Anda di halaman 1dari 49

RESUME KULWAP

Moderator: Viny S R Anwar

0812 9032 5299


PROFIL

👨🏼🏫 Nama Lengkap: Ulum A Saif

🛏 TTL: Subang, 04 Desember 1990

👪 Status: Seorang suami dengan 1 putera

🛏🛏 Nama Istri: Febrianti Almeera

👶🏼 Nama Anak: Saif Putera Al Ulum

🏡 Domisili: Kota Bandung

📱 Akun Media Sosial: www.instagram.com/ulum.asaif

📖 Aktivitas Saat Ini:

• Menjadi Ayah & Suami

• Inisiasi Gerakan Ayah Mengasuh

• Pengajar parenting dengan topik Strong From Home berbasis Home


Education

• Pelatih pengembangan diri berbasis Islami

• Menulis buku

• YouTube Content Creator di Channel Strong From Home

📖 Riwayat Pendidikan

• Pondok Pesantren Rohmatul Quran Cirebon

• MI Miftahul Muta'alimin Cirebon

• SMP Negeri 1 Sumber Cirebon

• SMA Negeri 1 Subang


• S1 Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Indonesia

*Peran Vital Ayah Dalam Pengasuhan*

Perkenalkan, pasti banyak yang belum mengenal, saya Ulum A Saif.


Biasanya dipanggil Kang Ulum. Usia saya 28 tahun, beristri satu,
Alhamdulillah telah dikaruniai satu orang putera usia 1,5 tahun.

Apa yang mau saya sampaikan hari ini, tentang Peran Vital Ayah Dalam
Pengasuhan, bukan ilmu saya.. bukan pula hasil penelitian saya.. Saya
hanya akan menceritakan ulang apa yang sudah guru-guru saya
sampaikan tentang Peran Ayah Dalam Pengasuhan sebab ilmu ini amat
bermanfaat sekali pada saya dan keluarga, terutama mengubah pola
pikir, dan amat bermanfaat sekali bagi banyak keluarga yang berguru
ilmu pengasuhannya kepada beliau-beliau.

Saya berguru tentang Peran Ayah dalam Pengasuhan ini kepada Ibu
Elly Risman (Yayasan Kita Dan Buah Hati), kepada Ustadz Harri
Santosa (Fitrah Based Education), kepada Ustadz Adriano Rusfi
(Pendidik Aqil Baligh), kepada Pak Dodik & Ibu Septi (Institut Ibu
Profesional), kepada Ustadz Bendri (Muballigh, Tokoh Muda), dan yang
terutama adalah saya belajar kepada Bapak (orangtua kandung) saya
sendiri.

Mengapa saya perlu menyebut nama-nama di atas itu? Sebab saya kini
hidup di zaman dimana kebanyakan orang menilai kredibilitas
seseorang hanya dari usia. Seolah-olah ada aturan tak tertulis bahwa
anak muda yang usianya belum tua, belum layak untuk berkontribusi
terhadap zamannya.
Padahal dulu, saat zaman dimana pendidikan kepada anak mencapai
puncak-puncaknya, pernah ada peradaban manusia yang tidak mengenal
usia. Dulu, pemuda usia belasan tahun sudah punya prestasi di level
dunia, keilmuannya diakui bahkan diikuti.

Sebut saja Usamah bin Zaid yang menjadi Panglima Perang Tabuk
melawan Romawi di usianya yang masih *16 tahun.*

Apa yang ada di benak kita saat ini jika kita punya Panglima TNI (di
atas Bintang Empat) berusia 16 tahun? Mungkin anak muda itu akan
dibully habis-habisan.

Lalu ada Zaid bin Tsabit yang menjadi Penghimpun Wahyu, mungkin jika
sekarang selevel dengan Sekretaris Negara, di usianya yang masih *21
tahun.*

Lalu ada Imam Syafi’i yang sudah menjadi mufti di usianya yang masih
*14 tahun,* jika saat ini mungkin setingkat dengan Majelis Ulama
Indonesia sebab mufti adalah seseorang yang sudah berhak
mengeluarkan fatwa.

Apa yang terjadi saat ini jika ada anak muda usia 14 tahun sudah
mengeluarkan fatwa? Mungkin fatwanya akan jadi bahan ledekan di
comedy-comedy berdiri itu.

Kemudian ada Ibnu Sina yang semua kampus setuju bahwa dialah
peletak ilmu kedokteran modern, ia sudah menjadi pakar kedokteran
dan guru besar kedokteran di usianya yang masih *17 tahun.*
Saat ini, jika ada anak muda usia 17 tahun berbicara tentang
kesehatan, mungkin akan dipandang sebagai mall praktek yang akan
menghilangkan nyawa.

Siapa yang salah?

Saat orang kebanyakan menilai kredibilitas seseorang dari usia, apakah


yang salah adalah zamannya atau pelaku zamannya?

Ditelisik punya telisik, rupanya memang anak muda usia belasan tahun
itu, sikapnya memang tidak layak untuk menjadi sosok yang kredibel.

Silakan buka data-datanya, Anda akan menemukan fakta begini:

• 4 dari 10 pelajar dan mahasiswa Indonesia telah mengonsumsi


narkoba

• 95 dari 100 anak kelas 4,5,6 SD telah mengakses pornografi

• 93 dari 100 remaja pernah berciuman bibir

• 600.000 kasus anak Indonesia hamil di luar nikah usia 10-11 tahun

• 2,2 juta kasus remaja Indonesia usia 15-19 tahun hamil di luar
nikah

• 5 dari 100 remaja tertular penyakit menular seksual

• 3061 remaja terinveksi HIV setiap 3 bulan

• Kasus incest (hubungan sedarah) terjadi di 25 provinsi


• Indonesia adalah negara dengan tingkat perceraian No.1 se Asia
Pasifik dan negara-negara muslim dunia

Sumber: BNN dan PUSLITKES UI, KPAI, Kemenkes, YKBH (2014).

Itulah potret generasi muda saat ini. Kebayang tidak jika generasi
yang sebobrok itu harus menjadi Panglima TNI, Sekretaris Negara,
Majelis Ulama Indonesia, Guru Besar Kedokteran?

ah... “kayaknya gak mungkin”, kan itu yang muncul di benak kita betul?

Pertanyaannya kemudian, siapa yang salah?

Apakah anak muda belasan tahun yang hidup di zaman sekarang ini yang
salah? Atau mereka yang mendidiknya yang salah sehingga melahirkan
generasi yang sedemikian mengkhawatirkan?

Tegas saya katakan, orangtuanya lah yang bersalah!

Allah swt sudah menitipkan anak manusia itu kepada dua orang; Ayah
dan Ibunya.

Mereka berdualah yang kelak akan diminta pertanggungjawaban; sudah


segigih apa mengasuh dan mendidik anak-anaknya sehingga terhindar
dari siksa neraka dan bersama-sama masuk surga? Sudah seberapa
tebal rasa syukurnya? Sudah seberapa hebat rasa sabarnya dalam
membesarkan anak-anak?
Atau justru tidak pernah ada kesabaran itu karena tidak pernah
merasakan suka dukanya mengasuh anak sebab anaknya dititipkan
kepada orang lain?

Inilah inti dari kuliah whatsapp hari ini.

Yuk ayah dan bunda, mari kita tengok kembali anak-anak kita. Sudah
berapa usianya? Sudah punya bekal apa saja anak kita untuk
mengarungi kehidupan nyata?

Atau bagi Anda yang saat ini belum punya anak atau bahkan belum
menikah, jangan pernah loyo untuk belajar tentang peran orangtua
dalam mengasuh dan mendidik anak. Miliki ilmunya agar Allah melihat
Anda pantas untuk menerima nikmatnya berkeluarga dan
berketurunan.

