Anda di halaman 1dari 6

Bahaya Fatherless bagi Masa Depan Anak

Ahmad Nashih Luthfi

Khutbah Jumat, Masjid Daarunnajaah STPN, 13 Oktober 2023

A’udzu billaahi minassaythoonirrajiiim…

Jamaah sholat jumat rahamiakumullah….

Di siang hari yang penuh berkah ini, khatib mengajak jamaah sekalian dan diri khatib pribadi
untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan kualitas ketakwaan kita kepada Allah SWT.
Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Semoga kita
mendapatkan syafaatnya di yaumil akhir nanti. Amiiin, allahumma, amiiin...

Jamaah kaum muslimin yang dirahmati Allah.

Dalam kesempatan khutbah kali ini, khatib ingin mengangkat topik “Bahaya Fatherless bagi
Masa Depan Anak dan Keluarga”. Atau, bahayanya ketiadaan peran ayah terhadap
perkembangan seorang anak. Kita perlu sekali menyadari bahwa peran seorang ayah itu
sangat penting bagi kehidupan anak.

Topik ini semoga bermanfaat untuk kita semua, dan insya Allah ini tema yang relevan untuk
menyikapi masalah yang muncul dan kita lihat di masyarakat atau kita simak di media saat
ini, yakni kekerasan anak, bullying di sekolah, pelecehan seksual anak, mental health anak
dan remaja, bahkan diberitakan mahasiswa di beberapa kampus terkenal melakukan bunuh
diri. Dan mirisnya, itu bisa terjadi pada anak di perkotaan maupun di desa. Anak dari
keluarga kelompok sosial manapun, entah menengah ke bawah ataupun keluarga kaya. Anak
dengan ortu pendidikan formal yang tinggi ataupun tidak.

Jamaah sholat Jumat yang dirahmati Allah…

Beberapa hari yang lalu, istri khatib menghadiri pertemuan wali murid dan pihak sekolah,
yang menghadirkan narasumber seorang pengacara perempuan. Pengacara khusus kasus-
kasus kekerasan yang melibatkan anak. Mau tidak mau, dalam mendampingi kasus-kasus
tersebut, narasumber tersebut harus mempelajari psikologi anak.

1
Ia membuat kesimpulan salah satunya adalah bahwa anak-anak melakukan kekerasan karena
adanya faktor orangtua. Apa itu? Ketidakhadiran ayah dalam keluarga! Dalam arti, ayah tidak
turut mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Anak tidak mendapat kasih sayang ayahnya,
pendampingan untuk tumbuh percaya diri dan bagaimana bersikap terhadap orang lain.

Pada saat sesi istirahat, seorang wali murid curhat pada wali murid lainnya, bahwa ia sedih
karena “anak yang tua suka memukul adiknya.” Lalu sambil menerawang, seakan meng-iya-
kan apa yang didengar narasumber tadi, ibu tersebut mengatakan dalam Bahasa Jawa, “lha
bapake ora tau ngomong kok karo anake. Bapake dolanan hape terus” (Lha sang bapak tidak
pernah ngomong sama anaknya. Bapaknya main hape terus).

Jamaah sholat Jumat yang dirahmati Allah…

Pengasuhan seorang ayah terhadap anak-anaknya dalam satu keluarga sangatlah penting.
Seorang ayah harus berinisiatif untuk menjalin hubungan dengan anak laki-laki dan anak
perempuannya dengan memanfaatkan semua potensinya baik afeksi, fisik, dan kognisinya.
Beberapa tahun ini kita mendengar istilah Fatherless (ketiadaan bapak). Sosok ayah hilang
dalam pengasuhan anak, baik secara fisik maupun psikologis. Betul bahwa seorang anak
masih memiliki ayah, namun keterlibatannya dalam pengasuhan anak sangat rendah.

Fatherless dapat terjadi disebabkan beberapa faktor seperti kondisi sosial, ekonomi, maupun
budaya yang hidup di tengah masyarakat. Dari sisi sosial dan ekonomi yang bersifat
struktural, sekarang ini manusia dewasa seakan-akan dipisahkan dari keluarganya, dari anak-
anaknya. Manusia dewasa, orangtua, bergerak dari rumah ke jalan, menjadi tenaga-tenaga
kerja industrial, dagang, ataupun perkantoran. Interaksi orangtua, khususnya ayah, dengan
anak minim sekali. Lalu, ada weekend yang mengkompensasi keletihan itu.

