D
I
S
U
S
U
N
OLEH
KELOMPOK III
Viki Alfian
Pandu Adjie Rinendra
Ayunda Friska Sari
Ezi Auria Sherin
Adriansyah Putra
Wildan Riyanto
Munculnya kebangkitan nasional dalam memperjuangkan kemerdekaan tak lepas dari peran
tokoh yang ada di belakangnya.
Berikut adalah penjelasan tentang peran tokoh kebangkitan nasional dalam perjuangan
kemerdekaan nasional.
Dikutip dari buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan karya Yuyus Kardiman, dkk
ada enam tokoh yang berperan dalam kebangkitan nasional, yaitu:
1. Wahidin Soedirohoesodo
Wahidin Sudirohusodo merupakan salah satu tokoh nasional yang memiliki peran penting
terhadap kebangkitan para pemuda Indonesia. Simak profil Wahidin Sudirohusodo di bawah
ini.
Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei berkaitan erat dengan
organisasi Budi Utomo, yang didirikan oleh Soetomo, Gunawan Mangunkusumo, dan
Soeradji Tirtonegoro. Namun selain tiga sosok ini, masih ada sosok yang berperan besar
dalam pendirian Budi Utomo.
Sosok tersebut adalah Wahidin Sudirohusodo. Meskipun bukan pendiri Budi Utomo,
Wahidin Sudirohusodo adalah orang yang berperan besar mengilhami lahirnya organisasi
tersebut. Lantas, seperti apa peran dari tokoh nasional ini?
Wahidin Sudirohusodo merupakan salah satu tokoh pahlawan pergerakan nasional yang lahir
pada 7 Januari 1852 di Sleman, Yogyakarta. Dia merupakan seorang lulusan dari sekolah
kedokteran STOVIA, sama seperti Soetomo.
okoh ini dikenal sebagai pribadi yang rendah hati, senang bergaul dengan rakyat biasa,
sehingga dirinya memiliki pemahaman tersendiri terkait bagaimana rasanya menjadi
masyarakat yang tertindas karena penjajahan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia
Belanda pada waktu itu.
Wahidin Sudirohusodo kemudian meninggal pada 26 Mei 1917 ketika usianya menginjak 65
tahun. Dia dianggap sebagai salah satu pahlawan pergerakan nasional berkat ide dan
gagasannya yang menjadi awal mula berdirinya Budi Utomo.
Meskipun bukan dianggap sebagai pendiri Budi Utomo, Wahidin Sudirohusodo pada
dasarnya bisa dianggap sebagai penggagas ide untuk membentuk organisasi tersebut.
Sebelum Budi Utomo lahir, Wahidin Sudirohusodo bersama para pelajar dari STOVIA
mendirikan organisasi bagi para pelajar yang bernama School tot Opleiding van Inlandsche
Artsen. Wahidin Soedirohusodo memiliki ide untuk mendirikan organisasi yang bisa
mengangkat harkat dan martabat bangsa yang diisi oleh para pemuda cerdas, dan bisa
membantu para pemuda yang tidak punya biaya untuk sekolah dengan cara mengumpulkan
"dana pelajar" atau yang pada masa kini dikenal sebagai beasiswa.
Ide serta gagasan ini kemudian disebarkan oleh Wahidin Sudirohusodo dengan cara
berkeliling ke berbagai kota besar di Pulau Jawa. Namun sayangnya saat itu masyarakat
kurang tertarik dengan gagasan tersebut. Gagasan ini kemudian menemukan sasarannya pada
saat Wahidin Sudirohusodo datang ke STOVIA pada 1907.
Saat itu Wahidin Sudirohusodo menyebarkan gagasannya di hadapan para pelajar STOVIA
dan mendapat respons positif dari para pelajar tersebut, terutama dari Soetomo, Gunawan
Mangunkusumo, dan Soeradji Tirtonegoro. Soetomo dan Soeradji Tirtonegoro kemudian
mengadakan pertemuan kembali dengan suasana non formal dengan para pelajar STOVIA
lainnya untuk menyebarkan gagasan pembentukan organisasi seperti yang diinginkan
Wahidin Sudirohusodo.
