Anda di halaman 1dari 11

PENURUNAN BIODIVERSITAS, KERUSAKAN HABITAT

DAN UPAYA KONSERVASINYA

Abdul Chalim
FAKULTAS ARSITEKTUR LANSEKAP DAN
TEKNOLOGI LINGKUNGAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
2021
DAFTAR ISI

Hal.

I Pendahuluan 1

II Kerusakan Habitat dan Aktivitas Manusia 2

III Prinsip Biogeografi Pulau dan Upaya Konservasinya 4

IV Kesimpulan / Penutup

V Pustaka
Ringkasan

Kawasan Indonesia merupakan daerah kepulauan, memiliki distribusi spesies mengikuti


teori biogeografi pulau. Pulau yang berukuran lebih besar akan mempunyai spesies
lebih banyak. Jumlah spesies yang terdapat pada suatu pulau akan ditentukan oleh
luas pulau serta keseimbangan antara rata-rata kepunahan lokal dan migrasi.

Tekanan penduduk berupa pemanfaatan lahan yang melebihi daya dukung, telah
menyebabkan kerusakan dan megakibatkan isolasi dan fragmentasi habitat alami,
sehingga terbentuklah pulau-pulau habitat yang dikelilingi oleh aktivitas manusia atau
lingkungan binaan.

Sistem budidaya yang berkelanjutan kemudian dikembangkan dengan


mempertimbangkan dua kepentingan yaitu kontinyuitas hasil dan mengurangi degradasi
lingkungan, dengan sasaran memelihara sumberdaya yang dapat diperbaharui dan
kontrol terhadap pemakaian sumberdaya.
1

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan daerah tropis, terletak pada sabuk khatulistiwa. Terdiri


dari pulau-pulau besar dan kecil, sebagian besar luas wilayah merupakan lautan.
Memiliki keanekaragaman habitat, terdapat banyak mikroekosistem, relung yang sangat
beragam, dan unit biogeografi yang komplek.

Indonesia mempunyai dua wilayah biogeografi utama yaitu Oriental dan


Australia, yang diperkenalkan oleh A.R. Wallace. Paparan Sunda yang terdiri dari
pulau-pulau Sumatra, Jawa, dan Kalimantan; memiliki satwa-satwa khas Asia.
Sedangkan pulau Irian dan Aru yang berhubungan dengan Australia memiliki satwa
yang berbeda dengan satwa di daerah tropis Asia. Pulau-pulau seperti: Maluku,
Sulawesi, dan pulau-pulau Nusa Tenggara; yang tidak pernah berhubungan dengan
benua, memiliki flora dan fauna yang miskin spesies. Memiliki biota yang merupakan
perpaduan antara biota Asia dan Australia.

Kawasan Indonesia yang merupakan daerah kepulauan, memiliki distribusi


spesies mengikuti teori biogeografi pulau. Menurut Primack dkk.( 1998 ) jumlah spesies
yang terdapat pada suatu pulau akan ditentukan oleh luas pulau serta keseimbangan
antara rata-rata kepunahan lokal dan migrasi. Pulau yang berukuran 10 kali lebih besar
akan mempunyai spesies 2 kali lebih banyak. Rata-rata migrasi berhubungan dengan
tingkat isolasi pulau, pulau-pulau yang jauh dari benua mempunyai spesies yang lebih
sedikit. Oleh karena itu pulau-pulau besar seperti: Kalimantan dan Irian memiliki lebih
banyak spesies dari pada pulau yang lebih kecil, dan pulau yang jauh dari benua
seperti pulau Timor, kurang kaya akan spesies dari pada pulau yang dekat benua.

