Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN HASIL WAWANCARA SANTRI PONDOK PESANTREN AL FURQON

MUHAMMADIYAH KOTA BATU


PEMBELAJARAN AGAMA ISLAM MELALUI PENDEKATAKAN PSIKOLOGI
BELAJAR
Abdul Rozaq (202310010311064)
Email: arozzaq37@gmail.com

Abstrack
Pendidikan Agama merupakan sebuah pendidikan yang wajib berada dikurikulum
pendidikan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Terlebih dalam dunia pesantren,
kurikulum pendidikan agama memiliki porsi lebih, dibanding dengan sekolah umum lainnya.
Pondok Pesantren Al Furqon Muhammadiyah Batu, merupakan sebuah pesantren yang di
dalamnya menerapkan pembelajaran agama islam lebih intensif dari sekolah lainnya. Dalam
artikel ini akan dibahas bagaimana gaya belajar yang diminati oleh salah satu santri, faktor
apa yang menjadi kendala dalam pembelajaran tersebut, bagaimana kesiapan seorang santri di
pesantren tersebut, dan bagaiaman bayangan serta motivasi belajar agama pada saat ini, dan
masa tua nanti.

A. PENDAHULUAN
Pendidikan, sejatinya suatu upaya untuk mendewasakan anak/peserta didik, baik
dewasa secara mental maupun dalam berfikirnya. Kedewasaan itu bisa diukur dengan
kemandirian dalam bersikap dan menentukan pilihan-piihannya. Sebagaimana dinyatakan
Indrakusuma bahwa: Pendidikan adalah bantuan yang diberikan dengan sengaja kepada anak
dalam pertumbuhan jasmani maupun rohaninya untuk mencapai tingkat dewasa
(Indramusuma, 1985: 27 dalam Moch. Fachri, 2014)
Ahmad D. Marimba dalam Nasiri (2020) mengemukakan bahwa Pendidikan Islam
adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (Insan
kamil).
Menurut M. Arifin dalam Nasiri (2020), pendidikan Islam adalah suatu sistem
kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah,
sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia baik
duniawi maupun ukhrawi.
Fadhil al Jamaliy dalam Nasiri (2020) berpendapat bahwa pendidikan Islam adalah
upaya mengembangkan, mendorong dan mengajak manusia ke arah yang lebih maju dengan
berlandaskan nilai nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi
yang lebih sempurna, baik yng berkaitan dengan akal, perasaan maupun perbuatan.
Dapat disimpulkan dari sumber diatas, bahwasannya pendidikan merupakan suatu
perkara yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Terutama tujuan pendidikan sendiri adalah
untuk mengembangkan kemampuannya secara mental, dan kecerdasannya. Terlebih tujuan
pendidikan islam, selain untuk meningkatkan dua hal tersebut, pendidikan islam memiliki
jangkauan yang lebih luas.
Jangkauan tersebut meliputi aspek mental, kecerdasan, hubungan antara peserta didik
yang satu dengan yang lainnya, serta hubungan antara peserta didik dengan Allah yang maha
kuasa. Tujuan utama pendidikan islam adalah menciptakan insan kamil, yang memiliki
pemahaman yang baik akan agama nya, hubungan yang baik dengan tuhan dan manusia lain
disekitarnya.
Dalam proses pembelajaran di dalam kelas, selain aspek materi, pembelajaran juga
dipengaruhi oleh aspek kesiapan peserta didik secara psikologi. Maka dalam wawancara yang
dilakukan, fokus utama pengkajian adalah bagaimana pembelajaran agama islam kepada
siswa di pondok pesantren al furqon muhammadiyah melalui pendekatan psikologi belajar.
Untuk memahami bagaimana pembelajaran agama islam melalui pendekatan
psikologi belajar, perlu menjelajahi masalah-masalah ini secara mendalam dan mencari solusi
yang relevan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah adalah sebagi
berikut; (1) Tipologaya belajar; (2) Kesulitan dalam belajar; (3) Kesiapan belajar pada fase
remaja (4) Kesiapan belajar pada masa lansia.

