Anda di halaman 1dari 17

KAJIAN SOSIOLOGI TENTANG SEKOLAH DAN KELAS

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan


Dosen Pembimbing Bapak Depict Pristine Adi, M. Pd

Oleh Kelompok 9 :

Aisya Nur Afifa T20188027


Sarifatul Ula T20188031
Siti Alfiyana Azizah T20188037

PROGRAM STUDI TADRIS BIOLOGI

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER


2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas penyusunan Makalah Kajian Sosiologi
Tentang Sekolah dan Kelas.
Makalah dengan judul Pendidikan dan Masyarakat. Makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sosiologi Pendidikan yang diampu oleh Bapak
Depict Pristine Adi, M.Pd. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah terlibat dalam pembuatan makalah ini.
Isi global dari makalah ini adalah membahas tentang kajian sosiologi dan kelas
yang merupakan kebutuhan setiap orang untuk mendapatkan pendidikan sekolah. Dalam
makalah ini yang akan dibahas antara lain sekolah sebagai sistem sosial, organisasi dan
kelas yang merupakan akumulasi komponen-komponen sosial integral yang saling
berinteraksi, memiliki kiprah yang bergantung satu sama lain dan sebagai usaha suatu
instansi dalam mengembangkan proses pembelajaran.

Jember, 03 Desember 2020

Penulis,
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i

KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii

DAFTAR ISI............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 4
C. Tujuan............................................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Sekolah ........................................................................................ 5


B. Sekolah Sebagai sistem interaksi................................................................... 6
C. Sekolah sebagai Organisasi............................................................................ 10
D. Kelas dan Sistem Sosial................................................................................. 13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan....................................................................................................15
B. Saran ..............................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mendengar kata sekolah, maka yang mungkin kita bayangkan adalah sebuah

bangunan luas dengan banyak ruang yang terbagi-bagi lagi menjadi kelas. Kemudian,

mungkin di depannya terpasang sebuah tulisan besar nama sekolah tersebut.

Kembali ke zaman-zaman dimana pemikiran Socrates membuat orang-orang

Yunani kala itu mulai gemar “berpikir”, kemudian “sekolah” menjadi sebuah tren.

Kata tesebut berasar dari Bahasa Yunani “Skhole, Scola, Scolae” yang berarti waktu

senggang yang diambil dari kebiasaan orang Yunani Tempo dulu. Pada masa itu,

mengisi waktu luang dengan datang ke tempat-tempat tertentu dan belajar suatu hal

baru menjadi sebuah hobi. Kemudian hobi ini menjadi kebiasaan dimaan para orang

tua akan mengirimkan anak-anak mereka pada seseorang yang dianggap cakap dalam

hal tertentu, dan disana mereka akan bermain dan belajar tentang apa saja yang

mereka rasa perlu dipelajari.

Sejak saat itu fungsi sekolah yang mulanya scola matterna (pengasuhan ibu

sampai usia tertentu) menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak di

waktu senggang di luar rumah sebagai pengganti ayah dan ibu).

Lalu di masa sekarang agaknya makna sekolah ini mengalami pergeseran

menjadi institusi tempat diadakannya pengajaran, tetapi tidak lagi semerdeka dalam

asal arti katanya yang berarti waktu senggang. Makna sekolah ini kemudian

dipersempit dengan sistem-sistem pengajaran yang tidak memerdekakan pikiran.

Kurikulum dibentuk seolah-olah sebatas formalitas untuk mendapatkan ijazah, tanpa

membahas esensi dari sekolah itu sendiri. Esensi dari belajar itu sendiri adalah proses
dari awalnya tidak tau menjadi tau. Maka sekolah apapun bentuknya adalah sekolah

jika membuat seseorang mengalami proses tersebut. namun perbedaan dari sekolah

formal dan non-formal adalah bagaimana lulusannya kemudian dapat memaknai

hidup, yang merupakan hasil akhir dari proses belajar itu sendiri. Anak-anak sekolah

formal boleh jadi sukses dan jadi orang besar, begitu pula anak-anak sekolah formal.

Bisa jadi anak-anak sekolah non-formal ini mempunyai pengalaman hidup yang lebih

dalam, yang mencetak mereka kelak menjadi profesor kehidupan1.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian sekolah ?

