Anda di halaman 1dari 26

Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif

HIPERCCI JATENG

PENGANTAR SISTEM NEUROLOGI

MODUL
MATERI INTI 03

I. DESKRIPSI SINGKAT
Sistem neurologi atau sistem saraf merupakan suatu susunan jaringan saraf yang
kompleks, dengan fungsi spesifik dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya
(Feriyawati, 2006). Adanya sistem saraf akan membuat tubuh berfungsi sebagai unit
yang harmonis karena terjadi komunikasi antar sistem tubuh. Satu fungsi saraf
terganggu secara fisiologis akan mempengaruhi fungsi tubuh yang lainnya (Tarwoto,
Wartonah & Suryati, 2007). Sistem neurologi sangat penting untuk dipelajari terutama
di unit perawatan intensif dikarenakan perubahan kesadaran yang signifikan kepada
pasien sehingga pengobatan yang diberikan bisa tepat sasaran.
Terdapat beberapa hal terkait pengkajian gangguan sistem neurologi yang harus
dipahami oleh peserta untuk kemudian mampu berkolaborasi memberikan tata laksana
yang tepat untuk menunjang perbaikan keadaan pasien.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


1. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti materi ini, peserta pelatihan mampu mengetahui dan memahami
sistem neurologi
2. Tujuan Pembelajaran Khusus
a. Setelah mengikuti materi ini, peserta pelatihan mampu menjelaskan terkait:
1) Anatomi dan fisiologi sistem neurologi
2) Struktur dan fungsi otak
3) Pengkajian sistem neurologi
4) Mekanisme dan alat ukur nyeri
b. Setelah mengikuti materi ini, peserta pelatihan mampu berfikir kritis terkait
patofisiologi kasus yang berkaitan dengan sistem neurologi

III. POKOK BAHASAN


1. Anatomi sel saraf
2. Impuls saraf
3. Struktur dan fungsi otak
a. Bagian dan fungsi otak
b. Sistem vaskularisasi otak

1
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

c. Faktor yang mempengaruhi aliran darah otak


4. Liquor Cerebro Spinal (LCS)
5. Tekanan Intrakranial (TIK)
6. Pengkajian sistem saraf
a. Pengkajian fungsi luhur
i. Pemeriksaan tingkat kesadaran
ii. Fungsi orientasi
iii. Fungsi memori
iv. Fungsi bahasa
b. Pemeriksaan saraf kranial
c. Pengkajian kekuatan otot
d. Pemeriksaan refleks
i. Refleks trisep
ii. Refleks patella
iii. Refleks aschilles
iv. Refleks patologis (Babinski, Oppenheim, Gordon, Schaefer, Gonda,
Chaddock)
e. Pemeriksaan rangsang meningeal
i. Kaku kuduk
ii. Tanda Laseque
iii. Tanda Kernig
iv. Tanda Brudinski I
v. Tanda Brudinski II
7. Konsep Nyeri
8. Mekanisme nyeri
9. Nyeri pada pasien kritis
10. Alat ukur nyeri
a. Wong Baker Pain Rating Scale
b. Critical Care Pain Observational Tool (CPOT)

IV. METODE
Metode yang digunakan dalam prores pembelajaran ini adalah dengan cara :
1. Ceramah dan tanya jawab
2. Brain storming
3. Diskusi

V. MEDIA DAN ALAT BANTU


Media dan alat bantu yang digunakan dalam proses pembelajaran ini adalah dengan :
1. Bahan Tayang (slide power point)
2
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

2. Laptop
3. LCD
4. Whiteboard
5. Spidol

VI. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN


Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif maka perlu disusun
langkah-langkah sebagai berikut :
1. Penyiapan proses pembelajaran
a. Kegiatan Fasilitator
1) Memperkenalkan diri
2) Menyampaikan ruang lingkup bahasan
3) Melakukan brain storming terkait sistem neurologi
b. Kegiatan Peserta
1) Mempersiapkan diri dan alat tulis yang diperlukan
2) Mengemukakan pendapat atas pertanyaan fasilitator
3) Mendengarkan dan mencatat hal-hal yang dianggap penting
2. Penyampaian Materi
a. Kegiatan Fasilitator
1) Menyampaikan pokok bahasan pengantar sistem neurologi
2) Memberikan kesempatan pada peserta untuk menanyakan hal-hal yang
kurang jelas
3) Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan peserta
b. Kegiatan Peserta
1) Mendengar, mencatat dan menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting
2) Mengajukan pertanyaan sesuai dengan kesempatan yang diberikan
3) Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan fasilitator
3. Rangkuman dan Kesimpulan
a. Kegiatan Fasilitator
1) Mengadakan evaluasi dengan mengajukan 5 pertanyaan sesuai topik
bahasan
2) Memperjelas jawaban peserta terhadap masing-masing pertanyaan
3) Bersama peserta merangkum hasil proses pembelajaran
b. Kegiatan Peserta
1) Menjawab pertanyaan yang diajukan fasilitator
2) Bersama fasilitator merangkum hasil proses hasil pembelajaran

3
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

VII. URAIAN MATERI

PENGANTAR SISTEM NEUROLOGI

Sistem neurologi atau sistem saraf merupakan suatu susunan jaringan saraf yang
kompleks, dengan fungsi spesifik dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya
(Feriyawati, 2006). Adanya sistem saraf akan membuat tubuh berfungsi sebagai unit
yang harmonis karena terjadi komunikasi antar sistem tubuh. Satu fungsi saraf
terganggu secara fisiologis akan mempengaruhi fungsi tubuh yang lainnya (Tarwoto,
Wartonah & Suryati, 2007). Sistem saraf pada manusia memiliki 3 (tiga) fungsi utama,
yaitu input sensori, penggabungan data (integrasi), dan output motorik. Akibat aktivitas
sistem saraf tersebut, maka akan membuat individu sadar, mampu berpikir, mampu
mengingat, mengungkapkan bahasa, merasakan sensasi, serta mampu
mengkoordinasikan gerakan.
1. Anatomi Sel Saraf (Neuron)
Neuron merupakan suatu sel saraf dan merupakan unit anatomis dan fungsional
pada sistem saraf. Secara fungsional, berdasarkan arah transmisi impulsnya neuron
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu neuron sensorik, neuron motorik, dan neuron
asosiasi (interneuron). Neuron sensorik (aferen) berfungsi untuk menghantarkan
impuls listrik dari reseptor pada kulit, organ indera atau suatu organ internal ke
susunan saraf pusat. Neuron motorik berfungsi untuk menghantarkan impuls dari
susunan saraf pusat ke efektor. Interneuron (neuron asosiasi) ditemukan seluruhnya
dalam susunan saraf pusat. Neuron ini berfungsi untuk menghubungkan neuron
sensorik dan motorik atau menyampaikan informasi ke interneuron lain.

