Anda di halaman 1dari 34

Prof. I. R.

Poedjawijatna

TAHU DAN PENGETAHUAN


Pengantar ke Ilmu dan Filsafat
Cetakan Ketujuh, Oktober 1991
Cetakan Kedelapan, November 1998

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak isi buku ini baik sebagian maupun seluruhnya dalam bentuk apa
pun tanpa izin tertulis dari Penerbit
Diterbitkan oleh PT RINEKA CIPTA, Jakarta, Anggota IKAPI
RC No. : 811/B/98
ISBN : 979-518.193.9
=========================

PENGANTAR PENERBIT
Isi dan susunan uraian dalam buku ini tidak mengalami perubahan yang prinsipal.
Namun penerbitannya yang sebelumnya dikerjakan oleh PT Bina Aksara, mulai cetakan
ketujuh ini ditangani oleh penerbit PT RINEKA CIPTA. Demikian pula dengan buku-buku
Prof. I.R. Poedjawijatna yang lainnya, yaitu:
1. Manusia dengan Alamnya
2. Etika, Filsafat Tingkah Laku
3. Logika, Filsafat Berpikir
4. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat

penerbitan kelanjutannya telah dipercayakan kepada PT Rineka Cipta. Kepada beliau


Penerbit PT Rineka Cipta mengucapkan banyak terima kasih atas kepercayaannya untuk
melanjutkan menerbitkan buku-buku karya beliau tersebut.
Kepada khalayak ramai, khususnya pembaca buku-buku Prof. I. R. Poedjawijatna,
hendaknya maklum. Mudah-mudahan buku ini akan memberikan kepuasan dan manfaat
bagi para pembaca. Terima kasih.
Jakarta, Oktober 1991
Penerbit 5

DAFTAR ISI

hlm
PENGANTAR PENERBIT --------------------------------------------------------------------- 5
TAHU ---------------------------------------------------------------------------------------------- 9
gejala tahu----------------------------------------------- ---------------------------------------- 9
PENGETAHUAN -------------------------------------------------------------------------------- 14
putusan -------------------------------------------------- ---------------------------------------- 14
dua macam pengetahuan ---------------------------------------------------------------------- 14
Kebenaran --------------------------------------------------------------------------------------- 16
kekuatan putusan ------------------------------------------------------------------------------- 17
kepastian/keyakinan -------------------------------- ---------------------------------------- 19
sangsi ------------------------------------------------- ---------------------------------------- 20
kepercayaan ---------------------------------------------------------------------------------- 20
TINGKAT PENGETAHUAN ------------------------------------------------------------------ 22
pengetahuan biasa ------------------------------------------------------------------------------ 22
ilmu ------------------------------------------------------ ---------------------------------------- 23
sifat ilmiah ----------------------------------------------------------------------------------- 24
cara-kerja ilmiah ------------------------------------ ---------------------------------------- 26
tugas penyelidik ----------------------------------------------------------------------------- 29
hipotesa dan bukti ------------------------------------------------------------------------ 31
induksi dan deduksi ---------------------------------------------------------------------- 35
hukum alam -------------------------------------- ---------------------------------------- 35
bermacam-macam ilmu ------------------------- ---------------------------------------- 38
obyek materia dan obyek forma --------------- ---------------------------------------- 40
FILSAFAT -------------------------------------------------------------------------------------- 42
pengetahuan supra-ilmiah (metaphysica filsafat) ---------------------------------------- 43
definisi filsafat --------------------------------------- ---------------------------------------- 44
sejarah dan nama filsafat -------------------------------------------------------------------- 46
nama lain -------------------------------------------------------------------------------------- 50
bagian filsafat ---------------------------------------- ---------------------------------------- 52
ontologia metaphysica generalis ------------------------------------------------------ 53
theologia naturalis (Theodicea) --------------- ---------------------------------------- 55
cosmologia ------------------------------------------------------------------------------- 56
ontologia metaphysica generalis ------------------------------------------------------ 53
theologia naturalis (Theodicea) --------------- ---------------------------------------- 54
cosmologia ------------------------------------------------------------------------------- 55
anthropologia metaphysica -------------------- ---------------------------------------- 56
ethica -------------------------------------------------------------------------------------- 57
logica --------------------------------------------- ---------------------------------------- 57
ikhtisar ------------------------------------------------------------------------------------ 60
ILMU, FILSAFAT DAN NEGARA ------------------ ---------------------------------------- 62
filsafat dan ilmu -------------------------------------------------------------------------------- 62
filsafat dan agama ------------------------------------------------------------------------------ 68
PERSOALAN PENGETAHUAN --------------------- ---------------------------------------- 74
soalnya -------------------------------------------------- ---------------------------------------- 75
jawab: kuno (Yunani) --------------------------------- ---------------------------------------- 75
abad pertengahan ---------------------------------------------------------------------- 83
dewasa ini ------------------------------------------------------------------------------ 92
INDEKS ------------------------------------------------------------------------------------------- 105
DAFTAR BUKU --------------------------------------------------------------------------------- 117
PENDAHLUAN DI BELAKANG -------------------- ---------------------------------------- 118

