Anda di halaman 1dari 70

HUKUM INTERNASIONAL

—-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bab I. Kedaulatan (Sovereignty)

Suatu negara dikatakan sudah berdiri dan merdeka apabila negara tersebut memiliki
kedaulatan. Kedaulatan merupakan atribut dasar dari adanya negara merdeka. Antara
kemerdekaan dan kedaulatan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Pengertian
negara tidak dapat dipisahkan dari konsep dasar negara sebagai suatu kesatuan geografis
disertai dengan kedaulatan dan yurisdiksinya masing-masing.

1. Pengertian dan Batasan Kedaulatan


Kedaulatan berasal dari kata “superanus” yang berarti yang teratas atau kekuasaan
tertinggi. Dengan kata lain, kedaulatan negara adalah kekuasaan tertinggi, tak terbatas,
mutlak dan tidak terbagi-bagi. Kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi, tetapi terbatas
pada batas wilayah negara dan kekuasaan tersebut berakhir dimana kekuasaan suatu
negara lain dimulai. Kedaulatan tersebut meliputi wilayah darat, laut, dan udara suatu
negara.
a. Pengertian Positif
Kedaulatan memberikan pimpinan yang tertinggi atas rakyat dan memberi
wewenang penuh untuk mengeksploitasi sumber alam yang ada di negaranya. Dapat
dikatakan bahwa berdasarkan kedaulatan yang dimiliki, suatu negara bebas untuk
menentukan segala sesuatu yang ada di bawah wilayah kedaulatannya, tanpa campur
tangan dari negara lain ataupun dalam hal-hal tertentu. Kedaulatan memberikan
kekuasaan tunggal terhadap orang, benda, ataupun peristiwa hukum.
b. Pengertian Negatif
Negara tidak tunduk pada ketentuan HI dan kekuasaan apapun dan dari manapun
datangnya tanpa persetujuan negara. Secara ekstrim, bahwa berdasarkan kedaulatan
yang dimiliki, suatu negara mempunyai kewenangan untuk menentukan apakah akan
tunduk pada HI atau tidak. Tetapi, dalam kehidupan masyarakat internasional,
seringkali negara tidak dapat dengan leluasa dan secara mutlak melakukan suatu
hanya dengan pertimbangan kedaulatannya saja.
c. Kemerdekaan
Dengan adanya kemerdekaan menunjukkan bahwa negara tersebut berdaulat dan
mempunyai kewenangan untuk mengutamakan kekuasaan eksklusif dalam

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 1


melaksanakan kebijakannya. Kemerdekaan dan kedaulatan merupakan 2 hal yang
tidak dipisahkan. Hakim Max Huber dalam kasus Island of Palma mengatakan
bahwa kedaulatan mempunyai 2 ciri penting, yaitu prasyarat hukum adanya suatu
negara dan menunjukkan negara tersebut merdeka.

2. Aspek Utama Kedaulatan menurut HI


a. Aspek Ekstern Kedaulatan
Setiap negara mempunyai hak untuk bebas berhubungan dengan negara lain. Suatu
negara dikatakan berdaulat apabila negara yang bersangkutan mampu mengadakan
hubungan internasional dengan negara-negara lain (perjanjian internasional). Setiap
negara memiliki posisi yang sederajat dalam melakukan interaksi dengan sesama
negara sehingga setiap negara tidak memiliki hak untuk melakukan intervensi
kepada negara lain.
b. Aspek Intern Kedaulatan
Setiap negara mempunyai hak eksklusif untuk menentukan kinerja yang ada di
dalam wilayah negaranya. Aspek ini berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki
negara dalam teritorialnya yang meliputi hak untuk menentukan sistem politik,
hukum, dan ekonomi yang dianut. Secara umum, HI tidak pernah ikut campur
mengenai urusan dalam negeri suatu negara. Negara mempunyai kekuasaan yang
tertinggi dan absolut terhadap segala sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya
tanpa campur tangan dari negara lain maupun HI.
c. Aspek Teritorial Kedaulatan
Berkaitan dengan wilayah teritorial yang menjadi kekuasaan negara yang
bersangkutan. Dikatakan bahwa negara memiliki kekuasaan penuh dan eksklusif
terhadap individu, benda, maupun peristiwa hukum yang ada di wilayahnya. Suatu
negara menempati suatu daerah tertentu dari permukaan bumi ini dan dalam daerah
tertentu itulah negara yang bersangkutan biasanya menjalankan kekuasaan hukum
atau yurisdiksi atas orang, benda, ataupun peristiwa hukum, dengan mengecualikan
yurisdiksi negara lain, tetapi dalam hal-hal tertentu selalu tunduk dibawah
pembatasan yang diberikan oleh HI.

3. Aspek Pelaksanaan Kedaulatan Teritorial


a. Aspek Positif

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 2


Berkaitan dengan hak eksklusif dan kompetensi suatu negara terhadap segala
sesuatu yang berada dalam wilayah kedaulatannya. Setiap negara bebas untuk
menentukan siapa saja yang berhak menjadi WN, bebas untuk menentukan
kebijakan di bidang politik, hukum, pertahanan, keamanan, dan melakukan
hubungan luar negeri dengan negara lain.
b. Aspek Negatif
Berkaitan dengan kewajiban untuk tidak mengganggu negara lain. Dalam
masyarakat internasional, setiap negara mempunyai kedaulatan masing-masing dan
kedaulatan itu berlaku secara mutlak dalam wilayah teritorialnya sendiri. Ada
hubungan timbal balik, bahwa di satu sisi setiap negara mempunyai hak atas
kedaulatan teritorial, tetapi di lain sisi, negara yang bersangkutan dibebani suatu
kewajiban untuk menghormati hak negara lain atas kedaulatan teritorialnya dan tidak
saling mengganggu.
Contoh : konflik di Myanmar adalah konflik internal negara tersebut sehingga
negara lain tidak berhak untuk mengganggu atau ikut campur dalam konflik
tersebut.

4. Tipe Rezim Wilayah Suatu Negara


a. Wilayah yang Tunduk pada Kedaulatan Teritorial Suatu Negara
Sebagian besar wilayah kedaulatan suatu negara sudah jelas batas-batasnya. Pada
saat ini, hampir semua wilayah yang ada di dunia tunduk pada kedaulatan suatu
negara, kecuali wilayah-wilayah tertentu yang memang disepakati untuk tidak boleh
dimiliki oleh negara manapun.
b. Res Nullius (Terra Nullius)
Wilayah yang tidak bertuan atau tidak ada yang memiliki. Pada saat ini dapat
dikatakan bahwa sudah tidak ada terra nullius.
Contoh : ketika Amerika dan Australia pertama kali ditemukan, kemudian
dideklarasikan menjadi milik negara yang menemukan.
c. Res Communis
Wilayah yang menjadi milik bersama di antara bangsa-bangsa di dunia. Wilayah
demikian tidak dapat ditundukkan dan dimiliki oleh negara tertentu dan dapat
digunakan oleh siapa saja atau negara manapun. Konsep ini melahirkan asas warisan
bersama umat manusia (common heritage of mankind).

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 3


Contoh : kawasan dasar laut samudera dalam (international sea-bed area),
Antartika, dan ruang angkasa (outerspace).
d. Wilayah yang Tidak atau Belum Berada di Bawah Kedaulatan Suatu Negara

5. Cara-Cara Memperoleh Suatu Wilayah


a. Occupation (Okupasi/Pendudukan)
Pendudukan adalah suatu cara memperoleh wilayah yang tadinya belum merupakan
bagian dari wilayah kekuasaan suatu negara, yang dapat berupa suatu terra nullius
yang baru ditemukan.
➢ Unsur-Unsur Okupasi atau Pendudukan
❖ Penemuan
Menemukan suatu wilayah terra nullius dan sebelumnya memang belum
pernah ada yang memiliki atau menguasai. Suatu wilayah yang pada
awalnya sudah tunduk pada kekuasaan tertentu tetapi kemudian
ditinggalkan oleh yang bersangkutan, tidak termasuk dalam pengertian
penemuan.
❖ Pengawasan Efektif
Penemuan tanpa pengawasan efektif terhadap wilayah tersebut tidak akan
ada artinya. Setelah ditemukan, maka harus ada pengaturan secara
terus-menerus dan efektif yang dilakukan oleh mereka yang mempunyai
otoritas. Pendudukan harus efektif, dengan kata lain, harus disertai tindakan
nyata.
Contoh : Island of Palma (Amerika Serikat vs Hindia Belanda). Mahkamah
Arbitrase memenangkan Hindia Belanda yang telah menunjukkan
kekuasaan yang terus-menerus dan dengan cara damai terhadap pulau
tersebut.
❖ Harus Ada Niat dan Keinginan untuk Menjadi yang Berdaulat
Contoh : Eastern Greenland (Denmark vs Norwegia). Mahkamah
menyatakan bahwa satu hak yang diperoleh melalui pendudukan
menyangkut 2 hal, yaitu niat atau kemauan akan bertindak sebagai yang
berdaulat dan terbukti telah menjalankan kekuasaan sesungguhnya atau
memperlihatkan kekuasaan itu.
➢ Teori tentang Seberapa Jauh Hak Suatu Okupasi atau Pendudukan
❖ Teori Kontinuitas (Continuity)

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 4


Negara boleh melakukan pendudukan atas suatu wilayah apabila hal
tersebut memang diperlukan untuk pertahanan keamanan negaranya atau
untuk menguasai sumber-sumber kekayaan alam yang sangat berguna bagi
kelangsungan hidup masyarakatnya.
❖ Teori Kontiguitas (Contiguity)
Negara boleh melakukan pendudukan atas suatu wilayah dengan alasan
kedekatan secara geografis.
➢ The Antartic Treaty 1959
Pada masa lalu, daerah Antartika dijadikan rebutan di antara negara-negara yang
ada di sekeliling Antartika. Di lain pihak, negara-negara juga menyadari kalau
daerah Antartika menjadi kedaulatan satu negara, dikhawatirkan akan
mengganggu keseimbangan dunia apabila daerah tersebut dieksplorasi dan
dieksploitasi. Untuk itu negara-negara melakukan kesepakatan untuk tidak
melakukan klaim atas Antartika, sebagaimana tertuang dalam The Antartic
Treaty 1959.
b. Annexation (Aneksasi/Penaklukan) → Conquest atau Subjugation
Cara perolehan wilayah secara paksa berdasarkan pada 2 kondisi sebagai berikut.
1) Wilayah yang dianeksasi telah dikuasai oleh negara yang menganeksasinya.
2) Pada waktu suatu negara mengumumkan kehendaknya untuk menganeksasi
suatu wilayah, wilayah tersebut telah benar-benar berada di bawah penguasaan
negara tadi.
Peroleh wilayah dengan cara yang pertama tidak cukup untuk melahirkan hak atau
kedaulatan bagi negara yang melakukannya, melainkan harus diikuti dengan
pernyataan resmi tentang maksud atau kehendak demikian yang biasanya
dilaksanakan dengan pengiriman nota kepada semua negara yang berkepentingan.
Pada masa ini, HI sudah membatasi penggunaan kekerasan bersenjata oleh
negara-negara dalam menyelesaikan suatu sengketa.
➢ Konvensi Perdamaian Den Haag (1907)
Terdiri dari 13 Konvensi yang mengatur tentang hak dan kewajiban para pihak
dalam melakukan peperangan. Konvensi I mengatakan bahwa negara-negara
dilarang melakukan kekuatan bersenjata untuk menagih hutang perdata kepada
negara lain.
➢ Kellogg-Briand Pact atau Paris Pact (1928)

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 5


Perjanjian multilateral yang melarang penggunaan perang sebagai instrumen
kebijakan nasional. Awalnya, Kellogg-Briand Pact merupakan perjanjian
bilateral yang diadakan oleh Amerika Serikat dan Perancis tetapi atas usulan
Amerika Serikat, perjanjian tersebut menjadi terbuka bagi negara-negara lain.
➢ Piagam PBB
Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB → ketika suatu negara melakukan hubungan
internasional dengan negara lain, mereka harus menahan diri untuk tidak
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan.
➢ Pengadilan Perang Nuremberg
Masih ada jenis konflik bersenjata yang ditoleransi untuk digunakan, yaitu
perang kemerdekaan atau war of national liberation yang tunduk pada hukum
humaniter internasional.
c. Accretion (Akresi/Pertambahan)
Cara perolehan wilayah melalui proses alam atau secara alami dalam jangka waktu
yang lama. Proses pembentukannya harus secara berangsur-angsur atau evolusi.
Misalnya, pembentukan delta, pendangkalan tepi sungai, dan erosi yang
mengakibatkan berkurangnya tanah daratan (reklamasi pantai bukanlah termasuk
akresi).
d. Prescription (Preskripsi/Daluwarsa)
Pemilikan wilayah oleh suatu negara yang telah diduduki dalam jangka waktu yang
lama dan dengan sepengetahuan pemiliknya. Pengaturan mengenai hak atas wilayah
berdasarkan preskripsi dalam HI tidak begitu jelas sehingga sebagai ahli HI tidak
mengakuinya sama sekali. Tetapi pada hakikatnya, kebanyakan perbatasan di antara
negara-negara sudah ada secara de facto untuk suatu waktu yang sudah lama.
Mengenai batas waktu kapan suatu wilayah dapat beralih kepemilikannya tidaklah
diatur dalam HI. Dalam hukum nasional Inggris dan India, preskripsi terjadi setelah
jangka waktu 12 tahun. Cara peroleh ini mirip dengan okupasi, tetapi yang
membedakan adalah apabila dalam pendudukan yang diduduki adalah wilayah terra
nullius, sedangkan dalam preskripsi yang diduduki adalah suatu wilayah yang sudah
ada pemiliknya. Menurut Fauchille dan Johnson, terdapat beberapa syarat yang
harus dipenuhi bagi perolehan wilayah dengan preskripsi, yaitu sebagai berikut.
➢ Dilaksanakan secara a titre de souverain, yang artinya pemilikan tersebut harus
memperlihatkan suatu kewenangan atau suatu otoritas yang diakui atau
kekuasaan negara dan wilayah tersebut tidak ada negara yang mengklaimnya.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 6


➢ Pemilikan tersebut harus berlangsung secara damai dan tidak ada protes dari
pihak yang lain.
➢ Pemilikan tersebut harus bersifat publik, yang artinya diumumkan atau
diketahui oleh pihak lain.
➢ Pemilikan tersebut harus berlangsung secara terus-menerus.
e. Cession (Cessi/Penyerahan)
Satu cara memindahkan hak atas suatu wilayah dari satu negara kepada negara yang
lain. Terdapat beberapa alasan penyerahan. Adakalanya penyerahan suatu wilayah
terjadi sebagai akibat dari peperangan, dimana pihak yang kalah akan memberikan
sebagian wilayah atau wilayah dikuasainya kepada pihak yang menang. Cessi
merupakan cara penyerahan wilayah secara damai yang biasanya dilakukan melalui
suatu perjanjian perdamaian yang mengakhiri perang. Cessi dapat pula diberikan
secara cuma-cuma atau berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya pembelian
Alaskan pada tahun 1816 oleh Amerika Serikat dari Rusia dan ketika Denmark
menjual beberapa daerahnya di West Indies kepada Amerika Serikat pada tahun
1916. Berbeda dengan akresi, dalam cessi ada pemindahan kedaulatan atas bagian
wilayah tertentu dari satu negara atau penguasa kepada negara atau penguasa yang
lain. Prinsip cessi adalah hak negara yang mendapatkan wilayah tidak boleh
melebihi hak pemilik asalnya. Misalnya, di wilayah tersebut telah ada hak dari
negara lain, maka pemilik yang kemudian harus tetap menghormati hak negara
ketiga tersebut atau dalam hal atas wilayah tersebut melekat hak servitut, maka hak
tersebut tidak boleh dihilangkan walaupun atas wilayah tersebut sudah berganti
kepemilikannya.
f. Plebicite (Plebisit)
Pengalihan suatu wilayah melalui pilihan penduduknya, menyusul dilaksanakannnya
pemilihan umum, referendum atau cara-cara lainnya yang dipilih.
Contoh : Timor Timur yang memilih merdeka berdasarkan referendum tahun 1999
dan lepas dari Indonesia menjadi negara Timor Leste.

6. Kedaulatan Negara atas Wilayah Laut

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 7


Pengaturan secara internasional mengenai kedaulatan negara di laut baru dimulai pada
Konferensi Kodifikasi Hukum Internasional oleh LBB pada tahun 1930 yang
membicarakan tentang nationality, territorial waters, dan tanggung jawab negara.
Konferensi tersebut tidak menghasilkan suatu Konvensi, jadi pada saat itu negara-negara
belum berhasil menentukan sampai dimana batas kedaulatan negara di laut. Usaha untuk
menetapkan batas laut teritorial yang berikutnya adalah pada saat diadakannya:
(1) Konferensi Hukum Laut I Jenewa 1958
● Laut teritorial dan jalur tambahan
● Laut lepas
● Landas kontinen
● Perikanan dan perlindungan sumber kekayaan hayati
Konvensi ini mengatakan bahwa suatu negara mempunyai kedaulatan atas laut
teritorialnya, hanya saja tentang sampai dimana batas kedaulatan negara di laut
teritorial tersebut tidak diatur sehingga yang digunakan sebagai acuan oleh
negara-negara adalah hukum kebiasaan yang telah dianut oleh negara-negara, yaitu 3
mil laut. Dalam perkembangan berikutnya, sebagian negara-negara sudah mulai
meninggalkan hukum kebiasaan yang ada dan mulai melakukan klaim baru atas laut
yang berada di dekat wilayah daratannya.Tuntutan untuk melakukan peninjauan
kembali terhadap konvensi-konvensi tersebut muncul seiring dengan semakin
pesatnya perkembangan teknologi penambangan di dasar laut dan menurunnya
persediaan sumber hayati di laut. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah
bertambahnya jumlah negara yang baru merdeka sehingga menimbulkan
tuntutan-tuntutan baru terhadap laut.
(2) Konferensi Hukum Laut III Jamaika 1982

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 8


Setelah melalui perundingan yang cukup panjang, negara-negara peserta Konferensi
Hukum Laut III di Jamaika pada akhirnya telah menyepakati United Nations
Convention on The Law of The Sea (UNCLOS 1982) yang mengatur tentang segala
aspek kegiatan di laut, misalnya delimitasi, hak lintas, pencemaran terhadap
lingkungan laut, riset ilmiah kelautan, kegiatan ekonomi dan perdagangan, alih
teknologi dan penyelesaian sengketa tentang masalah-masalah kelautan.