Terutama, fokus bahasan kita adalah tentang peran Ayah.

Banyak Ayah kini punya keyakinan bahwa tugas pengasuhan itu


hanyalah tugasnya ibu. Ayah cukup mencari uang kemudian
memberikannya kepada istri dan anaknya sehingga tunailah
kewajibannya sebagai ayah.

Padahal, istri butuh lebih dari sekadar uang. Anak pun sama sekali
tidak ingin melihat ayahnya sebagai mesin ATM yang disentuh hanya
saat butuh uangnya saja. Mereka butuh lebih dari itu terhadap
ayahnya.
Satu hadits berikut ini sudah menjungkirbalikkan banyak para lelaki
tentang pola pikirnya selama ini.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda,

*“Tidak ada satu pun bayi yang terlahir kecuali dalam keadaan
fitrah, maka dua orangtua nya lah yang menyebabkannya menjadi
(berkarakter seperti) Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”*

Hadits tersebut cukup terkenal, banyak muslim dan muslimah yang


menghafalnya. Tapi, mari kita bedah secara agak lebih dalam.

Jika kita baca dalam bahasa Arabnya, hadits tersebut akan membawa
kita pada kata “Fa Abawaahu” sebagai pihak yang menyebabkan fitrah
seorang anak menyimpang. Diartikan dalam bahasa Indonesia, kata
“Abawaahu” itu sebagai “Kedua Orangtua.”

Padahal, kata “Abawaahu” itu sejatinya adalah berasal dari kata “Abaa”
yang berarti Ayah.

Seolah Rasul saw hendak menyampaikan bahwa jika kau temukan fitrah
yang menyimpang dari seorang anak, maka itu disebabkan oleh ayahnya.
Dengan kata lain, siapa yang bertanggungjawab atas tumbuh
kembangnya anak? Siapa yang bertanggungjawab atas pengasuhan
anaknya?

Ayah!
Di Al Quran, semua ayat yang memuat dialog antara orangtua dengan
anaknya total ada 17 dialog. Dari ketujuh belas itu, rupanya 14 dialog
yang diceritakan adalah dialog antara ayah dan anaknya. Dua dialog
antara ibu dan anaknya, dan satu dialog sisanya menceritakan kedua
orangtua yang berbicara kepada anaknya.

Lihat, betapa Al Quran “menginginkan” justru ayah lah yang paling


banyak berbicara kepada anaknya. Para Ahli Tafsir pun menyimpulkan
hal yang sama, 14 dari 17 dialog yang bercerita tentang dialog ayah
dengan orangtua memiliki makna bahwa seorang Ayah wajib hukumnya
untuk berbicara lebih banyak kepada anaknya.

Luar biasa! Belum membahas soal kewajiban pengasuhan, baru


membahas soal kewajiban berbicara pada anak saja, kita (terutama
para Ayah) sudah dapat sindiran yang halus dari Al Quran.

Sudahkah Ayah berbicara kepada anaknya?

Lebih lengkap tentang dalil bahwa ayah harus terlibat dalam


pengasuhan anak, saya tuliskan di Buku SAM (Saatnya Ayah
Mengasuh).

Lantas, apa yang terjadi jika peran ayah tidak hadir dalam
pengasuhan?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus tahu terlebih dahulu apa
sih peran ayah dalam pengasuhan?

*1. Ayah berperan memberikan supply maskulinitas kepada anak.*

Anak lelaki selayaknya mendapat 75% supply maskulinitas (dari


ayahnya) dan 25% supply femininitas (dari ibunya). Jika ayah tidak
hadir dalam pengasuhan, maka supply femininitas akan lebih banyak
didapat oleh anak lelaki, sehingga ia akan tumbuh menjadi anak lelaki
yang melambay, keperempuan-perempuanan, bahkan orientasi
seksualnya jadi menyimpang menjadi penyuka sesama jenis.

Anak perempuan selayaknya mendapat 25% supply maskulinitas (dari


ayahnya) dan 75% supply femininitas (dari ibunya). Mengapa anak
perempuan perlu mendapat maskulinitas dari ayahnya? Agar ia tidak
mudah digoda oleh teman lelakinya, agar ia punya benteng untuk
menolak ketika diajak berbuat maksiat, agar ia paham bagaimana
karakter dan pola pikir seorang lelaki dan sikap mereka terhadap
perempuan itu seperti apa?

Anak perempuan mendapatkan itu semua dari interaksinya bersama


dengan ayahnya. Jika peran ayah tiada, maka anak perempuan akan
mudah sekali dirayu digombali dipacari.. hingga ujung-ujungnya
terjadilah potret buram generasi saat ini seperti yang sudah
dikemukakan di atas.

*2. Ayah berperan sebagai perancang visi pendidikan anak, ibu


adalah pelaksananya.*
Banyak anak yang mencari jati dirinya tanpa mendapatkan bimbingan
sama sekali dari orangtuanya.

Memang ujungnya berhasil bertemu dengan jati dirinya, tapi ada


ongkos mahal yang harus keluar karena biasanya jika anak mencari jati
diri tanpa bimbingan orangtua (terutama ayahnya), maka pencarian jati
dirinya akan menjadi liar. Ia akan terpeleset dulu bahkan tenggelam
dalam dunia maksiat dan kebebasan. Sebelum kemudian anak itu sadar
tentang jati diri sejatinya di hadapan Allah swt.

Tapi, jika anak mendapat bimbingan tentang pencarian jati dirinya,


terutama dari ayahnya, maka anak akan tahu road map hidup seperti
apa yang akan ia jalani ke depan. Menemani anak menemukan jati
dirinya bukan berarti orang tua terus ada di sampingnya setiap hari.
Setelah anak lewat masa usia 15 tahun (sudah aqil baligh), orangtua
yang benar dalam mengasuh anaknya akan percaya diri melepas
pemuda/pemudi keturunannya itu mengarungi kehidupan yang nyata
secara mandiri untuk menemukan jati diri.

Masalahnya, jika ayah tidak tahu bahwa dialah yang bertanggungjawab


merancang visi pendidikan anaknya, maka yang terjadi adalah anaknya
bebas saja keluar masuk dunia-dunia aneh.. game, pacaran, tawuran,
geng motor, narkoba, pergaulan bebas, mabuk, judi. Anak-anak tidak
dipersiapkan oleh ayahnya bahwa pencarian jati diri itu tidak harus
berbuat maksiat dulu.

*3. Ayah berperan meng-Aqil-kan anak.*


Dalam tumbuh kembang anak, kita akan berkenalan dengan istilah
AqilBaligh. Banyak yang memahami bahwa AqilBaligh adalah satu kata
yang sama. Padahal, ia dibentuk oleh dua kata yang berbeda, yaitu Aqil
dan Baligh. Aqil berarti dewasa secara mental. Baligh berarti dewasa
secara fisik.

Baligh terjadi secara alamiah, indikasinya adalah keluar darah haidh


(bagi anak perempuan), dan ihtilam (mimpi basah) bagi anak lelaki.
Dalam Islam, saat seorang anak sudah Baligh maka saat itu pula lah ia
(semestinya) sudah Aqil. Sebab saat ia baligh, beban kewajiban syari’at
langsung ada di pundaknya. Jika melanggar aturan Allah maka anak
baligh itu akan berdosa. Jika melaksanakan perintah Allah maka anak
baligh itu akan berpahala. Empat mazhab sepakat bahwa (semestinya)
di usia 15 tahun anak yang sudah baligh itu juga sudah Aqil.

Permasalahannya kini banyak yang Aqilnya terlambat.

Anak itu sudah baligh, sudah bisa punya anak dan sudah bisa “bikin”
anak, tapi Aqilnya terlambat. Ia belum punya kedewasaan mental,
sehingga nafsunya tidak dikendalikan. Liar.

