Perjanjian Pinjam Meminjam Dan Wanprestasi Menurut Ketentuan Peraturan Undang
Perjanjian Pinjam Meminjam Dan Wanprestasi Menurut Ketentuan Peraturan Undang
BAB I
PENDAHULUAN
Kesepakatan merupakan hal yang sangat penting karena terikatnya suatu perjanjian
setelah tercapainya kata sepakat. Dalam suatu perjanjian diharuskan pertemuan kemauan
yang dikehendaki oleh para pihak terhadap hal-hal yang pokok dari perjanjian itu. Sejak
tercapainya kata sepakat tentang suatu hal yang diperjanjikan, maka sejak itu pula lahir
hubungan hukum antara para pihak yang membuat perjanjian tersebut dan masing-masing
pihak terikat satu sama lainnya, sehingga menimbulkan hak kewajiban bagi mereka.
Didalam Pasal 1321 KUHPerdata ditentukan bahwa tiada sepakat yang sah ataupin
sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolej dengan paksaan ataupunn penipuan.
Sepakat yang dimaksudkan adalah persetujuan kehendak yang terjadi antara para pihak,
tampa adanya unsur paksaan, penipuan dan kekhilafan.
Mengenai suatu hal tertentu ini M.Yahya Harahap mengemukakan bahwa “Agar
Perjanjian tertentu mempunyai kekuatana hukum yang sah, bernilai dan mempunyai kekuatan
mengikat, prestasi yang menjadi onjek perjanjian harus tertentu sekurang-kurangnya objek
yang diperjanjikan harus ditentukan jenisnya”. Dari penjelas diatas dapat diketahui bahwa
untuk sahnya suatu perjanjian paling tidak haruslah ditentukan objek yang diperjanjikan oleh
para pihak. Jika objeknya tidak ditentukan terlebih dahulu maka perjanjian itu dianggab tidak
mengikat sehingga dengan demikian tidak mempunyai kekuatan hukum.
2. Pembatalan Perjanjian
Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kepada keadaan
sebelum perjanjian sebelum perjanjian diadakan. Jika salah satu pihak telah menerima
sesuatu dari pihak lain, baik uang maupun barang, maka harus dikembalikan.
Persetujuan tidak batal demi hukum tetapi pembatalan harus dimintakan kepada
hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak
dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan
dalam perjanjian. Hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan tergugat memberikan
jangka waktu yang tidak boleh lebih satu bulan.
Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa perjanjian tersebut tidak batal dengan
sendirinya bila terjadi wanprestasi harus melalui putusan hakim.
3. Peralihan Resiko
Peralihan resiko yang merupakan sanksi yang ketiga terhadap wanprestasi diatur
dalam Pasal 1237 ayat (2) KUHperdata yang menyebut bahwa: “Jika siberpiutang lalai akan
menyerahkannya, maka semenjak kelalaian, kebendaan adalah tanggungan siberutang”.
Apabila debitur tidak menyerahkan barang, maka segala sesuatu yang terjadi atas
objek yang diperjanjikan, resiko berada dalam tanggung jawabnya.
4. Pembayaran Biaya Perkara
Kewajiban membayar biaya perkara dalam Pasal 1267 KUHPerdata menyebutkan:
Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih
dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, ataukah ia
akan menuntut pembatalan persetujuan, disertai dengan penggantian biaya, kerugian dan
bunga.
Menurut ketentuan tersebut, pihak kreditur dapat menuntut pihak debitur yang lalai
itu, pemenuhan perjanjian atau pembatalan disertai penggantian biaya, rugi dan bunga.
Dengan demikian, ia dapat menuntut pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi, misalnya
penggantian kerugian karena pemenuhan prestasi terlambat.
Dengan demikian pihak yang tidak mendapat kontra presrasi karena terjadi
wanprestasi dapat memilih tuntutan pemenuhan perjanjian. Pemenuhan perjanjian disertai
dengan ganti rugi, ganti rugi saja, pembatalan perjanjian, dan pembatalan perjanjian disertai
ganti rugi. Kesemua hal diatas merupakan alternatif tuntutan yang dapat diajukan pihak yang
dirugikan, akibat adanya wanprestasi.
F. Prosedur Penyelesaian Wanprestasi
Wanprestasi atau yang disebut juga dengan kelalaian, mempunyai akibat-akibat yang
begitu penting, maka dalam hal ini harus ditetapkan terlebih dahulu apakah siberutung
melakukan wanprestasi dan kalau hal itu di sangkal olehnya, harus dibuktikan dimuka hakim.
Kadang-kadang juga tidak mudah untuk mengatakan bahwa seseorang telah melakukan
wanprestasi, karena seringkali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak
diwajibkan melakukan prestasi yang dijanjikan.
Mengenai perjanjian untuk menyerahkan sesuatu barang atau untuk melakukan suatu
perbuatan, jika tidak ditetapkan kapan batas waktunya tetapi siberutang akan dianggap lalai
dengan lewatnya waktu yang di tentukan. Pelaksanaan prestasi itu harus lebih dahulu di tagih
kepada debitur itu harus diperingatkan bahwa kreditur menghendaki pelaksanaan perjanjian,
apabila prestasi tidak seketika dapat dilakukan, maka siberutang diberikan waktu yang
pantas.
Mengenai cara memperingatkan seseorang debitur, agar jika ia tidak memenuhi
teguran itu dapat dikatakan lalai, dalam hal ini sebagaimana yang telah disebutkan diatas
pada Pasal 1238 KUHPerdata menentukan bahwa “Siberutang adalah lalai, bila ia dengan
surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu dinyatakan lalai, atau demi perikatannya
sendiri menetapkan bahwa siberutang akah harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan”. Mengenai hal ini R. Subekti mengatakan :
Yang dimaksud dengan surat dengan perintah yitu suatu peringatan resmi oleh seseorang juru
sita pengadilan, perkataan akta sejenis itu sebenarnya oleh undang-undang dimaksudkan
suatu peringatan tertulis, sekarang sudah lazim ditafsirkan suatu peringatan atauatau teguran
yang juga boleh dilakukan secara lisan, asal cukup tegas mengatakan desakan seberutang
supaya prestasi dilakukan dengan seketika atau dalam waktu yang singkat, hanyalah tentunya
saja sebaiknya dilakukan secara tertulisdan seyogianya dengan surat tercatat, agar nanti
dimuka hakim tidak mudah dipungkiri oleh seberutang.[13]
Peringatan terhadap debiturbaik dengan teguran ataupun dengan surat peringatan
tidak akan menimbulkan masalah jika peminjam menyadari kewajibannya tersebut, tetapi
problema akan timbul apabila debitur tetap tidak memenuhi prestasi. Hal ini mengakibatkan
timbulnya gugatan dimuka pengadilan dari pihak pemberi pinjaman. Dalam gugatan inilah
somatie atau igrebreke stelling itu menjadi alat bukti bahwa peminjam betul-betul telah
melakukan wanprestasi.