a. Status Hukum tentang Pelbagai Zona Maritim menurut UNCLOS 1982


UNCLOS 1982 mengakui hak negara-negara untuk melakukan klaim atas pelbagai
macam zona maritim dengan status hukum yang berbeda-beda, yang dibagi sebagai
berikut.
➢ Berada di bawah kedaulatan penuh negara meliputi laut pedalaman, laut
teritorial dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.
➢ Negara mempunyai yurisdiksi khusus dan terbatas, yaitu zona tambahan.
➢ Negara mempunyai yurisdiksi eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya
alamnya, yaitu ZEE dan landas kontinen.
➢ Berada di bawah suatu pengaturan internasional khusus, yaitu daerah dasar laut
samudera dalam atau yang lebih dikenal sebagai area.
➢ Tidak berada di bawah kedaulatan maupun yurisdiksi negara manapun, yaitu
laut lepas.
b. Titik Dasar dan Garis Pangkal
Untuk memudahkan dalam penarikan garis batas laut, dibuat titik-titik pada garis
pantai yang menjorok ke laut (Titik Dasar/Base Point), kemudian titik-titik tersebut
dihubungkan dengan garis (Garis Pangkal/Base Line).
➢ Normal Base Line
Garis pangkal yang diukur dari garis air rendah di sepanjang pantai, yang
mengikuti bentuk pulau tersebut.
➢ Straight Base Line
Penarikan garis pangkal lurus dapat digunakan dalam hal:
❖ Di tempat-tempat dimana garis pantai berliku-liku tajam masuk ke dalam.
❖ Terdapat deretan pulau yang letaknya tidak jauh dari pantai.
➢ Straight Archipelagic Base Line

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 9


Garis pangkal yang menghubungkan titik-titik terluar pulau terluar yang satu
dengan titik-titik terluar pulau terluar yang lain yang ada di dalam negara
kepulauan tersebut.
➢ Low Tide Elevation
Wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi dan berada
diatas permukaan laut pada waktu air surut tetapi berada di bawah permukaan
laut pada waktu air pasang.
➢ Closing Line
Garis yang ditarik antara titik-titik garis air terendah pada pintu masuk teluk
tidak melebihi 24 mil.
c. Pembagian Zona-Zona Laut menurut UNCLOS 1982
➢ Perairan Pedalaman (Internal Waters)
Bagian laut di antara daratan dan base line, dimana berlaku kedaulatan penuh
negara pantai. Batasan yang diberikan oleh Konvensi tentang perairan
pedalaman adalah perairan yang terletak pada sisi darat dari garis pangkal yang
dipakai untuk menetapkan laut territorial suatu negara, termasuk ke dalamnya
sungai, teluk, pelabuhan serta bagian-bagian perairan lain sepanjang berada
pada sisi darat dari garis pangkal. Bagi negara kepulauan berlaku suatu
ketentuan khusus bahwa perairan pedalaman dapat ditetapkan dengan menarik
suatu garis penutup pada mulut sungai, teluk, dan pelabuhan yang berada pada
perairan kepulauannya. Dengan demikian, perairan pedalaman dari suatu negara
kepulauan akan merupakan perairan yang terletak di sebelah dalam dari garis
penutup.
➢ Laut Teritorial (Territorial Sea)
Wilayah laut yang terletak di sebelah luar base line dan tunduk pada kedaulatan
negara pantai. Lebar maksimum laut teritorial suatu negara adalah 12 mil laut.
Kedaulatan di laut teritorial bersifat vertikal, artinya kedaulatan tersebut mulai
dari wilayah udara, perairan, water colum sampai dasar laut dan tanah di
bawahnya yang masih dapat dimanfaatkan oleh negara, namun dalam
pelaksanaannya kedaulatan dalam laut tidak dapat dilaksanakan secara mutlak,
tertinggi, dan absolut. Di laut teritorial, berdasarkan HI, kapal-kapal asing dari
negara lain mempunyai hak lewat yang disebut dengan right of innocent
passage.
➢ Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters)

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 10


Perairan yang ada di sebelah dalam archipelagic base line, diantara pulau-pulau
pada suatu negara kepulauan. Status perairan kepulauan sama dengan laut
territorial, selain berlaku right of innocent passage, juga berlaku archipelagic
sea lanes passage yang melintasi perairan kepulauan.
➢ Zona Tambahan (Contiguous Zone)
Wilayah laut yang ada di sebelah luar laut teritorial. Lebar zona tambahan suatu
negara pantai adalah 24 mil laut yang diukur dari garis pangkal yang dipakai
untuk menetapkan laut teritorialnya. Negara pantai dapat melaksanakan
pengawasan yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang bea cukai, fiskal, imigrasi, atau saniter di
wilayah laut teritorialnya.
➢ Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone)
Wilayah laut yang terletak di luar dan berdampingan dengan laut teritorial.
Lebar ZEE tidak boleh melebihi 200 mil laut yang diukur dari garis-garis
pangkal yang sama dengan yang digunakan untuk mengukur laut teritorial. Di
wilayah ini, suatu negara mempunyai hak-hak berdaulat (sovereign rights) dan
yurisdiksi khusus untuk memanfaatkan kekayaan alam yang berada pada jalur
tersebut, termasuk pada dasar laut dan tanah di bawahnya. Setiap negara pantai
memiliki hak-hak berdaulat untuk eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan
pengelolaan SDA, baik hayati maupun non-hayati. Selain itu, negara pantai juga
memiliki hak-hak berdaulat untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan ekonomi
tertentu, misalnya produksi energi dari air, arus dan angin; serta yurisdiksi untuk
pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan, riset ilmiah
kelautan, serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
➢ Landas Kontinen (Continental Shelf)
Kepanjangan alami dari wilayah daratan suatu negara yang meliputi dasar laut
dan tanah di bawahnya. Batas terluar landas kontinen suatu negara ditetapkan
sampai pinggiran luar tepi kontinen atau hingga jarak 200 mil laut diukur dari
garis pangkal yang dipakai untuk menetapkan laut teritorialnya, apabila
pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Landas kontinen
merupakan regim khusus dari ZEE sehingga prinsip hukum yang berlaku di
wilayah tersebut sama dengan di ZEE, yaitu sovereign rights.
➢ Laut Lepas (High Sea)

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 11


Semua bagian laut yang tidak termasuk dalam ZEE, dalam laut teritorial atau
dalam perairan pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu
negara kepulauan. Prinsip hukum yang berlaku di laut adalah freedom of the sea.
Kebebasan di laut lepas berarti bahwa laut bebas dapat digunakan oleh negara
manapun. Kebebasan juga berarti bahwa tidak satupun negara yang dapat
menundukkan kegiatan manapun di laut bebas di bawah kedaulatannya dan laut
bebas hanya digunakan untuk tujuan-tujuan damai.
❖ Freedom of navigation
❖ Freedom of overflight
❖ Freedom to lay submarine cables and pipelines
❖ Freedom to construct artificial islands and other installations permitted
under international law
❖ Freedom of fishing
❖ Freedom of scientific research
➢ Area
Daerah dasar laut dan tanah dibawahnya di luar batas yurisdiksi nasional suatu
negara, yaitu di luar batas-batas landas kontinen yang berada di bawah
yurisdiksi negara pantai. Pada area ini, negara-negara tidak mempunyai
kebebasan untuk menggunakan atau memanfaatkan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. Prinsip hukum yang berlaku bagi pemanfaatan SDA
yang ada di area adalah common heritage of mankind.
d. Negara Kepulauan
Konsep negara kepulauan mendapatkan pengakuan dengan dimasukkannya Bab 4
tentang Negara Kepulauan ke dalam Konvensi Hukum Laut 1982, yang meliputi
ketentuan-ketentuan hukum tentang definisi negara kepulauan, cara penarikan garis
pangkal kepulauan, status hukum perairan kepulauan, hak lintas alur-alur laut
kepulauan dan hak lintas damai. Pasal 1 Konvensi Hukum Laut 1982 menetapkan
bahwa kedaulatan suatu negara kepulauan meliputi juga perairan yang ditutup oleh
atau terletak di sebelah dalam dari garis pangkal lurus kepulauan, yang disebut
sebagai perairan kepulauan, dimana kedaulatannya meliputi juga ruang udara di
atasnya, dasar laut dan tanah dibawahnya, beserta kekayaan laut yang terkandung di
dalamnya.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 12


Berbeda dengan perairan pedalaman, meskipun sama-sama terletak di sebelah dalam
dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, kedaulatan negara kepulauan
di perairan kepulauannya dibatasi dengan kewajiban untuk memberikan akomodasi
bagi pelayaran internasional dalam bentuk hak lintas damai dan hak lintas alur laut
kepulauan.
e. Kedaulatan Negara atas Selat
Negara tepi selat mempunyai kedaulatan atas selat yang bersebelahan dengan
wilayah daratan. Berdasarkan Pasal 37 Konvensi Hukum Laut 1982, selat yang
digunakan untuk pelayaran internasional adalah perairan yang menghubungkan satu
bagian laut lepas atau ZEE dengan bagian lain dari laut lepas atau ZEE. Dalam Pasal
38, disebutkan bahwa untuk selat-selat yang memenuhi ketentuan demikian berlaku
hak lintas transit bagi kapal asing. Namun, apabila ada bagian dari selat yang
letaknya lebih dekat ke daratan utama dan ada alur laut yang memisahkan daratan
tersebut dengan suatu pulau dan dapat memberikan kenyamanan yang sama untuk
pelayaran, pada jalur tersebut berlaku hak lintas damai.
f. Penyelesaian Sengketa Laut Internasional
Setiap sengketa laut dapat diajukan ke hadapan Mahkamah Hukum Laut
Internasional atau ITLOS (International Tribunal for The Law of The Sea) yang
didirikan berdasarkan UNCLOS 1982.

7. Kedaulatan Negara atas Ruang Udara


a. Cujus est solum, ejus est usque ad coelum
Barangsiapa memiliki sebidang tanah, dengan demikian juga memiliki
segala-galanya yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai ke langit dan
segala apa yang berada di dalam tanah. Kedaulatan negara bersifat vertikal, yang

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 13


artinya mulai dari atas sampai ke bawah tanah yang tak terhingga sehingga meliputi
darat, laut, dan ruang udara di atas wilayah darat dan laut.
b. Konsep Ruang Udara
Ruang diatas permukaan bumi yang berisi gas dan dapat digunakan untuk
mengangkat pesawat udara.
c. Konvensi mengenai Pengaturan Ruang Udara
Kedaulatan negara di ruang udara baru dirasa penting pada saat meletusnya PD I,
pada saat digunakannya bom yang ditembakkan dari pesawat udara. Dalam Pasal 1
Konvensi Paris 1919, dinyatakan bahwa negara mempunyai kedaulatan penuh atas
ruang udara di atas wilayah daratan dan laut teritorialnya sampai ketinggian tidak
terbatas. Selain itu, terdapat juga Konvensi Chicago 1944 yang tidak berlaku bagi
pesawat udara negara, seperti pesawat udara militer, bea cukai atau kepolisian. Pasal
1 Konvensi Chicago 1944 menyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan
penuh dan eksklusif pada ruang udara di atas wilayahnya. Pasal 6 menyatakan
bahwa pesawat udara yang merupakan bagian dari penerbangan berjadwal tidak
dibenarkan untuk terbang melalui atau menuju wilayah suatu negara tanpa izin dari
negara yang bersangkutan. Ketentuan ini dikecualikan bagi pesawat udara asing
yang merupakan bagian dari penerbangan internasional tidak terjadwal (the right of
innocent passage). Dari Konvensi ini, disepakati pula 2 perjanjian yang lain, yaitu:
➢ International Air Services Transit Agreement
➢ International Air Transport Agreement, yang berisi 5 kebebasan di udara yang
meliputi:
❖ Fly across foreign territory without landing.
❖ Land of non traffic purposes.
❖ Disembark in a foreign country traffic originating in the state of origin of
the aircraft.
❖ Pick-up in a foreign country traffic destined for the state of origin of the
aircraft.
❖ Carry traffic between two foreign countries.
Praktik negara-negara menunjukkan bahwa hanya sedikit negara yang bersedia
menerapkan kebebasan ini dan lebih suka mengadakan perjanjian bilateral atau
perjanjian khusus dengan negara lain.

8. Kedaulatan Negara atas Ruang Angkasa

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 14


Status hukum ruang angkasa sebagai res communis, sehingga tidak ada satu bagianpun
dari ruang angkasa menjadi bagian wilayah kedaulatan negara. Resolusi Majelis Umum
PBB 1962 menetapkan beberapa asas hukum seperti berikut.
➢ Eksplorasi angkasa untuk semua umat manusia.
➢ Benda angkasa tidak bisa dimiliki oleh negara.
➢ Setiap kegiatan harus sesuai dengan HI dan Piagam PBB.
➢ Negara bertanggungjawab atas kegiatan di angkasa.
➢ Yurisdiksi yang berlaku adalah tempat pendaftaran pesawat.
➢ Negara wajib menolong astronot yang berada dalam bahaya.
Lebih lanjut pengaturan ruang angkasa ditetapkan melalui penandatanganan Treaty on
Principles Governing The Activities of States in The Exploration and Use of Outerspace,
including The Moon and Other Celestial Bodies pada tahun 1967. Selain itu terdapat pula
beberapa PI, seperti Rescue Agreement (1968), Liability Convention (1972), Registration
Convention (1975), dan Moon Agreement (1980).

9. Servitudes
Servitudes timbul apabila dalam wilayah suatu negara terdapat hak-hak (legal rights)
negara lain. Servitudes merupakan pembatasan terhadap kedaulatan teritorial suatu
negara yang mana harus diperjanjikan terlebih dahulu dengan negara pengguna hak
tersebut. Misalnya adalah hak bagi kapal asing untuk melintasi Terusan Suez dan Terusan
Panama.

Bab II. Yurisdiksi (Jurisdiction)

1. Pengertian Yurisdiksi
Jurisdiction berasal dari kata “juris” dan “diction” yang berarti administration of justice.
Secara umum, yang dimaksud dengan yurisdiksi adalah kewenangan suatu negara untuk
menetapkan dan memaksakan ketentuan hukum nasionalnya terhadap orang, benda atau
peristiwa hukum. Dalam hubungannya dengan negara lain, wewenang tersebut diberikan
oleh hukum internasional. Dalam tingkatan yang paling mendasar, kesepakatan bersama
tentang penggunaan yurisdiksi suatu negara adalah apabila terdapat hubungan antara
suatu peristiwa dengan negara, atau kepentingan negara terhadap orang atau sesuatu yang
berkaitan dengan peristiwa tersebut.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 15


2. Kedaulatan dan Yurisdiksi
Yurisdiksi merupakan refleksi atau perwujudan dari kedaulatan. Kedaulatan memberikan
freedom to act kepada negara untuk melaksanakan yurisdiksinya. Kedaulatan
memberikan kebebasan kepada negara untuk menetapkan siapa saja yang akan terkena
yurisdiksinya. Kedaulatan memberikan keleluasaan kepada negara untuk menolak
diberlakukannya hukum lain selain hukumnya sendiri.
➢ The power to prescribe.
➢ The power to adjudicate.
➢ The power to enforce.

3. Prinsip Par in parem non habit imperium


Asas umum yang menyatakan bahwa pihak yang sama kedudukannya tidak mempunyai
yurisdiksi terhadap pihak lainnya. Dengan kata lain, suatu negara tidak akan
melaksanakan yurisdiksinya di negara lain. Dikenal adanya prinsip umum bahwa suatu
negara bebas untuk melaksanakan yurisdiksinya terhadap segala sesuatu yang terjadi di
luar wilayahnya, sepanjang hal tersebut tidak dilarang secara khusus oleh HI.

4. Prinsip Ne bis in idem


Dalam setiap peristiwa hanya ada satu negara yang dapat melaksanakan yurisdiksinya,
walaupun terdapat dua negara atau lebih yang mempunyai kewenangan untuk
melaksanakan yurisdiksi tersebut. Sehingga dalam hal ini, apabila sudah ada satu negara
yang melaksanakan yurisdiksinya, maka gugurlah hak negara lain untuk melaksanakan
yurisdiksi atas peristiwa yang sama (satu peristiwa tidak bisa diadili 2 kali). Biasanya
terdapat kesepakatan di antara negara-negara bahwa kepentingan negara yang paling
besarlah yang akan mengadili peristiwa tersebut dan melaksanakan yurisdiksinya.

5. Jenis Yurisdiksi
a. Yurisdiksi Perdata
Kewenangan hukum pengadilan negara terhadap perkara keperdataan, baik nasional
maupun internasional (contoh : perkawinan internasional).
b. Yurisdiksi Pidana
Kewenangan hukum pengadilan negara terhadap perkara kepidanaan, baik nasional
maupun internasional (contoh : tindak pidana).

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 16


6. Prinsip Yurisdiksi : Prinsip Teritorial
Setiap negara mempunyai yurisdiksi terhadap setiap tindak kejahatan yang dilakukan di
dalam wilayahnya. HI memberikan kepada semua negara wewenang untuk menjalankan
yurisdiksi atas orang, benda, peristiwa hukum, dll. yang terjadi di wilayahnya. Yurisdiksi
suatu negara di wilayahnya sendiri bersifat komplit dan absolut. Menurut Lord
Macmillan, ciri pokok kedaulatan yang sebenarnya yang dimiliki oleh negara merdeka
yang berdaulat, bahwa ia harus memiliki yurisdiksi atas semua orang dan benda di dalam
batas-batas wilayahnya dan dalam semua perkara baik perdata maupun pidana yang
timbul di wilayah tersebut. Jadi yurisdiksi merupakan atribut dasar dari kedaulatan dan
merupakan pengakuan dari keberadaan negara tersebut sebagai international legal
person.
a. Jenis Prinsip Teritorial
➢ Prinsip Teritorial Subjektif
Prinsip ini memperkenankan suatu negara untuk mengklaim dan menyatakan
yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang mulai dilakukan atau terjadi di
dalam wilayah negaranya walaupun berakhir atau diselesaikan di negara lain.
➢ Prinsip Teritorial Objektif
Prinsip ini memperkenankan suatu negara untuk mengklaim dan menyatakan
yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri (negara
lain), akan tetapi berakhir atau diselesaikan dan membahayakan negaranya
sendiri.
Contoh : seseorang yang berada di dalam wilayah negara A menembak orang lain
yang berada di wilayah negara B. Dalam hal ini, negara A mempunyai kewenangan
untuk memberlakukan yurisdiksinya berdasarkan prinsip teritorial subjektif.
Sedangkan negara B mempunyai kewenangan untuk memberlakukan yurisdiksinya
berdasarkan prinsip teritorial objektif.
b. Hubungan antara Wilayah dengan Kompetensi Yurisdiksi (Glanville Williams)
➢ Negara dimana perbuatan tersebut dilakukan biasanya mempunyai kepentingan
yang paling kuat untuk menghukum.
➢ Pelaku biasanya berada di negara tempat yang bersangkutan melakukan
perbuatannya.
➢ Pengadilan setempat mempunyai peluang tepat untuk mengadili karena
saksi-saksi dan juga mungkin barang bukti dapat ditemukan di tempat kejadian.
➢ Adanya fakta bahwa sistem hukum yang berbeda-beda antar negara.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 17


c. Yurisdiksi Negara di Laut
➢ Pembagian Zonasi Laut
❖ Wilayah Kedaulatan Negara
➔ Perairan Pedalaman
➔ Laut Teritorial
➔ Perairan Kepulauan
❖ Wilayah Yurisdiksi Nasional
➔ Zona Tambahan
➔ Perairan Zona Ekonomi Eksklusif
➔ Landas Kontinen
❖ Wilayah di Luar Yurisdiksi Nasional
➔ Laut Bebas
➔ Area
➢ Laut Teritorial
Di wilayah ini, kapal asing diberikan hak untuk melintas asalkan lintasan
tersebut bersifat damai. Hak tersebut dinamakan hak lintas damai (right of
innocent passage yang diatur dalam Pasal 17-26 UNCLOS 1982. Kapal semua
negara, baik negara pantai maupun negara tidak berpantai menikmati hak lintas
damai melalui laut teritorial suatu negara. Untuk hal-hal tertentu, lintas juga
mencakup berhenti dan buang sauh (jangkar), sepanjang hal berkaitan dengan
navigasi yang lazim atau perlu dilakukan karena force majeure atau mengalami
kesulitan atau guna memberi pertolongan kepada orang, kapal atau pesawat
udara yang dalam bahaya atau kesulitan. Dalam Pasal 19 UNCLOS 1982,
disebutkan bahwa lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi
kedamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai. Dalam melakukan lintas
damai, kapal selam dan kendaraan bawah air lainnya harus berlayar di atas
permukaan air dan menunjukkan benderanya, sebagaimana tercantum dalam
Pasal 20 UNCLOS 1982. Kapal bertenaga nuklir dan kapal yang mengangkut
nuklir atau bahan lain yang karena sifatnya berbahaya atau beracun harus
membawa dokumen dan mematuhi tindakan pencegahan khusus yang
ditetapkan oleh PI bagi kapal-kapal demikian. Bagi kapal-kapal privat berlaku
Pasal 27-28 UNCLOS 1982. Pasal 27 mengatur tentang yurisdiksi kriminal
diatas kapal asing yang sedang menikmati hak lintas damai, sedangkan Pasal 28
mengatur tentang yurisdiksi perdata yang mengatakan bahwa negara pantai