B. BIODATA NARASUMBER
Nama: Sultan Ijlal Nadiv Rafi
Kelas: 8 (delapan)
Tempat, tanggal lahir: Malang, 26 oktober 2009
Asal: Blimbing, Kota Malang
Nama wali: Aftap Rafi
Tanggal wawancara: 27 November 2023

C. PEMBAHASAN
1. TIPOLOGI GAYA BELAJAR
a. Pengertian Tipologi/Gaya Belajar
Gaya belajar merupakan suatu kombinasi dari bagaimana siswa menyerap, kemudian
mengatur serta mengolah informasi. Gaya belajar bukan hanya berupa aspek ketika
menghadapi informasi, melihat, mendengar, menulis dan berkata tetapi juga aspek
pemrosesan informasi sekunsial, analitik, global atau otak kiri otak kanan, aspek lain adalah
ketika merespon sesuatu atas lingkungan belajar (diserap secara abstrak dan konkret) (Fajar
Isnaeni Saputri, 2016)
Adapun yang dikemukakan oleh M.Joko Susilo dalam Ratna Naila (2008) Tipe belajar
adalah suatu proses gerak laku, penghayatan, serta kecenderungan seseorang pelajar
mempelajari atau memperoleh sesuatu ilmu dengan cara yang tersendiri.
Dari dua uraian diatas, dapat kita simpulkan bahwasannya tipologi/gaya belajar adalah
sebuah upaya seorang peserta didik memproses suatu informasi atau pengetahuan dengan
cara yang tersendiri. Yang dimaksud dengan cara tersendiri adalah acara yang berbeda-beda
setiap orang dalam memproses informasi.
b. Macam-Macam Gaya Belajar
Tipe belajar itu sebenarnya banyak, dan bahkan tidak sedikit orang yang bisa
belajar dengan semua tipe belajar tersebut. Bobbi De Porter dan Mike Hemacki dalam
buku Quantum Learning, dalam Ratna Naila (2008) membagi tipe belajar tersebut
kepada 3 macam yaitu:
1. Visual, yaitu belajar dengan cara melihat.
2. Auditorial, yaitu belajar dengan cara mendengar.
3. Kinestetik, yaitu belajar dengan cara bergerak.

2
Selanjutnya Hamzah B. Uno dalam Ratna Naila (2008) membagi Tipe belajar tersebut
kepada 7 bagian yaitu :
1. Belajar dengan kata, yaitu tipe belajar seperti ini siswa bisa mulai dengan mengajak
seorang teman yang senang bermain dengan bahasa, seperti bercerita, membaca,
serta menulis.
2. Belajar dengan pertanyaan, yaitu ada sebagian siswa yang suka belajar itu dengan
cara belajar pertanyaan. Misalnya, memancing keingintahuan dengan berbagai
pertanyaan, Setiap kali muncul jawaban, kejar dengan pertanyaan, sehingga
mendapatkan hasil yang paling akhir atau kesimpulan.
3. Belajar dengan gambar, yaitu ada sebagian siswa yang lebih belajar dengan
membuat gambar, merancang, melihat gambar, slide, video, atau film.
4. Belajar dengan musik, yaitu ada sebagian siswa yang berusaha mendapatkan
informasi itu dengan cara mendengarkan music.
5. Belajar dengan bergerak, yaitu menyentuh sambil berbicara dan menggunakan tubuh
untuk mengekspresikan gagasan adalah cara belajar yang menyenagkan bagi siswa.
6. Belajar dengan bersosialisasi, yaitu bergabung dan menbaur dengan orang lain
adalah cara terbaik untuk mendapatkan informasi dan belajar secara cepat.
7. Belajar dengan kesendirian, yaitu ada sebagian orang yang gemar belajar dengan
menyepi atau menyendiri.
Dari beberapa tipe belajar yang dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa gaya-gaya
pembelajaran memiliki banyak sekali bentuk, antara lain dengan cara melihat,
mendengarkan, dan bergerak. Akan tetapi yang dijadikan rujukan dalam dalam dunia
pendidikan pendapat yang dikemukakan oleh . Bobbi De Porter dan Mike Hemacki

2. KESULITAN BELAJAR
Suatu kondisi belajar yang ditandai dengan adanya hambatan-hambatan tertentu
untuk mencapai hasil belajar. (Elvi Susanti, dkk, 2019)
Betty di dalam Endah Nurfina(2020), kesulitan belajar merupakan suatu bentuk gangguan
yang dialami oleh siswa dalam satu atau lebih dari faktor psikis yang mendasar yang meliputi
pemahaman atau penggunaan bahasa, lisan atau tulisan yang dengan sendirinya muncul
sebagai kemampuan tidak sempurna dalam hal mendengakan, berfikir, berbicara, membaca,
menulis, atau membuat perhitungan matematikal, termasuk juga kelemahan motorik ringan,
gangguan emosional atau akibat keadaan ekonomi, budaya, atau lingkungan yang tidak
menguntungkan bagi siswa.