Aqil (dewasa mental) seseorang lah yang mampu menjaga gejolak nafsu
(yang muncul dari Baligh-nya).

Jika Baligh terjadi secara alamiah, tidak demikian dengan Aqil. Dewasa
mental pada anak harus diupayakan, harus diikhtiarkan. Dan sosok yang
punya peran vital dalam mendewasakan mental anak adalah Ayahnya!
Ayah harus mengambil peran sebagai si raja tega saat anak sudah
masuk usia menuju Baligh (10 tahun ke atas). Tegakkan aturan.
Bersikaplah tegas jika anak melanggar aturan. Beri anak
tanggungjawab. Jika ada masalah, ajak anak berdiskusi dan percayakan
ia untuk ikut urun rembug menyelesaikan masalah. Itu akan efektif
mendewasakan mental anak.

Jangan sembunyikan anak dari realitas kehidupan yang penuh dengan


masalah ini jika usia anak sudah masuk fase kritis menuju aqilbaligh
(sekitar usia 10 tahun).

Tapi jika anak masih usia dini, masih 0 – 6 tahun, maka bermainlah
sepuas-puasnya dengan anak. Tertawalah bersama, menangislah
bersama, kecewalah bersama, jika anak masih usia 0 – 6 tahun.

Tapi jika ia sudah usia 7 hingga 10 tahun, perlahan-lahan mulai kenalkan


ia pada realitas kehidupan bahwa hidup di dunia ini butuh kedewasaan
mental. Tidak bisa hanya sekadar main-main saja. Dan sekali lagi, sosok
yang paling efektif mendewasakan mental anak adalah ayahnya.

Sekian kuliah whatsapp tentang Peran Vital Ayah Dalam Pengasuhan,


semoga bermanfaat.

Terakhir dari saya,

*"Kerepotan dalam mendidik anak itu pasti. Ia tidak akan pernah


bisa dihilangkan. Ia hanya bisa dipindahkan.*
*Jika orangtua tidak mau repot di awal, maka pasti akan sangat
kerepotan di akhir."*

___

Sebelum saya nanti menjawab pertanyaan, saya mohon maaf sekali jika
nanti tidak semua pertanyaan bisa saya jawab. Saat ini anak saya
sedang demam, memang anak jadi lebih dekat dengan ibunya, tapi saya
perhatikan demam anak semakin tinggi jika saya terlalu lama di depan
laptop atau handphone, seperti ada koneksi protes dari jiwa anak. Jadi
mohon dimaklum jika tidak semua pertanyaan bisa saya jawab.

Anda bisa mengakses keilmuan dari guru-guru yang sudah saya


sebutkan di atas. Atau jika ingin spesifik memiliki bacaan tentang
peran vital ayah dalam pengasuhan, insyaAllah buku saya “Saatnya
Ayah Mengasuh” bisa sedikit menjawab persoalan tentang itu.

Semoga Allah menilai aktifitas belajar kita di grup ini sebagai ikhtiar
menyelamatkan seluruh keluarga kita dari siksa api neraka. Aamin ya
Rabbal ‘aalamiin.

Salam, Ulum A Saif.


KULWAP:

Assalamu'alaikum wr.wb.

Alhamdulillah jadwal kulwap hari ini insyaAllah bisa terlaksana sesuai


jadwal.

Sekali lagi salam kenal, saya Ulum 🙏🏼

Saya betul-betul mengapresiasi atas bergabungnya Ayah/Ibu/Calon


Ayah/Calon Ibu di grup ini. Saya pun mengucapkan terimakasih atas
pertanyaan-pertanyaan yg sudah masuk.

Bismillah, mari kita mulai.

Di grup lain, biasanya metode yg saya pakai adalah: 1 pertanyaan


khusus dijawab dengan 1 jawabannya.

Tapi untuk grup ini, saya berpikiran yang lain. Karena kita punya waktu
yang sangat singkat (60 menit), jadi Metode yang mau saya pakai
sekarang adalah:

• Saya akan share terlebih dahulu semua pertanyaan yang masuk dari
grup ini.

• Lalu, saya akan respon secara keseluruhan, tidak secara eksplisit


menjawab pertanyaan yg mana.
Harapan saya adalah dengan menyimak semua pertanyaan yang muncul
dari sesama peserta kuliah online, kita jadi punya spirit untuk bersabar
& bersyukur bahwa ternyata:

- Yang mengalami tantangan/hambatan/problem dalam kewajiban


mengasuh anak bukan hanya dialami oleh keluarga kita saja, tapi juga
dialami oleh keluarga yang lainnya.

- Dengan menyimak persoalan yang diadukan oleh orang lain, kita jadi
punya spirit untuk lebih bersyukur bahwa tantangan keluarga kita
ternyata belum seberapa jika dibandingkan dengan tantangan yg
dihadapi oleh keluarga lain.

- Pun jika ternyata masalah yg menimpa keluarga kita adalah masalah


yg paling berat dari semua masalah yg dimunculkan di grup ini, mudah-
mudahan melalui seperangkat penjelasan yang akan disampaikan bisa
membuat kita tahu ada di posisi mana sebetulnya problem dalam
keluarga kita? Sehingga kita jadi tahu dan yakin bagaimana untuk
bersikap dengan tepat.

Saya baru akan buka ruang chatting grup ini di 15 menit terakhir.

Baik, berikut ini adalah semua pertanyaan yang muncul dan diadukan
oleh peserta di grup ini. Silakan untuk disimak bersama-sama.
*PERTANYAAN:*

saya punya anak laki laki usia 1 thn saya masih binggung apakah
mendidik anak laki laki harus keras jika di butuhkan karna suami saya
sangat memanjakan anak kami..

*PERTANYAAN:*

bagaimana contoh konkrit ayah masuk dlm mendidik anak? Apakah


dengan meluangkan waktu di weekend atau saat cuti dengan bermain
dan sekaligus mendidik anak saja cukup? Mengingat kesibukkan kerja
ayah jaman skrg (macet dan ada dinas)... mohon bantuannya ya bu dan
kang ...

*PERTANYAAN:*

Bagaimana memunculkan kesadaran dan kewajiban keikutsertaan


kepada suami tentang pentingnya figur ayah atau peran ayah dalam
pengasuhan?

Mengingat suami termasuk apatis / cuek selama ini,anggapannya


kewajibannya hanya mencari nafkah,sedangkan istri dirumah mengurus
rumah beserta anak²nya.

Share artikel,gambar², ajakan join gabung grup "bapak²" juga belum


memberikan perubahan

*PERTANYAAN:*

Bagaimana cara mensinkronkan cara pola asuh anak antara pihak ibu
(saya) dan ayah (suami), karena selama ini saya dan belum dapat
menyelaraskan pola asuh pada anak, mengingat latar belakang keluarga
kami bereda (saya di besarkan di keluarga yang tegas sedangkan suami
dibesarkan pada keluarga yang cenderung membebaskan pada berbagai
hal). Sehingga ketika anak2 berada bersama ayahnya mereka yang pada
dasarnya penurut berubah menjadi sangat manja dan tidak mau
menerapkan kebiasan / aturan2 main yang telah disepakati
sebelumnya.

*PERTANYAAN:*

Saya mau tanya, bagaimana cara mengoptimalkan peran ayah, bila sang
ayah bekerja di luar kota dan hanya bisa bertemu dengan anak2nya
satu kali dlm seminggu.

*PERTANYAAN:*

•Bagaimana cara meminimalisir hal buruk yang terdapat pada pola asuh
yang turun temurun dari ayah

*PERTANYAAN:*

Bagaimana caranya anak tidak takut dengan ayah atau ibu nya ?

