Anda di halaman 1dari 14

SERI FILSAFAT ATMAJAYA: 22

ILMU PENGETAHUAN
Sebuah Tinjauan Filosofis

A. Sonny Keraf & Mikhael Dua

PENERBIT KANISIUS
Cetakan ke 16
Yogyakarta
2014

Kata Pengantar

Materi yang diterbitkan dalam buku ini merupakan bahan kuliah Ilmu Alamiah
Dasar yang kami berikan selama beberapa tahun di Universitas Atma Jaya Jakarta.
Sejak mula pertama adanya mata kuliah tersebut, Universitas Atma Jaya mengisinya
dengan materi-materi yang berkaitan dengan filsafat ilmu pengetahuan. Asumsi yang
ada di belakang kebijakan ini adalah bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya dipahami
sebagai hasil statis kegiatan ilmu pengetahuan berupa hukum dan teori ilmiah. Ilmu
pengetahuan adalah juga sebuah proses, sebuah kegiatan, sebuah kemampuan yang
harus dimiliki oleh para ilmuwan. Sejak pendidikan prauniversitas dan selama
pendidikan di universitas, mahasiswa lebih ban yak disodori dengan berbagai hasil ilmu
pengetahuan yang sudah jadi dan siap dipakai. Padahal, sebagai calon ilmuwan mereka
pun perlu menjalani kerja dan kegiatan ilmu pengetahuan itu sendiri. Mereka perlu
menjalani proses ilmu pengetahuan itu sendiri. Mereka perlu memahami cara kerja ilmu
pengetahuan dan menguasainya sebagai bagian dari pola hidupnya sebagai seorang
ilmuwan.
Atas dasar tersebut, bersama dengan mata kuliah semacam, seperti misalnya metode
penelitian dan kegiatan penelitian untuk menyusun skripsi dan karya ilmiah lainnya,
mata kuliah ini dimaksudkan untuk memperkenalkan dan /5/ membiasakan mahasiswa
dengan kegiatan dan proses kegiatan ilmu pengetahuan itu sendiri. Hanya dengan cara
ilmiah mereka benar-benar akan menjadi ilmuwan itu sendiri.
Dengan kata lain, tujuan utama dari kuliah ini adalah untuk membentuk watak
seorang ilmuwan, yaitu orang yang selalu penasaran ingin mengetahui lebih jauh dan
lebih banyak lagi, orang yang selalu tidak puas dan selalu gelisah mempertanyakan dan
mempersoalkan segala sesuatu, orang yang tidak mudah percaya kepada segala teori dan
hukum ilmiah yang telah diwariskan para ilmuwan sebelumnya. Sebagai calon
ilmuwan, para mahasiswa diajak untuk mencari kebenarannya sendiri dan tidak harus
selalu mengafirmasi kebenaran dan teori yang ditemukan oleh orang lain.
Singkatnya, kuliah ini sebenarnya ingin mengajak para mahasiswa untuk selalu
mempertanyakan dan mempersoalkan segala sesuatu, dan dengan demikian selalu
bersikap kritis terhadap apa saja. Dan harapan paling jauh yang ingin dicapai adalah
agar mahasiswa-mahasiswa tersebut benar-benar menjadi ilmuwan, yaitu orang yang
tidak saja menerima begitu saja teori dan hukum ilmiah yang telah ditemukan ilmuwan
lain, melainkan juga pada akhirnya bisa melahirkan teori dan hukum ilmiah
penemuannya sendiri.
Sebagai analogi, yang ingin dicapai adalah bahwa mahasiswa tidak sekadar menjadi
pelanggan sebuah restoran yang datang ke restoran untuk disuguhi masakan yang telah
siap dihidangkan dan tinggal dinikmati. Mereka haruslah menjadi juru masak itu
sendiri. Mereka harus mengetahui seluk-beluk cara menghasilkan makanan yang lezat
dengan keterampilan yang luar biasa.
Karena ilmu pengetahuan tidak hanya mencakup hasil ilmu pengetahuan itu sendiri,
melainkan juga cara kerjanya, maka dalam seluruh buku ini kedua aspek terse but diberi
perhatian secara memadai. Tetapi lebih dari itu, karena ilmu pengetahuan mempunyai
sumbangan atau dampak tertentu bagi kehidupan manusia, maka pembahasan mengenai
dampak ilmu pengetahuan perlu juga mendapat perhatian.
Sebagai bahan kuliah Ilmu Alamiah Dasar, buku ini tidak dimaksudkan untuk para
mahasiswa filsafat atau yang mempunyai pendidikan dasar filsafat. Buku ini terutama
dimaksudkan untuk para mahasiswa umum, yaitu mahasiswa yang tidak mengambil
pendidikan filsafat sebagai disiplin utama ilmunya. Karena itulah, materi dan
penyajiannya dibuat secara sederhana untuk bisa lebih mudah dimengerti. Sama sekali
tidak ada niat untuk menjadikan buku ini sebagai buku filsafat yang sangat rumit,
komprehensif, dan mendalam. Akan tetapi, sebagaimana kebiasaan program studi di /6/
Universitas Atma Jaya Jakarta, mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini diandaikan
telah mengambil mata kuliah Pengantar Filsafat.
Sebagai catatan penutup, perlu kami sampaikan bahwa karena materi dalam buku
ini mulanya merupakan bahan yang kami persiapkan untuk kuliah, maka ketika
menulisnya kembali untuk dipublikasikan, ternyata kami sulit melacak semua rujukan
dan sumber bahan tersebut secara akurat. Karena itu, kami mohon maaf kalau hal ini
menyebabkan pembaca sulit melacaknya ke sumber utamanya. Demikian pula, kalau
tidak dicantumkan rujukannya secara persis, itu sama sekali tidak dimaksudkan sebagai
pengaburan sumber rujukan.
Pada kesempatan ini, tak lupa kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah berjasa baik langsung maupun tidak langsung bagi terwujudnya buku
ini. Kepada para mantan mahasiswa kami, kami mengucapkan terima kasih. Kepada
Universitas Atma Jaya dan Pusat Pengembangan Etika, kami berutang budi atas segala
fasilitas dan kesempatan bagi kami untuk mengembangkan mata kuliah, ini serta
menulis materi dalam buku ini. Juga kepada Penerbit Kanisius yang telah bersedia
menerbitkan buku ini, kami sampaikan terima kasih. /7/