PENGANTAR CETAKAN KETUJUH


Dalam perjalanannya yang relatif singkat sejak diterbitkan pertama kali tahun 1984, buku
berformat mini ini telah mencapai cetakannya yang ketujuh. Secara materi tidak ada
perubahan. Tetapi mulai cetakan ketujuh dan seterusnya buku ini tidak diterbitkan oleh PT
Bina Aksara, melainkan diterbitkan oleh Penerbit PT RINEKA CIPTA. Demikianlah, agar
para baca memakluminya.
Jakarta, Desember 1991
Penulis 6
PENDAHULUAN

Setelah para pembaca kami antarkan kepada tahu dan pengetahuan ini, kami harapkan
sekarang agak tahu barang sedikit ten tang hal tahu dengan hasilnya, ialah pengetahuan :
bahwa ada gejala-gejala tahu, ada dua macam pengetahuan (cara tahu), ada pengetahuan
biasa yang bisa meningkat kepada ilmu dan filsafat. Kami harapkan para pembaca tahu
persoalan pengetahuan dengan jawab para ahli pikir.
Kalau itu semuanya diketahui para pembaca kami merasa berobatlah sudah jerih-payah
kami membuat pengantar ini. Tujuan kami memang tidak untuk memberi tahu kepada para
pembaca, melainkan hanya mengajak supaya ikut menyelidiki hal yang kami sajikan,
sekurang-kurangnya menaruh minat kepada hal itu. Tidaklah perlu mereka setuju dengan
pendapat kami yang di sana-sini kami majukan, melainkan hendaklah dengan pengantar ini
mereka tahu apa yang kami maksud untuk landasan berdialog dan mungkin menjadi dasar
untuk mencapai kebenaran.
Dalam rangka ‘mengantarkan’ ini pada akhir buku ini kami beri indeks. Ini terutama
untuk memperkenalkan beberapa istilah - belum semua - yang kerapkali dipakai dalam
pengetahuan. Di sini pun kami tidak bermaksud mendiktekan pendapat kami. Kalau di
sana-sini memberikan suatu definisi atau pembatasan, 118 tidak lainlah maksudnya
sungguh membatasi diri, dan dalam pembicaraan supaya jangan ada salah faham. Kami
yakin bahwa tidak semua ahli menerima definisi itu, akan tetapi paling sedikit para
pembaca tahu maksud kami dengan istilah yang kami pergunakan itu. Kami yakin juga,
bahwa arti istilah yang kami utarakan itu tidak terlalu tidak lazim, jadi kami dapat
mengharapkan manfaatnya pada umumnya juga.
Untuk contoh kami majukan istilah agama. Dalam hal ini banyak sekali definisi yang
dimajukan, pun dalam ilmu agama. Tetapi dengan jelas kami majukan maksud kami dalam
buku ini (halaman 52). Inilah yang kami maksud, jadi dalam pembicaraan dan keterangan
lebih lanjut tak perlu ada kesimpang-siuran. Begitu pula istilah lain.
Bagi beberapa hal kami majukan istilah Indonesia, kalau kami belum vakin bahwa
istilah itu sudah umum, kami tu lis juga istilah asingnya, biasanya dari bahasa Yunani atau
Latin diikuti istilahnya Inggris serta keterangannya lebih lanjut untuk memperjelas maksud
kami. Mudah-mudahan inipun melengkapi sifat pengantar ini.
Eiaan kata asing, pun nama orang (Yunani dan Roma), kami tulis dengan ejaan
Indonesia, di mana dapat serta tidak membingungkan.
Dalam rangka yang sama pula kami sajikan daftar buku. Tidak banyak jumlahnya,
tetapi kami pilih yang ada di Indonesia ini, yang di situ terdapat juga 119 ada daftar
bukunya, sehingga yang berminat dapat juga memilih sendiri kalau hendak memperluas
bacaannya.
Akhirnya kami mengharapkan, mudah-mudahan terutama para mahasiswa yang akan
menjadi sarjana jurusan apa pun juga, membaca pengantar ini. Di masyarakat ‘sarjana’
diartikan ahli atau orang yang berilmu, ada baiknya jika pada permulaan jalan yang menuju
ilmu itu mereka agak mengetahui hal tahu dan pengetahuan.
Pendahuluan ini kami beri temp at di belakang, supaya jangan mendapat tuduhan
Descartes memberi prasangka kepada pembaca!
Untuk cetakan kelima ini susunan tidak banyak diubah. Istilah ada yang diganti,
mudah-mudahan merupakan perbaikan.

Jakarta, 1983
Penulis
TAHU

Bahwa manusia itu tahu sesuatu, rasanya tak disangkal seseorang. Manusia tahu akan
dunia sekitarnya, akan dirinya sendiri, akan orang-orang lain, ia tahu akan yang baik dan
akan yang buruk, akan yang indah dan yang tidak indah. Akan tetapi hal yang nampaknya
amat sederhana ini sebetulnya banyak mengandung kesulitan, karena jika sekiranya orang
hendak menanyakan, bagaimana manusia itu dapat tahu, apakah sumbernya, apakah
sebenarnya tahu itu, maka kita tentu tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu. Kami
pun tidak hendak mencoba segera menjawab pertanyaan di at as itu, akan tetapi barang
sedikit hendak mengetahui hal tahu itu dengan memperhatikannya, untuk menemukan
apakah yang nampak kepada kita, jika orang dikatakan bahwa ia tahu.

