Anda di halaman 1dari 67

Pengantar Mata Kuliah

Modul Sistem Pelayanan Kesehatan dengan pembahasan Peraturan dan kebijakan


sistem pelayanan kesehatan di Indonesia adalah bahan ajar yang membahas Dasar hukum dan
kebijakan sistem pelayanan kesehatan di indonesesia. Modul ini dapat membantu anda
memahami Peraturan dan kebijakan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia
Mata kuliah bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada Anda agar dapat
memahami Aturan yang berlaku didalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia dan
kebijakan sistem pelayanan kesehatan khususnya dan dapat menerapkannya kepada
masyarakat secara umum dan khususnya kepada pasien kebidanan dan keluarganya.
Materi mata kuliah ini diuraikan dalam dua BaB dan masing-masing Bab terdiri dari
dua sampai tiga kegiatan belajar (TOPIK) dengan sistematika penyajian sebagai berikut.
BAB I : Dasar hukum tentang pelayanan kesehatan di Indonesia
Topik 1 : Regulasi dan peraturan dalam pelayanan kebidanan yaitu :
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 2017 Tentang Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Bidan
Topik 2 : Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Masa
Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, Dan Masa Sesudah
Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, Dan Pelayanan Kesehatan
Seksual.
Topik 3 : Tanggung Jawab Dan Akuntabilitas Dalam Asuhan Kebidanan
dan Etika profesionalisme, nilai, dan HAM
BAB II : Kebijakan Sistem Pelayanan Kesehatan
Topik 1 : Kebijakan Global Tentang Pelayanan Kebidanan
Topik 2 : Lingkungan Sosial Ekonomi Politik yang Mempengaruhi
Kebijakan Pelayanan Kebidanan
Topik 3 : Kepemimpinan Dalam Setting Pelayanan Kebidanan

Setelah mempelajari materi mata kuliah ini Anda diharapkan mampu menjelaskan dan
menerapkan pelayanan kesehatan sesuai atuuran yang berlaku di Indonesia dan kebijakan
pelayanan kesehatan di tingkat pelayanan primer, dan kebijakan pemerintah dalam pelayanan
kebidanan.

1
BAB I
DASAR HUKUM TENTANG PELAYANAN KESEHATAN DI
INDONESIA

Pendahuluan
BAB ini membahas Dasar Hukum tentang pelayanan kesehatan dalam pelayanan
kesehatan kebidanan di Indonnesia. Dasar hukum tidak lepas dari kaitannya denagn regulasi
ataupun peraturan.
Peraturan adalah sesuatu yang disepakati dan mengikat sekelompok orang/ lembaga
dalam rangka mencapai suatu tujuan dalam hidup bersama. Dan hukum pada umumnya
diartikan sebagai keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan tertulis atau kaidah-kaidah
dalam suatu masyarakat sebagai susunan sosial, keseluruhan peraturan tingkah laku yang
berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan
memberikan sanksi bila dilanggar. Tujuan pokok dari hukum ialah menciptakan suatu tatanan
hidup dalam masyarakat yang tertib dan sejahtera di dalam keseimbangan-keseimbangan.
Dengan terciptanya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia
akan terlindungi . Oleh karena itu, setiap kesalahan yang diperbuat oleh seseorang tentunya
harus ada sanksi yang layak untuk di terima si pembuat kesalahan, agar terjadi keseimbangan
dan keserasian dalam kehidupan sosial. Untuk mengatur kehidupan masyarakat diperlukan
kaidah-kaidah yang mengikat setiap anggota masyarakat agar tidak terjadi kejahatan dan
pelanggaran terhadap ketertiban umum agar masyarakat dapat hidup damai, tentram dan
aman.
Disinilah hukum diperlukan untuk mengatur agar tenaga kesehatan manaati peraturan
yang di telah tentukan oleh profesinya. Dalam PERMENKES No. 21 Tahun 2021 BAB I
Ketentuan Umum pasal 4 ayat 1 Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil,
Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan
Seksual diselenggarakan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
yang dilaksanakan secara menyeluruh terpadu dan berkesinambungan.
Pemenuhan pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin secara
konstitusional dalam undang-undang dasar Negara repoblik Indonesia tahun 1945.hal ini
merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia yaitu untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan
kemerdekaan,perdamaian abadi serta keadilan sosial.

2
Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunnan
yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh,
terarah, dan terpadu, termasuk pembangunan kesehatan pada dasarnya ditunjukan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat sehingga dapat terwujud
derajat kesetan masyarakat yang setinggi- tingginya
BAB I ini terdiri dari 2 topik yaitu :
Topik 1 : Regulasi dan peraturan dalam pelayanan kebidanan yaitu :
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 2017 Tentang Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Bidan
Topik 2 : Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Masa
Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, Dan Masa Sesudah
Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, Dan Pelayanan Kesehatan
Seksual.
Topik 3 : Tanggung Jawab Dan Akuntabilitas Dalam Asuhan Kebidanan
dan Etika profesionalisme, nilai, dan HAM

Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan dapat menjelaskan dan memahami
aturan dalam sistem pelayanan kesehatan, sehingga akan mempermudah Anda dalam
membahas Bab berikutnya.
Selanjutnya secara khusus setelah mempelajari Bab ini Anda diharapkan dapat:
1. Menjelaskan dan memahami tentang konsep dasar mutu pelayanan kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2017 Tentang
Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Bidan
2. Menjelaskan dan memahami tentang Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, Dan Masa Sesudah
Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, Dan Pelayanan Kesehatan Seksual.
3. Menjelaskan dan memahami tentang Tanggung Jawab Dan Akuntabilitas Dalam
Asuhan Kebidanan dan Etika profesionalisme, nilai, dan HAM

3
Topik 1
Regulasi dan peraturan dalam pelayanan kebidanan yaitu Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2017 Tentang Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Bidan

a. BAB I KETENTUAN UMUM


a) Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud :
 Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah
teregistrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Praktik Kebidanan adalah kegiatan pemberian pelayanan yang dilakukan oleh
Bidan dalam bentuk asuhan kebidanan.
 Surat Tanda Registrasi Bidan yang selanjutnya disingkat STRB adalah bukti
tertulis yang diberikan oleh Pemerintah kepada Bidan yang telah memiliki
sertifikat kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Surat Izin Praktik Bidan yang selanjutnya disingkat SIPB adalah bukti tertulis
yang diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Bidan sebagai
pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik kebidanan.
 Praktik Mandiri Bidan adalah tempat pelaksanaan rangkaian kegiatan
pelayanan kebidanan yang dilakukan oleh Bidan secara perorangan.
 Instansi Pemberi Izin adalah instansi atau satuan kerja yang ditunjuk oleh
pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menerbitkan izin sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif,
preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
 Organisasi Profesi adalah wadah berhimpunnya tenaga kesehatan bidan di
Indonesia.
b. BAB II Perizinan
1) Bagian Kesatu
Kualifikasi Bidan, Pasal 2 Dalam menjalankan Praktik Kebidanan, Bidan paling
rendah memiliki kualifikasi jenjang pendidikan diploma tiga kebidanan.
2) Bagian Kedua
a) STRB Pasal 3 :
Ayat (1) Setiap Bidan harus memiliki STRB untuk dapat melakukan

4
praktik keprofesiannya.
Ayat (2) STRB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh setelah
Bidan memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (3) STRB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 5
(lima) tahun.
Ayat (4) Contoh surat STRB sebagaimana tercantum dalam formulir II
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
b) Pasal 4 STRB yang telah habis masa berlakunya dapat diperpanjang selama
memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
3) Bagian Ketiga
c) SIPB, Pasal 5 :
Ayat (1) Bidan yang menjalankan praktik keprofesiannya wajib memiliki
SIPB.
Ayat (2) SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada
Bidan yang telah memiliki STRB.
Ayat (3) SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk 1
(satu) Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Ayat (4) SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama STR
Bidan masih berlaku, dan dapat diperpanjang selama memenuhi
persyaratan.
d) Pasal 6 :
Ayat (1) Bidan hanya dapat memiliki paling banyak 2 (dua) SIPB.
Ayat (2) Permohonan SIPB kedua, harus dilakukan dengan menunjukan
SIPB pertama.
e) Pasal 7 :
Ayat (1) SIPB diterbitkan oleh Instansi Pemberi Izin yang ditunjuk pada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Ayat (2) Penerbitan SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
ditembuskan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.
Ayat (3) Dalam hal Instansi Pemberi Izin merupakan dinas kesehatan
kabupaten/kota, Penerbitan SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak ditembuskan.
f) Pasal 8 :
5
Ayat (1) Untuk memperoleh SIPB, Bidan harus mengajukan permohonan
kepada Instansi Pemberi Izin dengan melampirkan: fotokopi STRB yang
masih berlaku dan dilegalisasi asli; surat keterangan sehat dari dokter
yang memiliki surat izin praktik; surat pernyataan memiliki tempat
praktik; surat keterangan dari pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
tempat Bidan akan berpraktik; pas foto terbaru dan berwarna dengan
ukuran 4X6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar; rekomendasi dari kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota setempat; dan rekomendasi dari Organisasi
Profesi.
Ayat (2) Persyaratan surat keterangan dari pimpinan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan tempat Bidan akan berpraktik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d dikecualikan untuk Praktik Mandiri Bidan.
Ayat (3) Dalam hal Instansi Pemberi Izin merupakan dinas kesehatan
kabupaten/kota, persyaratan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf f tidak diperlukan.
Ayat (4) Untuk Praktik Mandiri Bidan dan Bidan desa, Rekomendasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f (surat keterangan dari
pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tempat Bidan akan berpraktik)
dikeluarkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota setelah dilakukan
visitasi penilaian pemenuhan persyaratan tempat praktik Bidan.
Ayat (5) Contoh surat permohonan memperoleh SIPB sebagaimana
tercantum dalam formulir III yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
Ayat (6) Contoh SIPB sebagaimana tercantum dalam formulir IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
g) Pasal 9 :
Ayat (1) Dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja
sejak berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
diterima dan dinyatakan lengkap, Instansi Pemberi Izin harus
mengeluarkan SIPB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Ayat (2) Pernyataan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuktikan dengan surat tanda penerimaan kelengkapan berkas.
h) Pasal 10 SIPB dinyatakan tidak berlaku dalam hal:
Tempat praktik tidak sesuai lagi dengan SIPB;
6
Masa berlaku STRB telah habis dan tidak diperpanjang;
Dicabut oleh pejabat yang berwenang memberikan izin; atau
Bidan meninggal dunia.
i) Pasal 11
Ayat (1) Bidan warga negara asing yang akan menjalankan Praktik
Kebidanan di Indonesia harus memiliki sertifikat kompetensi, STR
sementara, dan SIPB.
Ayat (2) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperoleh Bidan warga negara asing setelah lulus evaluasi kompetensi.
Ayat (3) Evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
digunakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh STR sementara.
Ayat (4) Untuk memperoleh SIPB, Bidan warga negara asing harus
melakukan permohonan kepada Instansi Pemberi Izin dan memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
Ayat (5) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bidan
warga negara asing harus memenuhi persyaratan lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
j) Pasal 12 STR sementara dan SIPB bagi Bidan warga negara asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berlaku selama 1 (satu) tahun dan
dapat diperpanjang hanya untuk 1 (satu) tahun berikutnya.
k) Pasal 13 :
Ayat (1) Bidan warga negara Indonesia lulusan luar negeri yang akan
melakukan Praktik Kebidanan di Indonesia harus memiliki STRB dan
SIPB.
Ayat (2) STRB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh setelah
melakukan proses evaluasi kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Ayat (3) Untuk memperoleh SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bidan warga negara Indonesia lulusan luar negeri harus melakukan
permohonan kepada Instansi Pemberi Izin dan memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
l) Pasal 14
ayat (1) Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang mempekerjakan
Bidan yang tidak memiliki SIPB.
7
Ayat (2) Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus melaporkan Bidan yang bekerja dan berhenti bekerja
di Fasilitas Pelayanan Kesehatannya pada tiap triwulan kepada kepala
dinas kesehatan kabupaten/kota dengan tembusan kepada Organisasi
Profesi.

c. BAB III PENYELENGGARAAN KEPROFESIAN


1) Bagian Kesatu Umum
a) Pasal 15 :
Ayat (1) Bidan dapat menjalankan Praktik Kebidanan secara mandiri
dan/atau bekerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Ayat (2) Praktik Kebidanan secara mandiri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa Praktik Mandiri Bidan.
Ayat (3) Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat berupa: a. klinik; b. puskesmas; c. rumah sakit; dan/atau d.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan lainnya.
b) Pasal 16 :
Ayat (1) Bidan yang berpraktik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan berupa
puskesmas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf b
meliputi a. Bidan yang melakukan praktik kebidanannya di puskesmas;
dan b. Bidan desa.
Ayat (2) Bidan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
merupakan Bidan yang memiliki SIPB di puskesmas, dan bertempat
tinggal serta mendapatkan penugasan untuk melaksanakan Praktik
Kebidanan dari Pemerintah Daerah pada satu desa/kelurahan dalam
wilayah kerja puskesmas yang bersangkutan.
Ayat (3) Praktik Bidan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan tempat praktik bidan desa sebagai jaringan Puskesmas.