Daftar Isi
Kata Pengantar --------------------------------------------------------------------- --------------- 5
Daftar Isi ----------------------------------------------------------------------------- --------------- 9
Bab I Pendahuluan --------------- 13
------------------------------------------------------------------
1. Apa Itu Filsafat --------------- 13
------------------------------------------------------------------------ --------------- 19
2. Fenomenologi Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan --------------- 22
------------------------------ --------------- 24
3. Filsafat Pengetahuan dan Filsafat Ilmu Pengetahuan ------------------------------------------- 25
4. Fokus Filsafat Ilmu Pengetahuan ---------------------------------------------------
Manfaat Belajar Filsafat Ilmu Pengetahuan
---------------------------------------
BAGIAN I TEORI- TEORI TENTANG PENGETAHUAN -------------- --------------- 29
Bab II Pengetahuan dan Keyakinan ----------------------------------------------------------- 30
1. Hubungan antara Pengetahuan dan Keyakinan ---------------------------------------------- 30
2. Macam-Macam Pengetahuan Menurut Polanya --------------------------------------------- 33
3. Hubungan di antara Empat Macam Pengetahuan --------------- 37
----------------------------- --------------- 40
4. Skeptisisme -----------------------------------------------------------------------
Bab III Sumber Pengetahuan: Rasionalisme dan Empirisme ---------------------------- 43
1. Hubungan antara Pengetahuan dan Keyakinan ---------------------------------------------- 43
2. Macam-Macam Pengetahuan Menurut Polanya --------------------------------------------- 49
3. Hubungan di antara Empat Macam Pengetahuan --------------- 56
----------------------------- --------------- 62
4. Skeptisisme ------------------------------------------------------------------------
Bab IV Kebenaran Ilmiah ----------------------------------------------------------------------- 65
1. Macam-macam Teori Kebenaran -------------------------------------------------------------- 65
2. Sifat Dasar Kebenaran Ilmiah ----------------------------------------------------------------- 75
Bab V Masalah Kepastian dan Falibilisme Moderat --------------- 77
-------------------------
1. Masalah Kepastian Kebenaran Ilmiah -------------------------------------------------------- 77
2. Falibilisme dan Metode Ilmu Pengetahuan --------------- 79
------------------------------------ -------------- 80
3. Falibilisme dan Obyek Ilmu Pengetahuan
-------------------------------------
BAGIAN II METODE ILMU PENGETAHUAN ------------------------------------------ 87
Bab VI Metode Abduksi dan Deduksi --------------------------------------------------------- 88
1. Pengantar --------------- 88
--------------------------------------------------------------------------- --------------- 90
2. Metode Ilmu Pengetahuan dan Metode Berpikir Lainnya --------------- 91
------------------- --------------- 97
3. Metode Abduksi
-------------------------------------------------------------------
4. Metode Deduksi
-------------------------------------------------------------------
Bab VII Metode Induksi -------------------------------------------------------------------------- 99
1. Induksi Gaya Bacon ----------------------------------------------------------------------------- 100
2. Keberatan dan Kelemahan Induksi Bacon --------------- 102
------------------------------------- --------------- 107
3. Langkah-Langkah Metode Induksi ------------------------------------------------------------ 111
4. Situasi Masalah --------------- 114
--------------------------------------------------------------------
5. Perumusan dan Pengujian Hipotesis -------------------------------------------
Bab VIII Hukum dab Teori Ilmiah ------------------------------------------------------------ 118
1. Hukum: Hubungan Sebab Akibat ------------------------------------------------------------- 118
2. Sifat-Sifat Hukum Ilmiah ----------------------------------------------------------------------- 121
3. Hukum, Kebetulan, dan Kontinuitas Alam --------------- 124
------------------------------------ --------------- 127
4. Evolusi dan Kontinuitas Pengetahuan --------------- 128
------------------------------------------ -------------- 129
5. Aktivitas Pikiran dan Alam
------------------------------------------------------
6. Dari Hukum Menuju Teori ------------------------------------------------------
BAGIAN III ILMU PENGETAHUAN DAN MASYARAKAT ------------------------- 131

Bab IX Ilmu Pengetahuan dan Life-World ---------------------------------------------------- 132


1. Permasalahan ------------------------------------------------------------------------------------- 132
2. Dampak Intelektual ------------------------------------------------------------------------------ 133
3. Dampak Sosial Praktis -------------------------------------------------------------------------- 136
4. Watak Intelektual -------------------------------------------------------------------------------- 139
Bab X Ilmu Pengetahuan dan Politik ---------------------------------------------------------- 141
1. Pengantar --------------- 141
--------------------------------------------------------------------------- --------------- 142
2. Teknik Ilmiah dan Kekuasaan --------------- 144
--------------------------------------------------- --------------- 146
3. Demokrasi -------------------------------------------------------------------------
Peranan Ilmuwan
------------------------------------------------------------------
Bab XI Masalah Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan ------------------------------------ 149
1. Pengertian Bebas Nilai -------------------------------------------------------------------------- 149
2. Dua Kecenderungan Dasar ------------------------------------------------------- 151
3. Sintesis: Context of Discovery dan Context of Justification --------------- 154
-----------------
Daftar Pustaka -------------------------------------------------------------------------------------- 159
11
Bab I
Pendahuluan

Mengapa filsafat ilmu pengetahuan? Apa gunanya belajar filsafat ilmu pengetahuan?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut pada akhir bab, ada baiknya kita segarkan
kembali ingatan dan pemahaman kita tentang filsafat. Dari sana kita akan melangkah
lebih jauh untuk melihat apa itu filsafat ilmu pengetahuan, dan khususnya apa saja yang
dipelajari dalam filsafat ilmu pengetahuan.

