HIPERCCI JATENG
MODUL
MATERI INTI 03
I. DESKRIPSI SINGKAT
Sistem neurologi atau sistem saraf merupakan suatu susunan jaringan saraf yang
kompleks, dengan fungsi spesifik dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya
(Feriyawati, 2006). Adanya sistem saraf akan membuat tubuh berfungsi sebagai unit
yang harmonis karena terjadi komunikasi antar sistem tubuh. Satu fungsi saraf
terganggu secara fisiologis akan mempengaruhi fungsi tubuh yang lainnya (Tarwoto,
Wartonah & Suryati, 2007). Sistem neurologi sangat penting untuk dipelajari terutama
di unit perawatan intensif dikarenakan perubahan kesadaran yang signifikan kepada
pasien sehingga pengobatan yang diberikan bisa tepat sasaran.
Terdapat beberapa hal terkait pengkajian gangguan sistem neurologi yang harus
dipahami oleh peserta untuk kemudian mampu berkolaborasi memberikan tata laksana
yang tepat untuk menunjang perbaikan keadaan pasien.
1
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG
IV. METODE
Metode yang digunakan dalam prores pembelajaran ini adalah dengan cara :
1. Ceramah dan tanya jawab
2. Brain storming
3. Diskusi
2. Laptop
3. LCD
4. Whiteboard
5. Spidol
3
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG
Sistem neurologi atau sistem saraf merupakan suatu susunan jaringan saraf yang
kompleks, dengan fungsi spesifik dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya
(Feriyawati, 2006). Adanya sistem saraf akan membuat tubuh berfungsi sebagai unit
yang harmonis karena terjadi komunikasi antar sistem tubuh. Satu fungsi saraf
terganggu secara fisiologis akan mempengaruhi fungsi tubuh yang lainnya (Tarwoto,
Wartonah & Suryati, 2007). Sistem saraf pada manusia memiliki 3 (tiga) fungsi utama,
yaitu input sensori, penggabungan data (integrasi), dan output motorik. Akibat aktivitas
sistem saraf tersebut, maka akan membuat individu sadar, mampu berpikir, mampu
mengingat, mengungkapkan bahasa, merasakan sensasi, serta mampu
mengkoordinasikan gerakan.
1. Anatomi Sel Saraf (Neuron)
Neuron merupakan suatu sel saraf dan merupakan unit anatomis dan fungsional
pada sistem saraf. Secara fungsional, berdasarkan arah transmisi impulsnya neuron
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu neuron sensorik, neuron motorik, dan neuron
asosiasi (interneuron). Neuron sensorik (aferen) berfungsi untuk menghantarkan
impuls listrik dari reseptor pada kulit, organ indera atau suatu organ internal ke
susunan saraf pusat. Neuron motorik berfungsi untuk menghantarkan impuls dari
susunan saraf pusat ke efektor. Interneuron (neuron asosiasi) ditemukan seluruhnya
dalam susunan saraf pusat. Neuron ini berfungsi untuk menghubungkan neuron
sensorik dan motorik atau menyampaikan informasi ke interneuron lain.
1
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG
Sel saraf/neuron terdiri dari beberapa bagian, diantaranya (Tarwoto, Wartonah &
Suryati, 2007) :
1. Soma (badan sel)
Badan sel terdiri atas nucleus, nucleolus, dan organel-organel lain seperti
mitokondria, apartus golgi, dan lisosom.
2. Dendrit
Dendrit merupakan serat pendek seperti sikat yang melekat pada bagian sel luar.
Dendrit memiliki cabang-cabang serat yang pendek dan banyak. Fungsi dari
dendrit adalah melanjutkan impuls yang diterima ke badan sel saraf dan ke akson.
3. Akson
Akson merupakan suatu prosesus tunggal, yang lebih tipis dan lebih panjang dari
dendrit. Fungsi dari akson adalah menghantar impuls menjauhi badan sel ke
neuron lain, ke sel lain (sel otot atau kelenjar) atau ke neuron yang menjadi asal
akson.