Setelah pembicaraan dengan para pelajar dari STOVIA tersebut, baru pada 20 Mei 1908
lahirlah organisasi Budi Utomo. Kelahiran organisasi tersebut dianggap sebagai awal
kebangkitan para pemuda di Indonesia.
2. SOETOMO
Soetomo merupakan salah satu sosok penting dibalik peringatan Hari Kebangkitan Nasional.
Untuk mengulas lebih lanjut, simak profil serta fakta mengenai sosok Soetomo.
Soetomo merupakan sosok pendiri organisasi Budi Utomo, yang merupakan organisasi
modern pertama di Indonesia. Berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 kemudian
dijadikan sebagai peringatan hari kebangkitan nasional.
Pasalnya Budi Utomo menjadi landasan berdirinya sejumlah organisasi bahkan partai politik
yang menentang penindasan Belanda pada masa itu. Organisasi tersebut juga menumbuhkan
semangat para rakyat pribumi untuk membebaskan diri dari penjajah.
Profil Dr Soetomo
Dokter Soetomo, yang memiliki nama asli Soebroto, lahir di desa Ngepeh, Trenggalek, Jawa
Timur pada 30 Juli 1888. Dia lahir dari keluarga priayi. Sang ayah adalah Raden Suwaji
yang merupakan pegawai pangreh berpikiran modern.
Ketika masih bersekolah di STOVIA, Soetomo bertemu dengan alumni STOVIA, yakni
Dokter Wahidin Sudirohusodo yang kala itu sedang berkunjung ke sekolahnya. Dari
pertemuan keduanya, Dr Wahidin Sudirohusodo mengemukakan gagasan untuk mendirikan
sebuah organisasi sebagai wadah demi mengangkat derajat rakyat pribumi.
Gagasan dari Dokter Wahidin tersebut kemudian dipikirkan matang-matang oleh Soetomo
dan mahasiswa STOVIA lainnya, seperti Gunawan Mangunkusumo dan Soeradji
Tirtonegoro. Setelah berpikir dengan matang, mereka kemudian mengadakan pertemuan di
Ruang Anatomi STOVIA dan memutuskan untuk mendirikan organisasi.
Organisasi itu adalah Budi Utomo, yang didirikan pada 20 Mei 1908. Budi Utomo
merupakan organisasi modem pertama di Indonesia. Pasalnya tujuan didirikannya organisasi
ini adalah untuk menuju kemerdekaan Indonesia dan kesejahteraan bangsa. yang kemudian
diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Soetomo menyelesaikan pendidikannya di STOVIA pada 1911 dan resmi menjadi dokter.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga medis, Soetomo bertugas ke berbagai daerah,
mulai dari Semarang, lalu pindah ke Tuban, Lubuk Pakam, Sumatera Utara, dan Malang.
Di Malang, Soetomo pernah menangani wabah pes. Selama bertugas Soetomo tidak pernah
memungut biaya pengobatan. Setelah menikah dengan seorang perawat Belanda, Soetomo
kembali melanjutkan pendidikannya ke Belanda pada 1919 dan bergabung dengan Indische
Vereeniging, yang kemudian berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia pada 1925.
Sepulangnya ke Tanah Air, Soetomo bekerja sebagai dosen di Nederlandsch Indische Artsen
School (NIAS), Surabaya. Pada 1924, dia mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang
bertujuan untuk mempelajari dan memperhatikan kebutuhan rakyat.
Namun pada 1930 organisasi tersebut berganti nama menjadi Persatuan Bangsa Indonesia
(PBI), yang tujunnya membantu memperjuangkan hak-hak rakyat. Karena pada masa itu
banyak muncul partai politik, maka Soetomo mendirikan Partai Indonesia Raya (Parindra)
pada 1935.
Parindra merupakan gabungan dari dua organisasi, yaitu Persatuan Bangsa Indonesia (PBI)
dan Budi Utomo. Partai ini menjadi wadah untuk mengumpulkan suara rakyat dari berbagai
daerah. Selain aktif di bidang politik, pendidikan, budaya dan kedokteran, Dr Soetomo juga
aktif di bidang kewartawanan dan pernah memimpin beberapa surat kabar.