1. Apa Itu Filsafat?


Karena filsafat ilmu pengetahuan adalah salah satu cabang filsafat, barangkali ada
baiknya kita mulai dengan mengajukan kembali pertanyaan klasik berupa, “Apa itu
filsafat?” Ini suatu pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Terhadap pertanyaan
semacam “Apa itu sosiologi?”, “Apa itu politik?”, “Apa itu antropologi?” dan
seterusnya, selalu saja dengan agak mudah ditemukan Jawabannya: sosiologi adalah
ilmu tentang kehidupan bermasyarakat, politik adalah ilmu tentang negara dan
kehidupan bernegara, antropologi adalah ilmu tentang manusia dan kebudayaannya.
Namun, tidak mudah menjawab /13/ pertanyaan “Apa itu filsafat?” Secara berkelakar,
sering sekali orang-orang yang secara khusus belajar filsafat mengatakan bahwa
pertanyaan “Apa itu filsafat” memang sulit dijawab secara singkat. Tetapi, kenyataan
bahwa kita mengajukan pertanyaan “Apa itu filsafat?” sudah menunjukkan bahwa kita
sedang berfilsafat. Dengan jawaban ini mau dikatakan bahwa filsafat pertama-tama
adalah sikap: sikap mempertanyakan, sikap bertanya, yaitu bertanya dan
mempertanyakan segala sesuatu, mempertanyakan apa saja. Dengan kata lain, filsafat
sesungguhnya adalah metode, yaitu cara, kecenderungan, sikap bertanya tentang segala
sesuatu. Sikap bertanya itu sendiri adalah filsafat, termasuk mempertanyakan “Apa itu
filsafat?” Karena itu, ketika kita bertanya “Apa itu filsafat?” kita sesungguhnya
berfilsafat dan dengan demikian memperlihatkan secara paling konkret hakikat filsafat
itu sendiri. Memang pada akhirnya setiap pertanyaan menemukan jawabannya. Tetapi,
jawaban ini selalu dipertanyakan lagi. Karena itulah, filsafat dianggap sebagai sesuatu
yang bermula dari pertanyaan dan berakhir dengan pertanyaan. (Memang hakikat
filsafat adalah bertanya terus-menerus. Filsafat adalah sikap bertanya itu sendiri.)
Bahkan pertanyaan itu sendiri merupakan sebuah jawaban. Dengan kata lain, filsafat
adalah sebuah sistem pemikiran, atau lebih tepat cara berpikir, yang terbuka: terbuka
untuk dipertanyakan dan dipersoalkan kembali. Filsafat adalah sebuah tanda tanya dan
bukan sebuah tanda seru. Filsafat adalah pertanyaan dan bukan pernyataan.
Filsafat berbeda dari ideologi dan dogma. Ideologi dan dogma cenderung tertutup,
cenderung menganggap kebenaran tertentu sebagai tidak bisa dipersoalkan dan diterima
begitu saja. Sebaliknya, filsafat — dan ilmu pengetahuan pada umumnya — tidak
menerima kebenaran apa pun sebagai sesuatu yang telah selesai.
Memang betul bahwa secara etimologis filsafat berarti cinta akan kebenaran; suatu
dorongan terus-menerus, suatu dambaan untuk mencari dan mengejar kebenaran.
Tetapi, dalam pengertian ini, yang pertama-tama mau diungkapkan adalah bahwa
filsafat adalah sebuah upaya, sebuah proses, sebuah pencarian, sebuah quest, sebuah
perburuan tanpa henti akan kebenaran. Karena itu, cinta (philo) dalam philosophia,
tidak dipahami pertama-tama sebagai kata benda yang statis, yang given, melainkan
sebagai sebuah kata kerja, sebuah proses. Dalam arti itu, filsafat adalah sebuah sikap
yang dihidupi, yang dihayati dalam pencarian, dalam quest, dalam pertanyaan terus-
menerus.
Sebagai sikap, yaitu sikap mencinta, di satu pihak ada ketiadaan, ada kekosongan
dari yang dicintai, yang dicari. Tetapi, di pihak lain, sebagai sikap, ia tidak kosong sama
sekali. Ia sesungguhnya telah memiliki /14/ yang dicari, yang dicinta itu, kendati hanya
dalam bayang-bayang. Ia memang mengalami kekosongan akan yang dicinta dan karena
itu ingin mengejar yang dicintai untuk diisi, tetapi sekaligus yang dicinta itu telah ada
melalui representasinya dalam sikap mencinta itu sendiri. Maka, kebenaran yang dikejar
dalam filsafat memang belum dimiliki, tetapi sekaligus telah dimiliki dalam bentuk
proses mencari tadi.
Karena posisi yang paradoksal dari sikap mencintai ini, cinta yang sejati, termasuk
cinta akan kebenaran atau filsafat, di satu pihak selalu cenderung ingin memiliki,
menggenggam, dan dekat dengan kebenaran atau objek cinta. Tetapi, sekaligus ada
kecenderungan untuk mempersoalkan, mempertanyakan, dan bersikap kritis terhadap
kebenaran atau objek cinta itu. Dalam cinta asmara, sikap kritis ini muncul dalam
bentuk kecemburuan positif dan sehat. Sementara dalam filsafat dan ilmu pengetahuan,
sikap ini muncul dalam bentuk sikap kritis yang ingin meragukan terus kebenaran yang
telah ditemukan. Karena itu pula, apa yang disebut sebagai kebenaran dan apa yang
pada titik tertentu diyakini sebagai kebenaran selalu akan diliputi oleh tanda tanya.
Konkretnya, dengan berfilsafat, dengan berupaya mencari kebenaran, pada akhirnya
orang semakin memahami makna segala sesuatu, termasuk makna kehidupan ini, justru
karena pencarian terus-menerus tadi. Dengan bertanya, ia semakin memahami segala
sesuatu termasuk hidup ini. Dengan bertanya, orang semakin mengambil sikap terhadap
realitas, terhadap kehidupan seluruhnya. Mengapa? Karena dengan bertanya, orang
menghadapi realitas kehidupan ini sebagai sebuah masalah, sebagai sebuah pertanyaan,
sebagai sebuah tugas untuk digeluti. Terhadap masalah ini, orang lalu berusaha
mengambil sikap untuk memahaminya, untuk bersikap secara tertentu terhadap masalah
tersebut. Di situlah orang menemukan kebenaran, pemahaman akan masalah, akan
realitas kehidupan ini. Dengan bertanya, orang akhirnya bisa memahami masalah
tersebut secara masuk akal.