Banyak anak yg mau nurut sama ibu nya krn merasa takut diomeli

*PERTANYAAN:*

Bagaimana caranya agar Ayah bisa mau dekat kepada anak dan
menghilangkan kebiasaannya bermain game? Karena *maaf* type suami
saya, seseorang yg sangat kecanduan game, waktunya dengan anak2
hanya beberapa jam dalam seminggu, menyempatkan waktu sehari
untuk bisa berkumpul/bermain serta bersenda gurau dengan anak
istrinya pun tidak bisa.
*PERTANYAAN:*

Apa dampak terbesar kepada anak dengan ayah yang kecanduan main
game online? Lalu adakah nasihat untuk para ayah agar memaknai
perannya lebih dalam & meninggalkan perbuatan sia2 seperti game
online?

_______________

Dan, di bawah ini adalah respon serta jawaban saya terutama untuk
pertanyaan-pertanyaan yg memang sesuai dengan tema: Peran Vital
Ayah Dalam Pengasuhan ⤵

Dari semua case/kasus yang dimunculkan dalam pertanyaan-


pertanyaan di atas, saya tidak tahu persis apa yang menjadi
penyebabnya, dan saya juga tidak tahu akibat apa yang akan terjadi di
masa depan.

Tapi, satu hal yang saya yakini adalah Keluarga-keluarga yang punya
ketahanan dalam menghadapi badai rumah tangga adalah keluarga-
keluarga yang selalu punya setidaknya 3 Pondasi berikut ini:

1) DUAL PARENTING BASED

Orangtuanya anak-anak hadir secara utuh, ayahnya ada, ibunya juga


ada.
2) BRAIN BASED

Orangtuanya anak-anak memerankan tugas pengasuhannya sesuai


dengan perannya berdasarkan kerja otaknya. Ayah mendidik sebagai
Pensuplai Maskulinitas dan Pembangun Rasionalitas, Ibu mendidik
sebagai Pensuplai Femininitas dan Pembangun Hati juga Rasa.

3) SPIRITUAL BASED

Orangtuanya anak-anak sadar bahwa anak lahir dalam keadaan fitrah,


dan fitrah tersebut akan cedera bahkan rusak jika orangtua tidak
bertanggungjawab terhadap anak. Anak adalah titipan dari Allah swt.
Ia adalah amanah yang dibebankan kepada Ayah dan Ibunya.

Sehingga dari semua problematika keluarga dan pengasuhan, khusus


dalam konteks peran vital ayah dalam pengasuhan ini, tahukah bahwa
solusi UTAMANYA hanya ada 1, yaitu:

*Kembalikanlah Ayah ke rumahnya. Buat Ayah menengok kondisi


orang demi orang yg ada di rumahnya. Dudukkan ia di singgasananya
untuk mulai berbenah mendidik istri, mendidik anak, dan mengelola
rumah tangganya. Jadikan Ayah sebagai KONSULTAN KELUARGA-
nya.*

Nah, Problem terjadi ketika kita sudah tahu apa solusi jawabannya
yaitu: kembalikan Ayah ke rumahnya, tapi si Ayah belum mau untuk
mulai mendidik istri & anak. Ini problem.
Atau.. Ayah sudah mau untuk membenahi kondisi rumah tangga dan
keluarganya, tapi Ayah belum mampu karena masih ada tuntutan
pekerjaan.

Bagaimana solusinya?

Percayalah.

Sosok yang bisa mengubah Sang Ayah dari tidak mau mengasuh lantas
mau mengasuh anaknya adalah *Istrinya.*

Saya akan jawab dengan agak panjang.

_____

Pertama, saya ingin sampaikan bahwa kegelisahan tentang *"Bagaimana


mengajak Ayah terlibat dalam Pengasuhan?"* sepertinya sudah
menjadi kegelisahan mayoritas para istri/ibu saat ini.

Bukan bermaksud menyederhanakan persoalan, tapi bagi saya sebagai


lelaki, suami sekaligus ayah, ini menjadi tantangan tersendiri
bagaimana untuk menghadirkan kesadaran kolektif tentang pentingnya
peran Ayah Dalam Pengasuhan. Kuliah whatsApp ini mungkin hanya
ikhtiar sederhana saja dari upaya menghadirkan kesadaran kolektif
dari para Ayah itu. Wilayah manusia memang ada di ikhtiar, sementara
bagaimana hasilnya nanti ada di dalam Genggaman Kekuasaannya Allah
swt.
Jadi siapapun yang membaca akan kegelisahan dan kasus-kasus yang
muncul dalam rumah tangga ini, mari berdoa bersama-sama agar
kesadaran kolektif dari para Ayah untuk melibatkan diri dalam
pengasuhan anak bisa segera terwujud di setiap rumah di negeri ini.
Aamiin.

Separuh dari problematika rumahtangga akan selesai saat Ayah *mau


untuk menengok ke dalam rumahnya,* mulai mendidik istri & anaknya,
terlibat dalam pengasuhan, dan menjadi pendidik di keluarganya.

___

Kedua, dalam konsep berpasangan (suami & istri) saya meyakini bahwa
satu orang yang paling mungkin untuk bisa mengubah seseorang adalah
pasangannya sendiri. Siapa yang paling mungkin untuk mengubah pola
pikir dan pola sikap suami? Ya istrinya. Siapa yang paling mungkin untuk
mengubah pola pikir dan pola sikap istri? Ya suaminya. Mengapa
demikian, sebab pasangan hidup layaknya pakaian, ia tahu luar dalamnya
kita, kita tahu baik dan buruknya dia. Hampir setiap hari kita melihat,
mendengar, dan merasakan bagaimana berinteraksi dengan pasangan.

Sehingga setiap pengalaman bersama dengan pasangan, apapun


pengalamannya, jadikanlah moment itu sebagai moment untuk
mengenali pasangan. Ta'aruf tidak berhenti saat laki-laki dan
perempuan sah menikah. Tapi setelah menikah pun proses mengenali
pasangan harus terus dilakukan. Sebab apa? Sebab kita punya
ekspektasi/harapan terhadap pasangan. Dan agar ekspektasi/harapan
kita terhadap pasangan terwujud, kita perlu untuk mengenalinya lebih
dalam lagi.
Istri misalnya ingin agar suaminya terlibat dalam pengasuhan, maka
yang pertama dilakukan adalah *mengenali pasangannya lebih dalam
lagi.* Kemudian temukan cara-cara apa yang amat efektif dalam
mengubah pola pikir dan pola sikapnya suami?

Jika dengan memberikan buku bacaan tidak efektif mengubah pola


pikir dan pola sikap suami (karena suami tidak suka membaca),
misalnya, maka cara apa yang bisa dilakukan untuk bisa mengubahnya?
Ini hanya bisa ditemukan jawabannya jika istri sudah kenal siapa
suaminya.

___

Saya (Ulum) bertanya-tanya pada diri saya, *"Mengapa saya (sebagai


suami dan ayah) mau untuk terlibat dalam mengasuh anak? Memang,
apa yang terjadi dalam bathin saya sehingga saya mau terlibat?"*

Jawaban dari pertanyaan saya kepada diri saya sendiri itu selalu
mengerucut kepada 2 hal;

a) Sikap orangtua kepada saya ketika saya masih kecil,

b) Sikap istri kepada saya setelah kami menikah.

*SIKAP ORANGTUA*

Waktu kecil, saya mendapatkan waktu yang amat sangat banyak


bersama Bapak (ayah saya). Terutama setelah usia saya 7 tahun, Bapak
mulai sangat dekat sekali dengan saya. Bapak ke masjid saya diajak,
Bapak main badminton saya diajak, Bapak ngajarin huruf-huruf
hijaiyah ke para kakek-kakek di kampung pun saya diajak, Bapak
menerima kasus rumah tangga dari para tetangga pun saya diizinkan
untuk menyimak. Seperangkat pengalaman itu membuat saya jadi ingin
ketika sudah punya anak, saya juga ingin seperti Bapak yang menemani
anaknya tumbuh mendewasa.