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 18


seharusnya tidak menghentikan atau merubah haluan kapal asing yang melintasi
laut teritorialnya untuk tujuan melaksanakan yurisdiksi perdata bertalian dengan
seseorang yang berada di atas kapal. Pasal 30 UNCLOS 1982 mengatur apabila
kapal perang tidak menaati peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan
oleh negara pantai mengenai lintas melalui laut teritorial tersebut yang
disampaikan kepadanya, maka negara pantai dapat menuntut kapal perang itu
segera meninggalkan laut teritorialnya.
➢ Zona Tambahan
Di dalam zona tambahan tidak berlaku kedaulatan negara pantai tetapi negara
pantai masih diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap
pelanggaran-pelanggaran bea cukai, fiskal, saniter, dan imigrasi. Hal ini diatur
dalam Pasal 33 UNCLOS 1982.
➢ Zona Ekonomi Eksklusif
Di ZEE, negara mempunyai hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan
eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati
maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah
dibawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan
eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus, dan
angin. Di samping itu, negara juga memiliki yurisdiksi berkenaan dengan
pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan, riset ilmiah
kelautan, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Di luar yurisdiksi
eksklusif negara pantai untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi SDA, negara
pantai tidak mempunyai kewenangan apapun. Pasal 58 UNCLOS 1982
mengatakan bahwa di ZEE, semua negara, baik negara pantai maupun tak
berpantai, menikmati, dengan tunduk pada ketentuan yang relevan, kebebasan
pelayaran dan penerbanga, serta kebebasan meletakkan kabel dan pipa di bawah
laut dan penggunaan laut lain yang sah menurut HI yang bertalian dengan
kebebasan-kebebasan ini.
➢ Landas Kontinen
Negara pantai menjalankan hak berdaulat di landas kontinen untuk tujuan
mengeksplorasinya dan mengeksploitasi sumber kekayaan alamnya. Hak
tersebut adalah eksklusif, dalam arti bahwa apabila negara pantai tidak
mengeksplorasi landas kontinen atau mengeksploitasi SDA, tiada seorangpun
dapat melakukan kegiatan itu tanpa persetujuan tegas dari negara pantai. Hak

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 19


negara pantai atas landas kontinen tidak mempengaruhi status hukum perairan
di atasnya atau ruang udara di atas perairan tersebut. Pelaksanaan hak negara
pantai atas landas kontinen tidak boleh mengurangi, atau mengakibatkan
gangguan apapun yang tak beralasan terhadap pelayaran dan hak serta
kebebasan lain yang dimiliki negara lain.
➢ Laut Bebas
Prinsip hukum yang berlaku di laut adalah freedom of the sea. Pelaksanaan
freedom of the sea diatur dalam Pasal 87 UNCLOS 1982 yang mengatakan
bahwa kebebasan di laut bebas berarti bahwa laut bebas dapat digunakan oleh
negara manapun. Tidak ada satupun negara yang dapat menundukkan kegiatan
manapun di laut bebas di bawah kedaulatannya dan laut bebas hanya digunakan
untuk tujuan-tujuan damai. Dengan adanya prinsip kebebasan di laut, maka
diperlukan serangkaian pengawasan untuk menjamin terlaksananya kebebasan
tersebut.
❖ Pengawasan Umum di Laut Bebas
Pengawasan umum yang dilakukan oleh kapal perang di laut bebas meliputi
pengawasan biasa, inspeksi ke atas kapal sampai penggunaan kekerasan
yang bertujuan untuk menjamin keamanan umum lalu lintas laut.
Kapal-kapal privat boleh diperiksa oleh kapal perang dari negara manapun,
sedangkan kapal publik hanya boleh dihentikan dan diperiksa oleh kapal
perang dari negara kebangsaan yang sama. Hal ini karena kapal-kapal
publik mempunyai kekebalan yang melekat di manapun dia berlayar
sehingga hanya negaranya sendirilah yang mempunyai kewenangan untuk
melaksanakan yurisdiksinya manakala kapal tersebut dicurigai telah
melakukan pelanggaran HI. Bagi kapal-kapal yang dicurigai telah
melakukan pelanggaran HI, kapal perang suatu negara dapat menghentikan
kapal tersebut dan melakukan pemeriksaan di atas kapal mengenai
surat-surat kelengkapan pelayaran atau bahkan juga pemeriksaan dapat
dilakukan lebih jauh dengan memeriksa seluruh kapal beserta muatannya.
Pemeriksaan ini disebut dengan right of visit (Pasal 110 UNCLOS 1982).
❖ Pengawasan Khusus di Laut Bebas
➔ Tabrakan kapal, berkaitan dengan tanggung jawab pidana atau disiplin
nahkoda atau setiap orang lainnya dalam dinas kapal, tidak boleh
diadakan penuntutan pidana atau disiplin terhadap orang-orang yang

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 20


demikian kecuali dihadapan peradilan atau pejabat administratif dari
negara bendera atau negara orang yang demikian itu menjadi WN.
➔ Pengangkutan budak belian, diatur dalam Pasal 99 UNCLOS 1982
bahwa setiap negara harus mengambil tindakan efektif untuk mencegah
dan menghukum pengangkutan budak belian dalam kapal yang
diizinkan untuk mengibarkan benderanya dan untuk mencegah
pemakaian tidak sah benderanya untuk keperluan itu. Dalam hal ini,
berlaku yurisdiksi negara bendera.
➔ Pemberantasan piracy atau perompakan, diatur dalam Pasal 100
UNCLOS 1982 bahwa semua negara harus bekerja sama sepenuhnya
dalam penindasan perompakan di laut bebas atau tempat lain manapun
di luar yurisdiksi suatu negara. Perompakan di laut adalah setiap
tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tidak
memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal
atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan
ditujuan di laut bebas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau
terhadap orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara
demikian; atau terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang
di suatu tempat di luar yurisdiksi negara manapun. Dalam hal ini,
berlaku asas universal.
➔ Perdagangan gelap narkotika, diatur dalam Pasal 108 UNCLOS 1982
bahwa semua negara harus bekerja sama dalam penumpasan
perdagangan gelap obat narkotika dan bahan-bahan psikotropis yang
dilakukan oleh kapal di laut bebas bertentangan dengan konvensi
internasional. Dalam hal ini, berlaku yurisdiksi negara bendera.
➔ Penyiaran gelap, diatur dalam Pasal 109 UNCLOS 1982 bahwa semua
negara harus bekerja sama dalam menumpas siaran gelap dari laut
bebas. Penyiaran gelap adalah transmisi dari suara radio atau siaran
televisi di laut bebas yang ditujukan untuk penerimaan oleh umum
secara bertentangan dengan peraturan internasional tetapi tidak
termasuk di dalamnya transmisi permintaan pertolongan. Dalam hal ini,
berlaku yurisdiksi negara tertentu.
➔ Hot pursuit (hak pengejaran seketika), hak tradisional yang sudah
diterima oleh masyarakat internasional yang dimana berdasarkan hak

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 21


ini, suatu negara di laut bebas dapat mengejar, menangkap dan
membawa ke pelabuhannya suatu kapal swasta asing yang telah
melakukan suatu perbuatan melanggar hukum di laut teritorial atau
perairan pedalamannya. Pasal 111 UNCLOS 1982 menyatakan bahwa
pengejaran seketika suatu kapal asing dapat dilakukan apabila pihak
yang berwenang dari negara pantai mempunyai alasan cukup untuk
mengira bahwa kapal tersebut telah melanggar peraturan
perundang-undangan negara itu. Pengejaran demikian harus dimulai
pada saat kapal asing atau salah satu dari sekocinya ada dalam perairan
pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial atau zona tambahan
negara pengejar, dan hanya boleh diteruskan di luar laut teritorial atau
zona tambahan apabila pengejaran itu tidak terputus.
d. Yurisdiksi Negara di Udara
Ruang gerak pesawat udara adalah transnasional (kecuali bagi pesawat udara
domestik) dan di dalamnya terkait berbagai kebangsaan sehingga masalah yurisdiksi
menjadi penting.
➢ The Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board
Aircraft
Disahkan pada tanggal 14 September 1963, yang biasa disebut sebagai
Konvensi Tokyo. Ruang lingkup konvensi ini hanya mengatur dan berlaku
terhadap kejahatan-kejahatan atau tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
seseorang di atas pesawat apapun yang di negara-negara peserta konvensi ketika
pesawat tersebut sedang in flight atau sedang berada di laut bebas atau di atas
wilayah yang bukan milik suatu negara. Konvensi ini tidak berlaku bagi pesawat
militer, bea cukai, atau yang digunakan untuk keperluan-keperluan polisi.
➢ Convention for The Suppression on Unlawful Seizure of Aircraft
Disahkan pada tanggal 16 Desember 1970, yang biasa disebut sebagai Konvensi
Den Haag 1970. Yang dimaksud dengan kejahatan adalah setiap bentuk
kejahatan yang dilakukan secara tidak sah dengan menggunakan kekerasan atau
ancaman atau intimidasi, merampas atau menguasai pesawat, atau
percobaan-percobaan untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut. Ketentuan
tentang yurisdiksi negara mengatakan bahwa setiap negara konvensi harus
mengambil tindakan yang perlu untuk melaksanakan yurisdiksinya terhadap

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 22


kejahatan-kejahatan dan setiap tindakan kekerasan terhadap penumpang atau
awak pesawat, dalam hal-hal:
❖ Manakala kejahatan tersebut dilakukan di atas kapal suatu negara dimana
pesawat didaftarkan di negara tersebut.
❖ Manakala pesawat itu mendarat di wilayahnya dan si pelaku masih berada
di pesawat tersebut.
❖ Manakala kejahatan tersebut dilakukan di atas pesawat yang diserahkan
kepada penyewa yang berkedudukan atau kegiatan bisnisnya, atau jika si
penyewa tidak mempunyai kedudukan bisnisnya, namun tempat tinggal
permanennya di negara tersebut.
➢ Convention for The Suppression of Unlawful Acts Against The Safety of Civil
Aviation
Disahkan pada tanggal 23 September 1971, yang biasa disebut sebagai
Konvensi Montreal 1971. Konvensi ini merupakan pelengkap dan memberi
perluasan pengertian terhadap beberapa ketentuan tertentu dengan maksud agar
si pelaku kejahatan tidak terlepas dari jangkauan hukum. Pengaturan tentang
yurisdiksi adalah bahwa setiap negara peserta konvensi harus melakukan
tindakan-tindakan yang perlu untuk melaksanakan yurisdiksi terhadap
kejahatan-kejahatan berikut.
❖ Manakala kejahatan dilakukan di wilayah negaranya.
❖ Manakala kejahatan dilakukan terhadap atau di atas pesawat udara yang
didaftarkan di negaranya.
❖ Manakala pesawat tempat terjadi kejahatan mendarat di wilayahnya dan si
pelaku kejahatan masih berada di dalam pesawat udara.
❖ Manakala kejahatan tersebut dilakukan terhadap atau di atas pesawat udara
yang disewa tanpa awaknya kepada penyewa yang tempat usahanya
berkedudukan atau jika si penyewa tidak memiliki tempat usaha seperti itu,
namun tempat tinggalnya di negara tersebut.

Beberapa possibility pengenaan yurisdiksi berkaitan dengan pesawat udara, yaitu


sebagai berikut.
● Negara pelaku kejahatan.
● Negara korban kejahatan.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 23


● Negara dimana kejadian berlangsung di dalam pesawat dimana didaftarkan.
● Negara di bawah dimana pesawat sedang melintas.
● Negara dimana pelaku kejahatan ditemukan.
● Negara dimana pesawat mendarat di saat pelaku masih di dalam pesawat.
● Negara dimana pelaku menjadi penduduk.
● Negara dimana kejahatan berlangsung (lex loci).

e. Pengecualian terhadap Yurisdiksi Teritorial


➢ Negara dan Kepala Negara Asing
Negara memiliki kekebalan atau imunitas dari yurisdiksi negara lain. Adapun
hal-hal yang menjadi dasar kekebalan negara terhadap yurisdiksi negara lain
adalah sebagai berikut.
❖ Adanya asas hukum par in parem non habit imperium, bahwa negara
berdaulat tidak akan melaksanakan kedaulatan di negara berdaulat yang
lain.
❖ Adanya prinsip resiprositas dan komitas, bahwa jika suatu negara
memberikan kekebalan kepada negara lain, maka negara lain akan
memberikan kekebalan yang sama kepada negara tersebut.
❖ Adanya fakta bahwa keputusan pengadilan suatu negara tidak dapat
dilaksanakan di negara lain.
❖ Bahwa suatu negara yang mengizinkan negara lain memasuki wilayahnya,
secara implisit juga telah memberikan kekebalan terhadapnya.
❖ Adanya fakta bahwa pokok perkara yang menyangkut kebijaksanaan suatu
pemerintah negara asing seyogyanya tidak diselidiki oleh
pengadilan-pengadilan negara lain.
Penguasa negara, terutama kepala negara diidentikan dengan negara. Mereka
mewakili atau bertindak untuk dan atas nama negaranya manakala melakukan
kunjungan ke negara lain, karena itu juga mereka memiliki kekebalan penuh
sebagaimana negaranya. Kekebalan yang dimiliki negara pada saat ini tidak
berlaku mutlak. Manakala negara tidak melakukan tindakan publik (iure
imperii) dan melakukan kegiatan privat (iure gestiones), maka kekebalan
tersebut tidak berlaku lagi karena kedudukan negara sama seperti pihak dalam
perjanjian kontrak.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 24


➢ Perwakilan Diplomatik dan Konsuler
Pengaturan pemberian kekebalan terhadap para diplomat penting untuk
memelihara hubungan antarnegara dan telah diterima di antara negara-negara
meskipun terdapat berbagai perbedaan budaya dan politik. Pemberian kekebalan
diplomatik berfungsi menjaga martabat (jati diri) atau mencegah perlakuan yang
memalukan seorang perwakilan negara asing. Selain diplomat, terdapat pula
lembaga konsul dimana tidak menangani masalah-masalah politik antara 2
negara. Konsul menjalankan beraneka ragam fungsi non-politis, seperti
mengeluarkan paspor dan visa, menjaga kepentingan perdagangan negaranya,
dll. Meskipun demikian, terdapat prinsip persona non grata yang diatur dalam
Pasal 9 Konvensi Wina 1961.
➢ Kapal Pemerintah Negara Asing
Berdasarkan Pasal 32 UNCLOS 1982, disebutkan bahwa tidak satupun
ketentuan dalam UNCLOS 1982 mengurangi kekebalan kapal perang dan kapal
pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial. Kekebalan
ini diberikan karena kapal pemerintah, terutama sekali kapal perang dianggap
sebagai perwakilan negaranya.
➢ Angkatan Bersenjata Negara Asing
Angkatan bersenjata merupakan salah satu organ negara dan memiliki status
yang khusus. Tetapi kekebalan tersebut tidak bersifat mutlak. Angkatan
bersenjata menikmati kekebalan tersebut sepanjang yang bersangkutan
melaksanakan tugas untuk negaranya dan bukan untuk maksud-maksud atau
kepentingan pribadi anggota angkatan bersenjata. Status serta imunitas yang
sama juga diberikan kepada pasukan keamanan PBB yang bertugas dalam upaya
memelihara perdamaian dan biasanya diberikan berdasarkan perjanjian dengan
negara yang bersangkutan.
➢ Organisasi Internasional
Kekebalan yang dimiliki oleh OI yang ada dalam wilayah suatu negara berbeda
dengan yang lain. Kekebalan yang diberikan kepada OI tergantung pada
perjanjian yang diadakan oleh OI tersebut dengan negara setempat dimana
organisasi tersebut berada.

7. Prinsip Yurisdiksi : Prinsip Personal (Nasionalitas)

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 25


Yurisdiksi dengan prinsip personal tergantung pada kualitas orang yang terlibat dalam
peristiwa hukum. Suatu negara dapat mengadili warga negaranya terhadap
kejahatan-kejahatan yang dilakukannya dimanapun juga. Dan ini bisa terjadi bila WN
tersebut memasuki wilayah negara tersebut, baik secara sukarela maupun akibat dari
tindakan ekstradisi. Hal ini disebut sebagai jurisdiction over the extra territorial crime.
Prinsip ini dipergunakan oleh negara untuk memberikan perlindungan kepada WN, baik
sebagai pelaku kejahatan maupun sebagai korban dari kejahatan yang terjadi di luar
wilayah negara tersebut.
a. Penerapan Prinsip Personal dalam Negara Civil Law System dan Negara
Common Law System
Negara-negara civil law system menerapkan prinsip ini secara luas yang artinya
bahwa negara memiliki yurisdiksi terhadap setiap bentuk kejahatan yang dilakukan
oleh WN. Sedangkan negara-negara common law system menerapkan prinsip ini
secara terbatas yang artinya hanya diterapkan untuk kejahatan-kejahatan yang sangat
serius.
b. Prinsip Personal Aktif
Berdasarkan prinsip ini, negara memiliki yurisdiksi terhadap WN yang melakukan
tindak pidana di luar negeri. Dalam hal ini, warga negara yang bersangkutan harus
diekstradisikan terlebih dahulu ke negaranya. Prinsip lain yang berhubungan dengan
hal ini adalah bahwa negara tidak wajib menyerahkan warga negaranya sendiri yang
telah melakukan kejahatan di luar negeri.
➢ Ekstradisi
Penyerahan seseorang yang telah dituduh melakukan pelanggaran dari satu
negara ke negara lain. Pengaturan ekstradisi biasanya melalui perjanjian
bilateral antar 2 negara. Perjanjian ekstradisi biasanya hanya berhubungan
dengan kejahatan yang serius dan menentukan kewajiban yang sama terhadap
kedua pihak yang berkepentingan.
➢ Penangkapan Ilegal
Pengadilan biasanya tidak memperhatikan cara-cara bagaimana seorang
terdakwa dihadapkan kepadanya. Apabila pelaku pelanggaran telah ditahan
dengan cara-cara yang tidak sah (misalnya penculikan dengan memakai
kekerasan paksa), hal ini tidak menghalangi pengadilan untuk melaksanakan
yurisdiksi pengadilan untuk memeriksa suatu kasus.
c. Prinsip Personal Pasif

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 26


Berdasarkan prinsip ini, negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili orang asing
yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri. Prinsip ini
membenarkan negara menjalankan yurisdiksinya jika seorang WN menderita
kerugian. HI mengakui penggunaan prinsip ini dengan beberapa pembatasan.
Pembenaran terhadap prinsip ini adalah bahwa setiap negara berhak melindungi
warga negaranya di luar negeri dan apabila negara teritorial dimana pelanggaran itu
terjadi tidak menghukum orang yang menimbulkan kerugian tersebut, maka negara
korban berwenang untuk menghukum pelanggaran tersebut, jika yang bersangkutan
berada dalam wilayahnya.