Di antara efek negatif dari fatherless adalah turunnya tingkat kepercayaan diri pada anak.
Anak menarik diri dari kehidupan sosial. Bisa pula anak cenderung melakukan tindakan
kenakalan remaja, kekerasan, hingga kriminal. Belum lagi persoalan kesehatan mental
mereka. Peran ayah diperlukan dalam mendampingi anak-anak agar jangan sampai mereka
mengalami depresi, ketakutan, kecemasan tatkala menghadapi masalah. Misalnya, masalah
sekolah terkait pelajaran, pertemanan, organisasi, hubungan dengan guru atau mewujudkan
cita-cita mereka. Juga masalah-masalah yang ada di keluarga dan di masyarakat. Pada tahap
lanjut, sang anak dapat menjadi tidak bahagia dalam hidup. Kita tentu sedih jika melihat
anak-anak kita tidak bahagia.

Ketiadaan peran ayah juga berdampak panjang. Kelak di kemudian hari, ia berpotensi
memiliki hubungan yang rumit dengan pasangannya, dan juga sulit berkomunikasi dan
memecahkan masalah. Ia tidak memiliki refenrensi bagaimana membina hubungan keluarga
sebab orangtuanya tidak memberikan contoh.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah….

Kita tentu prihatin dengan kondisi yang menimpa anak-anak kita. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) Pusat menyatakan kekerasan pada anak sudah masuk dalam tahap darurat.
Sangat mengkhawatirkan. Di wilayah D.I.Yogyakarta saja, pada tahun 2022, terdapat 4.800
pengaduan pelanggaran hak anak, umumnya adalah kekerasan terhadap anak. Yang paling
tinggi adalah kekerasan seksual dan kekerasan fisik dan psikis dalam kasus-kasus kekerasan

2
jalanan. Bully atau perundungan terjadi. Itu tadi adalah angka yang diadukan. Kita menduga
angkanya lebih besar sebab banyak kekerasan yang tidak diketahui, tidak diadukan,
disembunyikan, bahkan dianggap itu lumrah dan bukan sebagai kekerasan anak, padahal ia
berdampak serius bagi fisik dan mental anak.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah….

Terkait dengan peran ayah dalam rumah tangga, sebagai seorang Muslim kita memiliki
pedoman Al-Qur'an dan Hadits. Kita bahkan memiliki teladan yang patut untuk ditiru dalam
menjalankan bahtera rumah tangga beserta pengasuhan anak, yaitu baginda besar Nabi
Muhammad saw.

Rasulullah merupakan contoh ideal bagi para ayah dalam pengasuhan anak. Nabi sangat
menyayangi keluarga, istri, anak serta cucunya. Berikut ini, beberapa contoh pengasuhan
anak oleh Nabi Muhammad SAW.

Pertama, penuh kasih sayang. Dalam kitab “Muhammad, al Insanu al Kamil”, karangan
Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Husaini, terdapat bab yang membahas
‫“( رحمته ﷺ بالصبيان واليتيم واألرملة والمريض وغيرهم‬Kasih sayang Nabi terhadap anak-anak, para
yatim, janda, orang sakit, dll.”). Dijelaskan dalam suatu riwayat Nabi sangat senang
mengusap kepala dan mencium cucunya.

Secara ringkas hadits ini menggambarkan bahwa suatu waktu Nabi mencium Hasan bin Ali.
Saat itu shahabat al-Aqra’ ibn Habis di sisi Nabi. Melihat itu, Aqra berkata, “Aku mempunyai
sepuluh anak, tapi tidak pernah seorang anak pun yang kucium.” Kemudian Nabi melihat
padanya, lalu berkata, ‫ح ُم‬
َ ‫ َمن ال يَ ْر َح ُم ال ي ُْر‬, “Barang siapa yang tidak menyayangi, maka tidak
akan disayangi.” Ini hadits diriwayatkan oleh istri Nabi, Aisyah RA. Hadits yang shahih
menurut riwayat Imam Bukhari dan Muslim.

Nabi tidak hanya menunjukkan kasih sayang pada keluarganya di ruang keluarga, namun jga
di tempat umum (publik). Ya'la ibn Murrah RA menceritakan bahwa beberapa orang pergi
bersama Nabi SAW memenuhi undangan makan malam, dan di perjalanan mereka
menemukan Husein sedang bermain. Jadi Nabi berlari mendahului para sahabat dan
merentangkan tangan beliau lebar-lebar, sementara Husein lari sambil tertawa-tawa hingga
akhirnya Nabi saw berhasil menangkapnya. Lalu Nabi meletakkan salah satu tangan beliau di
dagu Hasan, dan tangan lain di belakang kepalanya, lalu menciumnya. Kemudian beliau
berkata: "Husein berasal dariku, dan aku dari Husein, semoga Allah mencintai siapa pun yang
mencintai Husein, sebab Husein adalah sebuah bangsa dari dirinya sendiri." Demikian hadits
yang disitir dalam buku karangan Muhammad Shalih Al-Munajjid, Cara Nabi
Mempperlakukan Orang di Berbagai Level Sosial (hlm. 197).