Dengan jawaban sederhana di atas, kita sampai pad a pemahaman yang semakin
jelas tentang filsafat. Pertama, filsafat dipahami sebagai upaya, proses, metode, cara,
dambaan untuk terus mencari kebenaran. Dambaan ini muncul dalam sikap kritis untuk
selalu mempersoalkan apa saja untuk sampai pada kebenaran yang paling akhir, yang
paling mendalam.
Kedua, filsafat dilihat sebagai upaya untuk memahami konsep atau ide-ide, Dengan
bertanya orang lalu berpikir tentang apa yang ditanyakan. Dengan bertanya orang
berusaha menemukan jawaban atas apa yang ditanyakan. Maka, muncul ide atau konsep
tertentu yang dapat menjawab pertanyaan tadi. Tetapi yang menarik, sebagaimana telah
dikatakan di atas, filsafat sebagai sebuah sikap terus mencari, akan mempertanyakan
kembali /15/ konsep atau ide tadi untuk lebih memahaminya lagi. Maka akan terjadi
proses mempertanyakan konsep atau ide yang diajukan atas sebuah pertanyaan, dan
terus berulang hingga akhirnya akan sampai pada sebuah jawaban final, yang paling
ultima, yang paling mendasar, yang paling akhir yang dianggap paling benar. Tetapi,
justru di sini menariknya, jawaban yang paling akhir dan yang paling benar itu tidak
pernah akan ditemukan. Maka proses bertanya dan bertanya terus-menerus itu akan
bergulir terus tanpa henti sebagaimana hakikat filsafat itu sendiri. Yang ditemukan
hanyalah jawaban-jawaban sementara dalam bentuk konsep atau ide atau pemikiran
tertentu yang kemudian dipertanyakan dan dikritik terus-menerus. Karena itu, filsafat
pun akan terus berlangsung tanpa henti. Filsafat lalu tidak pernah menemukan titik
akhirnya, sebagai sebuah pencarian dan perburuan akan kebenaran yang tak men genal
titik akhir. Berkaitan dengan inilah, filsafat sering disebut sebagai ilmu yang berupaya
mencari “yang paling akhir”, “yang paling dalam”, “yang paling benar”.
Ini tidak berarti bahwa dalam berfilsafat orang tidak pernah yakin akan kebenaran
dari apa yang telah dicapainya. Orang tentu saja harus yakin akan kebenaran dari apa
yang telah ditemukannya. Tetapi seperti halnya cinta sejati, dalam cinta akan kebenaran,
ia tidak pernah merasa puas dan menerima secara buta apa yang telah ditemukannya itu.
Tetapi di pihak lain, ia dengan sendirinya merangkul, menggenggam, dan berusaha
meyakinkan orang lain akan kebenaran dari apa yang telah ditemukannya. Tetapi
sekaligus, ia tetap terbuka untuk menggugat secara kritis kebenaran itu untuk mencari
lagi kebenaran yang paling dalam.
Dengan mengatakan bahwa filsafat adalah upaya untuk memahami ide atau konsep,
filsafat lalu dilihat pula sebagai “pemikiran tentang pemikiran” atau “berpikir tentang
berpikir” (thinking about thinking). Dengan kata lain, aktivitas seorang filsuf atau ahli
filsafat adalah berpikir. Yang dilakukannya adalah duduk berpikir, yaitu berpikir
tentang apa saja, termasuk berpikir tentang pemikirannya sendiri, ten tang apa yang
sedang dipikirkannya. Maka ketika seorang filsuf sedang berpikir, sesungguhnya ia
melakukan “dialog” dalam dirinya tentang apa saja. la bertanya dan berusaha
menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri, tetapi kemudian jawaban itu
disanggah, dikritik, dan dipertanyakannya lagi. Maka, terjadilah proses bertanya dan
menjawab dan bertanya dan menjawab terus-menerus tanpa henti. Itulah filsafat, sebuah
quest, sebuah pencarian, sebuah question tentang berbagai ide.
Sampai di sini timbul pertanyaan, siapa sesungguhnya filsuf itu? Jawabannya sangat
mudah, semua manusia yang selalu bertanya terus-menerus adalah filsuf. Semua orang
yang selalu cenderung mengajukan pertanyaan 16 atas apa saja, sesungguhnya adalah
filsuf karena dengan mengajukan pertanyaan atas apa saja ia sudah berfilsafat, ia sudah
mempraktekkan pencarian tanpa henti akan kebenaran. Ini sudah sangat jelas
diperlihatkan oleh anak kecil. Anak kecil selalu bertanya tentang apa saja. Pada
dasarnya, semua orang adalah filsuf by nature, filsuf sejak lahir. Bagi anak kecil,
sebagaimana halnya bagi filsuf, dan sesungguhnya bagi manusia pada umumnya, segala
sesuatu yang ada dalam hidup ini adalah sebuah masalah, sebuah pertanyaan, sebuah
teka-teki, sebuah enigma, sesuatu yang perlu dipahami. Anak kecil, dan filsuf, lalu
cenderung untuk selalu bertanya “Apa itu?” Atau, “Mengapa demikian?” “Dari mana
asalnya?” “Apa artinya itu?” Termasuk, pertanyaan yang sulit dijawab seperti:
“Mengapa kucing beranak dan ayam bertelur?” Bahkan anak kecil akan selalu bertanya
ketika dilarang: “Mengapa tidak boleh?” “Karena kamu masih kecil,” jawab orang
tuanya. “Tapi mengapa orang dew as a boleh dan anak kecil tidak boleh?” “Siapa yang
mengatakan anak kecil tidak boleh?” Saya yang mengatakan, jawab ibunya. “Tapi
mengapa tidak boleh?” “Pokoknya karena saya mengatakannya”. “Tapi mengapa?”
“Jangan tanya lagi.” Titik. Dengan jawaban penuh otoritas semacam ini, orang dewasa
telah mematikan kecenderungan filosofis dalam diri anak manusia. Maka sejak saat itu
hilanglah keinginan manusia untuk mencari kebenaran itu. Hilanglah kecenderungan
manusia untuk berfilsafat.
Yang terjadi selanjutnya adalah pem-biasa-an terus-menerus. Anak diajar untuk
menerima saja segala sesuatu tanpa perlu mempertanyakannya. Akibatnya, kita
membuat anak menjadi terbiasa dengan segala sesuatu di sekitarnya, dan akhirnya tidak
pernah lagi ingin mempertanyakan semua hal itu. Semuanya menjadi biasa baginya.
Tidak ada yang menarik untuk dipertanyakan karena toh sikap bertanya telah dimatikan