8. Prinsip Yurisdiksi : Prinsip Perlindungan


Suatu negara dapat melakukan yurisdiksinya terhadap WNA yang melakukan kejahatan
di luar negeri, yang diduga dapat mengancam kepentingan keamanan, integritas,
ekonomi dan kemerdekaan negaranya. Prinsip ini diberikan atas dasar perlindungan
terhadap kepentingan negara yang vital. Hal ini dibenarkan karena si pelaku bisa saja
melakukan suatu tindak pidana yang menurut hukum dimana ia tinggal tidak
dikategorikan sebagai tindak pidana, dan manakala ekstradisi terhadapnya tidak
dimungkinkan bila tindak pidana tersebut termasuk kejahatan politik. Dasar penggunaan
prinsip ini adalah:
➢ Akibat dari kejahatan tersebut mempunyai dampak yang luas bagi negara.
➢ Untuk menghindari lolosnya pelaku kejahatan karena kriteria kejahatan yang
berbeda-beda di antara negara-negara.
Contoh :
Pengaturan penyiaran gelap baru ada dalam UNCLOS tahun 1982, sebelum itu belum
ada satupun ketentuan HI yang mengaturnya. Pada tahun 1964, terjadi penyiaran gelap
yang dilakukan di Laut Utara, di luar wilayah kedaulatan negara-negara di sekitar Laut
Utara, seperti Inggris, Denmark, Belanda, dan Luxemburg. Pada saat itu, lebar laut
teritorial adalah 3 mil laut. Yang dimaksud dengan penyiaran gelap adalah siaran yang
dilakukan tanpa ijin dan kapal tersebut tidak mengibarkan bendera manapun.
Negara-negara yang merasa dirugikan dengan kejadian tersebut, kemudian memberikan
kuasa kepada Belanda untuk mengadili dan melaksanakan yurisdiksinya. Karena belum
ada ketentuan HI yang mengaturnya, Belanda mendalilkan gugatannya berdasarkan
prinsip perlindungan, dimana keamanan dan kedamaian negara-negara yang dapat
menerima transmisi siaran gelap tersebut merasa terganggu.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 27


9. Prinsip Yurisdiksi : Prinsip Universal
Setiap negara dapat melaksanakan yurisdiksi atas perbuatan pidana yang melanggar
kepentingan masyarakat internasional. Perbuatan ini disebut kejahatan hukum
internasional. Setiap negara mempunyai yurisdiksi untuk mengadili tindak kejahatan
seperti ini. Tujuan adanya yurisdiksi universal adalah untuk menjamin agar kejahatan
tidak lepas dari hukuman. Kejahatan yang termasuk dalam prinsip ini adalah kejahatan
yang dianggap bertentangan dengan persekutuan internasional, merupakan international
crime (delict jure gentium) yang berupa hostis humanis generis (melanggar nilai-nilai
kemanusiaan). Maryan Green mengatakan bahwa selain memiliki yurisdiksi,
negara-negara memiliki hak dan kewajiban untuk menghukumnya. Kejahatan
internasional yang tunduk pada yurisdiksi universal secara tradisional meliputi:
➢ Piracy (perompakan di laut bebas).
➢ War Crime (kejahatan perang).
➢ Crime of Genocide
➢ Slave trade
Pada saat ini, masyarakat internasional telah berhasil membuat suatu peradilan
internasional untuk mengadili para pelaku kejahatan-kejahatan serius dalam HI, yaitu
International Criminal Court (Mahkamah Pidana Internasional). Berbeda dengan ICJ
yang berlaku yurisdiksi negara, ICC berlaku yurisdiksi individu. Statuta Roma 1998
menjadi dasar yurisdiksi ICC mengatakan bahwa ICC memiliki yurisdiksi atas:
➢ Crime of Genocide
➢ Crime Against Humanity
➢ War Crimes
➢ Crime of Aggression

Bab III. Pengakuan (Recognition)

1. Pengakuan dalam HI
Recognition ia a political act with legal consequences. Dalam pengakuan, unsur-unsur
politik dan hukum sangat sulit untuk dipisahkan secara jelas karena pemberian dan
penolakan pengakuan oleh suatu negara sering dipengaruhi pertimbangan politik,
sedangkan akibatnya mempunyai akibat hukum. HI tidak mengharuskan negara untuk
mengakui suatu negara atau pemerintahan lain, sebaliknya juga bahwa suatu negara atau

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 28


pemerintah tidak mempunyai hak untuk menuntut pengakuan dari negara lain, sehingga
dalam hal ini pengakuan bersifat opsional. Dalam HI, yang dimaksud dengan pengakuan
adalah tindakan politis suatu negara untuk mengakui negara baru sebagai subjek HI yang
mempunyai akibat hukum tertentu. Fungsi pengakuan adalah untuk memberikan tempat
yang sepantasnya kepada suatu negara atau pemerintah baru sebagai anggota masyarakat
internasional.

2. Konsekuensi yang Timbul dari Pengakuan


a. Konsekuensi Politik
Kedua negara dengan leluasa mengadakan hubungan diplomatik.
b. Konsekuensi Hukum
➢ Evidence of the factual situation.
➢ Mengakibatkan akibat hukum tertentu dalam hubungan diplomatik (mutual
consent → Konvensi Wina 1961).
➢ Memperkukuh judicial standing negara yang diakui di hadapan pengadilan
negara yang mengakui.

3. Definisi Pengakuan
Recognition is the formal acknowledgment of the status of an independent state by other
existing states.
a. J.B. Moore
Makna pengakuan adalah sebagai suatu jaminan yang diberikan kepada negara baru
bahwa negara baru tersebut diterima sebagai anggota masyarakat internasional.
b. Lauterpacht dan Chen
Pemberian pengakuan merupakan suatu kewajiban hukum.
c. Ian Brownlie
Pengakuan merupakan tindakan publik negara (as a public act of state) adalah suatu
pilihan (optional) dan politis.
d. D.J. Harris
Suatu negara tetap negara meskipun belum atau tidak diakui sama sekali.

4. Teori Pengakuan
a. Teori Konstitutif

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 29


Teori ini berpendapat bahwa hanya dengan pengakuanlah negara baru dapat diterima
sebagai anggota masyarakat internasional dan karenanya memperoleh status sebagai
subjek HI. Dalam hal ini, pengakuan mempunyai kekuatan konstitutif. Melalui teori
ini, negara secara hukum baru ada bila telah mendapat pengakuan dari negara lain.
Lauterpacht menyatakan “a state is, and becomes an international person through
recognition only and exclusively”.
b. Teori Deklaratif
Teori ini lahir sebagai reaksi dari teori konstitutif. Pengakuan tidak menciptakan
suatu negara karena lahirnya negara semata-mata merupakan suatu fakta murni dan
pengakuan hanyalah berupa penerimaan suatu fakta. Pengakuan tidak mempunyai
akibat hukum. Selanjutnya ditegaskan bahwa begitu lahir suatu negara menjadi
anggota masyarakat internasional dan pengakuan hanya merupakan pengukuhan dari
kelahiran tersebut.
Meskipun kecenderungan praktik negara-negara lebih mengarah ke teori deklaratif tetapi
bukan berarti teori konstitutif salah sama sekali. Suatu negara atau pemerintah tidak akan
mendapatkan status hukum di negara lain kecuali negara tersebut diakui oleh negara
yang bersangkutan (teori konstitutif). Namun, hal ini tidak berarti bahwa negara atau
pemerintah tersebut tidak ada sama sekali (teori deklaratif). Jadi, suatu negara tetap ada
meskipun tidak diakui, namun negara tersebut hanya dapat mengadakan hubungan
dengan negara yang mengakuinya.

5. Jenis Pengakuan
a. Pengakuan de jure
Dinyatakan secara resmi dan secara hukum. Bersifat permanen dan tidak dapat
ditarik kembali.
Contoh : tahun 1936, Inggris mengaku secara de facto penaklukan Italia atas
Ethiopia dan kemudian diikuti pengakuan de jure di tahun 1938.
b. Pengakuan de facto
Recognition of state on territorial claims or control. Bersifat sementara dan dapat
ditarik kembali.
Contoh : tahun 1945, Indonesia telah mendapat pengakuan sebagai negara baru
meskipun saat itu masih ada agresi militer Belanda.

6. Bentuk Pengakuan

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 30


a. Pengakuan Negara Baru
Pernyataan dari suatu negara yang mengakui negara lain sebagai subjek HI.
Pengakuan berarti bahwa selanjutnya antara negara yang mengakui dan yang diakui
terdapat hubungan yang sederajat dan mereka dapat mengadakan hubungan kerja
satu sama lain untuk mencapai tujuan nasional masing-masing yang diatur oleh HI.
Konsekuensi → willingness to deal with the new state as a member of the
international community.
➢ Pengakuan Terang-Terangan secara Individual
Pengakuan diberikan langsung kepada negara baru oleh negara ketiga secara
jelas dan tegas. Pengakuan seperti ini berasal dari pemerintah atau organ yang
berwenang di bidang hubungan luar negeri. Cara yang paling sering dilakukan
adalah melalui nota diplomatik, suatu pernyataan atau telegram, atau suatu
perjanjian internasional.
Contoh : pengakuan timbal balik antara Italia-Vatikan melalui Treaty of Lateran
14 Februari 1949.
➢ Pengakuan Diam-Diam
Pengakuan ini sulit untuk diukur karena bersifat interpretatif. Pengakuan ini
dilakukan tanpa ada pernyataan, namun mengirimkan duta atau mengadakan
pembicaraan dengan pejabat resmi.
Contoh : Vatikan sering mengadakan hubungan dengan Israel pada tingkat duta
besar walaupun kedua negara ini tidak mempunyai hubungan diplomatik dan
baru pada tahun 1993 mengakui secara resmi.
➢ Pengakuan secara Kolektif
Pengakuan bersama-sama dengan masuknya suatu negara ke dalam suatu OI.
Pengakuan jenis ini diwujudkan dalam suatu PI atau konferensi multilateral.
Tetapi berbeda halnya, pada saat masuknya suatu negara menjadi anggota PBB
tidak berarti pengakuan kolektif dari negara-negara anggota PBB. Penerimaan
suatu negara sebagai anggota PBB hanya berarti bahwa negara tersebut telah
memenuhi syarat untuk keanggotaan PBB.
Contoh : negara-negara Eropa secara kolektif mengakui Bosnia dan
Herzegovina, Kroasia, dan Slovenia sebagai negara baru pecahan Yugoslavia.
➢ Pengakuan secara Prematur
Adakalanya suatu negara memberikan suatu pengakuan kepada negara baru
walaupun unsur-unsur konstitutif yang harus dimiliki oleh kesatuan yang baru

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 31


tersebut belum lengkap untuk menjadi suatu negara (negara tersebut telah
memiliki complete control of its territory tetapi belum mendapat pengakuan dari
negara induk).
Contoh : the recognition of Panama by the United States in 1903.
➢ Pengakuan Bersyarat
Pengakuan yang diberikan kepada suatu negara baru yang disertai dengan
syarat-syarat tertentu untuk dilaksanakan oleh negara baru tersebut sebagai
imbangan pengakuan.
Contoh : Bulgaria, Montenegro, Serbia, dan Rumania diakui oleh sekelompok
negara-negara Eropa dengan syarat tidak akan melarang warga negaranya
menganut agamanya.
b. Pengakuan Pemerintahan Baru
Suatu pernyataan dari suatu negara yang mengakui bahwa negara tersebut telah siap
dan bersedia berhubungan dengan pemerintahan yang baru diakui sebagai organ
yang bertindak untuk dan atas nama negaranya. The recognition of a government
implies that the regime in question is in effective control of a state. Pengakuan ini
penting karena suatu negara tidak mungkin melakukan hubungan resmi dengan
negara lain yang tidak mengakui pemerintahannya.
➢ Teori Pengakuan Pemerintahan Baru
❖ Doktrin Tobar (Doktrin Legitimas Konstitusional)
Suatu negara harus berusaha untuk tidak mengakui suatu pemerintah asing
bila pembentukan pemerintahan tersebut didasarkan atas kudeta militer atau
pemberontakan (inkonstitusional). Sebelum diakui setidak-tidaknya
pemerintah tersebut harus disahkan dulu secara konstitusional.
❖ Doktrin Estrada
Penolakan pengakuan adalah cara yang tidak baik karena bukan saja
bertentangan dengan kedaulatan suatu negara tetapi juga merupakan campur
tangan terhadap urusan dalam negeri negara lain. Penolakan tersebut juga
didasari pada teori diplomatic representation is to the state and not to the
government.
❖ Doktrin Stimson (Doctrine of Non-Recognition)
Art. 3 Anti War Pact of Non-Agression and Conciliation menyatakan bahwa
negara-negara tidak akan mengakui suatu wilayah yang diperoleh melalui

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 32


cara-cara yang tidak damai atau cara-cara abnormal atau pemilikan suatu
wilayah yang didapat dengan menggunakan Angkatan Bersenjata.
➢ Perbedaan Pengakuan Negara dan Pengakuan Pemerintah
❖ Pengakuan Negara
➔ Pengakuan terhadap suatu kesatuan baru yang telah memiliki
unsur-unsur konstitutif sebagai negara dan yang telah menunjukkan
kemauannya untuk melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai
anggota masyarakat internasional.
➔ Pengakuan negara sekali diberikan berlaku untuk selamanya dan tidak
dapat ditarik atau dicabut kembali.
❖ Pengakuan Pemerintah
➔ Pengakuan terhadap organ yang bertindak untuk dan atas nama
negaranya.
➔ Pengakuan pemerintah sewaktu-waktu dapat dicabut dan diberikan
kembali.
Apabila mengakui suatu negara, belum tentu mengakui pemerintah negara
tersebut. Akan tetapi, apabila mengakui pemerintah suatu negara, maka sudah
pasti mengakui negara tersebut juga. Bila pengakuan ditolak atau dicabut, maka
personalitas internasional negara tersebut tidak berubah karena perubahan suatu
pemerintahan tidak mempengaruhi personalitas internasional negara tersebut.
➢ Akibat Pengakuan terhadap Pemerintah Baru
❖ Pemerintah yang diakui selanjutnya dapat mengadakan hubungan resmi
dengan negara yang mengakui.
❖ Pemerintah yang diakui, atas nama negaranya, dapat menuntut negara yang
mengakui di peradilannya.
❖ Pemerintah yang mengakui dapat melibatkan tanggung jawab negara yang
diakui untuk semua perbuatan internasionalnya.
❖ Pemerintah yang diakui berhak untuk memiliki harta benda pemerintah
sebelumnya di wilayah negara yang mengakui.
c. Pengakuan Belligerent
➢ Memberikan kepada pihak pemberontak hak dan kewajiban sebagai negara
merdeka selama berlangsungnya peperangan.
➢ Angkatan perangnya adalah kesatuan yang sah sesuai dengan hukum perang dan
bukan para pembajak.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 33


➢ Peperangan antara kedua pihak harus sesuai dengan hukum perang (Hukum
Humaniter Internasional).
➢ Kapal-kapal perangnya adalah kapal perang yang sah.
➢ Blokade yang dilakukan di laut harus dihormati oleh negara-negara netral.
Di sisi lain, pemerintah pemberontak tidak dapat merundingkan perjanjian
internasional, tidak dapat menerima dan mengirim wakil-wakil diplomatik,
hubungan dengan negara-negara lain hanya bersifat informal. Mereka sebagai subjek
HI dalam bentuk terbatas, tidak penuh dan bersifat sementara.
d. Pengakuan Liberation Movement
Perhatian PBB terhadap National Liberation Movement dalam Resolusi Majelis
Umum PBB No. 3102 yang berbunyi “Urged that the national liberation movement
recognized by the various regional international organization concerned be invited
to participate in the Diplomatic Conference as observers in accordance with the
practice of the United Nations.” Akibat hukumnya adalah national liberation
movement dapat menjadi observer dalam forum-forum sidang PBB tetapi tidak
mempunyai hak suara.
Contoh : Resolusi Majelis Umum PBB No. 3237 tanggal 12 November 1974 yang
dimana PLO (Palestinian Liberation Organization) diberikan status sebagai
peninjau pada PBB.

7. Praktik Negara-Negara mengenai Pengakuan


➢ Praktik negara tampaknya mengalami keterlambatan dalam pengakuan dan
berbeda-beda satu dengan yang lain karena pengakuan merupakan masalah
kebijakan politik.
➢ Pengakuan suatu negara lain tidak mengakibatkan adanya kewajiban untuk menjalin
hubungan diplomatik penuh atau hubungan khusus lainnya dengan negara tersebut.
➢ Pemutusan hubungan diplomatik dengan sendirinya mengakibatkan penghentian
pengakuan (de-recognition), misalnya negara yang hilang akibat bencana alam.

Bab IV. Suksesi (Succession)

1. Dasar Hukum Suksesi Negara


➢ The 1978 Vienna Convention on Succession of States in respect of Treaties.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 34


➢ The 1983 Vienna Convention on Succession of States in respect of State Property,
Archives and Debts.

2. Definisi Suksesi Negara (State Succession)


➢ Pergantian dari predecessor state (negara yang digantikan) kepada successor state
(negara yang menggantikan) dalam hal kedaulatan (tanggung jawab) atas suatu
wilayah dalam hubungan internasional.
➢ Penggantian suatu negara oleh negara lain dalam hal tanggung jawab untuk
hubungan-hubungan internasional wilayah tersebut.
➢ Pengalihan hak-hak dan kewajiban negara-negara yang telah berubah atau
kehilangan identitasnya kepada negara-negara atau kesatuan-kesatuan lain,
perubahan atau kehilangan identitas terjadi terutama apabila berlangsung perubahan,
baik secara keseluruhan atau sebagian kedaulatan atas bagian-bagian wilayahnya.