2. Bagaimana Sekolah sebagai sistem interaksi dan organisasi ?

3. Bagaimana Kelas dan sistem sosial?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mendeskripsikan pengertian sekolah

2. Untuk mendeskripsikan Sekolah sebagai sistem interaksi

3. Untuk mendeskripsikan Sekolah sebagai organisasi

4. Untuk mendeskripsikan Kelas dan sistem sosial.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sekolah
Sekolah berasal dari bahasa Belanda school, bahasa Jerman die scrule, yang
artinya sekolah, yaitu suatu lembaga pendidikan. Jadi sekolah dapat di artikan sebuah

1
Hanadia Mumtaz, “Sekolah Masihkah ‘Sekolah’?”
(https://www.kompasiana.com/hanadiamumtaz2269/5f522faf097f36654e0d53e2/sekolah-masihkah-
sekolah?page=all, diakses pada 3 Desember 2020 pukul 12.35)

5
lembaga pendidikan formal sebagai tempat belajar siswa atau disebut gedung tempat
belajar.2
Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang penting, pada zaman dulu dan
terlebih lagi pada zaman sekarang ini. Dewasa ini sekolah merupakan kebutuhan
setiap orang untuk mendapatkan pendidikan dari sekolah. Sekolah mempunyai dua
aspek penting yaitu aspek individu dan aspek sosial. Di satu pihak, pendidikan
sekolah bertugas mempengaruhi dan menciptakan kondisi yang memungkinkan
perkembangan secara optimal. Sekolah sebagai pendidikan formal dituntut untuk
dapat merekam segala fenomena yang terjadi di masyarakat. Selanjutnya sekolah
memberikan informasi dan penjelasan kepada peserta didik terhadap ontologis suatu
peristiwa.3
Untuk mendampingi dalam kegiatan sekolah anak-anak didampingi oleh orang
ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga memberikan kesempatan yang
sebesar-besarnya kepada anak-anak untuk menciptakan sendiri dunianya melalui
berbagai pelajaran. Sekolah merupakan suatu bangunan atau lembaga untuk belajar
dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Sekolah dipimpin oleh
seorang Kepala Sekolah. Kepala Sekolah dibantu oleh Wakil Kepala Sekolah.
Bangunan sekolah disusun meninggi untuk memanfaatkan tanah yang tersedia dan
dapat diisi dengan fasilitas yang lain. Ketersediaan sarana dalam suatu sekolah
mempunyai peran penting dalam terlaksananya proses pendidikan4
Sekolah adalah lembaga yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat kompleks,
menunjukkan bahwa sekolah sebagai suatu sistem sosial di dalamnya terdapat
berbagai dimensi yang saling berkaitan satu sama lain. Sedangkan bersifat unik,
menunjukkan bahwa sekolah sebagai suatu organisasi memiliki ciri-ciri tertentu yang
tidak dimiliki oleh organisasi-organisasi lain seperti tempat terjadinya proses
pembelajaran dan pembudayaan kehidupan manusia. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa sekolah merupakan suatu gedung atau lembaga pendidikan formal yang
dimanfaatkan sebagai tempat belajar siswa yang didalamnya ada suatu kegiatan-
kegiatan untuk mengembangkan potensi peserta didik untuk menjadi manusia yang
berakhlak mulia.5
B. Sekolah Sebagai Sistem Sosial
2
Moh. Padil, Sosiologi Pendidikan, (Yogyakarta: UIN Maliki Press, 2007), hal. 145.
3
Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2008)
4
Munib. Ahmad, Pengantar Ilmu Pendidikan, ( Semarang: UNNES Press, 2006), hal.32.
5
Frank J Miflen dan Sydney C Mifflen, Sosiologi Pendidikan, (Bandung: Tarsito, 1986), hal.303.

6
Sebagai sistem sosial, sekolah merupakan akumulasi komponen-komponen
sosial integral yang saling berinteraksi dan memiliki kiprah yang bergantung antara
satu sama lain. Sesuai dengan pendekatan fungsional struktural, lembaga sekolah
diibaratkan masyarakat kecil yang memiliki kekuatan organis untuk mengatur dan
mengelola komponen-komponennya. Bagian-bagian tersebut diatur dan terintegrasi
dalam naungan sistem kendali sosial berwujud organisasi formal. Pedoman formal
merupakan rujukan fundamental dari seluruh latar belakang sikap dan perilaku para
pengemban status dan peran di sekolah.
Pendekatan fungsional struktural melihat lingkungan sekolah pada hakikatnya
merupakan susunan dari peran dan status yang berbeda-beda, dimana masing-masing
bagian tersebut terkonsentrasi pada satu kekuatan legal struktural yang menggerakkan
daya orientasi demi mencapai tujuan tertentu. Tentu saja sistem sosial tersebut
bermuara pada status sekolah sebagai lembaga formal.
Keberadaan guru, siswa, kepala sekolah, psikolog atau konselor sekolah,
orang tua, siswa, pengawas, administratur merupakan komponen-komponen
fungsional yang berinteraksi secara aktif dan menentukan segala macam
perkembangan dinamika kehidupan sekolah sebagai organisasi pendidikan formal.
Sehingga di sini fungsional strukural melandasi pandangan kita untuk melihat
berbagai peran dan status formal di sekolah sebagai satu-satunya pedoman mendasar
atas segala aktivitas yang dilakukan oleh warganya. Seluruh warga pengemban
kedudukan telah tersosialisasi norma-norma sekolah sesuai dengan porsi statusnya
sehingga menyokong terbinanya stabilitas sosial dalam sekolah. Manifestasi peran
mendasar norma-norma sekolah telah mengikat warganya dalam nuansa integritas
kesadaran yang tinggi.

