Anda di halaman 1dari 44

PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DAN WANPRESTASI MENURUT

KETENTUAN PERATURAN UNDANG-UNDANG

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan


Koperasi merupakan suatu lembaga atas badan hukum yang bergerak di bidang
ekonomi yang bertujuan untuk meningkan taraf hidup dan kesejahteraan para anggota pada
khususnya serta masyarakat luas pada umumnya.
Dalam pasal 1 ayat (1) undang-undang No. 25 tahun 1992 tentang koperasi,
menyebutkan bahwa “koperasi Indonesia adalah badan usaha yang beranggotakan orang
seorang atau badan hukum yang melandaskan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan
ekonomi rakyat yang berasaskan kekeluargaan.
Selanjutnya dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa : “Koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan
anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan
perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur
belandaskan Pancasiladan Undang-undang 1945”. Penekanan pada kalimat “memajukan
kesejahteraan anggota” pada pasal 3 di atas, mencerminkan bahwa koperasi dan keberadaan
berusaha seoptimal mungkin memudahkan para anggota untuk memenuhi kebutuhannya.
Untuk itu anggota-anggota koperasi lazimnya terdiri dari sekelompok orang tertentu, baik
yang berprofesi sama ataupun dalam daerah yang sama.
BAB II
PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DAN WANPRESTASI
MENURUT KETENTUAN
PERATURAN UNDANG-UNDANG

A. Pengertian Perjanjian Pinjam Meminjam


Pengertian perjanjian secara diatur dalam title II Buku ke tiga KUHP perdata,
Sedangkan perjanjian secara khusus diatur dalam title XVIII buku ketiga. Menurut pasal
1313 KUH Perdata “Perjanjian adalah suatu perbuatan, dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
lain atau lebih”. Mengenai isi Pasal 1313 KUH perdata tersebut R Subekti menyebutkan
“Suatu perjanjian adalah peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.[1]
Dari pengertian tersebut di atas dapat dipahami bahwa perjanjian yang dilakukan itu
menimbulkan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak yang membuatnya. Pada
prinsipnya setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi kewajibannya
secara timbal balik yaitu pihak yang pertama berkewajiban memberikan hak terhadap prestasi
tersebut. Terhadap hal ini Ahmad Ichsan memberika ulasannya sebagai berikut: “perjanjian
adalah suatu hubungan atas dasar hukum kekayaan (vermogenis rechtelijke bertrokhing)
antara dua pihak atau lebih atau lebih dalam mana pihak yang satu berkewajiban memberikan
suatu prestasi atas mana pihak yang lainnya mempunyai hak terhadap prestasi tersebut”.[2]
Dari pengertian tersebut M. Yahya Harapkan berpendapat sebagai berikut: “ Suatu
hubungan harta kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberikan kekuatan
hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain
untuk menunaikan prestasi”.[3]
Dari beberapa pengertian perjanjian yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa
untuk lahirnya suatu perjanjian haruslah tercapainya kata sepakatnya hubungan hukum antara
para pihak yang membuat perjanjian tersebut dan masing-masing pihak terikat satu sama
lainnya. Terhadap hal ini, R. Subkti mengataka bahwa:
Dengan sepakat atau yang dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek yang
mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal yang
pokok dalam perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak juga
dikehendaki oleh pihak lain mereka mekehendaki sesuatu yang sama secar timbal balik,
sepenjuan menginginkan sejumlah uang sedangkan sipembeli menginginkan sesuatu barang
dari sipenjual.[4]
Dengan kata sepakat untuk mengadakan suatu perjanjian, maka kedua pihak
mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri bentuk perjanjian. Hal ini sesuai dengan
sistem terbuka yang dianut dalam KUH Perdata. Dalam buku ketiga para pihak dapat
menyngkirkan pasal-pasal hukum perjanjian jika mereka menghendakinya.
Umumnya suatu perjanjian dibuat dalam bentuk tulisan sehingga dapat diketahui
dengan jelas apa yang mereka sepakati. Disamping itu juga bergguna untuk pembuktian jika
suatu saat terjadi perselisihan antara mereka yang membuat perjanjian.
Dalam makalah ini dibahas perjanjian yang dilakukan antara koperasi sebagai
pemberi pinjaman dengan anggota koperasinya sebagai penerima pinjaman dengan anggota
koperasinya sebagai penerima pinjaman yang lahir setelah adanya persetujuan antara koperasi
dengan para anggotanya. Persetujuan itu terjadi karena peminjam membutuhkan sejumlah
uang untuk memenuhi berbagai keperluan hidupnya.
Mengenai perjanjian pinjam-meminjam pengaturannya terdapat dalam buku ke III
bab XIII KUHPerdata. Pasal 1754 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “pinjam-
meminjam adalah persetujuan dengan mana pohak yang satu memberikan kepada pihak yang
lain sesuatu jumlah tentang barang-barang atau uang yang menghabiskan karena pemakaian,
dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan dengan jumlah yang
sama dari macam dan keadaan yang sama pula”. Ketentuan Pasal 1754 KUHPerdata tersebut
menunjukkan bahwa seseorang yang meminjamkan sejumlah uang atau barang tertentu
kepada pihak lain, ia akan member kembali sejumlah uang yang sama sesuai dengan
persetujuan yang disepakati.
Dari pengertian tersebut diatas kiranya dapat dilihat beberapa unsur yang terkandung
dalam suatu perjanjian pinjam meminjam diantaranya :
1. Adanya para pihak
Pihak pertama memberikan prestasi kepada pihak lain suatu jumlah tertentu barang-barang
dengan syarat bahwa pihak kedua ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam
dan keadaan yang sama pula
2. Adanya persetujuan
Dimana pihak pertama dan kedua membuat perjanjian bersama yang menyangkut dengan
waktu, kewajiban dan hak-hak masing-masing yang dituangkan dalam bentuk perjanjian
3. Adanya sejumlah barang tertentu
Barang tersebut dipercayakan dari pihak pertama kepada pihak kedua
4. Adanya pengembalian Pinjaman
Bahwa pihak kedua akan mnyerahkan sejumlah tertentu barang-barang kepada pihak yang
pertama.
Perjanjian pinjam meminjam tersebut dapat juga dikatakan perjanjian pinjam penganti
karena objek pinjaman itu hanya/terdiri dari benda yang habis dalam pemakaian, tetapi dapat
pula berupa uang sedangkan pinjaman habis dalam pemakaian terdiri dari benda yang tidak
habis dalam pemakaian pinjam meminjam uang merupakan perjanjian kesensuai dan riil.
Dalam hal ini Mariam Darus badrulzaman berpendapat bahwa :
Apabila dua pihak telah mufakat mengenai semua unsur dalam perjanjian pinjam meminjam
uang maka tidak beranti bahwa perjanjian tentang pinjam uang itu telah terjadi. Yang hanya
baru terjadi adalah perjanjian untuk mengadakan perjanjian pinjam uang. Apabila uang yang
diserahkan kepada pihak peminjam, lahirlah perjanjian pinjam meminjam uang dalam
pengertian undang-undang menurut bab XIII buku ketiga KUHPerdata.[5]
Selanjutnya R. Subekti memberikan pendapat :
Pada perjanjian ini barang atau uang yang dipinjamkan itu menjadi milik orang yang
menerima pinjaman, penerima pinjam dapat membawa atau mempergunakan barang atau
uang tersebut menurut kemauannya, karena sejak uang itu diserahkan kepada kepada
peminjam, maka saat itu pula putuslah hubungan hak milik dengan pemiliknya. Karena
sipeminjam diberi kekuasaan untuk menghabiskan barang atau uang pinjaman, maka suadah
setepatnya ia dijadikan pemilik dari uang itu. Sebagai pemilik ia juga memikul segala barang
tersebut dalam hal pinjaman uang dan kemerosotan nilai uang.[6]
Pasal 3 Undang-undang meminjam Uang Tahun 1938. S.1938 No. 523 juga merumuskan
pengertian perjanjian perjanjian pinjam meminjam uang :
Yang dimaksud dengan undang-undang ini dengan meminjam uang adalah setiap perjanjian
dengan mana dan bentuk apapub juga, dimaksudkan untuk menyediakan aung dan
menyerahkan secara langsung atau tidak langsung kedalam kekuasaan peminjam, dengan
kewajiban peminjam untuk melunaskan hutangnya sesudah suatu jangka waktu tertentu
sekaligus ataupun secara mencicil, yaitu dengan membayar uang yang sama besarnya atau
yang lebih besar ataupun dengan menyerahkan benda atau beberapa benda.
Titik tolak ketentuan perjanjian tersebut adalah mengenai pengertian perjanjian pinjam
meminjam uang yang meliputi unsure-unsur prestasi, imbalan prestasi, suatu jangka waktu
tetentu dan bunga yang masing-masing diatur dengan undang-undang itu.
Sebagaimana halnya perjanjian pada umumnya perjanjian pinjam meminjam yang
dibuat oleh para pihak harus memenuhi persyaratan yang ditentukan undang-undang. Hal ini
sesuai dengan pendapat Abdul Kadir Muhammad yang mengatakan bahwa “Perjanjian yang
sah adalah perjanjiann yang syarat-syaratnya telah ditentukan dalam undang-undang sehingga
dapat diakui oleh hukum (Legally Conchide)”[7]
Perjanjian pinjam meminjam baru dapat dikatakan sah dan meningkat serta
mempunyai kekuatan hukum, apabila telah memenuhi unsur sebagaimana yang telah
ditegaskan dalam pasal 1320 KUHPertada. Dalam perjanjian pinjam meminjam uang yang
dilakukan oleh koperasi terdapat salah satu pihak yaitu koperasi sebagai pemberi pinjaman
dan pihak lain yaitu peminjam yaitu penerima pinjaman. Pada saat koperasi memberikan
sejumlah pinjaman kepada peminjam maka saat itu pula terjadinya suatu perjanjian pinjam
meminjam uang atau suatu transaksi antara koperasi dengan pihak peminjam.
Dalam memberikan pinjaman kepada peminjam, koperasi menetapkan sejumlah bunga
yang harus ditanggung oleh peminjam. Bungan pinjaman tersebut telah ditetapkan secara
tertulis oleh koperasi dalam suatu surat perjanjian pinjam meminjam uang.
Mengenai pinjaman uang dengan bunga Pasal 1765 KUHPerdata menyebutkan bahwa
“diperbolehkan memperjanjikan bunga atas pinjaman uang atau lain barang yang telah
menghabiskan karena pemakaian”. Selanjutnya Pasal 1766 KUHPerdata menegaskan bahwa :
Siapa yang telah menerima pinjaman dan membayar bunga yang telah tidak diperjanjikan
tidak dapat menuntutnya kembali maupun menguranginya dari jumlah pokok, kecuali apabila
bunga yang dibayar itu melebihi bunga menurut undang-undang,dalam hal mana uang yang
telah dibayar dikurangkan dari jumlah pokok.
Pembayaran bunga telah sudah dibayar tidak diwajibkan seberutang untuk membayarnya
seterusnya, tetapi bunga yang telah diperjanjikan harus dibayar sampai ada pengembalian
atau penetipan uang pokoknya, biarpun pengembalian atau penitipan ini telah dilakukan
setelah atau lewatnya waku hutangnya dapat ditagih.
B. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Pinjam Meminjam
Suatu perikatan yang lahir oleh karena suatu perjanjian mempunyai dua sudut yaitu
sudut kewajiban dan hak-hak yang timbul. Lazimnya suatu perjanjian adalah timbale balik,
suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu juga menerima kewajiban-
kewajiban yang merupakan kebalikannya dari hak-hak yang diperolehnya dan sebaliknya
suatu pihak yang memikul kewajiban-kewajiban juga memperoleh hak-hak yang dianggap
sebagai kebalikannya kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya itu.
Suatu perjanjian pinjam meminjam akan melibatkan dua pihak yaitu pemberi
pinjaman dan penerima pinjama atau dengan istilah lain disebut debitur dan kreditur. Oleh
karena itu dalam hubungan dengan pembahasan tentang hak dan kewajiban ini akan ditinjau
dari dua sudut para pihak tersebut. Apa yang merupakan kewajiban pemberi pinjaman
sekaligus akan merupakan hak dari penerima pinjaman, demikian pula sebaliknya apa yang
merupakan hak pemberi pinjaman sekaligus akan merupakan kewajiban dari penerima
pinjaman. Persyaratan dari hak dan kewajiban itu biasanya telah tercantum alam suatu
blangko yang dipersiapkan oleh pemberi pinjaman.
Pada dasarnya dalam suatu perjanjian pinjam meminjam akan tersangkut dua pihak
secara langsung, yaitu :
a. Pemeberi pinjaman (Kreditur)
b. Penerima pinjaman (Debitur)[8]
Pihak penerima pinjaman dapat merupakan anggota koperasi baik perseorang atau badan
usaha yang telah melakukan kegiatan atau usahanya untuk mengetahui hak dan kewajiban
para pihak dalam suatu perjanjian pinjam meminjam, maka diuraikan secara garis besar hak
dan kewajiban harus dilakukan oleh para pihak tersebut, adapun kewajiban dari pihak
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Kewajiban pemberi Pinjaman (kreditur)
Perjanjian pinjam meminjam merupakan perjanjian timbale balik, maka kewajiban dari
kreditur merupakan hak dari debitur, kewajiban utama dalam perjanjian pinjam meminjam
adalah menyerahlan sejumlah uang sebesar nilai nominal yang telah disepakati oleh piminjam
tersebut. Menurut ketentuan bahwa pemberi pinjaman hanya mempunyai satu kewajiban
pokok yaitu menyerahkan uang pinjaman tersebut pada tempat yang telah diperjanjikan.