3
Riwayat-riwayat lain memperlihatkan kelembutan Nabi pada anak kecil, bahkan ketika
terpaksa harus kena halangan (najis), beliau tetap menunjukkan kelembutan itu. Abu Laila ra
berkata, "Aku sedang bersama Nabi SAW dan Hasan atau Husein sedang berbaring di dada
atau perut beliau. Aku memperhatikan kalau ia (bayi itu) mulai pipis, lalu aku berdiri untuk
mengambilnya. Nabi saw bersabda, 'Biarkan anakku, jangan buat dia takut sampai dia selesai
pipis.' Lalu beliau bangun dan membilasnya dengan air, dan aku melihat bekas pipis itu
hilang dengan cepat." Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (18580), dan Shu’aib al-Arnaut
menilainya shahih.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Betapa penuh kasih-sayangnya Rasulullah pada anak-anak, dicontohkan bahkan dalam


menjalankan ibadah mahdloh, yakni sholat. Nabi memperlama sujudnya karena cucunya,
Hasan dan Husain naik di punggungnya. “Aku tak suka membuatnya tergesa-gesa hingga dia
memenuhi hajatnya” (Hadis riwayat al-Nasa’i).

Bercanda atau bersenda-gurau yang berfaedah dengan anak-istri merupakan hal yang
disarankan Nabi. Diriwayatkan bahwa malaikat-malaikat tersenyum senang melihat jika ada
suatu rumah yang di dalamnya terdengar senda-gurau keluarga. Bahkan saking halusnya
sikap ulama terdahulu, ada yang mengajarkan agar kita tidak meneruskan mengetuk pintu
untuk bertamu jika di dalamnya ada keluarga yang sedang bersenda-gurau.

Jamaah sholat Jumat yang dirahmati Allah…

Kelembutan dan rasa sayang Nabi yang diekspresikan dalam bentuk mencium cucunya,
mengusap kepala dan bersentuhan fisik lainnya itu, menurut Muhammad Shalih Al-Munajjid
dalam kitab yang telah disebut di atas, merupakan suatu tindakan yang di luar kebiasaan
masyarakat Arab saat itu, dengan budayanya yang masih sangat maskulin. Laki-laki
cenderung gengsi terlihat lembut bersikap terhadap anak. Nabi ingin memberi contoh
perlunya mengubah interaksi orangtua-anak dan pentingnya menunjukkan ekspresi kasih-
sayang.

Jamaah sholat Jumat yang dirahmati Allah…

Bagi kita saat ini, quality time atau menghabiskan waktu berkualitas bersama keluarga,
biasanya diwujudkan dalam bentuk jalan-jalan, makan di luar atau kulineran, wisata selama
weekend dan seterusnya. Tentu ini tidak keliru. Namun, tidak harus dengan ‘kemewahan’
seperti itu. Artinya, tidak harus keluar dari rumah, mengeluarkan uang, menyediakan waktu
khusus, persiapan segala sesuatu yang tidak jarang malah memicu perselisihan-perselisihan
kecil antar anggota keluarga. Ditambah lagi jika terjebak macet di jalanan.

Maka, kita bisa mencoba melakukan kegiatan-kegiatan bersama di rumah atau di lingkungan
sekitar rumah, dengan istri dan anak. Membersihkan sepatu atau tas sekolah, menyiangi
tanaman kebun halaman, masak bersama, adalah hal-hal yang perlu dicoba. Mencuci atau
menjemur baju sebagai kewajiban bersama antara suami dan istri, juga bisa dibiasakan
mengajak bersama dengan anak-anak. Ajakan itu sekaligus memberi contoh agar bersikap
adil terhadap kewajiban-kewajiban rumah tangga, antara ayah dan ibu mereka.

4
Bisa juga membetulkan barang-barang rumah tangga yang rusak agar anak terbiasa peduli
dan memiliki tanggung jawab terhadap barang-barang. Jika anak-anak masih kecil, kita bisa
bantu anak-anak menjaga kebersihan tubuhnya seperti memotong kuku, membersihkan
kotoran kuping, dan seterusnya. Hal-hal demikian sepertinya sepele, namun dalam suasana
seperti itulah orangtua bisa menasehati anaknya dengan rileks, mengobrol santai, mengetahui
dan memahami perkembangan anak. Anak juga bisa terbuka curhat kepada orangtuanya pada
saat-saat seperti itu. Tercipta apa yang kita sebut sekarang sebagai ‘menciptakan bonding”
atau ikatan-hati dengan anggota keluarga.