4. Myelin
Myelin terbentuk dari susunan kompleks protein lemak berwarna putih yang
berfungsi untuk mengisolasi axon. Myelin tidak menutupi seluruh bagian axon.
Bagian axon yang tidak mengandung myelin disebut dengan nodus Ranvier. Pada
susunan saraf pusat, serabut saraf yang kaya akan myelin merupakan penyusun
utama substansi Alba (white matter) sedangkan serabut saraf yang tidak
mengandung myelin banyak terdapat pada substansi Grisea (gray matter).
2. Impuls Saraf
Informasi dan komunikasi dari sel saraf terjadi karena adanya proses listrik dan
kimia. Hantaran impuls dari neuron satu ke neuron lainnya melalui sinap
(Stufflebeam, 2008). Sinap merupakan titik pertemuan antara neuron satu dengan
neuron lainnya dan ke otot. Struktur dari sinap terbagi atas pre sinap yaitu bagian
akson terminal sebelum sinap, celah sinap yaitu ruang diantara pre dan post sinap dan
post sinap yang terdapat pada bagian dendrit. Pada celah sinap terdapat senyawa
kimia yang berfungsi untuk menghantarkan impuls yang disebut dengan
neurotransmitter. Neurotransmitter memiliki dua sifat, yaitu sifat eksitasi
(meningkatkan impuls) dan inhibisi (menghambat impuls). Contoh neurotransmitter
yang bersifat eksitasi diantaranya asetilkolin, norepinefrin, sedangkan
neurotransmitter yang bersifat inhibisi diantranya Gamma Aminobutyric Acid
(GABA) pada jaringan otak dan glisin pada medulla spinalis. Proses penghantaran
impuls melalui sinap disebut dengan transmisi sinap.
2
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG
3
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG
Gambar 2.2 : Impuls saraf yang terjadi akibat perbedaan muatan listrik pada intra dan ekstra neuron
(Sumber : http://www.anselm.edu)
yaitu lobus frontal, parietal, temporal dan oksipital. Lobus frontal berfungsi
sebagai aktivitas motorik, intelektual, emosi dan fungsi fisik (Tarwoto,
Wartonah & Suryati, 2007), membuat keputusan, kepribadian, dan menahan
diri (Batticaca, 2011). Pada bagian frontal bagian kiri terdapat area Broca yang
berfungsi sebagai pusat motorik bahasa (Tarwoto, Wartonah & Suryati, 2007).
Lobus parietal terdapat sensori primer dari korteks cerebri. Fungsinya adalah
sebagai proses input sensori, sensasi posisi, sensasi raba, tekan dan perubahan
suhu ringan. Selain itu, lobus parietal juga berfungsi untuk mengetahui posisi
dan letak bagian tubuh (Batticaca, 2011). Lobus temporal mengandung area
auditorius, yang merupakan tempat tujuan sensasi yang datang dari telinga.
Befungsi sebagai input perasa pendengaran, pengecap, penciuman, dan proses
memori jangka pendek. Lobus oksipital mengandung area visual otak,
berfungsi sebagai penerima informasi dan menafsirkan warna, reflek visual
(Tarwoto, Wartonah & Suryati, 2007).
2) Diencephalon
Diencephalon terletak di atas batang otak. Diencephalon terdiri dari
thalamus, hypothalamus. Thalamus merupakan massa sel saraf besar yang
berbentuk seperti telur dan terletak pada substansi Alba. Thalamus berfungsi
sebagai stasiun relay dan integrasi dari medulla spinalis ke korteks cerebri dan
bagian lain dari otak.