2. Kewajiban penerima pinjaman (debitur)


Menurut Pasal 1793 KUHPerdata, penerima pinjaman berkewajiban untuk mengembalikan
apa yang dipinjamkan dalam jumlah dan keadaan yang sama dan pada waktu yang telah
ditentukan, jika barang yang telah maksud Pasal tersebut diartikan dengan uang maka
penerima pinjaman akan memikul suatu kewajiban utama untuk mengembalikan uang yang
telah dipinjamkan tepat pada waktunya, selain kewajiban itu dalam suatu perjanjian pinjam
meminjam uang dibebankan kewajiban tambahan yaitu membayar bunga yang telah
ditetapkan.

3. Hak pemberi pinjama (kreditur)


Adapun hak pemberi pinjaman adalah sebagai berikut :
1. Menerima kembali uang yang telah dipinjam setelah sampai batas waktu yang telah
ditentukan dalam perjanjian
2. Pemberi bunga atas pinjaman yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang telah
dicantumkan dalam perjanjian
3.
4. Hak Penerima Pinjaman (debitur)
Sebagaimana yang telah diuraikan bahwa debitur mempunyai hak yaitu :
1. Menerima uang pinjaman sebesar jumlah yang dicantumkan dalam perjanjian
2. Dalam hall memang membutuhkan berhak menerima bimbingan dan pengarahan dari
kreditur sehubungan dengan kegiatan pengaktifan usaha serta mendapatkan pembinaan yang
optimal dari pihak kreditur
C. Tata Cara dan Syarat-syarat Pemberian Pinjam Meminjam Uang pada Anggota
Koperasi
Untuk mengetahui tata cara dan syarat-syarat pemberi pinjaman uang bagi anggota
koperasi, maka dalam dikemukakan terlebih dahulu mengenai syarat-syarat suatu perjanjian
pinjam meminjam :
Syarat sah perjanjian diatur dalam buku ketiga KUHPerdata. Pasal 1338 menyebutkan
bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”. Untuk sahnya perjanjian itu harus memenuhi syarat –syarat yang
ditentukan dalam Pasal 1330 KUHPerdata yaitu :
1. Sepakat mereka untuk mengikat dirinya
Kesepakatan itu dimaksudkan bahwa kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian
harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal poko apa yang dikehendaki pihak yang satu juga
dikehendaki pihak yang lain, mereka mengkehendaki sesuatu secara timbal balik.[9]

Kesepakatan merupakan hal yang sangat penting karena terikatnya suatu perjanjian
setelah tercapainya kata sepakat. Dalam suatu perjanjian diharuskan pertemuan kemauan
yang dikehendaki oleh para pihak terhadap hal-hal yang pokok dari perjanjian itu. Sejak
tercapainya kata sepakat tentang suatu hal yang diperjanjikan, maka sejak itu pula lahir
hubungan hukum antara para pihak yang membuat perjanjian tersebut dan masing-masing
pihak terikat satu sama lainnya, sehingga menimbulkan hak kewajiban bagi mereka.

Didalam Pasal 1321 KUHPerdata ditentukan bahwa tiada sepakat yang sah ataupin
sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolej dengan paksaan ataupunn penipuan.
Sepakat yang dimaksudkan adalah persetujuan kehendak yang terjadi antara para pihak,
tampa adanya unsur paksaan, penipuan dan kekhilafan.

Pasal 1449 KUHPerdata menentukan bahwa : “Perikatan-perikatan yang dibuat


dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan menerbitkan suatu tuntutan untuk
membatalkannya,”pembatalan ini dapat dimintakan melalui hukum pembatalan, dalam
tenggang waktu lima tahun, dalam hal ini ada paksaan dihitung sejak hari paksaan itu
berhenti, sementara ada kekhilafan dan penipuan dihitung sejak hari diketahui kekhilafan dan
penipuan itu.

2. Kecakapan para pihak untuk membuat perikatan


Pasal 1329 KUHPerdata menerangkan bahwa : “Setiap orang yang cakap untuk membuat
perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”.semua
perjanjian yang dibuat o;eh orang yang cakap maka perjanjian tersebut akan melahirkan
tanggung jawab yang besar. Orang-orang yang tidak cakap tersebut, tidak mengerti akan hak
tanggung jawab yang besar dikemudian hari akibat dari perjanjian yang dibuat itu. Pasal 1330
KUHPerdata menentukan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah
sebagai berikut :
a. Orang yang belum dewasa
b. Mereka yang berada dibawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada
umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan
tertentu.
Mengenai kecakapan orang perempuan bersuami, lebih lanjut dapat diihat dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 4 Agustus 1963, kepada Ketua Pengadilan
Tinggi di seluruh Indonesia yang menyatakan bahwa Pasal 108 dan 110 KUHperdata tentang
wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap didepan
pengadilan tampa izin atau bantuan suaminya, sudah tidak berlaku lagi.
3. Suatu hal tertentu
Dalam perjanjian pinjam meminjam yang dilakukan itu harus ditentukan objeknya
yang jelas. Dalam hal ini sesuai dengan Pasal 1333 KUHPerdata yang menyatakan : “suatu
persetujuan harus memenuhi pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”.
Suatu hal tertentu merupakan pokok dari perjanjian, yaitu prestasi yang perlu dipenuhi dalam
suatu perjanjian. Presatasi itu harus tertentu atau sekurang-kurang dapat ditentukan apa yang
diperjanjikan harus cukup jelas.

Mengenai suatu hal tertentu ini M.Yahya Harahap mengemukakan bahwa “Agar
Perjanjian tertentu mempunyai kekuatana hukum yang sah, bernilai dan mempunyai kekuatan
mengikat, prestasi yang menjadi onjek perjanjian harus tertentu sekurang-kurangnya objek
yang diperjanjikan harus ditentukan jenisnya”. Dari penjelas diatas dapat diketahui bahwa
untuk sahnya suatu perjanjian paling tidak haruslah ditentukan objek yang diperjanjikan oleh
para pihak. Jika objeknya tidak ditentukan terlebih dahulu maka perjanjian itu dianggab tidak
mengikat sehingga dengan demikian tidak mempunyai kekuatan hukum.