3. Penyebab Terjadinya Suksesi Negara


Menurut Pasal 2 angka 1f, Pasal 15, Pasal 30 angka 1 dan Pasal 34 Konvensi Wina 1978,
suksesi negara terjadi karena berbagai sebab, yaitu:
➢ Apabila suatu wilayah negara atau suatu wilayah yang dalam hubungan
internasional menjadi tanggung jawab negara tersebut kemudian berubah menjadi
wilayah negara baru.
➢ Apabila negara pengganti sebagai negara baru (newly independent state) yang
beberapa waktu sebelum saat terjadinya suksesi merupakan wilayah yang tidak
bebas yang dalam hubungan internasional di bawah tanggung jawab negara-negara
yang digantikan.
➢ Negara yang terjadi sebagai akibat dari bergabungnya dua wilayah atau lebih
menjadi suatu negara merdeka.
➢ Terjadi sebagai akibat dipecah-pecahnya suatu negara menjadi beberapa negara baru.

4. Permasalahan Suksesi Negara


Dalam masalah suksesi negara, yang dimasalahkan terutama adalah mengenai
pemindahan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari negara yang telah berubah atau
kehilangan identitasnya kepada negara atau satuan lainnya yang menggantikannya.
Perubahan atau hilangnya identitas itu disebabkan oleh perubahan seluruh atau sebagian
dari kedaulatan negara itu.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 35


5. Prinsip Suksesi Negara
➢ Perubahan kedaulatan atas wilayah melalui perolehan kedaulatan wilayah negara
lain, baik seluruh atau sebagian pada waktu yang bersamaan.
➢ Negara yang mengambil alih tunduk pada HI.
➢ Dengan mutasi teritorial, tidak berakibat unsur konstitutif suatu negara menjadi
hilang → reorganisasi dari masing-masing entitas.
➢ Negara pengganti (successor state) melanjutkan hak-hak dan kewajiban
internasional yang diemban oleh negara yang diganti (predecessor state).
➢ Penggantian negara dalam hal perjanjian internasional (Konvensi Wina 1978).
➢ Penggantian negara dalam hal harta, arsip, hutang negara (Konvensi Wina 1983).

6. Teori Suksesi Negara


a. The Common Doctrine
Disebut pula acquired rights doctrine, dimana segala hak dan kewajiban predecessor
state lenyap dan digantikan oleh successor state. Negara pengganti (successor state)
melanjutkan hak-hak dan kewajiban internasional yang diemban oleh negara yang
diganti (predecessor state). The rights and obligations of a predecessor state
switched to a successor state.
b. The Clean State Doctrine
Disebut pula free choice doctrine, dimana successor state akan memulai hidupnya
dengan hak-hak dan kewajiban yang sama sekali baru. Succession of a state should
start with a new state. All the rights and obligations of the predecessor is not
switched on unless the successor pleases to do so.
c. Devolution Agreement
Dalam praktik negara, masalah suksesi negara diselesaikan melalui perjanjian
penyerahan kedaulatan (devolution agreement) antara negara pengganti dengan
negara yang diganti. Pada umumnya, perjanjian ini memuat hak-hak dan
kewajiban-kewajiban apa yang saja yang dilanjutkan atau diberhentikan secara
tegas.
Contoh : Konferensi Meja Bundar 1949 antara Indonesia dengan Belanda.

7. Jenis Suksesi Negara


a. Universal Succession

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 36


Bilamana suksesi terjadi terhadap seluruh wilayah suatu negara. Wilayah suatu
negara habis terbagi-bagi yang masing-masing bagian diambil oleh negara-negara
lain. International identity dari suatu negara hilang karena seluruh wilayahnya
hilang.
Contoh : pada tahun 1832, Colombia pecah menjadi 3 negara, yaitu Venezuela,
Ekuador, dan New Granada.
b. Partial Succession
Bilamana suksesi negara hanya meliputi bagian tertentu saja dari wilayah suatu
negara. Predecessor state masih eksis, tetapi sebagian wilayahnya memisahkan diri
menjadi negara merdeka atau bergabung dengan negara lain.
Contoh : keluarnya Timor Timur dari Indonesia yang kemudian membentuk negara
Timor Leste (Indonesia sebagai predecessor state tetap eksis, hanya saja kehilangan
sebagian wilayahnya).

8. Bentuk Suksesi Negara


➢ Sebagian wilayah negara A bergabung dengan negara B, atau dibagi menjadi negara
B, C, D, dst.
➢ Sebagian wilayah negara A menjadi negara baru.
➢ Seluruh wilayah negara A menyatu dengan negara B (negara A tidak eksis lagi).
➢ Seluruh wilayah negara A terbagi-bagi dan masing-masing menyatu dengan negara
A, B, C, dst. (negara A tidak eksis lagi).
➢ Seluruh wilayah negara A terbagi-bagi menjadi negara-negara baru (negara A tidak
eksis lagi).
➢ Seluruh wilayah negara A menjadi bagian dari suatu negara baru (negara A tidak
eksis lagi).

Contoh suksesi negara yang sudah ada:


● Uni Soviet menjadi Federasi Rusia.
● Yugoslavia menjadi Kroasia, Slovenia, Bosnia-Herzegovina, Montenegro, Serbia,
Kosovo, dan Makedonia.
● Belgia memisahkan diri dari Belanda.
● Bangladesh memisahkan diri dari Pakistan.
● Timor Leste memisahkan diri dari Indonesia.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 37


● Dekolonisasi → kemerdekaan Pakistan dan India dari Inggris.
● Republik Arab Yaman bergabung dengan Republik Demokrasi Rakyat Yaman
menjadi Republik Yaman.
● Republik Demokrasi Jerman bergabung dengan Republik Federal Jerman dan
diakui sebagai Republik Federal Jerman.

9. Akibat Hukum (Legal Consequences) Suksesi Negara


a. Suksesi Negara - Status Individu
Terjadinya mutasi teritorial membuat negara pengganti memberikan
kewarganegaraannya kepada penduduk dari wilayah yang mengalami suksesi dalam
2 kemungkinan penggantian kewarganegaraan, yaitu:
➢ Bersifat kolektif atau plebisit, yaitu konsultasi bagi seluruh anggota masyarakat
untuk mengetahui apakah mereka menerima atau menolak aneksasi. Sistem ini
berubah menjadi referendum sebagai cara langsung bagi rakyat untuk
menentukan nasib sendiri.
➢ Bersifat individual, yaitu hak untuk memilih (opsi) adalah hak para penduduk
dari wilayah yang diduduki untuk memilih antara kewarganegaraan dari negara
sebelumnya atau dari negara pengganti. Pelaksanaan prinsip ini merupakan
akibat dari perjanjian-perjanjian perdamaian dari PD I dan PD II.
b. Suksesi Negara - Hak dan Kewajiban dalam Traktat atau PI
Satu aspek penting dalam suksesi negara adalah pengaruh pergantian kedaulatan
terhadap hak-hak dan kewajiban yang muncul dari suatu perjanjian. Pasal 17 dan 24
Konvensi Wina 1978 menetapkan bahwa perjanjian tidak beralih pada suksesor
kecuali ditentukan lain dalam devolution agreement. Dalam hal perjanjian yang
isinya semata-mata merupakan kodifikasi dari prinsip-prinsip yang sudah dikenal
dalam kebiasaan internasional, maka negara suksesor akan terikat pada
prinsip-prinsip tersebut sebagaimana negara-negara lain. Apabila sebuah negara
lenyap karena kehilangan semua wilayahnya, maka tidak ada hak-hak dan
kewajiban-kewajiban traktat yang beralih kepada negara suksesor dengan
perkecualian:
➢ Traktat-traktat yang secara langsung berkenaan dengan wilayah yang telah
berganti pemilik.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 38


➢ Konvensi-konvensi multilateral berkaitan dengan kesehatan, narkotika, dan
HAM.
Apabila negara lama tidak lenyap sama sekali, misalnya hanya sebagian wilayah
yang hilang, maka beralihnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban traktat akan
bergantung pada sifat hakikat traktat tersebut. Pasal 15 Konvensi Wina 1978
menentukan apabila bagian wilayah tersebut dimasukkan ke dalam wilayah negara
lain, maka:
➢ Traktat-traktat negara yang digantikan tidak berlaku lagi dalam kaitan wilayah
yang beralih tersebut.
➢ Traktat-traktat negara suksesor harus berlaku di wilayah yang beralih tersebut.
Selain itu, terdapat pula novasi, yaitu persetujuan baru antara negara baru, negara
pendahulu, negara pengganti, dan pihak-pihak lain dalam PI untuk penggantian hak
dan kewajiban dalam PI. Namun, hak ini bersifat opsional dan tidak wajib.
c. Suksesi Negara - Hak dan Kewajiban Kontraktual Non-Keuangan
Belum ada ketentuan yang pasti, tetapi terdapat beberapa prinsip-prinsip sebagai
berikut.
➢ Suatu hak kontraktual yang semata-mata bersifat tuntutan terhadap kerugian
yang tidak dapat dihapuskan dan tidak dapat juga diberlakukan sebagai suatu
hak kontraktual semua terhadap negara predesesor maupun suksesor (misalnya
dengan alasan keuntungan yang diambil oleh negara-negara ini), maka hak-hak
dan kewajiban-kewajiban kontraktual tersebut tidak bisa dipertahankan dengan
adanya perubahan kedaulatan. Tetapi apabila tersangkut beberapa unsur kontrak
semua, misalnya memperkaya diri sendiri secara tidak pada tempatnya terhadap
negara lama atau negara suksesor, maka hak dan kewajiban yang berkaitan
dapat dipertahankan.
➢ Hak kontraktual yang sifatnya hak tetap (vested) atau hak yang diperoleh
(acquired) yang semestinya dihormati oleh negara suksesor.
d. Suksesi Negara - Kontrak-Kontrak Konsesional
Dalam praktik, terdapat anggapan kewajiban-kewajiban berdasarkan
kontrak-kontrak konsesi berakhir karena adanya perubahan kedaulatan yang
disebabkan oleh lenyapnya negara lama. Yang terjadi tidaklah demikian, karena
pemegang konsesi selalu diberi hak untuk memperoleh ganti rugi atas dasar
syarat-syarat yang adil karena kehilangan hak-haknya, termasuk kehilangan hak-hak
pelaksanaan sehingga dengan demikian hak-hak ini berakhirnya hanya tunduk

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 39


kepada suatu kewajiban negara suksesor untuk memberikan ganti rugi yang layak.
Negara suksesor berkewajiban untuk menghormati kontrak-kontrak yang dibuat oleh
negara yang digantikan dengan pihak pemegang konsesi (konsesionaris).
e. Suksesi Negara - Kekayaan atau Aset Negara
Kekayaan negara yang meliputi gedung-gedung dan tanah-tanah milik negara,
dana-dana pemerintah yang tersimpan di bank, alat-alat transportasi milik negara,
pelabuhan-pelabuhan, dan sejenisnya beralih kepada negara pengganti (successor
state) dengan perhitungan dibagi rata sesuai kesepakatan successor state.
f. Suksesi Negara - Barang-Barang dan Hutang Publik
Menurut Pasal 36 Konvensi Wina, suksesi negara tidak mempengaruhi hak dan
kewajiban seperti kreditur-kreditur. Suatu perjanjian antara negara yang digantikan
dan negara suksesor yang mengatur bagian-bagian utang-utang negara yang harus
beralih tidak dapat diserahkan kepada kreditur ketiga atau organisasi internasional
kreditur. Dalam hal tidak ada perjanjian, harus beralih dalam proporsi yang adil,
menyangkut harta benda. Hak-hak dan kepentingan-kepentingan yang beralih
kepada negara-negara suksesor dalam hubungannya dengan utang yang relevan
(Pasal 37). Dalam hal perjanjian tidak boleh melanggar prinsip kedaulatan dari
rakyat terhadap kekayaan dan SDA, juga pelaksanaannya tidak boleh
membahayakan keseimbangan ekonomi yang fundamental dari negara tersebut
(Pasal 38).
g. Suksesi Negara - Arsip Negara
Pasal 21 Konvensi Wina 1983 menetapkan bahwa arsip dari negara predecessor
beralih pada negara suksesor saat terjadi suksesi.
h. Suksesi Negara - Hak-Hak Privat dan Hukum Nasional
Pada prinsipnya, suksesor wajib untuk menghormati privat property yang telah
diperoleh di bawah hukum predecessor. Kelanjutan hak-hak perseorangan tersebut
berlaku selama perundang-undangan negara suksesor tidak menyatakan lain, dalam
hal menghapus atau menggantikannya. Penghapusan atau perubahan tentang privat
property tersebut tidak bertentangan dengan atau melanggar kewajiban HI,
khususnya mengenai perlindungan diplomatik. Privat property yang
bermacam-macam jenisnya memerlukan perumusan diantara para pihak untuk jenis
properti.
i. Suksesi Negara - Tuntutan atas PMH atau Perbuatan Pidana (Delik)

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 40


Negara suksesor tidak terikat untuk menghormati suatu tuntutan yang tidak dapat
dinilai dengan uang bagi kerugian-kerugian akibat PMH. Namun, apabila jumlah
tuntutan dapat dinilai dengan uang melalui perjanjian antar para pihak atau melalui
suatu keputusan, dan dalam hal tidak adanya pernyataan ketidakadilan atau
ketidakwajaran, maka negara suksesor terikat untuk memenuhi jumlah tuntutan yang
tersebut.
j. Suksesi Negara - Keanggotaan pada Organisasi Internasional
Masalah keanggotaan suatu negara di OI maupun regional ditentukan oleh konstitusi
masing-masing organisasi. Sebagai contoh, PBB menetapkan bahwa keanggotaan
suatu negara di PBB tidak akan terhenti hanya karena terjadinya perubahan atau
pergantian konstitusi atau perbatasan (teritorial). Untuk negara baru, maka negara ini
harus mengikuti aturan yang berlaku untuk negara baru, yaitu mendaftarkan diri
sebagai anggota baru kecuali telah ada izin sesuai ketentuan yang terdapat pada
Piagam PBB.

10. Hubungan Suksesi Negara dengan Pengakuan


Bilamana suksesi negara universal (negara hilang), identitas internasional negara tersebut
menjadi hilang dan pengakuan otomatis gugur. Bilamana suksesi negara parsial (negara
lama tidak kehilangan identitas internasional), maka dalam hal ini berlaku asas
kontinuitas negara (continuity of state principle).

11. Suksesi Pemerintahan


Suksesi pemerintahan lebih berkaitan dengan persoalan intern suatu negara dan prinsip
yang dipakai adalah prinsip kontinuitas. Meskipun terjadi perubahan-perubahan intern
dalam organisasi pemerintahan, atau dalam struktur konstitusional negara tertentu,
namun negara tersebut tetap terikat pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban menurut HI,
termasuk hak-hak dan kewajiban-kewajiban traktat. Setiap pemerintah pengganti
(successiv government) secara hukum, bertanggung jawab atas tindakan-tindakan
pemerintah sebelumnya.

Bab V. Tanggung Jawab Negara (State’s Responsibility)

1. Hakekat Tanggung Jawab Negara

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 41


Tanggung jawab adalah kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan
atas suatu hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian
yang ditimbulkannya. Tanggung jawab negara adalah seperangkat aturan umum yang
mengatur konsekuensi HI atas pelanggaran yang dilakukan oleh negara terhadap
kewajiban HI. Tanggung jawab negara pada hakikatnya akan menyentuh persoalan
hakiki dari negara, yaitu pelanggaran kedaulatan yang dilakukan oleh negara berdaulat
yang lain.

2. Karakteristik Tanggung Jawab Negara


a. Adanya suatu kewajiban HI yang berlaku antara dua negara tersebut.
b. Adanya perbuatan/kelalaian yang melanggar kewajiban HI yang melahirkan
tanggung jawab negara (internationally wrongful acts of a state).
Suatu negara bertanggung jawab berdasarkan tindakan (acts) atau kelalaian
(omissions). Tindakan tersebut dapat dipertautkan (attributable) pada negara tersebut
dan merupakan pelanggaran terhadap kewajiban internasional, baik yang lahir dari
PI maupun dari ketentuan HI lainnya.
c. Adanya kerusakan/kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar
hukum atau kelalaian.
Sampai akhir abad ke-20, untuk adanya tanggung jawab negara, harus ada unsur
kerusakan atau kerugian (damage or loss) pada pihak atau negara lain. Namun, saat
ini tidak perlu lagi adanya unsur kerugian untuk mencari tanggung jawab negara
karena negara-negara tersebut pada dasarnya telah melanggar prinsip-prinsip HI.
Contoh : pelanggaran terhadap HAM dalam Pasal 24 Konvensi HAM Eropa
disebutkan setiap negara peserta diperbolehkan mengajukan keberatan tanpa harus
ada kerugian.
Perbuatan melanggar HI yang dilakukan oleh negara menimbulkan tanggung jawab
negara untuk mengadakan pemulihan yang dapat berupa:
➢ Satisfaction, yaitu bentuk permintaan maaf yang sungguh-sungguh dan janji untuk
tidak mengulangi perbuatan yang sama di kemudian hari.
➢ Pecuniary reparation, manakala timbul kerugian materiil dari tindakan negara
tersebut, maka tanggung jawab menjadi bertambah satu lagi, yaitu memberikan
sejumlah ganti rugi.
Namun, untuk tanggung jawab negara di bidang pidana tidaklah diatur.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 42


3. Prinsip Tanggung Jawab Negara
Pertanggungjawaban negara berkaitan erat dengan suatu keadaan bahwa terhadap prinsip
fundamental dari HI, negara atau pihak yang dirugikan menjadi berhak untuk
mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya. Oleh karena itu,
pertanggungjawaban negara akan berkenaan dengan penentuan tentang atas dasar apa
dan pada situasi yang bagaimana negara dapat dianggap telah melakukan tindakan yang
salah secara internasional. Pertanggungjawaban negara sebagai apa yang secara hukum
harus dipertanggungjawabkan kepada suatu pihak harus dapat dibedakan dengan
pengertian “liability” sebagai kewajiban untuk mengganti kerugian atau perbaikan atas
kerusakan yang terjadi. Oleh karena itu, pertanggungjawaban tidak selalu harus jatuh
bersamaan dengan memberi ganti rugi dan memperbaiki kerusakan. Apa yang secara
hukum harus dapat dipertanggungjawabkan merupakan suatu kewajiban hukum, yaitu
bahwa suatu tingkah laku harus sesuai dengan apa yang diminta oleh hukum untuk
ditaati. Pertanggungjawaban negara mempunyai kaitan erat dengan hak dan kewajiban
dasar negara. Tanggung jawab negara merupakan konsekuensi dari adanya hak, dan
sepanjang hak itu mempunyai sifat internasional, ia akan melahirkan tanggung jawab
internasional yang mengakibatkan adanya keharusan untuk mengadakan perbaikan.

4. Tanggung Jawab menurut HI dan HN


Tanggung jawab negara menurut HI hanya timbul karena pelanggaran HI.
Pertanggungjawaban ini tetap timbul meskipun menurut HN negara yang bersangkutan
perbuatan itu tidak merupakan perbuatan melanggar hukum. Perbedaan itu mungkin
disebabkan karena perbuatan tersebut menurut HN negara yang bersangkutan tidak
ditetapkan sebagai perbuatan yang melanggar hukum atau karena pelaku perbuatan itu
menurut HN negara yang bersangkutan tidak menimbulkan tanggung jawab negara.
Akibat dari perbedaan pertanggungjawaban negara menurut HI dan HN adalah bahwa
suatu negara tidak dapat menghindari pertanggungjawaban internasionalnya berdasarkan
kebenaran HN. Suatu negara tidak dapat menjadikan HN sebagai alasan untuk
menghindari pertanggungjawaban yang telah ditetapkan oleh HI.

