• Menulis buku
📖 Riwayat Pendidikan
Apa yang mau saya sampaikan hari ini, tentang Peran Vital Ayah Dalam
Pengasuhan, bukan ilmu saya.. bukan pula hasil penelitian saya.. Saya
hanya akan menceritakan ulang apa yang sudah guru-guru saya
sampaikan tentang Peran Ayah Dalam Pengasuhan sebab ilmu ini amat
bermanfaat sekali pada saya dan keluarga, terutama mengubah pola
pikir, dan amat bermanfaat sekali bagi banyak keluarga yang berguru
ilmu pengasuhannya kepada beliau-beliau.
Saya berguru tentang Peran Ayah dalam Pengasuhan ini kepada Ibu
Elly Risman (Yayasan Kita Dan Buah Hati), kepada Ustadz Harri
Santosa (Fitrah Based Education), kepada Ustadz Adriano Rusfi
(Pendidik Aqil Baligh), kepada Pak Dodik & Ibu Septi (Institut Ibu
Profesional), kepada Ustadz Bendri (Muballigh, Tokoh Muda), dan yang
terutama adalah saya belajar kepada Bapak (orangtua kandung) saya
sendiri.
Mengapa saya perlu menyebut nama-nama di atas itu? Sebab saya kini
hidup di zaman dimana kebanyakan orang menilai kredibilitas
seseorang hanya dari usia. Seolah-olah ada aturan tak tertulis bahwa
anak muda yang usianya belum tua, belum layak untuk berkontribusi
terhadap zamannya.
Padahal dulu, saat zaman dimana pendidikan kepada anak mencapai
puncak-puncaknya, pernah ada peradaban manusia yang tidak mengenal
usia. Dulu, pemuda usia belasan tahun sudah punya prestasi di level
dunia, keilmuannya diakui bahkan diikuti.
Sebut saja Usamah bin Zaid yang menjadi Panglima Perang Tabuk
melawan Romawi di usianya yang masih *16 tahun.*
Apa yang ada di benak kita saat ini jika kita punya Panglima TNI (di
atas Bintang Empat) berusia 16 tahun? Mungkin anak muda itu akan
dibully habis-habisan.
Lalu ada Zaid bin Tsabit yang menjadi Penghimpun Wahyu, mungkin jika
sekarang selevel dengan Sekretaris Negara, di usianya yang masih *21
tahun.*
Lalu ada Imam Syafi’i yang sudah menjadi mufti di usianya yang masih
*14 tahun,* jika saat ini mungkin setingkat dengan Majelis Ulama
Indonesia sebab mufti adalah seseorang yang sudah berhak
mengeluarkan fatwa.
Apa yang terjadi saat ini jika ada anak muda usia 14 tahun sudah
mengeluarkan fatwa? Mungkin fatwanya akan jadi bahan ledekan di
comedy-comedy berdiri itu.
Kemudian ada Ibnu Sina yang semua kampus setuju bahwa dialah
peletak ilmu kedokteran modern, ia sudah menjadi pakar kedokteran
dan guru besar kedokteran di usianya yang masih *17 tahun.*
Saat ini, jika ada anak muda usia 17 tahun berbicara tentang
kesehatan, mungkin akan dipandang sebagai mall praktek yang akan
menghilangkan nyawa.
Ditelisik punya telisik, rupanya memang anak muda usia belasan tahun
itu, sikapnya memang tidak layak untuk menjadi sosok yang kredibel.
• 600.000 kasus anak Indonesia hamil di luar nikah usia 10-11 tahun
• 2,2 juta kasus remaja Indonesia usia 15-19 tahun hamil di luar
nikah
Itulah potret generasi muda saat ini. Kebayang tidak jika generasi
yang sebobrok itu harus menjadi Panglima TNI, Sekretaris Negara,
Majelis Ulama Indonesia, Guru Besar Kedokteran?
ah... “kayaknya gak mungkin”, kan itu yang muncul di benak kita betul?
Apakah anak muda belasan tahun yang hidup di zaman sekarang ini yang
salah? Atau mereka yang mendidiknya yang salah sehingga melahirkan
generasi yang sedemikian mengkhawatirkan?
Allah swt sudah menitipkan anak manusia itu kepada dua orang; Ayah
dan Ibunya.
Yuk ayah dan bunda, mari kita tengok kembali anak-anak kita. Sudah
berapa usianya? Sudah punya bekal apa saja anak kita untuk
mengarungi kehidupan nyata?