4. Suatu sebab yang halal


Suatu sebab yang halal atau diperbolehkan udang-undang yang dimaksud disini adalah
para pihak dalam membuat perjanjian harus dimaksud oleh sebab yang diperoleh sehingga isi
dan tujuan dari perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan
kesusilaan.
Mengenai hal ini Abdul Kadir Muhammad menyebutkan bahwa : “Yang dimaksud
dengan sebab yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu bukanlah sebab dalam arti yang
menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian melainkan sebab dalam arti
isi perjanjian itu sendiri yang menyebabkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak”.
Dalam perjanjian para pihak mempunyai kebebasan untuk menentukan apa saja yang
mereka kehendaki, asal perjanjian yang mereka lakukan diperbolehkan oleh undang-undang
dan tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Larangan tersebut diatas
ditentukan dalam Pasal KUHPerdata yang menegaskan bahwa :”Persetujuan tampa sebab
atau yang telah diperbuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang tidak mempunyai
kekuatan hukum”.
Dengan demikian, jelaslah bahwa perjanjian harus berlandaskan pada sebab yang
halal atau sebab yang dibolehkan undang-undang serta isi dan tujuannya tidak bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata dapat dikatakan bahwa
apabila satu syarat subjektif yaitu syarat berupa se[akat mereka yang mengikatkan dirinya
dan kecakapan bertindak dalam membuat perjanjian tidak dipenuhi, maka perjanjian pinjam
meminjam itu dapat dibatalkan. jika syarat objektif yaitu hal tertentu dan suatu sebab yang
halal atau diperbolehkan undang-undang tidak dipenuhi, maka perjanjian pinjam meminjam
itu tidak ada dan dengan sendirinya perikatan tersebut dianggap tidak pernah ada.
Pasal 1320 KUHPerdata berlaku juga terhadap perjanjian pinjam meminjam uang,
tetapi ada syarat khusus lainnya yang harus dipenuhi yaitu bunga, biaya provisi/adminitrasi,
jangka waktu pembayaran dan jaminannya.
Tujuan pemberian bunga adalah sebagai penanmbahan modal dalam rangka untuk
mengembangkan dan memperluas kegiatan usaha. Sedangkan tujuan pemberian jaminan
adalah untuk melindungi kreditur agar uang yang dipinjamkan dapat diterima beserta
bunganya pada waktu yang ditentukan didalam perjanjian pinjam meminjam uang tersebut.
Setiap kredit yang diberikan mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi sesuai dengan
jenis pinjaman yang diberikann.
D. Pengertian Dan Pengaturan Wanprestasi
Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang mempunyai arti sebagai prestasi
yang uruk atau cedera janji. Dalam suatu perjanjian apabila salah satu pihak tidak dapat
memenuhi atau melaksanakan secara sempurna apa yang diperjanjikannya, maka yang
melanggar perjanjian tersebut dinyatakan telah melakukan wanpresrasi. Akan tetapi apabila
tidak dipenuhi secara sempurna prestasi tersebut oleh salah satu bukan semata-mata
disebabkan karena kesalahannya, misalanya karena terjadi force majeere (Overmacht), maka
tidak dapat dikatakan wanprestasi.
Menurut pasal 1234 KUHPerdata prestasi adalah memberikan, untuk berbuat sesuatu
atau untuk tidak berbuat sesuatu. Pada umumnya apabila salah satu pihak dalam suatu
perjanjian apabila tidak memenuhi prestasinya maka dapatlah dikatakan pihak tersebut telah
melakukan wanprestasi.
Menurut pasal 1238 KUHPerdata :”Seberuntang adalah lalai apabila ia dengan surat
perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya
sendiri lalai jika ini menetapkan bahwa seberuntung akan harus dianggap lalai dengan
lewatnya yang ditentukan. Berdasarkan Pasal 1238 KUHPerdata, salah satu pihak dapat
dikatakan melakukan wanprestasi apabila telah adanya teguran atau tuntunan dari pihak yang
berhak atas prestasi tersebut.
Sehubungan dengan hal yang telah ditentukan dalam pasal 1238 KUHPerdata
Wiryono Prodjodikoro menegaskan bahwa :
Pihak kewajiban mulai berada dalam keadaan wanprestasi dengan dua jalan yaitu : pertama
dengan menerima perintah atau surat yang ditujukan kearah itu, atau kedua atas kekuatan
perjanjian perintah sendiri, apabila menurut isi perjanjian ditetapkan atau dianggap ditetapkan
dari semula suatu jangka waktu, yang kalau sudah lampau, sedang janji belum dipenuhi
menepatkan pihak berwajib dengan sendirinya dalam keadaan wanprestasi.[10]
Dari penegasan diatas dapat diketahui bahwa seseorang baru dapat dikatakan melakukan
wanprestasi apabila melakukan wanprestasi apabila ia tidak melakukan prestasi atau
melakukan prestasi tidak sebagaimana yang diperjanjikan. Dan terhadap perbuatan tersebut
telah dilakukan teguran atau perintah oleh pihak yang berhak atas prestasi itu. Disamping saat
wanprestasi dapat ditetapkan dalam perjanjian antara para pihak. Lebih lanjut M. Yahya
Harahap menjelaskan sebagai berikut :
Adapun kewajiban pengertian umum tentang wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang
tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Kalau begitu seorang
debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi, apabila dia dalam melaksanakan
prestasi, apabila dia dalam melaksanakan prestasi perjanjian telah lalai, sehingga terlambat
dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut
sepatutnya/selayaknya.[11]
Dari ketentuan dan pengertian wanprestasi yang tekah dikemukakan diatas dapatlah
diketahui bahwa wanprestasi adalah suatu keadaan atau peristiwa dimana prestasi atau
kewajiban tidak dilakukan sama sekali atau dilakukan tetapi tidak tepat pada waktu yang
telah diperjanjikan dan atau tidak selayaknya.
Menurut Pasal 1247 KUHPerdata bila wanprestasi terjadi, maka yang melakukannya
berkewajiban membayar ganti rugi berupa biaya, rugi dan bunga kepada pihak yang
dirugikan. Untuk adanya kewajiban membayar ganti kerugian, harus didahului dengan suatu
penagihan oleh pihak yang berhak.
E. Bentuk-bentuk Wanprestasi dan Akibat Hukumnya
Didalam setiap perjanjian terdapat para pihak, dimana masing-masing pihak
mempunyai hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian yang telah disepakatibersama.
Apabila salah satu pihak tidak memenuhi apa yang dijanjikan maka ia dikatakan telah
melakukan wanprestasi.
Berdasarkan hal tersebut selanjutnya R. Subekti membagi wanprestasi kedalam 4
(empat) bentuk, yaitu:
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
2. Melakukan apa yang yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagai mana yang diperjanjikan
3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi telambat
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan
Apabila dalam suatu perjanjian telah ditentukan objek dari perjanjian akan diserahkan
pada waktu yang telah ditentukan, namun pada waktu tersebut objeknya tidak diserahkan,
sedangkan waktunya telah tiba untuk diserahkan. Dalam hal ini ia dikatakan wanprestasi atau
ingkar janji.
Melakukan apa yang telah diperjanjikan tetapi telambat, dalam hal ini yang perlu
diperhatikan, akibat dari keterlambatan itu apakah merugikan salah satu pihak. Misalnya
akibat dari salah satu pihak tidak membayar uang yang diperjanjikan semula, maka pihak
yang lain menderita kerugian.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan perbuatan
demikian tidak dapat juga dikatakan wanprestasi. Menurut ketentuan Pasal 1442 KUHPerdata
yang berbunyi : “Jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka pihak yang
manapun juga yang berbuat berlawanan dengan perikatan, karena pelanggaran itu dan karena
itupun saja, berwajiblah ia akan menggantikan biaya rugi dan bunga”.
Dalam perikatan yang berisi memberikan sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu,
apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, maka penyelesaian adalah
diwajibkan kepada pihak tersebut untuk membayar biaya, rugi dan bunga (Pasal 1239
KuhPerdata).
Apabila salah satu pihak tidak menepati janjinya pada waktu yang telah ditentukan,
amak pihak yang merasa dirugikan diharuskan melaksanakan peneguran lebih dahulu, supaya
pihak diharuskan melaksanakan peneguran lebih dahulu, supaya pihak lain memenuhi
prestasinya. Mengenai peneguran ini timbul masalah, apakah peneguran itu dilakukan dengan
surat perintah atau dibolehkan dengan lisan. Menurut Abdul kadir Muhammad : “Debitur
perlu diperingatkan/ditegur secara tertulis dengan suarat perintaj atau dengan akta tertulis,
dengan surat perintah atau akta sejenis, dalam surat perintah itu ditentukan bahwa ia segera
memenuhi prestasina, jika tidak dipenuhi ia telah dinyatakan wanprestasi”.[12]
Selanjutnya Pasal 1243 KUHPerdata menyebutkan akibat wanprestasi : “Penggantian
biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan
apabila seberutang setelah dinyatakan lalai dalam memenuhi perikatannya, tetap
melakukannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan
atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.
Apabila debitur melakukan wanprestasi, maka timbullah akibat hukumnya R. Subekti
menyebutkan akibat dari wanprestasi tersebut :
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan kata lain ganti rugi
2. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjiann
3. Peralihan resiko
4. Membayar biaya [erkara, kalau sampai deperkarakan didepan pengadilan
Dari akibat melakukan wanprestasi yang dikemukakan oleh R. Subekti tersebut akan
diuraikan sebagaia berikut :
1. Pembayaran ganti kerugian
Menurut Pasal 1442 KUHPerdata : jika perikatan itu bertujuan untuk berbuat sesuatu,
maka pihak yangmanapun, jika ia berbuat sesuatu yang berlawanan dengan perikatan karena
pelanggaran itu wajib mengantikan biaya, rugi dan bunga.
Dalam perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu, prestasinya adalah tidak berbuat
sesuatu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Dalam hal ini tidak perlu dipersoalkan
apakah ditentukan jangka waktu atau tidak. Pasal 1239 KUHPerdata menyebutkan bahwa jika
perbuatan itu untuk memberikan sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila salah satu
pihak tidak memenuhi kewajibannya, maka penyelesaiannya adalah diwajibkan kepada pihak
tersebut untuk pembayaran biaya, rugi dan bunga.
Mengenai kapan saatnya pihak yang melakuka wanprestasi melaksanakannya
diwajibkan apabila seberuntung telah dinyatakan lalai untuk memenuhi perikatannya, tetap
melalaikannya atau suatu yang harus diberikannya, tetap melalaikannya atau suatu yang harus
duberikan melewati batas waktu.
Tentang kerugian apa saja yang dapay dituntut kreditur. Diatur dalam Pasal 1246
KUHPerdata yaitu : Penggantian perongkosan, kerugian dan bunga yang boleh dituntut
kreditur adalah :
a. Kerugian yang diderita kreditur
b. Keuntungan yang akan diperoleh seandainya perjanjian dipenuhi.

2. Pembatalan Perjanjian
Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kepada keadaan
sebelum perjanjian sebelum perjanjian diadakan. Jika salah satu pihak telah menerima
sesuatu dari pihak lain, baik uang maupun barang, maka harus dikembalikan.
Persetujuan tidak batal demi hukum tetapi pembatalan harus dimintakan kepada
hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak
dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan
dalam perjanjian. Hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan tergugat memberikan
jangka waktu yang tidak boleh lebih satu bulan.
Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa perjanjian tersebut tidak batal dengan
sendirinya bila terjadi wanprestasi harus melalui putusan hakim.
3. Peralihan Resiko
Peralihan resiko yang merupakan sanksi yang ketiga terhadap wanprestasi diatur
dalam Pasal 1237 ayat (2) KUHperdata yang menyebut bahwa: “Jika siberpiutang lalai akan
menyerahkannya, maka semenjak kelalaian, kebendaan adalah tanggungan siberutang”.
Apabila debitur tidak menyerahkan barang, maka segala sesuatu yang terjadi atas
objek yang diperjanjikan, resiko berada dalam tanggung jawabnya.
4. Pembayaran Biaya Perkara
Kewajiban membayar biaya perkara dalam Pasal 1267 KUHPerdata menyebutkan:
Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih
dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, ataukah ia
akan menuntut pembatalan persetujuan, disertai dengan penggantian biaya, kerugian dan
bunga.
Menurut ketentuan tersebut, pihak kreditur dapat menuntut pihak debitur yang lalai
itu, pemenuhan perjanjian atau pembatalan disertai penggantian biaya, rugi dan bunga.
Dengan demikian, ia dapat menuntut pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi, misalnya
penggantian kerugian karena pemenuhan prestasi terlambat.
Dengan demikian pihak yang tidak mendapat kontra presrasi karena terjadi
wanprestasi dapat memilih tuntutan pemenuhan perjanjian. Pemenuhan perjanjian disertai
dengan ganti rugi, ganti rugi saja, pembatalan perjanjian, dan pembatalan perjanjian disertai
ganti rugi. Kesemua hal diatas merupakan alternatif tuntutan yang dapat diajukan pihak yang
dirugikan, akibat adanya wanprestasi.
F. Prosedur Penyelesaian Wanprestasi
Wanprestasi atau yang disebut juga dengan kelalaian, mempunyai akibat-akibat yang
begitu penting, maka dalam hal ini harus ditetapkan terlebih dahulu apakah siberutung
melakukan wanprestasi dan kalau hal itu di sangkal olehnya, harus dibuktikan dimuka hakim.
Kadang-kadang juga tidak mudah untuk mengatakan bahwa seseorang telah melakukan
wanprestasi, karena seringkali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak
diwajibkan melakukan prestasi yang dijanjikan.
Mengenai perjanjian untuk menyerahkan sesuatu barang atau untuk melakukan suatu
perbuatan, jika tidak ditetapkan kapan batas waktunya tetapi siberutang akan dianggap lalai
dengan lewatnya waktu yang di tentukan. Pelaksanaan prestasi itu harus lebih dahulu di tagih
kepada debitur itu harus diperingatkan bahwa kreditur menghendaki pelaksanaan perjanjian,
apabila prestasi tidak seketika dapat dilakukan, maka siberutang diberikan waktu yang
pantas.
Mengenai cara memperingatkan seseorang debitur, agar jika ia tidak memenuhi
teguran itu dapat dikatakan lalai, dalam hal ini sebagaimana yang telah disebutkan diatas
pada Pasal 1238 KUHPerdata menentukan bahwa “Siberutang adalah lalai, bila ia dengan
surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu dinyatakan lalai, atau demi perikatannya
sendiri menetapkan bahwa siberutang akah harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan”. Mengenai hal ini R. Subekti mengatakan :
Yang dimaksud dengan surat dengan perintah yitu suatu peringatan resmi oleh seseorang juru
sita pengadilan, perkataan akta sejenis itu sebenarnya oleh undang-undang dimaksudkan
suatu peringatan tertulis, sekarang sudah lazim ditafsirkan suatu peringatan atauatau teguran
yang juga boleh dilakukan secara lisan, asal cukup tegas mengatakan desakan seberutang
supaya prestasi dilakukan dengan seketika atau dalam waktu yang singkat, hanyalah tentunya
saja sebaiknya dilakukan secara tertulisdan seyogianya dengan surat tercatat, agar nanti
dimuka hakim tidak mudah dipungkiri oleh seberutang.[13]
Peringatan terhadap debiturbaik dengan teguran ataupun dengan surat peringatan
tidak akan menimbulkan masalah jika peminjam menyadari kewajibannya tersebut, tetapi
problema akan timbul apabila debitur tetap tidak memenuhi prestasi. Hal ini mengakibatkan
timbulnya gugatan dimuka pengadilan dari pihak pemberi pinjaman. Dalam gugatan inilah
somatie atau igrebreke stelling itu menjadi alat bukti bahwa peminjam betul-betul telah
melakukan wanprestasi.
Apabila seseorang debitur telah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagi janjinya, seperti
yang diterangkan diatas, maka jika ia tetap tidak melakukan prestasinya, ia berada dalam
keadaan lalai maka terhadapnya dapat diperlakukan sanksi-sanksi sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya di atas yaitu ganti rugi, pembatalan perjanjian, dan peralihan resiko.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul Kadir Muhammad, Segi-segi Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1993
2. Chairuman H. Pasaribu. Suhrawardi K. Lugis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinat Grafika,
Jakarta, 1994
3. Ridwan Syahrani, Seluk Beluk Azas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1985
4. Satrio, J, Hukum Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung 1993
5. Yahya Harahap, M.,Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, bandung, 1986
6. Kartini, Muljadi. Gunawan widjaja, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Raja Grafindo
Prsada Jakarta, 1994

[1] R.Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1989, Hal.1


[2] Ahmad ichsan, Hukum Perdata IB, IP. Pembimbing Masa, Bandung, 1982, hal.6.
[3] M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, 1982,hal.6.
[4] R.Subekti.OP.Cit, Hal.14

[5] Mariam darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank. Alumni Bandung, 1983,
hal.24
[6] R. Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum
Indonesia,Seksi Hukum adat Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1982,Hal.14
[7] Abdul kadir Muhammad, Hukum Perjanjian,Alumni Bandung,1980, hal. 88
[8] Mariam Darulzaman, Op Cit,
[9] R. Subekti,Op Cit,hal 1
[10] Wiryono Prodjo Dikoro, Op Cit, Hal.40
[11] M.Yahya Harahap,Op Cit, Hal.220.
[12] Abdul Kadir Muhammad, OP Cit.hal 22.
[13] Ibid, halaman,46

hukum jaminan, hukum pinjam pakai, wanprestasi

(ANALISIS KASUS TERHADAP SENGKETA TANAH JO ERWIN TARUNAGARA dan


THIN SETIADI SUTANTO)