Di dalam sekolah, seorang kepala sekolah selain memiliki kedudukan formal


sebagai pemimpin sekolah ternyata juga mengindikasikan pertentangan kepentingan
dan otonomi status lain yang lebih rendah, misalnya para guru, staf-staf administrasi
dan sebagainya. Terhadap guru, ketika seorang kepala sekolah menjalankan fungsi
formalnya, maka ada titik pertentangan yang menggoyahkan otonomi peran guru
dalam mengelola belajar mengajar. Di satu sisi kepala sekolah berharap agar siswa
berhasil dalam belajar dengan proses pengajaran yang efektif, efisien serta mampu
mencapai target penguasaan materi yang banyak. Di sisi lain, harapan yang

7
melambangkan kepentingan status kepala sekolah tersebut tentunya membebani peran
sekaligus otonomi kedudukan guru dalam mengelola pembelajaran di kelas.6
Sekolah merupakan suatu sistem sosial yang di dalamnya terdapat seperangkat
hubungan mapan, interaksi, konfrontasi, konflik, akomodasi, maupun integrasi yang
menentukan dinamika para warganya di sekolah. Oleh sebab itu, di dalam sekolah
akan selalu mengandung unsur-unsur dan proses-proses sosial yang kompleks seperti
halnya dinamika sosial masyarakat umum.7
Beberapa unsur tersebut memproduk konsep-konsep sosial di dalam sekolah
yakni sebagai berikut.
1. Kedudukan dalam Sekolah
Sekolah, seperti sistem sosial lainnya dapat dipelajari berdasarkan kedudukan
anggota dalam lingkungannya. Setiap orang di dalam sekolah memiliki persepsi
dan ekspektasi sosial terhadap kedudukan atau status yang melekat pada diri
warga sekolah. Di sana kita memiliki pandangan tentang kedudukan kepala
sekolah, guru-guru, staf administrasi, pesuruh, murid-murid serta asumsi-asumsi
hubungan ideal antarbermacam kedudukan tersebut. Hal ini selaras dengan
pendapat Weber (dalam Robinson, 1981) tentang konsep tindakan sosial, dimana
setiap orang memiliki ideal type untuk mengukur dan menentukan parameter
mendasar tentang sebuah realitas. Realitas sosial yang tersebar dalam status sosial
menjadi titik tolak kesadaran seorang individu untuk menentukan sikap,
pandangan dan tindakan dalam lingkup sosial tertentu. Harapan ideal “kepala
sekolah” merupakan kesadaran awal yang mempengaruhi sikap individu seorang
pejabat kepala sekolah. Meskipun pada proses selanjutnya harus terkombinasi
dengan pembawaan individu, prasangka terhadap status lain, hubungan-hubungan
antarstatus serta kaitannya dengan konstruksi total dari susunan status di sekolah.
Dalam mempelajari struktur sosial sekolah kita analisis berbagai anggota
menurut kedudukannya dalam sistem persekolahan. Beberapa kedudukan di
bentuk dan dibangun berdasarkan sistem klasifikasi sosial di antaranya adalah,
a. Kedudukan berdasarkan jenis kelamin, akan mengidentifikasi pelakunya pada
perbedaan seks atau kelamin bu guru, pak guru, murid putri, siswa lelaki, pak
kepala sekolah dan lain sebagainya. Secara sosial kedudukan berdasarkan
seks merupakan pembedaan ruang orientasi atas dasar perbedaan fisik.
6
Ravik Karsidi, Sosiologi Pendidikan, ( Surakarta: UNS Press dan LPP UNS, 2005), hal. 59
7
Paul B. Horton dan Hunt Chester L, Sosiologi, (Jakarta: Erlangga, 1999), hal. 333.

