Anda di halaman 1dari 3

Resume Buku

Jalan Cinta Para Pejuang – Salim A. Fillah


Maqilla Zenaya Aquinni (8-A)

Selamat datang di jalan cinta para pejuang.

Apa yang berlarian di pikiran Anda ketika terletup kata ‗cinta‘? Apakah kegilaan Qais pada
Layla yang mengakhirkan kenestapaan? Atau roman klasik Romeo-Juliet yang jua ditutup dengan
tragedi mengiris hati? Keduanya tampak indah dan romantis. Membekas di relung benak setiap
pendengar kisahnya. Tetapi bukan ‗cinta‘ jenis ini yang hendak kita diperjuangkan.

Seperti serangkaian kata penulisnya di bagian pembukaan, cinta sebagai bentuk emosi yang lain
semisal takut, benci, dan harap harus diikat dengan sesuatu yang lebih agung dalam hidup.
Kedudukan cinta bukanlah sebagai tujuan. Ia sepatutnya menjadi bekal bagi kita untuk memenuhi
tugas sebagai hamba Allah dalam beribadah dan mengelola
karunia-Nya.
Ust. Salim pun melanjutkan, ―Lalu tugas besar kita pun dimulai: ubah cinta, ubah jiwa, ubah dunia.
Tidak heran, tapak pertama kita menyusuri buku ini ialah dengan menelusuri jejak pemahaman-

pemahaman cinta yang cenderung melemahkan jiwa. Betajuk ―Dari Dulu Beginilah Cinta‖, pada

bagian permulaan ini segala teori tentang cinta yang justru menyengsarakan coba dipatahkan satu

per satu. Bimbingan wahyu menjadi pemandu kita mereguk makna cinta yang selayaknya

menguatkan. Sebagaimana tulis Anis Matta yang dikutip di buku ini pada halaman 34, ―Seperti

ini, kita mencintai seseorang lalu kita menggantungkan kebahagiaan kita pada sebuah kehidupan

bersamanya. Maka ketika ia menolak—atau tak beroleh kesempatan—untuk hidup bersama kita,

itu menjadi sumber kesengsaraan. Itulah sebagian ketidaktepatan memadukan antara kebahagiaan

dan cinta. Pemahaman mengenai cinta yang keliru kerap membuat umur cinta tidak tahan lama.

Di jalan cinta para pejuang, kita hendak membina kesetiaan dan pengorbanan. Mengesahkan

komitmen sebagai tapak pertama kita.


Tajuk bagian kedua, ―Dunia kita hari ini‖, lalu ingin mengajak kita menyeksamai dunia yang
akan menjadi bingkai jalan cinta. Kita memahaminya agar mampu menaklukannya. Sebab dunia
ini telah berubah. Tidak ada jalan lain, selain kita harus berbenah. ‗Pejuang‘ lain dengan segala
ismenya, pemikir-pemikir liberal, kaum ubersexual, dan musuh-musuh dalam selimut sedia
mengintai kelemahan kita. Menanti kelalaian kita.

Barangkali Anda bingung, apa hubungan cinta dengan dunia kita hari ini? Mengapa mereka yang
biasanya berada di ranah pemikiran islam, kini hadir di bawah payung bertema ‗cinta‘?

Memang beginilah cinta semestinya. Ia membangkitkan tekad, menguatkan iman, mengokohkan


gairah. Sekali lagi, ia bukan tujuan. Ia merupakan bekal kita sebagaimana emosi-emosi kita
lainnya. Dan kita, insya Allah, lebih memahaminya ketika memasuki bagian ketiga. Kala kita
menapaki empat jejak.
Pertama, membangun visi. Agar cinta menjadi gagah. Tidak mudah lelah apalagi menyerah. Kita
harus bangkit dari lelap panjang ini. Kita punya tugas yang harus segera ditunaikan di dunia
nyata. Para pemimpi yang berpikiran besar biasanya tidak mudah berpaling atau rentan menoleh.
Ia memiliki hijab yang tebal nan kuat. Hijab agar ia tidak mudah mendurhakai Allah dan Rasul-
Nya.

Penulis sempat menyuguhkan sebuah penilitian yang digelar BBC mengenai Brainsex. Penelitian ini
insya Allah dapat membuat Anda lebih mudah memahami mengapa kita tidak layak berurusan
dengan hal-hal kecil. Visi yang terang benderang membuat cinta bertahan lebih lama dan lebih
terarah. Sebab sebagaimana penulis mengingatkan pada halaman 157, ―Takdir adalah misteri, tugas
kita adalah mencitakan dan merencanakan.

Selepas merajut cita-cita, apa jejak keduanya? Ialah mengasah gairah. Semua orang mungkin mampu
merenda mimpi, tapi kemampuan ini kerap kalah dari kemampuan kita untuk menunda. Padahal
cinta adalah kata kerja. Mereka yang siap mencintai, berarti mereka siap memberi dan berkorban.
Mereka siap bertanggung jawab. Bahkan cemburu pun menjadi letupan gairah. Membuat visi
yang jauh, terasa berada di depan kelopak.

Namun kadang, keduanya tetap tak cukup membeningkan keadaan. Seluruhnya masih tampak
buram dan kelam. Maka jejak ketiga ialah melihat seluruhnya dengan nurani yang bersih.
Nurani yang menyelamatkan. Jernih dari sangka buruk pada Allah. Tidak terlalu menghitam
akibat dosa dan maksiat. Dengan nurani, cinta mengejawantah dalam kerja- kerja besar dakwah
dan jihad. Menerangi visi dan membatasi gairah yang kerap meletup tak berbatas. Nurani
menjadikan kita bersyukur tak sekadar berpuas.

―Yang berharta, janganlah puas dengan shadaqahnya. Yang berilmu, janganlah puas dengan amal
dan dakwahnya. Yang bernafas, janganlah puas sekadar berbaring dan duduk. Tapi bangkitlah.
Berlarilah.‖ (hlm. 282)

Jika ketiganya telah ditunaikan, cukupkah? Belum, selama kita tidak mendisiplinkan diri. Inilah
jejak keempat. Tidak ada yang memegang kemudi kita, kecuali diri kita sendiri.

Bagi yang sering menyelami riuhnya tulisan-tulisan Salim A. Fillah, mungkin hampir tidak dapat
menemukan perbedaan gaya tulisannya pada buku ini dengan buku-buku beliau yang lain.
Seakan inilah khas beliau yang tidak dimiliki penulis lain. Meski mungkin bagi sebagian orang
cenderung membosankan, namun nyatanya banyak pembacanya kini perlahan menuruni gaya
tulisan beliau.

Diksi yang dipilihnya kerap bersastra. Kalimatnya dibuat lebih soft sehingga tidak muncul kesan
menghakimi. Penjabaran materi tidak melulu dalil yang menjadikannya kaku.
Berpuluh kisah berhikmah menemani pembaca menyeksamai kalimat demi kalimat. Tak kalah
menarik, di buku ini teramat banyak penulis menampilkan penelitian tertentu dan teori-teori
psikologi. Menambah bobot kualitas pemaparan beliau mengenai cinta dan seni membangunnya.

Meski begitu, sangat disayangkan masih ada beberapa kata yang salah ketik. Seperti menulis tafsir
dengan ‗tofsir‘, Injil dengan ‗Injili‘, arsy dengan ‗arsa‘. Selain itu, beberapa kisah mungkin pernah
pembaca dengar pada buku beliau yang lain. Cerita-cerita ini menjadi berulang ditulis. Bagi
sebagian pembaca, hal ini barangkali mengganggu dan sedikit membosankan.

Anda mungkin juga menyukai