POSISI KASUS
Jo Erwin Tarunagara dan Thin Setiadi Sutanto adalah rekan kerja dimana Setiadi
adalah pimpinan dari Erwin. Pada awalnya Erwin meminjam uang kepada dari Bank Multi
Arta Sentosa (BMAS). Sementara itu dia memiliki tanah di kompleks Sunter Paradise II Blok
P Nomor 11 yang kemudian dijadikan jaminan atas pinjaman yang telah diberikan BMAS.
Setelah itu, diletakkan hak tanggungan atas tanah tersebut.
Erwin akhirnya tidak bisa melaksanakan kewajibannya untuk melunasi hutangnya
kepada BMAS, dan BMAS melelang tanah tersebut. Ternyata Setiadi berminat memiliki
tanah tersebut dan menebus sejumlah harga yang ditawarkan. Lalu terjadi balik nama atas
tanah tersebut. Setelah Setiadi mendapat hak atas tanah tersebut, atas dasar kemanuasiaan
Setiadi memberi ijin kepada Erwin untuk meminjam pakai tanah tersebut yang kemudian
dilakukan melalui Akta Pinjam Pakai di depan notaris.
Secara sah, Erwin sudah mengakui bahwa tanah tersebut adalah milik Setiadi dan hak
Erwin hanya sebagai pemakai sesuai ketentuan yang berlaku dan sewaktu-waktu Setiadi
dapat mengambil kembali tanah tersebut, lalu sekurang-kurangnyadua minggu Erwin harus
mengembalikan tanah tersebut.
Pada tahun 2003, Setiadi menyatakan akan menggunakan sendiri tanahnya, tetapi
sampai batas waktu yang ditentukan Erwin tidak kunjung mengosongkan tempatnya dan
malah menyatakan bahwa tanah tersebut adalah miliknya serta menyertakan surat keterangan
dan membantah telah menandatangai Akta Pinjam Pakai di depan notaris. Karena berbelit-
belitnya Erwin, maka Setiadi mengajukan gugatan atas wanprestasi-wanprestasi yang telah
dilakukan Erwin.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana penerapan hukum jaminan sesuai pasal 1131 KUH Perdata?
2. Bagaimana penerapan hukum pinjam-pakai?
3. Wanprestasi apa saja yang dilakukan oleh Erwin?
KAJIAN PUSTAKA
A. HUKUM JAMINAN
Hukum jaminan adalah kaidah atau peraturan hukum yang mengatur ketentuan mengenai
jaminan dari pihak debitur atau dari pihak ketiga bagi kepastian pelunasan piutang kreditur
atau pelaksanaan suatu prestasi. Dalam kehidupan sehari-hari kita juga sudah sering
mendengar istilah jaminan. Jaminan dalam pengertian bahasa sehari-hari biasanya merujuk
pada pengertian adanya suatu benda atau barang yang dijadikan sebagai pengganti atau
penanggung pinjaman uang terhadap seseorang.

Pengaturan mengenai hukum jaminan bersumber dari undang-undang dan peraturan


perundang-undangan. Pengaturan mengenai hukum jaminan dapat ditemukan dalam pasal
1131 KUH Perdatadata.

Pembagian Jaminan

1. Penggolongan Jaminan berdasarkan Sifatnya, yaitu:


o Jaminan yang bersifat Umum.
Merupakan jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan menyangkut
semua harta benda milik debitur, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata
o Jaminan yang bersifat Khusus.
Merupakan jaminan yang diberikan dengan penunjukan atau penyerahan atas suatu
benda/barang tertentu secara khusus, sebagai jaminan untuk melunasi utang atau kewajiban
debitur, baik secara kebendaan maupun perorangan, yang hanya berlaku bagi kreditur tertentu
saja.
o Jaminan yang bersifat Kebendaan dan Perorangan.
Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu
benda tersebut. Penggolongan jaminan berdasarkan atau bersifat kebendaan dilembagakan
dalam bentuk: hipotek, Hak Tanggungan, gadai, dan fidusia.sedangkan jaminan yang bersifat
perorangan, dapat berupa borgtoch (personal guarantee) yang pemberi jaminannya adalah
pihak ketiga secara perorangan, dan jaminan perusahaan, yang pemberi jaminannya adalah
suatu badan usaha yang berbadan hukum.

2. Penggolongan jaminan berdasarkan Objek atau Bendanya:


o Jaminan dalam bentuk Benda Bergerak.
Dikatakan benda bergerak, karena sifatnya yang bergerak dan dapat di pindahkan atau
dalam UU dinyatakan sebagai benda bergerak. Jaminan dalam bentuk benda bergerak
dibedakan atas benda bergerak yang berwujud, dan benda bergerak yang tidak berwujud,
o Jaminan dalam bentuk Benda Tidak Bergerak.
Merupakan jaminan yang berdasarkan sifatnya tidak bergerak dan tidak dapat di
pindah-pindahkan, sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata.

3. Penggolongan jaminan berdasarkan Terjadinya:


o Jaminan yang lahir karena Undang-undang.
merupakan jaminan yang ditunjuk keberadaannya oleh undang-undang, tanpa adanya
perjanjian dari para pihak, sebagaimana yangdiatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata, seperti
jaminan umum, hak privelege dan hak retensi.
o Jaminan yang lahir karena Perjanjian.
merupakan jaminan yang terjadi karena adanya perjanjian antara para pihak
sebelumnya, seperti gadai (pand), fidusia, hipotek, dan hak tanggungan.

Dalam kasus ini, hukum jaminan yang terjadi adalah dengan dijaminkannya anah
yang diatur dalam hak tanggungan. Berdasarkan pasal 1 ayat 1 undang-undang hak
tanggungan (UUTH), hak tanggungan merupakan hak jaminan atas tanah yang dibebankan
berikut benda-benda lain yang merupakan suatu satu kesatuan dengan tanah itu untuk
pelunasan hutang dan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur-kreditur yang lain.

B. Hukum Pinjam Pakai


Pinjam Pakai adalah salah satu jenis dari kontrak nominaat. Istilah kontrak nominaat
merupakan terjemahan dari nominaat contract. Kontrak nominaat sama artinya dengan
perjanjian bernama atau benoemde dalam bahasa Belanda. Kontrak nominaat merupakan
perjanjian yang dikenal dan terdapat dalam pasal 1319 KUH Perdata, Pasal 1319 KUH
Perdata berbunyi
“Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak dikenal
dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan
bab yang lalu.”
Dalam perjanjian pijam pakai, barang yang dipinjamkan tidak habis atau musnah
karena pemakaian. Sipemilik barang meminjamkan barangnya kepada peminjam secara
cuma-Cuma. Hukum Pinjam pakai diatur dalam pasal 1740 sampai dengan pasal 1753 KUP
Perdata. Pinjam pakai adalah suatu persetujuan dimana pihak yang satu memberikan suatu
barang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai dengan cuma-cuma, dengan syarat bahwa
yang menerima barang ini setelah memakainya atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu
akan mengembalikan (Pasal 1740 KUH Perdata). Pihak yang meminjamkan tetap menjadi
emilik barang yang dipinjamkan.
Perjanjian pinjam pakai ini merupakan contoh dari suatu perjanjian sepihak atau
unilateral (dimana perkataan “sepihak” ditujukan pada hanya adanya prestasi dari satu pihak
saja). Sifatnya sepihak itu dinyatakan dengan rumusan “dipakai dengan cuma-cuma”, artinya
hanya pihak yang meminjamkan yang berprestasi, sedangkan pihak yang meminjam hanya
menggunakan tanpa ada balas prestasi kepada yang meminjamkan. Sehingga didalam
perjanjian pinjam pakai ini tidak terdapat kontra prestasi. Namun begitu, terdapat kewajiban-
kewajiban bagi si peminjam dan yang meminjamkan.
 Kewajiban yang menerima pinjaman adalah :
o menyimpan dan memelihara barang yang dipinjamnya sebagai seorang bapak rumah yag baik
(Pasal 1744 KUH Perdata)
o mengembalikan barang yang dipinjamnya tepat waktu, sesuai dengan kesepakatan
Apabila barang yang dipinjam oleh yang menerima pinjaman itu musnah atau rusak
maka ia bertanggungjawab atas musnahnya barang tersebut.
 Kewajiban dari pemberi pinjaman adalah
o tidak dapat meminta kembali barang yang dipinjamnya kecuali lewat waku yang ditentukan
(Pasal 1750 KUH Perdata)
o menyerahkan barang yang dipinjamnya
Hak pemberi pinjaman adalah menerima kembali barang yang telah dipinjamnya.
C. Wanprestasi
Wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan
debitur baik karena kesengajaan atau kelalaian. Menurut J Satrio: “Suatu keadaan di mana
debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan
kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya”.

Bentuk-bentuk Wanprestasi:

1. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali;


2. Melaksanakan tetapi tidak tepat waktu (terlambat);
3. Melaksanakan tetapi tidak seperti yang diperjanjikan; dan
4. Debitur melaksanakan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Tata cara menyatakan debitur wanprestasi:

 Somasi
 Peringatan kreditur kepada debitur tidak melalui Pengadilan Negeri.
Akibat Hukum bagi Debitur yang Wanprestasi:

Akibat hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau
sanksi berupa:

1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi);

2. Pembatalan perjanjian;

3. Peralihan resiko.

4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.

Disamping debitur harus menanggung hal tesebut diatas, maka yang dapat dilakukan
oleh kreditur dalam menghadapi debitur yang wanprestasi ada lima kemungkinan sebagai
berikut (Pasal 1276 KUH Perdatadata):

1. Memenuhi/melaksanakan perjanjian;

2. Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi;

3. Membayar ganti rugi;

4. Membatalkan perjanjian; dan

5. Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi.


ANALISIS KASUS
A. Penerapan Pasal 1131 KUH Perdata dalam Perihal Hukum Jaminan
Dalam pasal 1131 KUH Perdata dinyatakan bahwa segala kebendaan debitur baik
yang ada maupun yang akan ada baik bergerak maupun yang tidak bergerak merupakan
jaminan terhadap pelunasan hutang yang dibuatnya. Sesuai dalam pasal tersebut maka dalam
kasus ini, terjadilah hukum jaminan kebendaan, yaitu benda tidak bergerak. Dimana untuk
melunasi hutangnya Erwin menjaminkan tanahnya kepada Bank.
Adapun untuk menyempurnakan pelaksanaan hukum jaminan, maka unsur-unsurnya
harus terpenuhi terlebih dahulu. Ada empat unsur yang harus dilengkapi dalam perjanjian
yaitu :
1. Serangkaian ketentuan hukum, baik yang bersumberkan kepada ketentuan hukum yang
tertulis dan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan hukum jaminan yang tertulis
adalah ketentuan hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan, termasuk
yurisprudensi, baik itu berupa peraturan yang original (asli) maupun peraturan yang derivatif
(turunan). Adapun ketentuan hukum jaminan yang tidak tertulis adalah ketentuan hukum
yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan pembebanan utang suatu
jaminan.

2. Ketentuan hukum jaminan tersebut mengatur mengenai hubungan hukum antara pemberi
jaminan (debitur) dan penerima jaminan (kreditur). Pemberi jaminan yaitu pihak yang Jo
Erwin Tarunagara , yang menyerahkan tanahnya sebagai (benda) jaminan kepada penerima
jaminan (kreditur) yaitu Bank Multi Arta Santosa.

3. Adanya jaminan yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur. Jaminan yang diserahkan
adalah tanah di Jl. Paradise Raya VI Blok P No.11, Kelurahan Sunter, Kecamatan Tanjung
Priok, Jakarta Utara milik Erwin.