Tekanan penduduk dengan pemanfaatan lahan yang melebihi daya dukung,


telah menyebabkan kerusakan dan megakibatkan isolasi dan fragmentasi habitat alami,
sehingga terbentuklah pulau-pulau habitat yang dikelilingi oleh aktivitas manusia atau
lingkungan binaan. Rusaknya habitat dan terbentuknya pulau-pulau habitat
menyebabkan hilangnya habitat untuk bermigrasi satwa, hilangnya atau kepunahan
jenis, hilangnya flora potensial yang merupakan spesies kunci atau keystone species.
2

II. Aktivitas Manusia dan Kerusakan Habitat

Lingkungan hutan alami memiliki biodiversitas yang tinggi, baik flora, fauna,
maupun biodiversitas organisme di dalam tanah. Biodiversitas yang tinggi mengatur
terjadinya siklus, sehingga fungsi dari ekosistem dan stabilitas tetap terjaga.

Adanya campur tangan manusia, terutama dalam memenuhi kebutuhan pokok


berupa bahan pangan, menyebabkan terjadinya perubahan lingkunan alami. Intervensi
ini kemudian menyebabkan penurunan terhadap biodiversitas atau keanekaragaman
spesies. Intensifikasi dan sistem monokultur dalam pemanfaatan lahan telah merubah
biodiversitas yang mengatur berlangsungnya fungsi ekosistem.

Perubahan terhadap distribusi spesies dapat dilihat dengan jelas pada ekosistem
pertanian, dan dampaknya cukup memberikan pelajaran yang berharga. Perubahan
tersebut melalui tahapan-tahapan: penurunan biodiversitas pada lahan budidaya akibat
introduksi jenis-jenis unggul, penggunaan pupuk kimia dan pestisida, munculnnya hama
potensial, hilangnya parasit dan predator, gradasi terhadap lingkungan, dan efek residu
pestisida pada hasil panen.

Sejak intensifikasi diterapkan dengan sistem monokultur secara luas pada lahan
persawahan, terjadi penurunan biodiversitas tanaman bahan pangan. Lahan-lahan
persawahan yang luas hanya didominasi satu atau dua varietas padi unggul baru yang
dihasilkan oleh International Rice Research Instiute ( IRRI ). Padahal menurut
Setjanata dkk. ( 1992 ), pada periode sebelum tahun 1967 lahan sawah di Indonesia
masih didominasi oleh varietas-varietas lokal dan varietas unggul nasional seperti:
Bengawan, Sigadis, Sinta, dan Dewi Tara. Pada umumnya varietas-varietas tersebut
mempunyai kualitas gabah atau beras yang baik. Meskipun lahan-lahan sawah
didominasi padi, akan tetapi terdapat keanekaragaman pada tingkat varietas.

Penurunan biodiversitas tanaman budidaya kemudian diikuti dengan penurunan


herbivora pada ekosistem lahan sawah. Jumlah jenis serangga menurun, akan tetapi
beberapa jenis serangga yang semula tidak penting, populasinya menigkat sehingga
terjadi eksplosi hama yang mengakibatkan puso pada tanaman padi. Hal ini terjadi
karena tersedianya jumlah makanan yang melimpah secara terus-menerus dan
3

hilangnya parasit dan predator. Pemakaian pestisida secara intensif telah


menyebabkan hilangnya serangga bukan sasaran, resistensi terhadap hama, dan
munculnya biotipe-biotipe hama baru.

Sebagai ilustrasi mengenai perubahan biodiversitas, introduksi jenis varietas


baru dan dampak yang ditimbulkan dapat ditunjukkan seperti yang dilaporkan oleh
Soemarwoto dan Idjah ( 1984 ). Pada awal tahun 1970, varietas padi IR 8 yang
dihasilkan oleh IRRI, dan ditanam secara luas ternyata tidak tahan oleh penyakit tungro
yang disebabkan oleh virus. Virus ini ditularkan oleh hama wereng hijau
( Nephotettix virescens ). Kemudian penyakit ini dihentikan setelah diperkenalkan padi
varietas IR 20 yang tahan terhadap penyakit virus. Akan tetapi kemudian varietas ini
tidak tahan terhadap serangan hama wereng coklat ( Nilaparvata lugens ), merupakan
hama yang sangat merusak tanaman padi sehingga produksi menurun. Kemudian
hama ini diatasi dengan melepas varietas padi IR 26, muncul kemudian hama wereng
coklat biotipe 2, serangan hama wereng coklat berulang sampai diperkenalkan varietas
padi IR 36.