sejak awal kehidupan. Hilanglah sikapnya sebagai filsuf. Hidup lalu menjadi sebuah
tanda seru, dan bukan lagi tanda tanya. Hidup tidak lagi dihadapi sebagai sebuah
pertanyaan, sebagai sebuah tanda tanya, sebuah teka-teki, sebuah paradoks, sebuah
masalah, enigma, melainkan sebagai “given”, hal yang diberikan begitu saja tanpa perlu
dipersoalkan.
Dengan demikian, filsafat, entah yang dipelajari di kelas, dibaca, didengar, atau
dipraktekkan sendiri sesungguhnya mengajak kita untuk mempertanyakan,
mempersoalkan, mengkaji, dan mendalami hidup ini dalam segala aspeknya.
Sebagaimana dikatakan Sokrates, “Hidup yang tidak dikaji tidak layak dihidupi.”
Artinya, menjalani kehidupan ini tanpa mempersoalkannya sama dengan hidup sebagai
orang buta. Maka, salah satu sikap yang akan muncul dengan sendirinya dari filsafat
adalah sikap kritis, yakni tetap mempertanyakan apa saja, sikap tidak puas dengan
jawaban yang ada, tidak /17/ percaya akan apa saja, dan selalu ingin tahu lebih dari
yang sudah diketahui, atau sebagaimana dikatakan Rene Descartes, seperti yang akan
kita bahas kemudian, sikap menyangsikan dan meragukan segala sesuatu, yang
dianggap sebagai metode utama filsafat, dan ilmu pengetahuan pada umumnya.
Sedemikian sederhanakah filsafat itu? Memang benar, filsafat itu sederhana sekali.
Tidak lebih tidak kurang, hanya sikap yang selalu bertanya terus-menerus. Sesuatu yang
begitu alamiah, tetapi sekaligus begitu sukar karena manusia selalu cenderung menjadi
terbiasa dengan segala yang dialaminya sepanjang hidupnya. Apalagi, seperti dikatakan
di atas, kita cenderung terbiasa dengan perintah, pernyataan, dan larangan sampai hilang
kecenderungan bertanya, berfilsafat, kecenderungan mencari kebenaran dan lebih
senang menerima saja apa yang ada sebagai benar begitu saja. Oleh karena itu pula,
filsafat dan berfilsafat, yang sesungguhnya sangat sederhana itu, menjadi sulit dan
esoteris. Apalagi, karena kecenderungan bertanya terus-menerus itu kalau diikuti terus
akan sampai pada pertanyaan-pertanyaan mendasar yang tidak pernah ditanyakan oleh
manusia biasa hanya karena mereka menyepelekannya atau enggan
mempertanyakannya karena terlalu mendasar. Dalam situasi seperti itu, dibutuhkan
orang-orang khusus, yang secara khusus mengkhususkan aktivitasnya dengan
melanjutkan tugas biasa tadi: Bertanya apa saja. Dari mereka inilah, yang kemudian
dikenal dengan istilah khusus sebagai para filsuf, kita belajar banyak hal.
Sekarang timbul pertanyaan, bukankah dalam semua ilmu orang selalu cenderung
mempertanyakan se gala sesuatu? Betul. Pertama, sikap dasar selalu bertanya yang
menjadi ciri khas filsafat ini memang kemudian merasuki segala cabang ilmu, yang
semula bersatu dengan filsafat, dan karena itu dalam semua ilmu selalu ada
kecenderungan dasar ini. Oleh karena itu pula, filsafat disebut juga sebagai ratu dan
induk semua ilmu pengetahuan; ratu yang memahkotai semua ilmu dengan sikap dasar
selalu bertanya ini. Disebut induk karena dari sikap dasar bertanya ini lahirlah berbagai
ilmu yang demikian banyak sekarang ini. Tapi, kedua, ada satu perbedaan dasar antara
sikap bertanya dalam filsafat dan sikap bertanya dalam semua ilmu lainnya. Dalam
filsafat, kita mempertanyakan apa saja dari berbagai sudut, khususnya dari sudut yang
paling umum dan mendasar menyangkut hakikat, inti, pengertian paling mendasar.
Sedangkan dalam ilmu pengetahuan, yang dipertanyakan hanya satu saja kenyataan
yang digumuli oleh ilmu itu dan dipertanyakan dari sudut pandang ilmu yang
bersangkutan. Jadi, yang dipersoalkan filsafat adalah seluruh yaitu kenyataan dari sudut
pandang yang paling mendasar. /19/
Pertanyaan lain lagi, kalau semua manusia, dalam arti tertentu adalah filsuf,
mengapa perlu ada orang tertentu yang belajar filsafat dan karena itu dikenal sebagai
filsuf, sebagai ahli filsafat? Pertama, dibutuhkan orang khusus yang belajar filsafat
karena memang telah hilang kecenderungan berfilsafat dalam diri semua manusia
karena, sebagaimana telah dikatakan di atas, telah dimatikan sejak keci!. Jadi,
diperlukan orang-orang khusus yang kembali membiasakan diri untuk mempersoalkan
segala sesuatu sampai akhirnya menjadi filsuf. Kedua, dalam rangka itulah, filsafat
tidak lagi sekadar sebuah sikap belaka melainkan telah menjadi sebuah ilmu khusus
yang perlu dipelajari. Pada tingkat ini filsafat lalu tidak lain adalah sebuah ilmu yang
mengkaji seluruh kenyataan secara sistematis, metodis, dan koheren. Melalui cara ini
orang yang belajar filsafat diperkenalkan dengan cara kerja filsafat. Lebih dari itu,
mereka secara khusus mempelajari berbagai pemikiran para filsuf dulu kala untuk
melihat bagaimana filsuf-filsuf ini bertanya, bergulat, dan menggumuli persoalan
tertentu secara filosofis.
Selain pengertian filsafat di atas, untuk mengetahui tempat filsafat ilmu
pengetahuan dalam seluruh disiplin ilmu filsafat, ada baiknya dikemukakan di sini
bahwa secara umum ilmu filsafat dibedakan menjadi lima cabang besar, yaitu, (1)
metafisika atau ilmu tentang yang ada sebagai ada. (Cabang filsafat ini berbicara
mengenai realitas sebagaimana adanya), (2) epistemologi atau filsafat ilmu
pengetahuan, (3) etika atau filsafat moral yang berbicara mengenai baik buruknya
perilaku manusia, (4) logika berbicara mengenai bagaimana berpikir secara tepat, dan
(5) estetika atau filsafat seni berbicara tentang keindahan.