Ayat (4) Dalam rangka penjaminan mutu pelayanan kesehatan praktik


Bidan desa sebagai jaringan Puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), dinas kesehatan kabupaten/kota setempat harus melakukan penilaian
pemenuhan persyaratan tempat yang akan dipergunakan untuk
penyelenggaraan praktik Bidan desa dengan menggunakan Formulir 1
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
8
Ayat (5) Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi
dasar rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f,
sebelum SIPB untuk Bidan desa diterbitkan.
c) Pasal 17
Bidan desa dapat mengajukan Permohonan SIPB kedua berupa Praktik
Mandiri Bidan, selama memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) dan mengikuti ketentuan: a. lokasi Praktik Mandiri Bidan
yang diajukan, berada pada satu desa/kelurahan sesuai dengan tempat tinggal
dan penugasan dari Pemerintah Daerah; b. memiliki tempat Praktik Mandiri
Bidan tersendiri yang tidak bergabung dengan tempat praktik Bidan desa; dan
c. waktu Praktik Mandiri Bidan yang diajukan, tidak bersamaan dengan
waktu pelayanan praktik Bidan desa.
2) Bagian Kedua Kewenangan
a) Pasal 18 Dalam penyelenggaraan Praktik Kebidanan, Bidan memiliki
kewenangan untuk memberikan: a. pelayanan kesehatan ibu; b. pelayanan
kesehatan anak; dan c. pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan
keluarga berencana.
b) Pasal 19
Ayat (1) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
huruf a diberikan pada masa sebelum hamil, masa hamil, masa persalinan,
masa nifas, masa menyusui, dan masa antara dua kehamilan.
Ayat (2) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pelayanan: a. konseling pada masa sebelum hamil; b. antenatal
pada kehamilan normal; c. persalinan normal; d. ibu nifas normal; e. ibu
menyusui; dan f. konseling pada masa antara dua kehamilan.

Ayat (3) Dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu sebagaimana


dimaksud pada ayat (2), Bidan berwenang melakukan: a. episiotomi; b.
pertolongan persalinan normal; c. penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan
II; d. penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan; e.
pemberian tablet tambah darah pada ibu hamil; f. pemberian vitamin A
dosis tinggi pada ibu nifas; g. fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini
dan promosi air susu ibu eksklusif; h. pemberian uterotonika pada
manajemen aktif kala tiga dan postpartum; i. penyuluhan dan konseling; j.
bimbingan pada kelompok ibu hamil; dan k. pemberian surat keterangan
9
kehamilan dan kelahiran.
c) Pasal 20
Ayat (1) Pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
huruf b diberikan pada bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak
prasekolah.
Ayat (2) Dalam memberikan pelayanan kesehatan anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bidan berwenang melakukan: a. pelayanan
neonatal esensial; b. penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan
perujukan; c. pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, dan anak
prasekolah; dan d. konseling dan penyuluhan.
Ayat (3) Pelayanan noenatal esensial sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a meliputi inisiasi menyusui dini, pemotongan dan perawatan tali
pusat, pemberian suntikan Vit K1, pemberian imunisasi B0, pemeriksaan
fisik bayi baru lahir, pemantauan tanda bahaya, pemberian tanda identitas
diri, dan merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dalam kondisi stabil
dan tepat waktu ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang lebih mampu.
Ayat (4) Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi: a. penanganan awal
asfiksia bayi baru lahir melalui pembersihan jalan nafas, ventilasi tekanan
positif, dan/atau kompresi jantung; b. penanganan awal hipotermia pada
bayi baru lahir dengan BBLR melalui penggunaan selimut atau fasilitasi
dengan cara menghangatkan tubuh bayi dengan metode kangguru; c.
penanganan awal infeksi tali pusat dengan mengoleskan alkohol atau
povidon iodine serta menjaga luka tali pusat tetap bersih dan kering; dan d.
membersihkan dan pemberian salep mata pada bayi baru lahir dengan
infeksi gonore (GO).
Ayat (5) Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, dan anak
prasekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi kegiatan
penimbangan berat badan, pengukuran lingkar kepala, pengukuran tinggi
badan, stimulasi deteksi dini, dan intervensi dini peyimpangan tumbuh
kembang balita dengan menggunakan Kuesioner Pra Skrining
Perkembangan (KPSP)
Ayat (6) Konseling dan penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d meliputi pemberian komunikasi, informasi, edukasi (KIE) kepada
ibu dan keluarga tentang perawatan bayi baru lahir, ASI eksklusif, tanda
10
bahaya pada bayi baru lahir, pelayanan kesehatan, imunisasi, gizi
seimbang, PHBS, dan tumbuh kembang.
d) Pasal 21 Dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan
keluarga berencana sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 huruf c, Bidan
berwenang memberikan: a. penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi
perempuan dan keluarga berencana; dan b. pelayanan kontrasepsi oral,
kondom, dan suntikan.
3) Bagian Ketiga Pelimpahan kewenangan
a) Pasal 22 Selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Bidan
memiliki kewenangan memberikan pelayanan berdasarkan: a. penugasan dari
pemerintah sesuai kebutuhan; dan/atau b. pelimpahan wewenang melakukan
tindakan pelayanan kesehatan secara mandat dari dokter.
b) Pasal 23
Ayat (1) Kewenangan memberikan pelayanan berdasarkan penugasan dari
pemerintah sesuai kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf
a, terdiri atas: a. kewenangan berdasarkan program pemerintah; dan b.
kewenangan karena tidak adanya tenaga kesehatan lain di suatu wilayah
tempat Bidan bertugas.
Ayat (2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh
Bidan setelah mendapatkan pelatihan.
Ayat (3) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan
oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah bersama organisasi profesi
terkait berdasarkan modul dan kurikulum yang terstandarisasi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (4) Bidan yang telah mengikuti pelatihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) berhak memperoleh sertifikat pelatihan.
Ayat (5) Bidan yang diberi kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus mendapatkan penetapan dari kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota.
c) Pasal 24
Ayat (1) Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Bidan ditempat
kerjanya, akibat kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus
sesuai dengan kompetensi yang diperolehnya selama pelatihan.
Ayat (2) Untuk menjamin kepatuhan terhadap penerapan kompetensi yang
diperoleh Bidan selama pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
11
Dinas kesehatan kabupaten/kota harus melakukan evaluasi pascapelatihan
di tempat kerja Bidan.
Ayat (3) Evaluasi pascapelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan setelah pelatihan.
d) Pasal 25
Ayat (1) Kewenangan berdasarkan program pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, meliputi: a. pemberian
pelayanan alat kontrasepsi dalam rahim dan alat kontrasepsi bawah kulit;
b. asuhan antenatal terintegrasi dengan intervensi khusus penyakit tertentu;
c. penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai dengan pedoman yang
ditetapkan; d. pemberian imunisasi rutin dan tambahan sesuai program
pemerintah; e. melakukan pembinaan peran serta masyarakat di bidang
kesehatan ibu dan anak, anak usia sekolah dan remaja, dan penyehatan
lingkungan; f. pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra
sekolah dan anak sekolah; g. melaksanakan deteksi dini, merujuk, dan
memberikan penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS)
termasuk pemberian kondom, dan penyakit lainnya; h. pencegahan
penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya
(NAPZA) melalui informasi dan edukasi; dan i. melaksanakan pelayanan
kebidanan komunitas;
Ayat (2) Kebutuhan dan penyediaan obat, vaksin, dan/atau kebutuhan
logistik lainnya dalam pelaksanaan Kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
e) Pasal 26
Ayat (1) Kewenangan karena tidak adanya tenaga kesehatan lain di suatu
wilayah tempat Bidan bertugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal telah tersedia tenaga kesehatan
lain dengan kompetensi dan kewenangan yang sesuai.
Ayat (2) Keadaan tidak adanya tenaga kesehatan lain di suatu wilayah
tempat Bidan bertugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.
f) Pasal 27
Ayat (1) Pelimpahan wewenang melakukan tindakan pelayanan kesehatan
secara mandat dari dokter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b
12
diberikan secara tertulis oleh dokter pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan
tingkat pertama tempat Bidan bekerja.
Ayatt (2) Tindakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dapat diberikan dalam keadaan di mana terdapat kebutuhan
pelayanan yang melebihi ketersediaan dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan tingkat pertama tersebut.
Ayat (3) Pelimpahan tindakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan: a. tindakan yang dilimpahkan
termasuk dalam kompetensi yang telah dimiliki oleh Bidan penerima
pelimpahan; b. pelaksanaan tindakan yang dilimpahkan tetap di bawah
pengawasan dokter pemberi pelimpahan; c. tindakan yang dilimpahkan tidak
termasuk mengambil keputusan klinis sebagai dasar pelaksanaan tindakan;
dan d. tindakan yang dilimpahkan tidak bersifat terus menerus.
Ayat (4) Tindakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi tanggung jawab dokter pemberi mandat, sepanjang pelaksanaan
tindakan sesuai dengan pelimpahan yang diberikan.
4) Bagian Keempat Kewajiban dan Hak
a) Pasal 28 Dalam melaksanakan praktik kebidanannya, Bidan berkewajiban
untuk: a. menghormati hak pasien; b. memberikan informasi tentang masalah
kesehatan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan; c. merujuk kasus yang
bukan kewenangannya atau tidak dapat ditangani dengan tepat waktu; d.
meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan; e. menyimpan rahasia
pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan; f.
melakukan pencatatan asuhan kebidanan dan pelayanan lainnya yang
diberikan secara sistematis; g. mematuhi standar profesi, standar pelayanan,
dan standar prosedur operasional; h. melakukan pencatatan dan pelaporan
penyelenggaraan Praktik Kebidanan termasuk pelaporan kelahiran dan
kematian; i. pemberian surat rujukan dan surat keterangan kelahiran; dan j.
meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai
dengan bidang tugasnya.
b) Pasal 29 Dalam melaksanakan praktik kebidanannya, Bidan memiliki hak: a.
memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan pelayanannya
sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur
operasional; b. memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien
13
dan/atau keluarganya; c. melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi dan
kewenangan; dan d. menerima imbalan jasa profesi

d. BAB IV PRAKTIK MANDIRI BIDAN


1) Pasal 30
Ayat (1) Bidan yang menyelenggarakan Praktik Mandiri Bidan harus
memenuhi persyaratan, selain ketentuan persyaratan memperoleh SIPB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
Ayat (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, peralatan, serta obat dan bahan habis
pakai.

2) Pasal 31 Persyaratan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2)


berupa Praktik Mandiri Bidan harus berada pada lokasi yang mudah untuk akses
rujukan dan memperhatikan aspek kesehatan lingkungan.
3) Pasal 32 Persyaratan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2)
meliputi ruang dalam bangunan Praktik Mandiri Bidan yang terdiri atas: a. ruang
tunggu; b. ruang periksa; c. ruang bersalin; d. ruang nifas; e. WC/kamar mandi;
dan f. ruang lain sesuai kebutuhan.
4) Pasal 33
Ayat (1) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, bangunan
Praktik Mandiri Bidan harus bersifat permanen dan tidak bergabung fisik
bangunan lainnya.
Ayat (2) Ketentuan tidak bergabung fisik bangunan lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk rumah tinggal perorangan, apartemen,
rumah toko, rumah kantor, rumah susun, dan bangunan yang sejenis.

Ayat (3) Dalam hal praktik mandiri berada di rumah tinggal perorangan,
akses pintu keluar masuk tempat praktik harus terpisah dari tempat tinggal
perorangan.
Ayat (4) Bangunan praktik mandiri Bidan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memperhatikan fungsi, keamanan, kenyamanan dan kemudahan
dalam pemberian pelayanan serta perlindungan keselamatan dan kesehatan
bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anak-anak dan orang usia
lanjut.
14
5) Pasal 34 Persyaratan prasarana Praktik Mandiri Bidan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (2) paling sedikit memiliki: a. sistem air bersih; b. sistem
kelistrikan atau pencahayaan yang cukup; c. ventilasi/sirkulasi udara yang baik;
dan d. prasarana lain sesuai kebutuhan.
6) Pasal 35 Persyaratan peralatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2)
berupa peralatan Praktik Mandiri Bidan harus dalam keadaan terpelihara dan
berfungsi dengan baik untuk menyelenggarakan pelayanan.
7) Pasal 36
Ayat (1) Persyaratan obat dan bahan habis pakai Praktik Mandiri Bidan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) meliputi pengelolaan obat dan
bahan habis pakai yang diperlukan untuk pelayanan antenatal, persalinan
normal, penatalaksanaan bayi baru lahir, nifas, keluarga berencana, dan
penanganan awal kasus kedaruratan kebidanan dan bayi baru lahir.
Ayat (2) Obat dan bahan habis pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya diperoleh dari apotek melalui surat pesanan kebutuhan obat dan bahan
habis pakai.
Ayat (3) Bidan yang melakukan praktik mandiri harus melakukan
pendokumentasian surat pesanan kebutuhan obat dan bahan habis pakai
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta melakukan pengelolaan obat yang
baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (4) Contoh surat pesanan obat dan bahan habis pakai sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam formulir V yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
8) Pasal 37 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan bangunan, prasarana,
peralatan, dan obat-obatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan
Pasal 36 tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.