Apabila seseorang debitur telah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagi janjinya, seperti
yang diterangkan diatas, maka jika ia tetap tidak melakukan prestasinya, ia berada dalam
keadaan lalai maka terhadapnya dapat diperlakukan sanksi-sanksi sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya di atas yaitu ganti rugi, pembatalan perjanjian, dan peralihan resiko.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul Kadir Muhammad, Segi-segi Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1993
2. Chairuman H. Pasaribu. Suhrawardi K. Lugis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinat Grafika,
Jakarta, 1994
3. Ridwan Syahrani, Seluk Beluk Azas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1985
4. Satrio, J, Hukum Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung 1993
5. Yahya Harahap, M.,Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, bandung, 1986
6. Kartini, Muljadi. Gunawan widjaja, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Raja Grafindo
Prsada Jakarta, 1994
[5] Mariam darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank. Alumni Bandung, 1983,
hal.24
[6] R. Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum
Indonesia,Seksi Hukum adat Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1982,Hal.14
[7] Abdul kadir Muhammad, Hukum Perjanjian,Alumni Bandung,1980, hal. 88
[8] Mariam Darulzaman, Op Cit,
[9] R. Subekti,Op Cit,hal 1
[10] Wiryono Prodjo Dikoro, Op Cit, Hal.40
[11] M.Yahya Harahap,Op Cit, Hal.220.
[12] Abdul Kadir Muhammad, OP Cit.hal 22.
[13] Ibid, halaman,46
POSISI KASUS
Jo Erwin Tarunagara dan Thin Setiadi Sutanto adalah rekan kerja dimana Setiadi
adalah pimpinan dari Erwin. Pada awalnya Erwin meminjam uang kepada dari Bank Multi
Arta Sentosa (BMAS). Sementara itu dia memiliki tanah di kompleks Sunter Paradise II Blok
P Nomor 11 yang kemudian dijadikan jaminan atas pinjaman yang telah diberikan BMAS.
Setelah itu, diletakkan hak tanggungan atas tanah tersebut.
Erwin akhirnya tidak bisa melaksanakan kewajibannya untuk melunasi hutangnya
kepada BMAS, dan BMAS melelang tanah tersebut. Ternyata Setiadi berminat memiliki
tanah tersebut dan menebus sejumlah harga yang ditawarkan. Lalu terjadi balik nama atas
tanah tersebut. Setelah Setiadi mendapat hak atas tanah tersebut, atas dasar kemanuasiaan
Setiadi memberi ijin kepada Erwin untuk meminjam pakai tanah tersebut yang kemudian
dilakukan melalui Akta Pinjam Pakai di depan notaris.
Secara sah, Erwin sudah mengakui bahwa tanah tersebut adalah milik Setiadi dan hak
Erwin hanya sebagai pemakai sesuai ketentuan yang berlaku dan sewaktu-waktu Setiadi
dapat mengambil kembali tanah tersebut, lalu sekurang-kurangnyadua minggu Erwin harus
mengembalikan tanah tersebut.
Pada tahun 2003, Setiadi menyatakan akan menggunakan sendiri tanahnya, tetapi
sampai batas waktu yang ditentukan Erwin tidak kunjung mengosongkan tempatnya dan
malah menyatakan bahwa tanah tersebut adalah miliknya serta menyertakan surat keterangan
dan membantah telah menandatangai Akta Pinjam Pakai di depan notaris. Karena berbelit-
belitnya Erwin, maka Setiadi mengajukan gugatan atas wanprestasi-wanprestasi yang telah
dilakukan Erwin.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana penerapan hukum jaminan sesuai pasal 1131 KUH Perdata?
2. Bagaimana penerapan hukum pinjam-pakai?
3. Wanprestasi apa saja yang dilakukan oleh Erwin?
KAJIAN PUSTAKA
A. HUKUM JAMINAN
Hukum jaminan adalah kaidah atau peraturan hukum yang mengatur ketentuan mengenai
jaminan dari pihak debitur atau dari pihak ketiga bagi kepastian pelunasan piutang kreditur
atau pelaksanaan suatu prestasi. Dalam kehidupan sehari-hari kita juga sudah sering
mendengar istilah jaminan. Jaminan dalam pengertian bahasa sehari-hari biasanya merujuk
pada pengertian adanya suatu benda atau barang yang dijadikan sebagai pengganti atau
penanggung pinjaman uang terhadap seseorang.
Pembagian Jaminan
Dalam kasus ini, hukum jaminan yang terjadi adalah dengan dijaminkannya anah
yang diatur dalam hak tanggungan. Berdasarkan pasal 1 ayat 1 undang-undang hak
tanggungan (UUTH), hak tanggungan merupakan hak jaminan atas tanah yang dibebankan
berikut benda-benda lain yang merupakan suatu satu kesatuan dengan tanah itu untuk
pelunasan hutang dan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur-kreditur yang lain.
Bentuk-bentuk Wanprestasi:
Somasi
Peringatan kreditur kepada debitur tidak melalui Pengadilan Negeri.