Gejala tahu
a. Tidak dari permulaan adanya manusia itu sudah tahu. Pada suatu ketika ia ingin
tahu. Segera ia dapat memaparkan isi hatinya dengan bahasa, bagaimana pun
sederhananya, segera pula ia bertanya: apa ini, apa itu, apa sebabnya begini dan mengapa
demikian? Jadi ia ingin tahu. Pertanyaan itu biasanya disebabkan karena ia kagum, sebab
tidak mengerti akan hal sekitarnya, maka 9 diusahakan dengan antara lain bertanya, untuk
memuaskan keingin-tahuannya itu. Jika orang tahu, merasa terpenuhi keinginannya dan —
untuk sementara waktu — puaslah dia. Oleh karena yang mengelilingi manusia itu banyak
sekali serta beraneka ragam kekagumannya tak habis-habisnya, maka terus-meneruslah ia
bertanya kepada orang lain atau kepada diri sendiri. Ia mencoba juga menjawab sendiri
dengan mengadakan penyelidikan sendiri. Makin lanjut umurnya, kemungkinan untuk
menyelidiki sendiri ini lebih banyak, hasil tahunya lebih banyak pula, bahkan juga lebih
mendalam serta kepuasannya pun lebih besar. Makin banyak dan makin mendalam yang
diketahuinya, biasanya makin besar pula usahanya untuk tahu dan ingin tahu itu bagi
manusia hanya berakhir pada akhir kesadarannya.

b. Dalam pada itu nampak pula gejala, bahwa tahu yang memuaskan manusia itu ..
ialah tahu yang benar. Tahu yang tidak benar itu disebut keliru. Tak seorangpun cinta
kepada kekeliruan. Keliru itu sering-kali lebih jelek daripada tidak tahu. Oleh karena tahu
itu kerapkali menjadi dasar suatu tindakan, maka tahu yang keliru, kalau dijadikan dasar
tindakan, kerapkali tindakan itu pun keliru juga, malapetaka mungkin timbul. Seorang ahli
obat yang memberikan obat keliru, mungkin menimbulkan maut orang yang hendak
ditolong!
Segera harus diingat juga uisini bahwa orang mengira tahunya benar, tetapi kelirulah
sebetulnya. 10 Tetapi jika ia sadar akan kekeliruannya itu, maka segera lenyaplah
kepuasannya. Ternyata disini bahwa pemuas ingin tahu itu hanyalah kebenaran.
Walaupun tidak mudah menganalisa apakah kebenaran itu, tetapi kita semua yakin,
bahwa ada kebenaran dan bahwa kebenaran itu amat besar artinya, pun bagi kehidupan
manusia. Dibawah nanti akan kami sajikan bab tersendiri ten tang kebenaran, sekarang
cukuplah bagi kita, bahwa manusia sungguh ingin tahu yang benar.

c. Kalau manusia ingin tahu, apakah yang hendak diketahui itu, dengan kata lain boleh
ditanyakan, apakah obyek tahu itu? Seperti kami katakan di atas, tahu manusia ten tang
sesuatu itu bukanlah dari sejak lahirnya, jadi rupanya bukanlah itu suatu bekal yang
dibawanya waktu ia lahir; sebelum ia dapat tahu, ia kagum atas hal yang mengelilingi dia,
hal itu boleh dikatakan merangsang dia lalu menimbulkan keinginannya untuk tahu.
Adapun yang mengelilingi dia ialah dunia seisinya, yang kelihatan, maupun yang tidak
kelihatan, asal ada. Bahkan yang sekarang ini tidak ada, akan tetapi tokh tidak
mengandung kemustahilan dalamnya, jadi mungkin ada, itu pun ingin diketahui. Dengan
kata lain haruslah diakui, bahwa obyek tahu ialah apa saja yang ada dan yang mungkin
ada. Demi kelimpahan ada yang mengelilingi manusia serta kemungkinannya yang tak
habis-habisnya itulah, maka ingin tahu manusia itu pun hanya terbatasi oleh hidupnya,
sedangkan bagi seluruh umat manusia inginnya 11 tahu hanya habis, jika tak ada manusia
lagi.
Kami katakan di atas, bahwa manusia itu dirangsang oleh alam sekitarnya untuk tahu.
Apakah sebenarnya yang dirangsang itu? Memang seluruh manusia. Walaupun demikian
harus juga diakui, bahwa indra manusia yang terutama kena rangsang. Biasanya dianggap
ada lima indra - pancaindra -, yaitu: penglihatan, penciuman, pendengaran dan perasaan
lindah serta perasaan bad an. Perasaan ini amat kompleks, sehingga mungkin masih harus
ada lagi perasaan lain dari kedua perasaan tersebut. Lepas dari berapa jumlah indra yang
dimiliki manusia, indralah yang pertama-tama bersentuhan dengan alam. Persentuhan
dengan alam inilah yang kami sebut pengalaman. Dalam pada itu [angan kita kira, bahwa
hanya penciuman saja yang tersentuh oleh bau, hanya pendengaran saja yang tersentuh
oleh bunyi. Biasanya segenap indralah yang tersentuh, hanya ada salah satu yang terutama
terkena oleh obyeknya sehingga yang mencium, mendengar atau merasa ialah manusianya.
Dalam pada itu manusia tidak pasif, ia mengadakan reaksi. Oleh karena yang kami
bicarakan disini rangsang untuk tahu, maka reaksi dari pihak manusia ialah tahu dan ini
dicetuskan dengan putusan, misalnya “buah mangga itu asam”. Dengan demikian harus
dikatakan, bahwa pengalaman semata-mata bukanlah pengetahuan yang sebenarnya,
pengalaman itu hanya memungkinkan pengetahuan. Pengetahuan sebenarnya barulah ada,
jika manusia demi pengalamannya mengadakan putusan atas obyeknya. 12