Gambar 1.1 : Struktur sel saraf/Neuron (Sumber: http://hubpages.com)

1
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

Sel saraf/neuron terdiri dari beberapa bagian, diantaranya (Tarwoto, Wartonah &
Suryati, 2007) :
1. Soma (badan sel)
Badan sel terdiri atas nucleus, nucleolus, dan organel-organel lain seperti
mitokondria, apartus golgi, dan lisosom.
2. Dendrit
Dendrit merupakan serat pendek seperti sikat yang melekat pada bagian sel luar.
Dendrit memiliki cabang-cabang serat yang pendek dan banyak. Fungsi dari
dendrit adalah melanjutkan impuls yang diterima ke badan sel saraf dan ke akson.
3. Akson
Akson merupakan suatu prosesus tunggal, yang lebih tipis dan lebih panjang dari
dendrit. Fungsi dari akson adalah menghantar impuls menjauhi badan sel ke
neuron lain, ke sel lain (sel otot atau kelenjar) atau ke neuron yang menjadi asal
akson.
4. Myelin
Myelin terbentuk dari susunan kompleks protein lemak berwarna putih yang
berfungsi untuk mengisolasi axon. Myelin tidak menutupi seluruh bagian axon.
Bagian axon yang tidak mengandung myelin disebut dengan nodus Ranvier. Pada
susunan saraf pusat, serabut saraf yang kaya akan myelin merupakan penyusun
utama substansi Alba (white matter) sedangkan serabut saraf yang tidak
mengandung myelin banyak terdapat pada substansi Grisea (gray matter).

2. Impuls Saraf
Informasi dan komunikasi dari sel saraf terjadi karena adanya proses listrik dan
kimia. Hantaran impuls dari neuron satu ke neuron lainnya melalui sinap
(Stufflebeam, 2008). Sinap merupakan titik pertemuan antara neuron satu dengan
neuron lainnya dan ke otot. Struktur dari sinap terbagi atas pre sinap yaitu bagian
akson terminal sebelum sinap, celah sinap yaitu ruang diantara pre dan post sinap dan
post sinap yang terdapat pada bagian dendrit. Pada celah sinap terdapat senyawa
kimia yang berfungsi untuk menghantarkan impuls yang disebut dengan
neurotransmitter. Neurotransmitter memiliki dua sifat, yaitu sifat eksitasi
(meningkatkan impuls) dan inhibisi (menghambat impuls). Contoh neurotransmitter
yang bersifat eksitasi diantaranya asetilkolin, norepinefrin, sedangkan
neurotransmitter yang bersifat inhibisi diantranya Gamma Aminobutyric Acid
(GABA) pada jaringan otak dan glisin pada medulla spinalis. Proses penghantaran
impuls melalui sinap disebut dengan transmisi sinap.

2
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

Gambar 2.1 : Struktur Sinaps (Sumber : http://en.wikipedia.org)

Jaringan saraf dan otot merupakan jaringan eksitabel yang mempu


menghantarkan signal listrik dan kimia dalam tubuh. Kemampuan hantaran
tergantung pada kondisi lingkungan intra dan ekstra sel saraf. Dalam kondisi istirahat,
konsentrasi ion intrasel pada sel saraf bermuatan negatif (-), sedangkan pada ekstrasel
bermuatan positif (+). Elektrolit yang berperan pada proses terjadinya impuls adalah
kalium (K) dan natrium (Na). Adanya pompa ion kalium (K+) dan Natrium (Na+)
akan menimbulkan perbedaan konsentrasi ion dalam sel saraf. Perbedaan konsentrasi
ion pada membran sel saraf disebut dengan potensial membrane istirahat. Besarnya
potensial membrane istirahat adalah -70 mV, sedangkan pada sel jantung dan sel
skeletal besarnya -90 mV.
Pada kondisi istirahat, sel saraf tidak menghantarkan impuls. Membran sel yang
mempunyai muatan listrik/impuls saraf disebut dengan potensial aksi. Peningkatan
muatan positif akan menimbulkan arus listrik dari -70 mV menjadi +30 mV. Kondisi
ini disebut dengan depolarisasi. Depolarisasi terjadi di sepanjang serabut saraf.
Setelah depolarisasi gerakan ion natrium akan kembali seperti semula. Kondisi ini
disebut dengan repolarisasi.

3
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

Gambar 2.2 : Impuls saraf yang terjadi akibat perbedaan muatan listrik pada intra dan ekstra neuron
(Sumber : http://www.anselm.edu)

3. Struktur dan Fungsi Otak


a. Bagian dan Fungsi Otak
Otak terletak di dalam rongga kranium yang dilindungi oleh tulang
tengkorak. Tulang-tulang tengkorak dihubungkan oleh sutura. Otak dan medulla
spinalis dilapisi oleh membrane yang disebut dengan meninges. Ada tiga lapisan
meninges, yaitu durameter, arachnoid dan piameter. Durameter adalah lapisan
luar meninges, merupakan lapisan yang liat, kasar, dan mempunyai dua lapisan
membran. Arachnoid merupakan membran bagian tengah, tipis dan berbentuk
seperti laba-laba. Sedangkan piameter merupakan lapisan yang paling dalam,
tipis, dan merupakan membrane vascular yang membungkus seluruh permukaan
otak. Antara tulang tengkorak dan lapisan duramater yang paling luar terdapat
lapisan epidural, sedangkan lapisan subarachnoid merupakan lapisan diantara
arachnoid dan piamater. Pada lapisan subarachnoid terdapat cairan
cerebrospinal/Liquor Cerebrospinal (LCS).
1) Cerebrum
Cerebrum merupakan bagian dari otak yang paling besar. Berat cerebrum
kira-kira 80% dari berat otak. Cerebrum memiliki dua hemisfer yang
dihubungkan oleh korpus kallosum. Setiap hemisfer terbagi atas empat lobus
4
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

