Sri Wismoady
Wahono, P.D. Latuihamalo, Fridolin Ukur (eds-), Tabah Melangkah - lllang
Tahun ke-50 STT fakarta (Jakarta: Sekolah Tinggi Theologia |akarta,
1984),hlm 272-283.
; Saya beruntung pernah mendapat kesempatan melakukan riset terhadap
arsip dan dokumen beliau saat menyusun skripsi dan tesis pada UKSW
Salatiga.
t Sebuah disertasi sedang dikerjakan oleh |ohan Saimina (Departeman Sejarah
LJGM), yang hendak. menunjukkan kontribusi gereja (baca: GPM) dalam
Lritan dengan nasionalisme Indonesia.
e Frank L. Cooiey, Mimbar dan Tahta: Hubungan Lembagalembaga
Keagamaan dan Pemerintalzan di Maluku Tengah (|akarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1987).
10Raja |uli Aothony, "Kerusuhan Baru di Ambon?" 14 September 2011.
Http://nasional.kompas.comlreadl2Dlll09ll4/04245491/Kerusuhan.Baru.di.A
mbon
ir Pendiri gereja di sini merujuk kepada para pelayan dan warga gereja yang
menyiapkan segala sesuatu menjelang 6 September 1935. Tentu tidak
bermaksud menafikan sebuah kebenaran hakiki bahwa pendiri gereja ini
adalah Yesus Kristus sendiri. Namun hendak dikedepankan bahwa Allah
turut memanggil dan bekerja sama dengan pelayan dan umat-Nya selaku
rekan sekerja untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di dunia,
thuzusnya di kepulauan Maluku.
uTentang pergulatan GPM dalam rentangan sejarahnya hingga usia ke-80
tahun, kita dapat mencennati berbagai tema dan subtema pembinaan yang
mencerminkan pergulatan dan respons aktual gereja terhadap berbagai isu
fang mengemuka serta sikap gereja terhadap isu-isu tersebut, yang semuanya
diwujudkan dalam program-program pembinaan dan pelayanan di aras
iemaat, klasis dan sinodal.
13
Sherwood G. Lingenfelter dan Marvin K. Mayers mengemukakan bahwa
Yezus belajar bahasa dan budaya Yahudi (bnd. Luk. 2:46). Anak Allah belajar
bahasa, budaya dan cara hidup masyarakat-Nya sendiri selama tiga puluh
tahun, sebelum Ia memulai pelayanan-Nya. Ia mengetahui segala sesuatu
tentang kehidupan berkeluarga dan masalah-masalah yang mereka hadapi.
u Ternyata soal dominasi beras dalam pangan di Maluku bukan saja muncul
pada rezim Orde Baru. Frank Cooley juga mencatat cerita bahwa pada zaman

xli
kolonial Belanda praktik membagi-bagikan beras kepada siswa juga sudah
dilakukan sebagai cara agar siswa tersebut rajin ke sekolah. praktis ketika
praktik membagi-bagikan beras itu dikurangi atau dihentikan, maka para
siswapun jarang ke sekolah. Lihat Frank Cooley, Mimbar dan Tahta.
is Untuk gambaran lebih
rinci dapat dibaca pada buku Ruth Kadarmanto dkk
(penltrnting), Tuhan Mengangkat Kita Dari Samudera Raya. Sepuluh Bahan
Pemahaman Alkitab Menjelang Sidang Raya ke-16 persekutuan Gereja-
Gereja di Indonesia (fakarta: BPK Gunung Mulia, 2013).
16 Selain merupakan isu teologis,
istilah "household' juga merupakan
diskursus yang intens dalam ilmu-ilmu sosial. Unruk gambaran lebih detail
lihat Robert McC. Netting, Richard R. \ /ilk and Eric f. Arnould, Households.
Comparative and Historical Srudies of The Domestic Group (Berkeley:
University of California Press, 1984).

xlii

Anda mungkin juga menyukai