2. Fenomenologi Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan1


Secara metodologis, dalam gejala terbentuknya pengetahuan manusia, dapat
dibedakan antara dua kutub berbeda dari gejala pengetahuan manusia itu, yaitu antara
kutub si pengenal dan kutub yang dikenal, atau antara subjek dan objek. Kendati
keduanya dapat dibedakan secara jelas dan tegas, untuk bisa terbentuknya pengetahuan,
keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Supaya ada pengetahuan, keduanya

1
Bandingkan juga C. Verhaak dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan. Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta:
Gramedia, 1989), hlm. 4-8.
harus ada. Yang satu tidak pernah ada tanpa yang lainnya. Keduanya merupakan suatu
kesatuan asasi bagi terwujudnya pengetahuan manusia. /19/
Hubungan yang sedemikian hakiki ini telah menimbulkan perdebatan yang tiada
hentinya sepanjang sejarah filsafat pengetahuan dan ilmu pengetahuan tentang mana
yang lebih pokok dan yang lebih dulu; subjek — yaitu manusia dengan akal budinya —
ataukah objek — yaitu kenyataan yang diamati dan dialami di alam semesta ini. Pada
tingkat lain, muncul persoalan serupa: Apakah pengetahuan manusia berasal dari akal
budi manusia atau berasal dari pengalaman manusia akan realitas objektif di alam
semesta ini. Juga muncul persoalan mengenai apakah pengetahuan manusia itu bersifat
psikologis-subjektif atau bersifat objektif-universal. Apakah pengetahuan manusia
hanya berkaitan dengan struktur kesadaran subjektif masing-masing orang atau sesuai
dengan kenyataan real yang melekat pada objek yang dikenal dan diketahui manusia
sebagai manusia lepas dari kesadaran subjektif setiap orang. ,
Perdebatan-perdebatan ini, kendati sangat penting sebagaimana akan kita bahas
sebagian di antaranya, sampai tingkat tertentu tidak menyangkal kenyataan bahwa
bagaimanapun juga supaya ada pengetahuan, subjek harus terarah kepada objek, dan
sebaliknya objek harus terbuka dan terarah kepada subjek. Artinya, supaya bisa terjadi
pengetahuan, subjek harus terbuka dan terarah atau mengarahkan diri kepada objek
untuk mengenal dan mengetahuinya sebagaimana adanya, dan sebaliknya objek harus
terbuka dan terarah kepada subjek untuk dikenal sebagaimana adanya.
Yang menarik, pengetahuan adalah peristiwa yang terjadi dalam diri manusia.
Maka, tanpa ingin meremehkan peran penting dari objek pengetahuan, manusia sebagai
subjek pengetahuan memegang peranan penting. Keterarahan manusia terhadap objek
jadinya merupakan faktor yang sangat menentukan bagi munculnya pengetahuan
manusia.
Hanya saja perlu dicatat bahwa keterarahan manusia terhadap objek ini hanya
mungkin menimbulkan pengetahuan kalau dalam diri manusia sebagai subjek sudah
terdapat kesamaan-kesamaan prinsip atau kategori tertentu yang memungkinkan
manusia dapat mengenal dan menangkap objek yang diamatinya. Kalau tidak, objek itu
tidak mungkin akan ditangkap, tidak dikenal, tidak diketahui. Objek itu akan berlalu
begitu saja. Dengan kata lain, pengetahuan itu hanya mungkin terwujud kalau manusia
sendiri adalah bagian dari objek, dari realitas di alam semesta ini. Dalam hal ini, dapat
dikatakan bahwa hanya melalui dan berkat unsur jasmaninya manusia mampu
menangkap objek yang ada di sekitarnya karena tubuh jasmani manusia adalah bagian
dari realitas alam semesta ini. Tanpa itu manusia tidak mampu mengenal dan
mengetahui dunia dan segala isinya. Pada tingkat inilah, pengetahuan manusia dianggap
bersifat temporal, bersifat konkret, jasmani-indrawi. 20
Tetapi di pihak lain, karena manusia tidak hanya memiliki tubuh jasmani,
melainkan juga jiwa yang mengatasi tubuh jasmaninya yang terbatas, maka dengan
bantuan jiwa atau akal budinya, manusia mampu mengangkat pengetahuan yang bersifat
temporal, konkret, jasmani-indrawi tadi ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu ke tingkat
abstrak dan karena itu universal. Melalui kemampuan akal budi untuk mengadakan
perbandingan, untuk membuat abstraksi, untuk melakukan refleksi, untuk menggali
lebih jauh dan lebih mendalam daripada apa yang diketahuinya secara indrawi-jasmani,
manusia akhirnya sampai pada suatu tingkat pengetahuan yang lebih abstrak, lebih
umum, dan berlaku universal. Artinya, pengetahuan manusia tidak hanya berkaitan
dengan objek konkret khusus yang dikenalnya melalui pengamatan indranya, melainkan
juga melalui itu dimungkinkan untuk sampai pada pengetahuan abstrak tentang berbagai
objek lain yang secara teoretis dapat dijangkau oleh akal budi manusia, dan karena itu
berlaku umum bagi objek mana saja yang bisa dijangkau akal budi manusia pada tempat
dan waktu mana pun.
Pengetahuan manusia yang bersifat abstrak umum dan universal itulah yang
memungkinkan untuk dirumuskan dan dikomunikasikan dalam bahasa yang bersifat
umum dan universal untuk bisa dipahami oleh siapa saja dari waktu dan temp at mana
saja. Melalui bahasa inilah, pengetahuan manusia yang konkret dan abstrak dipadukan,
yang partikular dan yang universal disatukan. Melalui bahasa ini pula, pengetahuan ini
dikomunikasikan, dibakukan, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain.
Orang kemudian dapat mempelajari, mempersoalkan, mendalami, mengubah, dan
mengembangkan lebih lanjut pengetahuan yang telah diperoleh untuk menemukan lagi
pengetahuan baru yang lebih sempurna dan lebih sempurna untuk menggantikan yang
sudah ada.
Karena manusia tidak hanya memiliki tubuh tetapi juga jiwa, manusia tidak hanya
tahu tentang sesuatu melainkan juga tahu bahwa ia tahu tentang sesuatu. Manusia tahu
bahwa ia tahu. la sadar bahwa ia tahu. Oleh karena itu, dengan kesadarannya, manusia
melakukan refleksi tentang apa yang diketahuinya itu. Berkat refleksi ini pula
pengetahuan yang semula bersifat langsung dan spontan, kemudian diatur dan
dibakukan secara sistematis sedemikian rupa sehingga isinya dapat
dipertanggungjawabkan, atau dapat pula dikritik dan dibela. Dengan jalan inilah lahir
apa yang kita kenal sebagai ilmu pengetahuan. Jadi, ilmu pengetahuan muncul karena
apa yang sudah diketahui secara spontan dan langsung tadi, disusun dan diatur secara
sistematis dengan menggunakan metode tertentu yang bersifat baku. Paul Feyerabend
beranggapan bahwa metode baku seperti itu tidak perlu karena metode 21 tersebut dapat
memasung kreativitas ilmu, dan sesungguhnya menurutnya ilmu berkembang paling
baik tanpa metode. Sesungguhnya, yang disebut tanpa metode itu pun pada akhirnya
merupakan metode tersendiri. Tidak benar seperti dikatakan Feyerabend, bahwa tidak
ada prosedur yang baku dalam ilmu pengetahuan yang harus diikuti semua ilmuwan.2
Tentu saja metode atau prosedur itu tidak perlu kaku diikuti. Tetapi, bahwa dalam ilmu
pengetahuan selalu ada tradisi, ada prosedur yang lazim, ada cara kerja yang agak baku
tidak dapat disangkal. Bagaimanapun juga dalam ilmu pengetahuan ada pakem, ada
cara, ada pola tertentu yang selalu bisa diikuti, kendati namanya tanpa pola, karena yang
disebut tanpa prosedur dan tanpa tradisi oleh Feyerabend, lama kelamaan pun akan
menjadi sebuah tradisi, yaitu tradisi tanpa prosedur. Maka bagaimana pun juga, hanya
dengan cara yang sudah kurang lebih bakulah, ilmu pengetahuan benar-benar masuk
akal, yaitu dapat diterima atau dikritik oleh semua orang yang dapat menggunakan
akalnya karena pada tingkat ini semua orang lalu dapat mempertanyakan,
mempersoalkan, mengkritik, menuntut pembuktian dan pertanggungjawaban atas
kebenaran ilmu tersebut, yang mengandaikan bahwa semua orang dapat memahaminya
secara masuk akal pada tempat pertama.