Untuk menghindari resiko kegagalan panen, usaha peningkatan produksi pangan


selalu diikuti dengan penggunaan pestisida secara intensif. Menurut Tjandrakirana
( 1990 ), eksplosi atau peledakan hama wereng coklat diduga terjadi karena: resistensi,
resurgensi, matinya musuh alami, dan pergeseran hama utama; meskipun hama ini
sebelumnya bukan merupakan hama utama.

Meskipun varietas-varietas yang dikembangkan pada waktu itu memberikan


respon yang baik terhadap pemupukan dan mempunyai hasil yang tinggi, tetapi sistem
produksi ini rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Disamping itu sistem
budidaya ini membutuhkan input yang besar dalam hal: keseragaman genitik bibit,
jumlah air yang banyak, serta ketergantungan terhadap pupuk kimia dan pestisida.
Sistem intensifikasi pada lahan sawah telah menggeser sistem pertanian tradisional.
Penggunaan varietas lokal yang dikombinasikan dengan pemeliharaan ikan pada
sistem mina-padi, tidak bisa dikembangkan lagi, karena pestisida selalu digunakan
pada lahan budidaya.
4

Penggunaan pestisida berpengaruh terhadap biodiversitas mikroorganisme


dalam tanah. Penggunaan melalui tanah atau residu pada tanah, akan menurunkan
mikroorganisme tanah yang bermanfaat dalam menciptakan kesuburan biologi tanah.

Menurut Rao ( 1994 ), pestisida berpengaruh terhadap perubahan populasi dari:


Azotobacter, Rhizobium, mikroorganisme selulolitik, mikroorganisme pelarut pospat,
dan menurunkan jumlah bintil akar pada lucerne ( Medicago sativa L.). Sistem
pertanian monokultur yang menggunakan pupuk kimia dan pestisida dalam jumlah yang
besar, akan memberikan peluang terhadap mikroorganisme patogen yang
menimbulkan penyakit, menjadi dominan pada lahan pertanian ( Higa & Parr.1997 ).
Pestisida adalah racun bagi hewan dan manusia. Pemakaian yang tidak bijaksana dan
hati-hati akan menimbulkan efek yang merugikan berupa: pencemaran terhadap tanah,
air, dan efek residu pada hasil panen.

Intensifikasi yang diterapkan pada Revolusi Hijau untuk tanaman padi telah
menimbulkan permasalahan sosial dan ekologi. Adapun dampak yang ditimbulkan
adalah: degradasi lahan, berulang dan munculnya kembali hama dan penyakit,
keracunan, erosi genitik tanaman pangan, erosi sistem pertanian tradisional
berkelanjutan, secara keseluruhan menurunkan daya dukung lingkungan dan
mengakibatkan penurunan produktivitas pertanian ( KLHRI, 2002 ).

III. PRINSIP BIOGRAFI PULAU DAN UPAYA KONSERVASI

Upaya utuk melakukan konservasi berdasarkan prinsip-prinsip biogeografi pulau,


seperti direkomendasikan dalam desain suatu kawasan konservasi yang dikemukakan
oleh Wilson & Willis ( 1975 ) dlm. Brown & Lomolino ( 1998 ), sebagai berikut:

o Dalam ukuran luas yang sama, bentuk kawasan konservasi yang menyatu
akan lebih baik dari pada bentuk yang terpecah atau terfragmentasi.
o Pengaruh dari efek tepi atau edge effect seminimal mungkin, sehingga
bentuk kawasan yang membulat lebih baik dari bentuk yang memanjang.
o Bentuk kawasan yang terpisah memiliki jarak yang sedekat mungkin.
5

o Beberapa kawasan yang tersebar perlu dibuatkan koridor, untuk


meniadakan isolasi, fragmetasi, dan memungkinkan terjadinya migrasi.