Akibat Hukum bagi Debitur yang Wanprestasi:
Akibat hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau
sanksi berupa:
2. Pembatalan perjanjian;
3. Peralihan resiko.
Disamping debitur harus menanggung hal tesebut diatas, maka yang dapat dilakukan
oleh kreditur dalam menghadapi debitur yang wanprestasi ada lima kemungkinan sebagai
berikut (Pasal 1276 KUH Perdatadata):
1. Memenuhi/melaksanakan perjanjian;
2. Ketentuan hukum jaminan tersebut mengatur mengenai hubungan hukum antara pemberi
jaminan (debitur) dan penerima jaminan (kreditur). Pemberi jaminan yaitu pihak yang Jo
Erwin Tarunagara , yang menyerahkan tanahnya sebagai (benda) jaminan kepada penerima
jaminan (kreditur) yaitu Bank Multi Arta Santosa.
3. Adanya jaminan yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur. Jaminan yang diserahkan
adalah tanah di Jl. Paradise Raya VI Blok P No.11, Kelurahan Sunter, Kecamatan Tanjung
Priok, Jakarta Utara milik Erwin.
4. Pemberian jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan dimaksudkan sebagai jaminan
(tanggungan) bagi pelunasan utang tertentu. Tanah yang dimiliki Erwin dimaksudkan sebagai
tanggungan jika Erwin tidak bisa melunasi hutangnya kepada Bank Multi Arta Santosa.
Dengan dilengkapinya unsur-unsur hukum jaminan maka hukum jaminan yang ada dapat
terlaksana dengan baik.
Jenis jaminan dalam kasus ini dapat disebut hak tanggungan. Disebut Hak
Tanggungan karena berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
(“UUHT”) mengatur definisi Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-
benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-
kreditor lain.
Tanah yang dijaminkan adalah tanah dari Erwin yaitu tanah di Desa Sunter Agung,
yang terletak di Jl. Paradise Raya VI Blok P No.11, Kelurahan Sunter, Kecamatan Tanjung
Priok, Jakarta Utara. Hal ini sesuai dengan implementasi pasal 1 ayat 1 undang-undang hak
tanggungan, hak tanggungan merupakan hak jaminan atas tanah yang dibebankan berikut
benda-benda lain yang merupakan suatu satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan
hutang dan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur-kreditur yang lain.
Benda tanggungan berupa tanah yang dimiliki oleh Erwin sesuai dengan syarat-syarat
akan objek tanggungan. Sebagaimana diketahui bahwa objek tersebut haruslah :
Benda yang dapat bersifat ekonomis (dapat dinilai dengan uang).
Benda yang dapat dipindah tangankan haknya kepada pihak lain.
Tanah yang akan dijadikan jaminan ditunjukan oleh undang-undang.
Setelah sahnya tanah tersebut sebagai objek Hak Tanggungan maka dibuatlah akta Hak
Tanggungan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan No. 19/T.Priok/1998 pada tanggal 9
Januari 1998 .
Namun pada kenyataannya hingga tanggal jatuh tempo ternyata Erwin tidak mampu
melaksanakan kewajibannya untuk membayar hutang kebada Bank. maka kemudian tanah
tersebut dimiliki oleh Bank berdasarkan lelang yang diadakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Utara.
Dalam berita di atas disebutkan bahwa Erwin telah melunasi hutang kepada Bank,
tetapi setelah ditelusuri di keputusan.mahkamahagung.go.id , ternyata Erwin belum
melunasinya oleh karena itu Bank melelang tanah tersebut, dan setelah kepemilikan tanah
atas nama Bank, Setiadi membelinya. Sehubungan dengan itu pada tanggal 19 Juli 2000
diadakan pengikatan jual beli antara Bank selaku penjual dan Setiadit sebagai pembeli yang
disahkan lewat adanya Akta Pengikatan Untuk Jual Beli No. 5 tanggal 19 Juli 2000, yang
juga disertai dengan Akta Kuasa Menjual dari Bank kepada Setiadi dengan Akta Kuasa No. 6
tanggal 19 Juli 2000, kedua akta tersebut dibuat di hadapan notaris.
B. Hukum Pinjam-Pakai
Penerapan hukum pinjam pakai diatur dalam 1740 sampai dengan pasal 1753 KUP
Perdata. Pinjam pakai adalah suatu persetujuan dimana pihak yang satu memberikan suatu
barang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai dengan cuma-cuma, dengan syarat bahwa
yang menerima barang ini setelah memakainya atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu
akan mengembalikan (Pasal 1740 KUH Perdata). Pihak yang meminjamkan tetap menjadi
pemilik barang yang dipinjamkan.
Dalam implementasinya, barang yang dijadikan objek dalam pinjam pakai ini adalah
tanah yang dimiliki Setiadi, yang kemudian dipinjamkan kepada Erwin dan Setiadi tetaplah
sebagai pemilik barang yang dipinjamkan. Kasus atas tanah yang diperebutkan Erwin dan
Setiadi memang berbelit-belit. Setelah Setiadi memiliki tanah tersebut maka atas dasar
kemanusiaan Setiadi meminjamkan tanahnya kepada Erwin untuk digunakan sebagaimana
mestinyaa. Lalu dibuatlah akta pinjam-pakai oleh Setiadi untuk memperkuat perjanjianya.
Setiadi memberikan ijin kepada Erwin untuk meminjam pakai tanah tersebut dan
keluarlah Akta Pinjam Pakai No. 7 tanggal 31 Juli 2000 yang dibuat di hadapan Notaris
Henggawati, di mana pinjam pakai tanah yang terjadi antara Erwin dan Setiadi berakhir pada
tanggal 31 Juli 2001, Kesepakatan pinjam pakai ternyata tidak berhenti sampai disitu,
kemudian diperpanjanglah perjanjian atas pemakaian tanah tersebut dengan Akta Pinjam
Pakai No. 7 tanggal 13 Agustus 2001 yang dibuat di hadapan Doktorandus Wijanto
Suwongso, Notaris di Jakarta yang berakhir tanggal 31 Juli 2002, dan terakhir diperpanjang
lagi dengan Akta Pinjam Pakai No. 52 tanggal 23 Desember 2002 yang dibuat di hadapan
notaris yang sama.
Dengan menandatangai perjanjian tersebut sebenarnya Erwin sudah mengakui tanah
tersebut adalah milik Setiadidan Erwin hanyalah peminjam serta pemakai tanah tersebut.