Atau bagi Anda yang saat ini belum punya anak atau bahkan belum
menikah, jangan pernah loyo untuk belajar tentang peran orangtua
dalam mengasuh dan mendidik anak. Miliki ilmunya agar Allah melihat
Anda pantas untuk menerima nikmatnya berkeluarga dan
berketurunan.
Padahal, istri butuh lebih dari sekadar uang. Anak pun sama sekali
tidak ingin melihat ayahnya sebagai mesin ATM yang disentuh hanya
saat butuh uangnya saja. Mereka butuh lebih dari itu terhadap
ayahnya.
Satu hadits berikut ini sudah menjungkirbalikkan banyak para lelaki
tentang pola pikirnya selama ini.
*“Tidak ada satu pun bayi yang terlahir kecuali dalam keadaan
fitrah, maka dua orangtua nya lah yang menyebabkannya menjadi
(berkarakter seperti) Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”*
Jika kita baca dalam bahasa Arabnya, hadits tersebut akan membawa
kita pada kata “Fa Abawaahu” sebagai pihak yang menyebabkan fitrah
seorang anak menyimpang. Diartikan dalam bahasa Indonesia, kata
“Abawaahu” itu sebagai “Kedua Orangtua.”
Padahal, kata “Abawaahu” itu sejatinya adalah berasal dari kata “Abaa”
yang berarti Ayah.
Seolah Rasul saw hendak menyampaikan bahwa jika kau temukan fitrah
yang menyimpang dari seorang anak, maka itu disebabkan oleh ayahnya.
Dengan kata lain, siapa yang bertanggungjawab atas tumbuh
kembangnya anak? Siapa yang bertanggungjawab atas pengasuhan
anaknya?
Ayah!
Di Al Quran, semua ayat yang memuat dialog antara orangtua dengan
anaknya total ada 17 dialog. Dari ketujuh belas itu, rupanya 14 dialog
yang diceritakan adalah dialog antara ayah dan anaknya. Dua dialog
antara ibu dan anaknya, dan satu dialog sisanya menceritakan kedua
orangtua yang berbicara kepada anaknya.
Lantas, apa yang terjadi jika peran ayah tidak hadir dalam
pengasuhan?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus tahu terlebih dahulu apa
sih peran ayah dalam pengasuhan?
Anak itu sudah baligh, sudah bisa punya anak dan sudah bisa “bikin”
anak, tapi Aqilnya terlambat. Ia belum punya kedewasaan mental,
sehingga nafsunya tidak dikendalikan. Liar.
Aqil (dewasa mental) seseorang lah yang mampu menjaga gejolak nafsu
(yang muncul dari Baligh-nya).
Jika Baligh terjadi secara alamiah, tidak demikian dengan Aqil. Dewasa
mental pada anak harus diupayakan, harus diikhtiarkan. Dan sosok yang
punya peran vital dalam mendewasakan mental anak adalah Ayahnya!
Ayah harus mengambil peran sebagai si raja tega saat anak sudah
masuk usia menuju Baligh (10 tahun ke atas). Tegakkan aturan.
Bersikaplah tegas jika anak melanggar aturan. Beri anak
tanggungjawab. Jika ada masalah, ajak anak berdiskusi dan percayakan
ia untuk ikut urun rembug menyelesaikan masalah. Itu akan efektif
mendewasakan mental anak.
Tapi jika anak masih usia dini, masih 0 – 6 tahun, maka bermainlah
sepuas-puasnya dengan anak. Tertawalah bersama, menangislah
bersama, kecewalah bersama, jika anak masih usia 0 – 6 tahun.
___
Sebelum saya nanti menjawab pertanyaan, saya mohon maaf sekali jika
nanti tidak semua pertanyaan bisa saya jawab. Saat ini anak saya
sedang demam, memang anak jadi lebih dekat dengan ibunya, tapi saya
perhatikan demam anak semakin tinggi jika saya terlalu lama di depan
laptop atau handphone, seperti ada koneksi protes dari jiwa anak. Jadi
mohon dimaklum jika tidak semua pertanyaan bisa saya jawab.
Semoga Allah menilai aktifitas belajar kita di grup ini sebagai ikhtiar
menyelamatkan seluruh keluarga kita dari siksa api neraka. Aamin ya
Rabbal ‘aalamiin.
Assalamu'alaikum wr.wb.