yaitu lobus frontal, parietal, temporal dan oksipital. Lobus frontal berfungsi
sebagai aktivitas motorik, intelektual, emosi dan fungsi fisik (Tarwoto,
Wartonah & Suryati, 2007), membuat keputusan, kepribadian, dan menahan
diri (Batticaca, 2011). Pada bagian frontal bagian kiri terdapat area Broca yang
berfungsi sebagai pusat motorik bahasa (Tarwoto, Wartonah & Suryati, 2007).
Lobus parietal terdapat sensori primer dari korteks cerebri. Fungsinya adalah
sebagai proses input sensori, sensasi posisi, sensasi raba, tekan dan perubahan
suhu ringan. Selain itu, lobus parietal juga berfungsi untuk mengetahui posisi
dan letak bagian tubuh (Batticaca, 2011). Lobus temporal mengandung area
auditorius, yang merupakan tempat tujuan sensasi yang datang dari telinga.
Befungsi sebagai input perasa pendengaran, pengecap, penciuman, dan proses
memori jangka pendek. Lobus oksipital mengandung area visual otak,
berfungsi sebagai penerima informasi dan menafsirkan warna, reflek visual
(Tarwoto, Wartonah & Suryati, 2007).
2) Diencephalon
Diencephalon terletak di atas batang otak. Diencephalon terdiri dari
thalamus, hypothalamus. Thalamus merupakan massa sel saraf besar yang
berbentuk seperti telur dan terletak pada substansi Alba. Thalamus berfungsi
sebagai stasiun relay dan integrasi dari medulla spinalis ke korteks cerebri dan
bagian lain dari otak.
3) Batang Otak
Batang otak terdiri atas mesencephalon (otak tengah), pons dan medulla
oblongata (Batticaca, 2011). Batang otak berfungsi sebagai pengaturan refleks
untuk fungsi vital tubuh. Otak tengah memiliki fungsi utama sebagai relay
stimulus pergerakan otot dari dan ke otak (Tarwoto, Wartonah & Suryati, 2007).
Pons merupakan penghubung otak tengah dengan medulla oblongata yang
berfungsi sebagai pusat refleks pernapasan dan mempengaruhi tingkat
karbondioksida dan aktivitas vasomotor. Medulla oblongata berfungsi sebagai
pusat refleks pernapasan, bersin, menelan, batuk, muntah, sekresi saliva dan
vasokontriksi. Saraf kranial IX, X, XI, dan XII keluar dari medulla oblongata.
4) Cerebellum
Fungsi utama dari cerebellum adalah sebagai koordinasi aktivitas muscular,
kontrol tonus otot, serta mempertahankan postur dan keseimbangan.

5
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

Gambar 3.1 : Struktur Otak (Sumber: http://hubpages.com)

b. Sistem Vaskularisasi Otak


Secara umum, otak mendapatkan suplai darah dari dua arteri, yaitu arteri
vertebra dan arteri karotis interna. Kedua arteri ini membentuk jaringan pembuluh
darah kolateral yang disebut dengan sirkulasi Willis. Arteri vertebra menyuplai
kebutuhan darah otak bagian posterior, diensefalon, batang otak, cerebellum dan
lobus oksipital. Arteri karotis interna menyuplai kebutuhan darah sebagian besar
hemisfer kecuali lobus oksipital, ganglia basalis, dan 2/3 atas ensefalon.
Otak memiliki barier darah otak (sawar otak) yang sangat selektif terhadap
keadaan lingkungan internal di otak dan berfungsi sebagai pengatur substansi
yang masuk dari ruang ekstrasel otak. Secara fisiologis, sawar otak membantu
mempertahankan dan menjaga keseimbangan konsentrasi ion di lingkungan otak.
Sawar otak sangat peka terhadap elektrolit seperti sodium, potassium dan klorida.
Selain itu, sawar otak juga sangat peka terhadap air, karbondioksida, oksigen,
alkohol, obat-obat tertentu, racun, plasma protein.

c. Faktor yang mempengaruhi aliran darah otak


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi aliran darah otak, diantaranya :
1) Faktor metabolisme
Ada tiga faktor metabolik yang mempengaruhi aliran darah di otak, yaitu
konsentrasi karbondioksida, oksigen, dan hidrogen. Pada kondisi hiperkapnia
(PaCO2 lebih dari 45 mmHg), hipoksia (PaO2 kurang dari 60 mmHg), dan
asidosis akan mengakibatkan aliran darah ke otak meningkat sebagai upaya
kompensasi terhadap pemenuhan kebutuhan otak.

6
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

2) Glukosa
Kadar glukosa darah normalnya 70-100 mg/100 ml. Menurunnya kadar
glukosa darah di bawah 70 mg/100 ml akan mengakibatkan meningkatnya
aliran darah ke otak.
3) Suhu
Meningkatnya aktivitas metabolic seperti pada kasus peningkatan suhu tubuh
akan meningkatkan aliran darah ke otak. Hal ini disebabkan kebutuhan oksigen
dan glukosa akan meningkat.
4) Faktor hemodinamik
Adanya autoregulasi untuk mempertahankan fungsi otak diperlukan pengaturan
suplai dan kebutuhan sehingga tetap stabil. Hal tersebut berkaitan juga dengan
mean arterial pressure (MAP).

4. Liquor Cerebro Spinal (LCS)


Cairan Cerebrospinal merupakan hasil penyaringan darah yang masuk ke plexus
Choroideus yang terdapat di ventrikel otak. Otak memiliki sistem ventrikel yang
saling berhubungan dengan antara yang satu dengan yang lainnya. Di dalam sistem
ventrikel banyak menyimpan cairan cerebrospinal. Ventrikel yang ada di dalam otak
manusia adalah ventrikel lateral, ventrikel tiga, dan ventrikel empat. Ventrikel lateral
berhubungan dengan ventrikel tiga melalui foramen Monroe, sedangkan ventrikel tiga
berhubungan dengan ventrikel empat melalui aquaductus Sylvi.
Cairan cerebrospinal merupakan plasma yang tidak berwarna, jernih dan
normalnya mengandung protein dan glukosa. Pada orang dewasa, cairan
cerebrospinal rata-rata diproduksi sebanyak 500 ml/hari (Rohkamm, 2004). Pada
bagian otak kira-kira terdapat 150 ml. Normalnya tekanan cairan cerebrospinal 60-
180 mmH2O atau 0-15 mmHg. Setelah bersirkulasi di otak dan medulla spinalis
cairan cerebrospinal kemudian kembali ke otak dan diabsorbsi lagi di vili arachnoid,
kemudian selanjutnya cairan masuk ke sistem vena melalui vena jugularis ke vena
cava superior dan akhirnya masuk ke sirkulasi sistemik.