8
Pembedaan tersebut merupakan dampak kultural dari masyarakat yang lebih
luas, dimana perbedaan kelamin masih mengkisahkan pembagian kerja, hak,
serta ruang gerak yang berbeda pula. Namun secara struktural pembedaan
jenis kelamin tidak begitu mempengaruhi kualitas penerapan ketentuan formal
sebuah lembaga. Seorang kepala sekolah wanita tetap saja memiliki otoritas
atau kewenangan kekuasaan terhadap para guru lelaki maupun wakasek laki-
laki.
b. Kedudukan berdasarkan struktur formal di lembaga, misalnya kepala sekolah,
guru, staf administrasi, pesuruh, siswa dan lain sebagainya. Kategori
kedudukan ini dilandasi oleh ketentuan-ketentuan formal yang melembagakan
serangkaian peran dan pemetaan kewenangan struktural berdasarkan
pembagian wilayah kekuasaan yang bersifat hierarkis. Sesuai dengan formasi
struktur lembaga sekolah maka masing-masing posisi menggambarkan tingkat
kekuasaan yang bertingkat-tingkat. Posisi teratas menggambarkan puncak
pengakuan otoritas tertinggi lalu secara gradual makin berkurang pada
posisi-posisi di bawahnya.
c. Kedudukan berdasarkan usia. Pengakuan terhadap kategori sosial ini
didasarkan konstruksi sosial sekolah sebagai lembaga pendidikan. Berangkat
dari pengertian tentang pengajaran sebagai sumber dari keberadaan sekolah
dan segala aktivitas kelembagaannya. Sementara proses pengajaran tidak
lepas dari hubungan antara pengajar dengan yang belajar. Maka bisa
ditangkap indikasi kecenderungan dalam lembaga sekolah untuk
mengutamakan sistem nilai berdasarkan usia. Mereka yang tua dikontruksikan
sebagai pengajar, teladan, sumber nilai kebaikan, pengontrol moral,
berkemampuan tinggi dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, pengakuan
kedudukan berdasarkan usia sangat kental sekali melekat dalam orientasi
warga sekolah.
d. Kedudukan berdasarkan lahan garap di sekolah. Pada dasarnya tiap-tiap status
di sekolah akan membentuk wilayah-wilayah sektoral sesuai dengan ruang
lingkup pekerjaan. Di kelas jenis status yang paling dominan berperan adalah
status guru dan murid. Sementara di wilayah birokrasi akan memperlihatkan
kontak sosial antara pengurus administrasi baik itu kepala bagian, sekretaris,
bendahara sekolah serta staf-stafnya. Di tingkat pelayanan administrasi akan

9
melibatkan pegawai administrasi dengan para siswa, guru-guru dan lain
sebagainya.
2. Interaksi di Sekolah
Sistem interaksi di sekolah dapat ditinjau dengan menggunakan tiga perspektif
yang berbeda, yakni:
a. Hubungan antara warga sekolah dengan masyarakat luar
b. Hubungan di internal sekolah lintas kedudukan dan peranannya
c. Hubungan antarindividu pengemban status atau kedudukan yang sama.
Dalam kategori pertama, hubungan interaktif antara orang dalam dengan orang
luar mencerminkan keberadaan sekolah sebagai bagian masyarakat. Para guru,
murid dan seluruh warga di sekolah juga pengemban status-status lain di
masyarakat. Sehingga interaksi di sekolah merupakan kombinasi berbagai nilai dari
masyarakat yang dibawa oleh para warga sekolah. Para guru, kepala sekolah,
murid-murid juga bagian dari masyarakat mereka. Mereka membawa sikap dan
perilaku ke sekolah, sebagai hasil dari hubungan dengan tetangga, teman, gereja,
partai politik dan berbagai ragam kelompok kepentingan.
Sementara secara formal, sekolah memiliki pihak-pihak yang bertanggung
jawab mengadakan hubungan antara masyarakat dengan pihak sekolah. Dalam hal
ini, pihak yang paling berkepentingan mengadakan hubungan dengan masyarakat
adalah pengawas sekolah. Pengawas sekolah bertanggung jawab menjamin kualitas
pelaksanaan pendidikan di sekolah sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Sementara di tingkat internal pengawas sekolah juga berkewajiban memberikan
perlindungan atas orientasi masyarakat sekolah dari tuntutan-tuntutan luar yang
kurang masuk akal. Sebagai pengamat atau evaluator pengawas sekolah juga
memiliki tugas memelihara keharmonisan hubungan antara kelompok-kelompok
yang berbeda di sekolah.
Hubungan antarstatus juga seringkali menimbulkan konflik antarperan. Di
dalam sekolah, tanggung jawab penjaga sekolah menyangkut kebersihan
bertentangan dengan keinginan warga sekolah untuk menggunakan fasilitas
sekolah semaksimal mungkin. Kebebasan profesional guru juga bertentangan
dengan kepentingan pengawas sekolah dalam menciptakan kelancaran pengajaran
di tiap-tiap kelas. Keinginan kepala sekolah untuk menerapkan inovasi baru
harusberhadapan dengan keengganan guru dan murid u ntuk menerima perubahan.