d. Oleh karena manusia mengadakan putusan ini, maka manusia yang tahu itu, tahulah
bahwa ia tahu. Hal itu juga dapat kita ketahui dari analisa di bawah ini: manusia tahu
benar, bahwa ia tidak tahu sesuatu, maka bertanyalah ia misalnya kepada orang lain, lalu
diberi tahu; setelah itu, tahu jugalah bahwa ia tahu. Mungkin juga ia mengira, bahwa ia
tahu, tetapi pada suatu ketika ternyata, bahwa ia keliru, jadi sebetulnya belum tahulah ia, ia
bertanya atau mengadakan penyelidikan sendiri, hasilnya tahulah ia sekarang. Dulunya
tahulah ia bahwa ia keliru atau belum tahu, sekarang tahulah bahwa ia tahu.
Sebagai kesimpulan dari yang kami kemukakan ten tang tahu, nampaklah empat
gejalanya:
a. manusia ingin tahu
b. manusia ingin tahu yang benar
c. obyek tahu ialah yang ada dan yang mungkin ada
d. manusia tahu, bahwa ia tahu. 13

PENGETAHUAN
PUTUSAN. Orang yang tahu disebut mempunyai pengetahuan. Jadi pengetahuan tidak
lain dari hasil tahu. Kalau orang misalnya tahu, bahwa pohon itu rendah, maka ia
mengakui hal ‘rendah’ itu terhadap pohon itu. la mengakui sesuatu terhadap sesuatu.
Memang itu tahu, yang menghasilkan pengetahuan. Pengakuan sesuatu terhadap sesuatu
itu disebut ‘putusan’, sehingga dalam dasarnya putusan dan pengetahuan itu sama. Maka
daripada itu orang yang tidak tahu juga tidak dapat mengadakan putusan. Boleh dikatakan
juga, bahwa putusan itu cetusan daripada pengetahuan. Oleh karena dalam pengetahuan
ada pengakuan sesuatu terhadap sesuatu, maka adalah dua sesuatu dalam putusan, sehingga
putusan selalu ada bagiannya, yaitu yang menjadi dasar pengakuan dan yang diakui
terhadap dasar itu. Dasar pengakuan itu disebut subyek dan yang diakui terhadap subyek
itu namanya predikat. Namun jangan dikira, bahwa putusan harus dikatakan (dicetuskan
dengan kata). Suatu putusan mungkin hanya ada terdapat pada hati manusia saja.

