NPM : 180210210044 Prodi : Sastra Sunda Matkul: Pengkajian Budaya Tugas : Essay
“TIDAK AKAN ADA SALAM JIKA TIDAK ADA WAHYA”
SALAM, satu kata yang biasa dikenal dengan maksud memberi salam kepada orang lain. Namun, SALAM disini memiliki makna dan fungsi yang berbeda. SALAM yaitu singkatan dari Sanggar Anak Alam, salah satu sanggar belajar yang didirikan oleh sepasang suami istri yang bernama Sri Wahyaningsih dan Toto Rohardjo pada tanggal 17 Oktober 1988. SALAM ini terletak di Kampung, Jl. Nitiprayan No.RT.004, Jomegatan, Ngestiharjo, Kec. Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55182. Pada tahun 2000, SALAM memulai aktivitasnya di Kampung Nitiprayan, Kasihan, Bantul, sebuah kampung yang letaknya di perbatasan antara Kodya Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Sekolah ini dibangun atas dasar keprihatinan dalam melihat sistem pendidikan di Indonesia. Bahkan seorang Executive Director of AIFIS yaitu Megan Hewitt, Ph. D., menjelaskan dan membagikan pengalamannya dalam webinar yang berjudul “Laku-Mlaku Sanggar Anak Alam : Tracing Rivers And Memories Of Return To Agrarian Java ” yang dilaksanakan pada tanggal 19 Oktober 2022. Sanggar anak alam memiliki empat pilar pendidikan yaitu pangan, kesehatan, lingkungan hidup, dan sosial budaya. Peserta didik SALAM diajarkan mencintai panganan lokal seperti beras dengan cara memperkenalkan beras dimulai dari Ritual hingga cara menyajikan. Peserta didik diajarkan untuk tidak mengkonsumsi makan minum yang mengandung bahan kimia buatan seperti pengawet. Peserta didik SALAM diajarkan untuk bersikap toleransi terhadap sesamanya. Berdasarkan wawancara penyusun kepada seorang wali murid, selama di SALAM anaknya tidak pernah mengalami perundungan ketika sekolah dan jika diperhatikan tidak ada sekat antara kelas atas dan kelas bawah dalam pergaulan (misal bermain bola). Sedangkan fokus utama di SALAM adalah pembentukan karakter anak, dan bukan pada hal-hal fisik di lingkungan sekitar. Sanggar anak alam tidak mempunyai mata pelajaran, aturan, seragam, dan guru. Peserta didik dapat berguru dari siapa saja dan di SALAM dikenal dengan sebutan fasilitator. Tidak seperti sekolah pada umumnya yang memiliki mata pelajaran, di SALAM, peserta didik belajar dengan metode Riset (by research). Riset yang dilakukan sesuai dengan passion masing–masing individu. Passion yang mereka temukan, dipelajari, dipahami dan dikuasai. SALAM tidak memiliki seragam seperti sekolah–sekolah pada umumnya yang harus dikenakan setiap ke sekolah dan peserta didik dibolehkan menggunakan sandal japit. SALAM mengajarkan kebhinekaan hingga ketingkat individual. SALAM memiliki jam masuk, keluar dan istirahat yang bisa saja berbeda antar kelas. Tingkat SMA, SALAM mengajarkan anak – anak membuat sendiri raportnya. Kurikulum atau konsep pendidikan yang diusung SALAM mengacu pada konsep pendidikan merdeka Ki Hajar Dewantara yang memiliki semboyan tidak diperintah dan tidak terperintah, dan tidak bergantung pada orang lain. Pada webinar yang berjudul “Laku-Mlaku Sanggar Anak Alam : Tracing Rivers And Memories Of Return To Agrarian Java ” oleh Megan Hewitt, Ph. D. banyak menyinggung salah satu pendiri dari SALAM yaitu Sri Wahyaningsih. Sri Wahyaningsih biasa disebut dengan Wahya. Wahya adalah seorang pekerja yang akhirnya menjadi ibu rumah tangga karena protes dari anaknya yang dianggap tidak bertanggung jawab. Wahya adalah seorang ibu yang kritis. Waktu itu anak kedua dari Wahya tidak betah, bandel, dan tidak ingin sekolah. Sampai suatu ketika Wahya mengalihkan sekolahnya ke sekolah yang kecil dan kurang banyak siswanya. Namun sekolah itu memiliki guru-guru yang terbuka dan aktif juga kritis. Di sekolah itu anak keduanya sangat betah bahkan aktiff di berbagai pelajaran. Di sekolah kecil itu Wahya membuat sebuah ulasan baru yaitu dengan cara menata ulang semua yang ada di sekolah itu. Namun ia tidak sendiri, ia ditemani oleh orang tua murid lainnya. Di kelas mulai ditata dari kursi, meja, dan sebagainya dijadikan tempat nyaman untuk anak-anak mulai berdiskusi. Lalu perpustakaan mulai ditata dengan rapi dan diberi lukisan-lukisan indah juga diadakan majalah dinding agar terlihat menarik dan menambah semangat anak-anak di sekolah itu. Ada pula taman sekolah yang tidak terawat mulai diperhatikan dan dirawat kembali. Wahya mengundang berbagai seniman ke sekolah itu. Sebenarnya Wahya cukup lama dalam bidang pendidikan, ia sempat menjadi mahasiswa di bidang Akademi Keuangan dan Perbankan Yogyakarta. Disana ia terlibat dengan kegiatan pendampingan masyarakat di pinggiran Kali Code. Di situlah ia bergaul cukup intensif dengan budayawan Romo Mangunwijaya yang telah almarhum. Selesai kuliah ia masih aktif di Kali Code. Namun, kali ini bekerja untuk Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Duta Wacana. Ia menikah dengan seorang aktivis organisasi nonpemerintah di Yogyakarta yaitu Toto Rahardjo. Karena Toto mendapat tugas di luar Jawa, ia pindah ke rumah mertuanya di Desa Lawen, Banjarnegara, Jawa Tengah. Di tempat mertuanya Wahya mengumpulkan anak-anak untuk membuat suatu kreatifitas yaitu membuat peternakan percontohan. Kegiatan inilah yang akhirnya ia wadahi dengan diberi nama SALAM (Sanggar Anak Alam). Tidak heran jika Megan banyak mengaitkan SALAM dengan Sri Wahyaningsih, karena tidak akan ada SALAM jika tidak ada Wahya. SALAM ini tentunya sangat bermanfaat bagi semua kalangan dan bersifat menguntungkan bagi semua pihak.