Menurut Primack ( 1993 ) dlm. Daryadi dkk. ( 2002 ), menyatakan bahwa


kawasan konservasi yang berbentuk membulat akan meminimalkan ratio atau
perbandinngan edge to area atau daerah pinggir dengan luas area. Kawasan yang
demikian akan mempuyai pusat yang relatif berada di tengah dan jauh dari tepi.
Sedangkan kawasan yang memanjang akan memiliki tepi atau pinggir yang luas, dan
seluruh lokasi pada kawasan tersebut akan berada dekat tepi.

Namun demikian berkaitan dengan bentuk dan luas suatu kawasan konservasi,
terdapat pro dan kontra sehingga menimbulkan pembahasan yang menarik dan dikenal
dengan SLOSS debate ( Single Large Or Several Small ). Ukuran kawasan konservasi
sering dipertanyakan, apakah lebih menguntungkan kawasan konservasi yang luas
atau cukup dengan kawasan konservasi yang ukurannnya kecil. Beberapa hal yang
masih merupakan bahan perdebatan antara lain:

o Model yang bagaimana yang dapat meramalkan kepunahan atau


kolonisasi pada luas pulau yang berbeda dan bentuk-bentuk cadangan
alam mana yang secara teori terbaik.
o Lorong penghubung atau koridor, disamping diperlukan untuk dispersal,
migrasi, kolonisasi, dan aliran gen; juga memberikan peluang terhadap
penularan penyakit dan resiko suatu epidemi. Disamping itu terdapatya
koridor akan menyebabkan satwa beresiko terhadap predator dan
perburuan.
Menurut Meffe et al.(1994 ) dlm. Daryadi ( 2002), ukuran kawasan konservasi
yang lebih besar jauh lebih baik untuk memelihara spesies individu, keanekaragaman
hayati dan fugsi eologisnya. Kawasan yang besar mencakup spesies dalam jumlah
yang lebih besar pada suatu area dibanding dengan kawasan yang lebih kecil. Selain
itu daya tahan spesies individu sangat tergantung pada ukuran luas kawasan,
kebanyakan spesies khususnya vertebrata yang besar cederung untuk punah dibanding
vertebrata kecil.
6

Adapun tanggapan terhadap adannya pro-kontra dalam SLOSS debate,


terutama dalam hal aplikasi desain atau pengelolaan kawasan konservasi, antara lain:

o Pro-kontra dalam SLOSS debate merupakan suatu yang wajar.


o Indonesia merupakan wilayah kepulauan, kaya akan habitat, dan memiliki unit
biogeografi yang komplek. Masing-masing daerah memiliki potensi dan
permasalahan serta keunikan yang berbeda. Sehingga penetapan tentang luas
kawasan tergantung pada interaksi antara faktor-faktor yang saling terkait pada
kasus per kasus yang berbeda pada setiap daerah.
o Perlu dilakukan analisis tentang equilibrium atau keseimbangan antara migrasi
dan kepunahan pada setiap pulau atau pulau-pulau habitat.
o Penyatuan terhadap beberapa habitat tidak hanya dihubungkan oleh koridor
secara fisik, akan tetapi sistem pengelolaan terpadu perlu direncanakan.
o Beberapa kawasan konservasi kemungkinan berada pada wilayah administrasi
yang berbeda, sehingga diperlukan kerjasama antar daerah dalam mendisain
dan merencanakan pengelolaannya. Hal ini penting karena migrasi burung
misalnya, tidak ditentukan oleh adanya koridor fisik. Menurut Primack dkk.
( 1998 ), bahwa keadaan lingkungan tertentu seperti: jumlah populasi serangga,
gugurnya daun, keadaan iklim, merupakan rangsangan untuk bermigrasi.
o Dalam menetapkan luasan kawasan konservasi, dengan pertimbangan ukuran
yang luas sebagai suatu persyaratan, maka kemungkinan terdapat pemukiman-
pemukiman masyarakat di dalam kawasan. Dalam hal ini perlu dikaji aspek
kultur-sosial terutama yang menyangkut pengetahuan lokal dan kearifan
tradisional, hubungannya dengan partisipasi masyarakat dalam kegiatan
konservasi.