10
Salah satu konflik yang cukup krusial saat ini adalah konflik keinginan pengawas
sekolah untuk mencapai hasil pengajaran yang terbaik sesuai dengan anggaran
biaya yang tersedia berhadapan dengan tuntutan organisasi persatuan guru untuk
memperoleh jaminan pekerjaan dan gaji yang memadai.
Namun selain menimbulkan konflik, hubungan antarstatus merupakan bagian
dari orientasi lembaga sekolah. Secara fungsional untuk mencapai tujuan yang
diharapkan sekolah membutuhkan peran dan kiprah dari berbagai status dan
kedudukan. Sehingga kerja timbal balik antarstatus diprioritaskan untuk
melancarkan proses pencapaian tujuan organisasi. Sekolah membutuhkan
hubungan yang harmonis antarguru dan murid agar tujuan pengajaran di kelas
dapat tercapai secara maksimal. Sekolah membutuhkan kerja sama antarberbagai
pihak agar roda organisasi dapat berjalan dengan lancar.
Hubungan antarindividu atau kelompok dalam jenis status yang sama juga
tidak lepas dari bagian interaksi di sekolah. Para guru selain memiliki persamaan
peran sesuai statusnya juga menggambarkan berbagai perilaku guru yang berbeda-
beda. Hal ini sesuai dengan perbedaan karakter, sikap dan pengalaman individu
dalam melancarkan aktivitas di sekolah. Kita ketahui bersama untuk status siswa
pun juga telah terbentuk aneka ragam karakter dan perilaku individu maupun
kelompok yang berbeda-beda.8
C. Sekolah sebagai organisasi
Secara garis besarnya sekolah sebagai organisai sosial dalam pengembangan
pembelajaran, merupakan suatu usaha dari suatu instansi atau sekolah dalam
mengembangkan proses pembelajaran yang ada didalamnya dengn melihat
bahawasanya setiap anggota yang ada di dalamnya merupakan pelaku sosial yang
membutuhkan perlakuan sosial dalam menunjang tujuan bersama dalam wadah yang
menaungi segala aktifitas sosial yang terjadi didalamnya tanpa mengesampingkan
tugas pokok dari setiap anggotanya dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang
guru atau staf lainnya. Sehingga ketercapaian dari tujuan tersebut merupakan usaha
bersama dengan melibatkan hubungan interaksi yang terjadi dalam instansi tersebut.
Sekolah sebagai organisasi pembelajaran akan selalu bersikap terbuka untuk
belajar, sehingga keterlibatan seluruh personil sekolah sangat dominan untuk
menciptakan efektivitas sekolah. Ada beberapa dimensi organisasi pembelajaran
(learning organization) :