5. Tekanan Intrakranial (TIK) / Intracranial Pressure (ICP)


Tekanan intrakranial adalah tekanan di dalam rongga tengkorak relatif terhadap
tekanan atmosfer, yang merupakan suatu daya dinamik yang berfluktuasi secara
ritmis. Tekanan intrakranial banyak dipengaruhi oleh berbagai hal, tetapi sebenarnya
yang sangat mempengaruhinya adalah isi dalam intrakranial itu sendiri, yakni : otak
(80 %), jumlah darah ke area intrakranial (10%) dan liquor cerebro spinal/LCS
(10%).
Doktrin Kellie-Monroe menyatakan bahwa volume total dalam kranium selalu
tetap karena tulang tengkorak tidak elastis sehingga tidak bisa mengembang jika ada
7
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

penambahan volume. Peningkatan volume dari salah satu komponen tersebut, atau
adanya tambahan komponen patologis (misalnya hematom intrakranial), akan
menimbulkan kompensasi melalui penurunan volume dari komponen lainnya untuk
mempertahankan tekanan. Bila terdapat penambahan masa seperti hematoma akan
menyebabkan tergesernya LCS sehingga LCS akan terdesak melalui foramen
magnum ke arah rongga sub-arakhnoid spinalis dan vena akan segera kolaps karena
darah akan dipompa keluar dari ruangan intrakranial melalui vena jugularis atau
melalui vena emisaria dan kulit kepala. Mekanisme kompensasi ini hanya
berlangsung sampai batas tertentu saja. Namun jika mekanisme kompensasi ini
terlampaui maka kenaikan volume sedikit saja akan menyebabkan kenaikan TIK yang
tajam.
Otak mampu mengkompensasi atau menerima perubahan minimal pada tekanan
intrakranial dengan cara pengalihan LCS ke dalam spasium subaraknoid spinal,
peningkatan absorbsi LCS, penurunan pembentukan LCS dan pengalihan darah vena
ke luar dari tulang tengkorak (Hudak & Gallo, 2010).

Gambar 5.1
Hubungan antara tekanan intra kranial (ICP) dengan volume rongga kranial

Aliran darah otak normalnya 50 - 65 mL/100 gr jaringan otak/menit. Bila aliran


darah otak menurun sampai 20-25 mL/100gr/menit maka aktifitas EEG akan hilang
dan pada nilai 5 mL/100gr/menit sel-sel otak mengalami kematian dan terjadilah
kerusakan sel yang menetap. Pada penderita non trauma, fenomena autoregulasi
mempertahankan aliran darah pada tingkat yang konstan apabila MAP (mean arterial
pressure) berada dikisaran 50-160 mmHg. Bila MAP dibawah 50 mmHg, aliran darah
otak sangat berkurang dan bila MAP diatas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh
darah yang menyebabkan aliran darah meningkat.
Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan pada penderita cedera otak
sekunder karena iskemia akibat hipotensi yang tiba-tiba. Sekali mekanisme
kompensasi tidak bekerja diikuti kenaikan TIK yang curam, perfusi otak akan
berkurang jauh terutama pada keadaan hipotensi. Oleh karena itu bila terdapat
8
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

hematom intrakranial, haruslah dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang
adekuat tetap harus dipertahankan.
Tekanan perfusi serebral/Cerebral Perfusion Pressure (CPP) adalah tekanan
aliran darah ke otak, normalnya konstan karena adanya autoregulasi. CPP ditentukan
dengan pengurangan TIK dengan Mean Arterial Pressure (MAP), dapat ditulis
dengan rumus :
CPP = MAP - TIK
Dalam posisi supinasi, nilai TIK normal adalah 5-15 mmHg (Luks, 2009). Nilai
normal CPP adalah 60–100 mmHg (Grundy, 2009). Jika mekanisme autoregulasi dari
otak mengalami kerusakan maka akan menyebabkan CPP lebih dari 150 mmHg atau
kurang dari 60 mmHg. Klien dengan CPP kurang dari 50 mmHg memperlihatkan
disfungsi neurologis yang bersifat irreversible. Hal ini terjadi karena penurunan
perfusi serebral yang mempengaruhi perubahan keadaan sel dan mengakibatkan
hipoksia serebral (Smeltzer & Bare, 2002).

6. Pengkajian Pada Sistem Saraf


Pengkajian merupakan langkah pertama dalam proses keperawatan. Dalam
keperawatan kritis, pengkajian pada sistem saraf tetap diawali dengan pengkajian
pada Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure (ABCDE).
a. Pengkajian Fungsi Luhur
1) Pemeriksaan Tingkat Kesadaran
Tingkat kesadaran merupakan indikator utama adanya perubahan status
neurologi pasien karena berhubungan dengan fungsi hemisfer cerebral dan
reticular acticity system (RAS). Untuk mengkaji tingkat kesadaran dapat
dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Cara kuantitatif yang sering digunakan
adalah dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Ada tiga parameter
yang dilihat pada pemeriksaan kesadaran menggunakan GCS, yaitu respon
membuka mata, respon verbal dan respon motorik. Berikut adalah penilaian
tingkat kesadaran menggunakan GCS (Tarwoto, Wartonah & Suryati, 2007) :

Tabel 6.1 Penilaian kesadaran dengan GCS


Parameter yang dinilai Nilai/Skor
1. Membuka Mata/Eye (E)
 Klien dapat membuka mata spontan 4
 Klien dapat membuka mata dengan perintah 3
 Klien dapat membuka mata dengan rangsang nyeri 2
 Klien tidak berespon 1
2. Respon Motorik (M)
 Klien dapat melakukan gerakan sesuai instruksi 6
9
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