2
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975).
3. Filsafat Pengetahuan dan Filsafat Ilmu Pengetahuan
Dengan pemahaman umum tentang proses pengetahuan di atas, kita dapat
menegaskan bahwa pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep,
dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk
manusia dan kehidupannya. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah keseluruhan sistem
pengetahuan manusia yang telah dibakukan secara sistematis. Ini berarti pengetahuan
lebih spontan sifatnya, sedangkan ilmu pengetahuan lebih sistematis dan reflektif.
Dengan demikian, pengetahuan jauh lebih luas daripada ilmu pengetahuan karena
pengetahuan mencakup segala sesuatu yang diketahui manusia tanpa perlu berarti telah
dibakukan secara sistematis. Pengetahuan mencakup penalaran, penjelasan dan
pemahaman manusia tentang segala sesuatu. Juga, mencakup praktek atau kemampuan
teknis dalam memecahkan berbagai persoalan hidup yang belum dibakukan secara
sistematis dan metodis.
Dengan pembedaan ini, menjadi jelas bagi kita bahwa tidak hanya ada filsafat ilmu
pengetahuan, melainkan juga ada filsafat pengetahuan. Filsafat 22 pengetahuan
terutama berkaitan dengan upaya mengkaji segala sesuatu yang berkaitan dengan
pengetahuan manusia pada umumnya, terutama menyangkut gejala pengetahuan dan
sumber pengetahuan manusia. Dalam hal ini, kemudian dipertanyakan dan
dipersoalkan, misalnya, tentang bagaimana manusia bisa tahu? Apakah manusia bisa
sampai pada pengetahuan yang bersifat pasti? Apakah pengetahuan yang pasti itu
mungkin? Apa artinya mengetahui sesuatu? Bagaimana manusia bisa tahu bahwa ia
tahu? Dari mana asal dan sumber pengetahuan manusia itu? Apakah pengetahuan sama
dengan keyakinan? Di mana letak perbedaannya?
Di pihak lain, filsafat ilmu pengetahuan adalah cabang filsafat yang mempersoalkan
dan mengkaji segala persoalan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Jadi yang
dipersoalkan, misalnya, apa itu kebenaran? Apa metode ilmu pengetahuan itu? Manakah
metode yang paling bisa diandalkan? Apa kelemahan metode yang ada? Apa itu teori?
Apa itu hipotesis? Apa itu hukum ilmiah?
Berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan terakhir ini, ilmu pengetahuan dilihat
sebagai upaya untuk menjelaskan hubungan antara berbagai hal dan peristiwa dalam
alam semesta ini secara sistematis dan rasional (masuk akal). Asumsinya, segala sesuatu
yang dilihat dalam alam semesta ini sebagai sesuatu yang berdiri sendiri-sendiri
sesungguhnya tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan ada kaitannya satu sama lain.
Lalu dijelaskan bahwa yang satu adalah sebab dari yang lainnya, dan yang lain adalah
akibat dari yang lainnya. Maka, ilmu pengetahuan, dalam rangka ini, dipahami sebagai
upaya untuk mencari dan menjelaskan secara sistematis dan masuk akal sebab dan
akibat dari berbagai peristiwa di alam semesta ini.
Dalam kaitan dengan itu, dikembangkan berbagai metode untuk tidak hanya
menemukan sebab dan akibat dari berbagai peristiwa tertentu melainkan juga untuk
menjelaskan kaitan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, yang mungkin
sehari-hari terlihat seakan tanpa keterkaitan apa pun. Ilmu pengetahuan misalnya,
menjelaskan kaitan antara pasang surut dengan peredaran bumi. Atau, mengapa terjadi
siang dan malam? Dengan cara ini, berbagai peristiwa di alam semesta ini bisa dipahami
secara masuk akal, Dengan demikian, manusia dapat menata kehidupannya sesuai
dengan pemahamannya akan hubungan antara berbagai peristiwa di alam semesta ini.
Upaya menjelaskan dan memahami berbagai hal dan peristiwa di alam semesta ini,
sesungguhnya bukan hanya monopoli ilmu pengetahuan. Sebelum munculnya ilmu
pengetahuan, manusia telah berupaya menjelaskan dan memahami berbagai peristiwa
tersebut melalui apa yang dikenal sebagai mitos atau cerita dongeng. Melalui cerita-
cerita dongeng, manusia berupaya 23 menjelaskan secara masuk akal (reasonable)
makna berbagai peristiwa dan keterkaitannya dengan peristiwa lainnya. Melalui mitos-
mitos itu manusia lalu memahami pada tingkat yang sangat sederhana, misalnya, dari
mana asal usul bumi ini, dari mana munculnya manusia, bagaimana terjadinya gempa,
guntur, kilat, dan seterusnya. Dengan pemahaman yang sangat sederhana itu, mereka
dapat menata kehidupannya secara lebih baik.
Dalam perkembangan selanjutnya, manusia mulai tidak puas lagi dengan
penjelasan-penjelasan yang diberikan melalui mitos-mitos tadi. Maka muncullah upaya
lain yang bernama filsafat yang kemudian melahirkan ilmu pengetahuan dengan
berbagai cabangnya. Melalui ilmu pengetahuan, berbagai peristiwa alam semesta lalu
dijelaskan secara lain dalam kerangka teori atau hukum ilmiah yang lebih masuk akal,
dan lebih bisa dibuktikan dengan berbagai perangkat metodis yang berkembang
kemudian sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
4. Fokus Filsafat Ilmu Pengetahuan
Berdasarkan uraian di atas, yang pertama-tama menjadi fokus filsafat ilmu
pengetahuan dalam seluruh pembicaraan kita di sini adalah masalah metode ilmu
pengetahuan. Pembicaraan tentang metode ilmu pengetahuan akan sangat bermanfaat
untuk mengerti bahwa ilmu pengetahuan tidak lebih dari salah satu cara untuk mengerti
bagaimana budi kita bekerja. Ilmu pengetahuan merupakan karya budi yang logis dan
imajinatif. Tanpa imajinasi dan logika dari seorang Kopernikus, suatu gagasan besar
tentang helio-sentrisme tidak akan muncul. Begitu juga halnya jika kita berbicara
tentang ilmuwan-ilmuwan lain. Metode-metode ilmu pengetahuan adalah metode-
metode yang logis karena ilmu pengetahuan mempraktekkan logika. Namun selain
logika temuan-temuan dalam ilmu pengetahuan dimungkinkan oleh akal budi manusia
yang terbuka pada realitas. Keterbukaan budi manusia pada realitas itu kita sebut
imajinasi. Maka logika dan imajinasi merupakan dua dimensi penting dari seluruh cara
kerja ilmu pengetahuan.
Tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah membuka pikiran kita untuk mempelajari
dengan serius proses logis dan imajinatif dalam cara kerja ilmu pengetahuan. Tak
pernah ada imajinasi tanpa logika dalam ilmu pengetahuan. Keduanya akan berjalan
bersamaan. Namun pendekatan pertama tidaklah cukup. Ilmu pengetahuan telah
berkembang sebagai bagian dari hidup kita sebagai manusia dalam masyarakat. Dengan
alasan itu, filsafat ilmu pengetahuan perlu mengarahkan diri selain kepada pembicaraan
tentang masalah 24 metode ilmu pengetahuan juga hams berbicara tentang hubungan