IV. KESIMPULAN / PENUTUP

Intensifikasi pada sistem pertanian menyebabkan dua tipe perubahan. Lebih


sering lahan dimanfaatkan lebih banyak sumberdaya digunakan, dan spesialisasi
produksi atau sistem monokultur menyebabkan hilangnya biodiversitas. Semakin
intensif lahan dimanfaatkan semakin banyak input digunakan untuk menjaga stabilitas
7

ekosistem. Dengan demikian pemahaman terhadap pembangunan dalam bidang


pertanian tidak hanya meningkatkan hasil secara biologi atau ekkonomi, akan tetapi
juga berkelanjutan.

Keberlanjutan adalah konsep yang komplek, karena mempertimbangkan aspek


ekologi, ekonomi, dan keanekaragaman. Keberlanjutan mempertimbangkan fungsi dari
ekosistem, pada dasarnya adalah kapasitas dari suatu ekosistem yang dikelola tanpa
penurunan hasil terhadap produk yang diinginkan sepanjang waktu. Stabilitas hasil
diperoleh dengan mengurangi faktor-faktor resiko bagi petani.

Menurut Conway ( 1985 ) dlm. Schultze & Mooney ( 1994 ),sistem yang berkelanjutan
adalah memelihara produktivitas pada ekosistem yang terganggu. Banyak ekosistem
alami yang mengalami kerusakan siklus, dan perbaikan atau recovery merupakan
tanggapan terhadap gangguan kapasitas produksi.

Konsep berkelanjutan mempertimbangkan dua kepentingan yaitu kelangsungan


atau kontinyuitas hasil dan mengurangi degradasi lingkungann. Sistem budidaya yang
berkelanjutan kemudian memadukan dua kepentinngan diatas, dengan sasaran
memelihara sumberdaya yang dapat diperbaharui dan mekanisme kontrol terhadap
pemakaian sumberdaya. Pada sistem yang berkelanjutan, biodiversitas, fungsi
ekosistem, dan stabilitas perlu mendapatkan perhatian dalam praktek budidaya, karena
terdapat hubungan yang sangat erat antara siklus nutrien dengan efisiensi pemakaian
sumberdaya.
8

V. PUSTAKA

1. Brown, J.H. & M.V. Lomolino. 1998. Biogeography. Sinauer Associates, Inc.
Publisher, Massachusetts: xii+692p.
2. Daryadi, L. dkk. 2002. Konservasi lansekap,alam,lingkungan, dan pembangunan.
PKBSI, Jakarta:viii+211hal.
3. Higa, T. & J.F. Parr. 1997. Effective microorganisms ( EM ) untuk pertanian dan
lingkungan yang berkelanjutan. Indonesia Kyusei Nature Farming Scieties,
Jakarta:v+45hal.
4. KLHRI, 2002. Dari krisis menuju keberlanjutan,Meniti jalan pembangunan
berkelanjutan di Indonesia, Tinjauan pelaksanaan agenda 21, KLHRI.
Jakarta:viii+78hal.
5. Primack, dkk. 1998. Biologi konservasi. Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta:vi+343hal.
6. Rao, N.S. Suba.1994. Mikroorganisme tanah dan pertumbuhan tanaman. Universitas
Indonesia, Jakarta: xi+353 hlm.
7. Soemarwoto, O. & I.Soemarwoto. 1984. The Javanese rural ecosystem. An
introduction to human ecology research on agricultural system in South east
Asia. Rambo, A.T. & Percy, E.S. ( eds.), Univ. of the Philippines, Los Banos,
Philippines: xiv+327p.
8. Schultze, E.D. & H.A. Mooney (eds ).1994. Biodiversity and ecosystem function .
Springer-Verlag, Berlin Heidelberg:xi+525p.

Anda mungkin juga menyukai