Menurut Subini (2011) dalam https://www.kajianpustaka.com/2021/12/kesulitan-belajar.html


“kesulitan belajar adalah kesukaran yang dialami peserta didik dalam menerima dan
menyerap pelajaran. Beragam bentuk kesulitan belajar yaitu belajar dalam aktivitas
mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, menalar dan menghitung”

Dari beberapa teori diatas dapat disimpulkan, bahwa kesulitan belajar adalah kendala
yang dialami oleh peserta didik untuk memproses suatu pengetahuan, yang
dipengaruhi oleh kemampuan kognitif dan faktor psikologi.

3. KESIAPAN BELAJAR PADA FASE REMAJA AWAL

3
a. Fase Remaja Awal
Yessy mendefiniskan remaja awal sebagai berikut “Masa remaja awal merupakan masa
ketika seorang anak tumbuh ke tahap menjadi seseorang yang dewasa yang tidak dapat
ditetapkan secara pasti. Masa remaja awal yaitu antara umur 12-15 tahun”
Pada masa remaja awal, remaja mulai mempunyai kapasitas untuk memperoleh dan
menggunakan pengetahuan secara efisien mencapai puncaknya dikarenakan pertumbuhan
otak mencapai kesempurnaan. Sistem saraf yang berfungsi memproses informasi berkembang
dengan cepat. Di samping itu, pada masa remaja ini juga terjadi reorganisasi lingkaran saraf
prontal lobe (belahan otak bagian depan sampai pada belahan atau celah sentral). Prontabel
lobe ini berfungsi dalam aktivitas kognitif tingkat tinggi, seperti kemampuan merumuskan
perencanaan strategis atau kemampuan mengambil keputusan sebagaimana yang dipaparkan
Suwrno (2012) di dalam Yessy Nur Endah Sary (2017).
Yessy Nur Endah Sary juga mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Faturochman
(2016) Remaja juga mengalami puncak emosionalitasnya dan perkembangan emosi tingkat
tinggi. Perkembangan emosi remaja awal menunjukkan sifat sensitive, emosinya bersifat
negatif dan temperamental (mudah tersinggung, marah, sedih dan murung). Remaja yang
berkembang di lingkungan yang kurang kondusif, kematangan emosionalitasnya terhambat
sehingga akan mengakibatkan tingkah laku negatif misalnya agresif, lari dari kenyataan.
Dari beberapa sumber diatas dapat disimpulkan bahwasannya pada fase remaja awal
seseorang akan mengalami perubahan atau perkembangan yang cukup signifikan, baik secara
fisik, mental, psikologi, dan juga kemampuan kognitif. Bahkan dijelaskan juga bahwasannya
pada fase ini seseorang akan mengalami perkembangan emosional yang cukup tinggi, dan
cenderung sensitive, mudah tersinggung.
b. Pengertian kesiapan belajar
Kesiapan belajar menurut pendapat Slameto (2003), kesiapan adalah kondisi dimana
seorang siap menerima respon atas cara yang dilakukan terhadap kondisi yang dialaminya.
James drever (2010), berpendapat bahwa “preparedness to respon or react” yang artinya
kesiapan adalah kesediaan yang dipicu untuk merespon atau bereaksi.
Kemudian, Belajar menururt Geoch (2004) mengatakan “Learning is a change in
performance as a result of practice” yang artinya belajar adalah suatu perubahan kinerja
sebagai hasil dari latihan. Kemudian, Winkel (2013), berpendapat belajar adalah aktivitas
mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif yang menghasilkan perubahan
dalam pengetahuan , pemahaman, keterampilan, nilai dan sikap.
Jadi, dapat disimpulkan pengertian kesiapan belajar adalah perubahan prilaku dan
pengetahuan seseorang yang membuatnya harus siap sedia untuk memberikan segala respon
atau reaksi agar terwujudnya suatu tujuan pengajaran
c. Perkembangan Kognitif Masa Remaja
Jahja, (2012) di dalam Yessy Nur Endah Sary mendefinisikan Perkembangan kognitif
sebagai “Perkembangan adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori,
menalar, berpikir, dan bahasa. Piaget dalam Santrock, (2001); dalam Jahja, (2012); dalam
Yessy, (2017) berpendapat, seorang remaja termotivasi untuk memahami dunia karena
perilaku adaptasi secara biologis mereka. Menurut Piaget dalam Yessy Nur Endah Sary
(2017), remaja secara aktif membangun dunia kognitif mereka, di mana informasi yang

