PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Apabila suatu wilayah telah dikuasai oleh suatu Negara dan diakui oleh
internasioal maka wilayah tersebut sudah menjadi wilayah kedaulatannya. Ada
lima cara tradisional dan pada umumnya diakui untuk diperolehnya kedaulatan
teritorial adalah: okupasi, aneksasi, penambahan (accretion) wilayah, preskripsi
(prescription) dan penyerahan (cession). Cara-cara ini secara langsung beranalogi
pada metode-metode hukum sipil mengenai kepemilikan pribadi.
Tesis ini membahas hasil penelitian tentang okupasi dalam perspektif hukum
internasional. Sebagai pengetahuan bagaimana proses terjadinya okupasi itu,
teori-teori tentang okupasi dan syarat-syarat apa saja untuk dapat melakukan
okupasi.
Disini juga membahas mengenai sengketa-sengketa yang terjadi dengan adanya
okupasi sehingga kita dapat mengetahui betapa pentingnya arti sebuah wilayah
sehingga banyak diperebutkan antar Negara. Wilayah yang letaknya terpencil
namun memiliki sumber daya alam yang besar lebih rawan terkena konflik.
Karena letaknya yang jauh dari pantauan pemerintah sehingga Negara lain
mudah melakukan pengakuan/klaim.
Seperti yang terjadi pada pulau miangas yang terletak dekat perbatasan antara
Indonesia dengan Filipina. Pulau ini termasuk ke dalam desa Miangas,
kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud, provinsi Sulawesi Utara,
Indonesia. Pulau ini semapat dipersengketakan antara Indonesia dengan Filipina
yang akhirnya keluarlah putusan inkracht pulau miangas tetap menjadi milik
Indonesia.
Kasus lainnya yaitu Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang dipersengketakan
antara Indonesia dan Malaysia selama kurang lebih 20 tahun. Pada akhirnya
1
kedua pulau ini resmi dimiliki Malaysia sejak 17 Desember 2012 yaitu tepat di
keluarkananya putusan Mahkamah Internasional/International Court of Justice
(ICJ).
1.2.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa
syarat-syarat
unsur
yang
harus
ada
untuk
melakukan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Kontinuitas (Continuity), menurut teori ini dimana suatu tindakan okupasi
di suatu wilayah tertentu memperluas kedaulatan negara yang melakukan okupasi
sejauh diperlukan untuk menjamin keamanan atau pengembangan wilayah
terkait.
2.
Kedua teori tersebut sampai pada tingkat tertentu tercermin dalam klaim-klaim yang
diajukan oleh negara-negara terhadap wilayah kutub berdasarkan prinsip sektor
(sector principles). Dengan klaim-klaim berdasarkan prinsip ini, beberapa Negara
yang wilayahnya berbatasan dengan kutub telah menyatakan suatu hak kedaulatan
terhadap tanah atau laut membeku di dalam suatu sektor yang dibatasi garis pantai
wilayah ini dan oleh garis-garis bujur yang berpotongan di Kutub Utara atau Kutub
Selatan.
Dasar pembenaran utama untuk klaim-klaim sektor tersebut adalah tidak dapat
diterapkannya prinsip-prinsip normal asumsi fisik kontrol yang tersirat dalam hukum
internasional mengenai okupasi terhadap wilayah-wilayah kutub, yang tidak dapat
dimasuki, dengan kondisi iklim dan kurangnya pemukiman. Sektor-sektor ini sendiri
sesuai dengan pembagian yang adil dan pantas. Di lain pihak, kiranya tidak dapat
3
BAB III
ANALISIS
2)
atas daerah yang tidak bertuan/ tidak dimiliki negara lain, biasanya dengan
penemuan,
3)
pemukiman harus dengan jangka waktu yangg wajar dan bersifat menetap,
4)
5)
ada maksud untuk bertindak sbg pemegang kedaulatan atas wilayah yang
bersangkutan.3
Okupasi merupakan penegakan kedaulatan atas wilayah yang tidak berada di
bawah penguasaan negara manapun, baik wilayah yang baru ditemukan, ataupun
yang ditinggalkan oleh negara yang semula menguasainya. Penguasaan tersebut
harus dilakukan oleh negara dan bukan oleh orang perorangan, secara efektif dan
harus terbukti adanya kehendak untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai bagian
dari kedaulatan negara. Hal itu harus ditunjukkan misalnya dengan suatu tindakan
simbolis yang menunjukkan adanya penguasaan terhadap wilayah tersebut, misalnya
dengan pemancangan bendera atau pembacaan proklamasi. Penemuan saja tidak
cukup kuat untuk menunjukkan kedaulatan negara, karena hal ini dianggap hanya
memiliki dampak sebagai suatu pengumuman. Agar penemuan tersebut mempunyai
arti yuridis, harus dilengkapi dengan penguasaan secara efektif untuk suatu jangka
waktu tertentu.