3) Batang Otak
Batang otak terdiri atas mesencephalon (otak tengah), pons dan medulla
oblongata (Batticaca, 2011). Batang otak berfungsi sebagai pengaturan refleks
untuk fungsi vital tubuh. Otak tengah memiliki fungsi utama sebagai relay
stimulus pergerakan otot dari dan ke otak (Tarwoto, Wartonah & Suryati, 2007).
Pons merupakan penghubung otak tengah dengan medulla oblongata yang
berfungsi sebagai pusat refleks pernapasan dan mempengaruhi tingkat
karbondioksida dan aktivitas vasomotor. Medulla oblongata berfungsi sebagai
pusat refleks pernapasan, bersin, menelan, batuk, muntah, sekresi saliva dan
vasokontriksi. Saraf kranial IX, X, XI, dan XII keluar dari medulla oblongata.
4) Cerebellum
Fungsi utama dari cerebellum adalah sebagai koordinasi aktivitas muscular,
kontrol tonus otot, serta mempertahankan postur dan keseimbangan.
5
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG
6
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG
2) Glukosa
Kadar glukosa darah normalnya 70-100 mg/100 ml. Menurunnya kadar
glukosa darah di bawah 70 mg/100 ml akan mengakibatkan meningkatnya
aliran darah ke otak.
3) Suhu
Meningkatnya aktivitas metabolic seperti pada kasus peningkatan suhu tubuh
akan meningkatkan aliran darah ke otak. Hal ini disebabkan kebutuhan oksigen
dan glukosa akan meningkat.
4) Faktor hemodinamik
Adanya autoregulasi untuk mempertahankan fungsi otak diperlukan pengaturan
suplai dan kebutuhan sehingga tetap stabil. Hal tersebut berkaitan juga dengan
mean arterial pressure (MAP).
penambahan volume. Peningkatan volume dari salah satu komponen tersebut, atau
adanya tambahan komponen patologis (misalnya hematom intrakranial), akan
menimbulkan kompensasi melalui penurunan volume dari komponen lainnya untuk
mempertahankan tekanan. Bila terdapat penambahan masa seperti hematoma akan
menyebabkan tergesernya LCS sehingga LCS akan terdesak melalui foramen
magnum ke arah rongga sub-arakhnoid spinalis dan vena akan segera kolaps karena
darah akan dipompa keluar dari ruangan intrakranial melalui vena jugularis atau
melalui vena emisaria dan kulit kepala. Mekanisme kompensasi ini hanya
berlangsung sampai batas tertentu saja. Namun jika mekanisme kompensasi ini
terlampaui maka kenaikan volume sedikit saja akan menyebabkan kenaikan TIK yang
tajam.
Otak mampu mengkompensasi atau menerima perubahan minimal pada tekanan
intrakranial dengan cara pengalihan LCS ke dalam spasium subaraknoid spinal,
peningkatan absorbsi LCS, penurunan pembentukan LCS dan pengalihan darah vena
ke luar dari tulang tengkorak (Hudak & Gallo, 2010).
Gambar 5.1
Hubungan antara tekanan intra kranial (ICP) dengan volume rongga kranial
hematom intrakranial, haruslah dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang
adekuat tetap harus dipertahankan.
Tekanan perfusi serebral/Cerebral Perfusion Pressure (CPP) adalah tekanan
aliran darah ke otak, normalnya konstan karena adanya autoregulasi. CPP ditentukan
dengan pengurangan TIK dengan Mean Arterial Pressure (MAP), dapat ditulis
dengan rumus :
CPP = MAP - TIK
Dalam posisi supinasi, nilai TIK normal adalah 5-15 mmHg (Luks, 2009). Nilai
normal CPP adalah 60–100 mmHg (Grundy, 2009). Jika mekanisme autoregulasi dari
otak mengalami kerusakan maka akan menyebabkan CPP lebih dari 150 mmHg atau
kurang dari 60 mmHg. Klien dengan CPP kurang dari 50 mmHg memperlihatkan
disfungsi neurologis yang bersifat irreversible. Hal ini terjadi karena penurunan
perfusi serebral yang mempengaruhi perubahan keadaan sel dan mengakibatkan
hipoksia serebral (Smeltzer & Bare, 2002).