4
didapatkan tidak langsung diterima begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Remaja
telah mampu membedakan antara hal-hal atau ideide yang lebih penting dibanding ide
lainnya, lalu remaja juga mengembangkan ide-ide ini. Seorang remaja tidak saja
mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi remaja mampu mengholah cara
berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide baru.
Kekuatan pemikiran remaja yang sedang berkembang membuka cakrawala kognitif
dan cakrawala sosial baru. Pemikiran mereka semakin abstrak (remaja berpikir lebih abstrak
daripada anak-anak), logis (remaja mulai berpikir seperti ilmuwan, yang menyusun rencana-
rencana untuk memecahkan masalah-masalah dan menguji secara sistematis pemecahan-
pemecahan masalah), dan idealis (remaja sering berpikir tentang apa yang mungkin. Mereka
berpikir tentang ciri- ciri ideal diri mereka sendiri, orang lain, dan dunia); lebih mampu
menguji pemikiran diri sendiri, pemikiran orang lain, dan apa yang orang lain pikirkan
tentang diri mereka; serta cenderung menginterpretasikan dan memantau dunia sosial
(Santrock, 2002; dalam Yessy Nur Endah, 2017)
Dapat disimpulkan bahwasannya pada masa remaja awal ini, selain tingkat emosional
seorang menjadi lebih sensitive, pada fase ini juga seorang remaja mengalami perkembangan
secara kognitif juga. Pada fase ini seseorang bukan hanya dapat menerima sebuah
pengetahuan, lebih dari itu mereka dapat memikirkan pengetahuan tersebut, dan
menggabungkannya dengan pengetahuan lainnya, sehingga terbentuk sebuah gagasan dan
ide-ide baru.

4. KESIAPAN BELAJAR FASE LANSIA

a. Pengertian Lansia (Lanjut Usia)

Mengutip pengertian lansia (lanjut usia) dari website dinsos Riau “Menurut Peraturan
Presiden Nomo 88 Tahun 2021 tentang Strategi Nasional Kelanjutusiaan, yang dimaksud
dengan Lanjut Usia (lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.
Proses penuaan akan berdampak pada berbagai aspek kehidupan, baik aspek sosial,
ekonomi maupun aspek kesehatan” (Dinsos Riau: 2022)

Menurut World Health Organization (WHO) dalam jurnal perpustakaan universitas


Airlangga, lansia adalah seseorang yang telah memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia
merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase
kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut
aging process atau proses penuaan. (Nanda Dwi:2016)

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan belajar seseorang pada fase lansia

5
1. Kesehatan spiritual
Secara khusus kesehatan spiritual merupakan kemampuan seorang dalam upaya
menjaga keharmonisan hubungan antara diri sendiri, orang lain, dan Tuhannya. Kesehatan
spiritual dapat menjadi faktor penting yang mempengaruhi kesiapan belajar pada fase lansia,
(Fitria & Mulyana, 2021).
2. Kondisi fisik
Kondisi fisik menjadi faktor yang mempengaruhi kesiapan belajar pada fase lansia
dikarenakan kondisi fisik yang baik dapat meningkatkan kesiapan belajar pada lansia. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi fisik lansia meliputi pola makan yang sehat,
olahraga teratur dan tidur yang cukup.
Selain itu para lansia juga kerap mengalami masalah sosial berupa keterasingan dari
masyarakat karena penurunan kondisi fisik yang dialami, misalnya berkurangnya kepekaan
pendengaran, penglihatan, maupun cara bicara yang kadang sudah tidak dapat dimengerti,
(Fitria & Mulyana, 2021). Masalah fisik yang dialami lansia dapat mempengaruhi kesiapan
belajar mereka untuk memahami informasi atau berinteraksi dengan lingkungan belajar. Oleh
karena itu, adanya perhatiaan khusus terhadap kondisi fisik lansia dalam konteks pendidikan
dan pembelajaran.
1) Dukungan sosial
Dukungan sosial seperti dari keluarga, teman, dan masyarakat dapat mempengaruhi
kesiapan belajar pada lansia. Dukungan sosial dapat berupa bantuan dalam mengerjakan
tugas harian, dukungan emosional, dan partisipasi dalam kegiatan sosial, (Purwantiningsih &
Sardjiyo, 2016).