5. Macam-Macam Tanggung Jawab Negara


a. Tanggung Jawab Negara atas PMH (Delictual Liability)
Tanggung jawab ini lahir dari setiap kesalahan atau kelalaian negara terhadap orang
asing di dalam wilayahnya atau wilayah negara lain.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 43


➢ Eksplorasi Ruang Angkasa
Negara peluncur satelit selalu bertanggung jawab terhadap setiap kerugian yang
disebabkan oleh satelit terhadap benda-benda (objek) di wilayah negara lain.
Sistem pertanggungjawabannya adalah tanggung jawab absolut. Yang menjadi
latar belakang tanggung jawab absolut ini adalah karena kegiatan-kegiatan
tersebut mengandung risiko bahaya yang tinggi (a highly hazardous activity).
Hal ini diatur dalam Pasal 11 Liability Convention 1972.
➢ Eksplorasi Nuklir
Negara bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan yang disebabkan oleh
kegiatan-kegiatan dalam bidang eksplorasi nuklir. Sistem
pertanggungjawabannya adalah tanggung jawab absolut. Dalam hal ini, tidaknya
penting apakah negara tersebut sebelumnya telah melakukan tindakan-tindakan
pencegahan terhadap kerugian tetap terjadi.
➢ Kegiatan Lintas Batas Internasional
Latar belakang lahirnya tanggung jawab negara terhadap hal ini adalah bahwa
setiap negara harus mengawasi dan mengatur setiap kegiatan di dalam
wilayahnya, baik yang bersifat publik maupun perdata yang sekiranya
kegiatan-kegiatan tersebut dapat melintasi batas negaranya dan menimbulkan
kerugian bagi negara lain. Sistem tanggung jawabnya bergantung pada bentuk
kegiatan yang dilakukan. Jika kegiatan tersebut mengandung bahaya tinggi,
maka tanggung jawabnya bersifat mutlak, tetapi apabila kegiatan tersebut
bersifat normal atau biasa, maka yang berlaku adalah tanggung jawab
berdasarkan kelalaian.
b. Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Perjanjian (Contractual Liability)
Tanggung jawab seperti ini dapat terjadi terhadap suatu negara manakala yang
bersangkutan melanggar suatu perjanjian atau kontrak.
➢ Pelanggaran Perjanjian
Suatu negara dapat saja melanggar suatu perjanjian yang dibuat dengan negara
lain yang mengakibatkan kerugian terhadap negara tersebut. Dalam HI,
pelanggaran terhadap perjanjian melahirkan kewajiban untuk membayar ganti
rugi. Masyarakat internasional menganggap bahwa pelanggaran semacam ini
merupakan suatu kelalaian negara yang sangat serius. Perbuatan tersebut
mengurangi kepercayaan negara-negara terhadap negara tersebut, serta
merupakan pelanggaran terhadap doktrin pacta sunt servanda.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 44


➢ Pelanggaran Kontrak
Suatu negara dapat mengadakan kontrak-kontrak dengan orang atau perusahaan
asing untuk berbagi tujuan. Dan kemungkinan pelanggaran terhadapnya oleh
salah satu pihak atau organ atau pejabat negara dapat saja terjadi. Kewajiban
negara dalam berkontrak sama dengan kewajiban para pihak pada umumnya.
Secara umum, negara tidak bertanggung jawab atas segala tindakan yang
dilakukan oleh perorangan yang tidak bertindak atas nama negaranya.
c. Tanggung Jawab Negara atas Hutang Negara
Dalam kehidupan masyarakat internasional, adakalanya negara berhutang kepada
negara lain dalam rangka memenuhi kehidupan bangsanya. Hutang negara yang
tidak dapat dibayar dapat menimbulkan tuntutan atas pertanggungjawaban negara
tersebut.
➢ Teori Lord Palmerston
Negara kreditur berhak mengadakan campur tangan secara diplomatik dan juga
lebih jauh lagi, melakukan intervensi bersenjata terhadap negara debitur yang
tidak membayar hutangnya.
➢ Teori Drago
Negara kreditur tidak berhak menggunakan kekerasan, seperti aksi militer
terhadap negara debitur yang tidak membayar hutangnya. Negara dilarang
menggunakan kekuatan bersenjata untuk menagih hutang perdata kepada negara
lain.
➢ Teori yang paling banyak diterima
Kewajiban negara debitur sama dengan kewajiban negara menurut hukum
perjanjian pada umumnya.
d. Tanggung Jawab Negara atas Konsesi dan Exhaustion of Local Remedies
Konsesi adalah pemberian hak, izin, atau tanah oleh pemerintah, perusahaan,
individu, atau entitas legal lain. Klausula Calvo menetapkan bahwa penerima
konsesi melepaskan perlindungan pemerintah negara kewarganegaraannya dalam
sengketa yang timbul dari perjanjian tersebut dan bahwa sengketa yang timbul dari
perjanjian tersebut harus diajukan ke peradilan nasional negara pemberi konsesi dan
tunduk pada hukum nasional negara tersebut. Menurut HI, klausula Calvo ini dapat
dibenarkan bila dimaksudkan agar penerima konsesi menggunakan peradilan negara
yang bersangkutan sebelum campur tangan negaranya. Namun, bila dimaksudkan
untuk menghapus hak negara dalam melindungi warga negaranya ataupun untuk

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 45


mengikat negara lain agar tidak campur tangan atas pelanggaran HI yang dilakukan,
berdasarkan HI klausula itu batal. Sejalan dengan klausula Calvo, dalam HI dikenal
dengan adanya exhaustion of local remedies. Sehubungan dengan lahirnya tanggung
jawab negara ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum
diajukannya klaim/tuntutan ke pengadilan internasional, langkah-langkah
penyelesaian sengketa (local remedies) yang tersedia atau yang diberikan oleh
negara tersebut harus terlebih dahulu ditempuh (exhausted) → Pasal 22 ARSIWA.
Tindakan ini dilakukan baik untuk memberi kesempatan kepada negara yang
bersangkutan untuk memperbaiki kesalahannya menurut sistem hukumnya dan
untuk mengurangi tuntutan-tuntutan internasional. Prinsip-prinsip diterapkannya
exhaustion of local remedies adalah sebagai berikut.
➢ Local remedies dianggap tidak cukup dan tidak perlu digunakan jika pengadilan
setempat tidak menunjukkan akan memberikan ganti rugi.
➢ Seorang penuntut tidak perlu menggunakan upaya penyelesaian setempat
manakala upaya tersebut tidak ada.
➢ Apabila kerugian disebabkan oleh tindakan eksekutif pemerintah setempat yang
tidak tunduk pada yurisdiksi pengadilan setempat.
➢ Negara-negara dapat menyatakan bahwa upaya penyelesaian setempat (local
remedies) dapat diindahkan, meskipun tidaklah jelas apakah suatu perjanjian
yang dibuat di antara negara-negara yang bersengketa untuk membawa
kasusnya diselesaikan melalui arbitrase merupakan pengindahan local remedies
secara diam-diam.
e. Tanggung Jawab Negara atas Ekspropriasi
Ekspropriasi adalah pencabutan hak milik perorangan untuk kepentingan umum
yang disertai dengan pemberian ganti rugi. Pada abad ke-19, setiap ekspropriasi atas
hak milik WNA dianggap merupakan dasar bagi tuntutan internasional. Tetapi pada
abad ke-20, ekspropriasi atas hak milik asing untuk kepentingan umum tidak lagi
dianggap bertentangan dengan HI bila dilakukan sesuai dengan pengumuman politik
dalam negeri negara tersebut dan dilakukan tanpa pembedaan antara WN tersebut
dan WNA. Ekspropriasi yang melanggar HI mewajibkan negara membayar ganti
rugi sebagaimana ekspropriasi yang sah dan juga membayar ganti rugi atas setiap
kerugian yang diderita oleh pihak yang dicabut hak miliknya. Ekspropriasi yang
dilakukan oleh suatu negara dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 46


➢ Tidak dilaksanakannya hak-hak kepemilikan perusahaan oleh negara yang
bersangkutan.
➢ Untuk kepentingan umum (public purposes)
❖ Ganti rugi yang pantas (appropriate compensation). Suatu pengambilalihan
perusahaan asing dapat dibenarkan manakala tindakan itu dilakukan dengan
ganti rugi yang prompt, adequate dan effective.
❖ Ganti rugi dilakukan menurut prinsip ganti rugi yang pantas (fair
compensation).
➢ Non-diskriminasi
Tindakan ekspropriasi yang dilakukan oleh negara dapat dikatakan tidak berdasar
pada hukum karena beberapa hal sebagai berikut.
➢ Bersifat diskriminatif, hanya ditujukan kepada nasionalitas tertentu.
➢ Ketidakmampuan negara yang bersangkutan untuk menyediakan kompensasi
yang adil.
➢ Ekspropriasi yang tidak sejalan dengan hukum, maka ganti rugi tidak lagi
disebut kompensasi, tetapi ganti rugi atas kerusakan yang diderita.
f. Tanggung Jawab Negara atas Kejahatan Internasional
Pertanggungjawaban negara juga dapat timbul manakala negara melakukan suatu
perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan internasional (international
deliquency). Kejahatan internasional adalah pelanggaran kewajiban internasional
negara yang bukan merupakan pelanggaran kewajiban berkontrak.
Pertanggungjawaban negara dalam hal ini banyak berkaitan dengan pelanggaran hak
WNA, misalnya pelanggaran terhadap hak milik ataupun pribadi WNA, penahanan
yang tidak semestinya, penolakan peradilan dsb. Dengan kata lain,
pertanggungjawaban negara tersebut menyangkut perlindungan WNA. Untuk
menentukan adanya pertanggungjawaban negara atas kejahatan internasional, dalam
HI dikenal adanya imputability doctrine yang mengatakan bahwa kejahatan yang
dilakukan petugas negara atau orang yang bertindak untuk dan atas nama negaranya
dapat dibebankan kepada negara sehingga menimbulkan tanggung jawab negara.
Akan tetapi, doktrin ini tidak berlaku mutlak atau ada batas-batasnya. Pembebanan
tersebut dapat terjadi apabila:
➢ Perbuatan yang dilakukan oleh petugas tersebut merupakan pelanggaran atas
kewajiban yang ditetapkan oleh HI.
➢ HI membebankan kewajiban itu kepada negaranya.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 47


Berkaitan dengan imputability doctrine ini, setelah PD II muncul individual
responsibility yang berkaitan dengan kejahatan-kejahatan yang dikategorikan
international crime. Bahwa seseorang kepala negara atau pejabat negara misalnya
melakukan kejahatan perang, tidak dapat menghindarkan diri dari tanggung jawab
individualnya dengan dalih bahwa yang dia lakukan untuk dan atas nama negara
(pembelaan tersebut hanya dapat meringankan hukuman bagi yang bersangkutan,
bukan berarti tidak meniadakan).
g. Tanggung Jawab Negara atas WNA
Dalam memperlakukan orang asing didalam suatu negara harus memenuhi standar
sebagaimana warga negaranya sendiri termasuk penegakan hukumnya (enforcement)
→ International Minimum Standart (IMS). Terdapat Doktrin Calvo yang
menyatakan orang asing mendapat perlindungan dan hak yang sama di suatu negara
(the right of equality of nations).
➢ Perlakuan terhadap Orang Asing di Negara Maju
❖ Ada perlindungan modal, harta benda, dan WN di luar negeri.
❖ Konsep IMS → perlakuan terhadap WNA yang tidak memenuhi IMS
melahirkan tanggung jawab negara.
❖ Dapat diukur dengan konsep denial of justice (pengelakan hukum) tidak
dilaksanakannya hukum pidana dan hukum perdata terhadap orang asing.
➢ Perlakuan terhadap Orang Asing di Negara Berkembang
❖ Cenderung mengurangi hak dan keistimewaan WNA di negaranya karena
mengutamakan kedaulatan dan kemerdekaan.
❖ National Treatment Standard (NTS).
➢ Hak Suatu Negara terhadap WNA
Suatu negara dapat menolak WNA yang masuk ke dalam wilayahnya dengan
menerapkan syarat-syarat tertentu untuk mengusir atau memulangkan
(expulsion). Adapun syarat-syarat expulsion adalah sebagai berikut.
❖ Melanggar syarat izin masuk.
❖ Terlibat tindak kriminal.
❖ Berdasarkan pertimbangan politik dan keamanan negara.
h. Tanggung Jawab Negara atas Lingkungan
Dalam perkembangan HI, kewajiban negara juga tidak dapat melepaskan diri dari
pertanggungjawaban terhadap kerusakan lingkungan. Penuntutan
pertanggungjawaban negara terhadap kerusakan lingkungan sangat dipengaruhi oleh

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 48


hukum kebiasaan. Sebagai contoh, dalam kasus Trial Smelter, pengadilan arbitrase
mengatakan bahwa dalam HI dan juga Konstitusi AS, negara tidak memiliki hak
untuk menggunakan atau mengizinkan penggunaan wilayah laut yang akan
menyebabkan negara lain mengalami kerugian. Pendapat tersebut dinyatakan
kembali dalam Advisory Opinion dari ICJ untuk Majelis Umum PBB dalam The
Legality of The Threat or Use of Nuclear Weapon yang menyatakan bahwa terdapat
sebuah kewajiban umum yang dimiliki oleh negara-negara untuk menjaga agar
segala aktivitasnya yang berada dalam yurisdiksinya dan dituntut untuk melakukan
pengawasan terhadap wilayah-wilayah yang berada di luar kedaulatannya pada saat
ini merupakan bagian HI yang terkait dengan perlindungan terhadap lingkungan.

6. Teori Tanggung Jawab Negara


a. Teori Objektif (Teori Risiko/Risk Theory)
Teori ini melahirkan prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability atau strict
liability) atau tanggung jawab objektif (objective responsibility). Suatu negara
mutlak bertanggung jawab atas setiap kegiatan yang menimbulkan akibat yang
sangat membahayakan (harmful effects of ultra-hazardous activities), walaupun
kegiatan tersebut merupakan kegiatan sah menurut hukum.
Contoh : Pasal 11 Liability Convention 1972.
b. Teori Subjektif (Teori Kesalahan/Fault Theory)
Tanggung jawab suatu negara ditentukan dengan adanya unsur kesalahan atau
kelalaian (liability based on fault). Pada perkembangannya saat ini, terdapat
kecenderungan bahwa makin ditinggalkannya teori kesalahan dalam berbagai kasus
dan ada kecenderungan menggunakan prinsip tanggung jawab mutlak.

7. ARSIWA (Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts)


➢ Pada tahun 2001, ILC (International Law Commission) mengadopsi Draft Articles
on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts (ARSIWA).
➢ Aturan yang masih dipakai terkait tanggung jawab negara masih berbentuk draft
karena masih adanya keengganan dari negara-negara untuk tunduk pada
ketentuan-ketentuan di dalamnya.
➢ Draft ini sebagai titik kulminasi dari negosiasi yang panjang dan melelahkan karena
topiknya yang membingungkan dan tidak jelas.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 49


➢ Walaupun cakupan pasal-pasal dalam ARSIWA bersifat umum, namun tidak berlaku
dalam semua kasus.
➢ Art. 2 ARSIWA menyatakan bahwa unsur-unsur tanggung jawab negara adalah
sebagai berikut.
❖ Ada perbuatan atau kelalaian (act or omission) yang dapat dipertautkan
(attributable) pada suatu negara menurut HI.
❖ Perbuatan atau kelalaian itu merupakan suatu pelanggaran (a breach) terhadap
suatu kewajiban internasional yang lahir dari perjanjian atau ketentuan HI
lainnya.
Contoh :
Kasus Corfu Channel, dimana kapal Inggris meledak disebabkan adanya ranjau di
Selat Corfu yang berada di wilayah perairan laut Albania. Inggris mendalilkan
Albania gagal dalam menjalankan kewajiban internasional untuk memberikan
notifikasi kepada kapal yang akan datang ke Selat Corfu dan sebagai akibatnya
Albania bertanggung jawab atas tindakannya tersebut. ICJ menyatakan bahwa
dengan Albania tidak memberikan notifikasi, hal tersebut telah menjadi kelalaian
dari Albania.
➢ Art. 3 ARSIWA
Menghapus atau meniadakan syarat kerugian dalam setiap definisinya mengenai
perbuatan yang dapat dipersalahkan menurut HI.
➢ Imputability
Imputability penting karena merupakan syarat mutlak adanya tanggung jawab
negara, baik itu merupakan suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar HI.
Imputability dianggap ada jika perbuatan atau kelalaian tersebut dilakukan oleh
organ negara atau pihak yang memperoleh status sebagai organ negara.
➢ Ketentuan umum TJN dalam tindak pidana internasional adalah sebagai berikut.
❖ ILC Draft ARSIWA tidak mengatur secara khusus mengenai TJN atas tindak
pidana internasional (international crimes) yang dilakukan negara.
❖ Art. 40 ARSIWA menyatakan bahwa negara bertanggungjawab atas
pelanggaran serius yang dilakukan negara terhadap peremptory norm (ius cogen
sebagai prinsip dasar HI yang diterima oleh komunitas negara-negara
internasional sebagai norma yang tidak boleh dikurangi) yang timbul dari HI
secara umum.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 50


❖ Unsur keseriusan pelanggaran yang dilakukan oleh negara tersebut terpenuhi
apabila terjadi kesalahan besar (gross) dan sistematis yang melibatkan negara.
❖ Peremptory norm yang dimaksud adalah tindakan agresi, perbudakan (slavery),
pembunuhan massal (genocide), diskriminasi ras (racial discrimination),
apartheid, penyiksaan (torture), pelanggaran prinsip dasar hukum humaniter
serta hak untuk menyatakan diri sendiri (the right to self-determination).
❖ Apabila negara melakukan tindakan (act) atau pembiaran (omission) sehingga
terjadi pelanggaran atas kejahatan yang disebutkan diatas, maka negara tersebut
dapat dimintakan tanggung jawab.