4. Pemberian jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan dimaksudkan sebagai jaminan
(tanggungan) bagi pelunasan utang tertentu. Tanah yang dimiliki Erwin dimaksudkan sebagai
tanggungan jika Erwin tidak bisa melunasi hutangnya kepada Bank Multi Arta Santosa.
Dengan dilengkapinya unsur-unsur hukum jaminan maka hukum jaminan yang ada dapat
terlaksana dengan baik.
Jenis jaminan dalam kasus ini dapat disebut hak tanggungan. Disebut Hak
Tanggungan karena berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
(“UUHT”) mengatur definisi Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-
benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-
kreditor lain.
Tanah yang dijaminkan adalah tanah dari Erwin yaitu tanah di Desa Sunter Agung,
yang terletak di Jl. Paradise Raya VI Blok P No.11, Kelurahan Sunter, Kecamatan Tanjung
Priok, Jakarta Utara. Hal ini sesuai dengan implementasi pasal 1 ayat 1 undang-undang hak
tanggungan, hak tanggungan merupakan hak jaminan atas tanah yang dibebankan berikut
benda-benda lain yang merupakan suatu satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan
hutang dan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur-kreditur yang lain.
Benda tanggungan berupa tanah yang dimiliki oleh Erwin sesuai dengan syarat-syarat
akan objek tanggungan. Sebagaimana diketahui bahwa objek tersebut haruslah :
 Benda yang dapat bersifat ekonomis (dapat dinilai dengan uang).
 Benda yang dapat dipindah tangankan haknya kepada pihak lain.
 Tanah yang akan dijadikan jaminan ditunjukan oleh undang-undang.
Setelah sahnya tanah tersebut sebagai objek Hak Tanggungan maka dibuatlah akta Hak
Tanggungan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan No. 19/T.Priok/1998 pada tanggal 9
Januari 1998 .
Namun pada kenyataannya hingga tanggal jatuh tempo ternyata Erwin tidak mampu
melaksanakan kewajibannya untuk membayar hutang kebada Bank. maka kemudian tanah
tersebut dimiliki oleh Bank berdasarkan lelang yang diadakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Utara.
Dalam berita di atas disebutkan bahwa Erwin telah melunasi hutang kepada Bank,
tetapi setelah ditelusuri di keputusan.mahkamahagung.go.id , ternyata Erwin belum
melunasinya oleh karena itu Bank melelang tanah tersebut, dan setelah kepemilikan tanah
atas nama Bank, Setiadi membelinya. Sehubungan dengan itu pada tanggal 19 Juli 2000
diadakan pengikatan jual beli antara Bank selaku penjual dan Setiadit sebagai pembeli yang
disahkan lewat adanya Akta Pengikatan Untuk Jual Beli No. 5 tanggal 19 Juli 2000, yang
juga disertai dengan Akta Kuasa Menjual dari Bank kepada Setiadi dengan Akta Kuasa No. 6
tanggal 19 Juli 2000, kedua akta tersebut dibuat di hadapan notaris.

B. Hukum Pinjam-Pakai

Penerapan hukum pinjam pakai diatur dalam 1740 sampai dengan pasal 1753 KUP
Perdata. Pinjam pakai adalah suatu persetujuan dimana pihak yang satu memberikan suatu
barang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai dengan cuma-cuma, dengan syarat bahwa
yang menerima barang ini setelah memakainya atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu
akan mengembalikan (Pasal 1740 KUH Perdata). Pihak yang meminjamkan tetap menjadi
pemilik barang yang dipinjamkan.
Dalam implementasinya, barang yang dijadikan objek dalam pinjam pakai ini adalah
tanah yang dimiliki Setiadi, yang kemudian dipinjamkan kepada Erwin dan Setiadi tetaplah
sebagai pemilik barang yang dipinjamkan. Kasus atas tanah yang diperebutkan Erwin dan
Setiadi memang berbelit-belit. Setelah Setiadi memiliki tanah tersebut maka atas dasar
kemanusiaan Setiadi meminjamkan tanahnya kepada Erwin untuk digunakan sebagaimana
mestinyaa. Lalu dibuatlah akta pinjam-pakai oleh Setiadi untuk memperkuat perjanjianya.
Setiadi memberikan ijin kepada Erwin untuk meminjam pakai tanah tersebut dan
keluarlah Akta Pinjam Pakai No. 7 tanggal 31 Juli 2000 yang dibuat di hadapan Notaris
Henggawati, di mana pinjam pakai tanah yang terjadi antara Erwin dan Setiadi berakhir pada
tanggal 31 Juli 2001, Kesepakatan pinjam pakai ternyata tidak berhenti sampai disitu,
kemudian diperpanjanglah perjanjian atas pemakaian tanah tersebut dengan Akta Pinjam
Pakai No. 7 tanggal 13 Agustus 2001 yang dibuat di hadapan Doktorandus Wijanto
Suwongso, Notaris di Jakarta yang berakhir tanggal 31 Juli 2002, dan terakhir diperpanjang
lagi dengan Akta Pinjam Pakai No. 52 tanggal 23 Desember 2002 yang dibuat di hadapan
notaris yang sama.
Dengan menandatangai perjanjian tersebut sebenarnya Erwin sudah mengakui tanah
tersebut adalah milik Setiadidan Erwin hanyalah peminjam serta pemakai tanah tersebut.
Maka hak yang di dapat Erwin adalah menggunakan tanah tersebut sebagaimana mestinya.
Namun setelah tanggal jatuh tempo yang ditentukan dan setelah tiga kali perpanjangan akta
pinjam-pakai. Erwin terus mangkir dan malah menyebutkan bahwa tanah itu miliknya.
Atas dasar itu, Erwin tidak memenuhi prestasi dimana harus mengembalikan tanah
yang telah dipinjamkan oleh Setiadi kepadanya selambat-lambatnya dua minggu setelah
Setiadi mengumumkan bahwa tanah tersebut telah habis masa pinjamnya. Pada tanggal 26
Mei 2003 Setiadi melalui kuasa hukumnya menyatakan akan menggunakan sendiri Tanah
tersebut dan meminta Erwin untuk mengosongkannya. Tapi Erwin tidak kunjung
mengembalikannya dan malah mengaku tanah tersebut adalah miliknya.

C. Wan prestasi yang Terjadi dalam Kasus

Wanprestasi diartikan dengan tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan debitur


baik karena kesengajaan atau kelalaian. Ada beberapa wanprestasi yang terjadi dalam kasus
ini. Kasus ini mengandung dua kegiatan hukum. Yaitu Hukum Jaminan dan Hukum Pinjam
Pakai.
Dalam hukum jaminan, Erwin memberikan jaminan kepada Bank, yaitu tanahnya.
Jika Erwin tidak mampu memenuhi prestasi, maka tanah tersebut akan diambil oleh Bank.
Wanprestasi yang dilakukan Erwin dalam kasus ini adalah tidak terpenuhinya hutang kepada
Bank hingga tanggal jatuh tempo dan sebagai ganti rugi, tanah tersebut diambil oleh Bank.
Kegiatan hukum yang kedua adalah perjanjian Pinjam Pakai. Tanah yang akhirnya
dimiliki Setiadi akibat dia membelinya dari Bank, dipinjamkan kepada Erwin untuk
digunakan sebagaimana mestinya dan Setiadi tetaplah pemilik tanah tersebut. Namun,
kenyataannya setelah Setiadi ingin mengambil tanahnya dan menggunakannya sendiri, Erwin
malah mangkir dan menyebutkan bahwa tanah itu adalah miliknya. Wanprestasi yang
dilakukan adalah Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya
(mengembalikan tanah tepat waktu) dan melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak
boleh dilakukannya (tidak kunjung mengosongkan tanah yang dipinjam serta mangkir dan
malah mengakui tanah tsb miliknya.)
Sampai batas waktu yang ditetapkan tersebut di atas, Erwin tidak mau untuk keluar
dan mengosongkan tanah, hal ini jelas merupakan tindakan melawan hukum yang dilakukan
oleh Erwin, Erwin menempati Tanah milik Setiadi dengan tanpa hak dan melawan hukum
sehingga hal ini menimbulkan kerugian bagi Setiadi yaitu tidak dapat memiliki secara fisik
dan menggunakannya selaku pemilik tanah yang sah
Sebagai tindak lanjut pada kasus tersebut mealui kuasa hukumnya, Setiadi telah
memberikan peringatan kepada Erwin untuk segera mengosongkan tanah tersebut di atas
tetapi tidak diindahkan bahkan melalui surat tertulis dari kuasa hukumnya, Erwin mengatakan
bahwa Tanah tersebut adalah miliknya ia menyangkal pernah menandatangani Akta Pinjam
Pakai di hadapan notaris. Erwin malah melapor kepada kelurahan setempat telah kehilangan
Sertifikat dan meminta Surat Pengantar Lurah No. 378 tanggal 16 juni 2003 untuk mengurus
laporan kehilangan Sertifikat HGB No. 2885 ke Polres Jakarta Utara, hal ini jelas
menunjukan adanya niat dari Erwin untuk menguasai dan memiliki tanah dengan melawan
hukum, serta telah memanipulasi fakta hukum yang sebenarnya.
Akhirnya Setiadi tidak dapat menguasai dan memanfaatkan tanah tersebut, padahal ia
telah menunjukan itikad baiknya yaitu dengan memberikan kesempatan kepada Tergugat
untuk rnenempati Tanah tersebut sesuai dengan Perjanjian Pinjam Pakai yang telah dibuat
dan disepakati di atas. Selanjutnya, dengan tetap didasari keinginan untuk tetap
menyelesaikan permasalahan tersebut secara baik dengan didasari itikad baik, Setiadi
berusaha melalui jalan musyawarah menyelesaikan permasalahan ini sehingga dibuat
pertemuan dengan Erwin dan pada pertemuan tersebut Setiadi juga telah mengutarakan
maksud untuk meminta
Erwin secara sukarela mengosongkan Tanah milik Setiadi
Setiadi juga mengungkapkan akan menjual tanah tersebut dan akan menyisihkan
sebagian dari hasil penjualan untuk diberikan kepada Tergugat sebagai konpensasi jika secara
sukarela mengosongkan Tanah.Tetapi Erwin tetap pada pendiriannya yaitu akan tinggal di
Tanah tersebut dan menyatakan bahwa Tanah tersebut adalah miliknya,
Erwin sudah melakukan wanprestasi dan menguasai tanah tersebut secara melawan
hukum. Selain itu ia telah merugikan Setiadi sebagai pemilik tanah yang sah karena tidak
dapat menguasai dan memanfaatkan tanah tersebut.
Karena wanprestasi dan tindakan melawan hukum tersebut, Setiadi bisa saja
memproses Erwin secara hukum. Akhirnya, Setiadi memutuskan untuk menyelesaikan
masalah tersebut melalui Pengadilan Negeri Jakarta Utara setelah proses musyawarah
ditempuh dan hasilnnya tetap saja Erwin tidak mau menyerahkan tanah dan mengaku pemilik
tanah tersebut.
Jelas dari uraian di atas bahwa tindakan dari Erwin yaitu menguasai secara melawan
hak Tanah dan Bangunan milik Setiadi adalah tindakan melawan hukum yang menimbulkan
kerugian bagi Setiadi yang berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi “Setiap
perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut” pada
akhirnya memberikan hak kepada Setiadi untuk meminta ganti rugi kepada Erwin.
Atas wanprestasi yang dilakukan, Erwin bisa saja mendapatkan hukuman atau sanksi
berupa:

 Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi);


 Pembatalan perjanjian;
 Peralihan resiko.
 Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Dan disyaratkan kerugian yang dapat dituntut haruslah kerugian yang menjadi akibat
langsung dari wanprestasi. Artinya antara kerugian dan wanprestasi harus ada hubungan
sebab akibat. Dalam hal ini kreditor harus dapat membuktikan:
a. Besarnya kerugian yang dialami.
b.Bahwa faktor penyebab kerugian tersebut adalah wanprestasi karena kelalaian
kreditor, bukan karena faktor diluar kemampuan debitor
Selanjutnya kasus ini diproses ke pengadilan dan Setiadi dapat membuktikan kerugian
apa saja yang diterimanya. Kerugian Setiadi yaitu berupa :
 Kerugian Materiel yaitu Kerugian berupa Sewa Tanah dan bangunan yang seharusnya
diterima berdasarkan harga pasaran setempat adalah sebesar Rp. 5.000.000,- perbulannya,
yang dihitung sejak tangal 11 Juni 2003 sampai dengan Erwin menyerahkan Tanah milik
Penggugat yang terletak di Jl. Paradise Raya VI Blok P No 11, Kelurahan Sunter, Kecamatan
Tanjung Priok, Jakarta Utara dalam keadaan kosong dan baik
 Kerugian Immaterial, yaitu hilangnya kenikmatan yang dapat diraih karena tidak dapat
menggunakan tanah miliknya serta tindakan dari Tergugat yang mengulur-ulur waktu dalam
penyelesaian masalah ini menyebabkan banyak waktu dari Penggugat selaku seorang
pengusaha yang tersita untuk mengurus masalah ini di mana kerugian immaterial yang
diderita oleh Penggugat sebesar Rp. 10.000.000.000,- . Untuk menjamin pelaksanaan
putusan serta mencegah Erwin lalai melaksanakan isi putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Utara, maka Setiadi meminta untul menghukum Tergugat membayar uang paksa (dwangsom)
sebesar Rp. 1.000.000,- atas tiap-tiap hari keterlambatan pelaksanaan putusan.
PENUTUP

Kesimpulan
Penerapan Hukum Jaminan sudah sesuai dengan asal 1131 KUH Perdata dimana
unsur, objek, maupun hal-hal yang seharusnya ada dalam hukum jaminan sudah terpenuhi
dengan baik. Erwin sebagai debitur memberikan jaminan tanahnya atas hutangnya kepada
Bank. Jaminan berupa tanah diatur dalam Hak Tanggungan sebagiamana tercantum dalam
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
Selanjutnya karena wanprestasi dari debitur, maka kreditur mengambil alih tanah
yang dijaminkan. Setelah itu, Setiadi tertarik untuk memiliki tanah tersebut dan setelah tanah
tersebut dimiliki oeh Setiadi, maka dia meminjamkan tanah tersebut kepada Erwin yang pada
awalnya memiliki tanah tersebut. Setelah perjanjian pinjam pakai dirasa harus diakhiri karena
Setiadi memilih untuk menggunakannya sendiri, Erwin tidak kunjung mengosongkan tanah
yang dipinjamkan kepadanya.
Proses hukumpun berlanjut ketika Erwin tidak mau menyerahkan tanahnya kepada
Setiadi dan malah mengaku tanah tersebut miliknya. Atas wanprestasi tersebut, Setiadi
mengajukan gugatan dan memenagkan kasus dengan dituntutnya Erwin atas perbuatan
melawan hukum yang dilakukan.