Dapat Gelar Pahlawan Nasional
Meski perjuangannya besar bagi bangsa ini, sayangnya Dr Soetomo tidak sempat
menyaksikan kemerdekaan Indonesia. Soetomo meninggal dunia dalam usia 50 tahun pada
30 Mei 1938 dan dimakamkan di Bubutan, Surabaya. Atas jasa-jasanya dalam kebangkitan
nasional bangsa, Dr Soetomo diberikan gelar Pahlawan Nasional pada 27 Desember 1961.
3. H. O. S. Tjokroaminoto
Raden Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau lebih dikenal dengan HOS Tjokroaminoto
adalah salah satu tokoh pergerakan nasional Indonesia yang berperan penting dalam
perjuangan kemerdekaan. Simak profil HOS Tjokroaminoto serta perannya dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di sini.
Lahir pada 16 Agustus 1882 di Surabaya, Jawa Timur, Tjokroaminoto tumbuh dan
dibesarkan dalam lingkungan yang sarat dengan semangat pergerakan dan kecintaan
terhadap bangsanya. Sejak muda, dia sudah menunjukkan kepeduliannya terhadap nasib
rakyat Indonesia yang saat itu masih hidup di bawah kekuasaan kolonial Belanda.
Tjokroaminoto adalah tokoh yang identik dengan organisasi Sarekat Islam. Organisasi
tersebut awalnya bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) dan didirikan oleh Kyai Haji
Samanhudi pada 1905 di Surakarta. SDI lahir tiga tahun sebelum lahirnya Budi Utomo. Kala
itu tujuan organisasi ini adalah untuk membela kepentingan pedagang pribumi.
Organisasi ini pun berkembang menjadi organisasi yang berpengaruh dan akhirnya didirikan
di berbagai wilayah Indonesia. HOS Tjokroaminoto mendirikan SDI di Surabaya pada 1912.
Ketika Kyai Haji Samanhudi wafat, SDI dipimpin oleh Tjokroaminoto yang kemudian
mengubah nama organisasi menjadi Sarekat Islam (SI).
Tjokroaminoto kala itu kecewa dengan Budi Utomo, yang dinilainya bersifat eksklusif
karena khusus untuk kalangan priayi Jawa dan Madura saja, bertekad menjadikan SI sebagai
organisasi yang menerima semua kalangan masyarakat dari berbagai daerah. Melalui SI,
Tjokroaminoto berusaha meningkatkan kesadaran politik dan ekonomi masyarakat pribumi.
Namun perjuangannya tidak selalu mulus. Ia menghadapi banyak tantangan dan hambatan
dalam upayanya untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Cokroaminoto sering ditangkap
dan dipenjara oleh pemerintah kolonial Belanda. Meski demikian, ia tidak pernah menyerah
dan terus berjuang dengan gigih untuk melawan penindasan dan meraih kemerdekaan.
HOS Tjokroaminoto meninggal dunia pada tanggal 17 Desember 1934. Ia diakui sebagai
pahlawan nasional Indonesia atas dedikasinya dalam memperjuangkan kemerdekaan dan
kesetaraan di negara ini.
4. E. F. E. Douwes Dekker
Salah satu tokoh besar Indonesia yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia dari
belenggu penjajahan bangsa asing adalah Douwes Dekker. Douwes Dekker lahir pada 8
Oktober 1879 di Pasuruan dengan nama lengkap Ernest François Eugène Douwes Dekker.
Ayahnya bernama Henri Edouard Douwes Dekker yang bekerja sebagai broker dan agen
bank di salah satu bank ternama, Nederlandsch Indisch Escomptobank. Sementara Ibunya
bernama Louisa Neumann yang merupakan orang Belanda keturunan Indonesia.
Meskipun merupakan orang keturunan Belanda, Douwes Dekker merasa dirinya sebagai
orang indonesia sepenuhnya dan memihak kaum pribumi. Beliau menempuh pendidikan
dasar di Kota Pasuruan.
Kemudian, ia melanjutkan pendidikan di Hoogere Burgerschool (HBS), Surabaya. Namun
tidak lama, Douwes Dekker pindah ke sekolah elite yang bernama Gymnasium Koning
Willem III School di Batavia.
Tindakan tersebut membuat Douwes Dekker bersuara dan sangat menentang hal itu. Sampai
akhirnya, ia dimusuhi bahkan dipindahkan ke perkebunan tebu Padjarakan Kraksaan dekat
wilayah Probolinggo.