Dua macam pengetahuan


Kami majukan contoh putusan: “gunung itu tinggi”. Di sini adalah pengakuan hal
‘tinggi’ terhadap ‘gunung’. 14 Putusan itu berlaku hanya untuk gunung tertentu yang satu
itu saja, karena pengetahuannya pun hanya tentang gunung yang satu itu saja. Begitu pula
putusan ‘segitiga itu lancip’ hanya berlaku bagi segitiga yang satu itu juga. Lain halnya
dengan putusan ‘segi tiga itu jumlah sudutnya adalah 180o’. Berlaku untuk segitiga
manakah putusan ini? Bukan untuk segitiga tertentu, melainkan untuk seluruh macam
segitiga dan dengan sendirinya untuk tiap-tiap segitiga. Jadi oleh juga dikatakan, bahwa
putusan itu berlaku bagi segitiga umum, tidak dipedulikan sifat-sifatnya tertentu yang lain,
entah lancip, entah tumpul atau siku-siku, pun tidak dihiraukan bahan dan tempatnya.
Ternyatalah beda sifat putusan dua di atas itu tentang segitiga. Putusan yang berbunyi:
‘segitiga itu tumpul’ adalah khusus, sedangkan putusan yang dirumuskan ‘segitiga itu
jumlah sudutnya 180°’ itu berlaku umum. Oleh karena dua macam putusan itu
mengutarakan pengetahuan, maka kami katakan pula bahwa demi berlakunya putusannya
adalah dua macam pengetahuan yaitu: pengetahuan khusus yang mengenai yang satu saja,
dan disamping itu adalah pengetahuan umum, yang berlaku bagi seluruh macam dan
masing-masing dalam macamnya. Baik pengetahuan umum, maupun pengetahuan khusus,
keduanya menjadi milik manusia berlandaskan pengalaman, entah pengalamannya sendiri
entah pengalaman orang lain.
Harus dicatat, bahwa pengetahuan umum ini memang agak aneh, sebab yang
bersentuhan dengan 15 manusia itu ialah yang khusus, tidaklah manusia yang berindra itu
bertemu dengan yang umum. Dalam prakteknya tak pernah manusia bertemu dengan segi-
tiga umum. Walaupun demikian pengetahuan umum ini memang ada, itu sungguh milik
manusia dan dipergunakannya. Bagaimana manusia dapat memiliki pengetahuan umum ini
bukanlah suatu soal yang sekarang kami beri jawab yang mendalam, hanya harus
dikemukakan, bahwa manusia memiliki pengetahuan umum ini juga melalui indranya, jadi
melalui persentuhan dengan yang khusus, satu per satu itu.
Kebenaran. Di atas telah dikatakan, bahwa tahu hendak mencakup obyeknya, setidak-
tidaknya hendak mengetahui dasar pengetahuannya itu. Karena ia hendak mencakup
obyeknya, berusahalah ia menyesuaikan pengetahuan itu dengan obyeknya. Tidaklah hal
(obyek) yang berhadapan dengan orang itu hanya merupakan sasaran pandangan, hal itu
pun merupakan alat pengontrol juga bagi pengetahuannya tentang obyek itu. Demikian
orang mungkin tahu, bahwa pengetahuannya tidak sesuai dengan obyeknya, maka salahlah
pengetahuannya, kelirulah orangnya. Kalau pengetahuan itu ternyata sesuai dengan
obyeknya, maka puaslah dia serta dikatakan bahwa pengetahuannya itu benar atau ia
mencapai kebenaran. Persesuaian antara pengetahuan dan obyeknya itulah yang disebut
kebenaran.
Oleh karena obyek itu amat banyak aspeknya, maka sukar sekali untuk mencakup
seluruh obyek, jadi 16 sukar juga mencapai seluruh kebenaran. Yang amat penting:
setidak-tidaknya pengetahuan itu harus sesuai dengan aspek obyek yang diketahui. Jika
orang tidak tahu akan salah satu aspek dari obyeknya, bukanlah ia keliru, hanya ia belum
lengkap pengetahuannya. Kekeliruan barulah ada, jika orang mengira tahu tentang suatu
aspek, tetapi aspek itu tidak ada pada obyeknya, sehingga pengetahuannya tentang aspek
itu tidak sesuai dengan obyeknya. Pengetahuan yang benar lebih jelas sekarang:
pengetahuan yang sesuai dengan obyeknya. Kebenaran ialah: persesuaian antara tahu
dengan obyeknya. Kebenaran ini ada yang menyebut pula obyektivitas, (objektivity), jadi
pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Kekuatan putusan.
Putusan tidak sama kuatnya. Kalau putusan itu pasti benar, maka ada kepastian. Inilah
yang amat kuat. Dalam hal kebenaran adalah obyek yang diketahui. Obyek ini suatu hal
yang berhadapan dengan orang yang mengetahuinya. Hal itu diluar kesadaran manusia,
artinya bukanlah hal yang menjadi obyek itu bagian atau buatan kesadaran manusia. Orang
yang hendak tahu memang hams sadar, jadi kesadaran itu memang harus ada, bahkan
mutlak bagi pengetahuan, karena yang tak sadar tentu tak tahu. Benarlah ungkapan
Indonesia, tak sadar akan dirinya sama artinya dengan tak tahu akan dirinya.
Tentu saja kesadaran itu dapat dijadikan obyek tetapi ini lalu dianggap ada diluar
subyek yang 17 berkesadaran itu, orang yang sadar itu mungkin menyelidiki kesadarannya
sendiri, yang ada! Pada umumnya obyek yang ada diluar kesadaran ini hanya
memungkinkan pengetahuan manusia, karena obyek itu memberi perangsang kepada
manusia untuk tahu. Hasilnya (pengetahuan) dicetuskan berupa putusan, artinya manusia
mengakui hubungan sesuatu terhadap sesuatu; dengan kata lain: manusia itu mengatakan
sesuatu terhadap obyeknya itu. Rangsang semata bukanlah pengetahuan yang sebenarnya,