 Klien hanya mampu melokalisir nyeri 5


 Klien hanya mampu menghindar sumber nyeri 4
 Adanya gerakan fleksi abnormal (dekortikasi) 3
 Adanya gerakan ekstensi abnormal (decerebrasi) 2
 Klien tidak berespon 1
3. Respon Verbal (V)
 Klien mampu menjawab dengan benar, orientasi sempurna 5
 Klien mengalami disorientasi, bingung 4
 Kata-kata tidak dapat dimengerti/tidak bermakna 3
 Suara tidak jelas/hanya mengerang 2
 Klien tidak berespon 1

2) Fungsi Orientasi
Orientasi merupakan kemampuan untuk mengaitkan keadaan sekitar dengan
pengalaman lampau. Untuk mengkaji orientasi pasien, perawat bisa menanyakan
tentang tempat, waktu, orang dan situasi. Untuk memeriksa status orientasi orang,
perawat bisa menanyakan nama pasien, usia, pekerjaan, tanggal lahir, serta kenal
dengan orang di sekitarnya. Untuk orientasi tempat, perawat dapat menanyakan
sekarang dimana, nama tempat, serta kota dimana pasien berada, sedangkan untuk
orientasi waktu perawat dapat menanyakan hari apa sekarang, tanggal, bulan serta
tahun berapa sekarang.
3) Fungsi Memori
Secara umum gangguan memori atau daya ingat ada tiga, yaitu :
1) Immediate memory (ingatan segera)
Immediate memory (ingatan segera) daya mengingat kembali suatu
stimulus yang diterima beberapa detik lalu seperti mengingat nomor telepon
yang baru saja diberikan. Caranya : pasien diminta mengulang deret nomor
yang kita ucapkan (disebut digit span). Misalnya :
3-7
2-4-9
8-5-2-7
2-8-6-9-3
5-7-1-9-4-6
8-1-5-9-3-6-7
Hasil pemeriksaan dikatakan masih normal jika seseorang dapat mengulang
sebanyak 7 digit.

10
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

2) Short term memory/recent memory (ingatan jangka pendek)


Short term memory/recent memory (ingatan jangka pendek) yaitu daya
mengingat kembali stimulus yang diterima beberapa menit, jam, hari yang
lalu. Caranya : pasien diminta untuk menceritakan pekerjaan/peristiwa yang
dikerjakan/dialami beberapa menit/jam/hari yang lalu.
3) Long term memory/remote memory (ingatan jangka panjang)
Long term memory/remote memory (ingatan jangka panjang) merupakan
daya mengingat kembali stimulus atau peristiwa yang telah lama berlalu
(bertahun-tahun). Caranya : pasien diminta untuk menceritakan pengalaman
atau teman-teman masa kecilnya (tentunya pemeriksa telah mendapat
informasi sebelumnya).
Pemeriksaan di atas merupakan pemeriksaan untuk audio memory (yang
didengar) sedangkan untuk memori yang dilihat (visual memory) cara
memeriksanya adalah pasien diminta untuk mengingat nama-nama benda
yang diperlihatkan kepadanya kemudian benda-benda tersebut disimpan.
Beberapa waktu kemudian penderita disuruh mengulang nama-nama benda
tersebut.
4) Fungsi Bahasa
Gangguan fungsi bahasa (afasia atau disfasia) merupakan kelainan berbahasa
akibat kerusakan di otak, tetapi bukan kerusakan/gangguan saraf perifer otot-otot
bicara, artikulasi maupun gangguan penurunan inteligensia. Secara umum afasia
dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Afasia motorik
Afasia motorik merupakan gangguan bahasa karena penderita tidak
mampu mengeluarkan isi pikirannya. Afasia motorik dibagi menjadi tiga,
yaitu :
a) Afasia motorik kortikalis
Pada afasia motorik kortikalis, penderita tidak dapat mengeluarkan
isi pikirannya baik secara verbal, tulisan, maupun isyarat. Letak lesi di
area cortex cerebri dominan.
b) Afasia motorik subkortikalis (afasia motorik murni)
Pada afasia motorik subkortikalis ,penderita tidak dapat
mengeluarkan isi pikirannya secara verbal, namun masih dapat dengan
tulisan maupun isyarat. Letak lesi di subcortex hemispher dominan.
c) Afasia motorik transkortikalis
Penderita tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya tetapi masih
dapat membeo. Letak lesi ditranskortikalis kartek Broca dan Wernicke.
Cara pemeriksaan dapat dilakukan dengan mengajak pasien berbicara
mulai dari hal yang sederhana sampai hal-hal yang sukar yang pernah
11
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

diketahui penderita sebelumnya. Bila tidak bisa disuruh menuliskan


jawaban atau dengan isyarat. Syarat pemeriksaan adalah pasien harus
dalam keadaan sadar penuh dan bahasa yang dipakai saling dimengerti.
b. Afasia sensorik
Adalah gangguan bahasa dimana penderita tidak dapat mengerti isi
pikiran orang lain walaupun alat bicara dan pendengarannya baik. Afasia
sensorik terbagi menjadi tiga, yaitu :
a) Afasia sensorik kortikalis
Penderita tidak dapat mengerti isi pikiran orang lain yang
disampaikan baik secara verbal, tulisan, maupun isyarat. Letak lesi di
area cortex Wernicke (sensorik).
b) Afasia sensorik subkortikalis
Penderita tidak dapat mengerti isi pikiran orang lain yang
disampaikan secara verbal, sedangkan tulisan dan isyarat dapat
dimengerti. Letak lesi di subcortex Wernicke.
c) "Buta kata-kata" (word Blindness)
Penderita masih mengerti bahasa verbal namun tidak lagi bahasa
visual. Hal ini jarang terjadi. Cara pemeriksaan dapat dilakukan dengan
memberikan perintah kepada pasien untuk melakukan sesuatu tanpa
contoh. Bila tidak bisa baru diberikan secara tulisan atau isyarat. Syarat
pemeriksaan sama dengan afasia motorik.

b. Pemeriksaan Saraf Kranial


Berikut adalah cara pemeriksaan saraf kranial pada pasien (Tarwoto, Wartonah &
Suryati, 2007).