antara ilmu pengetahuan dan masyarakat. Implikasi sosial dan etis dari ilmu
pengetahuan akan dibicarakan dalam konteks ini. Topik yang dibicarakan di sini antara
lain adalah hubungan antara ilmu pengetahuan dengan life-world, antara ilmu
pengetahuan dan politik, bagaimana harus membangun ilmu pengetahuan dalam
masyarakat, dan masalah moral berupa apakah ilmu pengetahuan bebas nilai atau tidak.
5. Manfaat Belajar Filsafat Ilmu Pengetahuan
Pertanyaan yang mungkin menggelitik bagi banyak mahasiswa adalah: Apa
gunanya belajar filsafat pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan? Pertanyaan
semacam ini sah saja dan sangat perlu diajukan (sebagai bukti bahwa mahasiswa ini
memang benar-benar belajar filsafat pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan).
Berdasarkan uraian yang hingga sekarang masih sangat umum ten tang filsafat
pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan, kita dapat merumuskan beberapa manfaat
yang bisa dipetik dari kuliah ini. Pertama, sebagai mata-kuliah filsafat, kuliah ini,
bersama kuliah filsafat lainnya, membantu mahasiswa untuk semakin kritis dalam sikap
ilmiahnya. Ini lebih lagi berlaku dalam kaitan dengan filsafat pengetahuan dan filsafat
ilmu pengetahuan. Mahasiswa di sini dituntut untuk tetap kritis terhadap berbagai
macam teori dan pengetahuan ilmiah yang diperolehnya baik di ruang kuliah maupun
dari berbagai sumber yang dapat diperolehnya. Ini sangat penting karena seorang
mahasiswa dicirikan terutama oleh sikap kritisnya, sikap tidak mudah percaya, sikap
tidak mau menerima begitu saja berbagai teori, pendapat, pandangan dari mana saja,
termasuk pandangan dan pendapatnya sendiri. Sikap ini harus dikembangkan terus
menjadi sebuah cara hidup. Maka, dengan kuliah ini mahasiswa diajak untuk kembali
menjadi filsuf, yaitu orang yang selalu meragukan dan mempertanyakan apa saja.
Kedua, secara khusus kuliah ini berguna bagi calon ilmuwan dengan
memperkenalkan mereka dengan metode ilmu pengetahuan yang kiranya sangat
berguna bagi mereka dalam mencari ilmu pengetahuan, khususnya dalam melakukan
penelitian ilmiah. Dengan kuliah ini, diharapkan mahasiswa dibantu untuk
mengembangkan kemampuan analisis ilmiahnya dengan menggunakan metode ilmiah
tertentu. Pada tingkat pertama, mahasiswa dibantu untuk secara kritis melihat segala
sesuatu dalam hidup ini sebagai sebuah masalah, sebagai sebuah teka teki, maupun
sebagai sebuah 25 pertanyaan. Dengan ini diharapkan mahasiswa selalu peka dan
tanggap terhadap berbagai persoalan di sekitarnya.
Pada tingkat kedua, dengan melihat segala sesuatu sebagai masalah, mahasiswa
terdorong untuk berupaya mencari secara ilmiah-teoretis apa yang menjadi sebab dari
masalah tersebut, di mana letak masalahnya, dan apa yang menyebabkannya. Apa akibat
lebih lanjut dari masalah tersebut terutama kalau masalah terse but tidak ditangani
secara baik? Apa pemecahan atas masalah itu? Apa konsekuensi dari pemecahan
tersebut? Apa dampaknya bagi pihak lain atau bagi hal lain? Dan seterusnya. Dengan
demikian, diharapkan mahasiswa mampu menganalisis berbagai peristiwa dan mampu
menjelaskan atau memahami keterkaitannya dengan peristiwa lainnya. Kalau perlu,
mampu pula mengajukan solusi atau pemecahan atas masalah tersebut. Bahkan, sampai
tingkat tertentu diharapkan mahasiswa mampu meramalkan peristiwa tertentu
berdasarkan peristiwa yang sudah terjadi, atau berdasarkan langkah, tindakan atau
kebijaksanaan tertentu yang diambil sekarang.
Semua hal itu, yang dikenal sebagai kemampuan ilmiah, perlu dimiliki seorang
ilmuwan: a) mampu melihat sebuah peristiwa (fakta, data, informasi, tindakan, dan
semacamnya) sebagai sebuah masalah ilmiah; b) mampu membuat analisis atas
peristiwa tersebut dan kemudian memberi penjelasan atas peristiwa itu dalam hubungan
sebab-akibat dengan peristiwa lainnya; c) mampu mengajukan pemecahan atas
peristiwa yang menjadi masalah tersebut; d) mampu membuat prediksi atau ramal an
ten tang berbagai kemungkinan yang akan timbul berkaitan dengan peristiwa tersebut
serta solusi yang telah diajukan. Kemampuan ini perlu dilatih terus-menerus.
Manfaat ketiga lebih praktis sifatnya, yaitu untuk membantu kerja mahasiswa
tersebut kelak di kemudian hari. Manfaat ini sangat luas penerapannya. Kita ambil
beberapa contoh saja. Dengan mempelajari filsafat pengetahuan dan ilmu pengetahuan,
khususnya cara kerja ilmu pengetahuan, seseorang akan memperoleh manfaat yang
besar sekali bagi kerjanya kelak di kemudian hari sebagai polisi, ahli hukum, wartawan,
teknisi, ataupun sebagai manajer karena pekerjaan-pekerjaan ini — dan semua
pekerjaan lainnya — pada dasarnya berkaitan dengan upaya memecahkan masalah
tertentu. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan dibutuhkan demi memecahkan berbagai
persoalan yang berkaitan dengan pekerjaan masing-masing orang secara lebih rasional,
tuntas, dan memuaskan. Yang dibutuhkan dari seseorang yang profesional dalam bidang
perkerjaannya adalah, pertama-tama, kemampuan untuk melihat masalah: di mana
masalahnya, seberapa besar masalahnya, apa dampaknya, dan bagaimana mengatasinya.
Ini sangat dibutuhkan dalam semua bidang pekerjaan. Sesungguhnya, inilah yang
dipelajari dalam kaitan dengan 26 filsafat ilmu pengetahuan. Yang terutama dipelajari
dalam masing-masing ilmu adalah kemampuan teknis dalam masing-masing ilmu untuk
memecahkan persoalan dari sudut ilmu masing-masing, sedangkan filsafat ilmu
pengetahuan lebih melatih mahasiswa untuk mampu melihat masalah, mampu melihat
sebabnya, apa akibatnya, dan apa solusinya.
Keempat, salah satu aspek penting yang akan kita lihat dalam kuliah ini adala
bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya bersifat puritan-elitis, melainkan pragmatis.
Dalam pengertian, ilmu pengetahuan tidak hanya berhenti sekadar memuaskan rasa
ingin tahu manusia. Melainkan juga bermaksud membantu manusia untuk memecahkan
berbagai persoalan yang dihadapi manusia dalam hidupnya. Salah satu persoalan aktual
yang dihadapi kita dalam konteks Indonesia sekarang ini adalah problem modernisasi.
Problem modernisasi adalah bagaimana memecahkan masalah kemiskinan, kebodohan,
keterbelakangan, maupun penyakit dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Ternyata, ilmu pengetahuan dan teknologi, terlepas dari akibat negatifnya
yang pernah dialami manusia, sekurang-kurangnya hingga sekarang membantu
mengurangi penderitaan manusia dan meningkatkan kesejahteraannya, melalui apa yang
kita kenal sebagai proses modernisasi. 27

Anda mungkin juga menyukai