1. Transfering knowledge, yaitu berorientasi pada terjadinya transformasi ilmu


pengetahuan. Dalam implementasinya terhadap pembelajaran di sekolah,

8
Ibid., hal. 61-62

11
dimensi ini terletak pada pembelajaran yang bersifat student oriented
(menyangkut kebutuhan belajar peserta didik, perbedaan individual, dan
kepribadian peserta didik) dan content oriented (hal ini berhubungan dengan
materi dan metode pembelajaran yang disampaikan oleh guru).
2. Opennes, yaitu keterbukaan sistem dalam menerima pengetahuan atau
pengalmn dari berbagai pihak, baik yang bersift kritik, saran, pendapat,
mupun lainnya. Sikap terbuka, akn membut organisasi semakin mudah untuk
berkembang dan jauh dari sifat entropy, hal ini dikarenakan sekolah tanggap
dan tangguh menerima berbagai kondisi atau situasi, baik secara internal
maupun eksternal.
3. System Thinking, yaitu kemampuan berfikir secara sistematis.
4. Team Leraning, adalah kemampuan dan kemauan belajar dan bekerja sama
dalam tim. Dimesi ini mengarah pada pembentukan kekuatan dan kapasitas
tim, baik dari segi semangat, komitmen, kecerdasan, sehingga akan
mempermudah dalam bertukar pikiran, dan hal ini akan lebih efektif
dibandingkan kemampuan belajar individu.
5. Creativity, yang dikutip oleh Aan Komarih dan Cepi Triatna dalam bukunya
Supriyadi, mendefinisikan kreatif sebagai kemampuan seseorang menlahirkan
sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, yang relatif
berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. Dari definisi tersebut, kreatif
identif dengan berfikir kreatif, berusaha melahirkan feature atau
keistimewaan dan keunggulan dari setiap gagasan atau ide nya. pembelajaran
yang bersifat kreatif akan menghasilkan sesuatu yang bermutu dan berjalan
secara terus menerus, karena hakikatnya sesuatu yang bermutu itu tidak akan
selesai atau bersifat dinamis tidak statis. 9
6. Emphaty, merupakan sifat yang penuh dengan kepedulian dan respon
terhadap berbagai kedaan. Sifat emphty yang diterapkn di sekolah akan
menghasilkan suasabna atau iklim belajar yang menyenangkan, karena
menghasilkan komunikasi yang efektif antar warga sekolah maupun
stakeholder.
7. Personil Maturity, berhubungan dengan kemapanan SDM yang ada dalam
organisasi sekolah. Kedewasaan atau kematangan personil sekolah akan
mempermudah kepala sekolah kaupun guru dalam menempatkan atau
memposisikan tugas untuk etiap personil sekolah termasuk peserta didik.
Kematngn menunjukkan danya kemampuan dan kemauan seseorang untuk
melakukan tugas dan tanggung jawabnya. Hal ini, jelas sangat penting dalam
sebuah organisasi.
Adapun Karakteristik Sekolah sebagai organisasi sosial dalam pengembangan
pembelajaran sebagai sebagai berikut :
1. Organisasi pembelajar memiliki budaya dan seperangkat nilai yang
mendorong belajar, dengan indikator yang tampak adalah keterbukaan pada

9
Aan Komarih dan Cepi Triatna, Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif , Jakarta: Bumi Aksara, 2008,
Hal. 7

12
pengalaman, tidak menghindar dari kesulitan, dan kemauan untuk menelaah
kegagalan dan mau belajar darinya
2. Strategi organisasi menyatakan bahwa belajar merupakan sumber keunggulan
strategi yang mantap
3. Organisasi belajar memiliki struktur organisasi yang permeable (dapat
dilewati atau terlarut), fleksibel, and network intimacy (jaringan yang saling
memahami).
4. Sistem organisasi dalam organisasi pembelajar sangat akurat, tepat waktu,
dan tersedia untuk siapa pun yang membutuhkan dan dalam bentuk yang
mudah dipergunakan. Hal ini menandakan bahwa sekolah sebagai organisasi
pembelajar memiliki manajemen sistem informasi yang baik dan efektif.
5. Organisasi pembelajar menyeleksi orang tidak berdasarkan apa-apa yang
diketahu, tetapi berdasarkan kemampuannya belajar dan menyesuaikan
tindakannya berdasarkan hasil belajar
6. Organisais pembelajar belajar dari orang lain
7. Pemimpin organisasi pembelajar adalah pembelajar.10
Budaya organisasi berkaitan erat dengan iklim dan suasana di tempat kerja
yang ada. Maka membangun budaya organisasi di sekolah sangat penting dilakukan
terutama dalam usaha mencapai tujuan pendidikan dan peningkatan kinerja guru di
sekolah. Budaya organisasi akan mempengaruhi seluruh elemen dan lingkungan kerja
di sekolah. Suasana dan lingkungan kerja yang diwarnai dengan saling mengerti
tentunya akan membawa budaya kasih bagi para guru dan karyawan, serta bagi para
siswa.11