Maka hak yang di dapat Erwin adalah menggunakan tanah tersebut sebagaimana mestinya.
Namun setelah tanggal jatuh tempo yang ditentukan dan setelah tiga kali perpanjangan akta
pinjam-pakai. Erwin terus mangkir dan malah menyebutkan bahwa tanah itu miliknya.
Atas dasar itu, Erwin tidak memenuhi prestasi dimana harus mengembalikan tanah
yang telah dipinjamkan oleh Setiadi kepadanya selambat-lambatnya dua minggu setelah
Setiadi mengumumkan bahwa tanah tersebut telah habis masa pinjamnya. Pada tanggal 26
Mei 2003 Setiadi melalui kuasa hukumnya menyatakan akan menggunakan sendiri Tanah
tersebut dan meminta Erwin untuk mengosongkannya. Tapi Erwin tidak kunjung
mengembalikannya dan malah mengaku tanah tersebut adalah miliknya.
Kesimpulan
Penerapan Hukum Jaminan sudah sesuai dengan asal 1131 KUH Perdata dimana
unsur, objek, maupun hal-hal yang seharusnya ada dalam hukum jaminan sudah terpenuhi
dengan baik. Erwin sebagai debitur memberikan jaminan tanahnya atas hutangnya kepada
Bank. Jaminan berupa tanah diatur dalam Hak Tanggungan sebagiamana tercantum dalam
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
Selanjutnya karena wanprestasi dari debitur, maka kreditur mengambil alih tanah
yang dijaminkan. Setelah itu, Setiadi tertarik untuk memiliki tanah tersebut dan setelah tanah
tersebut dimiliki oeh Setiadi, maka dia meminjamkan tanah tersebut kepada Erwin yang pada
awalnya memiliki tanah tersebut. Setelah perjanjian pinjam pakai dirasa harus diakhiri karena
Setiadi memilih untuk menggunakannya sendiri, Erwin tidak kunjung mengosongkan tanah
yang dipinjamkan kepadanya.
Proses hukumpun berlanjut ketika Erwin tidak mau menyerahkan tanahnya kepada
Setiadi dan malah mengaku tanah tersebut miliknya. Atas wanprestasi tersebut, Setiadi
mengajukan gugatan dan memenagkan kasus dengan dituntutnya Erwin atas perbuatan
melawan hukum yang dilakukan.
Saran
Setiadi sudah cukup jeli dalam setiap perjanjian dengan disahkannya tiap-tiap
perjanjian di depan notaris baik ketika adanya jual beli maupun pinjam pakai. Akta-akta yang
dibuat ternyata dibutuhkan ke depannya jika ada hal-hal yang tidak bisa dipenuhi prestasinya.
Dan terbukti, ternyata kasus atas tanahnya berbelit-belit hingga ke pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Pertama kami akan menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan “peminjaman” dalam kasus Anda.
Karena dalam uraian pertanyaan Anda, Anda tidak menyinggung mengenai adanya harga yang harus dibayar
oleh teman Anda atas peminjaman ini, maka menurut kami “peminjaman” yang terjadi antara Anda dengan
teman Anda adalah “pinjam pakai” sebagaimana diatur dalam Pasal 1740 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (“KUHPerdata”):
“Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang satu menyerahkan suatu barang untuk
dipakai dengan cuma-cuma kepada pihak lain, dengan syarat bahwa pihak yang menerima barang itu
setelah memakainya atau setelah lewat waktu yang ditentukan, akan mengembalikan barang itu.”
Pada dasarnya pinjam pakai adalah sebuah perjanjian. Maka syarat sahnya perjanjian juga berlaku dalam hal
pinjam pakai. Syarat sah perjanjian terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
Melihat pada syarat sahnya perjanjian di atas, ini berarti perjanjian tidak harus dibuat tertulis. Perjanjian secara
lisan juga sudah mengikat para pihak yang membuatnya, kecuali suatu perjanjian diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan untuk dibuat secara tertulis seperti perjanjian kerja waktu tertentu. Lebih lanjut dapat
dibaca artikel Perlunya Perjanjian Dibuat Secara Tertulis.
Ini berarti tindakan peminjaman yang terjadi antara Anda dan teman Anda termasuk dalam ranah perdata, dan
tindakan hukum perdata antara Anda dan teman Anda ini tidak memerlukan perjanjian tertulis. Tapi, perlu Anda
ketahui bahwa akan lebih baik jika perjanjian dibuat tertulis agar ada bukti tertulis yang dapat digunakan jika di
kemudian hari terjadi sengketa.
Melihat pada uraian pertanyaan Anda, ada iktikad baik dari teman Anda yang ingin mengganti kamera Anda
yang hilang tersebut dengan yang baru.
Mengenai apakah Anda dapat menuntutnya secara pidana (penggelapan), perlu Anda ketahui bahwa upaya
hukum pidana merupakan ultimum remedium (upaya terakhir). Jika Anda bisa menyelesaikannya secara
musyawarah (dalam hal ini teman Anda mau mengganti kamera Anda) maupun secara perdata, maka lebih baik
upaya hukum pidana tidak digunakan. Lebih lanjut mengenai ultimum remedium, Anda dapat membaca artikel
Arti Ultimum Remedium.
Jika pada akhirnya Anda ingin menuntut secara pidana yaitu atas dasar penggelapan, perbuatan teman Anda
tersebut harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana penggelapan yang terdapat dalam Pasal 372 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan
diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda
paling banyak sembilan ratus rupiah.”
R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 258) menjelaskan mengenai Pasal 372 KUHP. Yaitu bahwa penggelapan
adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam Pasal 362 KUHP. Bedanya ialah bahwa pada
pencurian barang yang dimiliki itu masih belum berada di tangan pencuri dan masih harus “diambilnya”, sedang
pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tidak dengan kejahatan.
Dalam kasus Anda, berarti Anda harus mempunyai dugaan yang kuat bahwa teman Anda dengan sengaja dan
melawan hukum memiliki kamera Anda, yang mana kamera tersebut berada dalam kekuasannya bukan karena
kejahatan tetapi karena memang pada awalnya adalah pinjam pakai kamera. Ini berarti harus dapat dibuktikan
bahwa kamera tersebut sebenarnya ada pada teman Anda, bukan dicuri seperti ceritanya.