Tapi untuk grup ini, saya berpikiran yang lain. Karena kita punya waktu
yang sangat singkat (60 menit), jadi Metode yang mau saya pakai
sekarang adalah:
• Saya akan share terlebih dahulu semua pertanyaan yang masuk dari
grup ini.
- Dengan menyimak persoalan yang diadukan oleh orang lain, kita jadi
punya spirit untuk lebih bersyukur bahwa tantangan keluarga kita
ternyata belum seberapa jika dibandingkan dengan tantangan yg
dihadapi oleh keluarga lain.
Saya baru akan buka ruang chatting grup ini di 15 menit terakhir.
Baik, berikut ini adalah semua pertanyaan yang muncul dan diadukan
oleh peserta di grup ini. Silakan untuk disimak bersama-sama.
*PERTANYAAN:*
saya punya anak laki laki usia 1 thn saya masih binggung apakah
mendidik anak laki laki harus keras jika di butuhkan karna suami saya
sangat memanjakan anak kami..
*PERTANYAAN:*
*PERTANYAAN:*
*PERTANYAAN:*
Bagaimana cara mensinkronkan cara pola asuh anak antara pihak ibu
(saya) dan ayah (suami), karena selama ini saya dan belum dapat
menyelaraskan pola asuh pada anak, mengingat latar belakang keluarga
kami bereda (saya di besarkan di keluarga yang tegas sedangkan suami
dibesarkan pada keluarga yang cenderung membebaskan pada berbagai
hal). Sehingga ketika anak2 berada bersama ayahnya mereka yang pada
dasarnya penurut berubah menjadi sangat manja dan tidak mau
menerapkan kebiasan / aturan2 main yang telah disepakati
sebelumnya.
*PERTANYAAN:*
Saya mau tanya, bagaimana cara mengoptimalkan peran ayah, bila sang
ayah bekerja di luar kota dan hanya bisa bertemu dengan anak2nya
satu kali dlm seminggu.
*PERTANYAAN:*
•Bagaimana cara meminimalisir hal buruk yang terdapat pada pola asuh
yang turun temurun dari ayah
*PERTANYAAN:*
Bagaimana caranya anak tidak takut dengan ayah atau ibu nya ?
Banyak anak yg mau nurut sama ibu nya krn merasa takut diomeli
*PERTANYAAN:*
Bagaimana caranya agar Ayah bisa mau dekat kepada anak dan
menghilangkan kebiasaannya bermain game? Karena *maaf* type suami
saya, seseorang yg sangat kecanduan game, waktunya dengan anak2
hanya beberapa jam dalam seminggu, menyempatkan waktu sehari
untuk bisa berkumpul/bermain serta bersenda gurau dengan anak
istrinya pun tidak bisa.
*PERTANYAAN:*
Apa dampak terbesar kepada anak dengan ayah yang kecanduan main
game online? Lalu adakah nasihat untuk para ayah agar memaknai
perannya lebih dalam & meninggalkan perbuatan sia2 seperti game
online?
_______________
Dan, di bawah ini adalah respon serta jawaban saya terutama untuk
pertanyaan-pertanyaan yg memang sesuai dengan tema: Peran Vital
Ayah Dalam Pengasuhan ⤵
Tapi, satu hal yang saya yakini adalah Keluarga-keluarga yang punya
ketahanan dalam menghadapi badai rumah tangga adalah keluarga-
keluarga yang selalu punya setidaknya 3 Pondasi berikut ini:
3) SPIRITUAL BASED
Nah, Problem terjadi ketika kita sudah tahu apa solusi jawabannya
yaitu: kembalikan Ayah ke rumahnya, tapi si Ayah belum mau untuk
mulai mendidik istri & anak. Ini problem.
Atau.. Ayah sudah mau untuk membenahi kondisi rumah tangga dan
keluarganya, tapi Ayah belum mampu karena masih ada tuntutan
pekerjaan.
Bagaimana solusinya?
Percayalah.
Sosok yang bisa mengubah Sang Ayah dari tidak mau mengasuh lantas
mau mengasuh anaknya adalah *Istrinya.*
_____
___
Kedua, dalam konsep berpasangan (suami & istri) saya meyakini bahwa
satu orang yang paling mungkin untuk bisa mengubah seseorang adalah
pasangannya sendiri. Siapa yang paling mungkin untuk mengubah pola
pikir dan pola sikap suami? Ya istrinya. Siapa yang paling mungkin untuk
mengubah pola pikir dan pola sikap istri? Ya suaminya. Mengapa
demikian, sebab pasangan hidup layaknya pakaian, ia tahu luar dalamnya
kita, kita tahu baik dan buruknya dia. Hampir setiap hari kita melihat,
mendengar, dan merasakan bagaimana berinteraksi dengan pasangan.