Saran
Setiadi sudah cukup jeli dalam setiap perjanjian dengan disahkannya tiap-tiap
perjanjian di depan notaris baik ketika adanya jual beli maupun pinjam pakai. Akta-akta yang
dibuat ternyata dibutuhkan ke depannya jika ada hal-hal yang tidak bisa dipenuhi prestasinya.
Dan terbukti, ternyata kasus atas tanahnya berbelit-belit hingga ke pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA

S, Salim H. 2011. Hukum Kontrak. Jakarta ; Sinar Grafika


Sari, Elsi Kartika. 2007. Huku dalam Ekonomi. Jakarta: Grasindo
Satrio, J. 1996. Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Pribadi Penanggungan & Perikatan
Tanggung-menanggung. Bandung : Citra Aditya Bakti
Subekti, R. 1985. Aneka Perjanjian. Bandung : Alumni
Pertanyaan :
Bisakah Pelanggaran Perjanjian Pinjam Pakai Dianggap Penggelapan?
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas kesempatan ini. Kronologis kejadiannya begini,
pada tanggal 16 mei 2014 saya pinjamkan satu unit kamera (dslr) tipe Canon 70 D beserta
kelengkapannya (satu tas kamera) kepada teman saya.Dan ini merupakan yang ketiga kalinya
dia meminjam kepada saya, besok harinya dia kabarkan saya kalau kamera saya telah hilang
diambil orang. Menurut kejadian versi dia kalau kamera tersebut hilang diambil orang dengan
cara memotong tali kamera menggunakan golok, yang dia kasih lihat bukti bekas sobekan
tasnya dia yang lain dan jaket yang dia kenakannya, secara logika saya pikir hal itu tidak
mungkin terjadi menurut saya di underpass UKI pas kejadian dalam kondisi jalan yang ramai,
sekitar pukul 12.00 WIB (teman saya menggunakan motor dan tas kamera dia selempangkan
ke belakang) dan yang lebih anehnya lagi dia baru sadar setelah sampai di kalibata (jadi tidak
ada saksi dalam hal ini dan tidak ada laporan kepolisian tentang kejadian kehilangan barang
tersebut). Pertanyaan saya, apa tindakan teman saya tersebut dapat saya laporkan sebagai
tindakan penggelapan atau masuk ke dalam ranah perdata, dalam hal ini saya tidak
mempunyai bukti tertulis kalau dia meminjam kamera ke saya. tapi dalam hal saksi banyak
yang tahu kalau dia pinjam kamera ke saya dan adanya pengakuan dari dia kalau dia akan
ganti kamera yang dia pinjam lewat smsnya. Pertanyaan saya berikutnya apa bisa saya buat
laporan ke polisi kalau teman saya melakukan tindakan penggelapan, sebelumnya saya
pernah buat laporan ke polisi, tetapi sama polisi tidak bisa dibuatkan laporannya karena kasus
tersebut masuk ke dalam perkara perdata.
Jawaban :

Pertama kami akan menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan “peminjaman” dalam kasus Anda.
Karena dalam uraian pertanyaan Anda, Anda tidak menyinggung mengenai adanya harga yang harus dibayar
oleh teman Anda atas peminjaman ini, maka menurut kami “peminjaman” yang terjadi antara Anda dengan
teman Anda adalah “pinjam pakai” sebagaimana diatur dalam Pasal 1740 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (“KUHPerdata”):

“Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang satu menyerahkan suatu barang untuk
dipakai dengan cuma-cuma kepada pihak lain, dengan syarat bahwa pihak yang menerima barang itu
setelah memakainya atau setelah lewat waktu yang ditentukan, akan mengembalikan barang itu.”

Pada dasarnya pinjam pakai adalah sebuah perjanjian. Maka syarat sahnya perjanjian juga berlaku dalam hal
pinjam pakai. Syarat sah perjanjian terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. suatu pokok persoalan tertentu;

4. suatu sebab yang tidak terlarang.

Melihat pada syarat sahnya perjanjian di atas, ini berarti perjanjian tidak harus dibuat tertulis. Perjanjian secara
lisan juga sudah mengikat para pihak yang membuatnya, kecuali suatu perjanjian diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan untuk dibuat secara tertulis seperti perjanjian kerja waktu tertentu. Lebih lanjut dapat
dibaca artikel Perlunya Perjanjian Dibuat Secara Tertulis.

Ini berarti tindakan peminjaman yang terjadi antara Anda dan teman Anda termasuk dalam ranah perdata, dan
tindakan hukum perdata antara Anda dan teman Anda ini tidak memerlukan perjanjian tertulis. Tapi, perlu Anda
ketahui bahwa akan lebih baik jika perjanjian dibuat tertulis agar ada bukti tertulis yang dapat digunakan jika di
kemudian hari terjadi sengketa.

Melihat pada uraian pertanyaan Anda, ada iktikad baik dari teman Anda yang ingin mengganti kamera Anda
yang hilang tersebut dengan yang baru.

Mengenai apakah Anda dapat menuntutnya secara pidana (penggelapan), perlu Anda ketahui bahwa upaya
hukum pidana merupakan ultimum remedium (upaya terakhir). Jika Anda bisa menyelesaikannya secara
musyawarah (dalam hal ini teman Anda mau mengganti kamera Anda) maupun secara perdata, maka lebih baik
upaya hukum pidana tidak digunakan. Lebih lanjut mengenai ultimum remedium, Anda dapat membaca artikel
Arti Ultimum Remedium.

Jika pada akhirnya Anda ingin menuntut secara pidana yaitu atas dasar penggelapan, perbuatan teman Anda
tersebut harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana penggelapan yang terdapat dalam Pasal 372 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan
diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda
paling banyak sembilan ratus rupiah.”

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 258) menjelaskan mengenai Pasal 372 KUHP. Yaitu bahwa penggelapan
adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam Pasal 362 KUHP. Bedanya ialah bahwa pada
pencurian barang yang dimiliki itu masih belum berada di tangan pencuri dan masih harus “diambilnya”, sedang
pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tidak dengan kejahatan.
Dalam kasus Anda, berarti Anda harus mempunyai dugaan yang kuat bahwa teman Anda dengan sengaja dan
melawan hukum memiliki kamera Anda, yang mana kamera tersebut berada dalam kekuasannya bukan karena
kejahatan tetapi karena memang pada awalnya adalah pinjam pakai kamera. Ini berarti harus dapat dibuktikan
bahwa kamera tersebut sebenarnya ada pada teman Anda, bukan dicuri seperti ceritanya.

Sebagai contoh Anda dapat membaca putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri Nomor:
17/Pid.B/2013/PN.Kdi. Dalam putusan tersebut, terdakwa melakukan penggelapan uang, akan tetapi untuk
menutupi kejahatannya, terdakwa berpura-pura bahwa ia telah dirampok. Kemudian pada saat terdakwa
didatangi oleh Petugas Polsek Banyakan, terdakwa memberikan keterangan kalau terdakwa baru saja mengalami
perampasan. Atas tindakannya tersebut, terdakwa didakwa dengan Pasal 372 KUHP (penggelapan) dan
Pasal 220 KUHP (memberi laporan palsu). Hakim memutuskan terdakwa dipidana penjara selama 5 (lima)
bulan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Referensi:

R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal
Demi Pasal. Politeia: Bogor.

HUKUM PERJANJIAN

resume kel.5

Dalam hukum asing dijumpai istilah overeenkomst (bahasa Belanda), contract /agreement
(bahasa Inggris), dan sebagainya yang merupakan istilah yang dalam hukum kita dikenal
sebagai ”kontrak” atau ”perjanjian”. Umumnya dikatakan bahwa istilah-istilah tersebut
memiliki pengertian yang sama, sehingga tidak mengherankan apabila istilah tersebut
digunakan secara bergantian untuk menyebut sesuatu konstruksi hukum.

Istilah kontrak atau perjanjian dapat kita jumpai di dalam KUHP, bahkan didalam ketentuan
hukum tersebut dimuat pula pengertian kontrak atau perjanjian. Disamping istilah tersebut,
kitab undang-undang juga menggunakan istilah perikatan, perutangan, namun pengertian dari
istilah tersebut tidak diberikan.

Pada pasal 1313 KUHP merumuskan pengertian perjanjian, adalah : suatu perbuatan satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Namun para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai pengertian
perjanjian, Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu
persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu
hal mengenai harta kekayaan. Ahli hukum lain mengemukakan bahwa suatu perjanjian adalah
suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana dua orang
itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang menimbulkan perikatan berupa suatu
rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau
ditulis. Menurut J.Satrio perjanjian dapat mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit,
dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum
sebagai yang dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian
kawin, dll, dan dalam arti sempit perjanjian disini berarti hanya ditujukan kepada hubungan-
hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh buku III
kitab undang-undang hukum perdata.

Jenis-jenis kontrak

Tentang jenis-jenis kontrak KUHP tidak secara khusus mengaturnya. Penggolongan yang
umum dikenal ialah penggolongan kedalam kontrak timbal balik atau kontrak asas beban, dan
kontrak sepihak atau kontrak tanpa beban atau kontrak cuma-cuma.

Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang didalamnya masing-masing pihak


menyandang status sebagai berhak dan berkewajiban atau sebagai kreditur dan debitur secara
timbal balik, kreditur pada pihak yang satu maka bagi pihak lainnya adalah sebagai debitur,
begitu juga sebaliknya.

Kontrak sepihak merupakan perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi
dan memberi hak pada yang lain untuk menerima prestasi. Contohnya perjanjian pemberian
kuasa dengan cuma-cuma, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma, perjanjian pinjam pengganti
cuma-cuma, dan penitipan barang dengan cuma-cuma.

Arti penting pembedaan tersebut ialah :

 Berkaitan dengan aturan resiko, pada perjanjian sepihak resiko ada pada para kreditur,
sedangkan pada perjanjian timbal balik resiko ada pada debitur, kecuali pada perjanjian jual
beli.
o Berkaitan dengan perjanjian syarat batal, pada perjanjian timbal balik selalu
dipersengketakan.
 Jika suatu perjanjian timbal balik saat pernyataan pailit baik oleh debitur maupun lawan janji
tidak dipenuhi seluruh atau sebagian dari padanya maka lawan janjinya berhak mensomir
BHP. Untuk jangka waktu 8 hari menyatakan apakah mereka mau mempertahankan
perjanjian tersebut.

Kontrak menurut namanya dibedakan menjadi dua, yaitu kontrak bernama atau kontrak
nominat, dan kontrak tidak bernama atau kontrak innominat. Dalam buku III KUHP
tercantum bahwa kontrak bernama adalah kontrak jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa,
hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan
utang, perdamaian, dll. Sementara yang dimaksud dengan kontrak tidak bernama adalah
kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum
tercantum dalam kitab undang-undang hukum perdata. Yang termasuk dalam kontrak ini
misalnya leasing, sewa-beli, keagenan, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya,
production sharing.