D. Kelas dan sistem sosial.


pengertian sosial dapat dipahami melalui pengertian kamus dan pengertian
ahli kata sosial. Dapat dilihat asal-usulnya salah satunya dapat berakar dari kata latin
yaitu socius yang berarti bersama-sama, bersatu, terikat, sekutu, berteman. Dari
pengertian dua kata tersebut, maka sosial dapat dipahami sebagai pertemanan atau
masyarakat. Adapun apabila pada kamus besar bahasa Indonesia edisi ketiga,
ditemukan bahwa kata sistem memiliki dua arti yaitu berkenaan dengan masyarakat,
dan suka memperhatikan kepentingan umum, (suka menolong, menderma dll.) dan
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kata sosial dimengerti sebagai sesuatu
yang dihubungkan atau dikaitkan dengan teman pertemanan atau masyarakat.
Sedangkan sistem sosial adalah suatu sistem hanya bisa fungsional apabila semua
persyaratan terpenuhi, persyaratan yang dibutuhkan oleh suatu sistem ada empat
yaitu,
a) Adaptation (adaptasi)
10
Ibid., hal. 59-65
11
Hotner Tampubolon, Budaya Organisasi, Motivasi dan Kinerja Guru di Sekolah Sebagai Dasar
Penegembangan Tenaga, dalam Jurnal Pasca Sarjana UKI Jakarta Timur, 2015, hal. 147.

13
b) Goal attaiment (pencapaian tujuan)
c) Integration (integrasi)
d) Latent pattren maintenance (pola pemeliharaan laten).
kemudian kelas sebagai sistem sosial, ruang kelas terdiri dari beberapa unsur
yang saling fungsional antara satu sama lain yaitu, guru murid dan manajemen
sekolah setiap aktor memperhatikan status dan peran sebelum mereka bertindak dan
berperilaku. status aktor sebagai guru, murid, dan manajemen sekolah. Setiap aktor
memperhatikan status dan peran sebe;lum mereka bertindak dan berperilaku. Semua
aktor memiliki perilaku yang diharapkan, dari seorang untuk dimainkan dikenal juga
sebagai peran. status sebagai manajemen sekolah diharapkan memainkan peran
sebagai pengolahan yang efektif, dan sisi teknis administratif, serta penyediaan sarana
dan prasarana sekolah, yang dibutuhkan selanjutnya status sebagai guru yang
diharapkan untuk berperilaku sebagai seorang pendidik, pengayom, pengasuh, dan
memberi motivasi, bagi peserta didik.
Adapun status sebagai murid umumnya, diharapkan untuk berperilaku sebagai
seorang penuntut ilmu pengetahuan pekerja keras dan pencari kebenaran dalam ruang
kelas hubungan antara guru dan murid dengan status dan peran mereka masing-
masing membentuk suatu jaringan hubungan yang terpola-pola. Jaringan hubungan
antara guru dan murid akan memberikan dampak terhadap perilaku kompetensi,
kapital sosial budaya, dan keberhasilan peserta didik di masa akan datang. Dalam
pendekatan interaksi guru dan tuntunan oleh harapan peran yang melekat pada posisi
dan status yang mereka harapan, peran tersebut dapat dipahami memulai proses
sosialisasi yang mereka alami baik, pada sosialisasi primer, maupun sekunder. 12
Dari sudut sosiologi beberapa pendekatan telah digunakan sebagai alat analisis
untuk mengamati proses yang terjadi di ruang kelas dimulai dari pengamatan yang
mengetengahkan argumentasi ilmiahnya tentang kelas sebagai suatu sistem sosial
berikan dengan berkaitan. Dengan fungsi sekolah maka kelas merupakan kepanjangan
dari proses sosialisasi anak di lingkungan keluarga maupun masyarakat interaksi di
kelas secara khusus berusaha untuk memantapkan pemahaman nilai-nilai dari
masyarakat pendekatan interaksionis dan proses sosialisasi anak di lingkungan
keluarga maupun masyarakat.
Sejumlah tokoh seperti dalam Delamont, Lewin, Lippit, White dan H.H
Anderson adalah figur-figur yang mengeksplorasi aspek interaksi antara guru dan
murid. Dengan adanya hal ini yang memanfaatkan karya-karyanya pendahuluannya
mencoba menemukan pengaruh situasi sosial emosional, dalam ruang kelas yang
membedakan antara metode pengajaran yang cenderung dijual dengan tipologi
pembelajaran, dengan beranggapan bahwa tipe yang kedua merupakan cara yang
paling efektif untuk kegiatan pembelajaran di kelas dalam satu rangkaian penelitian
memperkuat studi tentang interaksi, di kelas menurut pendapatnya semakin besar
ketergantungan kepada guru semakin kurang siswa tersebut. Mengembangkan strategi
strategi belajarnya sendiri inti dari penerapan analisis interaksi adalah menganalisis