8. Pengecualian Tanggung Jawab Negara


a. Persetujuan (Pasal 20 ARSIWA)
Tindakan yang dilakukan sebuah negara kepada negara lain sepanjang disepakati
dalam suatu persetujuan bersama, tidak dapat dikatakan melakukan tindakan salah
menurut HI
b. Self Defence (Pasal 21 dan 22 ARSIWA)
Tindakan bela diri tidak dianggap salah secara internasional asal dilakukan sesuai
dengan ketentuan dalam Piagam PBB. Begitu pula dengan tindakan balasan (counter
measure) tidak dianggap sebagai tindakan salah secara internasional.
c. Force Majeure (Pasal 23 ARSIWA)
Sebuah tindakan negara yang melanggar kewajiban internasional tidak dapat
dimintakan tanggung jawab apabila tindakan tersebut dilakukan karena adanya
kekuatan yang tidak dapat ditolak, diluar kontrol negara, serta tidak memungkinkan
melaksanakan kewajiban.
d. Distress (Pasal 24 ARSIWA)
Tindakan negara yang diambil pada situasi sulit dimana negara harus menentukan
untuk menyelamatkan dirinya atau masyarakat yang berada di bawah tanggung
jawabnya.
e. Necessity (Pasal 25 ARSIWA)
Tindakan yang diambil negara untuk melindungi kepentingan dirinya dengan tidak
membahayakan negara lain dan masyarakat internasional secara keseluruhan.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 51


Selain itu, terdapat dua hal yang dapat membebaskan negara dari kewajiban untuk
bertanggung jawab, yaitu:
● Pembelaan (Defences)
Jika negara tersebut dipaksa oleh negara lain. Negara itu melakukan tindakan
tersebut dengan persetujuan negara yang menderita kerugian karena semata-mata
sebagai upaya perlawanan yang diperbolehkan (permissible countermeasures)
tidak dengan penggunaan kekerasan senjata. Pejabat negara bertindak karena force
majeure karena adanya extreme distress dan tidak ada niat yang menimbulkan
akibat yang membahayakan.
● Pembenaran (Justification)
★ Keharusan (Necessity)
Tindakan itu merupakan satu-satunya cara untuk menyelamatkan kepentingan
esensial negara itu dari bahaya yang sangat besar dan sudah demikian dekat.
Tindakan itu tidak menimbulkan gangguan yang serius terhadap kepentingan
utama dari negara tersebut yang di dalamnya melekat suatu kewajiban.
★ Pembelaan Diri (Self-Defence)
Dapat digunakan sebagai pembenaran jika dilakukan sebagai pembelaan diri
yang sah sesuai dengan ketentuan PBB.

9. Konsekuensi Hukum
Negara yang telah melakukan kesalahan secara internasional dapat dikenakan beberapa
konsekuensi hukum berupa:
➢ Menghentikan dan tidak melakukan lagi tindakannya (Pasal 30 ARSIWA).
➢ Melakukan reparasi (Pasal 31 ARSIWA), dengan bentuk-bentuk yang dapat berupa
restitusi, kompensasi, pengakuan atau permintaan maaf (satisfaction), dan
membayar bunga (interest).
Tuntutan ini dilakukan oleh negara-negara yang merasa dirugikan oleh tindakan negara
lain yang telah melanggar tanggung jawab internasional. Sayangnya, tidak ditentukan
lembaga yang berwenang untuk menyerahkan gugatan. Kemungkinan besarnya, gugatan
tersebut diserahkan kepada Mahkamah Internasional (ICJ).

Bab VI. HAM Internasional (International Human Rights)

1. Definisi Hak Asasi Manusia

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 52


Hak-hak dasar yang dimiliki setiap manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah
dari Tuhan Yang Maha Esa. Hak ini bukan diberikan atau pemberian orang lain,
golongan, atau negara. Oleh karena itu, HAM tidak dapat diambil atau dicabut,
diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh suatu kekuasaan, melainkan harus dihormati,
dipertahankan, dan dilindungi. Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum,
pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat
manusia.

2. Apa itu Hukum HAM Internasional?


Hukum mengenai perlindungan terhadap hak-hak individu atau kelompok yang
dilindungi secara internasional dari pelanggaran yang terutama dilakukan oleh
pemerintah atau aparatnya, termasuk di dalamnya upaya penggalakan hak-hak tersebut.

3. Sejarah Lahirnya HAM


➢ Zaman Yunani : Aristoteles dan Plato (SM).
➢ Zaman Romawi.
➢ Magna Charta (1215).
➢ Petition of Right (1629) di Inggris.
➢ Bill of Right (1689) di Inggris.
➢ The Declaration of American Independence (1776).
➢ Déclaration des Droits de l'Homme et du Citoyen (1789) di Perancis.
➢ Universal Declaration of Human Rights (1948).

4. Perkembangan HAM Internasional


a. HAM dan HI Tradisional
Secara tradisional, HI mengatur hubungan antar negara. Manusia sebagai individu
dianggap tidak memiliki hak-hak menurut HI, sehingga manusia tak lebih sebagai
objek dan bukan subjek. Teori yang demikian menyebabkan pandangan bahwa
perlakuan negara terhadap warga negaranya tidak diatur oleh HI sehingga tidak ada
pengaruhnya terhadap hak-hak negara lainnya. Dengan demikian, pelanggaran HAM
suatu negara terhadap warga negaranya secara eksklusif berada di bawah yurisdiksi

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 53


setiap negara. Masalah HAM merupakan urusan dalam negeri setiap negara
sehingga negara lain tidak berhak bahkan dilarang turut campur, kecuali intervensi
humaniter.
b. Masa Sebelum PD II
Bermula dari sejarah perkembangan doktrin-doktrin dan institusi-institusi
internasional, diantaranya intervensi humaniter, tanggung jawab negara terhadap
kerugian yang diderita orang asing, perlindungan golongan minoritas, sistem mandat
dan minoritas dari LBB dan Hukum Humaniter Internasional.
c. Masa Sekarang
Isu HAM menjadi salah satu isu dalam HI (selain daripada demokrasi dan
lingkungan) yang mengesampingkan prinsip kedaulatan dan non-intervensi dalam
HI. Hal ini disebabkan karena:
➢ Perkembangan HAM di beberapa negara.
➢ Lahirnya PBB.
➢ Berdiri pengadilan internasional untuk penegakkan hukum atas kejahatan
internasional.

5. Subjek dalam HAM Internasional


a. Individu sebagai pemegang hak (rights-holders).
b. Negara sebagai pemegang kewajiban (duty-holders).
➢ Kewajiban untuk memajukan (obligation to promote).
➢ Kewajiban untuk melindungi (obligation to protect).
➢ Kewajiban untuk memenuhi (obligation to fulfill).
c. Masyarakat Internasional sebagai pengawas pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut.
Dewan HAM ataupun komite yang dibentuk masing-masing konvensi (treaty based
organs). Misalnya, United Nations Human Rights Council (UNHRC) atau Dewan
HAM PBB sebagai badan antar pemerintah dalam sistem PBB yang terdiri dari
negara-negara yang bertanggung jawab atas promosi dan perlindungan semua HAM
di seluruh dunia.

6. Prinsip Perlindungan HAM


a. Universal

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 54


Semua individu adalah sama sebagai manusia dan berdasarkan martabat yang
melekat pada setiap pribadi manusia.
b. Tidak Dapat Dicabut
Semua orang dimanapun berhak atas HAM. Seseorang tidak bisa secara sukarela
menyerahkannya dan orang lain juga tidak dapat mengambil darinya.
c. Tak Terpisahkan dan Saling Terkait
Hak sepenuhnya saling bergantung satu sama lain dalam hal efektivitasnya.
d. Non-Diskriminasi
Setiap orang berhak atas HAM tanpa adanya perlakuan diskriminasi.
➢ Negatif, negara tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap individu atau
kelompok tertentu.
➢ Positif, negara harus mengambil langkah-langkah untuk mengidentifikasi
individu atau kelompok rentan yang memerlukan perhatian ekstra untuk
menjamin hak-hak mereka terjamin.
e. Pemberdayaan/Partisipasi
Hak-hak ini memberi masyarakat kekuasaan untuk mengklaim hak-hak tersebut dari
pemerintah.
f. Akuntabilitas
Pemerintah mempunyai tugas dan kewajiban tertentu untuk menghormati,
melindungi dan memenuhi HAM.

7. Hukum HAM dalam Hirarki Hukum Internasional


Terdapat 2 argumen yang diajukan untuk membenarkan pandangan bahwa HAM
menempati posisi yang lebih tinggi secara hirarki diantara norma-norma hukum
internasional lainnya, yaitu:
➢ Pasal 103 Piagam PBB yang menyatakan bahwa jika terjadi pertentangan antara
kewajiban-kewajiban daripada anggota PBB menurut piagam ini dan menurut suatu
perjanjian internasional, maka yang berlaku adalah kewajiban dalam piagam ini.
➢ Meskipun norma-norma HI tidak diatur secara hirarki menurut berbagai sumbernya,
norma-norma hukum yang bersifat spesifik telah mendorong terbentuknya suatu
bentuk kebijakan publik internasional.
HAM sebagai norma yang bersifat jus cogens (peremptory norm) yang dimana
pelanggaran terhadap HAM adalah pelanggaran terhadap norma atau jus cogens.
Kewajiban terhadap HAM memiliki karakter erga omnes dan tidak bersifat resiprokal.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 55


Perjanjian internasional HAM berbeda dengan sifat alamiah dari suatu kontrak karena
memiliki karakter objektif dan tidak dapat direduksi menjadi pertukaran keuntungan
bilateral antara negara yang berkontrak.

8. Standar Hak Asasi Manusia vs Instrumen Hak Asasi Manusia


a. Standar HAM
Istilah “standar HAM” mengacu pada tingkat atau kualitas hidup yang harus
dipenuhi berdasarkan hukum HAM. Standar HAM harus ditempatkan sebagai
tingkat persyaratan minimum yang tidak boleh diingkari oleh negara (minimum
yang harus dipenuhi).
b. Instrumen HAM
Instrumen HAM adalah dokumen tertulis resmi dengan menetapkan HAM baik
sebagai prinsip yang mengikat, maupun dalam bentuk kodifikasi hak-hak yang
secara hukum mengikat bagi negara-negara yang menerima sebagai sebuah
perjanjian. Guna menentukan standar perihal seharusnya negara memperlakukan
warganya dan orang harus memperlakukan satu sama lain, maka dilahirkanlah
serangkaian perjanjian internasional HAM yang dikenal sebagai instrumen HAM.

9. Instrumen Utama HAM Internasional


Setiap tanggal 10 Desember, diperingati hari HAM Internasional sebagai peringatan
lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) oleh Majelis Umum PBB
pada tahun 1948, yang isinya menguraikan hak-hak individu dan kebebasan bagi setiap
orang berdasarkan prinsip bahwa HAM didasarkan pada martabat yang melekat pada
setiap orang. Di dalamnya terdapat pula perlindungan hak sipil, politik, ekonomi, sosial
dan budaya. Perjanjian ini tidak mengikat secara hukum tetapi menjadi landasan hukum
HAM internasional.
➢ Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948).
➢ Konvensi Anti Diskriminasi Rasial (1965).
➢ Kovenan Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
(1966).
➢ Konvensi Perlindungan Hak Perempuan (1979).
➢ Konvensi Anti-Penyiksaan (1984).
➢ Konvensi Hak Anak (1989).
➢ Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya (1990).

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 56


➢ Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (2006).
➢ Konvensi Perlindungan dari Penghilangan Paksa (2006).

Selain itu, terdapat pula instrumen HAM regional, yaitu sebagai berikut.
➢ European Convention on Human Rights.
➢ African Charter on Human and Peoples Rights.
➢ American Convention on Human Rights.
➢ ASEAN Human Rights Declaration.

10. Mekanisme Internasional PBB


a. Treaty Based Mechanism
Mekanisme pengaduan yang dibentuk berdasarkan perjanjian atau konvensi HAM
internasional. Pada umumnya, terdapat 4 mekanisme utama pengaduan dan
monitoring terhadap penerapan HAM, sebagai berikut.
➢ Mekanisme Pelaporan, melalui laporan negara setiap 2-5 tahun dan membuat
concluding observation atau pengamatan umum.
➢ Mekanisme Pengaduan Individual, terdapat pada ICCPR, CAT, CERD, dan
MWC.
➢ Pengaduan Antara Negara.
➢ Mekanisme Investigasi, terdapat pada CEDAW dan CAT.
b. Charter Based Mechanism
Prosedur penegakan HAM yang tidak dibentuk oleh konvensi-konvensi HAM tetapi
berdasarkan Piagam PBB sendiri. Dasar hukumnya adalah pada Pasal 55 dan 56
Piagam PBB serta mandat yang dimiliki oleh Dewan Ekonomi dan Sosial yang
antara lain adalah mendorong penghormatan universal dan diterapkannya hak asasi
dan kebebasan dasar manusia. Mekanisme ini dilakukan melalui prosedur 1503 dan
mekanisme tematis. Komisi HAM dan sub komisi dibentuk untuk berurusan dengan
pelanggaran HAM.
Selain itu, lahir pula mekanisme International Human Rights Tribunal yang menekankan
pada penghukuman terhadap pelaku pelanggaran HAM.

11. Pembatasan HAM


Pembatasan hak bukanlah suatu norma, melainkan pengecualian dan hanya dapat dibatasi
jika memenuhi kriteria berikut.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 57


➢ Pembatasan tersebut harus diperbolehkan oleh UU.
➢ Pembatasan tersebut harus untuk kebutuhan publik atau sosial yang mendesak.
➢ Pembatasan ini sangat diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk mencapai
kebutuhan publik atau sosial.
➢ Pembatasan ini didasarkan pada bukti ilmiah dan tidak dirancang atau diterapkan
secara sewenang-wenang (dengan cara yang tidak masuk akal atau diskriminatif).
Pembatasan apapun harus dalam jangka waktu yang terbatas dengan menghormati
kemanusiaan, bermartabat, dan dapat ditinjau.

Bab VII. Penyelesaian Sengketa Internasional (International Dispute Resolution)

1. Pengertian dan Ruang Lingkup Sengketa Internasional


Ditinjau dari konteks HI, sengketa dapat didefinisikan sebagai perselisihan mengenai
fakta hukum dan politik dimana tuntutan atau pernyataan suatu pihak ditolak, dituntut
balik atau diingkari oleh pihak lain. Sedangkan sengketa internasional dikatakan ada bila
perselisihan tersebut melibatkan pemerintah, lembaga, juristic persons (badan hukum)
atau individu dalam bagian dunia yang berlainan.
➢ Luas → sengketa antara subjek-subjek HI.
➢ Sempit → sengketa antar negara.

2. Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Internasional


➢ Negara tidak akan menggunakan kekerasan yang bersifat mengancam integritas
teritorial atau kebebasan politik negara lain.
➢ Non-intervensi dalam urusan-urusan dalam negeri dan luar negeri suatu negara.
➢ Persamaan hak dan menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa.
➢ Kedaulatan negara.
➢ Kemerdekaan, kedaulatan dan integritas teritorial suatu negara.
➢ Itikad baik dalam hubungan internasional.
➢ Keadilan dan hukum internasional.

3. Perbedaan Sengketa Hukum dan Sengketa Politik


a. Sengketa Hukum (Legal Dispute)
Sengketa dimana negara mendasarkan tuntutannya pada ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam perjanjian atau telah diakui oleh HI.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 58


Penyelesaian → keputusan mengikat dan membatasi kedaulatan negara-negara
karena keputusan didasarkan pada prinsip/norma hukum. Banyak negara yang
menghindari jalur hukum sebagai penyelesaian sengketa karena efeknya dapat
mengurangi kedaulatan negara tersebut.
b. Sengketa Politik (Political Dispute)
Sengketa dimana suatu negara mendasarkan tuntutannya atas pertimbangan
non-yuridis (atas dasar politik atau kepentingan nasional lainnya).
Penyelesaian → hanya berupa usul-usul tidak mengikat dan tetap memperhatikan
kedaulatan negara-negara pihak.

4. Jenis-Jenis Penyelesaian Sengketa Internasional

5. Penyelesaian Sengketa Internasional secara Damai


Dasar hukum PSI secara damai sebagai berikut.
➢ Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa secara Damai (Den Haag 1907).
➢ Pasal 2 ayat (3) jo. Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB dan operasional dalam Pasal 33
Piagam PBB.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 59


➢ Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relation and
Cooperation Among States in Accordance with the United Nations Charter (24
Oktober 1970).
➢ Deklarasi Manila tentang Penyelesaian Sengketa Internasional secara Damai (15
November 1982).
Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 2 ayat (3) dan (4) Piagam PBB serta diperkuat
dengan 2 deklarasi tersebut di atas, sebenarnya jelas bahwa penggunaan kekerasan dalam
penyelesaian sengketa antara negara-negara sudah dilarang oleh HI dan penyelesaian
sengketa secara damai menjadi keharusan (imperatif). Meskipun demikian, fakta
menunjukkan bahwa negara-negara masih sering menggunakan cara-cara kekerasan,
termasuk perang. Selain itu, Pasal 33 Piagam PBB meminta kepada negara-negara untuk
menyelesaikan secara damai sengketa-sengketa mereka dan memberikan bermacam
prosedur yang dapat dipilih. Karena kebebasan yang demikian, negara-negara seringkali
memilih penyelesaian secara politik terlebih dahulu dibanding penyelesaian secara
hukum. Hal ini disebabkan penyelesaian secara politik lebih luwes, tidak mengikat dan
melindungi kedaulatan mereka. Selain itu, ditinjau dari segi teknik yuridik, penyelesaian
ini lebih menjamin pelaksanaan yang efisien dan unsur positif bagi perkembangan HI.

