Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gereja di Papua yang dikenal sebagai Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI TP)

mulai disebut sebagai suatu gereja mandiri yaitu melalui sidang sinode umum yang pertama

tanggal 16-29 Oktober 1956 di Abepura.1 Kemudian dinyatakan resmi berdiri pada tanggal 26

Oktober 1956. Para pendiri gereja ini menyebut gereja yang berdiri setelah satu abad pekabaran

Injil itu sebagai Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua (GKI-TP).2

GKI Papua menganut sistem koinonia dan juga sistem Presbiterial-Sinodal sebagai

struktur dasar GKI-TP. Koinonia selalu tertuju pada Hakikat GKI-TP sebagai sebuah

persekutuan. Persekutuan ini pertama-tama mengenai relasi iman dengan Tuhan yang

diwujudnyatakan melalui persekutuan dengan sesama umat percaya. Sedangkan Presbiterial

Sinodal merupakan implikasi Koinonia dalam pola dan tata pemerintahan gereja. Peran tua-tua

dalam jemaat penting untuk menjalankan mekanisme di depan jemaat, dan peranan ini

berlangsung dalam perinsip kolegial. Pola Presbiterial Sinodal memiliki beberapa makna,

pertama, Jemaat-jemaat tidak berjalan sendiri-sendiri melainkan berada dalam suatu gerak

berjalan bersama (sun hodos) dalam klasis-klasis dan satu sinode. Kedua, Pengelolaan dan

penatalayanan kehidupan gereja atas dasar kasih yang mempersekutukan, membaharui dan

membangun. Ketiga, Hubungan yang selaras, serasi, utuh, terpadu, dan dinamis dalam

1
Kunrad Kreeuw, Perkembangan Tata Gereja GKI 1956-1977, (Jayapura, 1982), 2.
2
W. Maloali, Perkembangan GKI, Makalah Untuk Semiloka 49 Tahun GKI TP, (Jayapura 2005), 3.
penyelenggaraan pelayanan gereja selalu dibangun dan dikembangkan antara jemaat, klasis

dan sinode.3

Menurut Sostenes Sumihe penamaan GKI TP ini sarat dengan makna teologis, terutama

dalam kerangka misi gereja.4 Hal ini terungkap dalam sebutan-sebutan “gereja”, “Kristen”,

“Injili”, “di” dan “Tanah Papua”. Pemahaman gereja sebagai persekutuan orang percaya, yang

terbentuk karena panggilan Tuhan, memiliki dasar Alkitabiah yang kuat dan melahirkan

hakikat pelayanaan gereja yang Koinonia, Marturia, dan Diakonia. Ketiga hal tersebut

merupakan satu kesatuan yang utuh, Kata Kristen dijabarkan dari istilah “Kristus” dan itu

menunjukkan kepada seseorang atau lebih yang mengikut Kristus (Kis 11:26). Kristus adalah

pusat dari gereja ini. Dalam tata gereja GKI-TP ditegaskan: “Yesus Kristus adalah Tuhan dan

kepalanya yang memerintah dan memelihara gereja dengan Firman dan RohNya” gereja ini

adalah milik Yesus Kristus dan Dia adalah Tuhannya, Dia memimpin, memerintah dan

memelihara gerejaNya.

Kata Injil itu sendiri bermakna “Kabar Baik”, “Berita Kesukaan”. Maka kata sifat “Injili”

itu mau menjelaskan sifat atau karakter gereja itu yakni bahwa pada diri gereja itu ada nilai-

nilai Injil (kebaikan, sukacita, damai-sejahtera) dan kehadirannya merupakan sebuah kabar

baik atau berita kesukaan bagi mereka yang mendiami Tanah Papua. Ini berarti melalui GKI,

jemaat atau masyarakat merasakan dan mengalami kebaikan, kesukaan dan kehidupan

sekarang ini. Jadi dengan kata “Injil” mau ditekankan sifat misioner gereja. GKI adalah gereja

yang misioner, gereja yang selalu dan selamanya terutus untuk menyatakan kebaikan, sukacita,

damai dan kesejahteraan bagi masyarakat di Tanah Papua.

Amanat dan tugas tersebut berlangsung dalam sebuah konteks, yaitu Tanah Papua.