Tabel 6.2 Pemeriksaan saraf kranial


Saraf Kranial Fungsi Cara Pemeriksaan
Olfaktorius(I) Penciuman, penghidu  Anjurkan klien menutup salah satu lubang
hidung
 Anjurkan menebak bau yang diberikan
dengan menutup mata klien
 Lakukan hal tersebut pada kedua lubang
hidung pasien.
Optikus (II) Tajam penglihatan dan  Pemeriksa berdiri di belakang klien
lapang pandang  Telunjuk jari pemeriksa digerakand ari
belakang ke depan
 Anjurkan klien mengangkat tangan bila telah
melihat tangan pemeriksa

12
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

Okulomotorius, Keadaan pupil,  Pemeriksa berdiri didepan klien


troklearisdan pergerakan bola, mata  Anjurkan klien mengikuti jari tangan
abducen dan kelopak mata pemeriksa
(III,IV,VI)  N III sudut lateral atas dan sudut medial atas,
sudut lateral bawah dan medial
 N VI Lateral
 N IV sudut medial bawah
Trigeminus (V) Sensasi wajah, rasa pada  Anjurkan klien menutup mata, pemeriksa
lidah bagian belakang, memberikan sentuhan halus, tajam dan
kekuatan otot tumpul di area wajah, suruh klien menebak
mengunyah, reflek rasa dan tempat sentuhan
kornea  Pemeriksa berdiri dibelakang klien, letakan
tangan di depan telinga untuk memeriksa otot
temporo mandibula
 Pemeriksa berdiri di samping klien, sentuh
kornea dengan ujung tisu. Nilai reflek
Fasialis (VII) Ekspresi wajah, otot,  Anjurkan klien untuk tersenyum, bersiul,
otot wajah, sensasi lidah meringis, menggembungkan pipi
2/3 bagian depan  Beri rasa pada lidah bagian depan, anjurkan
klien menebak rasa
Akustikus (VIII) Pendengaran (Test  Lakukan tes Rinne: bunyikan garpu tala,
Weber dan Rinne) dan letakan tepat ditengah parietal. Tanyakan
keseimbangan apakah ada pendengaran yang lebih tajam?
 Lakukan tes koordinasi jari-hidung: anjurkan
klien menutup mata gerakan jari dari hidung
ke jari tangan yang lain.
Glososfaringius Kemampuan menelan,  Anjurkan klien membuka mulut, anjurkan
(IX) pergerakan lidah lidah bergerak atas-bawah, kanan-kiri
 Anjurkan klien meminum 2 sendok air
Vagus (X) Sensasi faring, laring,  Anjurkan klien menelan ludah
dan kemampuan  Pemeriksa berdiri di belakang klien, lalu raba
menelan dan rasakan pergerakan faring klien saat
menelan.
Accesorius (XI) Pergerakan kepala, otot  Pemeriksa berdiri dibelakang klien, letakan
leher dan bahu kedua tangan pemeriksa diatas bahu klien,
anjurkan klien melawan
 Anjurkan klien berpaling kearah kanan,
letakan tangan aknan pemeriksa di pipi kiri,
dan berikan tahanan, anjurkan klien melawan
tangan pemeriksa, letakan tangan kiri
pemeriksa di otot sternokleideomastoideus,
13
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

rasakan regangan
Hipoglosus (XII) Kekuatan lidah  Anjurkan klien menjulurkan lidah, lihat
(artikulasi, gerakan pakah ada tremor atau tidak
lidah)  Anjurkan klien mengucapkan huruf “d” “t”
“n” “r”

c. Pengkajian Kekuatan Otot


Kekuatan otot dapat diukur dengan menggunakan skala 0-5 pada lokasi otot yang
akan dinilai. Kekuatan otot diukur dan dibandingkan antara ekstremitas bagian kanan
dan kiri (Batticaca, 2011).

Tabel 6.3 Pemeriksaan kekuatan otot


Keadaan Fungsi Otot Nilai % normal
Tidak terdapat kontraksi 0 0
Hanya terdapat kontraksi otot 1 10
Ada pergerakan, tidak mampu melawan gaya 2 25
gravitasi
Ada pergerakan, hanya dapat mengatasi gaya 3 50
gravitasi
Mampu melawan gravitasi dan melawan sedikit 4 75
tahanan
Mampu melawan gravitasi dan melawan tahanan 5 100
yang maksimal

d. Pemeriksaan Refleks
Ada beberapa pemeriksaan reflek yang biasa dilakukan pada pemeriksaan sistem
neurologi, yaitu : Reflek Bisep
1. Reflek Trisep
2. Reflek patella
3. Reflek Aschilles
4. Reflek Patologis (Babinski, Oppenheim, gordon, Schaefer, Gonda, Chaddock)

14
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

Gambar 6.1 : Cara Pemeriksaan Refleks

e. Pemeriksaan Rangsang Meningeal


Ada beberapa tanda rangsang meningeal yang dijumpai saat melakukan
pemeriksaan pada pasien dengan gangguan neuorologi, diantaranya :
1. Kaku Kuduk
Cara memeriksa tanda kaku kuduk adalah tangan pemeriksa ditempatkan di
bawah kepala pasien yang sedang berbaring, kemudian kepala ditekukkan (fleksi)
dan diusahakan agar dagu mampu mencapai dada. Selama penekukkan
diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan
dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat.

Gambar 6.2 : Cara Pemeriksaan tanda kaku kuduk

2. Tanda Laseque
Cara melakukan pemeriksaan ini adalah kedua tungkai pada pasien yang
sedang berbaring diluruskan (diekstensikan), kemudian satu tungkai diangkat
lurus, dibengkokkan (fleksi) persendian panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus
selalu berada dalam keadaan ekstensi (lurus). Pada keadaan normal dapat dicapai
sudut 70° sebelum timbul rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan

15
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

tahanan sebelum mencapai 70° maka disebut tanda Laseque positif. Namun pada
pasien yang sudah lanjut usianya diambil patokan 60°.

Gambar 6.3 : Cara Pemeriksaan tanda Laseque

3. Tanda Kernig
Cara melakukan pemeriksaan adalah pasien yang sedang berbaring
difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90°. Setelah
itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut
lebih dari 135° terhadap paha. Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau
kurang dari sudut 135°, maka dikatakan Kernig sign positif.

Gambar 6.4 : Cara Pemeriksaan tanda Kernig

4. Tanda Brudinski I
Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan di
bawah kepala pasien yang sedang berbaring, tangan pemeriksa yang satu lagi
sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan
kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Test ini

16
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

adalah positif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi
lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.