9) Pasal 38
Ayat (1) Praktik Mandiri Bidan harus melaksanakan pengelolaan limbah
medis.
Ayat (2) Pengelolaan limbah medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan melalui kerjasama dengan institusi yang memiliki instalasi
pengelolaan limbah.
10)Pasal 39
15
Ayat (1) Praktik Mandiri Bidan harus memasang papan nama pada bagian
atau ruang yang mudah terbaca dengan jelas oleh masyarakat umum dengan
ukuran 60x90 cm dasar papan nama berwarna putih dan tulisan berwarna
hitam.
Ayat (2) Papan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat nama Bidan, nomor STRB, nomor SIPB, dan waktu pelayanan.
11)Pasal 40
Ayat (1) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus melakukan penilaian
terhadap pemenuhan persyaratan Praktik Mandiri Bidan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 36, dengan menggunakan
instrumen penilaian sebagaimana tercantum dalam Formulir I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Ayat (2) Hasil penilaian kelayakan sebagaimana dimaksud pada huruf (1),
menjadi dasar dalam pembuatan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) huruf f.
12)Pasal 41
Ayat (1) Praktik Mandiri Bidan tidak memerlukan izin penyelenggaraan
sebagai Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Ayat (2) Izin penyelenggaraan Praktik Mandiri Bidan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) melekat pada SIPB yang bersangkutan.
13)Pasal 42
Ayat (1) Bidan dalam menyelenggarakan Praktik Mandiri Bidan dapat
dibantu oleh tenaga kesehatan lain atau tenaga nonkesehatan.
Ayat (2) Tenaga kesehatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memiliki SIP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
14)Pasal 43
Ayat (1) Bidan yang berhalangan sementara dalam melaksanakan praktik
kebidanan dapat menunjuk Bidan pengganti dan melaporkannya kepada
kepala puskesmas setempat.
Ayat (2) Bidan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memiliki SIPB dan tidak harus SIPB di tempat tersebut.
15)Pasal 44 Dalam rangka melaksanakan praktik kebidanan, Praktik Mandiri Bidan
dapat melakukan pemeriksaan laboratorium sederhana antenatal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

16
e. BAB V PENCATATAN DAN PELAPORAN
1) Pasal 45
Ayat (1) Bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan
pelayanan yang diberikan.
Ayat (2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan ke
puskesmas wilayah tempat praktik.
Ayat (3) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dan
disimpan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (4) Ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikecualikan bagi Bidan yang melaksanakan praktik di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan selain Praktik Mandiri Bidan

f. BAB VI Pembinaan Dan Pengawasan


1) Pasal 46
Ayat (1) Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan/atau Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan praktik bidan sesuai dengan kewenangan masingmasing.
Ayat (2) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Menteri, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat
mengikutsertakan organisasi profesi.
Ayat (3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien, dan
melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat
menimbulkan bahaya bagi kesehatan.
Ayat (4) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Menteri, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dapat memberikan tindakan administratif kepada bidan yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik.
Ayat (5) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; c. pencabutan SIP
untuk sementara paling lama 1 (satu) tahun; atau d. pencabutan SIPB
selamanya.

g. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN


1) Pasal 47
17
Ayat (1) Praktik Mandiri Bidan yang telah terselenggara berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin
dan Penyelenggaraan Praktik Bidan tetap dapat menyelenggarakan pelayanan
sampai habis masa berlakunya izin.
Ayat (2) Praktik Mandiri Bidan yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan, harus menyesuaikan dengan Peraturan
Menteri ini paling lambat 2 (dua) tahun sejak Peraturan Menteri ini
diundangkan.
Ayat (3) Proses permohonan SIPB baru atau perpanjangan SIPB yang telah
memenuhi persyaratan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan,
dan diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, tetap diproses
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010.
2) Pasal 48 Bidan desa yang telah memiliki SIPB berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan
Praktik Bidan, dan tempat praktiknya di desa/kelurahan belum mengikuti
ketentuan dalam Peraturan Menteri ini, harus menyesuaikan diri paling lambat 3
(tiga) tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan.

h. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP


1) Pasal 49 Pada saat peraturan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik
Bidan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
2) Pasal 50 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal di undangkan. Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Latihan :
Tes 1
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
1. D
2. D
3. D
18
4. F
5. F

Topik 2
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2021 Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, Dan
Masa Sesudah Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, Dan Pelayanan Kesehatan Seksual.

a. BAB I KETENTUAN UMUM


1) Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1
a) Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil adalah setiap kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan yang ditujukan pada perempuan sejak saat remaja
hingga saat sebelum hamil dalam rangka menyiapkan perempuan menjadi
hamil sehat.
b) Pelayanan Kesehatan Masa Hamil adalah setiap kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan sejak terjadinya masa konsepsi hingga
melahirkan.

19
c) Pelayanan Kesehatan Persalinan adalah setiap kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan yang ditujukan pada ibu sejak dimulainya persalinan
hingga 6 (enam) jam sesudah melahirkan.
d) Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan adalah setiap kegiatan
dan/atau serangkaian kegiatan yang ditujukan pada ibu selama masa nifas
dan pelayanan yang mendukung bayi yang dilahirkannya sampai berusia 2
(dua) tahun.
e) Pelayanan Kontrasepsi adalah serangkaian kegiatan terkait dengan
pemberian obat, pemasangan atau pencabutan alat kontrasepsi dan tindakan-
tindakan lain dalam upaya mencegah kehamilan.
f) Pelayanan Kesehatan Seksual adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan yang ditujukan pada kesehatan seksualitas.
g) Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik
promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh
pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
h) Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh
Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
i) Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom .
j) Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di
bidang kesehatan.
2) Pasal 2 Pengaturan penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum
Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Pelayanan
Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan Seksual bertujuan untuk mengurangi
angka kesakitan dan angka kematian ibu dan bayi baru lahir dengan:
a) Menyiapkan kesehatan remaja, calon pengantin, dan/atau pasangan usia
subur pada masa sebelum hamil;
b) Menjamin kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat
dan berkualitas;
c) Menjamin tercapainya kualitas hidup dan pemenuhan hak-hak reproduksi;
d) Menjamin kualitas Pelayanan Kontrasepsi; dan
20
e) Mempertahankan dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan
bayi baru lahir.
3) Pasal 3 Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota menjamin ketersediaan sumber daya kesehatan, sarana,
prasarana, dan penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil,
Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Pelayanan
Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan Seksual.
4) Pasal 4
a) Ayat (1) Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil,
Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan
Pelayanan Kesehatan Seksual diselenggarakan dengan pendekatan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara menyeluruh
terpadu dan berkesinambungan.
b) Ayat (2) Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil,
Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan
Pelayanan Kesehatan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh tenaga kesehatan dan/atau tenaga nonkesehatan baik
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik pemerintah dan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan milik swasta, atau di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
c) Ayat (3) Tenaga kesehatan dan/atau tenaga nonkesehatan dalam
melaksanakan Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil,
Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan
Pelayanan Kesehatan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan Menteri ini
dan standar yang berlaku.

b. BAB II PELAYANAN KESEHATAN MASA SEBELUM HAMIL, MASA


HAMIL, PERSALINAN, DAN MASA SESUDAH MELAHIRKAN
1) Bagian Kesatu Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil
a) Pasal 5
Ayat (1) Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil dilakukan untuk
mempersiapkan kehamilan dan persalinan yang sehat dan selamat serta
memperoleh bayi yang sehat.
Ayat (2) Kegiatan Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. pemberian
21
komunikasi, informasi dan edukasi; b. pelayanan konseling; c.
pelayanan skrining kesehatan; d. pemberian imunisasi; e. pemberian
suplementasi gizi; f. pelayanan medis; dan/atau g. pelayanan kesehatan
lainnya.
b) Pasal 6
Ayat (1) Komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a diberikan melalui ceramah tanya jawab,
diskusi kelompok terarah, dan diskusi interaktif.
Ayat (2) Komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan sarana dan media
komunikasi, informasi, dan edukasi.
Ayat (3) Materi komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai tahapan tumbuh kembang dan
kebutuhan masing-masing kelompok umur.
c) Pasal 7
Ayat (1) Pelayanan konseling sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) huruf b dapat diberikan secara individual, berpasangan, atau
kelompok.
Ayat (2) Pelayanan konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan sesuai kebutuhan klien.
Ayat (3) Pelayanan konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan/atau fasilitas lainnya.
d) Pasal 8
Ayat (1) Pelayanan skrining kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) huruf c dilakukan melalui: a. anamnesis; b.
pemeriksaan fisik; dan c. pemeriksaan penunjang.
Ayat (2) Anamnesis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan untuk memperoleh informasi tentang keluhan, penyakit yang
diderita, riwayat penyakit, faktor risiko, termasuk deteksi dini masalah
kesehatan jiwa.
Ayat (3) Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b paling sedikit meliputi: a. pemeriksaan tanda vital; b. pemeriksaan
status gizi; c. pemeriksaan tanda dan gejala anemia; dan d. pemeriksaan
fisik lengkap sesuai indikasi medis.
Ayat (4) Pemeriksaan penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
22
huruf c merupakan pelayanan kesehatan yang dilakukan berdasarkan
indikasi medis dan/atau kebutuhan program kesehatan.
Ayat (5) Dalam hal hasil pelayanan skrining ditemukan permasalahan
kesehatan, wajib ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
e) Pasal 9
Ayat (1) Pemberian imunisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) huruf d dilakukan dalam upaya pencegahan dan perlindungan
terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dalam rangka
menyiapkan kehamilan yang sehat bagi ibu dan bayi.
Ayat (2) Pemberian imunisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada hasil skrining status imunisasi.
Ayat (3) Ketentuan mengenai pemberian imunisasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
f) Pasal 10 Pemberian suplementasi gizi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) huruf e bertujuan untuk mengoptimalkan asupan gizi pada masa
sebelum hamil.
g) Pasal 11
Ayat (1) Pelayanan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(2) huruf f merupakan tata laksana untuk menindaklanjuti masalah
kesehatan yang ditemukan pada masa sebelum hamil.
Ayat (2) Pelayanan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
h) Pasal 12 Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil dilaksanakan sesuai
dengan Pedoman Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil,
Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
2) Bagian Kedua Pelayanan Kesehatan Masa Hamil
a) Pasal 13
Ayat (1) Pelayanan Kesehatan Masa Hamil bertujuan untuk memenuhi
hak setiap ibu hamil memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas
sehingga mampu menjalani kehamilan dengan sehat, bersalin dengan
23
selamat, dan melahirkan bayi yang sehat dan berkualitas.
Ayat (2) Pelayanan Kesehatan Masa Hamil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sejak terjadinya masa konsepsi hingga sebelum
mulainya proses persalinan.
Ayat (3) Pelayanan Kesehatan Masa Hamil dilakukan paling sedikit 6
(enam) kali selama masa kehamilan meliputi: a. 1 (satu) kali pada
trimester pertama; b. 2 (dua) kali pada trimester kedua; dan c. 3 (tiga)
kali pada trimester ketiga.
Ayat (4) Pelayanan Kesehatan Masa Hamil sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan
kewenangan dan paling sedikit 2 (dua) kali oleh dokter atau dokter
spesialis kebidanan dan kandungan pada trimester pertama dan ketiga.
Ayat (5) Pelayanan Kesehatan Masa Hamil yang dilakukan dokter atau
dokter spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk pelayanan
ultrasonografi (USG).
Ayat (6) Pelayanan Kesehatan Masa Hamil sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) wajib dilakukan melalui pelayanan antenatal sesuai standar dan
secara terpadu.
Ayat (7) Pelayanan antenatal sesuai dengan standar sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) meliputi: a. pengukuran berat badan dan tinggi
badan; b. pengukuran tekanan darah; c. pengukuran lingkar lengan atas
(LiLA); d. pengukuran tinggi puncak rahim (fundus uteri); e. penentuan
presentasi janin dan denyut jantung janin; f. pemberian imunisasi sesuai
dengan status imunisasi; g. pemberian tablet tambah darah minimal 90
(sembilan puluh) tablet; h. tes laboratorium; i. tata laksana/penanganan
kasus; dan j. temu wicara (konseling) dan penilaian kesehatan jiwa.
Ayat (8) Pelayanan antenatal secara terpadu sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) merupakan pelayanan komprehensif dan berkualitas yang
dilakukan secara terintegrasi dengan program pelayanan kesehatan
lainnya termasuk pelayanan kesehatan jiwa
Ayat (9) Pelayanan antenatal sesuai standar dan secara terpadu
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) dilakukan dengan
prinsip: a. deteksi dini masalah penyakit dan penyulit atau komplikasi
kehamilan; b. stimulasi janin pada saat kehamilan; c. persiapan
persalinan yang bersih dan aman; d. perencanaan dan persiapan dini
24
untuk melakukan rujukan jika terjadi komplikasi; dan e. melibatkan ibu
hamil, suami, dan keluarga dalam menjaga kesehatan dan gizi ibu hamil
dan menyiapkan persalinan dan kesiagaan jika terjadi penyulit atau
komplikasi. (
Ayat 10) Pelayanan Kesehatan Masa Hamil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dicatat dalam kartu ibu/rekam medis, formulir pencatatan
kohort ibu, dan buku kesehatan ibu dan anak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
b) Pasal 14
Ayat (1) Ibu hamil yang mengalami keguguran wajib mendapatkan
pelayanan kesehatan asuhan pascakeguguran yang berupa: a. pelayanan
konseling; dan b. pelayanan medis.
Ayat (2) Pelayanan konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dilakukan sebelum dan setelah pelayanan medis.
Ayat (3) Pelayanan konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a paling sedikit meliputi: a. konseling dukungan psikososial; b. konseling
tata laksana medis/klinis; dan c. konseling perencanaan kehamilan
termasuk pelayanan kontrasepsi pascakeguguran.
Ayat (4) Pelayanan konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dilakukan oleh tenaga kesehatan
Ayat (5) Konseling perencanaan kehamilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf c diberikan sampai dengan 14 (empat belas) hari
pascakeguguran dalam upaya perencanaan kehamilan.
Ayat (6) Pelayanan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi: a. tindakan pengeluaran hasil konsepsi secara farmakologis
dan/atau operatif; b. tata laksana nyeri; dan c. tata laksana pascatindakan
pengeluaran sisa hasil konsepsi.
Ayat (7) Pelayanan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
dilakukan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan oleh dokter atau dokter
spesialis yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
c) Pasal 15 Pelayanan Kesehatan Masa Hamil dilaksanakan sesuai dengan
Pedoman Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil,
Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
25
3) Bagian Ketiga Pelayanan Kesehatan Persalinan
1) Pasal 16
Ayat (1) Persalinan dilakukan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Ayat (2) Persalinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
tim paling sedikit 1 (satu) orang tenaga medis dan 2 (dua) orang tenaga
kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
Ayat (3) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari: a. dokter,
bidan, dan perawat; atau b. dokter dan 2 (dua) bidan.
Ayat (4) Dalam hal terdapat keterbatasan akses persalinan di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2),
persalinan tanpa komplikasi dapat dilakukan oleh tim paling sedikit 2
(dua) orang tenaga kesehatan.