Tidak lama bekerja, Douwes Dekker diberhentikan akibat berkonflik dengan perusahaannya
karena masalah pembagian irigasi antara para petani dengan perkebunan tebu. Setelah
sempat menganggur, Douwes Dekker memutuskan untuk menjadi relawan.
Douwes Dekker bergabung dalam Perang Boer II di Afrika Selatan yang saat itu sedang
melawan Inggris akibat perebutan sumber emas dan berlian. Douwes Dekker terlibat
langsung dalam perang sekitar pada tahun 1899 sampai 1902.
Dari peperangan tersebut, Douwes Dekker pernah di penjara di Srilangka sebelum akhirnya
kembali dipulangkan ke Hindia Belanda atau Indonesia pada tahun 1902. Setelah itu,
Douwes Dekker mulai bekerja menjadi wartawan di De Locomotief.
Salah satu tulisan Douwes Dekker yang terkenal adalah "Hoe kan Holland het spoedigst zijn
koloniën verliezen?" yang berarti "Bagaimana caranya Belanda dapat kehilangan koloni-
koloninya". Tindakannya tersebut membuat Douwes Dekker sebagai ancaman utama bagi
Belanda.
Selain itu, Douwes Dekker juga kerap menjadikan kediamannya sebagai tempat berkumpul
bagi para pemuda untuk melakukan pergerakan atas ketidakadilan yang dilakukan bangsa
kolonial terhadap pribumi.
Nama seperti Sutomo, Cipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara juga turut serta dalam
perkumpulan tersebut. Perkumpulan itu pula lah yang menjadi cikal bakal berdirinya
organisasi Budi Utomo.
Budi Utomo berdiri pada pada 20 Mei 1908. Tujuan Budi Utomo adalah untuk memajukan
pendidikan, kebudayaan, dan memperkuat cita-cita mencapai kemerdekaan serta
kesejahteraan bangsa Indonesia.
Tidak hanya itu, untuk dapat lebih bebas menyuarakan kritikan terhadap Belanda, Douwes
Dekker mendirikan surat kabar yang diterbitkan pertama kali pada 1 Maret 1912 di Kota
Bandung. Berdirinya surat kabar tersebut juga merupakan bantuan dari Ki Hajar Dewantara
dan Cipto Mangunkusumo.
Pada 6 September 1912, Douwes Dekker membentuk Indische Partij, partai politik nasional
pertama di Indonesia yang menjadi wadah suara untuk kaum pribumi dari berbagai daerah.
Partai tersebut bertujuan untuk menciptakan kesetaraan dalam melawan kolonial.
Selain itu, Douwes Dekker pernah membela tulisan Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar
Dewantara yang berjudul "Als Ik een Nederlander was" atau "Seandainya Aku Seorang
Belanda", Douwes Dekker bersama rekannya Ki Hajar Dewantara dan Cipto
Mangunkusumo diasingkan ke Belanda.
Tiga serangkai tersebut dianggap Belanda sebagai pemberontak sehingga, diasingkan pada
18 Agustus 1913. Meskipun begitu, kesempatan tersebut dimanfaatkan Douwes Dekker
untuk mengemban pendidikan di bidang ekonomi, Universitas Zurich, Swiss.
Selama di Swiss, Douwes Dekker terlibat dalam konspirasi kelompok revolusioner India.
Akibatnya, beliau ditangkap dan diadili di Hongkong. Kemudian, dirinya ditahan di
Singapura pada 1918, setelah dua tahun di penjara Douwes Dekker kembali ke Hindia
Belanda.
Setelah kembali ke Tanah Air, Douwes Dekker menyibukkan dirinya dengan menulis
sejumlah buku. Kemudian, atas dorongan berdirinya Taman Siswa yang dilakukan oleh Ki
Hajar Dewantara, Douwes Dekker memutuskan untuk membentuk sekolah Ksatrian
Instituut.
Ksatrian Instituut (KI) berdiri pada 1924 di Bandung, Jawa Barat. Sekolah tersebut
berperanan penting dalam meluaskan kesempatan bagi murid-murid pribumi, keturunan
Tionghoa, dan Indo-Eropa saat itu.