Pengalaman masa kecil yg menyenangkan bersama ayah akan membuat


anak lelaki kelak tumbuh menjadi ayah yang menyenangkan juga untuk
anaknya.

Tapi, jangan salah. Bukan hanya pengalaman masa kecil yang


menyenangkan bersama ayahnya saja yang membuat seorang lelaki mau
terlibat dalam pengasuhan. Justru, pengalaman yang tidak
menyenangkan bersama ayahnya pun bisa membuat lelaki mau terlibat
dalam pengasuhan.

Saya punya banyak teman lelaki yang saat kecilnya tidak diasuh oleh
Bapaknya, tidak diajak bicara, bahkan sering disiksa oleh Bapaknya,
tapi saat dia sudah menikah dia komitmen ingin menjadi sosok ayah
yang lebih baik daripada ayah kandungnya dulu.

Jadi, pengalaman masa kecil bersama ayahnya sangat mempengaruhi


seorang lelaki ketika sudah menjadi ayah. Dan pengalaman masa lalu itu
netral. Artinya, pengalaman yg manapun (mau baik atau buruk) sama-
sama punya kemungkinan membuat si lelaki mau terlibat dalam
pengasuhan.
*SIKAP ISTRI*

Istri saya selalu betah jika mendengar saya bercerita tentang


pengalaman masa kecil saya bersama Bapak saya. Bahkan jika sudah
lama saya tidak cerita masa kecil, istri akan bertanya soal Bapak. "Usia
berapa dulu Aa mulai diajak Bapak ke masjid?"

Hanya pertanyaan sederhana begitu saja, saya bisa menjawab dengan


lama. Dan ujung dari cerita saya ke istri, saya jadi selalu punya energi
tambahan untuk mau terlibat lebih dalam lagi untuk mengasuh anak.
Istri saya tahu betul bahwa saya sangat mengidolakan Bapak saya,
maka jika dia menginginkan saya punya pola pikir atau pola sikap
tertentu, istri saya akan "mention" Bapak saya dalam
obrolan/pertanyaannya.

Perubahan Pola Pikir dan Pola Sikap seseorang adalah seperti ini:

Dari Tidak Tahu menjadi Tahu.

Dari Tahu menjadi Mau.

Dari Mau menjadi Mampu.

Jika suami Anda ada di fase tidak tahu bahwa peran ayah itu vital,
maka berupayalah agar ia tahu. Tidak bisa dengan memberi buku
bacaan, pakai cara yang lain. Mungkin dengan diskusi, mungkin dengan
menjadikannya sebagai Ketua Paguyuban Ayah-ayah se-RW. Apapun
itu, kenali lagi sikap dan karakter suami.
Jika suami Anda ada di fase sudah Tahu tapi tidak Mau untuk bergerak
mengasuh, ini biasanya diakibatkan oleh pengalaman masa lalu. Ada
kekesalan yang dipendam oleh suami sehingga pengetahuannya tidak
mengubahnya menjadi MAU. Yang bisa dilakukan oleh istri adalah
dengan memberinya dukungan bahwa suami pasti bisa mengikhlaskan
kejadian di masalalu.

Jika suami Anda di fase sudah mau tapi belum mampu untuk mengasuh
anaknya, maka ini problemnya ada pada ilmu. Hadirkan suami ke
majelis-majelis ilmu tentang pengasuhan, pertemukan ia dengan guru-
guru/tokoh parenting, beri akses seluas-luasnya baginya untuk
mendapatkan ilmu pengasuhan anak.

Kemudian ini yang lebih penting, sebagai istri, jadilah ma'mum yang
baik meskipun pengetahuannya suami baru sedikit. Belajar untuk
otomatis menjawab "IYA" atas semua inisiatif suami dalam
memberikan solusi atas persoalan rumah tangga. Istri harus belajar
menjawab "IYA."

Jangan merasa lebih banyak ilmu dari suami, sebab itu akan membuat
suami turun lagi levelnya menjadi tahu tapi tidak mau.

Ikhtiar lain yang tidak kalah ajaibnya mengubah pola pikir dan pola
sikap suami adalah BERTAUBAT. Introspeksi diri, kesalahan dan dosa
apa yang sudah diperbuat sehingga barangkali Allah membalas
kesalahan kita dengan cara-Nya: menjadikan suami sulit terlibat dalam
pengasuhan anak.
*Lantas, jika Ayah SUDAH MAU mengasuh anaknya. Apa yang
harus dilakukan oleh Ayah?*

Jawabannya: tergantung usia anaknya. Beda usia anak, beda lagi


sikap/pendidikan yg dilakukan oleh Ayahnya.

Saya akan membagi menjadi 2 Kategori Besar:

• Peran Ayah berdasarkan Fitrah Perkembangan Usia Anak

• Peran Ayah untuk mempersiapkan AqilBaligh-nya anak (dimulai saat


usia anak 7 tahun ke atas)

*PERAN AYAH BERDASARKAN FITRAH PERKEMBANGAN USIA


ANAK:*

Sebagai orangtua, penting untuk tahu usia anak saat ini berapa? Bukan
untuk dibuat pesta ulang tahunnya, tapi agar orangtua bisa bersikap
dengan tepat kepada anak sesuai dengan usianya anak.

Anak usia 0-6 tahun, fokuslah pada aqidahnya. Jangan dulu pada akhlak
apalagi pengetahuan anak. Nanti, ada masanya.

Di paragraf-paragraf akhir materi, saya sampaikan bahwa Ayah mulai


mengambil peran sebagai si raja tega saat anak sudah masuk usia
menuju Baligh (10 tahun ke atas). Jadi, jika usia anak masih 4 tahun, 2
tahun, apalagi 2 bulan, lantas Ayah langsung bersikap sebagai raja
tega, maka itu Tidak Tepat.
Perhatikan nasihat dari Rasul.

Usia 7 tahun ajarkan anak untuk sholat. Usia 10 tahun jika anak tidak
sholat maka anak boleh dipukul.

Guru-guru parenting saya bersepakat bahwa di usia 0-6 tahun, orang


tua harus memuaskan emosi anak. Jadikan anak seperti layaknya raja.
Jika anak kesal, jangan pendam kekesalannya. Dia harus mengalirkan
kekesalannya itu, dengan menangis, guling-guling, teriak-teriak. Gak
masalah. Jika masih 0-6 tahun. Nanti, saat usianya sudah 7 tahun,
otaknya sudah mulai bisa berpikir mana baik mana buruk. Usia 7 tahun
anak sudah bisa ditanya, kira-kira kalau nangis teriak-teriak itu sikap
baik atau sikap buruk? Usia 7 tahun adalah usia mumayyiz (otaknya
sudah aktif melakukan perbandingan).

Begitu pula jika anak sedang bahagia di usia 0-6 tahun, jangan tahan
kebahagiaannya. Tertawalah bersama anak. Jangan buat dia bahagia
sendirian. Jika dia sedih, ikutlah sedih. Nanti ada masanya dimana kita
sebagai orang tua mendidik anak untuk bisa me-manage perasaannya.
Tapi itu nanti. Terlalu dini jika anak 0-6 tahun sudah dibebankan
kewajiban untuk me-manage emosi. Usia segitu adalah usianya
berkenalan dengan variasi emosi: bahagia tuh begini, sedih tuh begini,
kesal tuh begini, kecewa tuh begini, marah tuh begini, jijik tuh begini.

Nah baru saat usia 7 tahun, ajak anak untuk berpikir. Sikap orangtua
terhadap anak bukan lagi menjadikannya sebagai raja, tapi jika anak
sudah 7 tahun jadikan ia sebagai Pelayannya Raja. Orangtua (terutama
ayah) adalah raja di rumah, ini harus dipahami oleh anak usia 7 tahun
ke atas. Mulai beri ia tanggungjawab buka tutup jendela saat pagi dan
sore, misalnya. Beri ia kewajiban untuk memberi makan ayam di
kandang saat pagi dan memasukkan ayam ke kandang saat sore hari,
misalnya.

Nanti saat ia 10 tahun, jadilah benar-benar si raja tega. Jika anak 10


tahun berbuat salah, anak harus menerima konsekuensinya. Ia harus
paham bahwa setiap keputusannya akan berbuah konsekuensi terhadap
dirinya sendiri. Ini mental yang amat penting bagi anak untuk masuk ke
fase Baligh.

Untuk menerima asupan maskulinitas & femininitas yang pas kepada


anak, maka perhatikan perkembangan anak berikut ini:

a. Usia 0-2, baik itu anak lelaki atau anak perempuan, lebih dekatkanlah
ia dengan ibunya. Sebab ada kewajiban menyusui. Tanamkan oleh ibu
kepada anak tentang konsep rezeki saat anak menyusu. Ayah boleh
terlibat dengan anak usia 0-2 tahun, tapi jika anak lebih dekat dengan
ibunya dibanding ayahnya di usia ini, itu wajar.

Jika di usia ini anak lebih dekat dengan ibunya, maka di usia-usia
berikutnya ia akan siap untuk dekat secara seimbang dengan ayah &
ibunya. Tapi jika di usia awal ini, anak lebih dekat dengan orang lain,
maka di usia-usia selanjutnya akan menjadi PR besar bagi orangtua
untuk bisa dekat dengan anaknya. Jika saat ini anak sudah jauh dengan
orangtuanya, jangan khawatir. Sebab masih bisa ditebus di usia
perkembangan selanjutnya.

*PERAN AYAH*: Suara ayahnya langsung yg memperdengarkan


kepada anak: ayat-ayat dari Kitab Allah (Al Quran).

_____
b. Usia 3-6 tahun, baik itu anak lelaki maupun anak perempuan,
dekatkan secara seimbang kepada ayah dan ibunya. Tujuannya adalah
untuk membentuk imaji dalam benak anak bahwa manusia itu ada 2
jenis: laki-laki dan perempuan. Jika anak perempuan, maka di usia 6
tahunnya ia sudah dengan tegas mengatakan, "Saya Febri saya seorang
perempuan." Jika anak lelaki, maka di usia 6 tahunnya ia sudah dengan
tegas mengatakan, "Saya Ulum saya seorang laki-laki."

Nah, untuk bisa demikian, ayah & ibunya harus dekat dengan anak usia
2-6 tahun secara seimbang. Anak perlu tahu bahwa orangtuanya ada 2:
ada Ayah, ada Ibu.

*PERAN AYAH:* Bermain bersama anak-anak di alam. Bersentuhan


dengan tanah, batu, hewan, sungai. Kepada anak lelaki, Ayah
mencontohkan cara berpakaiannya seorang lelaki. Kepada anak
perempuan, Ayah memuji penampilannya yang seperti ibunya.

_____

c. Usia 7-10 tahun. Jika anak lelaki maka dekatkan ia dengan ayahnya.
Jika anak perempuan maka dekatkan ia dengan ibunya. Fase ini adalah
fase dimana anak lelaki belajar menjadi Lelaki dari sosok lelaki dewasa
(ayahnya), dan di fase ini pula anak perempuan belajar menjadi
Perempuan dari sosok perempuan dewasa (ibunya).

*PERAN AYAH:* Ajak anak lelaki ke tempat kerja ayah. Bertemu


dengan lelaki dewasa lainnya. Mulai buat aturan yg disepakati bersama
anak.

_____
d. Usia 11-14 tahun, lakukan cross. Anak lelaki dekatkan dengan ibunya.
Anak perempuan dekatkan kepada ayahnya. Tujuannya adalah untuk
belajar empati dan belajar bersikap kepada lawan jenis. Ayah perlu
mendidik anak perempuannya bagaimana bersikap dan berteman
kepada lelaki, ketika usia anak perempuannya masuk usia 11 tahun. Ibu
perlu mendidik anak lelakinya bagaimana bersikap dan berteman
kepada perempuan, ketika usia anak lelakinya masuk usia 11 tahun.

*PERAN AYAH:* Kamar anak mulai dipisah dengan orangtuanya. Kamar


anak lelaki mulai dipisah dengan kamar anak perempuan. Jadilah
pendengar yg baik bagi anak perempuan.

_____

Jika orangtua menerapkan konsep di atas berdasarkan fitrah


perkembangan usia anak, maka supply maskulinitas & femininitas
terhadap anak akan menjadi pas.

*PERAN AYAH UNTUK MEMPERSIAPKAN AQIL BALIGHNYA


ANAK (USIA 7 TAHUN KE ATAS):*

*a. Ubah paradigma tentang Aqil Baligh,* bahwa jika tidak dididik
oleh Ayahnya maka anak akan baligh lebih cepat dan aqilnya terlambat.
Dan ini berbahaya.

*b. Didik anak menjadi seorang Mukallaf bukan hanya dijejali Taklif
Syar'ie.* Antara beban dan kesanggupan harus sejalan.
*c. Didiklah mereka di tengah kehidupan yang nyata, di atas
realitas alami didik mereka secara Islami. Bukan mendidik di dalam
simulasi.*

Syarat seorang manusia mendapat predikat Mu'min (Beriman) adalah


Diuji. Diuji dengan realitas kehidupan nyata. Jadi, realita masalah
hidup jangan ditutup-tutupi oleh ayah kepada anak yg sudah Baligh.
Tapi didik ia untuk bisa menghadapinya dengan Islami.

Mendidik di tengah realitas kehidupan berarti bukan dengan sengaja


menyodorkan hal-hal maksiat kepada anak. Haram hukumnya orangtua
membawa anaknya ke tempat-tempat maksiat.

Yg dimaksud dgn mendidik di atas kehidupan nyata adalah saat anak


bertemu dengan problem hidup, biarkan dia menghadapi masalah itu
dan melewati setiap ujiannya.

Salah satu syarat mutlak masuk surga adalah pernah hidup gonjang-
ganjing, penuh derita, sampai-sampai bilang "Kapan Pertolongan Allah
Datang?"

Pertolongan Allah selalu datang di puncak penderitaan. Sabar sedikit,


maka akan datanglah pertolongan.

Sebagai orangtua, jangan sampai kita (dgn tidak sadar) menolak anak
masuk surga karena tidak mengizinkan mereka menghadapi kesulitan
hidup.
Kalau belum merasakan kesulitan hidup, surga terancam didapat.

Sekali lagi pendidikan Aqil Baligh ini dimulai sejak usia 7 tahun, jika
usia anak kurang dari itu, pendidikannya beda lagi. Anak usia 0-6 tahun
jadikanlah ia layaknya raja. Puaskan ego dan individualitas anak usia 0-
6 tahun.

Nanti, saat anak masuk usia 7, 8, 9 baru didik ia untuk punya


tanggungjawab pribadi. Dan usia 10, 11, 12 didik ia untuk punya
tanggungjawab sosial.

*d. Ayah harus menjadi Pendidik yang Berani dan Tega kepada
anaknya.*

Tega bukan karena kejam, tapi tega karena ingin mewariskan jalan
kesuksesan kepada anak.

Banyak ayah yg dendam dengan masa lalunya. Dulu dia menderita


sebagai anak, tapi lantas tidak ingin anaknya menderita. "Cukuplah
Ayah yang menderita!" Ini keliru.

Justru yang sebenarnya adalah tidak pernah ada jalan ringan apalagi
jalan manja untuk menuju kesuksesan. Jadilah tega untuk mewariskan
jalan kesuksesan, yaitu proses untuk berjuang meraih kesuksesan.

Jika dulu waktu masa muda ayahnya berkendaraan dengan bus kopaja,
maka ajak pula anak untuk merasakan perjuangan itu.
Jika dulu waktu masa muda ayahnya bepergian dengan kereta barang,
segerbong dengan domba, ayam, sayur-sayur.. maka ajak pula anak
untuk merasakan perjuangan itu.

*e. Aspek pendidikan yang dibangun terhadap anak usia 7 tahun ke


atas untuk mempersiapkan Aqilnya adalah aspek tanggungjawab.*

Tanggungjawab itu lahir dari konsekuensi, bukan dari reward &


punishment.

Contoh nyata, ada anak 10 tahun, setiap marah ia banting pintu


kamarnya. Marah lagi, banting lagi pintu kamarnya.

Si ayah pun mempraktikkan pendidikan tega untuk mendidik


konsekuensi. Si ayah mengambil perkakas lalu melepas baut-baut di
pintu. Pintu kamar si anak dicopot oleh ayahnya.

Malam hari, si anak membangunkan tidur ayahnya.

"Pak. Dingiiin.. kasih lagi pintu di kamarku. Aku janji kalau marah gak
akan lagi-lagi banting pintu."

Itulah pendidikan konsekuensi. Bahwa fungsi pintu bukan untuk


dibanting, fungsi pintu adalah menjaga ruangan/kamar agar tetap
hangat. Anak 10 tahun seharusnya sudah paham akan fungsi ini. Jika
pintu sudah dibanting, itu berarti ayahnya harus mulai pendidikan
tentang konsekuensi berbasis Tega.

*f. Aspek pendidikan berikutnya yang dibangun oleh ayah adalah


aspek Memecahkan Masalah.*

Anak bukanlah makhluk bodoh. Jangan sembunyikan masalah dari anak.


Salah satu dampak buruk dari orangtua yang menyembunyikan masalah
dari anaknya yang sudah Baligh adalah saat si anak menikah kemudian
ia bertemu dengan konflik dalam rumah tangganya, si anak kaget.. si
anak tidak pernah diberitahu bahwa dalam rumah tangga itu ada
konflik..

Karena tidak pernah diberitahu akan realita masalah itu, akhirnya si


anak bingung, dan satu-satunya jalan keluar yg dia tahu adalah CERAI.

Cobalah ayah berbagi masalah dengan anak, biarkan ia pecahkan sendiri


masalahnya. Rajin-rajinlah berdiskusi dengan anak tentang pemecahan
masalah. Ajarkan anak tentang pemecahan masalah, tentang
pengambilan keputusan, dan tentang berpikir secara kreatif untuk
memecahkan masalah.

g. Khusus jika anak laki-laki, setelah usianya 10 tahun, mulai *beri


pendidikan baginya untuk mencari nafkah* terutama dengan cara
berbisnis. Bisa dengan cara magang terlebih dahulu. Jangan penuhi
100% permintaannya, tapi harus ada kerja yang dilakukan oleh si anak
sehingga bisa mendapatkan utuh permintaannya itu. Berbagi lah
pekerjaan pada anak, beri upah anak selayaknya memberi upah pada
orang lain.

Kisah nyata lagi, ada anak usia 11 tahun ingin laptop seharga 5 juta.

Si Ayah tahu, ia gak boleh memberi uangnya 100%. Si Ayah bilang,


“Ayah punya uangnya 4 juta. Kamu harus cari lagi 1 juta sisanya.”

Sore hari, saat waktunya ayah cuci motor, si ayah bilang ke anak,
“Kakak, mau cuciin motor Ayah gak?” Karena anak butuh 1 juta, si anak
nanya balik, “Biasanya di tempat cuci motor ayah bayar berapa?”
Ayahnya lalu jawab, “10.000” Sambil senyum-senyum, anaknya bilang
“Kalau gitu selama 3 bulan ke depan, biar aku yang cuci motor ayah.
Setiap selesai cuci motor, ayah bayar aku 10.000.”

Oke. Deal.

Itulah contoh pendidikan ayah kepada anaknya dalam aspek mencari


nafkah.

Kalau pada anak perempuan, yg dididik adalah kemampuan si anak untuk


mengelola aset. Sebab, setelah menikah ia punya kewajiban menjaga
hartanya suami.

h. Terakhir ini tidak kalah penting. *Terjunkan anak pada organisasi.*


Mulailah dengan melibatkan dia sebagai panitia jika ada acara keluarga.
Biarkan dia mengatur waktu, membuat rencana, mempersiapkan
logistik, menghubungi vendor-vendor, meskipun acaranya adalah
silaturahim keluarga besar. Hal yang demikian akan efektif
mendewasakan anak.

*Tapi, bagaimana jika Ayah sudah mau untuk mengasuh anaknya,


tapi Ayah belum mampu.. karena kerjaan dan apalagi kerjaannya
harus beda kota dengan anak & istri, harus beda pulau, dan beda
negara, bagaimana?*

Maka ini jawabannya tidak cukup hanya dengan tips & trick.

Saya tidak akan menjawab secara teknis. Sebab, yang diperlukan di


sini adalah prinsip. Jika prinsip belum dapat, tapi teknis sudah
disampaikan, maka yg terjadi adalah benturan.

Lelah karena bekerja tidak bisa dihilangkan. Waktu ayah banyak untuk
kerja, maka wajar ia lelah. Waktu ibu habis mengurus anak seharian,
maka wajar ia lelah.

Solusinya bukan lagi tips & trick, tapi solusinya harus mengakar pada
prinsip.

Harus ada perubahan yang sangat drastis jika menginginkan kondisi


yang ideal untuk pengasuhan.
Saya ingin berbagi pengalaman yang kemudian menjadi prinsip saya.

Saya benar-benar tercengang ketika dihadirkan dalil-dalil dan


kesimpulan dalil oleh guru-guru parenting saya bahwa Kewajiban
Pertama seorang suami/ayah bukanlah mencari nafkah.

Kewajiban seorang suami/ayah secara berturut-turut (berdasarkan


prioritas) adalah:

- Mendidik Istri

- Mendidik Anak

- Mengelola Rumah Tangga

- Menafkahi Keluarga

Jadi, menafkahi keluarga adalah kewajiban paling akhir dari


suami/ayah. Mencari nafkah dilakukan dalam rangka
MENSUKSESKAN 3 kewajibannya yang di atas. Mencari nafkah
dilakukan untuk mensukseskan kewajibannya mendidik istri, mendidik
anak, dan mengelola rumah tangga.

Kini, banyak yang terbalik.

Seolah-olah mendidik istri dan anak itu tidak penting. Yang penting
adalah cari uang dan kasih uang.

Apa sebabnya?
Sebabnya adalah REVOLUSI INDUSTRI.

Industri itu yang telah menyita habis waktu para Ayah sehingga Ayah
tidak punya waktu untuk mendidik istri dan anak-anaknya. Apalagi
untuk mengelola rumah tangga.

7 jam dalam sehari.

40 jam dalam seminggu.

2000 jam dalam setahun.

Adalah banyaknya waktu yg dihabiskan oleh Ayah untuk mensukseskan


revolusi industri.

Padahal, banyak negara lain (Finlandia misalnya) yg hanya mewajibkan


pekerjanya bekerja hanya selama 3 hari saja dalam satu pekan. Dan
lihatlah bagaimana kualitas pendidikan terhadap anak-anak mereka.
Bagus luar biasa sebab orangtuanya hadir dalam pendidikan untuk
anak-anaknya.

Saya menyaksikan betul rumah tangga dari suami/ayah yang fokus


utamanya mencari nafkah dan tidak peduli dengan istri dan anaknya,
setiap hari yang terjadi adalah tengkar lagi, tengkar lagi. Tapi, saat
suami menggeser fokusnya ke mendidik istri dan anak, lantas dalam
proses mendidiknya itu ia butuh biaya, maka ia lalu keluar rumah untuk
mencari nafkah, yang terjadi pada rumah tangganya adalah stabil, jika
ada pertikaian bisa diselesaikan dengan sangat baik. Mereka tangguh
menghadapi badai rumah tangga.

____
Maka ini juga akan menjadi pesan saya kepada para lelaki.

Prioritas kewajiban suami di atas perlu diketahui oleh lelaki agar


menjadi keyakinan dan pola pikir. Sehingga nanti ayah berperan dalam
pengasuhan anaknya.

Soal pencarian nafkah. Karena sadar bahwa kewajiban utamanya adalah


mendidik istri dan anak, maka yang harus dilakukan oleh seorang
suami/ayah adalah ia harus cerdas dalam mencari nafkah.

Jika saat ini misalnya habis waktu 8 jam setiap hari dan menghasilkan
uang sebesar 3 juta sebulan. Berpikirlah lebih cerdas bagaimana agar
bisa menghasilkan uang lebih banyak tapi dengan waktu yang lebih
sedikit. Sebab, waktunya akan banyak digunakan bersama istri dan
anaknya.

Dengan kata lain, si ayah harus cerdas dalam mencari nafkah.

Cobalah untuk memikirkan jalan rezeki lain untuk mencari nafkah.


Bersilaturahimlah dengan banyak lagi orang lain, siapa tahu ada
peluang/inspirasi untuk bisa memiliki waktu banyak bersama istri dan
anak, tapi punya penghasilan yang juga banyak.

Sepengalaman saya, cara agar ayah cerdas menafkahi keluarga adalah


dengan berbisnis. Memang akan sulit untuk banting setir dari pegawai
ke pebisnis, apalagi jika sudah menikah. Tapi, percayalah hasil tidak
akan pernah mengkhianati proses.
• Pembelajaran bagi para lelaki yang belum menikah: mulailah untuk
merintis bisnis sejak sebelum menikah. Bukan untuk gaya-gayaan, tapi
supaya nanti setelah menikah bisa fokus mendidik istri dan anak, tidak
lagi khawatir dengan kondisi finansial sebab sudah ada bisnis yang
berjalan dan tersistem dengan baik. Saat suami mendidik istrinya, saat
itu pula ada uang masuk ke rekeningnya (karena bisnisnya berjalan).
Kurang lebih begitu.

• Pembelajaran untuk orangtua yang punya anak lelaki: mulailah didik


anak untuk bisa berbisnis sejak usianya masuk 15 tahun. Sebelum usia
itu bisa diajak untuk magang terlebih dahulu.

• Pembelajaran untuk orangtua yang punya anak perempuan: mulailah


untuk mendidik mereka pandai mengelola aset. Karena setelah menikah
nanti, harta suami akan dikelola olehnya. Jika istri tidak pandai
mengelola aset, seberapapun banyak uang yg diberikan suami, maka
akan selalu merasa kurang, sehingga dampaknya suami jadi tambah
waktu lagi di luar rumah untuk mencari uang. Padahal problemnya ada
pada pengelolaan aset (di tangan istri).

Untuk menjadi pebisnis dan pengelola aset (harta/uang) itu butuh


mental. Dan mental itu sebaiknya dibentuk sebelum menikah. Atau
sejak awal-awal menikah. Tidak ada kata terlambat selama Pemberi
Rezeki kita masih sama, yaitu Allah swt.

Selain jalur dagang/bisnis, jalur lain yg disarankan agar peran Ayah


hadir dalam rumah adalah jalur akademisi (guru/dosen), dan jalur
Profesional berbasis bakat non akademis.
Jalur manapun yg diambil, selalu libatkan anak. Libatkan anak dalam
dagang. Libatkan anak jika pilih akademis, dan libatkan anak dalam
bakatnya ayah.

*KASUS KHUSUS*

Bagaimana jika Ayah sudah meninggal? Bagaimana dengan supply


maskulinitas yg dibutuhkan anak jika Ayah sudah meninggal?

Jawaban ini kita kembalikan ke Sirah Nabi Muhammad saw.

Beliau lahir dalam keadaan Yatim. Ayahnya telah meninggal sebelum


beliau saw. dilahirkan. Allah swt mendidik kita semua untuk mengikuti
jejak beliau jika Ayah tidak ada dalam tumbuh kembang anak karena
telah tutup usia.

Usia 0-4 tahun, Rasulullah saw tinggal di Bani Sa'diah: sebuah keluarga
di desa yang "fitrahnya masih bersih" dimana di sana ada sosok Ayah
dan sosok Ibu yang lengkap mendampingi usia-usia awal kehidupannya
beliau saw.

Sosok Ayah: Al Harits bin Abdul Izzi.

Sosok Ibu: Halimah Sa'diah.


Usia 5 atau 6 tahun, ibu kandung beliau (Siti Aminah) meninggal. Beliau
kini tidak hanya yatim tapi juga piatu.

Setelah masa itu, Rasulullah saw kembali tinggal bersama keluarga


besarnya sampai AqilBaligh-nya.

Usia 6-8 tahun, sosok Ayah: Abdul Muthallib.

Usia 8-15 tahun, sosok Ayah: Abu Thalib.

Sementara sosok Ibu beliau setelah Halimah Sa'diah adalah Ummu


Aiman, sebagaimana sabdanya "Ummu Aiman adalah ibuku setelah
ibuku (wafat)."

Jadi, hingga usia 15 tahunnya, beliau saw selalu lengkap didampingi oleh
sosok Ayah & sosok Ibu, meskipun sejak kecil beliau adalah seorang
yatim piatu.

Maka, kembali ke pertanyaan bagaimana jika Ayah sudah meninggal?


Jawabannya adalah Hadirkan Sosok Ayah Pengganti (subtitute
father). Ia bisa kakeknya si anak, bisa juga pamannya si anak.

Sekian respon dan jawaban saya atas semua pertanyaan yang masuk.
Sekali lagi saya mohon maaf karena jawaban yg diberikan tidak
spesifik ditunjukkan untuk merespon pertanyaan yang mana?
Tapi mudah-mudahan kita semua bisa menemukan satu benang merah
yang sama bahwa *peran ayah benar-benar vital.* Jika ada istri/ibu
mengalami kesulitan/masalah dalam keseharian di rumahnya, maka
siapa konsultan yg semestinya ia datangi? Ya suaminya (ayahnya anak-
anak).

Jika si ayah/suami belum cukup ilmu untuk menjadi konsultan di


keluarganya sendiri, maka apa yg harus ia lakukan? Ya tambah dan
perdalam lagi ilmu-ilmu tentang kekeluargaan.

_____

Alhamdulillah, semua pertanyaan dan jawaban sudah tunai dibagikan.


Semoga ada hal manfaat yg bisa diambil untuk dipraktikkan.

Banyak hal prinsip, teknis, dan kisah-kisah yg tidak sempat saya


ceritakan di sini terkait peran ayah dalam pengasuhan. Tapi jika
teman-teman ingin menambah lagi referensi, bisa didapat di buku saya
yg kedua: SAATNYA AYAH MENGASUH.

Pemesanannya bisa langsung ke mba Viny.

Sekian dari saya. Mohon izin untuk undur diri. Assalamu'alaikum wr.wb.
PEMESANAN BUKU:

Viny – 081290325299 (wa)


PEMESANAN BUKU:

Viny – 081290325299 (wa)


PEMESANAN BUKU:

Viny – 081290325299 (wa)


PEMESANAN BUKU:

Viny – 081290325299 (wa)


PEMESANAN BUKU:

Viny – 081290325299 (wa)

Anda mungkin juga menyukai