Penekanan pada konteks ini diperjelas dan diperkuat oleh kata petunjuk di. Gereja itu ada di

3
Lih. Bagan Struktur GKI TP Secara Teologis.
4
S. Sumihe,50 Tahun GKI di Tanah Papua: Pelajaran Dari Perspektif Eklesiologi (Makalah),
(Jayapura 2006), 5.

2
Tanah Papua, gereja tidak berada di dalam sebuah ruangan hampa, melainkan di dalam sebuah

ruang yang disebut Tanah Papua. Tanah Papua itu bukan hanya sekedar tempat dimana gereja

itu ada, melainkan menerangkan realitas di dalam gereja itu menjalankan amanat dan misinya.

GKI Papua lahir, hidup, dan berkembang di tengah-tengah masyarakat kesukuan, adat

dan kebudayaan yang sangat majemuk. Sejak semula sampai kini gereja terus bergumul

menghadapi berbagai masalah yang berhubungan dengan adat-istiadat, tradisi dan kebiasaan

serta kepercayaan-kepercayaan suku. Peran penting gereja di Papua ialah selain memberitakan

injil kebenaran gereja juga berusaha menjawab persoalan pokok yang berhubungan dengan

kebudayaan sekitarnya.5

Untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut, sejak berdirinya GKI TP gencar

melakukan pelayanan-pelayanan yang meliputi pendidikan dan persekolahan, kesehatan medis,

pelayanan kepada kaum wanita, kaum muda, Pendidikan Agama Kristen dan proyek-proyek

pembangunan ekonomi dst.

Pada tahun 1961 GKI TP melanjutkan ekspansi penginjilan di wilayah-wilayah lain yang

sulit dijangkau oleh pemerintah setempat seperti distrik Kurima yang sekarang sudah menjadi

Kecamatan Kurima dengan memiliki 22 kampung/desa. Proses Penginjilan mulai diberitakan

di Kurima oleh Pdt. M. Yoku. Dari Kurima pekabaran injil disebarkan di wilayah-wilayah

sekitarnya. Pada 1963 didatangkan dua orang suster zending Belanda, Ztr. Hanna Kessler dan

Martha Diehl. Kedatangan mereka untuk membantu Wamena dan Kurima dalam pelayanan

sosial dan kewanitaan.6

Penginjilan dilakukan tidak hanya terbatas pada pelayanan firman melalui mimbar

gereja, melainkan meliputi juga pelayanan sosial sebagaimana yang tampak di Jemaat Bethel

Polimo. Di Jemaat ini, pelayanan sosial dilakukan dalam bentuk pembangunan dan

5
H. Kramer, “Theologi Kaum Awam”, (Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 1995), 238-255.
6
F. Tometten, Di Belakang Gunung Terbitlah Terang, (Wamena: Klasis Balim dan “SAA” Apahapsili,
2000), 114.

3
penyelenggaraan Pendidikan, Kesehatan dan pemberdayaan jemaat. Dibidang pendidikan

dibangun Sekolah Dasar (SD) dan kursus baca, mula-mula untuk mendidik dan mempersiapkan

para penginjil dari masyarakat lokal. Dibangun juga pusat-pusat pelayanan kesehatan. Selain

itu Gereja juga mengajarkan keterampilan praktis kepada anggota jemaat.

Usaha-usaha tersebut menimbulkan kesadaran mengenai pentingnya pendidikan,

ketrampilan, dan kesehatan. Dari pendidikan, masyarakat dapat melek huruf bahkan beberapa

dari mereka dapat bersekolah hingga jenjang SMA bahkan ke tingkat perguruan tinggi di kota-

kota besar. Masyarakat juga secara mandiri mengolah lahan untuk ditanami tanaman dan

memelihara ternak. Sedangkan dalam bidang kesehatan masyarakat dapat memahami bahwa

penyakit yang diderita tidak serta merta hasil kutukan atau pengaruh kekuatan gaib (meskipun

demikian pemikiran tersebut masih sering terdapat dalam pemikiran beberapa masyarakat

dewasa ini). Sehingga ketika mengalami penyakit mereka langsung berkonsultasi dan

mendapat penanganan medis.