Douwes Dekker sendiri banyak membuat materi pelajaran yang instruksinya diberikan dalam
bahasa Belanda. Sampai akhirnya, KI dianggap sebagai memberikan pelajaran yang bersifat
anti-kolonial dan cenderung pro Jepang, seiring semakin kuatnya pengaruh Jepang
berekspansi ke Korea dan Tiongkok.
Akibatnya, pada 1933 buku-buku yang ditulis oleh Douwes Dekker dibakar oleh
Karesidenan Bandung dan dirinya dilarang untuk mengajar. Tiga tahun setelah kejadian
tersebut, Douwes Dekker diketahui pernah dipenjara dalam waktu singkat.
Pada era Perang Dunia II, Douwes Dekker sempat diasingkan bahkan dipenjara karena
dianggap merupakan keturunan indo atau blasteran yang dapat mengancam Belanda. Beliau
bersama dengan kaum indo lainnya diasingkan ke Kamp Joden Savanne, Suriname oleh
pemerintahan Belanda.
Beliau juga sempat menjabat sebagai Menteri Negara Tanpa Portofolio di Kabinet Syahrir III
dan turut serta dalam delegasi negosiasi dengan belanda. Selain itu, Douwes Dekker pernah
menjadi Dewan Pertimbangan Agung, dosen, dan kepala seksi penulisan sejarah di bawah
Kementerian Penerangan atau sekarang Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Douwes Dekker akhirnya menghabiskan sisa hidupnya di Bandung dan meninggal pada 28
Agustus 1950. Beliau kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra Bandung
dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Soekarno pada 9 November 1961.
5. Tjipto Mangoenkoesoemo
Cipto Mangunkusumo merupakan salah satu tokoh pahlawan nasional yang lahir di
Pecangaan Jepara, Jawa Tengah pada 4 Maret 1886. Cipto Mangunkusumo sendiri terkenal
karena dirinya merupakan salah satu tokoh yang vokal mengkritik segala bentuk kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda lewat tulisan-tulisannya di koran,
terutama dalam hal bidang politik dan bidang pendidikan.
Saat masih muda, Cipto Mangunkusumo sudah memperlihatkan kepribadian yang dianggap
dewasa, jujur, kritis, dan berpikiran tajam oleh teman-teman serta gurunya saat masih
mengenyam pendidikan di STOVIA.
Tak hanya sampai di situ, Cipto Mangunkusumo juga seringkali melemparkan kritik keras
kepada pemerintah Hindia Belanda karena kondisi masyarakat Indonesia yang menderita
karena banyaknya pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah setempat
sebagai bentuk kolonialisme pada zaman tersebut.
Salah satu manuver politik yang dilakukan oleh Cipto Mangunkusumo bersama Douwes
Dekker dan Ki Hajar Dewantara adalah dengan membentuk Indische Partij yang pada saat
itu merupakan partai politik pertama yang mencetuskan ide untuk memiliki pemerintahan di
tangan masyarakat sendiri dan bukan di tangan penjajah.
Cipto Mangunkusumo juga pernah menjadi ketua Bumiputera dan menginisiasi untuk
mengumpulkan dana agar bisa mengirim pesan kepada Ratu Wilhelmina untuk meminta
pembatalan pembentukan parlemen serta mencabut semua pembatasan-pembatasan kegiatan
politik bagi masyarakat di Indonesia.
Berbagai kritikan keras yang dilontarkannya lewat surat kabar harian De Locomotief
mengenai pemerintah Hindia Belanda, membuat dirinya diasingkan Belanda karena
dianggap sebagai provokator dan memiliki pengaruh besar terhadap kesadaran masyarakat
pada masa itu.
6. Soewardi Soerjaningrat
Soewardi Soerjaningrat atau dikenal Ki Hajar Dewantara merupakan salah satu tokoh
kebangkitan nasional dan dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia yang juga diperingati
sebagai Hari Pendidikan Nasional setiap tanggal 2 Mei.
Bernama lengkap Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Lahir pada 2
Mei 1889 di Yogyakarta yang berasal dari keluarga bangsawan. Memiliki orang tua bernama
Kanjeng Pangeran Ario Suryaningrat dan Raden Ayu Sandiah.