___
Jawaban dari pertanyaan saya kepada diri saya sendiri itu selalu
mengerucut kepada 2 hal;
*SIKAP ORANGTUA*
Saya punya banyak teman lelaki yang saat kecilnya tidak diasuh oleh
Bapaknya, tidak diajak bicara, bahkan sering disiksa oleh Bapaknya,
tapi saat dia sudah menikah dia komitmen ingin menjadi sosok ayah
yang lebih baik daripada ayah kandungnya dulu.
Perubahan Pola Pikir dan Pola Sikap seseorang adalah seperti ini:
Jika suami Anda ada di fase tidak tahu bahwa peran ayah itu vital,
maka berupayalah agar ia tahu. Tidak bisa dengan memberi buku
bacaan, pakai cara yang lain. Mungkin dengan diskusi, mungkin dengan
menjadikannya sebagai Ketua Paguyuban Ayah-ayah se-RW. Apapun
itu, kenali lagi sikap dan karakter suami.
Jika suami Anda ada di fase sudah Tahu tapi tidak Mau untuk bergerak
mengasuh, ini biasanya diakibatkan oleh pengalaman masa lalu. Ada
kekesalan yang dipendam oleh suami sehingga pengetahuannya tidak
mengubahnya menjadi MAU. Yang bisa dilakukan oleh istri adalah
dengan memberinya dukungan bahwa suami pasti bisa mengikhlaskan
kejadian di masalalu.
Jika suami Anda di fase sudah mau tapi belum mampu untuk mengasuh
anaknya, maka ini problemnya ada pada ilmu. Hadirkan suami ke
majelis-majelis ilmu tentang pengasuhan, pertemukan ia dengan guru-
guru/tokoh parenting, beri akses seluas-luasnya baginya untuk
mendapatkan ilmu pengasuhan anak.
Kemudian ini yang lebih penting, sebagai istri, jadilah ma'mum yang
baik meskipun pengetahuannya suami baru sedikit. Belajar untuk
otomatis menjawab "IYA" atas semua inisiatif suami dalam
memberikan solusi atas persoalan rumah tangga. Istri harus belajar
menjawab "IYA."
Jangan merasa lebih banyak ilmu dari suami, sebab itu akan membuat
suami turun lagi levelnya menjadi tahu tapi tidak mau.
Ikhtiar lain yang tidak kalah ajaibnya mengubah pola pikir dan pola
sikap suami adalah BERTAUBAT. Introspeksi diri, kesalahan dan dosa
apa yang sudah diperbuat sehingga barangkali Allah membalas
kesalahan kita dengan cara-Nya: menjadikan suami sulit terlibat dalam
pengasuhan anak.
*Lantas, jika Ayah SUDAH MAU mengasuh anaknya. Apa yang
harus dilakukan oleh Ayah?*
Sebagai orangtua, penting untuk tahu usia anak saat ini berapa? Bukan
untuk dibuat pesta ulang tahunnya, tapi agar orangtua bisa bersikap
dengan tepat kepada anak sesuai dengan usianya anak.
Anak usia 0-6 tahun, fokuslah pada aqidahnya. Jangan dulu pada akhlak
apalagi pengetahuan anak. Nanti, ada masanya.
Usia 7 tahun ajarkan anak untuk sholat. Usia 10 tahun jika anak tidak
sholat maka anak boleh dipukul.
Begitu pula jika anak sedang bahagia di usia 0-6 tahun, jangan tahan
kebahagiaannya. Tertawalah bersama anak. Jangan buat dia bahagia
sendirian. Jika dia sedih, ikutlah sedih. Nanti ada masanya dimana kita
sebagai orang tua mendidik anak untuk bisa me-manage perasaannya.
Tapi itu nanti. Terlalu dini jika anak 0-6 tahun sudah dibebankan
kewajiban untuk me-manage emosi. Usia segitu adalah usianya
berkenalan dengan variasi emosi: bahagia tuh begini, sedih tuh begini,
kesal tuh begini, kecewa tuh begini, marah tuh begini, jijik tuh begini.