baru ada pengetahuan (benar atau salah), jika ada putusan. Apa putusan ini diucapkan
dengan kata atau dinyatakan dengan tanda apa pun juga, itu semuanya bukan soal
sekarang. Yang penting sekarang ini: dalam pengetahuan itu diakui hubungan sesuatu
terhadap sesuatu, misalnya ‘itu (yang saya hadapi itu) air’. Jika obyek itu benar air (H20),
maka benarlah pengetahuan itu, Jika sebaliknya obyek itu bukan air, maka salahlah
pengetahuan itu. Putusan itu mungkin juga: ‘air itu tawar’; jika - setelah diadakan
penyelidikan -- ternyata air itu tidak tawar, maka pengetahuan terakhir ini tidak benar.
Kembalilah kami kepada pernyataan di atas: di mana ada persesuaian antara
pengetahuan dan obyeknya, disitu ada kebenaran. Kebenaran yang demikian itu kami
sebut: kebenaran obyektif atau logis, karena menyangkut persesuaian obyek dengan
pengetahuan.
Halnya sendiri mungkin juga disebut suatu kebenaran, sebab kami katakan di atas:
kalau itu benar air. Tetapi 18 itu bukan kebenaran logis. Hal (obyek) itu memungkinkan
adanya kebenaran logis, ia dapat diketahui karena adanya. Itulah sebabnya hal itu disebut
kebenaran ontologis.*
Dalam ilmu yang diutamakan ialah kebenaran logis dan itu memang tujuannya, Tidak
mudah mencapai kebenaran ini karena ternyata banyak kekeliruan.
Kepastian. Orang harus selalu waspada dan rendah Keyakinan. hati tidak boleh cepat-
cepat mengatakan bahwa sudah mencapai kebenaran. Jika pada suatu ketika orang
mempunyai alasan cukup, bahwa ia mengetahui benar tentang obyeknya, artinya: ia
berkeyakinan ada cukup alasan, bahwa pengetahuannya sesuai dengan obyeknya, maka ia
mempunyai kepastian. Dalam kepastian itu ia bersikap tidak sangsi, bahwa ia tahu akan
dasar pengetahuannya, mengapa demikian dan apa sebabnya harus demikian. Mencapai
kepastian yang mengandung kebenaran amat memuaskan dan ia disebut berkeyakinan.
Apa keyakinan itu selalu mengandung kebenaran (legis)? Menurut hemat kami tidak.
Keyakinan itu menunjuk sikap manusia yang tahu, ia yakin, bahwa ada cukup alasan,
bahwa pengetahuannya itu benar, tetapi bukanlah keyakinan itu jaminan, bahwa
pengetahuan itu sesuai dengan obyeknya. Sebagai contoh boleh dikemukakan keyakinan
orang tentang susunan 19 dunia. Lama sekali masyarakat, pun masyarakat ilmiah,
berkeyakinan (mempunyai keyakinan), bahwa bumi yang kita diami inilah yang menjadi
pusat dunia, bahwa matahari dan bintang semuanya mengedari bumi. Ternyata pendapat
itu kelirulah!*
Sangsi.
Ada kemungkinan orang merasa tahu barang sedikit tentang sesuatu, tetapi dirasai juga
tak ada cukup alasan tcntang kebenarannya, ada alasan yali!~ menyokong, akan tetapi ada
juga alasan lain bagi ketidak-benarannya. Dalam pada itu manusia, kalau mau jujur, tidak
mau/dapat mengadakan putusan, paling-paling hanya dapat berkata, saya berpendapat
demikian, tetapi sebetulnya masih sangsi. Kesangsian ini menunjukkan sikap manusia
juga. Kesangsian ini dalam bahasa kita harus dibedakan dengan ragu-ragu. Orang ragu-
ragu artinya orang yang tidak berani mengadakan suatu putusan untuk bertindak,
sedangkan sangsi adalah sikap mental terhadap suatu kebenaran, atau lebih tepat terhadap
suatu pengetahuan yang belum dapat diyakini kebenarannya. sangsi mendorong manusia
untuk mengadakan penyelidikan lebih lanjut. Keraguan melemahkan manusia, sangsi
mendorong untuk menyelidiki.
Kepercayaan. Keyakinan adalah sikap mental atas dasar kepastian bahwa ada
kebenaran, 20 tetapi kebenaran yang diselidiki sendiri. Ada pula kemungkinan bahwa
orang mempunyai keyakinan akan kebenaran, bukan karena penyelidikannya sendiri,
melainkan atas pemberitahuan pihak lain. Ahli ilmu falak mengatakan misalnya kepala
saya, bahwa pada tanggal tertentu akan ada gerhana bulan. Saya yakin, bahwa
pemberitahuan itu benar. Jadi setelah diberi tahu itu, saya tahu akan suatu kebenaran.
Pengetahuan yang tercapai demikian itu disebut kepercayaan. Alasannya keyakinan juga,
sebab percaya kepada ahli ilmu falak itu, karena ia tahu benar. Alasan untuk sangsi tidak
ada, sebab apakah gerangan ahli falak itu untuk berdusta terhadap say a tentang gerhana
itu? Jadi saya mempunyai keyakinan karena percaya. Kepastian yang terdapat karena
percaya ini tidak perlu kurang pastinya dari kepastian yang diperoleh sendiri. Dalam
agama kepercayaan ini merupakan suatu unsur yang amat penting dan dalam hal ini amat
*
Kata logis diambil dari ‘logy’ (logie) kemudian berarti ilmu (pengetahuan). Ontologis dari kata on dan logi,
artinya ilmu tentang ada.
**
Jika orang mengutarakan dengan kata atau tanda lain apa yang diyakini kebenarannya, maka adalah kebenaran
moral.
masuk akal alasannya: kebenaran yang dipercayai oleh kaum beragama ini diyakini sebab
diberitahukan oleh yang tak dapat berdusta (Allah sendiri) atau paling sedikit oleh seorang,
yang menerima tugas memberitahukan kebenaran ini kepada umat manusia, ia patut
dipercayai, ia mempunyai wibawa untuk dipercayai.
Percaya ialah menerima kebenaran demi kewibawaan. 21