Soewardi Soerjaningrat merupakan aktivis dalam kemerdekaan Indonesia. Beliau juga aktif
dalam bidang pendidikan dan mengabdikan hidupnya untuk negara Indonesia serta selalu
berusaha untuk memperjuangkan hak-hak kesetaraan kelompok pribumi yang didiskriminasi
oleh penjajah Belanda.
Atas perjuangan dalam pelopor pendidikan bagi pribumi di Indonesia, maka tanggal
kelahirannya 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Beliau sempat menjabat
sebagai Menteri Pendidikan pertama di Indonesia. Nama Ki Hajar Dewantara pun turut
diabadikan sebagai nama sebuah kapal perang Indonesia.
Perjalanan Karier
Ki Hajar Dewantara pernah bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar seperti
Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer,
dan Poesara. Berita yang ditulisnya bersifat komunikatif, berani, dan berisi gagasan yang
antikolonial.
Ki Hajar Dewantara turut bergabung dalam organisasi Budi Utomo yang didirikan pada 20
Mei 1908 dan menjadi Hari Kebangkitan Nasional. Dalam organisasi tersebut, beliau sebagai
seksi propaganda untuk sosialisasi dan membangkitkan kesadaran rakyat Indonesia tentang
kesatuan dan persatuan berbangsa dan bernegara.
Perubahan Nama Ki Hajar Dewantara
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara pada 3
Februari 1928. Nama Hajar memiliki arti pendidik, Dewan artinya utusan dan tara memiliki
arti tak tertandingi. Maka nama Ki Hajar Dewantara memiliki makna sebagai seorang
pendidik utusan yang tak tertandingi.
Perubahan nama ini membuat Soewardi Soerjaningrat meninggalkan gelar bangsawan yang
dimilikinya. Beliau melakukan perubahan nama agar lebih dekat dengan masyarakat.
Selain menjadi wartawan, Ki Hajar Dewantara bergabung dengan organisasi Budi Utomo.
Selanjutnya, beliau bersama Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo, mendirikan
Indische Partij pada 25 Desember 1912.
Indische Partij sebagai partai politik pertama beraliran nasionalisme Indonesia. Namun,
ditolak oleh pemerintah kolonial Belanda karena dianggap sebagai organisasi nasionalisme
yang dapat melawan pemerintahan Belanda.
Hukum Buang
Ki Hajar Dewantara membuat kritikan berupa tulisan yang terkenal yaitu "Als Ik een
Nederlander was" yang memiliki arti "Seandainya saya seorang Belanda" dan "Een voor
Allen maar Ook Aleen voor Een" yang artinya "Satu untuk semua, tapi semua untuk satu
juga".
Sejak tulisan itu muncul, pemerintah kolonial Belanda memberikan hukuman kepada Ki
Hajar Dewantara berupa hukum buang ke Pulau Bangka. Tidak tinggal diam, Douwes
Dekker dan Dr. Cipto Mangoekoesomo membuat tulisan yang dianggap sebagai bentuk
hasutan kepada rakyat untuk memberontak terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Hal itu
membuat mereka berdua diasingkan ke Kupang dan Pulau Banda.
Namun, mereka bertiga menolak dan memilih untuk diasingkan ke Belanda. Setelah
diizinkan, Ki Hajar Dewantara memanfaatkan hal ini untuk mempelajari permasalahan
pendidikan dan pengajaran, bahkan beliau mendapatkan Europeesche Akte.
Selesai menjalani hukum buang, mereka kembali ke Indonesia pada 1918. Tak lama, Ki
Hajar Dewantara bersama rekannya mendirikan National Onderwijs (Institut Taman Siswa)
sebagai perguruan tinggi nasional pada 3 Juli 1922. Taman Siswa sebagai lembaga
pendidikan bagi pribumi untuk mendapatkan hak pendidikan yang sama dengan orang
Belanda.
Ki Hajar Dewantara wafat pada 26 April 1959, dimakamkan di Taman Siswa Wijaya Brata,
Yogyakarta. Sebelum dimakamkan, jenazah Ki Hajar Dewantara disimpan dahulu di
Pendapa Agung Taman Siswa. Saat pemakaman diadakan upacara pemakaman yang
dipimpin oleh Soeharto sebagai inspektur upacara.