Gambar 6.5 : Cara Pemeriksaan tanda Brudinski I

5. Tanda Brudinski II
Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang difleksikan pada
sendi lutut, kemudian tungkai atas diekstensikan pada sendi panggul. Bila timbul
gerakan secara reflektorik berupa fleksi tungkai kontralateral pada sendi lutut dan
panggul ini menandakan test ini positif.

Gambar 6.6 : Cara Pemeriksaan tanda Brudinski II

7. Konsep Nyeri
The International Association for the Study of Pain (1994 dalam Conger, 2011)
mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman ketidaknyamanan sensori dan emosional
yang berhubungan dengan kerusakan jaringan secara aktual atau potensial. Nyeri
bersifat subyektif dan sangat bersifat individual. Nyeri merupakan mekanisme
fisiologis yang bertujuan untuk melindungi diri, sehingga jika seseorang merasakan
nyeri maka perilakunya akan berubah (Conger, 2011).
Nyeri pada pasien dapat berhubungan dengan fisik atau bisa juga karena kondisi
psikis pasien. Nyeri yang berhubungan dengan fisik seperti halnya trauma fisik
(trauma mekanik, termal, elektrik), neoplasma, peradangan, dan lain sebagainya,
sedangkan nyeri yang berhubungan dengan kondisi psikis pasien biasanya disebabkan

17
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

karena adanya trauma psikologis pasien seperti halnya pada pasien dengan gangguan
psikosomatik (Asmadi, 2008).

8. Mekanisme Nyeri
Banyak teori yang menjelaskan terkait mekanisme nyeri dan salah satu teori yang
terkenal adalah teori Gate Control yang menyatakan adanya mekanisme seperti
gerbang di area dorsal horn pada spinal cord. Serabut saraf kecil (reseptor nyeri)
’Small Nerve Fibers’ dan serabut saraf besar (reseptor normal) ’Large Nerve Fibers’
bermuara di sel proyeksi yang membentuk jalur spinothalamic menuju pusat saraf
tertinggi (otak), dan sinyal dapat diperlemah atau diperkuat oleh inhibitory
interneurons. Mekanismenya adalah seperti berikut (Walton & Torabinejad, 2008) :
a. Ketika tidak ada rangsangan nyeri, inhibitory neuron mencegah projection neuron
untuk mengirim sinyal ke otak. Sehingga, kita dapat mengatakan gerbang tertutup
atau tidak ada persepsi nyeri.
b. Ketika rangsangan normal somatosensori (sentuhan, perubahan suhu, dan lain
sebagainya) terjadi, rangsangan tersebut akan di hantarkan melalui serabut saraf
besar, menyebabkan inhibitory neuron dan projection neuron aktif. Akan tetapi,
inhibitory neuron mencegah projection neuron untuk mengirim sinyal terkirim ke
otak, sehingga gerbang masih tertutup dan tidak ada persepsi nyeri.
c. Ketika rangsangan nyeri muncul, rangsangan akan dihantarkan melaui serabut
saraf kecil. Hal ini menyebabkan inhibitory neuron menjadi tidak aktif, dan
projection neuron mengirimkan sinyal ke otak, sehingga gerbang terbuka dan
persepsi nyeri muncul.

9. Nyeri pada Pasien Kritis


Nyeri merupakan stressor penting pada pasien kritis di ruang ICU. Kebanyakan
pasien kritis mengalami nyeri selama proses hospitalisasi. Kebanyakan pasien kritis
yang dirawat di ruang ICU merasakan nyeri sedang sampai berat selama proses
perawatan (Batiha, 2014). American Association of Critical Nurses/AACN (2013)
melaporkan bahwa 30% pasien kritis merasakan nyeri yang signifikan selama
istirahat, serta lebih dari 50% pasien kritis juga merasakan nyeri selama pemberian
asuhan keperawatan rutin seperti ketika dilakukan dilakukan alih posisi, suction
endotrakheal, dan perawatan luka (AACN, 2013). Hal tersebut menurut Skrobik dan
Changues (2013) merupakan prosedur rutin keperawatan yang paling sering
menyebabkan nyeri pada pasien kritis di ruang ICU.
Nyeri yang tidak terkontrol akan menimbulkan dampak negatif bagi pasien kritis,
diantaranya meningkatkan aktivitas syaraf simpatis, fighting pada pemakaian
ventilator mekanik, gangguan kardiovaskular (Abdul & Batiha, 2014), serta
komplikasi multisystem (AACN, 2013). Nyeri juga dapat berkembang menjadi nyeri
18
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

kronik sehingga hal tersebut akan berdampak serius pada fungsi tubuh, kualitas hidup
dan well-being pasien. Selain itu, nyeri yang tidak terkontrol pada pasien kritis juga
akan memicu respon fisik dan emosional sehingga menghambat proses penyembuhan,
serta memperpanjang lama hari rawat/Length of Stay (LOS) pasien (Abdul & Batiha,
2014).

10. Alat Ukur Nyeri


a. Wong Baker Pain Rating Scale (WBPRS)
WBPS merupakan instrumen untuk mengkaji nyeri yang merupakan
gabungan antara gambar dengan angka sehingga memungkinkan pengguna
instrumen ini untuk menilai skor nyeri yang dirasakan pasien (Savino et al, 2013).
WBPRS biasanya digunakan pada anak usia lebih dari 3 tahun sampai dengan
usia dewasa. Gambar menunjukkan ekspresi wajah pada pasien mulai dari
ekspresi tersenyum sampai ekspresi wajah sedih dan menangis. Sedangkan angka
menunjukkan tingkat nyeri yang dirasakan pasien mulai dari angka 0 yang
menunjukkan klien tidak merasakan nyeri, sampai angka 10 yang menunjukkan
nyeri berat.

Gambar 10.1 : Wong Baker Pain Rating Scale (Savino et al, 2013)

b. Critical Care Pain Observational Tool (CPOT)


CPOT dikembangkan di Perancis dan memiliki 4 item, yang masing-masing
item memiliki perbedaan kategori perilaku, yaitu : ekspresi wajah, pergerakan
tubuh, kontraksi otot, respon pada pasien yang terintubasi atau kemampuan bicara
pada pasien yang tidak terintubasi. Skor tiap item pertanyaan 0 – 2, sehingga total
skor yang mungkin pada instrumen ini adalah 0 – 8 dimana angka 0 menunjukkan
tidak nyeri dan angka 8 menunjukkan nyeri maksimal (Gelinas et al, 2006 dalam
Keane, 2013). Menurut Stites, M (2013) CPOT ini selain dapat digunakan untuk
pasien yang terintubasi, juga dapat digunakan untuk pasien yang tidak terintubasi.