2) Fungsi Orientasi
Orientasi merupakan kemampuan untuk mengaitkan keadaan sekitar dengan
pengalaman lampau. Untuk mengkaji orientasi pasien, perawat bisa menanyakan
tentang tempat, waktu, orang dan situasi. Untuk memeriksa status orientasi orang,
perawat bisa menanyakan nama pasien, usia, pekerjaan, tanggal lahir, serta kenal
dengan orang di sekitarnya. Untuk orientasi tempat, perawat dapat menanyakan
sekarang dimana, nama tempat, serta kota dimana pasien berada, sedangkan untuk
orientasi waktu perawat dapat menanyakan hari apa sekarang, tanggal, bulan serta
tahun berapa sekarang.
3) Fungsi Memori
Secara umum gangguan memori atau daya ingat ada tiga, yaitu :
1) Immediate memory (ingatan segera)
Immediate memory (ingatan segera) daya mengingat kembali suatu
stimulus yang diterima beberapa detik lalu seperti mengingat nomor telepon
yang baru saja diberikan. Caranya : pasien diminta mengulang deret nomor
yang kita ucapkan (disebut digit span). Misalnya :
3-7
2-4-9
8-5-2-7
2-8-6-9-3
5-7-1-9-4-6
8-1-5-9-3-6-7
Hasil pemeriksaan dikatakan masih normal jika seseorang dapat mengulang
sebanyak 7 digit.
10
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG
12
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG
rasakan regangan
Hipoglosus (XII) Kekuatan lidah Anjurkan klien menjulurkan lidah, lihat
(artikulasi, gerakan pakah ada tremor atau tidak
lidah) Anjurkan klien mengucapkan huruf “d” “t”
“n” “r”
d. Pemeriksaan Refleks
Ada beberapa pemeriksaan reflek yang biasa dilakukan pada pemeriksaan sistem
neurologi, yaitu : Reflek Bisep
1. Reflek Trisep
2. Reflek patella
3. Reflek Aschilles
4. Reflek Patologis (Babinski, Oppenheim, gordon, Schaefer, Gonda, Chaddock)
14
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG
2. Tanda Laseque
Cara melakukan pemeriksaan ini adalah kedua tungkai pada pasien yang
sedang berbaring diluruskan (diekstensikan), kemudian satu tungkai diangkat
lurus, dibengkokkan (fleksi) persendian panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus
selalu berada dalam keadaan ekstensi (lurus). Pada keadaan normal dapat dicapai
sudut 70° sebelum timbul rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan
15
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG
tahanan sebelum mencapai 70° maka disebut tanda Laseque positif. Namun pada
pasien yang sudah lanjut usianya diambil patokan 60°.
3. Tanda Kernig
Cara melakukan pemeriksaan adalah pasien yang sedang berbaring
difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90°. Setelah
itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut
lebih dari 135° terhadap paha. Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau
kurang dari sudut 135°, maka dikatakan Kernig sign positif.
4. Tanda Brudinski I
Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan di
bawah kepala pasien yang sedang berbaring, tangan pemeriksa yang satu lagi
sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan
kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Test ini
16
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG
adalah positif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi
lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.
5. Tanda Brudinski II
Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang difleksikan pada
sendi lutut, kemudian tungkai atas diekstensikan pada sendi panggul. Bila timbul
gerakan secara reflektorik berupa fleksi tungkai kontralateral pada sendi lutut dan
panggul ini menandakan test ini positif.
7. Konsep Nyeri
The International Association for the Study of Pain (1994 dalam Conger, 2011)
mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman ketidaknyamanan sensori dan emosional
yang berhubungan dengan kerusakan jaringan secara aktual atau potensial. Nyeri
bersifat subyektif dan sangat bersifat individual. Nyeri merupakan mekanisme
fisiologis yang bertujuan untuk melindungi diri, sehingga jika seseorang merasakan
nyeri maka perilakunya akan berubah (Conger, 2011).