TINGKATAN PENGETAHUAN
Pengetahuan biasa.
Memang banyak penggunaan pengetahuan manusia itu untuk hidupnya sehari-hari.
Kalau saya tahu, bahwa pintu rumah saya sempit, sedang meja yang baru saja saya beli itu
lebih lebar dari lubang pintu itu, maka tentulah tindakan yang saya lakukan dalam
hubungan ini sesuai dengan pengetahuan tersebut. Kalau saya tahu, bahwa air, jika
dipanasi mendidih, maka pengetahuan itu saya pergunakan jika hendak memasak.
Demikianlah pengetahuan - terutama pengetahuan umum .- amat bermanfaat bagi hidup
manusia untuk keperluannya sehari-hari. Pengetahuan itu dipergunakan dalam rumah-
tangga, dalam pertanian, dalam perikanan serta lainnya. Pandai emas dan pandai besi,
tukang kayu dan anak sekolahpun mempergunakan pengetahuannya. Orang tidak tahu
benar akan seluk-beluk pengetahuannya itu. Misalnya orang tidak tahu benar mengapa air
itu mendidih kalau dipanasi, dan juga tidak tahu syarat-syarat mana harus ada, supaya
mendidih kecuali api. Nelayan biasanya juga tidak tahu, mengapa kelompok bintang
tertentu dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam pelayarannya, ia hanya tahu, bahwa
kelompok itu pada waktu tertentu kelihatan bahkan harus kelihatan dan selalu 22 menunjuk
arah tertentu. Manusia berani bertindak atas dasar pengetahuannya itu, tidak hanya karena
berguna saja secara kebetulan, melainkan demikian mutlaknya, hingga tak ragu-ragu lagi.
Pengetahuan yang dipergunakan orang, terutama untuk hidupnya sehari-hari tanpa
mengetahui seluk-beluk yang sedalam-dalam dan seluas-luasnya — tidak mengetahui
sebabnya demikian dan apa sebabnya harus demikian—, kami namai pengetahuan biasa.
Ilmu.
Disamping orang biasa yang terutama menaruh minat pada guna pengetahuannya bagi
hidup sehari-hari, adalah orang yang ingin tahu dan berusaha pula memuaskan
keinginannya itu lebih mendalam: ia ingin tahu akan hal yang dihadapinya dalam
keseluruhannya, tidak hanya memperhatikan gunanya saja, bahkan sekiranya (nampaknya)
tidak berguna masih diselidiki juga. Untuk mengambil contoh di atas misalnya: tidak puas
ia tahu akan sifat air, yang kalau dipanasi mendidih itu, melainkan diselidikinya
bagaimanakah air itu, unsur-dasarkah itu, atau paduan dari unsur-unsur, dan kalau
demikian apakah yang merupakan unsur air itu. Jika dipanasi memang mendidih, apakah
syaratnya yang sebenarnya, berapakah tinggi suhu yang harus diadakan serta syarat apakah
tinggi suhu yang harus diadakan serta syarat apalagi yang mendidihkan air itu pada
ketinggian suhu tersebut? Demikian seterusnya seperti kita ketahui dari penyelidikan yang
kita sebut ilmu alam: boleh
dikatakan bahwa obyek (air) itu diselidiki sepenuhnya 23 atau dalam keseluruhannya.
Dalam ilmu ukur misalnya, orang tidak cukup kalau hanya tahu dalil Pitagoras, ia harus
tahu apa sebabnya demikian dan tahu juga mengapa harus demikian. Lepas dari gunanya
bagi diri sendiri sejarah membuktikan, bahwa ada kelompok manusia yang berusaha sekuat
tenaga untuk mengetahui sebab yang mendalam atas obyeknya.
Pengetahuan ini lainlah dari pengetahuan yang kami sebut pengetahuan biasa; untuk
membedakan dari pengetahuan biasa itu, pengetahuan yang terakhir ini kami sebut ilmu.
Ilmu tidaklah amat menghiraukan gunanya, bolehlah ia dikatakan hendak tahu semata-
mata, Kalau pengetahuan yang disebut ilmu itu menghasilkan guna bagi yang tahu itu atau
bagi umat manusia pada umumnya, syukurlah, tetapi tujuannya pertama ialah tahu yang
mendalam, sedapat mungkin tahu benar, apa sebabnya demikian dan mengapa harus
demikian.
Sifat ilmiah.
a. Oleh karena ilmu itu dalam dasarnya memang sama dengan pengetahuan, maka ada
obyeknya pula. Jadi jika mau benar maka ilmu itu pun harus sesuai dengan obyeknya itu.
Mungkin tidak sesuai dengan seluruh aspek obyeknya, tetapi pengetahuannya harus sesuai
dengan aspek yang diketahui. Bukan lagi gunanya yang dipentingkan, melainkan
kebenarannya. Tujuan ilmu yang utama ialah untuk mencapai kebenaran. Seluruh
tenaganya harus diarahkan ke situ. 24