Tabel 10.1
Kategori pada instrument CPOT (Gelinas et al, 2006 dalam Keane, 2013)

19
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

c. Numeric Pain Rating Scale


Numeric Pain Rating Scale (NPRS) merupakan alat pengukuran tingkat
keparahan nyeri yang menggunakan skala deskriptif. Skala penilaian ini lebih
digunakan sebagai alat pengganti pendeskripsi kata. Dalam hal ini klien menilai
nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala ini paling efektif digunakan saat
mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi terapeutik (Hjermstad et
al, 2011).

Gambar 10.2 : Numeric Pain Rating Scale (Hjermstad et al, 2011)

KESIMPULAN
Sistem neurologi atau sistem saraf merupakan suatu susunan jaringan saraf yang kompleks,
dengan fungsi spesifik dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya (Feriyawati, 2006).
Adanya sistem saraf akan membuat tubuh berfungsi sebagai unit yang harmonis karena terjadi
komunikasi antar sistem tubuh. Satu fungsi saraf terganggu secara fisiologis akan mempengaruhi
fungsi tubuh yang lainnya (Tarwoto, Wartonah & Suryati, 2007). Sistem neurologi meliputi otak
dari bagian yang besar hingga terkecil yang memiliki fungsi spesifik.
20
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

Adanya gangguan pada sistem neurologi bisa diidentifikasi melalui pengkajian fungsi luhur,
pemeriksaan saraf kranial, pengkajian kekuatan otot, pemeriksaan reflex hingga pemeriksaan
rangsang meningeal. Selain itu, pasien yang dirawat di ruang intensif ada yang menggunakan
ventilator dan atau tanpa ventilator. Alat ukur nyeri yang digunakan pada pasien dengan
ventilator diantaranya menggunakan CPOT, sedangkan alat ukur nyeri untuk dewasa tanpa
ventilator bisa menggunakan wong baker pain rating scale.

21
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

DAFTAR PUSTAKA
American Association of Critical Nurses. (2013). Assessing Pain in the Critically III Adult.
http://www.aacn.org/wd/practice/docs/practicealerts/assessing-pain-critically-ill-adult.pdf.
Diakses tanggal 27 April 2014 pukul 12.00 WIB.

Abdul & Batiha, M. (2014). Pain management barriers in critical care units: A qualitative study.
International Journal of Advanced Nursing Studies, 3 (1) (2014) 1-5

Anonim. (2012). Cellular Neuroscience. http://en.wikipedia.org. Diakses tanggal 6 Februari 2015


pukul 11.00 WIB.

Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.
Jakarta: Salemba Medika

Batticaca, F.B. (2011) Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika.

Conger, P., Leske, F., & Maidl, C. (2011). Comparison of two different pain assessment tools in
non verbal critical care patients. Pain Management Nursing, vol. 12, pp: 218-224.
doi:10.1016/j.pmn.2010.05.008

Feriyawati, L. (2006). Anatomi Sistem Saraf dan Peranannya Dalam Kontraksi Otot Rangka.
www.repository.usu.ac.id. Diakses tanggal 4 Februari 2015 pukul 10.00 WIB.

Grundy, W. (2009). Head Trauma. http://www.willgrundyems.org/. Diakses tanggal 7 Februari


2015 pukul 09.00 WIB.

Hjermstad, M.J., et al. (2011). Studies Comparing Numerical Rating Scales, Verbal Rating
Scales, and Visual AnalogueScales for Assessment of Pain Intensity in Adults: A Systematic
Literature Review. Journal of Pain and Symptom Management, vol. 41(6).

Hudak, C.M & Gallo, B.M. (2010). Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Edisi 6. Jakarta:
EGC.

Keane, K.M. 2013. Validity and Reliability of the Critical Care Pain Observation Tool: A
Replication Study. Pain Management Nursing, Vol 14, No 4 (December), 2013: pp e216-
e225

22
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG

Luks, A.M. (2009). Critical care management of the patient with elevated intracranial pressure,
Critical Care Alert, http://content.ebscohost.com/pdf23_24/pdf. Diakses tanggal 24
November 2012 pukul 17.00 WIB.

Pitocchelli, J. (2001). Lecture Notes for General Biology BI 101 Nervous System.
http://www.anselm.edu. Diakses tanggal 6 Februari 2015 pukul 11.00 WIB.

Rohkamm, R. (2004). Color Atlas of Neurology. Pliezhausen: Grammlich.

Savino, F., Vagliano, L., Ceratto, S., Viviani, F., Miniero, R., Ricceri, F. (2013). Pain assessment
in children undergoing venipuncture: the Wong–Baker faces scale versus skin conductance
fluctuations. PeerJ 1:e37; DOI 10.7717/peerj.37 . https://peerj.com/articles/37/. Diakses
tanggal 29 April 2014 pukul 18.00 WIB.

Shareef, M.K. (2014). Human Nervous System. http://hubpages.com. Diakses tanggal 4 Februari
2015 pukul 10.00 WIB.

Skrobik, Y & Changues, G. (2013). The Pain, Agitation, and Delirium Practice Guidelines for
Adult Critically Ill Patients: a Post-Publication Perspective. Annals of Intensive Care, 3:9
doi:10.1186/2110-5820-3-9

Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8. Vol. 3. Jakarta: EGC.

Stites, M. (2013). Observational Pain Scale in Critically Ill Adults. Critical Care Nurse.
33[3]:68-79

Stufflebeam, R. (2008). Neurons, Synapses, Action Potentials, and Neurotransmission.


Consortium on Cognitive Science Instruction Module. www. mind.ilstu.edu. Diakses tanggal
6 Februari 2015 pukul 11.00 WIB.

Tarwoto., Wartonah., & Suryati, E.S. (2007). Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Sagung Seto.

Walton, R & Torabinejad, M. (2008). Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia. Cetakan I. Ed 3.
Editor: Narlan Surnawinata. Jakarta: EGC

23

Anda mungkin juga menyukai