2.
Unsur kehendak merupakan masalah kesimpulan dari semua yang fakta, meskipun
kadang-kadang
kehendak
tersebut
dapat
secara
formal
ditegaskan
dalam
Belanda, tetapi tidak ada reservasi formal yang diajukan pemerintah hindia Belanda
terhadap Trakat itu. Akan tetapi, putusan arbiter internasional DR. Max Huber
memenangkan Belanda atas kepemilikan Pulau Miangas. Menurut kajian Weter
(1979), DR. Max Huber memperkenalkan konsep hukum intertemporal dalam
menangani sengketa dimana kaidah-kaidah hukum internasional diterapkan
berdasarkan periode dan kasus tertentu. Dalam hal ini bukanlah menyangkut pilihan
hukum melainkan karena tidak adanya penerapan secara historis.
Sengketa Indonesia dengan Filipina adalah perairan laut antara P. Miangas
(Indonesia) dengan pantai Mindanao (Filipina) serta dasar laut antara P. Balut
(Filipina) dengan pantai Laut Sulawesi yang jaraknya kurang dari 400 mil.
Disamping itu letak P. Miangas (Indonesia) di dekat perairan Filipina, dimana
kepemilikan P. Miangas oleh Indonesia berdasarkan Keputusan Peradilan Arbitrage
di Den Haag tahun 1928. Di Kecamatan Nanusa, Kabupaten Talaud, Pulau Miangas
merupakan titik terluar yang paling jauh dan berbatasan dengan Filipina. Hingga kini
Indonesia dan Philipina belum mengikat perjanjian batas wilayah tersebut.
Selanjutnya, dalam beberapa kesempatan perundingan bilateral IndonesiaFilipina
sering muncul argumentasi yang mempertanyakan kembali status Pulau Miangas.
Filipina masih menggunakan dalil bahwa Las Palmas, masuk dalam posisi kotak
berdasarkan Traktat Paris 1898 dan hal ini dikuatkan dengan ditemukannya Pardao
(tugu peringatan) pendaratan Magelhaens di pulau pada tahun 1512. Di samping itu,
konstitusi Filipina masih menyebutkan Las Palmas dalam yurisdiksi dan
kedaulatannya.
Argumentasi di atas, dapat ditepis Pemerintah RI berdasarkan penetapan batas
wilayah Kerajaan Kepulauan Talaud yang menjadi bagian dan tradisi masyarakat
setempat. Secara historis, pengakuan batas wilayah Kerajaan Talaud telah terjadi
sejak kepulauan Talaud dan Filipina bagian selatan berada di bawah pengaruh dari
Kerajaan Tidore. Dalam hal ini, Indonesia harus menggunakan argumentasi historispolitis dan administratif.
Pada dekade 1960 hingga 1970-an, hubungan antara Miangas dan Filipina semakin
intens seiring dengan adanya kesepakatan tentang batas antara kedua negara.
Ironisnya, intensitas hubungan kedua negara tidak mempengaruhi kesadaran nasional
warga kepulauan tersebut. Masyarakat setempat lebih mengenal pejabat Filipina
ketimbang Indonesia. Hal ini terungkap ketika pada awal 1970-an sejumlah pejabat
pemerintah pusat yang menyertai kunjungan Wakil Presiden Sri Sultan Hamengku
Buwono IX ke wilayah perbatasan, melihat potret Presiden Filipina Ferdinand
Marcos menghiasi rumah penduduk.
Seiring perkembangan waktu, isu Miangas mencuat kembali di awal tahun 2002.
Adanya pernyataan yang menilai Pulau Miangas belum sepenuhnya milik Indonesia,
mengundang keprihatinan penduduk di pulau yang berdekatan dengan negara
Filipina itu. Kami sangat prihatin akan pemberitaan mengenai Pulau Miangas yang
seakan-akan tidak ada mengandung fakta-fakta hukum dari seorang yang dianggap
dituakan di daerah, yang dinilai tidak bertanggung-jawab terhadap pulau Miangas
sebagai bagian dari wilayah kepulauan Indonesia.
Sehubungan dengan itu, masyarakat setempat menyatakan bahwa jika demikian
halnya, biarlah rakyat Miangas yang bertanggungjawab sendiri kepada PBB. Dalam
menanggapi isu bahwa Miangas belum sepenuhnya milik Indonesia, warga
menyatakan akan tetap mempertahankan pulau Miangas sebagai milik Indonesia.
Karena itu, sebagaimana yang tertuang dalam kebulatan tekad masyarakat Pulau
Miangas dan ditandatangani oleh 20 perwakilan masyarakat dari 4 delegasi, dengan
tegas menolak penguasaan wilayah perbatasan Indonesia (Pulau Miangas) oleh
bangsa lain. Menurut mereka, hal ini bertentangan dengan konstitusi dan Hak Asasi
Manusia.