Nah baru saat usia 7 tahun, ajak anak untuk berpikir. Sikap orangtua
terhadap anak bukan lagi menjadikannya sebagai raja, tapi jika anak
sudah 7 tahun jadikan ia sebagai Pelayannya Raja. Orangtua (terutama
ayah) adalah raja di rumah, ini harus dipahami oleh anak usia 7 tahun
ke atas. Mulai beri ia tanggungjawab buka tutup jendela saat pagi dan
sore, misalnya. Beri ia kewajiban untuk memberi makan ayam di
kandang saat pagi dan memasukkan ayam ke kandang saat sore hari,
misalnya.
a. Usia 0-2, baik itu anak lelaki atau anak perempuan, lebih dekatkanlah
ia dengan ibunya. Sebab ada kewajiban menyusui. Tanamkan oleh ibu
kepada anak tentang konsep rezeki saat anak menyusu. Ayah boleh
terlibat dengan anak usia 0-2 tahun, tapi jika anak lebih dekat dengan
ibunya dibanding ayahnya di usia ini, itu wajar.
Jika di usia ini anak lebih dekat dengan ibunya, maka di usia-usia
berikutnya ia akan siap untuk dekat secara seimbang dengan ayah &
ibunya. Tapi jika di usia awal ini, anak lebih dekat dengan orang lain,
maka di usia-usia selanjutnya akan menjadi PR besar bagi orangtua
untuk bisa dekat dengan anaknya. Jika saat ini anak sudah jauh dengan
orangtuanya, jangan khawatir. Sebab masih bisa ditebus di usia
perkembangan selanjutnya.
_____
b. Usia 3-6 tahun, baik itu anak lelaki maupun anak perempuan,
dekatkan secara seimbang kepada ayah dan ibunya. Tujuannya adalah
untuk membentuk imaji dalam benak anak bahwa manusia itu ada 2
jenis: laki-laki dan perempuan. Jika anak perempuan, maka di usia 6
tahunnya ia sudah dengan tegas mengatakan, "Saya Febri saya seorang
perempuan." Jika anak lelaki, maka di usia 6 tahunnya ia sudah dengan
tegas mengatakan, "Saya Ulum saya seorang laki-laki."
Nah, untuk bisa demikian, ayah & ibunya harus dekat dengan anak usia
2-6 tahun secara seimbang. Anak perlu tahu bahwa orangtuanya ada 2:
ada Ayah, ada Ibu.
_____
c. Usia 7-10 tahun. Jika anak lelaki maka dekatkan ia dengan ayahnya.
Jika anak perempuan maka dekatkan ia dengan ibunya. Fase ini adalah
fase dimana anak lelaki belajar menjadi Lelaki dari sosok lelaki dewasa
(ayahnya), dan di fase ini pula anak perempuan belajar menjadi
Perempuan dari sosok perempuan dewasa (ibunya).
_____
d. Usia 11-14 tahun, lakukan cross. Anak lelaki dekatkan dengan ibunya.
Anak perempuan dekatkan kepada ayahnya. Tujuannya adalah untuk
belajar empati dan belajar bersikap kepada lawan jenis. Ayah perlu
mendidik anak perempuannya bagaimana bersikap dan berteman
kepada lelaki, ketika usia anak perempuannya masuk usia 11 tahun. Ibu
perlu mendidik anak lelakinya bagaimana bersikap dan berteman
kepada perempuan, ketika usia anak lelakinya masuk usia 11 tahun.
_____
*a. Ubah paradigma tentang Aqil Baligh,* bahwa jika tidak dididik
oleh Ayahnya maka anak akan baligh lebih cepat dan aqilnya terlambat.
Dan ini berbahaya.
*b. Didik anak menjadi seorang Mukallaf bukan hanya dijejali Taklif
Syar'ie.* Antara beban dan kesanggupan harus sejalan.
*c. Didiklah mereka di tengah kehidupan yang nyata, di atas
realitas alami didik mereka secara Islami. Bukan mendidik di dalam
simulasi.*
Salah satu syarat mutlak masuk surga adalah pernah hidup gonjang-
ganjing, penuh derita, sampai-sampai bilang "Kapan Pertolongan Allah
Datang?"
Sebagai orangtua, jangan sampai kita (dgn tidak sadar) menolak anak
masuk surga karena tidak mengizinkan mereka menghadapi kesulitan
hidup.
Kalau belum merasakan kesulitan hidup, surga terancam didapat.