Ayat (5) Keterbatasan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (4)


meliputi: a. kesulitan dalam menjangkau Fasilitas Pelayanan Kesehatan
karena jarak dan/atau kondisi geografis; dan b. tidak ada tenaga medis.
2) Pasal 17
Ayat (1) Ibu dan janin dengan komplikasi kehamilan dan persalinan,
maka persalinan dilakukan di rumah sakit sesuai kompetensinya.
Ayat (2) Dalam hal ibu dan janin mengalami komplikasi atau
kegawatdaruratan saat di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama,
pihak Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama harus melakukan
tindakan prarujukan dan segera dirujuk ke rumah sakit.
3) Pasal 18
Ayat (2) Persalinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) harus
memenuhi 7 (tujuh) aspek yang meliputi: a. membuat keputusan klinik;
b. asuhan sayang ibu dan bayi termasuk Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
dan resusitasi bayi baru lahir; c. pencegahan infeksi; d. pencegahan
penularan penyakit dari ibu ke anak; e. persalinan bersih dan aman; f.
pencatatan atau rekam medis asuhan persalinan; dan g. rujukan pada
kasus komplikasi ibu dan bayi baru lahir. (3) Persalinan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan standar persalinan
normal atau standar persalinan komplikasi
4) Pasal 19
Ayat (1) Ibu dan bayi baru lahir harus dilakukan observasi di Fasilitas
26
Pelayanan Kesehatan paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam setelah
persalinan.
Ayat (2) Dalam hal kondisi ibu dan/atau bayi baru lahir normal maka
dapat dipulangkan setelah dilakukan observasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Ayat (3) Dalam hal kondisi ibu dan/atau bayi baru lahir mengalami
komplikasi dan memerlukan parawatan lebih lanjut, maka hanya dapat
dipulangkan apabila kondisi telah sesuai dengan kriteria layak pulang
berdasarkan pemeriksaan tenaga medis.
5) Pasal 20 Pelayanan Kesehatan Persalinan dilaksanakan sesuai dengan
Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil,
Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, dan Pelayanan
Kesehatan Seksual sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
4) Bagian Keempat Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan
a) Pasal 21
Ayat (1) Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan meliputi: a.
pelayanan kesehatan bagi ibu; b. pelayanan kesehatan bagi bayi baru
lahir; dan c. pelayanan kesehatan bagi bayi dan anak.
Ayat (2) Pelayanan Kesehatan bagi ibu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dilakukan paling sedikit 4 (empat) kali yang meliputi: a. 1
(satu) kali pada periode 6 (enam) jam sampai dengan 2 (dua) hari
pascapersalinan; b. 1 (satu) kali pada periode 3 (tiga) hari sampai dengan
7 (tujuh) hari pascapersalinan; 1 (satu) kali pada periode 8 (delapan) hari
sampai dengan 28 (dua puluh delapan) hari pascapersalinan; dan d. 1
(satu) kali pada periode 29 (dua puluh sembilan) hari sampai dengan 42
(empat puluh dua) hari pascapersalinan.
Ayat (3) Pelayanan kesehatan yang diberikan pada periode sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di luar
pelayanan persalinan dan dapat dilakukan sebelum ibu dipulangkan
sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
Ayat (4) Pelayanan kesehatan bagi ibu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a meliputi: a. pemeriksaan dan tata laksana menggunakan
algoritma tata laksana terpadu masa nifas; b. identifikasi risiko dan
komplikasi; c. penanganan risiko dan komplikasi; d. konseling; dan e.
27
pencatatan pada buku kesehatan ibu dan anak, kohort ibu dan kartu
ibu/rekam medis.
Ayat (5) Pelayanan kesehatan bagi bayi baru lahir sebagaimana
dimaksud pada (1) huruf b dilakukan paling sedikit 3 (tiga) kali yang
meliputi: a. 1 (satu) kali pada periode 6 (enam) jam sampai dengan 2
(dua) hari pascapersalinan; b. 1 (satu) kali pada periode 3 (tiga) hari
sampai dengan 7 (tujuh) hari pascapersalinan; dan c. 1 (satu) kali pada
periode 8 (delapan) hari sampai dengan 28 (dua puluh delapan) hari
pascapersalinan;
Ayat (6) Pelayanan kesehatan bagi bayi baru lahir sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan secara terintegrasi dengan
pelayanan kesehatan bagi ibu yang meliputi: a. pelayanan kesehatan
neonatal esensial dengan mengacu pada pendekatan manajemen terpadu
balita sakit; 15- b. skrining bayi baru lahir; c. stimulasi deteksi intervensi
dini pertumbuhan perkembangan; dan d. pemberian komunikasi,
informasi, dan edukasi kepada ibu dan keluarganya mengenai perawatan
dan pengasuhan bayi baru lahir.
Ayat (7) Pelayanan kesehatan bagi bayi dan anak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (8) Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan standar pelayanan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

b) Pasal 22 Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan dilaksanakan


sesuai dengan Pedoman Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa
Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
c. BAB III PELAYANAN KONTRASEPSI
1) Pasal 23
Ayat (1) Pelayanan Kontrasepsi dilakukan dengan cara yang dapat
dipertanggungjawabkan dari segi agama, norma budaya, etika, serta segi
kesehatan.
Ayat (2) Pelayanan Kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
28
meliputi: a. kegiatan prapelayanan kontrasepsi; b. tindakan pemberian
Pelayanan Kontrasepsi; dan c. kegiatan pascapelayanan kontrasepsi.
2) Pasal 24
Ayat (1) Kegiatan prapelayanan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (2) huruf a dilakukan untuk menyiapkan klien dalam memilih
metode kontrasepsi.
Ayat (2) Kegiatan prapelayanan kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi: a. pemberian komunikasi, informasi dan edukasi; b.
pelayanan konseling; c. penapisan kelayakan medis; dan d. permintaan
persetujuan tindakan tenaga kesehatan.
Ayat (3) Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan untuk memberikan pengetahuan
kepada masyarakat tentang perencanaan keluarga.
Ayat (4) Pelayanan konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada klien mengenai pilihan
kontrasepsi berdasarkan tujuan reproduksinya.
Ayat (5) Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dan pelayanan konseling sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b harus dilakukan secara memadai sampai
klien dapat memutuskan untuk memilih metode kontrasepsi yang akan
digunakan.
Ayat (6) Penapisan kelayakan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c dimaksudkan sebagai upaya untuk melakukan kajian tentang kondisi
kesehatan klien yang akan disesuaikan dengan pilihan metode kontrasepsi
yang akan digunakan.
Ayat (7) Permintaan persetujuan tindakan tenaga kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf d diberikan secara tertulis atau lisan.
3) Pasal 25
Ayat (1) Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a dan pelayanan konseling
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf b dilakukan oleh
tenaga kesehatan dan/atau tenaga nonkesehatan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (2) Penapisan kelayakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (2) huruf c dan permintaan persetujuan tindakan tenaga kesehatan
29
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf d dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
4) Pasal 26
Ayat (1) Persetujuan tindakan tenaga kesehatan secara tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (7) meliputi: a. tindakan tubektomi atau
vasektomi diperlukan dari pasangan suami istri; dan b. suntik, pemasangan,
atau pencabutan alat kontrasepsi dalam rahim dan implan diperlukan dari
pihak yang akan menerima tindakan.
Ayat (2) Persetujuan tindakan tenaga kesehatan secara lisan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (7) diperlukan dari pihak yang akan
menerima tindakan pada pemberian pil atau kondom.
5) Pasal 27
Ayat (1) Tindakan pemberian Pelayanan Kontrasepsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf b meliputi pemberian kondom, pil,
suntik, pemasangan atau pencabutan implan, pemasangan atau pencabutan
alat kontrasepsi dalam rahim, pelayanan tubektomi, pelayanan vasektomi
dan konseling Metode Amenorea Laktasi (MAL).
Ayat (2) Tindakan pemberian Pelayanan Kontrasepsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada: a. masa interval; b. pascapersalinan;
c. pascakeguguran; atau , d. pelayanan kontrasepsi darurat.
Ayat (3) Tindakan pemberian Pelayanan Kontrasepsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki
kompetensi dan kewenangan.
6) Pasal 28
Ayat (1) Tindakan pemberian Pelayanan Kontrasepsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) diberikan sesuai dengan metode
kontrasepsi yang diputuskan dan disetujui oleh klien tanpa paksaan.
Ayat (2) Pemilihan metode kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus: a. mempertimbangkan usia, paritas, jumlah anak, dan kondisi
kesehatan klien; dan b. sesuai dengan tujuan reproduksi klien.
Ayat (3) Tujuan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
meliputi: a. menunda kehamilan pada pasangan muda, ibu yang belum
berusia 20 (dua puluh) tahun, atau klien yang memiliki masalah kesehatan;
b. mengatur jarak kehamilan pada klien yang berusia antara 20 (dua puluh)
sampai 35 (tiga puluh lima) tahun; atau c. tidak menginginkan kehamilan
30
pada klien yang berusia lebih dari 35 (tiga puluh lima) tahun.
7) Pasal 29
Ayat (1) Metode kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)
terdiri atas: a. metode kontrasepsi jangka panjang; dan b. non-metode
kontrasepsi jangka panjang.
Ayat (2) Metode kontrasepsi jangka panjang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a meliputi alat kontrasepsi dalam rahim, implan, vasektomi,
dan tubektomi.
Ayat (3) Pemberian pelayanan metode kontrasepsi jangka panjang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dilakukan di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi
dan kewenangan. (4)
Ayat Non-metode kontrasepsi jangka panjang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b meliputi kontrasepsi dengan metode suntik, pil, kondom,
dan Metode Amenorea Laktasi (MAL).
Ayat (5) Pemberian pelayanan non-metode kontrasepsi jangka panjang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan
kewenangan.
Ayat (6) Pelayanan non-metode kontrasepsi jangka panjang dengan metode
kondom sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan oleh
tenaga non kesehatan dan di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
8) Pasal 30
Ayat (1) Pelayanan kontrasepsi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (2) huruf d diberikan kepada perempuan yang tidak terlindungi
kontrasepsi atau korban perkosaan untuk mencegah kehamilan.
Ayat (2) Kontrasepsi darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
dalam waktu 5 (lima) hari pascasenggama atau kejadian perkosaan.
Ayat (3) Pelayanan kontrasepsi darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilakukan oleh dokter dan/atau tenaga kesehatan lainnya yang
memiliki kompetensi dan kewenangan.
9) Pasal 31
Ayat (1) Kegiatan pascapelayanan kontrasepsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c dilakukan untuk memantau dan menangani
efek samping penggunaan kontrasepsi, komplikasi penggunaan kontrasepsi,
31
dan kegagalan kontrasepsi.
Ayat (2) Efek samping penggunaan kontrasepsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan perubahan sistem, alat, dan fungsi tubuh yang
timbul akibat dari penggunaan alat atau obat kontrasepsi dan tidak
berpengaruh serius terhadap klien.
Ayat (3) Komplikasi penggunaan kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan gangguan kesehatan yang dialami oleh klien sebagai
akibat dari pemakaian kontrasepsi.
Ayat (4) Kegagalan kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan terjadinya kehamilan pada klien saat menggunakan kontrasepsi.
Ayat (5) Kegiatan pascapelayanan kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi pemberian konseling, pelayanan medis, dan/atau rujukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
10)Pasal 32 Pelayanan Kontrasepsi dilaksanakan sesuai dengan Pedoman
Pelayanan Kontrasepsi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

d. BAB IV PELAYANAN KESEHATAN SEKSUAL


1) Pasal 33
Ayat (1) Pelayanan Kesehatan Seksual diberikan agar setiap orang
menjalani kehidupan seksual yang sehat secara aman, tanpa paksaan dan
diskriminasi, tanpa rasa takut, malu, dan rasa bersalah.
Ayat (2) Kehidupan seksual yang sehat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi kehidupan seksual yang: a. terbebas dari infeksi menular
seksual; b. terbebas dari disfungsi dan gangguan orientasi seksual; c.
terbebas dari kekerasan fisik dan mental; d. mampu mengatur kehamilan;
dan e. sesuai dengan etika dan moralitas.
2) Pasal 34
Ayat (1) Pelayanan Kesehatan Seksual dilakukan di fasilitas kesehatan
tingkat pertama dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan.
Ayat (2) Pelayanan Kesehatan Seksual dilakukan melalui: a. keterampilan
sosial; b. komunikasi, informasi, dan edukasi; c. konseling; d. pemeriksaan
dan pengobatan; dan e. perawatan.
Ayat (3) Pelayanan Kesehatan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dapat terintegrasi dengan program atau pelayanan kesehatan
32
lainnya.
Ayat (4) Program atau pelayanan kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) meliputi: a. kesehatan ibu dan anak; b. keluarga berencana; c.
kesehatan reproduksi; d. kesehatan remaja; e. kesehatan lanjut usia; f.
pencegahan dan pengendalian HIV-AIDS, Hepatitis B dan infeksi menular
seksual (sifilis); g. pencegahan risiko kanker serviks melalui pemeriksaan
IVA; dan h. kesehatan jiwa.

e. BAB V DUKUNGAN MANAJEMEN


1) Bagian Kesatu Pencatatan dan Pelaporan
a) Pasal 35
Ayat (1) Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam rangka meningkatkan
mutu Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan,
Masa Sesudah Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan Pelayanan
Kesehatan Seksual harus melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai
dengan mekanisme yang berlaku.
Ayat (2) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara berjenjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Ayat (3) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan untuk: a. pemantauan dan evaluasi; b. kegiatan pengamatan yang
sistematis dan terus menerus; c. advokasi dalam penyelenggaraan pelayanan
kesehatan secara efektif dan efisien; dan d. perencanaan dan penganggaran
terpadu.
Ayat (4) Kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b meliputi: a. pemantauan
wilayah setempat kesehatan ibu dan anak; dan b. audit maternal perinatal,
surveilans dan respon.