12
Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2008, hal 95-98

14
setelah seluruh proses interaksi edukatif di kelas dan pengaruh-pengaruh
psikologisnya kepada para siswa.13
Kegiatan kelas sebagai sistem sosial beberapa penelitian yang memiliki ruang
kelas sebagai suatu sistem menggunakan analisis sosiometrik menunjukkan bahwa
didalam kelas guru sering tidak mengetahui hubungan pribadi antara siswa mereka
dari penelitian lain ini menggambarkan potensi sumber kecemasan guru di kelas
sebagai akibat dari konflik antara struktur otoritas sekolah dan status profesional guru
itu sendiri kepala sekolah sebagai pemegang wewenang dengan mengontrol semua
kegiatan yang terjadi di sekolah agar sesuai dengan kurikulum kondisi ini
bertentangan dengan sifat guru sebagai seorang profesional syaratnya adalah bahwa
para guru memiliki otonomi untuk mengembangkan kegiatan sekolah mereka sebaik
mungkin.14

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari makalah yang telah disusun dapat di tarik kesimpulan bahwa dari segi
pengertian sekolah adalah lembaga pendidikan yang penting, pada zaman dulu dan
terlebih lagi pada zaman sekarang ini. Dewasa ini sekolah merupakan kebutuhan
setiap orang untuk mendapatkan pendidikan dari sekolah. Kemudian dalam hal ini
telah dibahas antara lain sekolah sebagai sistem sosial sekolah merupakan akumulasi
komponen-komponen sosial integral yang saling berinteraksi dan memiliki kiprah
yang bergantung antara satu sama lain.

13
Setiadi Eliy M. pengantar ringkas sosiologi pemahaman fakta dan gejala permasalahan sosial (teori,aplikasi,
dan pemecahannya). Jakarta: kencana 2020, hal 403.
14
Paramansyah Arman. Manajemen pendidikan dalam menghadapi era digital. Medan: fakultas ekonomi
universitas pembangunan panca Budi. 2020, hal 33

15
Sekolah sebagai organisasi Secara garis besarnya sekolah sebagai organisai
sosial dalam pengembangan pembelajaran, merupakan suatu usaha dari suatu instansi
atau sekolah dalam mengembangkan proses pembelajaran yang ada didalamnya
dengn melihat bahawasanya setiap anggota yang ada di dalamnya merupakan pelaku
sosial yang membutuhkan perlakuan sosial dalam menunjang tujuan bersama dalam
wadah yang menaungi segala aktifitas sosial. Dan kemuadian kelas dan sistem sosial
yang meliputi dengan fungsi sekolah maka kelas merupakan kepanjangan dari proses
sosialisasi anak di lingkungan keluarga maupun masyarakat interaksi di kelas secara
khusus berusaha untuk memantapkan pemahaman nilai-nilai dari masyarakat
pendekatan interaksionis dan proses sosialisasi anak di lingkungan keluarga maupun
masyarakat.
B. Saran
Kami yakin bahwa tulisan kami ini, masih jauh dari sempurna,untuk itu saran
dan kritik dari pembaca sangat diharapkan demi menyempurnakan tulisan/tugas
makalah ini. Kami berharap tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.

16
DAFTAR PUSTAKA

Aan Komarih dan Cepi Triatna. 2008. Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif ,
Jakarta: Bumi Aksara, Hal. 7
Damsar. 2008. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Frank J Miflen, dkk. 1986. Sosiologi Pendidikan. Bandung: Tarsito, hal.303.
Hanadia Mumtaz. 2020. Sekolah Masihkah ‘Sekolah’?.
https://www.kompasiana.com/hanadiamumtaz2269/5f522faf097f36654e0d53e2/
sekolah-masihkah-sekolah?page=all Diakses pada 3 Desember 2020 Pukul
12.35.
Hotner Tampubolon. 2015. Budaya Organisasi, Motivasi dan Kinerja Guru di
Sekolah Sebagai Dasar Penegembangan Tenaga. Jurnal Pasca Sarjana UKI
Jakarta Timur. Jakarta, hal. 147.
Moh. Padil. 2007. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: UIN Maliki Press, hal. 145.
Munib Ahmad. 2006. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UNNES Press, hal.32.
Paramansyah Arman. 2020. Manajemen pendidikan dalam menghadapi era digital.
Medan: fakultas ekonomi universitas pembangunan panca Budi, hal. 33.
Paul B. Horton dan Hunt Chester L. 1999. Sosiologi. Jakarta: Erlangga, hal. 333.
Ravik Karsidi. 2005. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: UNS Press dan LPP UNS, hal.
59
Setiadi Eliy M. 2020. pengantar ringkas sosiologi pemahaman fakta dan gejala
permasalahan sosial (teori,aplikasi, dan pemecahannya). Jakarta: kencana, hal
403.

17

Anda mungkin juga menyukai