Ironisnya, pelayanan sosial yang sudah berlangsung pada Tahun 1961 sejak berdirinya

GKI TP di berbagai daerah termasuk Kurima, tampak redup belakangan ini khususnya di era

otonomi khusus, dimana sekolah formal dan klinik kesehatan sudah tidak di kelola lagi oleh

gereja sehingga diambil alih oleh pemerintah setempat. Padahal era ini dimana gereja hidup

dan berkembang menawarkan sistem pembangunan yang berorientasi langsung ke masyarakat

setempat yaitu sistem otonomi khusus daerah. Apalagi Papua diberikan otonomi khsusus

(Otsus) yang tentunya memiliki keistimewaan dari daerah-daerah lain di Indonesia. Patut

diketahui bahwa era otsus merupakan wujud perubahan paradigma pembangunan nasional dari

paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih adil dan

berimbang.

4
Dalam UU No.32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa otonomi daerah menggunakan prinsip

desentralisasi administrasi (administrative decentralization).7 Desentralisasi administrasi

dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber daya

keuangan sebagai upaya penyediaan pelayanan umum dari tingkat pemerintahan yang lebih

tinggi kepada pemerintahan lebih rendah. Pelaksanaan desentralisasi administrasi didasarkan

juga pada sebuah argumentasi bahwa pengelolaan oleh unit-unit pelayanan publik akan lebih

efektif jika diserahkan kepada unit yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Tujuan utama otonomi daerah adalah membebaskan pemerintah pusat dari beban-

beban yang tidak perlu dalam menangani urusan daerah sehingga daerah yang bersifat otonom,

yakni dapat menentukan caranya sendiri berdasarkan prakarsa sendiri secara bebas, sesuai

wewenang yang diserahkan kepada daerah.8 Otonomi khusus bagi Provinsi/Kabupaten/Kota

dan rakyat Papua juga memiliki tujuan yang sama yaitu, untuk mengatur dan mengurus diri

sendiri secara kreaktif dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas tersebut mencakup

kewenangan untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di wilayah Provinsi Papua,

memberdayakan potensi perekonomian, sosial, dan budaya yang dimiliki.

Jika hal itu disadari oleh elemen masyarakat termasuk didalamnya gereja maka

persoalan kemiskinan dan kebodohan segera dapat diatasi. Berdasarkan hal diatas, maka

sepatutnya ketimpangan masyarakat dari segala aspek kehidupan dapat diatasi oleh gereja

sebagai salah satu elemen masyarakat yang bertangungjawab untuk melakukan pemberdayaan

bersama pemerintah setempat dengan memanfaatkan sistem yang ada.

Gereja harus mampu membaca dan mengisi perannya dalam era perubahan masyarakat

yang terus berlanjut. Tanpa itu, gereja tidak bisa esksis dengan pewartaan karena

keselamatannya. Kemungkinan, cara pandang mengenai hakikat panggilan gereja dalam

7
H. Nuralam, Kesejahteraan Yang Tersandera: Penerapan Desentralisasi Fiskal di Papua
(Yogyakarta, Saujana 2011), 33.
8
H. Nuralam, Kesejahteraan Yang Tersandera: Penerapan Desentralisasi Fiskal di Papua…, 52-53.

5
konteks pemberdayaan masyarakat dan manajemen organisasi di era otonomi khusus membuat

gereja GKI TP tidak berdaya menghadapi perubahan yang terus terjadi.

Berdasarkan alasan itulah, maka perlu diteliti peranan gereja dewasa ini terhadap

pembangunan sumber daya manusia pada masyarakat yang nota benenya warga gereja Baithel

Polimo di Wilayah Kurima. Memahami sejauh mana gereja itu berperan dalam membangun

sumber daya manusianya maka dilakukan sebuah penelitian dengan judul “Sikap GKI TP

Klasis Balim Yalimo Kepada Jemaat Baithel Polimo Kurima tentang pemberdayaan

masyarakat di Era Otonomi Khusus.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana Sikap Gereja Kristen Injili Tanah Papua Klasis Balim-Yalimo terhadap

Jemaat Baithel Polimo di wilayah Kurima dalam konteks pemberdayaan masyarakat di

Era Otonomi Khusus?