Kontrak menurut bentuknya dibedakan menjadi kontrak lisan dan kontrak tertulis. Kontrak
lisan adalah kontrak yang dibuat secara lisan tanpa dituangkan kedalam tulisan. Kontrak-
kontrak yang terdapat dalam buku III KUHP dapat dikatakan umumnya merupakan kontrak
lisan, kecuali yang disebut dalam pasal 1682 KUHP yaitu kontrak hibah yang harus
dilakukan dengan akta notaris.

Kontrak tertulis adalah kontrak yang dituangkan dalam tulisan. Tulisan itu bisa dibuat oleh
para pihak sendiri atau dibuat oleh pejabat, misalnya notaris. Didalam kontrak tertulis
kesepakatan lisan sebagaimana yang digambarkan oleh pasal 1320 KUHP, kemudian
dituangkan dalam tulisan.

Pelaksanaan kontrak

Pengaturan mengenai pelaksanaan kontrak dalam KUHP menjadi bagian dari pengaturan
tentang akibat suatu perjanjian, yaitu diatur dalam pasal 1338 sampai dengan pasal 1341
KUHP. Pada umumnya dikatakan bahwa yang mempunyai tugas untuk melaksanakan
kontrak adalah mereka yang menjadi subjek dalam kontrak itu. Salah satu pasal yang
berhubungan langsung dengan pelaksanaannya ialah pasal 1338 ayat 3 yang berbunyi ”suatu
perjanjian harus dilaksanakan dengan etiket baik.” Dari pasal tersebut terkesan bahwa untuk
melaksanakan kontrak harus mengindahkan etiket baik saja, dan asas etiket baik terkesan
hanya terletak pada fase atau berkaitan dengan pelaksanaan kontrak, tidak ada fase-fase
lainnya dalam proses pembentukan kontrak.

Asas yang mengikat dalam pelaksanaan kontrak

Hal-hal yang mengikat dalam kaitan dengan pelaksanaan kontrak ialah :

1. Segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan
undang-undang.
2. Hal-hal yang menurut kebiasaan sesuatu yang diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu
pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.
3. Bila suatu hal tidak diatur oleh/dalam undang-undang dan belum juga dalam kebiasaan
karena kemungkinan belum ada, tidak begitu banyak dihadapi dalam praktek, maka harus
diciptakan penyelesaiannya menurut/dengan berpedoman pada kepatutan.

Pelaksanaan kontrak harus sesuai dengan asas kepatutan, pemberlakuan asas tersebut dalam
suatu kontrak mengandung dua fungsi, yaitu :

1. Fungsi melarang, artinya bahwa suatu kontrak yang bertentangan dengan asas kepatutan itu
dilarang atau tidak dapat dibenarkan, contoh : dilarang membuat kontrak pinjam-meminjam
uang dengan bunga yang amat tinggi, bunga yang amat tinggi tersebut bertentangan dengan
asas kepatutan.
2. Fungsi menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah dengan atau dilaksanakan dengan
asas kepatutan. Dalam hal ini kedudukan asas kepatutan adalah untuk mengisi kekosongan
dalam pelaksanaan suatu kontrak yang tanpa isian tersebut, maka tujuan dibuatnya kontrak
tidak akan tercapai.
Pembatalan perjanjian yang menimbulkan kerugian

Pembelokan pelaksanaan kontrak sehingga menimbulkan kerugian yang disebabkan oleh


kesalahan salah satu pihak konstruksi tersebut dikenal dengan sebutan wanprestasi atau
ingkar janji. Wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana
mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang
disebutkan dalam kontrak.

Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu :

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali


2. Terlambat memenuhi prestasi, dan
3. Memenuhi prestasi secara tidak sah

Akibat munculnya wanprestasi ialah timbulnya hak pada pihak yang dirugikan untuk
menuntut penggantian kerugian yang dideritanya terhadap pihak yang wanprestasi. Pihak
yang wansprestasi memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang
menderita kerugian. Tuntutan pihak yang dirugikan terhadap pihak yang menyebabkan
kerugian berupa :

1. Pemenuhan perikatan
2. Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi
3. Ganti rugi
4. Pembatalan persetujuan timbale balik, atau
5. Pembatalan dengan ganti rugi

Syarat-syarat sah perjanjian

Suatu kontrak dianggap sah (legal) dan mengikat, maka perjanjian tersebut harus memenuhi
syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHP Perdata, ada empat syarat yang
harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan
antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu
timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan,
penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari
salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa
atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata yang
disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang
belum dewasa dan mereka yang berada dibawah pengampunan.

3. Mengenai suatu hal tertentu


Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal
tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki
objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai
haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.

4. Suatu sebab yang halal

Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat
pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif,
yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila
kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat
ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi
perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas
perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.

Tinjauan Umum Hukum Perjanjian


Siti Erlania Fitrianingsih Sabtu, 25 Februari 2012 Hukum Perdata Umum

1. Pengertian Perjanjian

Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, berjudul “perihal perikatan” perkataan

“perikatan” (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam

buku III itu, diatur juga perihal pesetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari

perbuata yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perikatan yang timbul dari

pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarnemng). Tetapi,

sebagian besar buku III ditujukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau

perjanjian. Jadi, berisikan hukum perjanjian.[1]

Pada umumnya, perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara

lisan, dan andai kata dibuat tertulis maka perjanjian bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi

perselisihan. Untuk beberapa perjanjian, Undang_Undang menentukan bentuk tertentu apabila

bentuk itu tidak dituruti, perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian, bentuk tertulis tadi tidaklah

hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat adanya

(bestaanwaarde) perjanjian.[2]
Pengertian Perjanjian diatur di dalam Bab II Buku III Kitab Undang- Undang Hukum Perdata

tentang “Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan Dari Kontrak atau Perjanjian”, mulai Pasal 1313 sampai

dengan Pasal 1351, dimana ketentuan dalam Pasal 1313 merumuskan pengertian perjanjian yang

berbunyi :

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih”.

Ketentuan Pasal ini kurang tepat, karena ada beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi.

Kelemahan-kelemahan tersebut sebagai berikut:

a. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri”

yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan

itu ialah “saling mengikatkan diri”, sehingga ada konsensus antara kedua belah pihak;

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga

tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige

daad) yang tidak mengandung suatu konsensus, sehingga seharusnya dipakai istilah “persetujuan”;

c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang diatur

dalam bidang hukum keluarga, padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur

mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian;

d. Tanpa menyebut tujuan atau memiliki tujuan yang tidak jelas. Dalam rumusan Pasal 1313 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-

pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.[3]

Berdasarkan kelemahan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata tersebut, maka beberapa ahli hukum mencoba merumuskan defenisi perjanjian yang

lebih lengkap, yaitu;

1) Subekti
“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana

dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.[4]

2) Abdulkadir Muhammad

“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri

untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan” [5]

3) Handri Raharjo

“Perjanjian merupakan suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata

sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan diantara mereka (para pihak/subjek

hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu

juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan

kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum”.[6]

4) R.Wirjono Prodjodikoro

“Perjanjiaan diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua

pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanjian untuk melakukan sesuatu hal atau

untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.[7]

2. Syarat-Syarat Sah Perjanjian

Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi

syarat-syarat yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat

hukum (legally concluded contract). Menurut ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, syarat-syarat sah perjanjian yaitu :

a. Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (konsensus).


Persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seia sekata antara pihak-pihak mengenai pokok

perjanjian, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya.[8]

b. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity).

Kecakapan berbuat adalah kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum

sendiri yang dilakukan oleh subjek hukum. Pada umumnya, seseorang dikatakan cakap melakukan

perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah

kawin walaupun belum berumur 21 tahun.

Akibat hukum ketidakcakapan membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat

itu dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim. Jika permbatalan tidak dimintakan oleh pihak

yang berkepentingan, sepanjang tidak dimungkiri oleh pihak yang berkepentingan, perjanjian itu

tetap berlaku bagi pihak-pihak.[9]

c. Ada suatu hal tertentu (objek)

Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian, prestasi yang wajib

dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Jika pokok

perjanjian, atau objek perjanjian, atau prestasi itu kabur, tidak jelas, sulit bahkan tidak mungkin

dilaksanakan, maka perjanjian itu batal (nietig,void)[10]

d. Ada suatu sebab yang halal (causa)

Kata causa berasal dari bahasa Latin yang artinya sebab. Sebab adalah suatu yang

menyebabkan dan mendorong orang membuat perjanjian. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata mengartikan causa yang halal bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau

mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang

menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak.

Ketentuan dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa

Undang-Undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian,
karena yang diperhatikan atau diawasi oleh Undang-Undang itu ialah “isi perjanjian itu”, yang

menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak serta isinya tidak dilarang oleh Undang-

Undang, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.[11]

Syarat pertama dan kedua Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut syarat

subjektif, karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian. Jika syarat ini tidak

dipenuhi, perjanjian dapat dibatalkan. Tetapi jika tidak dimintakan pembatalan kepada Hakim,

perjanjian itu tetap mengikat pihak-pihak, walaupun diancam pembatalan sebelum lampau waktu

lima tahun (Pasasl 1454 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Syarat ketiga dan keempat Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut syarat

objektif, karena mengenai sesuatu yang menjadi objek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi,

perjanjian batal. Kebatalan ini dapat diketahui apabila perjanjian tidak mencapai tujuan karena salah

satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Kemudian diperkarakan kemuka Hakim, dan Hakim

menyatakan perjanjian batal, karena tidak memenuhi syarat objektif.

3. Asas-Asas Perjanjian

Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting, yang merupakan dasar kehendak pihak-

pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa asas tersebut adalah sebagai berikut ini:

a. Asas kebebasan berkontrak. Setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baik yang sudah

diatur atau belum diatur dalam Undang-Undang. Tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal

yaitu tidak dilarang oleh Undang-Undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak

bertentangan dengan kesusilaan.[12]

b. Asas pelengkap. Asa ini mengandung arti bahwa ketentuan Undang-Undang boleh tidak diikuti

apabila pihak-pihak menghendaki dan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari

ketentuan Undang-Undang . tetapi apabila dalam perjanjian yag mereka buat tidak ditentukan lain,
maka berlakulah ketentuan Undang-Undang. Asas ini hanya mengenai hak dan kewajiban pihak-

pihak saja.[13]

c. Asas konsensual. Asas in mengandung arti bahwa perjanjian itu tidak terjadi saat tercapainya kata

sepakat (konsensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Sejak saat itu perjanjian

mengikat dan mempunyai akibat hukum. Dari asa ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang

dibuat cukup secara lisan saja. Tetapi ada perjanjian tertentu yang dibuat secara tertulis, misalnya

perjanjian perdamaian, hubah, pertanggungan. Tujuannya ialah untuk bukti lengkap mengenai apa

yang mereka perjanjikan.[14]

d. Asas obligator. Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian dibuat oleh pihak-pihak itu baru dalam

taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja,[15]

e. Asas tidak boleh main hakim sendiri. Asas ini patut mendapat perhatian karena apabila dalam suatu

perjanjian yang telah dibuat dengan kesepakatan bersama antara para pihak, dan kemudian

ternyata tidak bisa dipenuhi oleh salah satu pihak yang seharusnya berkewajiban melaksanakan

perjanjian sebagaimana yang telah dibuat, dengan sendirinya terjadi breach of contract atau

pelanggaran terhadap kesepakatan. Oleh karena itu, dalam keadaan demikian, pihak yang

melakukan wanprestasi harus dapat dipaksa untuk memenuhi kewajibannya.[16]

4. Cara Membuat Perjanjian

Tidak ada aturan baku dalam membuat sebuah perjanjian, artinya bentuk/format dan isinya

diserahkan kepada masing-masing pihak, hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang

terkandung dalam hukum perjanjian. Intinya, perjanjian yang dibuat para pihak harus dapat

menampung segala kebutuhan dari para pihak yang membuatnya dan harus sedetail mungkin

karena semakin detail sebuah perjanjian maka akan memudahkan para pihak untuk melaksanakan

perjanjian tersebut karena tidak menimbulkan penafsiran ganda dan memperkecil celah pihak lain

untuk melakukan pelanggaran terhadap perjanjian yang telah dibuat.