Ayat (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai audit maternal perinatal,


surveilans, dan respon sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b diatur
dengan Peraturan Menteri.
2) Bagian Kedua Manajemen Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu
a) Pasal 36
Ayat (1) Manajemen pelayanan kesehatan reproduksi terpadu merupakan
33
pengelolaan kegiatan pelayanan kesehatan dengan pendekatan yang
mengintegrasikan semua pelayanan kesehatan dalam lingkup kesehatan
reproduksi yang meliputi kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana,
kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanggulangan infeksi
menular seksual termasuk HIV-AIDS dan hepatitis B, dan pelayanan
kesehatan reproduksi lainnya.
Ayat (2) Pelayanan kesehatan reproduksi terpadu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan pada tiap tahapan
siklus kehidupan yang dimulai dari tahap konsepsi, bayi dan anak, remaja,
usia subur dan lanjut usia.
Ayat (3) Pelayanan kesehatan reproduksi terpadu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Ayat (4) Pelayanan kesehatan reproduksi terpadu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditujukan untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan
kesehatan reproduksi melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilatif.

f. BAB VI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


1) Pasal 37
Ayat (1) Dalam rangka membantu mempercepat pencapaian derajat
kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah
melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan Seksual yang
optimal, diperlukan pemberdayaan masyarakat.
Ayat (2) Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimaksudkan untuk menggerakkan masyarakat agar berperan serta dalam
upaya kesehatan dan mengelola upaya kesehatan bersumber daya
masyarakat.
Ayat (3) Peran serta dalam upaya kesehatan dan mengelola upaya kesehatan
bersumber daya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilakukan melalui: a. Posyandu, Posyandu remaja, dan Posbindu serta upaya
kesehatan bersumber daya masyarakat lainnya; b. program perencanaan
persalinan dan pencegahan komplikasi; c. pemanfaatan Buku Kesehatan Ibu
dan Anak; d. penyelenggaraan kelas ibu; e. promosi program keluarga
berencana; f. rumah tunggu kelahiran; dan g. pemberdayaan dukun bayi
dalam mendampingi ibu dan bayi baru lahir.
34
Ayat (4) Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dikembangkan dan/atau ditambahkan dalam bentuk lain sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
Ayat (5) Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
masyarakat dapat dilakukan pembinaan dan pendampingan oleh tenaga
kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Pasal 38 Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada Pasal 37 dapat
dilaksanakan dengan memanfaatkan teknologi informasi.

g. BAB VII PENDANAAN


Pasal 39 Pendanaan Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil,
Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan Pelayanan
Kesehatan Seksual bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara,
anggaran pendapatan dan belanja daerah, masyarakat, dan sumber lain yang sah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan

h. BAB VIII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN


1) Pasal 40
Ayat (1) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan program Pelayanan Kesehatan Masa
Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan,
Pelayanan Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan legalitas. Seksual, sesuai
dengan tugas, fungsi, dan kewenangannya masing-masing.
Ayat (2) Pembinaan dan pengawasan yang dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui: a. koordinasi, sosialisasi, dan advokasi; b. peningkatan
kapasitas sumber daya manusia; dan/atau c. pemantauan dan evaluasi.
Ayat (3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
2) Pasal 41
Ayat (1) Dalam rangka pembinaan, penjagaan mutu, dan perencanaan
terhadap Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil,
Persalinan, Masa Sesudah Melahirkan, dan Pelayanan Kontrasepsi,
pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan penyeliaan fasilitatif.
Ayat (2) Penyeliaan fasilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan suatu model peningkatan kualitas pelayanan dasar kesehatan ibu
35
dan anak dalam rangka pemenuhan standar.
Ayat (3) Penyeliaan fasilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melibatkan organisasi profesi.
Ayat (4) Penyeliaan fasilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan.
Ayat (5) Peningkatan kualitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan dengan proses bimbingan, pelatihan, pendampingan,
penyuluhan, dan peningkatan motivasi petugas kesehatan di lapangan.
Ayat (6) Pelaksanaan penyeliaan fasilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) sampai dengan ayat (4) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

i. BAB IX KETENTUAN PENUTUP


1) Pasal 42 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum
Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan,
Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 135), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
2) Pasal 43 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Latihan :
Tes 2
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
1. D
2. D
3. F
4. F
5. d

36
Topik 3
Tanggung Jawab Dan Akuntabilitas Dalam Asuhan Kebidanan dan Etika profesionalisme,
nilai, dan HAM

A. Pengertian Tanggung jawab


Tanggung jawab dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 1139) mempunyai
arti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan). S.J. Fochema Andrea dalam Nasution (2011: 48-49)
menggunakan istilah verantwoordelijk yang berarti tanggung jawab dengan batasan
sebagai berikut : (tanggung jawab adalah kewajiban untuk memikul
pertanggungjawaban dan hingga memikul kerugian (bila dituntut atau jika dituntut) baik
dalam kaitan dengan hukum maupun dalam administrasi). Pandangan tersebut sesuai
dengan ensiklopedi administrasi sebagaimana dikutip Nasution (2011: 49)
mendefinisikan responsibility sebagai keharusan untuk melaksanakan secara layak apa
yang telah diwajibkan kepadanya.
Smail Suny dalam Nasution (2011: 50-51) menyebutkan dalam teori hukum dikenal
2 (dua) macam pengertian tanggung jawab. Pertama ialah tanggung jawab dalam arti
sempit yaitu tanggung jawab tanpa sanksi dan yang kedua ialah tanggung jawab dalam
arti luas yaitu tanggung jawab dengan sanksi. Tanggung jawab dalam istilah Bahasa
Inggris dalam Kamus Inggris Indonesia (Echols, John M., dan Hassan Shadily, 1988: 24
25 481) dikenal dengan responsibility, yang menurut Pinto dalam Nasution (2011: 47)
responsibility ditujukan pada adanya indikator tertentu yang telah ditentukan terlebih
dahulu sebagai suatu kewajiban yang harus ditaati yang menyebabkan lahirnya suatu
tanggungjawab.

B. Pengertian Akuntabilitas Dalam Asuhan Kebidanan


Akuntabilitas pada umumnya dikaitkan pada proses pertanggungjawaban terhadap
serangkaian bentuk pelayanan yang diberikan atau yang telah dilakukan. Akuntabilitas
merujuk kepada pertanggungjawaban seseorang kepada pihak yang memiliki hak untuk
meminta pertanggungjawaban.
Seperti yang dikemukakan Sedarmayanti (2003:69) bahwa: “Akuntabilitas dapat
dinyatakan sebagai kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab
37
dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang atau suatu organisasi kepada pihak
yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau
pertanggungjawaban. “ Bidan diakui sebagai tenaga professional yang bertanggung-
jawab dan akuntabel, yang bekerja sebagai mitra perempuan untuk memberikan
dukungan, asuhan dan nasehat selama masa hamil, masa persalinan dan masa nifas,
memimpin persalinan atas tanggung jawab sendiri dan memberikan asuhan kepada bayi
baru lahir, dan bayi. Asuhan ini mencakup upaya pencegahan, promosi persalinan
normal, deteksi komplikasi pada ibu dan anak, dan akses bantuan medis atau bantuan
lain yang sesuai, serta melaksanakan tindakan kegawat-daruratan.
C. Etika profesionalisme, nilai, dan HAM
1. Etika profesionalisme
a. Pengertian etika profesionalisme
Etika didefinisikan sebagai “The characteristic and distingaishing attitudes,
habits, believe, an individual or of group” (sikap-sikap, kebiasaan-kebiasaan,
kepercayaan-kepercayaan dan sebagainya dari seorang atau suatu kelompok orang
yang bersifat khusus dan menjadi ciri pembeda antara seorang atau suatu
kelompok dengan seorang atau kelompok yang lain).
Dengan kata lain, etika merupakan sistem nilai-nilai dan norma-norma moral
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya. Dari pengertian etika menurut bahasa di atas dapat disimpulkan
bahwa etika berhubungan dengan upaya menentuakan tingkah laku manusia. Etika
pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis, etika tidak memberikan
ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, normanorma, dan
pandanganpandangan moral secara kritis.
Sedangkan “Profesionalisme” adalah sebutan yang mengacu kepada sikap
mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu profesi untuk senantiasa
mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya. Profesionalisme
merupakan komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan
kemampuannya secara terus menerus
1) Menurut Kaiser dalam ( Suhrawardi Lubis, 1994:6-7 )
Etika profesi merupakan sikap hidup berupa keadilan untuk memberikan
pelayanan professional terhadap masyarakat dengan penuh ketertiban dan
keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa
kewajiban terhadap masyarakat.
2) Menurut (Anang Usman, SH., MSi.) Etika profesi adalah sebagai sikap
38
hidup untuk memenuhi kebutuhan pelayanan profesional dari klien dengan
keterlibatan dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka kewajiban
masyarakat sebagai keseluruhan terhadap para anggota masyarakat yang
membutuhkannya dengan disertai refleksi yang seksama.
3) Definisi Etika Profesi Etika profesi adalah sikap etis sebagai bagian integral
dari sikap hidup dalam menjalankan kehidupan sebagai pengemban profesi
serta mempelajari penerapan prinsip-prinsip moral dasar atau norma-norma
etis umum pada bidang-bidang khusus (profesi) kehidupan manusia. Etika
profesi Berkaitan dengan bidang pekerjaan yang telah dilakukan seseorang
sehingga sangatlah perlu untuk menjaga profesi dikalangan masyarakat atau
terhadap konsumen (klien atau objek). Etika profesi memilikikonsep etika
yang ditetapkan atau disepakati pada tatanan profesi atau lingkup kerja
tertentu, contoh : pers dan jurnalistik, engineering (rekayasa), science,
medis/dokter, dan sebagainya.
b. Prinsip dasar di dalam etika profesi
1) Tanggung jawab
a) Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.
b) Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau
masyarakat pada umumnya.
2) Keadilan
3) Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa yang
menjadi haknya.
4) Prinsip Kompetensi,melaksanakan pekerjaan sesuai jasa profesionalnya,
kompetensi dan ketekunan
5) Prinsip Prilaku Profesional, berprilaku konsisten dengan reputasi
profesi
6) Prinsip Kerahasiaan, menghormati kerahasiaan informasi
2. Nilai
Nilai adalah sebuah patokan yang bersifat normatif dan dapat mempengaruhi
manusia dalam menentukan sebuah pilihan , nilai dibagi menjadi dua macam ,
dimana terdapat nilai intristik yang merupakan nilai yang semulanya sudah bernilai ,
yang kedua adalah nilai instrumental dimana nilai merupakan hasil dari sesuatu
akibat digunakan sebagai sarana dalam mencapai suatu tujuan. Nilai adalah sebuah
konsepsi dari apa yang diinginkan dan mempengaruhi seseorang dalam menentukan
tindakan terhadap cara dan juga tujuan yang ingin dicapai.
39
Nilai-nilai (values) adalah suatu keyakinan seseorang tentang penghargaan
terhadap suatu standar atau pegangan yang mengarah pada sikap/perilaku seseorang.
Sistem nilai dalam suatu organisasi adalah rentang nilainilai yang dianggap penting
dan sering diartikan sebagai perilaku personal.
Sistem nilai dalam suatu organisasi adalah tentang nilai – nilai yang dianggap
penting dan sering diartikan sebagai perilaku personal. Nilai merupakan milik setiap
pribadi yang mengatur langkah–langkah yang seharusnya dilakukan karena
merupakan cetusan dari hati nurani yang dalam dan di peroleh seseorang sejak kecil.
Nilai dipengaruhi oleh lingkungan dan pendidikan, yang mendapat perhatian
khusus, terutama bagi para petugas kesehatan karena perkembangan peran
menjadikan mereka lebih menyadari nilai dan hak orang lain. Klasifikasi nilai- nilai
adalah suatu proses dimana seorang dapat menggunakannya untuk mengidentifikasi
nilai-nilai mereka sendiri. Seorang bidan dalam melaksanakan asuhan kebidanannya.
Selain menggunakan ilmu kebidanan yang ia miliki juga diperkuat oleh nilai yang
ada didalam diri mereka.