Sebagai contoh Anda dapat membaca putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri Nomor:
17/Pid.B/2013/PN.Kdi. Dalam putusan tersebut, terdakwa melakukan penggelapan uang, akan tetapi untuk
menutupi kejahatannya, terdakwa berpura-pura bahwa ia telah dirampok. Kemudian pada saat terdakwa
didatangi oleh Petugas Polsek Banyakan, terdakwa memberikan keterangan kalau terdakwa baru saja mengalami
perampasan. Atas tindakannya tersebut, terdakwa didakwa dengan Pasal 372 KUHP (penggelapan) dan
Pasal 220 KUHP (memberi laporan palsu). Hakim memutuskan terdakwa dipidana penjara selama 5 (lima)
bulan.
Dasar Hukum:
Referensi:
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal
Demi Pasal. Politeia: Bogor.
HUKUM PERJANJIAN
resume kel.5
Dalam hukum asing dijumpai istilah overeenkomst (bahasa Belanda), contract /agreement
(bahasa Inggris), dan sebagainya yang merupakan istilah yang dalam hukum kita dikenal
sebagai ”kontrak” atau ”perjanjian”. Umumnya dikatakan bahwa istilah-istilah tersebut
memiliki pengertian yang sama, sehingga tidak mengherankan apabila istilah tersebut
digunakan secara bergantian untuk menyebut sesuatu konstruksi hukum.
Istilah kontrak atau perjanjian dapat kita jumpai di dalam KUHP, bahkan didalam ketentuan
hukum tersebut dimuat pula pengertian kontrak atau perjanjian. Disamping istilah tersebut,
kitab undang-undang juga menggunakan istilah perikatan, perutangan, namun pengertian dari
istilah tersebut tidak diberikan.
Pada pasal 1313 KUHP merumuskan pengertian perjanjian, adalah : suatu perbuatan satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Namun para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai pengertian
perjanjian, Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu
persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu
hal mengenai harta kekayaan. Ahli hukum lain mengemukakan bahwa suatu perjanjian adalah
suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana dua orang
itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang menimbulkan perikatan berupa suatu
rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau
ditulis. Menurut J.Satrio perjanjian dapat mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit,
dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum
sebagai yang dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian
kawin, dll, dan dalam arti sempit perjanjian disini berarti hanya ditujukan kepada hubungan-
hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh buku III
kitab undang-undang hukum perdata.
Jenis-jenis kontrak
Tentang jenis-jenis kontrak KUHP tidak secara khusus mengaturnya. Penggolongan yang
umum dikenal ialah penggolongan kedalam kontrak timbal balik atau kontrak asas beban, dan
kontrak sepihak atau kontrak tanpa beban atau kontrak cuma-cuma.
Kontrak sepihak merupakan perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi
dan memberi hak pada yang lain untuk menerima prestasi. Contohnya perjanjian pemberian
kuasa dengan cuma-cuma, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma, perjanjian pinjam pengganti
cuma-cuma, dan penitipan barang dengan cuma-cuma.
Berkaitan dengan aturan resiko, pada perjanjian sepihak resiko ada pada para kreditur,
sedangkan pada perjanjian timbal balik resiko ada pada debitur, kecuali pada perjanjian jual
beli.
o Berkaitan dengan perjanjian syarat batal, pada perjanjian timbal balik selalu
dipersengketakan.
Jika suatu perjanjian timbal balik saat pernyataan pailit baik oleh debitur maupun lawan janji
tidak dipenuhi seluruh atau sebagian dari padanya maka lawan janjinya berhak mensomir
BHP. Untuk jangka waktu 8 hari menyatakan apakah mereka mau mempertahankan
perjanjian tersebut.
Kontrak menurut namanya dibedakan menjadi dua, yaitu kontrak bernama atau kontrak
nominat, dan kontrak tidak bernama atau kontrak innominat. Dalam buku III KUHP
tercantum bahwa kontrak bernama adalah kontrak jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa,
hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan
utang, perdamaian, dll. Sementara yang dimaksud dengan kontrak tidak bernama adalah
kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum
tercantum dalam kitab undang-undang hukum perdata. Yang termasuk dalam kontrak ini
misalnya leasing, sewa-beli, keagenan, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya,
production sharing.
Kontrak menurut bentuknya dibedakan menjadi kontrak lisan dan kontrak tertulis. Kontrak
lisan adalah kontrak yang dibuat secara lisan tanpa dituangkan kedalam tulisan. Kontrak-
kontrak yang terdapat dalam buku III KUHP dapat dikatakan umumnya merupakan kontrak
lisan, kecuali yang disebut dalam pasal 1682 KUHP yaitu kontrak hibah yang harus
dilakukan dengan akta notaris.
Kontrak tertulis adalah kontrak yang dituangkan dalam tulisan. Tulisan itu bisa dibuat oleh
para pihak sendiri atau dibuat oleh pejabat, misalnya notaris. Didalam kontrak tertulis
kesepakatan lisan sebagaimana yang digambarkan oleh pasal 1320 KUHP, kemudian
dituangkan dalam tulisan.
Pelaksanaan kontrak
Pengaturan mengenai pelaksanaan kontrak dalam KUHP menjadi bagian dari pengaturan
tentang akibat suatu perjanjian, yaitu diatur dalam pasal 1338 sampai dengan pasal 1341
KUHP. Pada umumnya dikatakan bahwa yang mempunyai tugas untuk melaksanakan
kontrak adalah mereka yang menjadi subjek dalam kontrak itu. Salah satu pasal yang
berhubungan langsung dengan pelaksanaannya ialah pasal 1338 ayat 3 yang berbunyi ”suatu
perjanjian harus dilaksanakan dengan etiket baik.” Dari pasal tersebut terkesan bahwa untuk
melaksanakan kontrak harus mengindahkan etiket baik saja, dan asas etiket baik terkesan
hanya terletak pada fase atau berkaitan dengan pelaksanaan kontrak, tidak ada fase-fase
lainnya dalam proses pembentukan kontrak.
1. Segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan
undang-undang.
2. Hal-hal yang menurut kebiasaan sesuatu yang diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu
pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.
3. Bila suatu hal tidak diatur oleh/dalam undang-undang dan belum juga dalam kebiasaan
karena kemungkinan belum ada, tidak begitu banyak dihadapi dalam praktek, maka harus
diciptakan penyelesaiannya menurut/dengan berpedoman pada kepatutan.
Pelaksanaan kontrak harus sesuai dengan asas kepatutan, pemberlakuan asas tersebut dalam
suatu kontrak mengandung dua fungsi, yaitu :
1. Fungsi melarang, artinya bahwa suatu kontrak yang bertentangan dengan asas kepatutan itu
dilarang atau tidak dapat dibenarkan, contoh : dilarang membuat kontrak pinjam-meminjam
uang dengan bunga yang amat tinggi, bunga yang amat tinggi tersebut bertentangan dengan
asas kepatutan.
2. Fungsi menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah dengan atau dilaksanakan dengan
asas kepatutan. Dalam hal ini kedudukan asas kepatutan adalah untuk mengisi kekosongan
dalam pelaksanaan suatu kontrak yang tanpa isian tersebut, maka tujuan dibuatnya kontrak
tidak akan tercapai.
Pembatalan perjanjian yang menimbulkan kerugian
Akibat munculnya wanprestasi ialah timbulnya hak pada pihak yang dirugikan untuk
menuntut penggantian kerugian yang dideritanya terhadap pihak yang wanprestasi. Pihak
yang wansprestasi memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang
menderita kerugian. Tuntutan pihak yang dirugikan terhadap pihak yang menyebabkan
kerugian berupa :
1. Pemenuhan perikatan
2. Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi
3. Ganti rugi
4. Pembatalan persetujuan timbale balik, atau
5. Pembatalan dengan ganti rugi
Suatu kontrak dianggap sah (legal) dan mengikat, maka perjanjian tersebut harus memenuhi
syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHP Perdata, ada empat syarat yang
harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :
Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan
antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu
timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan,
penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari
salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa
atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata yang
disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang
belum dewasa dan mereka yang berada dibawah pengampunan.
Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat
pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif,
yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila
kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat
ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi
perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas
perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.
1. Pengertian Perjanjian
Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, berjudul “perihal perikatan” perkataan
“perikatan” (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam
buku III itu, diatur juga perihal pesetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari
perbuata yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perikatan yang timbul dari
pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarnemng). Tetapi,
sebagian besar buku III ditujukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau
Pada umumnya, perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara
lisan, dan andai kata dibuat tertulis maka perjanjian bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi
bentuk itu tidak dituruti, perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian, bentuk tertulis tadi tidaklah
hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat adanya
(bestaanwaarde) perjanjian.[2]
Pengertian Perjanjian diatur di dalam Bab II Buku III Kitab Undang- Undang Hukum Perdata
tentang “Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan Dari Kontrak atau Perjanjian”, mulai Pasal 1313 sampai
dengan Pasal 1351, dimana ketentuan dalam Pasal 1313 merumuskan pengertian perjanjian yang
berbunyi :
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih”.
Ketentuan Pasal ini kurang tepat, karena ada beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi.
a. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri”
yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan
itu ialah “saling mengikatkan diri”, sehingga ada konsensus antara kedua belah pihak;
b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga
daad) yang tidak mengandung suatu konsensus, sehingga seharusnya dipakai istilah “persetujuan”;
c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang diatur
dalam bidang hukum keluarga, padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur
mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian;
d. Tanpa menyebut tujuan atau memiliki tujuan yang tidak jelas. Dalam rumusan Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-
Berdasarkan kelemahan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tersebut, maka beberapa ahli hukum mencoba merumuskan defenisi perjanjian yang
1) Subekti
“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana
2) Abdulkadir Muhammad
“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri
3) Handri Raharjo
“Perjanjian merupakan suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata
sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan diantara mereka (para pihak/subjek
hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu
juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan
kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum”.[6]
4) R.Wirjono Prodjodikoro
“Perjanjiaan diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua
pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanjian untuk melakukan sesuatu hal atau
untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.[7]
Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat
hukum (legally concluded contract). Menurut ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
perjanjian, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya.[8]
sendiri yang dilakukan oleh subjek hukum. Pada umumnya, seseorang dikatakan cakap melakukan
perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah
Akibat hukum ketidakcakapan membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat
itu dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim. Jika permbatalan tidak dimintakan oleh pihak
yang berkepentingan, sepanjang tidak dimungkiri oleh pihak yang berkepentingan, perjanjian itu
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian, prestasi yang wajib
dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Jika pokok
perjanjian, atau objek perjanjian, atau prestasi itu kabur, tidak jelas, sulit bahkan tidak mungkin
Kata causa berasal dari bahasa Latin yang artinya sebab. Sebab adalah suatu yang
menyebabkan dan mendorong orang membuat perjanjian. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata mengartikan causa yang halal bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau
mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang
Ketentuan dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa
Undang-Undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian,
karena yang diperhatikan atau diawasi oleh Undang-Undang itu ialah “isi perjanjian itu”, yang
menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak serta isinya tidak dilarang oleh Undang-
Syarat pertama dan kedua Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut syarat
subjektif, karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian. Jika syarat ini tidak
dipenuhi, perjanjian dapat dibatalkan. Tetapi jika tidak dimintakan pembatalan kepada Hakim,
perjanjian itu tetap mengikat pihak-pihak, walaupun diancam pembatalan sebelum lampau waktu
Syarat ketiga dan keempat Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut syarat
objektif, karena mengenai sesuatu yang menjadi objek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi,
perjanjian batal. Kebatalan ini dapat diketahui apabila perjanjian tidak mencapai tujuan karena salah
satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Kemudian diperkarakan kemuka Hakim, dan Hakim
3. Asas-Asas Perjanjian
Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting, yang merupakan dasar kehendak pihak-
pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa asas tersebut adalah sebagai berikut ini:
a. Asas kebebasan berkontrak. Setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baik yang sudah
diatur atau belum diatur dalam Undang-Undang. Tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal
yaitu tidak dilarang oleh Undang-Undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak
b. Asas pelengkap. Asa ini mengandung arti bahwa ketentuan Undang-Undang boleh tidak diikuti
apabila pihak-pihak menghendaki dan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari
ketentuan Undang-Undang . tetapi apabila dalam perjanjian yag mereka buat tidak ditentukan lain,
maka berlakulah ketentuan Undang-Undang. Asas ini hanya mengenai hak dan kewajiban pihak-
pihak saja.[13]
c. Asas konsensual. Asas in mengandung arti bahwa perjanjian itu tidak terjadi saat tercapainya kata
sepakat (konsensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Sejak saat itu perjanjian
mengikat dan mempunyai akibat hukum. Dari asa ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang
dibuat cukup secara lisan saja. Tetapi ada perjanjian tertentu yang dibuat secara tertulis, misalnya
perjanjian perdamaian, hubah, pertanggungan. Tujuannya ialah untuk bukti lengkap mengenai apa
d. Asas obligator. Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian dibuat oleh pihak-pihak itu baru dalam
e. Asas tidak boleh main hakim sendiri. Asas ini patut mendapat perhatian karena apabila dalam suatu
perjanjian yang telah dibuat dengan kesepakatan bersama antara para pihak, dan kemudian
ternyata tidak bisa dipenuhi oleh salah satu pihak yang seharusnya berkewajiban melaksanakan
perjanjian sebagaimana yang telah dibuat, dengan sendirinya terjadi breach of contract atau
pelanggaran terhadap kesepakatan. Oleh karena itu, dalam keadaan demikian, pihak yang
Tidak ada aturan baku dalam membuat sebuah perjanjian, artinya bentuk/format dan isinya
diserahkan kepada masing-masing pihak, hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang
terkandung dalam hukum perjanjian. Intinya, perjanjian yang dibuat para pihak harus dapat
menampung segala kebutuhan dari para pihak yang membuatnya dan harus sedetail mungkin
karena semakin detail sebuah perjanjian maka akan memudahkan para pihak untuk melaksanakan
perjanjian tersebut karena tidak menimbulkan penafsiran ganda dan memperkecil celah pihak lain
Seperti telah dijabarkan diatas bahwa pada dasarnya tidak ada aturan yang mengikat dalm
2) Objek perjanjian.
3) Harga kesepakatan.
4) Sitem pembayaran
7) Penyelesaian perselisihan: secara kekeluargaan atau pengadilan berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku
8) Waktu perjanjian
Kredit berasal dari bahasa Romawi “credere” yang berarti percaya. Dasar dari kredit adalah
adanya kepercayaan. Pihak yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit
(debitur) akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjika, baik menyangkut jangka
waktunya, maupun prestasi, dan kontraprestasinya. Kondisi dasar seperti ini diperlukan oleh bank,
karena tu diperlukan kebijaksanaan oleh bank dalam penggunaan dana tersebut termasuk di
Pengertian kredit menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujan atau kesepakatn pinjam meminjam atara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Dari pengertian tersebut kita dapat melihat adanya suatu kontraprestasi yang akan diterima
kreditur pada masa yang akan datang berupa jumlah bungan, imbalan, atau pembagian hasil
keuntungan, dengan demikian maka jelas tergambar bahwa kredit dalam arti ekonomi, adalah
penundaan pembayaran dari prestasi yang diberikan sekarang, baik dalam bentuk barang, uang,
maupun jasa. Disini terlihat bahwa faktor waktu merupakan faktor utama yang memisahkan prestasi
a. Membantu perkembangan kegiatan ekonomi sesuai dengan kebijaksanaan dan program pemerintah
dengan tetap mendasarkan pada persyaratan bank secara teknis dan wajar.
Tujuan dasar kredit dimaksudkan untuk pencapaian suatu tujuan tertentu yang tidak boleh
merugikan tujuan lainnya, bahkan harus saling menunjang atau dapat dicapai bersama. Untuk itu
diperlukan perencanaan yang matang dan melalui suatu analisis dan penelitian yang cermat untuk
Perjanjian kredit menurut Hukum Perdata Indonesia, adalah salah satu dari bentuk
perjanjian pinjam meminjam. Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit diadakan pada
hakikatnya, adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata pada Pasal 1754 s/d 1769. Dengan demikian pembuatan suatu perjanjian
kredit dapat mendasarkan kepada ketentuan-ketentuan yang ada pada Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, tetapi dapat pula berdasarkan kesepakatan diantara para pihak, artinya dalam hal-
hal ketentuan yang memaksa maka harus sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, sedangkan dalam hal ketentuan yang tidak memaksa
Tentang bagaimana hakikat dari perjanjian kredit jika dihubungkan dengan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, maka secara yuridis, perjanjian kredit dapat dilihat dari 2 (dua) segi
Jika perjanjian kredit sebagai perjanjian khusus, maka tidak ada perjanjian bernama dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang disebut dengan perjanjian kredit. Karena itu, yang
berlaku adalah ketentuan umum dari hukum perjanjian tentunya ditambah dengan klausul-klausul
sebagai perjanjian pinjam pakai, maka disamping terhadapnya berlaku ketentuan umum tentang
perjanjian, berlaku juga ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perjanjian pinjam
pakai habis. Hal ini berbeda dengan perjanjian pinjam pakai biasa, dimana yang harus dikembalikan
oleh debiturya adalah fisik dari benda yang dipinjam.sementara dalam perjanjian pinjam pakai habis,
yang dikembalikan adalah nilai dari benda yang dipinjam pakai tersebut.[22]
Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis yang penting
memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Namun dari sudut
pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan alat bukti, karena hakekatnya pembuatan
perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang
komplek ini perjanjian lisan tentu sudak tidak dapat disarankan untuk digunakan meskipun secara
teori diperbolehkan karena lisan sulit dijadikan sebagai alat bukti bila terjadi masalah dikemudian
hari.
Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada Pasal 1 ayat 11 Undang-
Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan. Dalam pasal itu terdapat kata-kata: penyedian uang atau tagihan berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain. Kalimat tersebut
Presidium Kabinet Nomor 15/EK/IN/10/1966 tanggal 10 Oktober 1966. Dalam Instruksi tersebut
ditegaskan “Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara
Bank dengan Debitur atau antara Bank sentral dan Bank-Bank lainnya. Surat Bank Indonesia yang
ditunjukan kepada segenap Bank Devisa Nomor 03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970,
khususnya butir 4 yang berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit.
Dengan keputusan-keputusan tersebut maka pemberian kredit oleh Bank kepada Debiturnya
Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara Bank dengan Debitur sehingga
harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah untuk mengetahui bahwa
Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis/bentuk akta yang dibuat sebagai alat bukti.
Dikatakan salah satu bentuk akta karena masih banyak perjanjian-perjanjian lain yang merupakan
7. Berakhirnya Perjanjian
c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu
[2] Richard Eddy, Aspek Legal Properti – Teori,Contoh,dan Aplikasi, ANDI Yogyakarta, 2010, hlm. 45.
[3] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm 224-
225.
[5] Ibid,
[6] Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hlm
42.
[7] Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm
4
[10] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[18] Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993,
hlm 217
[19] Ibid
[20] Ruddy Tri Santoso, Mengenal Dunia Perbankan, ANDI, Yogyakarta, 1997, hlm.111.
[22]Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm 117
[23] Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2009, hlm 99-
100
BAGIAN 1
Ketentuan-ketentuan Umum
1740. Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang satu menyerahkan suatu
barang untuk dipakai dengan cuma-cuma kepada pihak lain, dengan syarat bahwa pihak yang
menerima barang itu setelah memakainya atau setelah lewat waktu yang ditentukan, akan
mengembalikan barang itu.
1741. Orang yang meminjamkan itu tetap menjadi pemilik mutlak barang yang dipinjamkan
itu.
1742. Segala sesuatu yang dipergunakan orang dan tidak dapat musnah karena
pemakaiannya, dapat menjadi pokok perjanjian ini.
1743. Semua perjanjian yang lahir dan perjanjian pinjami pakai, beralih kepada ahli waris
orang yang meminjamkan dan ahli waris peminjam.
Akan tetapi jika pemberian pinjaman dilakukan hanya kepada orang yang menerimanya dan
khusus kepada orang itu sendiri, maka semua ahli waris peminjam tidak dapat tetap
menikmati barang pinjaman itu.
BAGIAN 2
Kewajiban-kewajiban Orang yang Menerima Barang Pinjam Pakai
1744. Barangsiapa menerima suatu barang yang dipinjam wajib memelihara barang itu
sebagai seorang kepala keluarga yang baik, Ia tidak boleh menggunakan barang itu selain
untuk maksud pemakaian yang sesuai dengan sifatnya, atau untuk kepentingan yang telah
ditentukan dalam perjanjian. Bila menyimpang dan larangan ini, peminjam dapat dihukum
mengganti biaya, kerugian dan bunga, kalau ada alasan untuk itu.
Jika peminjam memakai barang itu untuk suatu tujuan lam atau lebih lama dan yang
semestinya, maka wajiblah ia bertanggung jawab atas musnahnya barang itu sekalipun
musnahnya barang itu disebabkan oleh suatu peristiwa yang tidak disengaja.
1745. Jika barang pinjaman itu musnah karena suatu peristiwa yang tidak disengaja, sedang
ha! itu dapat dihindarkan o!eh peminjam dengan jalan memakai barang kepunyaan sendiri
atau jika peminjam tidak mempedulikan barang pinjaman sewaktu terjadmya peristiwa
termaksud, sedangkan barang kepunyaannya sendiri diselamatkannya, maka peminjam wajib
bertangung jawab atas musnahnya barang itu.
1746. Jika barang itu telah ditaksir harganya pada waktu dipinjamkan maka musnahnya
barang itu meskipun ha! mi terjadi karena peristiwa yang tak disengaja adalah tanggungan
peminjam, kecuali kalau telah dijanjikan sebaliknya.
1747. Jika barang itu menjadi berkurang harganya semata-mata karena pemakaian yang
sesuai dengan maksud peminjaman barang itu, dan bukan karena kesalahan peminjam maka
ia tidak bertanggung jawab atas berkurangnya harga itu.
1748. Jika pemakai telah mengeluarkan biaya untuk dapat memakai barang yang dipinjamnya
itu, maka ia tidak dapat menuntut biaya tersebut diganti.
1749. Jika beberapa orang bersama-sama meminjam satu barang, maka mereka masing-
masing wajib bertanggung jawab atas keseluruhannya kepada pemberi pinjaman.
BAGIAN 3
Kewajiban-kewajiban Pemberi Pinjaman
1750. Pemberi pinjaman tidak dapat meminta kembali barang yang dipinjamkannya kecuali
bila sudah lewat waktu yang ditentukan, atau dalam ha! tidak ada ketentuan tentang waktu
peminjaman itu, bila barang yang dipinjamkan itu telah atau dianggap telah selesai digunakan
untuk tujuan yang dimaksudkan.
1751. Akan tetapi bila dalam jangka waktu itu atau sebelum berakhirnya keperluan untuk
memakai barang itu, pemberi pinjaman sangat membutuhkan barangnya dengan alasan yang
mendesak dan tidak terduga, maka dengan memperhatikan keadaan, Pengadilan dapat
memaksa penunjang untuk mengembalikan barang pinjaman itu kepada pemberi pinjaman.
1752. Jika dalam jangka waktu pemakaian barang pinjaman itu pemakai terpaksa
mengeluarkan biaya yang sangat perlu guna menyelamatkan barang pinjaman itu; dan begitu
mendesak sehingga oleh pemakai tidak sempat diberitahukan terlebih dahulu kepada pemberi
pinjaman, maka pemberi pinjaman ini wajib mengganti biaya itu.
1753. Jika barang yang dipinjamkan itu mempunyai cacat-cacat sedemikian rupa sehingga
pemakai orang itu bisa mendapat rugi, sedang pemberi pinjaman harus bertanggu jawab atas
semua akibat pemakaian barang.