Hampir senada dengan politisi Sangihe-Talaud, sejumlah politisi Filipina yang
berada di Davao, Mindanau serta para kalangan akademisi mengangkat isu tentang
kepemilikan Pulau Miangas, Marore dan Marampit. Bahkan, seorang Profesor di
Universitas Filipina, H. Harry Roque menyatakan putusan pada tanggal 4 April 1928
antara Amerika Serikat dengan Belanda belum final karena Pulau Miangas, Marore
dan Marampit termasuk dalam traktat Paris tersebut.
Padahal menurut catatan, pada tanggal 4 April 1928 di atas kapal putih Greenphil
perundingan antara pemerintah Amerika dan Hindia Belanda telah memutuskan
Pulau Miangas termasuk dalam wilayah kepulauan Nusantara Indonesia sebab ciri
budayanya sama dengan masyarakat Talaud. Setelah proklamasi Negara Kesatuan
Republik Indonesia tanggal 17 Agustus secara tegas dinyatakan bahwa NKRI adalah
dari Pulau Sabang sampai Merauke dan dari Pulau Miangas sampai Timur-Kupang.
Hal itu lebih dipertegas lagi dengan diresmikannya tugu perbatasan antara Indonesia
dengan Filipina pada tahun 1955 di Pulau Miangas, dimana Miangas tetap berada
dalam wilayah Indonesia.
Kiranya, klaim politis yang berkembang saat ini Pemerintah Indonesia tidak perlu
khawatir akan kehilangan pulau miangas. Setelah pernyataan klaim politis atas Pulau
Miangas (2002), jawaban resmi pemerintah Filipina lewat Menteri Luar Negeri Blas
F. Ople menyatakan bahwa Miangas yang dalam Peta Filipina disebut Las Palmas,
adalah sah milik Indonesia. Bahkan dalam kesempatan kunjungan tiga hari Menlu
Blas F. Ople di Manado (1-3 Mei 2003), menawarkan kerjasama di bidang
Keamanan dan Ekonomi mengingat intensitas dan aktifitas masyarakat kedua negara
sangat potensial dan sudah terjalin sejak lama.
Setelah adanya kasus ini, kehidupan masyarakat perbatasan di Kabupaten SangiheTalaud mendapat perhatian lebih dari pemerintah, antara lain dengan membuka
jaringan pelayaran perintis ke pulau-pulau terpencil. Betapapun keterpencilan
membuahkan penderitaan bagi masyarakat pulau-pulau perbatasan namun mereka
tetap merasa sebagai bagian dari bangsa Indonesia, setidaknya dalam pendidikan
mereka konsisten berkiblat ke Indonesia. Fenomena ini tentu positif bagi keutuhan
bangsa
dan
negara
RI.
Contoh kasus lainnya yaitu sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan. Pulau ini merupakan
salah satu pulau terluar Indonesia sehingga rawan masalah perbatasan, terorisme
serta penyelundupan. Putusan Mahkamah Internasional /MI, International Court of
Justice (ICJ) tanggal 17-12-2002 yang telah mengakhiri rangkaian persidangan
sengketa kepemilikan P. Sipadan dan P. Ligitan antara Indonesia dan Malaysia.
Keputusan ICJ mengatakan kedua pulau tersebut resmi menjadi milik Malaysia.
Sebenarnya Pulau Sipadan dan Ligitan bukanlah milik Indonesia mapun Malaysia.
Namun kedua pulau tersebut milik Inggris. Ada beberapa fakta yang menujukkan
bahwa menurut teori okupasi pulau sipadan dan ligitan milik Inggris yaitu di kedua
pulau tersebut setelah ditelusuri pernah berlaku hukum Inggris yaitu Turtle
Preservation Ordinance 1917; perijinan kapal nelayan kawasan Sipadan Ligitan;
regulasi suaka burung tahun 1933 dan pembangunan mercusuar pada tahun 1962 dan
1963. Kemudian fakta selanjutnya Kedua pulau Sipadan dan Ligitan tertera di Peta
Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara RI, padahal kedua pulau tersebut tidak
tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman
kerja Tim Teknis Indonesia. Hasil voting Mahkamah Internasional/ ICJ pada kasus
sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan, 16 hakim menyatakan milik Malaysia,
sementara hanya 1 hakim yang menyatakan milik Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15
merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia
dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Alasan hakim memenangan Malaysia,
berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari
perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah kolonial Inggris
(penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa
penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap
pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an.
Dalam mengkaji bukti-bukti hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya
effective
occupation
atas
pulau-pulau
Sipadan-Ligitan,
Mahkamah
11
b.
c.
d.
12
BAB IV
PENUTUP
4.1. SIMPULAN
agar okupasi berjalan secara efektif, mensyaratkan dua unsur di pihak negara
yang melakukan okupasi:
1.
2.
4.2. SARAN
13