3. Nilai Konsep dukungan HAM


HAK Asasi Manusia merupakan salah satu unsur dari Konsep Negara
Hukum, hak asasi manusia pada dasarnya merupakan suatu hak yang dimiliki sejak
lahir atau hak dasar yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk individu. Pada
lingkup nasional, Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.
Sesungguhnya jaminan konstitusi terhadap hak atas kesehatan telah ada sejak
masa Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949. Dalam Pasal 40
Konstitusi RIS terdapat ketentuan yang menyatakan, “Penguasa senantiasa berusaha
dengan sunguh-sungguh memajukan kebersihan umum dan kesehatan rakyat”.
Setelah bentuk negara serikat kembali ke bentuk negara kesatuan dan berlakunya
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS), ketentuan Pasal 40 Konstitusi RIS
di adopsi ke dalam Pasal 42 UUDS. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun
1948 telah menetapkan Universal Declaration of Human Rights, yang di dalamnya
mengatur hak atas kesehatan. Dalam Pasal 25 dinyatakan: “Setiap orang berhak atas
taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya dan
keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan…”
40
Gagasan hak atas kesehatan sebagai hak asasi manusia terus berkembang baik dalam
hukum nasional maupun hukum intenasional.
Dalam pasal 4 Undang-undang No. 17 tahun 2023 tentang kesehatan Setiap
Orang berhak:
a. Hidup sehat secara fisik, jiwa, dan sosial;
b. Mendapatkan informasi dan edukasi tentang Kesehatan yang seimbang dan
bertanggung jawab;
c. Mendapatkan Pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau agar
dapat mewujudkan derajat Kesehatan yang setinggi-tingginya;
d. Mendapatkan perawatan Kesehatan sesuai dengan standar Pelayanan
Kesehatan;
e. Mendapatkan alses atas Sumber Daya Kesehatan;
f. Menentukan sendiri Pelayanan Kesehatan yang diperlukan bagl dirinya secara
mandiri dan bertanggung jawab;
g. Mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian dera,iat Kesehatan; h.
menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang
akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi
mengenai tindakan tersebut secara lengkap;
h. Memperoleh kerahasiaan data dan informasi Kesehatan pribadinya;
i. Memperoleh informasi tentang data Kesehatan dirinya, termasuk tindakan
dan pengobatan yang telah ataupun yang akan diterimanya dari Tenaga Medis
dan/atau Tenaga Kesehatan; dan
j. Mendapatkan pelindungan dari risiko Kesehatan

Kesehatan dipandang tidak lagi sekedar urusan pribadi yang terkait dengan
nasib atau karunia Tuhan yang tidak ada hubungannya dengan tanggung jawab
negara, melainkan suatu hak hukum (legal rights).

Latihan :
Tes 3
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
1. D
2. D
3. F
4. F
41
5. d

42
GLOSARIUM

Value : Nilai-nilai
Regulasi : Peraturan
HIV-AIDS : Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome
IVA : Inspeksi Visual Asam Asetat
GO : Infeksi Gonore
RIS : Republik Indonesia Serikat

43
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17/ UU/08/2023 Tentang Kesehatan

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28/ Permenkes/07/2017 Tentang Izin Dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21/ Permenkes/07/2021 Tentang


Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, Dan Masa
Sesudah Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, Dan Pelayanan Kesehatan Seksual

Dasar, K., Pelayanan, D., & Pont, A. V. (n.d.). No Title.

44
BAB II
KEBIJAKAN DALAM PELAYANAN KEBIDANAN
Pendahuluan
BAB ini membahas Kebijakan dalam pelayanan kesehatan . Hal ini merupakan tujuan
nasional bangsa Indonesia yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi serta
keadilan sosial.
Pemenuhan pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin secara
konstitusional dalam undang-undang dasar Negara repoblik Indonesia tahun 1945. Untuk
mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunnan yang
berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terarah,
dan terpadu, termasuk pembangunan kesehatan pada dasarnya ditunjukan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat sehingga dapat terwujud derajat kesetan
masyarakat yang setinggi- tingginya
Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan kesehatan dilakukan sebagai upaya
kesehatan,salah satunya dalam bentuk, pelayanan kesehatan,opelayanan kesehatan bertujuan
untuk memelihara dan meningkatakan kesehatan,mencegah dan menyembuhkan penyakit,serta
memulihkan kesehatan perorangan,kelompok dan masyarakat. Pelayanan kebidanan yang
merupakan saklah satu bentuk pelayanan kesehatan ditunjukkan khusus perempuan,bayi baru
lahir,bayi balita dan anak prasekolah termasuk kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana pelayan kebidanan harus diberikan secara tanggung jawab, akuntabel, bermutu, dan
aman.
Pedoman peraturan dalam pelayanan kebidanan saat ini yakni peraturan menteri kesehatan
no 21 tahun 2021 tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan masa sebelum hamil,masa
hamil,persalinan,dan masa sesudah melahirkan,pelayanan kontrasepsi,dan pelayanan kesehatan
seksual.

BAB II ini terdiri dari 3 topik yaitu :

Topik 1 : Kebijakan Global Tentang Pelayanan Kebidanan


Topik 2 : Lingkungan Sosial Ekonomi Politik yang Mempengaruhi
Kebijakan Pelayanan Kebidanan
Topik 3 : Kepemimpinan Dalam Setting Pelayanan Kebidanan

45
Setelah mempelajari Bab ini Anda diharapkan dapat menjelaskan kebijakan pemerintah dalam
sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, sehingga akan mempermudah Anda dalam meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan. Selanjutnya secara khusus setelah mempelajari bab ini Anda diharapkan
dapat:

1. Menjelaskan dan memahami tentang Kebijakan Global Tentang Pelayanan Kebidanan


2. Menjelaskan dan memahami tentang Lingkungan Sosial Ekonomi Politik yang
Mempengaruhi Kebijakan Pelayanan Kebidanan
3. Menjelaskan dan memahami tentang Kepemimpinan Dalam Setting Pelayanan
Kebidanan

46
Topik I
Kebijakan Global Tentang Pelayanan Kebidanan

1. Defenisi

Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan asas yang

menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan,

dan cara bertindak. Sedangkan global adalah sifat yang artinya secara umum dan

keseluruhan, secara garis besar, yang meliputi seluruh dunia. Jadi kebijakan global adalah

rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman diseluruh dunia.

2. Pelayanan Kebidanan

Bidan merupakan salah satu profesi tertua sejak adanya peradaban umat manusia.

Bidan muncul sebagai wanita terpercayaa dan mendampingi dan menolong ibu yang

melahirkan. Peran dan posisi bidan dimasyarakat sangat dihargai dan dihormati karena

tugasnya yang sangat mulia, memberi semangat, membesarkan hati, mendampingi, serta

menolong ibu yang melahirkan sampaai ibu dapat merawat bayinya dengan baik. Bidan

sebagai pekerja profesional dalam menjalangkan tugas dan prakteknya, bekerja berdasarkan

pandangan filosofis yang dianut, keilmuaan, metode kerja, standar praktik Bidan dalaam

pelayanan kebidanan mempunyai peraanan penting dalam menurungkan angka kematian ibu

dan anak dan sebagai ujung tombak pemberi asuhan kebidanan. Dalam memberi asuhan

bidan sebagai individu yang memegang tanggung jawab terhadap tugas kliennya,

biopsikososial. Di tengah masyarakat, bidan juga berperan dalam memberi pendidikan

kesehataan dan mengubah perilaku masyarakat terhadap pola hidup dan gaya hidup yang

tidak sehat. Jadi tidak hanya memberi asuhan pada individu tapi juga terhadap masyarakat

dan keluarga. Oleh karenaa itu, bidan harus mempunyai pendekatan manajemen agar dapat

mengoganisasikan semua unsur-unsur yang terlibat dalam pelayanannya dengan baik dalam

rangka menurungkan angka kematian ibu dan anak.

47
Pelayanan kebidanan adalah pelayanan yang diberikan oleh bidan yang telah

terdaftar memperoleh SIPB (Surat Ijin pRaktik Bidan) dari dinas kesehatan. Pelayanan

kebidanan merupakan seluruh tugas yang menjadi taanggung jawab praktek profesi bidan

dalam sistem pelayanan kesehatan yang bertujuan meningkatkan kesehatan ibu dan anaak

dalam rangka mewujudkan kesehatan keluarga dan masyarakat.

Pelayanan kebidanan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehataan, yang

diarahkan untuk mewujudkan kesehataan keluarga dalam rangka tercapainya keluarga yang

berkualitas. Sasaran pelayanan kebidanaan adalaah individu, keluarga dan masyaaraakaat,

yang meliputi upaya peningkatan, pencegahan, penyembuhan an pemulihan. Layanaan

kebidanan dapat dibedakan menjadi :

a. Layanan kebidanan primer adalah layanaan bidan yang sepenuhnya menjadi tanggung

jawab bidan.

b. Layanan kebidanan kolaborasi adalah layanan yang dilakukan oleh bidan sebagai

anggota tim yang kegiatannya dilakukan bersamaan atau sebagai salah satu urutaan dari

sebuah proses kegiatan pelayanan kesehatan.

c. Layanan kebidanan rujukan adalaah layanan yang dilakukaan oleh bian dalam rangka

rujukan ke sistem pelayanan yaang lebih tinggi ataau sebaiknya yaitu pelayanan yang

dilakukan oleh budan sewaktu menerima rujukan dari dkun yang menolong persalinan,

juga layanan rujukan yang dilakukan oleh bidan ketempat/fasilitas pelayanan kesehatan

lain secara horisontal maupun vertikal atau ke profes kesehatan lainnya. Layanan

kebidanan yang tepaat aakaan meninkaatkan keamanaan dari kesejaahteraaan ibu serta

bayinya.

Pelaayanan kebidanan yang bermutu yaitu pelaayanaan kebidanaan yang dapat memuaaskan

setiap pemakai jadi pelayanaan kebidanan yang sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata

penduduk serta penyelenggaraanya sesuai dengaan kode etik dan standart pelayanan

kebidnan yang telah ditetapkan.

48
Ukuran pelayanan kebidanan bermutu :

a. Tersedia dan berkesinambungan

Syarat pokok pertaama pelaayanaan kebidanan yang baik adalah pelayanan

kesehatan tersebut harus tersedia dimasyarakat serta bersifat kesinambungan. Artinya

semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit

ditemukan, serta keberadaanya dalam masyarakat adalah setiap saat yang dibutuhkan.

b. Dapat diterima dengan wajar

Syarat pokok kedua pelayanan kebidanan yang baik adalah yang dapat diterima oleh

masyarakat serta bersifat wajar artinya pelayanaan kesehatan tersebut tidak bertentangan

dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat. Pelayanan kebidanan yang

bertentangaan dengan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan, dan kepercayaan

masyarakat serta bersifat tidak wajar, bukaanlah suatu pelayanan kebidanan yangg baik.

c. Mudah di capa

Syarat pokok ketiga pelayanaan kebidanan aang baik adalah yang mudah dicapaai

oleh maasyaarakat. Pengertian ketercapaaian yang dimaksudkan disini terutama dari

sudut lokasi. Dengan demikian untuk dapaat mewujudkan pelyanan kebidanan yang

baik, maka pengaturan distribusi sasaran kesehatan menjadi sangat penting. Pelayanan

kebidanan yang terlalu terkonsentrasi daerah perkotaaan saja, dan sementara itu tidak

ditemukan di daerah perdesaan, bukanlah pelayanaan kebidanan yang baik.

d. Mudah dijangkau

Syarat pokok keempat pelayanan kebidanan yang baik adalah yang mudah

dijangkaau oleh masyarakat. Pengertian keterjangkauan yang dimaksud adalah disini

terutama dari sudut biaya. Untuk dapat mewujudkan keadaan yang seperti ini harus

dapat dijangkau biayanya.

Untuk memberikan pelayanan kebidanan yang bermutu dan berkesinambungan, bidan harus

memahami falsafah, kode etik, dan regulasi yang terkait dengan praktik kebidanan.

49
Berdasarkan pasal 46 undang-undang nomor 4 tahun 2019 tentaang kebidanan bahwa dalam

menyelenggarakan praktik kebidanaan, bidan memberikn pelaayanan meliputi pelayanan

kesehatan ibu, pelayanaan kesehatan anak, pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan

keluarga berencana, serta pelaksanaan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang, dan/atau

pelaksanaan tugas dalam penyelenggaraan praktik kebidanan.

3. Bentuk Dan Jenis Pelayanan Kebidanan

a. Pelayanan kebidanan tingkat pertama (primer)

Pelayanan yang lebih mengutamakan pelayanan yang bersifat dasar dan dilakukan

bersama masyarakat dan dimotori oleh dokter umum (tenaga medis), perawat mantri

(tenaga paramedis).

Pelayanan kebidanan primer (primary bealth care), adalah pelayanan kebidanan yan

paling depan, yang pertama kaali diperlukan masyarakat pada saat mereka mengalaami

gangguan kesehatan atau kecelakaan. Primary bealth care pada pokoknya ditunjukkan

kepada masyarakat yang sebagian besarnya bermukmin di pedesaan, serta masyarakat

yang berpenghasilan rendah diperkotaan. Pelayanan masyarakat kebidanan ini sifatnya

berobat jalan (Ambulatory services). Diperlukan untuk masyarakat yang sehta untuk

meningkatkan kesehatan mereka atau promosi kesehatan. Contohnya : puskesmas,

puskesmas keliling, klinik.

b. Pelayanan kebidanaan tingkat kedua (sekunder)

Pelayanan kebidanan sekunder adalah pelayanan yang lebih bersifat spesialis dan

bahkan kadang kala pelayanan subspesialis, tetapi masih terbatas. Pelayanaan

kebidanaan sekunder adan tersier (secondary abd tertiary beaalth care), adalah rumah

sakit, tempat masyarakaat memerlukan perawatan lebih lanjut (ruukan). Di indonesia

terdapat berbagai tingkat rumah sakit, mulai dari rumah sakit tipe D sampai dengan

rumah sakit kelas A. pelayanan kebidanan dilakukan oleh : dokter spesialis dan dokter

subspesialis terbatas.

50
Pelayanan kebidanan ini sifatnya pelayanan jalan atu pelayanan rawat (inpantient

services). Diperlukan untuk kelompok masyarakaat yang memerlukan perawatan inap,

yang sudah tidak dapat ditangani oleh pelayanaan kesehatan primer. Contoh : rumah skit

tipe c dan tipe D.

c. Pelayan kebidanan tingkat ketiga (tersier)

Pelayanan kebidanan tersier adalah pelayaanaan yang lebih mengutamakan

subspesialis serta subspesialis luas. Pelayanan kebidanan dilakukaan oleh Dokter

subspesialis dan dokter subspesialis luas. Pelayanan kebidanan ini sifatnya dapat

merupakan pelayanaan jalan atau pelayanan rawat inap (rehabilitas). Diperlukan untuk

kelompok masyaraakat atau pasien yang sudah tidak dapat ditangani oleh pelayanan

kebidanan sekunder. Contohnya rumah sakit tipe A dan Rumah sakit tipe B.

4. Kebijakan Global Pelayanan Kebidanan Selama Masa Pandemi Covid 19

WHO mengumumkan pada tanggal 30 januari 2020 terjadinya wabah global pandemi

covid-19. Hal tersebut menyebabkan rusuh seluruh dunia, termasuk masyarakat indonesia.

Merebaknya paandemi covid-19 di indonesia selain berdaampaak terhadap

perekonomian, pendidikan dan sosial masyarakaat, juga berdampak terhadap kesehatan

salah satunya yaitu berdampak pada pelayanan kesehatan reproduksi perempuan. Pelayanan

kesehatan reproduksi bagi perempuan adalah bentuk keharusan atau tidak bisa ditunda.

Adapaun pelayanan diantaranya pelayanan pada ibu hamil, bersalin, nifas dan pelayanan

keluarga berencana (KB).

Peran bidan sebagai salah satu tenaga kesehatan digarda terdepan tentu diharapkan tetap

semangat tanpa pamrih memberikan asuhan kebidanan yang berkualitas namun harus lebih

hati-hati dan waspada terhadap “high risk” terpapar nyaa penularan covid 19 karena di era

new normal bukan berarti bebas resiko penularan covid 19. Pelayanan di era new normaal

bidan dalaam memberikan pelayanan harus tetap mengacu pada pedoman dan prinsip-

prinsip manajemen covid 19 yang sudah ditetapkan oleh pemerintah baik fasilitas,

51
penggunaan APD, maupun prosedur (SPO) pencegahan putusan mata rantai penularan

infeksi.

Edukasi pada bagi klien ibu hamil, bersali, nifas, nayi baru lahir dan ibu menyusui:

a. Selalu mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sedikitnya selama 20 detik (cara

cuci tangan yang benar pada buku KIA hal. 28).

b. Gunakan hand sanitizer berbasis alkohol yang setidaknya mengandung alkohol70% jika

air dan sabun tidak tersedia.

c. Cuci tangan terutama setelah buang air besar (BAB) dan buang air kcil (BAK) dan

sebelum makan.

d. Khusus ibu nifas, selalu cuci tangan setiap kali sebelumdan sesudah memegang bayi dan

sebelum menyusui.

e. Hindari mnyentuh mata, hidung, dan mulut dengan tangan yang belum dicuci

f. Sebisa mungkin hindari kontak dengan orang yang sakit

g. Guakan masker medis saat sakit. Tetap tinggal di rumah sakit atau segera ke fasilitas

kesehatan yang sesuai, jangan banyak beraktifitas di luar.

h. Tutupi mulut dan hidung saat batuk atau bersin dengan tissue, buang tissue ada tempat

yang telah ditentukan. Bila tidak ada tissue, lakukan batuk sesuai etika batuk.

i. Bersihkan dan lakukan disenfeksi secara rutin permukaan dan benda yang sering

disentuh.

j. Menggunakan masker medis adalah salah satu cara pencegahan penularan saluran nafas,

termasuk infeksi Covid-19.

Bagi Ibu Hamil :

a. Pastikan gerak janin diawali usia kehamilan 20 minggu dan setelah usia kehamilan 28

minggu hitung gerakan janin (minimal 10 gerakan per 2 jam)

b. Ibu hamil diharapkan senantiasa menjaga kesehatan dengan mengonsumsi makanan

bergizi seimbang, mengjaga kebersihan diri dan tetap mempraktikkan aktivitas fisik

52
berupa senam ibu hamil/yoga/peregangan secara mandiri dirumah agar ibu tetap bugar

dan sehat.

c. Ibu hamil tetap minim tablet tambah darah sesuai dosis yang diberikan oleh tenaga

kesehatan.

Bagi Ibu Bersalin

a. Rujukan terencana bagi ibu hamil beresiko

b. Ibu tetap bersalin difasilitas pelayanan kesehatan. Segera ke fasilitas kesehatan jika

sudah ada tanda-tanda persalinan

c. Ibu dengan kasus covid-19 akan ditatalaksana sesuai tatalaksanan persalinan yang

dikeluarkan oleh PP POGI.

d. Pelayanan KB paasca persalinan tetap berjalan sesuai prosedur yang telah ditetapkan

sebelumnya.

Bagi Ibu Nifas dan Bayi Baru Lahir

a. Ibu nifas dan keluarga harus memahami tanda bahaya dimasa nifas. Jika terdapat

resiko/tanda bahaya, maka periksakan diri ke tenaga kesehatan

b. Kunjungan nifas (KF) dilakukan sesua jadwal kunjungan nifas yaitu KF 1 : pada

periode 6 (enam) jam sampai dengan 2 (hari) hari pasca persalinan ; KF 2 : pada periode

3 (tiga) hari sampai 7 (tujuh) hari ; KF 3 : pada periode 8 (delapan) hari sampai 28 hari ;

KF 4 : pada periode 29 hari sampai dengan 42 hari pasca perslinan.

Latihan :
Tes 1
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
1. D
2. D
3. F
4. F
5. d

53
Topik 2
Lingkungan Sosial Ekonomi Politik yang Mempengaruhi Kebijakan Pelayanan
Kebidanan

Lingkungan merupakan semua yang ada di lingkungan dan terlibat dalam interaks

individu pada waktu melaksanakan aktivitasnya. Lingkungan tersebut meliputi lingkungan

fisik, lingkungan psikososial, lingkungan biologis dan lingkungan budaya. Lingkungan

psikososial meliputi keluarga, komuniti dan masyarakat. Ibu selalu terlibat dalam interaksi

antara keluarga, kelompok, komuniti maupun masyarakat. Masyarakat merupakan kelompok

yang paling penting dan kompleks yang telah dibentuk oleh manusia sebagai lingkungan sosial.

Masyarakat adalah lingkungan pergaulan hidup manusia yang terdiri dari individu, keluarga,

kelompok dan komuniti yang mempunyai tujuan atau sistem nilai, ibu/wanita merupakan

bagian dari anggota keluarga dan unit komuniti.

Kesetaraan berarti keadilan sosial, yaitu konsep etis yang didasarkan pada prinsip

keadilan distributif yang juga di hubungkan dengan hak asasi manusia. Kesetaraan dalam

kesehatan secara luas di defenisikan sebagai ketiadaan disparitas sistematis dalam kesehatan

atau dalam determinan sosial kesehatan antara kelompok sosial yang memiliki tingkat

keuntungan atau kerugian sosial mendasar yang berbeda yaitu berbeda posisi dalam hierarki

sosial. Ketidaksetaraan dalam kesehatan secara sistematis menempatkan kelompok-kelompok

orang hang secara sosial kurang beruntung (misalnya karena menjadi miskin, perempuan atau

anggota kelompok ras, etnis, atau agama yang tercabut hak nya) pada kerugian lebih lanjut

berkenan dengan kesehatan mereka, kesehatan sangat penting untuk kesejahteraan dan untuk

mengatasi efek lain dari kerugian sosial.

Derajat kesehatan dan sosial suatu bangsa dapat dinilai dari beberapa indikator antara

lain angka kematian bayi, angka kematian ibu dan umur harapan hidup. Kematian bayi itu

sendiri tidak dapat dipisahkan dari baik buruknya kesehatan ibu. Rawannya derajat kesehatan

ibu juga sangat mempengaruhi kondisi kesehatan janin yang dikandungnya. Kejadian lahir mati

54
dan kematian bayi pada minggu pertama kehidupannya dipengaruhi oleh kondisi selama

kehamilan, komplikasi pada ibu dan bayi baru lahir serta pertolongan persalinan, disamping itu

kondisi yang berkaitan dengan perawatan bayi baru lahir pada masa perinatal. Kematian

perinatal merupakan indikator derajat kesehatan ibu dan anak dalam pelayanan obstetrik secara

umum. Kematian perinatal merupakan masalah yang membutuhkan perhatian secara serius

dibeberapa negara termasuk Indonesia. Berbagai program dan pelayanan telah dilakukan untuk

menurunkan kejadian perinatal misalnya promosi kesehatan, pembagian pamflet belum

menunjukkan hasil yang optimal.

Faktor usia ibu kurang dari 20 tahun atau diatas 35 tahun salah satu penyebab kematian

perinatal, dimana ibu-ibu yang terlalu muda seringkali secara emosional dan fisik belum

matang, selain pendidikan pada umumnya rendah, ibu yang masih muda masih tergantung

kepada orang lain. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi yang rendah. Jarak

kehamilan kurang dari 2 tahun dapat menimbulkan pertumbuhan janin kurang baik, persalinan

lama dan perdarahan pada saat persalinan karena keadaan rahim belum pulih dengan baik.

Paritas ibu dengan jumlah anak lebih dari 4 dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan janin

sehingga melahirkan bayi dengan berat lahir rendah dan perdarahan saat persalinan karena

keadaan rahim biasanya sudah lemah.

Di Indonesia terutama di daerah pedesaan masih banyak wanita yang pendidikannya

rendah dan dan sosial ekonominya juga rendah sehingga masih banyak terdapat perkawinan di

usia muda. Kebiasaan ini berasal dari adat yang berlaku sejak dahulu yang masih ada sampai

sekarang. Ukuran perkawinan di masyarakat seperti itu adalah kematangan fisik, (haid, bentuk

tubuh yang sudah menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder), atau bahkan hal-hal yang sama

sekali tidak ada kaitnya dengan calon pengantin. Fakta masih tingginya pernikahan diusia

remaja sejalan dengan adanya kehamilan diusia remaja. Kehamilan usia dini memuat risiko

yang cukup berat. Emosional ibu belum stabil dan ibu mudah tegang. Kecacatan kelahiran

dapat muncul akibat ketegangan saat dalam kandungan, adanya rasa penolakan secara

55
emosional ketika ibu mengandung bayinya. Usia merupakan faktor penting dalam menentukan

waktu yang ideal untuk hamil, usia remaja lebih berisiko mengalami komplikasi pada

kehamilannya, serta angka kematian bayi lebih tinggi terjadi pada remaja yang hamil. Remaja

yang sudah menjadi ibu biasanya belum siap secara finansial dan emosi untuk memiliki anak.

Faktor sosial ekonomi seperti pendidikan, pengetahuan tentang kesehatan, gizi dan

kesehatan lingkungan, kepercayaan, nilai-nilai, dan kemiskinan merupakan faktor individu dan

keluarga, mempengaruhi mortalitas dalam masyarakat. Faktor pendidikan ibu merupakan

faktor pengaruh yang kuat terhadap kematian bayi. Pendidikan pada hakekatnya merupakan

usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan luar sekolah

seumur hidup sehingga makin matang dalam menghadapi dan memecahkan berbagai masalah

termasuk masalah kesehatan dalam rangka menekan risiko kematian. Pendidikan ibu sangat

erat kaitannya dengan reaksi serta pembuatan keputusan rumah tangga terhadap penyakit. Ini

terlihat bahwa kematian balita yang rendah dijumpai pada golongan wanita yang mempunyai

pendidikan yang tinggi. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat

pengertian terhadap perawatan kesehatan, higiene, perlunya pemeriksaan kehamilan.

Perbedaan tingkat kematian perinatal antara daerah perdesaan dan perkotaan dapat

dilihat menurut karakteritik sosio ekonomi wanita yang mencerminkan perilaku seorang ibu

meliputi cara hidup sehat dan konsumsi gizi. Wanita hamil yang kekurangan gizi akan

cenderung untuk mengalami anemia yang berdampak pada kelahiran bayi dengan berat badan

lahir rendah yang sangat rentan terhadap penyakit yang dapat berdampak pada kematian.

Wanita yang sosial ekonominya rendah tidak dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari karena

keterbatasan ekonomi sehingga kebutuhan gizi wanita tersebut tidak tercukupi, hal ini akan

berdampak pada kehamilan.

1. Lingkungan Politik yang Mempengaruhi Kebijakan Pelayanan dan Model Asuhan

Kebidanan

Undang-Undang Tentang Kebidanan

56
Undang-undang tentang kebidanan no.04 tahun 2019 tentang

a. Pendidikan Kebidanan

 Pendidik Akademik ( Program sarjana, Magister, dan Doktor)

 Pendidik Vokasi ( Program diploma III)

 Pendidik Profesi

b. Setiap bidan yang memiliki yang akan menjalankan praktik kebidanan wajib memiliki

STR

c. Bidan warna negara Indonesia lulusan luar negeri yang akan menjalankan praktik

kebidanan di Indonesia wajib memiliki STR dan SIPB

d. Bidan lulusan pendidikan kebidanan dibawah diploma III kebidanan yang telah

melakukan praktik kebidanan sebelum undang-undang ini diundangkan masih tetap

dapat melakukan praktik kebidanan untuk jangka waktu paling lama bulan oktober 2020

e. Bidan lulusan pendidikan diploma III dan bidan lulusan pendidikan diploma IV yang

telah melaksanakan praktik kebidanan secara mandiri masih dapat melaksanakan praktik

kebidanan secara mandiri di tempat praktik mandiri bidan untuk jangka waktu paling

lama tujuh tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.