Sekali lagi pendidikan Aqil Baligh ini dimulai sejak usia 7 tahun, jika
usia anak kurang dari itu, pendidikannya beda lagi. Anak usia 0-6 tahun
jadikanlah ia layaknya raja. Puaskan ego dan individualitas anak usia 0-
6 tahun.
*d. Ayah harus menjadi Pendidik yang Berani dan Tega kepada
anaknya.*
Tega bukan karena kejam, tapi tega karena ingin mewariskan jalan
kesuksesan kepada anak.
Justru yang sebenarnya adalah tidak pernah ada jalan ringan apalagi
jalan manja untuk menuju kesuksesan. Jadilah tega untuk mewariskan
jalan kesuksesan, yaitu proses untuk berjuang meraih kesuksesan.
Jika dulu waktu masa muda ayahnya berkendaraan dengan bus kopaja,
maka ajak pula anak untuk merasakan perjuangan itu.
Jika dulu waktu masa muda ayahnya bepergian dengan kereta barang,
segerbong dengan domba, ayam, sayur-sayur.. maka ajak pula anak
untuk merasakan perjuangan itu.
"Pak. Dingiiin.. kasih lagi pintu di kamarku. Aku janji kalau marah gak
akan lagi-lagi banting pintu."
Kisah nyata lagi, ada anak usia 11 tahun ingin laptop seharga 5 juta.
Sore hari, saat waktunya ayah cuci motor, si ayah bilang ke anak,
“Kakak, mau cuciin motor Ayah gak?” Karena anak butuh 1 juta, si anak
nanya balik, “Biasanya di tempat cuci motor ayah bayar berapa?”
Ayahnya lalu jawab, “10.000” Sambil senyum-senyum, anaknya bilang
“Kalau gitu selama 3 bulan ke depan, biar aku yang cuci motor ayah.
Setiap selesai cuci motor, ayah bayar aku 10.000.”
Oke. Deal.
Maka ini jawabannya tidak cukup hanya dengan tips & trick.
Lelah karena bekerja tidak bisa dihilangkan. Waktu ayah banyak untuk
kerja, maka wajar ia lelah. Waktu ibu habis mengurus anak seharian,
maka wajar ia lelah.
Solusinya bukan lagi tips & trick, tapi solusinya harus mengakar pada
prinsip.
- Mendidik Istri
- Mendidik Anak
- Menafkahi Keluarga
Seolah-olah mendidik istri dan anak itu tidak penting. Yang penting
adalah cari uang dan kasih uang.
Apa sebabnya?
Sebabnya adalah REVOLUSI INDUSTRI.
Industri itu yang telah menyita habis waktu para Ayah sehingga Ayah
tidak punya waktu untuk mendidik istri dan anak-anaknya. Apalagi
untuk mengelola rumah tangga.
____
Maka ini juga akan menjadi pesan saya kepada para lelaki.
Jika saat ini misalnya habis waktu 8 jam setiap hari dan menghasilkan
uang sebesar 3 juta sebulan. Berpikirlah lebih cerdas bagaimana agar
bisa menghasilkan uang lebih banyak tapi dengan waktu yang lebih
sedikit. Sebab, waktunya akan banyak digunakan bersama istri dan
anaknya.
*KASUS KHUSUS*
Usia 0-4 tahun, Rasulullah saw tinggal di Bani Sa'diah: sebuah keluarga
di desa yang "fitrahnya masih bersih" dimana di sana ada sosok Ayah
dan sosok Ibu yang lengkap mendampingi usia-usia awal kehidupannya
beliau saw.
Jadi, hingga usia 15 tahunnya, beliau saw selalu lengkap didampingi oleh
sosok Ayah & sosok Ibu, meskipun sejak kecil beliau adalah seorang
yatim piatu.
Sekian respon dan jawaban saya atas semua pertanyaan yang masuk.
Sekali lagi saya mohon maaf karena jawaban yg diberikan tidak
spesifik ditunjukkan untuk merespon pertanyaan yang mana?
Tapi mudah-mudahan kita semua bisa menemukan satu benang merah
yang sama bahwa *peran ayah benar-benar vital.* Jika ada istri/ibu
mengalami kesulitan/masalah dalam keseharian di rumahnya, maka
siapa konsultan yg semestinya ia datangi? Ya suaminya (ayahnya anak-
anak).
_____
Sekian dari saya. Mohon izin untuk undur diri. Assalamu'alaikum wr.wb.
PEMESANAN BUKU: