Anda di halaman 1dari 4

A.

Zakat Fitrah

Pengertian zakat menurut bahasa adalah membersihkan diri atau mensucikan diri.
Sedangkan pengertian zakat menurut istilah adalah ukuran harta tertentu yang wajib
dikeluarkan kepada orang yang memerlukan atau yang berhak menerima dengan beberapa
syarat sesuai dengan syariat Islam.
Membayar zakat fitrah atau zakat fitri adalah hukumnya wajib ain yang artinya wajib
bagi umat muslim laki-laki, perempuan, tua atau muda. Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu
berkata: Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi
orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian
makanan untuk orang-orang miskin”.
Seorang muslim yang mampu dalam ekonomi, wajib membayar sebagian harta yang
dimiliki kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Baik melalui panitia zakat maupun
didistribusikan secara langsung/sendiri. Hukum zakat adalah wajib bila mampu secara
finansial dan telah mencapai batas minimal bayar zakat atau yang disebut mencapai nisab.
Ada dua bentuk zakat yang ditegaskan dalam nash, yaitu: Zakat fitrah yang berfungsi
untuk mengsucikan jiwa, diwajibkan pada tahun ke-2 H (al-a’la : 14) dan zakat mal
(harta) yang bertujuan untuk membersihkan harta, diwajibkan pada tahun ke-9 H (at-
taubah :60).
artinya : "dan laksanakanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang
rukuk." ( al-baqarah : 43)

Dari berbagai literatur yang ada dapat disimpulkan bawah syarat wajib zakat fitrah
adalah: Orang Islam. Memiliki harta yang berlebih untuk dirinya sendiri dan untuk
keluarganya untuk malam siang 1 Syawal. Ada kehidupan pada rentang waktu akhir
Ramadan sampai Khatib naik mimbar.
Terdapat beberapa waktu dalam membayar zakat fitrah sebagai berikut: Afdhal (utama),
setelah terbenam matahari ahir Ramadan sampai khatib naik mimbar. Jawaz (dibolehkan),
sejak awal Ramadan (menurut Imam Syafi’i), tiga atau empat hari menjelang Syawal
(menurut Imam Abu Maliki) dan bahkan dapat diberikan sejak atau tahun hijriah jika ada
kemaslahatan (menurut Imam Abu Hanifah). Haram, setelah khatib naik mimbar.
Adapun benda yang digunakan dalam berzakat fitrah adalah: Makanan pokok yang
dikonsumsi muzakki, dengan analogi makanan pokok di zaman Nabi yaitu kurma atau
gandum (seperti hadits Ibnu Abbas di atas), sesuai fungsi thu’matan (untuk mengenyangkan).
Dalam hal ini Imam Syafi’i cendrung berpendapat bahwa yang dikenyangkan itu adalah
perut. Sedangkan benda yang dapat mengenyangkan perut adalah makanan pokok.
Boleh menggunakan harga makanan pokok demi kemaslahatan. Dalam hal ini Imam Abu
Hanifah berpendapat bahwa lafadz thu’matan dalam hadits di atas bukan sekedar
mengenyangkan perut, tapi pakaian, tempat tinggal dan perut, maka pembayaran zakat dapat
diberikan dengan harganya agar si miskin dapat membeli pakaian, menyewa atau beli
perumahan (tempat tinggal) dan dapat membeli jenis makanan lain, untuk membuat ia
bahagia di hari Idul Fitri.
Adapun jumlah atau nilai harga zakat fitrah adalah 1 sha’ (seperti hadits dari Ibnu Umar
di atas), nilainya dari hari penelitian adalah setara dengan 4 mud. Sedangkan 1 mud setara
dengan 0,6 kg, maka 1 sha’ adalah 4 mud X 0,6 kg = 2,4 kg atau digenapkan menjadi 2,5 kg.
Sedangkan nilai harganya dapat disurvei dari harga terkini dari makanan pokok yang
dikonsumsi, sebagaimana yang selalu dirilis oleh Kementerian Agama.
B. Zakat Profesi

Sebagian ulama memang berpendapat bahwa zakat profesi tidak didukung oleh
adanya dalil yang jelas baik yang berasal dari Alquran maupun sunnah. Bahkan, Rasulullah
SAW tidak pernah menerapkan zakat profesi di masanya. Sementara sekian jenis profesi dan
spesialisasi telah ada. Bahkan sampai sekian abad kemudian, umumnya para ulama pun tidak
pernah menuliskan adanya zakat profesi.
Maka bila hari ini ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa tidak ada zakat profesi di
dalam syariat Islam, bisa diterima. Sebab dasar pengambilan hukumnya memang sudah tepat.
Yaitu tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW dan juga tidak dipraktikkan oleh para sahabat
beliau bahkan oleh para salafus shalih sekalipun.
Hanya saja tentu terlalu terburu-buru memvonis bahwa pelaksanaan zakat profesi
merupakan kerjaan bid’ah hanya karena kita tidak menemukan contoh kongkritnya di masa
Rasulullah SAW, tentu tidak sesederhana itu masalahnya. Masalahnya adalah apakah bisa
disepakati bahwa semua fenomena yang tidak ada di masa Rasulullah SAW itu langsung
dengan mudah bisa dijatuhkan ke dalam kategori bidah?
Sebab bila memang demikian, maka mengeluarkan zakat dengan beras pun tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah SAW. Sedangkan kita semua di negeri ini dan dikebanyakan
negeri muslim, umumnya mengeluarkan zakat fitrah dengan beras. Apakah kita ini pasti ahli
ibadah karena tidak berzakat dengan gandum seperti Rasulullah SAW?
Selanjutnya zakat profesi bukanlah hal baru, bahkan para ulama seperti Yusuf al-
Qardhawi mengatakan bahwa landasan zakat profesi atau penghasilan itu sangat kuat, yaitu
langsung dari Alquran.
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari kasabmu
(penghasilanmu) yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu?. (QS al-baqarah : 267)
Maka Nash zakat profesi atau zakat penghasilan adalah Alquran Alkarim sendiri, seperti
istilah kasab yang digunakan oleh Alquran Alkarim maknanya adalah berprofesi. Selain itu
bahwa profesi di masa Rasulullah SAW itu berbeda hakikatnya, bukan karena dia berprofesi
apa atau berdagang apa, tetapi apakah seseorang sudah masuk dalam kategori kaya atau tidak.
Pada hakikatnya adalah memungut harta dari orang kaya untuk diserahkan kepada orang
miskin, sebagaimana pesan Rasulullah SAW ketika mengutus Muaz bin Jabal ke Yaman,
Rasulullah SAW mengatakan bahwa beritahukan kepada mereka bahwa Allah SWT telah
mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang kaya mereka dan diberikan kepada
orang miskin di antara mereka. Di masa Rasulullah SAW ada beberapa jenis profesi, namun
jika mereka tidak termasuk orang kaya dengan penghasilan yang besar, maka Rasulullah
SAW tidak mengambil zakat dari mereka.
Lain halnya dengan masa sekarang ini, yang kita sebut sebagai profesional bisa jadi
orang yang sangat kaya dan teramat kaya, melebihi kekayaan para petani dan peternak.
Sehingga benarkah Islam tidak mewajibkan zakat orang kaya yang nyata benar kekayaan
berlimpah, hanya karena di masa Rasulullah SAW belum ada fenomena itu ?. Tidakkah kita
bisa membedakan esensi dari zakat yang utama yaitu mengambil harta dari orang kaya dan
diberikan kepada orang miskin ? Ataukah kita terpaku pada fenomena sosial yang ada di
masa Madinah saja ?
Nah, argumentasi seperti itulah yang harus diajukan untuk zakat profesi sekarang ini.
Dan bila kita secara tenang memahaminya, argumen itu relatif tidak terlalu salah. Paling tidak
kita pun harus sadar bahwa kalau alquran surat At-Taubah ayat 60 telah menyebutkan dengan
detail, siapa sajakah yang berhak menerima zakat.
Maka untuk ketentuan siapa sajakah yang berkewajiban mengeluarkan zakat, Alquran
Alkarim tidak secara spesifik menyebutkannya. Sehingga penentuan siapa sajakah yang wajib
mengeluarkan zakat bisa atau mungkin saja berkembang sesuai karakter zamannya. Namun
intinya adalah orang kaya.
Penulis dalam hal ini bukan berarti menyalahkan pendapat yang mengatakan bahwa
zakat profesi itu tidak ada dan bersikeras mengatakan bahwa zakat profesi itu ada. Sebab biar
bagaimana pun, para ulama yang mendukung adanya zakat profesi itu pun tidak sepakat
dalam menjabarkan tata aturannya dan juga cara penghitungannya. Mereka tetap masih
berbeda-beda dalam hal itu, meski sepakat atas adanya zakat profesi sesuai dengan prinsip di
atas.
Ketika kita sudah terarah untuk menyetujui adanya zakat profesi, maka dapat
dianalogikan cara pengeluarannya sebagai berikut: Pertama, analogi zakat emas (dinar),
karena zat dari penerimaan profesi tersebut adalah uang, dan uang di zaman nabi adalah
Dinar (emas) dan Dirham (perak). Yaitu nisabnya 85 gram, (jika 1 gram Rp400.000,-, maka
nisabnya Rp. 34.000.000,-).
Kemudian kadar zakatnya 2.5 persen, dan masa zakatnya akhir tahun (analisis pendapat
Imam syafi’i tentang zakat emas), atau dapat disetiap bulan (alanisis pendapat Imam Abu
Hanifah dengan konsep ta’jil az-zakat apabila ada kemaslahatan), atau setara dengan Rp.
34.000.000 : 12 bulan = Rp. 2.833.333,-.
Tentunya sisa penghasilan yang telah dikurangi dari kebutuhan pokok (sandang, papan
dan pangan) setiap bulan/ta’jil az-zakat nya. Karena haul yang dimaksud dari syarat wajib
zakat pada dasarnya adalah telah jelasnya sisa harta yang dimiliki dari kebutuhan yang
dikeluarkan sepanjang tahun.
Kedua, analogi zakat pertanian. Karena penerimaan hasil profesi adalah masa tertentu/
perperiode (bulan) atau lainnya, sehingga sangat mungkin dianalogikan dengan pertanian
yang dizakati setiap panen (surat al-an’am 141). Yaitu nisabnya 5 ausaq. Dalam hasil
penelitian 1 wasaq nya = 60 sha’. Jadi 5 ausaq adalah 0.6 Kg X 4 mud X 60 sha’ X 5 ausaq =
720 Kg (gandum yang belum dibersihkan/gabah). Jika diasumsikan harga 1 Kg gabah
Rp5000,-, maka 720 Kg X Rp 5000,- = nisabnya Rp3.600.000,-.(Sisa dari keperluan pokok),
dengan zakat 5 persen.
Ketiga, analagi syabah (menganalogi dua dalil zakat), yaitu nisab zakatnya seperti
pertanian (perpanen/penerimaan gaji dan honor), dan kadar zakatnya seperti emas (dinar).
Dalam rapat kerja nasional (rakernas) Lembaga Amil Zakat Infak Sedekah (LAZIS)
Dewan Dakwah di Gedung Menara Dakwah, Jakarta Pusat, Direktur Pemberdayaan Zakat
Kementerian Agama RI, diketahui bahwa potensi zakat di Indonesia, menurut penelitian IPB
dan Baznas, mencapai Rp217 triliun. Namun penghimpunan di lapangan baru mencapai
sekitar Rp2,8 triliun.
Rendahnya penghimpunan zakat ini disebabkan antara lain oleh tingkat kepercayaan
publik terhadap lembaga pengelola zakat (LPZ), profesionalitas LPZ, dan kebiasaan
menyalurkan zakat secara langsung oleh muzakki kepada mustahik, dan perbedaan yang
sangat signifikan tentang zakat profesi dan harta lainnya. Juga diketahui bahwa undang-
undang zakat belum memberikan sanksi pidana bagi wajib zakat yang tidak menunaikan
zakat.
Sebaliknya, regulasi memuat pasal pidana bagi pengelola (amil) zakat swasta yang
dinilai ilegal. Padahal, masih banyak pengurus yayasan atau masjid, yang menerima dan
mengelola zakat langsung dari muzakki.
Oleh karena itu, agar amil zakat tidak mengalami ancaman kriminal berdasarkan delik
aduan, undang-undang menuntut agar pengelolaan zakat dilembagakan sesuai ketentuan.
Misalnya, amil zakat yayasan atau masjid hanya bisa menjadi unit pengumpul zakat (UPZ)
Baznas atau Lembaga Amil Zakat yang sudah berizin.

Anda mungkin juga menyukai