1.3 Tujuan Penelitian

Mendeskripsikan dan menganalisis sikap GKI TP Klasis Balim Yalimo terhadap

Jemaat Baithel Polimo dalam konteks pemberdayaan masyarakat di Era Otonomi Khusus.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian akan peran gereja dalam peningkatan Sumber Daya Manusia menjadi penting

karena dengan demikian akan memberi bukti otentik dan pemahaman kepada Gereja Kristen

Injili di Tanah Papua terhadap betapa pentingnya pemberdayaan Sumber Daya Manusia dalam

peningkatan pembangunan di Kurima sehingga Gereja dapat bertumbuh dan diterima dengan

baik dalam masyarakat Kurima. Penulisan ini menjadi lebih baik dengan melihat judul dan

latar belakang masalah yang sinkron sehingga mudah dipahami akan masalah apa yang di bahas

6
dalam permasalahan penelitian, ditambah dengan penggunaan metode deskriptis kualitatif

dalam melakukan observasi serta wawancara langsung dengan responden sehingga data yang

ditemukan dapat menjadi sinkron dengan fakta sosial yang terjadi dalam masyarakat dimana

permasalahan itu akan diteliti.

1.5 Metode Penelitian

1.5.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah deskriptis dengan menggunakan metode

kualitatif. Penulisan metode kualitatif ini bertujuan untuk mendalami sebuah topik dan

dilakukan melalui pengumpulan, analisis, dan interpretasi data dari apa yang telah ditemui

dalam penelitian.9 Maka dengan Metode kualitatif yang didasarkan pada deskripsi yang jelas

dan detail, maka penyajian atas temuan penelitian akan sangat kompleks, rinci dan

komperhensif sesuai dengan fenomena yang terjadi. Oleh karena itu akan digambarkan secara

tertulis mengenai peranan pekabaran injil sebelum masuknya sistem pemerintahan Indonesia

dan pengaruh masuknya sistem pemerintahan Indonesia terhadap peran gereja dewasa ini.

1.5.2 Teknik Pengambilan Data

Dalam melakukan penelitian penulisan ini maka Teknik pengumpulan data yang

digunakan, yaitu:

1. Observasi. Dengan cara terjun langsung kelapangan penelitian untuk mengamati secara

langsung mengenai perkembangan kekristenan yang telah berlangsung dalam upaya

pengembangan Sumber Daya Manusia serta menganalisis melalui cara

9
John W. Creswell. Research Design, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Edisi ketiga
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar 2013), 261-262.

7
merekam/mencatat baik secara terstruktur maupun semistruktur menyangkut aktivitas

dalam upaya yang telah dilakukan oleh Kekristenan.

2. Wawancara (unstructured interview) Tak-Terstruktrur.10 Dilakukan dengan cara

face to face dengan responden. Namun hal-hal yang penting diperhatikan ialah

menciptakan pencitraan diri yang baik sehingga dapat memperoleh kepercayaan

responden dan penggunaan bahasa yang sederhana sangat penting membantu

responden memahami pertanyaan yang diajukan sehingga lebih mudah dalam

mengakses data-data dari responden. Dari teknik ini maka data yang dapat dikumpulkan

merupakan data yang primer, sedangkan data sekunder akan diperoleh melalui

dokumen publik seperti buku, jurnal, atau sumber-sumber tertulis lainnya yang

berkaitan dengan masalah penelitian.

3. Audio dan Visual. Teknik ini dilakukan dengan cara pengambilan suara sebagai bukti-

bukti otentik terhadap upaya pemberdayaan gereja yang menjadi bukti dari masalah

penelitian yang akan diteliti.

1.6 Sistematika Penulisan

Dalam melanjutkan tulisan ini, penulis akan membagi tulisan ini dalam lima (5) bab.

Bab satu (I) berisikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab dua (II) Berisi tentang

landasan teori yang digunakan sebagai dasar untuk mengkritisi peran gereja didalam

pemberdayaan masyarakat Kurima dalam Era Otonomisasi. Bab tiga (III) berisi pemaparan

hasil penelitian yang telah dilakukan. Bab empat (IV) Berisi tentang Analisa hasil penelitian.

Dan pada bab lima (V) merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

10
John W. Creswell. Research Design, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Edisi ketiga ….,
267

Anda mungkin juga menyukai