2) Motivasi
Motivasi menjadi faktor kesiapan belajar pada seorang lansia karena motivasi yang
tinggi dapat meningkatkan kesiapan belajar pada seorang lansia. Faktor faktor yang
mempengaruhi motivasi lansia meliputi minat terhadap materi yang dipelajari, tujuan yang
jelas, dan penghargaan yang diberikan atas pencapaian, (Wardhani & Tammu, 2021).
Lingkungan belajar
Lingkungan belajar jadi faktor yang mempengaruhi kesipaan belajar seorang lansia
karena lingkungan belajar yang nyaman dan mendukung dapat meningkatkan kesiapan
belajar pada lansia. Lingkungan yang ramah lansia menciptakan aksebilitas terhadap fasilitas
pembelajaran. Keterjangkauan dan pembelajaran dapat memberikan dorongan tambahan
untuk terlebitat dalam kegiatan pembelajaran. Faktor faktor yang mempengaruhi lingkungan
belajar lansia meliputi pencahayaan yang cukup, suhu yang nyaman, dan keheningan yang
terjaga, (Mujahid, 2020).
Lingkungan yang memiliki pencahayaaan yang cukup dapat membantu lansia dalam
membaca dan memahami materi pelajaran dengan lebih baik. Sebaliknya, pencahayaan yang
kurang dapat mengganggu kenyamanan dan konsentrasi belajar pada lansia,(Subagyo, 2017).
Selain pencahayaan, untuk membuat lingkungan belajar yang baik untuk lansia adalah
lingkungan yang memiliki suhu yang nyaman. Suhu yang nyaman dapat membantu lansia
dalam merasa nyaman dan fokus pada belajar, suhu yang terlalu dingin atau terlalu panas

6
dpat mengganggu kenyamanan dan konsentrasi belajar pada lansia,(Nurfajriyani &
Fadilatussaniatun, 2020). Keheningan yang terjaga juga menjadi salah satu penyebab
lingkungan menjadi nyaman dan membantu lansia untuk fokus pada belajar dan memahami
materi pelajaran dengan lebih baik. Kebisingan atau gangguan suara lainnya dapat
mengganggu belajar pada lansia,
3) Kemampuan kognitif
Kemampuan kognitif adalah kemampuan otak untuk memproses informasi dan
memahami konsep konsep yang kompleks. Menurut Chaplin (2002) Kemampuan kognitif
adalah konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenal, termasuk mengamati, melihat,
memperhatikan, memberikan, menyangka, membayangkan, memperkirakan, menduga, dan
menilai.
Kemampuan kognitif penting untuk lansia dalam melakukan kegiatan pembelajaran
karena kemampuan kognitif melitputi kemampuan otak untuk memproses informasi dan
memahami konsep konsep yang kompleks. Lansia yang memilliki kemampuan kognitif yang
baik akan lebih mudah dalam memahami dan mengingat materi pelajaran, sehingga dapat
meingkatkan kesiapan belajar mereka, (Sauliyusta & Rekawati, 2016). Selain itu,
kemampuan kognitif yang baik juga membantu lansia dalam memecahkan masalah dan
mengambil keputusan yang tepat. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan kognitif pada lansia antara lain latihan otak, pemeliharan
kesehatan otak, dan penggunaan teknik belajar yang efektif, (Zainurridha et al., 2021)

D. HASIL
Dari hasil wawancara ditemukan fakta sebagai berikut, (1) bahwa Sultan dalam belajar Al
Quran dan Hadist, lebih menyukai lewat membaca, karena hal tersebut lebih nyaman bagi
Sultan. (2) Saat mempelajari materi PAI sultan pernah mengalami kesulitan, khususnya pada
mata pelajaran Al Quran dan ahdist, dikarenakan kesusahan untuk menghafalkannya. (3)
Motivasi apa yang menjadi pemacu semangat Sultan untuk belajar, motivasinya adalah
dengan mengingat orang tua, serta mengharap pahala dari yang maha kuasa. (4) Apakah
Sultan akan tetap mempelajari Al Quran saat tuan anti, Sultan menjawab iya, akan tetapi
tidak untuk menghafalkannya. (5) Bagaimana respon Sultan saat tertimpa musibah akan
kepada siapa bersandar, sebagaimana yang didapat dalam pelajaran aqidah Sultan hanya
bersandar kepada Allah. Lalu menerima dengan sabar tanpa menyalahkan keadaan sebagai
implementasi dari akhlak, agar saat tua nantinya dapat lebih tenang. (6) Apa yang membuat
seorang lansia semangat belajar, sultan menjawab karena sudah mendekati ajalnya. (7)
metode pembelajaran seperti apa yang akan Sultan minati saat tuan anti, Sultan menjawab
bahwa metode yang melalui ceramah dan membaca buku.

E. KESIMPULAN

7
8

Anda mungkin juga menyukai