Seperti telah dijabarkan diatas bahwa pada dasarnya tidak ada aturan yang mengikat dalm

membuat perjanjian namun sebuah perjanjian idealnya memuat:


1) Identitas para pihak dan saksi

2) Objek perjanjian.

3) Harga kesepakatan.

4) Sitem pembayaran

5) Hak dan kewajiban pihak pertama

6) Hak dan kewajiban pihak kedua

7) Penyelesaian perselisihan: secara kekeluargaan atau pengadilan berdasarkan ketentuan hukum yang

berlaku

8) Waktu perjanjian

9) Syarat keaslian perjanjian.[17]

5. Tinjauan Tentang Perjanjian Kredit

Kredit berasal dari bahasa Romawi “credere” yang berarti percaya. Dasar dari kredit adalah

adanya kepercayaan. Pihak yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit

(debitur) akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjika, baik menyangkut jangka

waktunya, maupun prestasi, dan kontraprestasinya. Kondisi dasar seperti ini diperlukan oleh bank,

karena tu diperlukan kebijaksanaan oleh bank dalam penggunaan dana tersebut termasuk di

dalamnya untuk menentukan pemberian kredit.[18]

Pengertian kredit menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang

perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan:

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujan atau kesepakatn pinjam meminjam atara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Dari pengertian tersebut kita dapat melihat adanya suatu kontraprestasi yang akan diterima

kreditur pada masa yang akan datang berupa jumlah bungan, imbalan, atau pembagian hasil

keuntungan, dengan demikian maka jelas tergambar bahwa kredit dalam arti ekonomi, adalah

penundaan pembayaran dari prestasi yang diberikan sekarang, baik dalam bentuk barang, uang,
maupun jasa. Disini terlihat bahwa faktor waktu merupakan faktor utama yang memisahkan prestasi

dan kontra prestasi[19]

Tujuan perkreditan harus diarahkan untuk kepentingan bank, yaitu:

a. Membantu perkembangan kegiatan ekonomi sesuai dengan kebijaksanaan dan program pemerintah

dengan tetap mendasarkan pada persyaratan bank secara teknis dan wajar.

b. Mencari keuntungan yang layak bagi bank

c. Membantu perluasan pemanfaatan jasa-jasa perbankan lainnya, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip

kredit itu sendiri.

Tujuan dasar kredit dimaksudkan untuk pencapaian suatu tujuan tertentu yang tidak boleh

merugikan tujuan lainnya, bahkan harus saling menunjang atau dapat dicapai bersama. Untuk itu

diperlukan perencanaan yang matang dan melalui suatu analisis dan penelitian yang cermat untuk

mencegah terjadinya kerugian bagi bank.[20]

Perjanjian kredit menurut Hukum Perdata Indonesia, adalah salah satu dari bentuk

perjanjian pinjam meminjam. Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit diadakan pada

hakikatnya, adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata pada Pasal 1754 s/d 1769. Dengan demikian pembuatan suatu perjanjian

kredit dapat mendasarkan kepada ketentuan-ketentuan yang ada pada Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, tetapi dapat pula berdasarkan kesepakatan diantara para pihak, artinya dalam hal-

hal ketentuan yang memaksa maka harus sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, sedangkan dalam hal ketentuan yang tidak memaksa

diserahkan kepada para pihak.[21]

Tentang bagaimana hakikat dari perjanjian kredit jika dihubungkan dengan Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata, maka secara yuridis, perjanjian kredit dapat dilihat dari 2 (dua) segi

pandang sebagai berikut:


a. Perjanjian kredit sebagai perjanjian pinjam pakai habis

b. Perjanjian kredit sebagai perjanjian khusus.

Jika perjanjian kredit sebagai perjanjian khusus, maka tidak ada perjanjian bernama dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang disebut dengan perjanjian kredit. Karena itu, yang

berlaku adalah ketentuan umum dari hukum perjanjian tentunya ditambah dengan klausul-klausul

yang telah disepakati bersama dalam kontrak yang bersangkutan.

Selanjutnya, penggolongan perjanjian kredit sebagai perjanjian bernama dalam tampilannya

sebagai perjanjian pinjam pakai, maka disamping terhadapnya berlaku ketentuan umum tentang

perjanjian, berlaku juga ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perjanjian pinjam

pakai habis. Hal ini berbeda dengan perjanjian pinjam pakai biasa, dimana yang harus dikembalikan

oleh debiturya adalah fisik dari benda yang dipinjam.sementara dalam perjanjian pinjam pakai habis,

yang dikembalikan adalah nilai dari benda yang dipinjam pakai tersebut.[22]

6. Bentuk Perjanjian Kredit

Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis yang penting

memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Namun dari sudut

pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan alat bukti, karena hakekatnya pembuatan

perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang

komplek ini perjanjian lisan tentu sudak tidak dapat disarankan untuk digunakan meskipun secara

teori diperbolehkan karena lisan sulit dijadikan sebagai alat bukti bila terjadi masalah dikemudian

hari.

Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada Pasal 1 ayat 11 Undang-

Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang

Perbankan. Dalam pasal itu terdapat kata-kata: penyedian uang atau tagihan berdasarkan

persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain. Kalimat tersebut

menunjukan bahwa pemberian kredit harus dibuat perjanjian.


Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis adalah instruksi

Presidium Kabinet Nomor 15/EK/IN/10/1966 tanggal 10 Oktober 1966. Dalam Instruksi tersebut

ditegaskan “Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara

Bank dengan Debitur atau antara Bank sentral dan Bank-Bank lainnya. Surat Bank Indonesia yang

ditunjukan kepada segenap Bank Devisa Nomor 03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970,

khususnya butir 4 yang berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit.

Dengan keputusan-keputusan tersebut maka pemberian kredit oleh Bank kepada Debiturnya

menjadi pasti bahwa:

a. Perjanjian diberi nama perjanjian kredit.

b. Perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis.

Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara Bank dengan Debitur sehingga

harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah untuk mengetahui bahwa

perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit.

Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis/bentuk akta yang dibuat sebagai alat bukti.

Dikatakan salah satu bentuk akta karena masih banyak perjanjian-perjanjian lain yang merupakan

akta misalnya perjanjian jual beli, perjanjian sewa-menyewa dan lain-lain.[23]

7. Berakhirnya Perjanjian

Suatu perjanjian akan berakhir apabila :

a. Ditentukan oleh undang-undang;

b. Undang-Undang menentukan batas berlakunya perjanjian;

c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu

maka perjanjian akan hapus;

d. Adanya pernyataan penghentian persetujuan atau perjanjian;

e. Perjanjian hapus karena putusan hakim;


f. Tujuan perjanjian telah tercapai.[24]

[1]R.Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1982, hlm 122

[2] Richard Eddy, Aspek Legal Properti – Teori,Contoh,dan Aplikasi, ANDI Yogyakarta, 2010, hlm. 45.

[3] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm 224-
225.

[4] Subekti, Hukum Perjanjain, Intermasa, Jakarta, 1990, hlm 1

[5] Ibid,

[6] Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hlm
42.

[7] Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm
4

[8] Abdulkadir Muhammad, op. cit., hlm 228-230.

[9] Ibid. hlm 231

[10] Ibid.

[11] Ibid, hlm 232

[12] Abdulkadir Muhammad. Op.cit., hlm 225

[13] Ibid, hlm 226

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] I.G.Rai Widjaya, op.cit. hlm 31

[17] Hendri Raharjo, op.cit, hlm109-110

[18] Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993,
hlm 217

[19] Ibid

[20] Ruddy Tri Santoso, Mengenal Dunia Perbankan, ANDI, Yogyakarta, 1997, hlm.111.

[21] Djumhana Ibid., hlm 227

[22]Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm 117
[23] Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2009, hlm 99-
100

[24] R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta,Bandung,1987,hlm 68

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA


(Civil Code)
BUKU KETIGA-PERIKATAN
BAB XII
PINJAM PAKAI

BAGIAN 1
Ketentuan-ketentuan Umum

1740. Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang satu menyerahkan suatu
barang untuk dipakai dengan cuma-cuma kepada pihak lain, dengan syarat bahwa pihak yang
menerima barang itu setelah memakainya atau setelah lewat waktu yang ditentukan, akan
mengembalikan barang itu.

1741. Orang yang meminjamkan itu tetap menjadi pemilik mutlak barang yang dipinjamkan
itu.

1742. Segala sesuatu yang dipergunakan orang dan tidak dapat musnah karena
pemakaiannya, dapat menjadi pokok perjanjian ini.

1743. Semua perjanjian yang lahir dan perjanjian pinjami pakai, beralih kepada ahli waris
orang yang meminjamkan dan ahli waris peminjam.

Akan tetapi jika pemberian pinjaman dilakukan hanya kepada orang yang menerimanya dan
khusus kepada orang itu sendiri, maka semua ahli waris peminjam tidak dapat tetap
menikmati barang pinjaman itu.

BAGIAN 2
Kewajiban-kewajiban Orang yang Menerima Barang Pinjam Pakai

1744. Barangsiapa menerima suatu barang yang dipinjam wajib memelihara barang itu
sebagai seorang kepala keluarga yang baik, Ia tidak boleh menggunakan barang itu selain
untuk maksud pemakaian yang sesuai dengan sifatnya, atau untuk kepentingan yang telah
ditentukan dalam perjanjian. Bila menyimpang dan larangan ini, peminjam dapat dihukum
mengganti biaya, kerugian dan bunga, kalau ada alasan untuk itu.

Jika peminjam memakai barang itu untuk suatu tujuan lam atau lebih lama dan yang
semestinya, maka wajiblah ia bertanggung jawab atas musnahnya barang itu sekalipun
musnahnya barang itu disebabkan oleh suatu peristiwa yang tidak disengaja.

1745. Jika barang pinjaman itu musnah karena suatu peristiwa yang tidak disengaja, sedang
ha! itu dapat dihindarkan o!eh peminjam dengan jalan memakai barang kepunyaan sendiri
atau jika peminjam tidak mempedulikan barang pinjaman sewaktu terjadmya peristiwa
termaksud, sedangkan barang kepunyaannya sendiri diselamatkannya, maka peminjam wajib
bertangung jawab atas musnahnya barang itu.

1746. Jika barang itu telah ditaksir harganya pada waktu dipinjamkan maka musnahnya
barang itu meskipun ha! mi terjadi karena peristiwa yang tak disengaja adalah tanggungan
peminjam, kecuali kalau telah dijanjikan sebaliknya.

1747. Jika barang itu menjadi berkurang harganya semata-mata karena pemakaian yang
sesuai dengan maksud peminjaman barang itu, dan bukan karena kesalahan peminjam maka
ia tidak bertanggung jawab atas berkurangnya harga itu.

1748. Jika pemakai telah mengeluarkan biaya untuk dapat memakai barang yang dipinjamnya
itu, maka ia tidak dapat menuntut biaya tersebut diganti.

1749. Jika beberapa orang bersama-sama meminjam satu barang, maka mereka masing-
masing wajib bertanggung jawab atas keseluruhannya kepada pemberi pinjaman.

BAGIAN 3
Kewajiban-kewajiban Pemberi Pinjaman

1750. Pemberi pinjaman tidak dapat meminta kembali barang yang dipinjamkannya kecuali
bila sudah lewat waktu yang ditentukan, atau dalam ha! tidak ada ketentuan tentang waktu
peminjaman itu, bila barang yang dipinjamkan itu telah atau dianggap telah selesai digunakan
untuk tujuan yang dimaksudkan.

1751. Akan tetapi bila dalam jangka waktu itu atau sebelum berakhirnya keperluan untuk
memakai barang itu, pemberi pinjaman sangat membutuhkan barangnya dengan alasan yang
mendesak dan tidak terduga, maka dengan memperhatikan keadaan, Pengadilan dapat
memaksa penunjang untuk mengembalikan barang pinjaman itu kepada pemberi pinjaman.

1752. Jika dalam jangka waktu pemakaian barang pinjaman itu pemakai terpaksa
mengeluarkan biaya yang sangat perlu guna menyelamatkan barang pinjaman itu; dan begitu
mendesak sehingga oleh pemakai tidak sempat diberitahukan terlebih dahulu kepada pemberi
pinjaman, maka pemberi pinjaman ini wajib mengganti biaya itu.

1753. Jika barang yang dipinjamkan itu mempunyai cacat-cacat sedemikian rupa sehingga
pemakai orang itu bisa mendapat rugi, sedang pemberi pinjaman harus bertanggu jawab atas
semua akibat pemakaian barang.

Anda mungkin juga menyukai