Nyeri pada pasien dapat berhubungan dengan fisik atau bisa juga karena kondisi
psikis pasien. Nyeri yang berhubungan dengan fisik seperti halnya trauma fisik
(trauma mekanik, termal, elektrik), neoplasma, peradangan, dan lain sebagainya,
sedangkan nyeri yang berhubungan dengan kondisi psikis pasien biasanya disebabkan
17
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG
karena adanya trauma psikologis pasien seperti halnya pada pasien dengan gangguan
psikosomatik (Asmadi, 2008).
8. Mekanisme Nyeri
Banyak teori yang menjelaskan terkait mekanisme nyeri dan salah satu teori yang
terkenal adalah teori Gate Control yang menyatakan adanya mekanisme seperti
gerbang di area dorsal horn pada spinal cord. Serabut saraf kecil (reseptor nyeri)
’Small Nerve Fibers’ dan serabut saraf besar (reseptor normal) ’Large Nerve Fibers’
bermuara di sel proyeksi yang membentuk jalur spinothalamic menuju pusat saraf
tertinggi (otak), dan sinyal dapat diperlemah atau diperkuat oleh inhibitory
interneurons. Mekanismenya adalah seperti berikut (Walton & Torabinejad, 2008) :
a. Ketika tidak ada rangsangan nyeri, inhibitory neuron mencegah projection neuron
untuk mengirim sinyal ke otak. Sehingga, kita dapat mengatakan gerbang tertutup
atau tidak ada persepsi nyeri.
b. Ketika rangsangan normal somatosensori (sentuhan, perubahan suhu, dan lain
sebagainya) terjadi, rangsangan tersebut akan di hantarkan melalui serabut saraf
besar, menyebabkan inhibitory neuron dan projection neuron aktif. Akan tetapi,
inhibitory neuron mencegah projection neuron untuk mengirim sinyal terkirim ke
otak, sehingga gerbang masih tertutup dan tidak ada persepsi nyeri.
c. Ketika rangsangan nyeri muncul, rangsangan akan dihantarkan melaui serabut
saraf kecil. Hal ini menyebabkan inhibitory neuron menjadi tidak aktif, dan
projection neuron mengirimkan sinyal ke otak, sehingga gerbang terbuka dan
persepsi nyeri muncul.
kronik sehingga hal tersebut akan berdampak serius pada fungsi tubuh, kualitas hidup
dan well-being pasien. Selain itu, nyeri yang tidak terkontrol pada pasien kritis juga
akan memicu respon fisik dan emosional sehingga menghambat proses penyembuhan,
serta memperpanjang lama hari rawat/Length of Stay (LOS) pasien (Abdul & Batiha,
2014).
Gambar 10.1 : Wong Baker Pain Rating Scale (Savino et al, 2013)
Tabel 10.1
Kategori pada instrument CPOT (Gelinas et al, 2006 dalam Keane, 2013)
19
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG
KESIMPULAN
Sistem neurologi atau sistem saraf merupakan suatu susunan jaringan saraf yang kompleks,
dengan fungsi spesifik dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya (Feriyawati, 2006).
Adanya sistem saraf akan membuat tubuh berfungsi sebagai unit yang harmonis karena terjadi
komunikasi antar sistem tubuh. Satu fungsi saraf terganggu secara fisiologis akan mempengaruhi
fungsi tubuh yang lainnya (Tarwoto, Wartonah & Suryati, 2007). Sistem neurologi meliputi otak
dari bagian yang besar hingga terkecil yang memiliki fungsi spesifik.