Jamaah sholat Jumat yang dirahmati Allah.

Hal kedua. Menciptakan bonding secara spiritual. Menciptakan kedekatan atau bonding
dengan keluarga tentu saja yang paling penting adalah bonding secara spiritual. Maksudnya
adalah, anak-anak memiliki tautan referensi ketika ia ingin berbuat sesuatu. Berbuat baik ada
yang dicontoh. Paling dekat dan pertama-tama selayaknya adalah berasal dari orangtuanya.
Ditambah kemudian ia belajar mencari rujukan pada orang lain. Atau ketika terbersit ingin
berbuat jelek, ia berpikir “Jika aku melakukan ini, bapak-ibuku pasti akan kecewa”, sehingga
sang anak urung melakukannya. Jadi, anak memiliki ikatan terus dengan ortunya. Dan itulah
yang akan menjadi amal jariyah bagi ortunya, tatkala ortu berhasil mentradisikan hal baik
pada anaknya.
‫من سن يف اإلسالم سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل هبا إىل يوم القيامة‬

Dari sinilah akan tercipta rantai keteladanan atau tradisi kebaikan yang nantinya diamalkan di
kehidupan sosial yang lebih luas. Dari latihan “mengingat orangtua” tersebut, anak belajar
menuju derajat ihsan, yakni “melakukan sesuatu karena seakan-akan melihat Allah, atau
Allah pasti melihat kita, mengawasi kita”. Inilah yang difirmankan oleh Allah sebagaimana
dibacakan dalam kutipan ayat 6 surat at-Tahrim, yang artinya “Wahai orang-orang yang
beriman jagalah dirimu dan keluargamu agar terhindar dari api neraka". Ini pendidikan utama
yang perlu ditanamkan Ayah kepada anak-anaknya: bertaqwa kepada Allah dengan
melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya sehingga dengan itu dapat terhindar
dari api neraka. Jika alas dasarnya diperkuat, maka di atas itu baru diletakkan Pendidikan-
pendidikan yang lain, diberikan pengetahuan dan aktivitas-aktivitas yang lain pada anak.

Jamaah sholat Jumat yang dirahmati Allah.

Jika kita sebagai anak dulu mungkin tidak menerima dengan cukup perhatian dari orangtua
terutama ayah, dengan segala keterbatasan kondisi saat itu, maka langkah pertama adalah
menerimanya dengan ikhlas. Dan mendoakan hal terbaik untuk orang tua kita. Kita
menyadari bahwa tidak semua keluarga tumbuh dalam kondisi ideal tersebut. Tidak semata-
mata faktor orangtua yang tidak mau, namun ada kondisi di luar dirinya yang menyebabkan
hal itu. Seiring waktu kita berusaha memahaminya.

Selanjutnya, untuk kondisi sekarang dan masa depan yang lebih baik, mari kita menekadkan
diri jangan sampai nantinya tumbuh keluarga-keluarga yang fatherless. Apa jadinya jika
generasi muda Indonesia nanti adalah generasi yang fatherless? Mahasiswa yang sekarang
usia 19-23 atau 24 tahun, harus tumbuh menjadi generasi emas. Generasi yang membina
keluarganya menjadi keluarga emas. Membangun tradisi baru, menjadi keluarga yang
‘FATHERFULL’, secara lahir, batin dan spiritual.

5
Amin ya rabbal’aalamin. Sekali lagi, cita-cita itu hanya dapat terwujud jika kita, para ayah
atau calon ayah, mendidik anak-anak dengan baik.

Jangan kerdilkan diri kita hanya menjadi ‘laki-laki pengantar sekolah, sebab ojek online bisa
melakukan hal itu lebih efektif’. Meski sebagai tulang-punggung bekerja untuk menafkahi
keluarga itu penting, jangan hanya akan menjadi “pria pengirim uang”, sebab “teller di bank
lebih akurat dalam mentransfer uang’.

Maka, mari kita berusaha menjadi ayah, menjadi pendidik anak, menjadi murabbi atau
perawat anak, baik secara lahir, batun, dan spiritual.

Khutbah II

Catatan: idealnya, teks khutbah Jumat dibaca 7-10 menit atau 1000 kata jika dituliskan untuk
dibaca. Naskah ini 2025 kata merupakan pengembangan saja untuk dijadikan bahan bacaan.
Silahkan diringkas jika diperlukan.

Anda mungkin juga menyukai