6. PSI secara Damai melalui Jalur Politis


a. Penyelesaian dalam Kerangka Antarnegara
➢ Negosiasi
Negosiasi biasanya adalah cara yang pertama kali ditempuh oleh para pihak
yang bersengketa. Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh
para pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa adanya keikutsertaan pihak
ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki 2 bentuk utama, yaitu
bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran
diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau OI.
Dalam praktiknya, negosiasi dibedakan menjadi 2 bentuk prosedur, yaitu yang
pertama adalah negosiasi ketika sengketa belum muncul (konsultasi) dan yang
kedua adalah negosiasi ketika sengketa telah lahir. Apabila perundingan ini
telah terinternasionalisasi (negara-negara lain menjadi aware terhadap
permasalahan ini), hal ini menjadi suatu hal yang positif bagi eksistensi
masyarakat internasional tetapi bertentangan dengan pendapat dalam negeri.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 60


Keuntungan yang diperoleh ketika negara yang bersengketa menggunakan
mekanisme negosiasi adalah sebagai berikut.
❖ Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan penyelesaian sesuai
dengan kesepakatan di antara mereka.
❖ Para pihak mengawasi dan memantau secara langsung prosedur
penyelesaiannya.
❖ Dapat menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.
❖ Para pihak mencari penyelesaian yang bersifat win-win solution sehingga
dapat diterima dan memuaskan kedua belah pihak.
➢ Enquiry atau Penyelidikan → Angket
Dikenal sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional
semenjak lahirnya Konvensi Den Haag 1899 yang disempurnakan dalam
Konvensi Den Haag II 1907 mengenai prosedur angket oleh Komisi
Internasional. Salah satu penyebab munculnya sengketa antarnegara adalah
karena adanya ketidaksepakatan para pihak mengenai fakta. Untuk
menyelesaikan sengketa itu, akan bergantung pada penguraian fakta-fakta para
pihak yang tidak disepakati. Para pihak kemudian membentuk sebuah badan
yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
Fakta-fakta yang ditemukan ini kemudian dilaporkan kepada para pihak
sehingga para pihak dapat menyelesaikan sengketa di antara mereka. Dalam
beberapa kasus, badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta dalam
sengketa internasional dibuat oleh PBB. Namun, dalam konteks ini, enquiry
yang dimaksud adalah sebuah badan yang dibentuk oleh negara yang
bersengketa, yaitu komisi angket yang terdiri 5 orang (2 orang dari
masing-masing negara yang bersengketa dan 1 orang dari negara lain). Angket
adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengajukan pertanyaan tertulis
untuk dijawab tertulis pula oleh responden. Tujuannya adalah untuk
memberikan dasar yang kuat bagi perundingan karena ada data-data objektif
penyebab konflik. Angket bersifat fakultatif (tidak wajib), baik penggunaannya
maupun sifat keputusannya.
Contoh :
1) Kasus Turbantia, kapal Belanda yang hilang di Laut Utara tahun 1916.
Belanda menuduh kapal selam Jerman sengaja menenggelamkan kapal

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 61


tersebut, namun Jerman menjawab tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa
Turbantia tenggelam karena melanggar ranjau laut.
2) Kasus Red Crusader, kapal ikan Inggris yang diburu di laut lepas oleh
kapal-kapal pengawas pantai Denmark karena dituduh menangkap ikan di
laut wilayah Denmark di Kepulauan Faroe. Komisi angket dalam
laporannya tidak hanya menentukan dimana kapal Inggris tersebut secara
gelap menangkap ikan, tetapi juga menyatakan jumlah ganti rugi yang harus
diberikan.
➢ Good Offices (Jasa-Jasa Baik)
Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui bantuan pihak ketiga
dan keterlibatannya tidak lebih dari mengupayakan pertemuan pihak-pihak yang
bersengketa untuk berunding, tanpa terlibat dalam perundingan itu sendiri. Pada
pelaksanaannya, jasa baik dapat dibedakan dalam 2 bentuk, yaitu:
❖ Jasa Baik Teknis (Technical Good Offices)
Jasa baik oleh negara atau OI dengan cara mengundang para pihak yang
bersengketa ikut serta dalam konferensi atau menyelenggarakan konferensi.
Tujuannya adalah mengembalikan atau memelihara hubungan atau kontak
langsung di antara para pihak yang bersengketa setelah hubungan
diplomatik mereka terputus.
❖ Jasa Baik Politis (Political Good Offices)
Jasa baik yang dilakukan oleh negara atau OI yang berupaya menciptakan
suatu perdamaian atau menghentikan suatu peperangan yang diikuti dengan
diadakannya negosiasi atau suatu kompensasi.
Contoh :
1) Atas jasa baik Perancis, Amerika Serikat ingin berunding untuk
menyelesaikan Perang Vietnam tahun 1973.
2) Swiss sering menjadi pihak ketiga dalam sengketa-sengketa negara lain.
➢ Mediasi
Pelaksanaan mediasi dalam PSI diatur dalam beberapa PI, seperti The Hague
Convention 1907, UN Charter, The European Convention for the Peaceful
Settlement of Disputes. Ketika negara-negara yang menjadi para pihak dalam
suatu sengketa internasional tidak dapat menemukan pemecahan masalahnya
melalui negosiasi, intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga adalah sebuah
cara yang mungkin untuk keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 62


dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Pihak
ketiga yang melaksanakan mediasi ini tentu saja harus bersifat netral dan
independen sehingga dapat memberikan saran yang tidak memihak salah satu
negara pihak sengketa. Intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga dapat
dilakukan dalam beberapa bentuk, misalnya pihak ketiga memberi saran kepada
kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi ulang atau bisa saja hanya
menyediakan jalur komunikasi tambahan. Dalam menjalankan tugasnya,
mediator tidak terikat pada hukum acara tertentu dan tidak dibatasi pada hukum
yang ada. Mediator dapat menggunakan asas ex aequo et bono untuk
menyelesaikan sengketa yang ada.
Contoh :
1) Dalam sengketa perbatasan antara Bahrain dan Qatar, Raja Fahd menjadi
moderator yang memprakarsai perundingan.
2) Dalam sengketa antara Arab dan Israel, Presiden AS Jimmy Charter
memprakarsai perundingan Camp David.
3) Komisi Tiga Negara (Australia, Belgia, dan AS) yang dibentuk PBB dalam
sengketa Belanda dan Indonesia tahun 1947 yang membantu merumuskan
Perjanjian Renville.
➢ Konsiliasi
Penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan intervensi pihak
ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi biasanya adalah negara, namun
bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi diatur oleh
Konvensi. Komisi konsiliasi yang dibentuk pihak ketiga bersifat ad hoc,
kemudian memberikan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak.
Namun, keputusan yang diberikan oleh komisi konsiliasi tidak bersifat mengikat
para pihak. Pada praktiknya, proses PSI melalui konsiliasi mempunyai
kemiripan dengan mediasi, hanya saja pada konsiliasi memiliki hukum acara
yang lebih formal dibandingkan dengan mediasi karena dalam konsiliasi ada
beberapa tahap yang biasanya harus dilalui, yaitu penyerahan sengketa kepada
komisi konsiliasi, kemudian komisi akan mendengarkan keterangan lisan para
pihak, dan berdasarkan fakta-fakta yang diberikan oleh para pihak secara lisan
tersebut komisi konsiliasi akan menyerahkan laporan kepada para pihak disertai
dengan kesimpulan dan usulan penyelesaian sengketa.
b. Penyelesaian dalam Kerangka PBB

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 63


Tujuan PBB diatur dalam Pasal 1 Piagam PBB, yaitu untuk menciptakan perdamaian
dan keamanan internasional. Oleh karena itu, menjadi kewajiban PBB untuk
mendorong agar sengketa-sengketa diselesaikan secara damai (Pasal 2 ayat (3)
Piagam PBB). Kedamaian dan keamanan internasional hanya dapat diwujudkan
apabila tidak ada kekerasan yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa, yang
ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB. Penyelesaian sengketa secara damai
kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 33 Piagam PBB yang mencantumkan
beberapa cara damai dalam penyelesaian sengketa, termasuk penyelesaian secara
politis maupun secara hukum melalui Mahkamah Internasional (ICJ). Pada dasarnya,
tidak ada tata urutan yang mutlak mengenai penyelesaian sengketa secara damai.
Para pihak dalam sengketa internasional dapat saja menyelesaikan sengketa yang
terjadi langsung melalui badan peradilan internasional, tanpa menempuh mekanisme
negosiasi, mediasi, ataupun cara diplomatik lainnya terlebih dahulu.
➢ Observasi Pendahuluan
Sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB, penyelesaian sengketa dilakukan
secara damai agar perdamaian, keamanan internasional, dan keadilan tidak
terancam.
➢ Intervensi Security Council United Nations
Dewan Keamanan PBB terdiri dari 15 anggota PBB (anggota tetap dan anggota
tidak tetap). Dalam Pasal 23 Piagam PBB, disebutkan bahwa Cina, Rusia,
Perancis, Amerika Serikat, dan Inggris sebagai anggota tetap DK PBB.
Sedangkan untuk 10 anggota lainnya adalah anggota tidak tetap yang dipilih
untuk masa 2 tahun. Sengketa yang masuk ke DK PBB (Security Council
United Nations) terdiri dari sengketa anggota PBB, inisiatif Sekjen PBB, dan
negara bukan anggota PBB.
➢ Intervensi General Assembly United Nations
Majelis Umum PBB terdiri dari semua anggota PBB. Jika sengketa di Security
Council macet, maka perlu dilakukan intervensi General Assembly. Tugas MU
PBB adalah sebagai berikut.
❖ Pasal 10 → membuat rekomendasi kepada anggota DK PBB.
❖ Pasal 11 → berkaitan dengan perdamaian dunia (rise up).
➢ Wewenang General Secretary United Nations

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 64


Sekretaris Jenderal PBB dapat meminta perhatian Dewan Keamanan mengenai
sesuatu hal yang menurut pendapatnya dapat membahayakan terpeliharanya
perdamaian dan keamanan internasional (Pasal 99 Piagam PBB).
c. Penyelesaian dalam Kerangka Organisasi Internasional
Menurut Pasal 33 Piagam PBB, pihak-pihak yang bertikai pertama-tama harus
mencari jalan penyelesaian dengan perundingan, penyelidikan, dengan
permufakatan, perwasitan, penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau
pengaturan regional, atau dengan cara damai lainnya yang dipilih. Bila dianggap
perlu, maka DK PBB akan meminta kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk
menyelesaikan pertikaiannya dengan cara-cara yang serupa itu.

7. PSI secara Damai melalui Jalur Hukum (Judicial Settlement)


Penyelesaian sengketa melalui jalur hukum menghasilkan keputusan yang mengikat yang
didasarkan pada aturan hukum dan dapat berakibat pada pengurangan kedaulatan negara.
a. Arbitrase Internasional
Cara penyelesaian sengketa dengan menyerahkan perkara pada orang-orang tertentu
(disebut arbitrator dengan jumlah ganjil) yang dipilih masing-masing oleh para
pihak secara bebas, yang bertugas memutuskan tanpa harus mengindahkan
pertimbangan-pertimbangan yuridis. HI telah mengenal arbitrase sebagai alternatif
penyelesaian sengketa dan cara ini telah diterima oleh umum sebagai cara
penyelesaian sengketa yang efektif dan adil. Tidak semua orang perorangan dapat
disebut sebagai arbitrator, hanya berdasarkan kesepakatan pihak yang bersengketa
(berbeda dengan mediasi, dimana pihak ketiga masuk melalui intervensi yang
kemudian menjadi mediator secara sukarela).
➢ Bentuk : Non-Konstitusional
❖ Dibentuk sendiri oleh negara-negara yang bersengketa.
❖ Dipilih suatu peradilan yang ada atau keputusan kepala negara atau
pemerintah asing.
❖ Adanya kebebasan memilih hakim-hakim.
❖ Didirikan berdasarkan konsensus setelah timbulnya sengketa dan bubar
ketika sengketa telah selesai.
➢ Batasan Kewenangan
Posisi dan peran para pihak terhadap mahkamah arbitrase sangat menentukan
dalam kewenangan arbitrase; menentukan referensi, mulai dari dasar hukum

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 65


dipakai, prosedur acara dsb. Pengingkaran terhadap hal-hal tersebut oleh
arbitrator dapat berakibat pada penolakan para pihak. Hal ini yang menjadi
perbedaan dengan pemeriksaan di MI.
➢ Dasar Hukum Pemeriksaan/Keputusan
❖ Memutuskan sengketa berdasarkan HI, termasuk hukum acara Konvensi
Den Haag.
❖ Berlandaskan pada dasar hukum lainnya.
❖ Apabila disepakati para pihak, dapat digunakan ketentuan HN.
❖ Arbitrase juga dapat memutus berdasarkan ex aequo et bono.
➢ Nilai Keputusan
❖ Arbitrase bisa membatalkan keputusan terdahulu karena ada kekeliruan.
❖ Para pihak dapat menyatakan tidak puas dan menyerahkan pada arbitrase
banding atau MI.
❖ Para pihak dapat menolak putusan bila ada anggapan bahwa hakim arbitrase
tidak sah atau tidak sesuai perjanjian.
❖ Para pihak dapat menolak keputusan karena anggapan ada kekeliruan dasar
hukum, hukum acara, atau keputusan tanpa dasar hukum.
❖ Keputusan juga bisa ditolak dengan alasan adanya penggelapan dasar
hukum atau penggelapan fakta/bukti.
b. Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ)
ICJ merupakan salah satu organ utama (primary organ) PBB yang dibentuk pada
tahun 1945 berdasarkan Statuta Mahkamah Internasional yang menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari PBB.
➢ Tugas dan Fungsi ICJ
❖ Fungsi Ajudikasi
Mengadili dan menyelesaikan sengketa antarnegara. Pasal 34 Statuta MI
menyatakan bahwa hanya negara-negara yang dapat menjadi pihak dalam
kasus-kasus pertikaian di ICJ. Individu, perusahaan, negara bagian (federal
states), LSM, organ PBB, dan self-determination groups dikecualikan dari
partisipasi langsung dalam kasus-kasus yang diajukan di ICJ. Prinsip umum
dalam ICJ adalah common consent.
➔ Agreement (special agreement, compromissory, special treaties, forum
prorogatum).
➔ Unilateral Declaration (reciprocity dan reservations).

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 66


❖ Fungsi Advisory
Memberikan pendapat-pendapat berisi nasihat kepada organ-organ resmi
dan badan khusus PBB. Fungsi ini bersifat konsultatif dan bukan termasuk
keputusan hukum yang mengikat. Pasal 65 Statuta MI menyatakan bahwa
Mahkamah dapat memberikan pendapat yang bersifat nasihat, pada suatu
persoalan hukum, atas permintaan dari badan atau apapun yang disahkan
oleh atau sesuai dengan Piagam PBB untuk mengajukan permintaan
demikian. Yang berhak meminta advisory opinion adalah General Assembly
dan Security Council (untuk organ lain PBB dan badan khusus harus
melalui General Assembly).
➢ Yurisdiksi/Kewenangan ICJ
❖ Art. 36 (2) ICJ Statute
➔ Interpretation treaties.
➔ Every question of public international law.
➔ Establishment of facts, which contain violation of public international
law.
➔ Content and amount of compensation.
❖ Preliminary Objections
➔ ICJ lacks jurisdiction : no consensual basis, reservations.
➔ Case is not admissible/claimant has no standing : no exhaustion of
local remedies, no negotiations, wrong nationality.
➢ Komposisi dan Prosedur Beracara ICJ
❖ 15 hakim dan 2 hakim ad hoc.
❖ Bahasa Perancis dan Bahasa Inggris sebagai bahasa resmi (Art. 39 ICJ
Statute).
❖ MI dapat mengambil tindakan sementara.
❖ Ketidakhadiran negara tidak menghalangi MI mengambil keputusan.
❖ Keputusan MI dengan suara mayoritas hakim yang hadir.
❖ Penyampaian dissenting opinion.
❖ Pemaksaan keputusan MI yang tidak dijalankan oleh negara dapat
dilakukan melalui DK PBB.
c. Mahkamah Peradilan Tetap (Permanent Court)
Bentuk yang lebih sempurna dan bersifat permanen. Mahkamah ini didirikan
sebelum sengketa timbul dan bebas dari kehendak negara-negara yang bersengketa.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 67


Komposisi dan tata kerja peradilan telah ditentukan sebelumnya. Permanent Court
hanya dapat berkembang dalam masyarakat yang tergabung dalam OI. Lahirnya
Permanent Court dimulai dengan pembentukan Mahkamah Arbitrase Tetap
(Permanent Court of Arbitration) berdasarkan Konvensi Den Haag 1899 dan 1907.
➢ Permanent Court of International Justice (PCIJ)
Kehadiran pengadilan internasional sesungguhnya telah dikenal sejak LBB,
yaitu melalui Permanent Court of International Justice (PCIJ). Namun, seiring
dengan bubarnya LBB, maka tugas dari PCIJ diteruskan oleh ICJ sejalan dengan
peralihan dari LBB kepada PBB.

PCIJ ICJ

PCIJ bagian yang terpisah dari LBB. ICJ bagian integral dari PBB.

Anggota LBB tidak otomatis menjadi Anggota PBB ipso facto atau
anggota PCIJ. otomatis menjadi anggota ICJ.

PCIJ tidak bersifat universal. ICJ bersifat universal.

➢ Permanent Court of Arbitration (PCA)


❖ Lembaga global tertua untuk penyelesaian sengketa-sengketa internasional
antarnegara, OI, atau pihak swasta yang timbul dari PI.
❖ PCA merupakan organisasi antarpemerintah yang terletak di Den Haag,
Belanda.
❖ Pengadilan ini menawarkan berbagai layanan untuk penyelesaian sengketa
internasional dimana pihak yang bersangkutan telah secara tegas setuju
menyerahkan resolusi yang bernaung di dalamnya.
❖ Subject matters → batas-batas teritorial dan maritim, kedaulatan, HAM,
investasi internasional, dan perdagangan internasional serta regional.
❖ PCA tidak memiliki hakim duduk, para pihak memilih sendiri arbiternya.
❖ Sesi PCA dilakukan secara tertutup dan rahasia.
❖ PCA tetap bisa melakukan sidang meskipun salah satu pihak tidak hadir
ataupun menunjuk seorang arbiter.
❖ Penegakkan hukum PCA lemah tetapi siapapun memiliki kewajiban moral
untuk mematuhi hasil pengadilan.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 68


d. Pengadilan Ad-Hoc (Pengadilan Tidak Tetap)
➢ International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia (ICTY)
Dibentuk untuk mengadili orang yang dianggap bertanggung jawab atas
kejahatan perang di Balkan selama konflik pada tahun 1990an.
➢ International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)
Dibentuk untuk orang-orang yang dianggap bertanggung jawab atas tindakan
genosida dan pelanggaran serius atas hukum humaniter internasional yang
dilakukan di wilayah Rwanda antara 1 Januari 1994 - 31 Desember 1994.
e. Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC)
Pengadilan yang didirikan berdasarkan pada Statuta Roma 1998 dan mengadili
individu yang didakwa melakukan kejahatan internasional (international crime)
sebagaimana diatur dalam Pasal 5. ICC bukan merupakan bagian dari organ PBB
tetapi dapat menerima kasus dari Security Council United Nations. ICC hanya akan
bertindak ketika negara-negara yang bersangkutan tidak mampu atau tidak mau
untuk menyelidiki atau menuntut pelaku kejahatan atas hukum kemanusiaan
internasional. Yurisdiksi ICC adalah to prosecute individuals for the international
crime of genocide (art. 6), crimes against humanity (art. 7), war crimes (art.8), and
the crime of aggression (art. 9). ICC dapat melaksanakan yurisdiksinya dalam
situasi dimana genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan atau kejahatan perang
dilakukan pada atau setelah tanggal 1 Juli 2002 dan kejahatan tersebut dilakukan
oleh WN suatu negara pihak atau di wilayah suatu negara pihak atau di suatu negara
yang telah menerima yurisdiksi ICC, atau kejahatan tersebut dirujuk ke jaksa icc
oleh DK PBB berdasarkan resolusi yang diadopsi berdasarkan Bab VII Piagam
PBB. Mulai tanggal 17 Juli 2018, situasi dimana tindakan agresi tampaknya telah
terjadi dapat dirujuk ke Pengadilan oleh DK PBB berdasarkan Bab VII Piagam PBB,
terlepas apakah hal tersebut melibatkan negara pihak atau bukan negara pihak.
f. Penyelesaian Sengketa UNCLOS
Pasal 287 ayat (1) UNCLOS menyatakan bahwa terdapat cara-cara untuk
menyelesaikan sengketa interpretasi atau penerapan UNCLOS sendiri, yaitu:
➢ Mahkamah Internasional Hukum Laut (International Tribunal on The Law of
The Sea/ITLOS) di Hamburg, Jerman.
➢ Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) di Den Haag,
Belanda.
➢ Ad-Hoc Arbitrase, sesuai dengan Annex VII UNCLOS.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 69


➢ Arbitrase Khusus, yang dibentuk untuk kategori sengketa tertentu.
Namun, penyelesaian melalui arbitrase sesuai Annex adalah yang disarankan, sesuai
dengan Pasal 287 ayat (3) UNCLOS.
g. Penyelesaian Sengketa WTO
World Trade Organization berbasis di Jenewa, Swiss.
➢ Penyelesaian sengketa WTO diatur oleh nota kesepakatan yang ditandatangani
di Marrakesh pada tahun 1994 setelah negosiasi Uruguay.
➢ Memorandum menempatkan penekanan pada konsultasi dan menetapkan
tenggat waktu yang ketat untuk menyelesaikan sengketa.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 70

Anda mungkin juga menyukai