20
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG
Adanya gangguan pada sistem neurologi bisa diidentifikasi melalui pengkajian fungsi luhur,
pemeriksaan saraf kranial, pengkajian kekuatan otot, pemeriksaan reflex hingga pemeriksaan
rangsang meningeal. Selain itu, pasien yang dirawat di ruang intensif ada yang menggunakan
ventilator dan atau tanpa ventilator. Alat ukur nyeri yang digunakan pada pasien dengan
ventilator diantaranya menggunakan CPOT, sedangkan alat ukur nyeri untuk dewasa tanpa
ventilator bisa menggunakan wong baker pain rating scale.
21
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG
DAFTAR PUSTAKA
American Association of Critical Nurses. (2013). Assessing Pain in the Critically III Adult.
http://www.aacn.org/wd/practice/docs/practicealerts/assessing-pain-critically-ill-adult.pdf.
Diakses tanggal 27 April 2014 pukul 12.00 WIB.
Abdul & Batiha, M. (2014). Pain management barriers in critical care units: A qualitative study.
International Journal of Advanced Nursing Studies, 3 (1) (2014) 1-5
Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.
Jakarta: Salemba Medika
Batticaca, F.B. (2011) Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika.
Conger, P., Leske, F., & Maidl, C. (2011). Comparison of two different pain assessment tools in
non verbal critical care patients. Pain Management Nursing, vol. 12, pp: 218-224.
doi:10.1016/j.pmn.2010.05.008
Feriyawati, L. (2006). Anatomi Sistem Saraf dan Peranannya Dalam Kontraksi Otot Rangka.
www.repository.usu.ac.id. Diakses tanggal 4 Februari 2015 pukul 10.00 WIB.
Hjermstad, M.J., et al. (2011). Studies Comparing Numerical Rating Scales, Verbal Rating
Scales, and Visual AnalogueScales for Assessment of Pain Intensity in Adults: A Systematic
Literature Review. Journal of Pain and Symptom Management, vol. 41(6).
Hudak, C.M & Gallo, B.M. (2010). Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Edisi 6. Jakarta:
EGC.
Keane, K.M. 2013. Validity and Reliability of the Critical Care Pain Observation Tool: A
Replication Study. Pain Management Nursing, Vol 14, No 4 (December), 2013: pp e216-
e225
22
Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif Komprehensif
HIPERCCI JATENG
Luks, A.M. (2009). Critical care management of the patient with elevated intracranial pressure,
Critical Care Alert, http://content.ebscohost.com/pdf23_24/pdf. Diakses tanggal 24
November 2012 pukul 17.00 WIB.
Pitocchelli, J. (2001). Lecture Notes for General Biology BI 101 Nervous System.
http://www.anselm.edu. Diakses tanggal 6 Februari 2015 pukul 11.00 WIB.
Savino, F., Vagliano, L., Ceratto, S., Viviani, F., Miniero, R., Ricceri, F. (2013). Pain assessment
in children undergoing venipuncture: the Wong–Baker faces scale versus skin conductance
fluctuations. PeerJ 1:e37; DOI 10.7717/peerj.37 . https://peerj.com/articles/37/. Diakses
tanggal 29 April 2014 pukul 18.00 WIB.
Shareef, M.K. (2014). Human Nervous System. http://hubpages.com. Diakses tanggal 4 Februari
2015 pukul 10.00 WIB.
Skrobik, Y & Changues, G. (2013). The Pain, Agitation, and Delirium Practice Guidelines for
Adult Critically Ill Patients: a Post-Publication Perspective. Annals of Intensive Care, 3:9
doi:10.1186/2110-5820-3-9
Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8. Vol. 3. Jakarta: EGC.
Stites, M. (2013). Observational Pain Scale in Critically Ill Adults. Critical Care Nurse.
33[3]:68-79
Tarwoto., Wartonah., & Suryati, E.S. (2007). Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Sagung Seto.
Walton, R & Torabinejad, M. (2008). Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia. Cetakan I. Ed 3.
Editor: Narlan Surnawinata. Jakarta: EGC
23