2. Aspek Sosial yang Mempengaruhi Status Kesehatan Ibu Hamil

a. Umur

b. Pekerjaan

c. Sosial Ekonomi

3. Aspek Budaya yang Mempengaruhi Status Kesehatan Ibu Hamil

a. Pengaruh Tradisi

b. Sikap Fanatik

c. Sikap Ethnosentris

4. Masalah- masalah Lain yang Berhubungan dengan Sosial Budaya Masyarakat

a. Kurangnya pengetahuan, salah satunya di bidang kesehatan

57
b. Adat istiadat yang dianut di wilayah setempat

c. Perilaku masyarakat yang kurang terhadap kesehatan

d. Kebiasaan-kebiasaan /kepercayaan yang negatif dan positif

Latihan :
Tes 2
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
1. D
2. D
3. F
4. F
5. D

58
Teori 3
Kepemimpinan Dalam Setting Pelayanan Kebidanan

1. Definisi Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas seseorang atau
sekelompok orang untuk mau berbuat dan mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan
(Stogdill). Batasan kepemimpinan akan muncul apabila seseorang yang karena sifat-sifat
dan perilakunya mempunyai kemampuan untuk mendorong orang lain untuk berfikir,
bersikap, dan atau berbuat sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkannya.
Pengertian kepemimpina yaitu hubungan yang tercipta dari adanya pengaruh pengaruh

yang dimiliki dimiliki seseorang seseorang terhadap terhadap orang lain, sehingga sehingga

orang tersebut secara suka rela mau dan bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang

diinginkan (Goergy R. Terry). Kepemimpinan akan muncul apabila ada seseorang yang

karena sifat-sifat dan perilakunya mempunyai kemampuan untuk mendorong orang lain

untuk berfikir, bersikap, ataupun berbuat sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkan

berbuat sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkannya.

Kepemimpinan dalam pendidikan kebidanan dapat membawa perubahan perubahan

positif seperti peningkatan peningkatan kualitas organisasi. Kepemimpinan memfasilitasi

untuk membangun komitmen kerja yang tinggi dari lingkungan kerja yang baik. Kriteria

Malcolm Baldrige adalah sistem manajemen kerja yang dapat mengukur kepemimpinan,

komitmen kerja dan lingkungan.

Kepemimpina pelayanan kebidanan merupakan salah satu kegiatan dalam

pembangunan kesehatan, untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan, hidup

sehat dan mengambil bagian dalam pelayanan 4 kesehatan masyarakat, turut membantu

menghasilkan generasi bahasa yang cerdas.

Kepemimpinan pelayanan kebidanan ditujukan kepada perempuan sejak masa sebelum

konsepsi, masa kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir dan balita. Pelayanan kebidanan

yang berkualitas akan memberi hasil yang berkualitas, yaitu kepuasan pelanggan maupun

59
provider dan pelayanan pelayanan yang bermutu. bermutu. Untuk pelayanan pelayanan

yang berkualitas berkualitas tersebut tersebut diperlukan seorang pemimpin yang dapat

meningkatlan terus mutu pelayanan pelayanan kebidanan kebidanan yang diberikan

diberikan oleh organisasinya organisasinya dan pelayanan pelayanan yang diberikan harus

berorientasi pada mutu.

Bidan dituntut harus mampu menerapkan aspek kepemimpinan dalam organisasi dan

manajemen, kesehatan reproduksi, kesehatan masyarakat dikomunitas dalam praktik kebidanan.

Bidan sebagai seorang pemimpin harus :

a. Berperan serta dalam perencanaan pengembangan dan evaluasi kebijakan kesehatan.

b. Melaksanakan tanggung jawab kepemimpinan dalam praktik kebidanan di masyarakat.

c. Mengumpulkan, menganalisa, dan menggunakan data serta mengimplementasi upaya perbaikan

untuk meningkatkan mutu pelayanan kebidanan.

d. Mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah secara proaktif dengan perspektif luas dan kritis.

e. Menginisiasi dan berpartisipasi dalam proses perubahan dan pembaharuan praktik kebidanan.

2. Teori Kepemimpinan
a. Teori Orang Besar atau Teori Bakat

Teori orang besar (the great men theory) atau teori bakat ( trait theory) ini adalah teori

klasik dari kepemimpinan. Disini disebutkan bahwa seorang pemimpin dilahirkan, artinya

pemimpin dilahirkan, artinya bakat-bakat tertentu yang diperlukan seseorang untuk menjadi

pemimpin diperolehnya sejak lahir.

b. Teori Situasi

Bertolak belakang dengan teori bakat, teori situasi ( situasional theory) adalah teori yang

muncul sebagai pengamatan dimana seseorang sekalipun bukan keturunan pemimpin, ternyata

dapat pula menjadi pemimpin yang baik. Hasil pengamatan tersebut menyimpulkan bahwa orang

biasa yang jadi pemimpin tersebut terjadi karena adanya situasi yang menguntungkan dirinya,

sehingga ia memiliki kesempatan untuk muncul sebagai pemimpin.

c. Teori Ekologi

60
Sekalipun teori situasi banyak dianut, dan karena itu masalah kepemimpinan banyak

menjadi bahan studi, namun dalam kehidupan sehari-hari sering ditemukan adanya seorang yang

telah berhasil dibentuk menjadi pemimpin, ternyata tidak memiliki kepemimpinan yang baik.

Hasil pengamatan yang seperti ini melahirkan teori ekologi, yang menyebutkan bahwa seseorang

memang dapat dibentuk untuk menjadi pemimpin, tetapi untuk menjadi pemimpin yang baik

memang ada bakat-bakat tertentu yang terdapat pada diri seseorang yang diperoleh dari alam.

3. Gaya Kepemimpinan

Telah disebutkan bahwa gaya kepemimpinan tersebut dipengaruhi oleh sifat dan

perilaku yang dimiliki oleh pemimpin. Karena sifat dan perilaku antara seorang dengan

orang lainnya tidak persis sama, maka gaya kepemimpinan (leadership style) yang

diperlihatkan juga tidak sama. Berbagai gaya kepemimpinan tersebut jika disederhanakan

dapat dapat dibedakan atas empat macam, yaitu :

a. Gaya Kepemimpinan Diktator ( Dictatorial Leadership)

Pada gaya kepemimpinan diktator upaya mencapai tujuan dilakukan dengan

menimbulkan ketakutan serta ancaman hukuman. Tidak ada hubungan dengan bawahan,

karena mereka dianggap hanya sebagai pelaksana dan pekerja saja.

b. Gaya Kepemimpinan Autokratis ( Autocratic Leadership Style)

Pada gaya kepemimpinan ini segala keputusan berada ditangan pemimpin.

pemimpin. Pendapat atau kritik dari bawahan bawahan tidak pernah dibenarkan.

dibenarkan. Pada dasarnya sifat yang dimiliki sama dengan gaya kepemimpinan dictator

tetapi dalam bobot yang agak kurang.

c. Gaya Kepemimpinan Demokratis ( Democratic Leadership Style)

Pada gaya kepemimpinan demokrtasis ditemukan peran serta bawahan dalam

pengambilan keputusan yang dilakukan secara musyawarah. Hubungan dengan bawahan

dibangun dengan baik, segi positif dari gaya kepemimpinan demokratis ini

mendatangkan keuntungan antara lain, keputusan serta tindakan yang lebih obyektif,

tumbuhnya rasa ikut memiliki, serta terbinanya moral yang tinggi. Sedangkan
61
kelemahannya, keputusan serta usan serta tindakan kadang-kadang lamban, rasa

tanggung jawab kurang, serta keputusan yang dibuat terkadang bukan suatu keputusan

yang baik

d. Gaya Kepemimpinan Santai ( Laissez-fire Leadership Style)

Pada gaya kepemimpinan santai ini peranan pemimpin hampir tidak terlihat karena

segala keputusan diserahkan kepada bawahan, jadi setiap anggota organisasi dapat

melakukan kegia kan kegiatan masin tan masing-masing sesuai kehendak masing-

masing pula.

4. Pemimpin yang Efektif

Seorang pemimpin yang efektif adalah seorang pemimpin yang dapat mempengaruhi

orang lain aar dapat bekerja sama untuk mencapai hasil yang memuaskan bagi terjadinya

perubahan yang bermanfaat. Ada beberapa kepemimpinan yang efektif antara lain :

a. Ruth M. Trapper (1989), membagi menja i menjadi 6 komponen

 Menentukan tujuan yang jelas cocok, dan bermakna bagi kelompok. Memilih

pengetahuan dan keterampilan kepemimpinan dan dalam bidang profesinya.

 Memiliki kesadaran diri dan menggunakannya untuk memahami kebutuhan sendiri

serta kebutuhan orang lain.

 Berkomunikasi dengan jelas dan efektif.

 Mengerahkan energi yang cukup untuk kegiatan kepemimpinan.

 Mengambil tindakan.

b. Hellander (1974)

Dikatakan efektif bila pengikutnya melihat pemimpin sebagai seorang yang

bersama-sama mengidentifikasi tujuan dan menentukan alternatif kegiatan.

c. Bennis (Lancaster 1982)

Mengidentifikasi empat kemampuan penting bagi seorang pemimpin, yaitu :

62
 Mempunyai pengetahuan yang luas dan kompleks tentang sistem manusia (hubungan

antar manusia).

 Menerapkan pengetahuan tentang pengembangan dan pembinaan bawahan.

 Mempunyai sekelompok nilai dan kemampuan hubungan antar manusi, terutama

dalam mempengaruhi orang lain.

 Mempunyai sekelompok nilai dan kemampuan yang memungkinkan seseorang

mengenal orang lain dengan lebih

d. Gibson (Lancester, 1982)

 Kewaspadaan Diri (self awareness)

Kewaspadaan diri berarti menyadari bagaimana seoarang pemimpin pemimpin

mempengaruhi mempengaruhi orang lain. kadang seorang seorang pemimpin

pemimpin merasa ia sudah membantu orang lain, tetapi sebenarnya justru

menghambatnya.

 Karakteristik Kelompok

Seorang pemimpin harus memahami karakteristik kelompok meliputi : norma,

nilai-nilai kemampuannya, pola komunikasi, tujuan, ekspresi dan keakraban

kelompok.

 Karakteristik Individu

Pemahaman tentang karakteristik individu juga sangat penting karena setiap

individu unik dan masing-masing mempunyai kontribusi yang berbeda.

5. Pimpinan dan Kepemimpinan

Manajer atau kepemimpinan adalah orang yang orang yang bertugas melakukan proses

proses atau fungsi manajemen. Berdasarkan hierarki tugasnya pimpinan dikelompokkan

sebagai berikut :

a. Pimpinan Tingkat Pertama (Lower Manager)

63
Adalah pimpinan yang langsung berhubungan dengan para pekerja yang

menjalankan mesin peralatan atau memberikan pelayanan langsung pada konsumen.

konsumen. Pimpinan Pimpinan ini diutamakan diutamakan memiliki memiliki proporsi

proporsi peranan peranan tehnical skill yang terbesar dan konseptual skill yang terkecil.

b. Pimpinan Tingkat Menengah (Middle Mana le Manager)

Adalah pimpinan yang berada satu tungkat diatas Lower diatas Lower Manager.

Pimpinan ini menjadi saluran informasi dan komunikasi timbal balik antara Lower

Manager dan Top Manager, yakni pimpinan puncak (diatas Middle Manager) sehingga

pimpinan ini diutamakan memiliki kemampuan mengadakan hubungan antara keduanya.

Konsptual skill adalah keterampilan penyusunan dalam konsep-konsep, identifikasi, dan

penggambaran penggambaran hal-hal hal-hal yang abstrak, sedangkan tehnical skill

adalah keterampilan dalam melakukan pekerjaan secara teknik. Hubungan antara

manusia merupakan keterampilan dalam melakukan komunikasi sesama manusia lain.

c. Pimpinan Puncak (Top Manager)

Manager yang menduduki kewenangan organisasi tertinggi dan sebagai penanggung

jawab utama pelaksanaan administrasi. Pimpinan ini memiliki proposi peranan

konseptual skill yang terbesar terbesar dan tehnical skill yang terkecil. Tugas- tugas

pimpinan

 Sebagai pengambilan keputusan

 Sebagai pemikul tanggung jawab

 Mengerahkan sumber daya untuk mencapai tujuan sebagai pemikir konseptual.

 Bekerja dengan atau melalui orang lain.

 Sebagai mediator, politikus, dan diplomat.

6. Peranan Pimpinan Terhadap Kelompok

Sebagai penghubung interpersonal, yaitu merupakan simbol suatu kelompok dalam

melakukan tugas secara hukum dan sosial, mempunyai tanggung ajwab ung ajwab dan
64
memotivasi, mengatur tenaga dan mengadakan pengembangan serta merupakan penghubung

jaringan kerja diluar kelompok.

a. Sebagai inovator pembaharu.

b. Sebagai pemberi informasi, yaitu memonitor informasi yang ada di lingkungan

organisasi, menyebarluaskan informasi dari luar kepada bawahan dan mewakili

kelompok sebagai pemb bawahan dan mewakili kelompok sebagai pembicara.

c. Menghimpun kekuatan.

d. Merangsang kedudukan perawat di media massa.

e. Memilih suati strategi utama yang paling efektif, bertindak disaat yang tepat

f. Mempertahankan kegiatan.

g. Memelihara format desentralisasi organisasi.

h. Mendapatkan dan mengembangkan data penelitian yang terbaik.

i. Mempelajari pengalaman.

j. Jangan menyerah tanpa mencoba

Latihan :
Tes 2
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
1. D
2. D
3. F
4. F
5. D

65
GLOSARIUM

66
DAFTAR PUSTAKA

Arsy Novianty, M. K. (2017). Konsep Kebidanan, Jakarta : Fakultas Kedokteraan dan Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Bappenas. (2015). Rencana Pembaangunan Nasional Jangka Menengah 2015-2019.. Jakarta :


Bappenas

Hubaedah, A. (2019). Mutu Pelayanan Kebidanan. Semarang : SPASI MEDIA.


Kh. Endah Widhi Astuti, M. M. (2016). Konsep Kebidanan Dan Etiologi Dalam Praktik
Kebidanan. Bandung : DR : Atit Tajmiati, S. Kep., M. Pd

Mamik. (2017). Pelayanan Kesehatan Kebidanan

Meleong, L. J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung

Septian. W. H. (2021) Lingkungan Sosial Politik.

67

Anda mungkin juga menyukai