Itulah sebenarnya maka juga dikatakan, bahwa ilmu berobyektivitas. Itulah sifat ilmiah
yang pertama.
b. Persesuaian antara pengetahuan dengan obyeknya itu (kebenaran) mungkin di sana-
sini tercapai secara kebetulan, tetapi biasanya tidaklah demikian. Harus dicari jalan tertentu
untuk mencapai kebenaran itu. Risiko akan menyeleweng dari kebenaran haruslah
ditiadakan atau paling sedikit dibuat sekecil mungkin. Risiko itu memang selalu ada,
daripada itu haruslah orang selalu waspada dan dipikirkan cara tertentu dan yang baik
untuk mencapai kebenaran itu. Cara untuk mencari kebenaran dalam ilmu ini disebut
metodos, dari kata Junani ‘hodos’: cara, jalan. Memang sifat ilmu yang kedua: ilmu harus
bermetodos.*
c. Kebenaran yang hendak dicapai oleh ilmu itu, kalau nanti sudah tercapai, merupakan
putusan, yang dirumuskan secara tertentu pula. Putusan yang mengutarakan pengetahuan
tentang yang satu per satu, jadi yang khusus, biasanya bukanlah dicita-citakan ilmu. Orang
belumlah disebut ilmiah jika ia tahu yang khusus saja, walaupun jumlahnya banyak.
Belumlah ia mempunyai ilmu jika tahu bahwa tetangganya satu itu kebetulan sakit malaria,
atau jika ia tahu, bahwa hari proklamasi Republik Indonesia itu adalah 17 Agustus 1945.
Mencari yang umumlah ilmu itu! Ilmu alam tidak puas, jika tahu, bahwa besi tertentu 25
mengembang, jika dipanasi, melainkan hendak mengetahui bagaimana tabiat besi pada
umumnya, jika dipanasi, bahkan benda (badan) pada umumnya jika kena panas.
Pengetahuan yang mengenai yang umum inilah, — demi singkatnya kami sebut
pengetahuan umum —, yang dicari oleh ilmu. Sebagai sifat ketiga boleh kami kemukakan:
ilmu sedapat mungkin haruslah universal.
c. Kebenaran tentang suatu obyek dalam keseluruhannya yang telah dicapai dengan
mempergunakan metode serta dirumuskan secara baik dan jitu lagi pula merupakan
pengetahuan umum itu, justru oleh karena mengenai suatu obyek, dapat dikumpulkan dan
disusun sehingga semuanya merupakan keseluruhan. Jika keseluruhan ini tercapai, orang
akan lebih puas, karena pengetahuannya tentang obyek itu menyeluruh clan dengan
demikian keinginannya untuk mencakup seluruh obyek serta dengan aspek-aspeknya dan
hubungan aspek itu satu sama lain dapat terpenuhi. Susunan dari hal yang ada
hubungannya satu sama lain dan merupakan keseluruhan ini kami sebut sistem. Inilah
sifat ilmiah yang keempat: ilmu haruslah bersistem.
Dengan demikian jika pengetahuan hendak disebut ilmu, maka haruslah:
berobyektivitas, bermetodos, universal dan bersistem.
Cara-kerja ilmiah.
Seorang filsuf Prancis, Rene Descartes (1596 - 1649) sering disebut bapak ilmu
modern. Disebut 26 demikian, karena dalam usahanya untuk mencapai kebenaran ia
mencoba mempergunakan metodos yang lain dari yang sudah-sudah. la berpendapat,
bahwa ilmu — yang dimaksud terutama filsafat — dalam jalan pikirannya mencapai
kebenaran amat banyak
bersandarkan axioma dan kebenaran yang sudah dianggap tak dapat diganggu-gugat lagi,
Kebenaran itu kerapkali berasal dari agama. Dalam istilah agama kebenaran yang demikian
itu disebut dogma.
Menurut Descartes ini suatu permulaan yang keliru.
Menurut pendapatnya, barang siapa hendak menyelidiki sesuatu, haruslah melepaskan
segala prasangka terhadap yang hendak diketahui itu, ia harus bersih, sehingga tak ada
yang akan mempengaruhi hasil penyelidikannya, kecuali penyelidikannya itu sendiri.
Descartes merumuskan pedoman penyelidikan supaya orang jangan tersesat dalam
usahanya mencapai kebenaran sebagai berikut:
**
Ilmu yang mengutarakan pengetahuan tentang metodos bagi bermacam-macam pengetahuan i1miah disebut
metodologi.
Pertama : janganlah sekali-kali menerima sesuatu sebagai kebenaran, jika tidak
ternyata kebenarannya dengan terang-benderang: dengan sungguh-
sungguh haruslah kita membuang segala prasangka, dan janganlah
campurkan apapun juga yang tak nampak sejelas-jelasnya kepada kita,
hingga tak ada dasar sedikitpun juga untuk sangsi;
Kedua : bagilah segala dan tiap kesulitan sesempurna-sempurnanya dan carilah
jawaban-nya secukupnya; 27
Ketiga : aturlah pikiran dan pengetahuan kita demikian rupa, sehingga kita mulai
dari yang paling mudah dan sederhana; kemudian meningkat dari sedikit,
setapak demi setapak untuk mencapai pengetahuan yang lebih sukar dan
lebih ruwet.
Keempat : buatlah pengumpulan fakta sebanyak-banyaknya dan selengkap-
Iengkapnya dan seumum-umumnya hingga menyeluruh, sampai kita tak
khawatir kalau ada yang kelewatan.*

Cara kerja yang dikemukakan ahli pikir Prancis ini memang lama sekali menjadi
pedoman bagi para cendikiawan sesudahnya dan menghasilkan ilmu yang tidak sedikit
serta boleh dikatakan banyak juga yang mencapai kebenaran, terutama dalam ilmu pasti
dan ilmu alam.
Tetapi lambat laun, setelah pengetahuan manusia tentang alam dan isinya lebih
mendalam serta pula macam ilmu terus meningkat juga, maka ternyata pedoman itu
tidaklah dapat ditaati seluruhnya. Misalnya saja apa yang tercantum pada pedoman
pertama, bahwa orang, kalau hendak menyelidiki sesuatu, hendaklah membuang semua
prasangka. Amat sulit meniadakan segala pengaruh pengetahuan yang ada pada 28 kita!
Kita semuanya demi pendidikan, adat-istiadat, agama, pendeknya seluruh lingkungan kita
mempunyai pendirian, kebiasaan, sikap hid up, semuanya semacam prasangka yang
disadari atau tidak mempengaruhi tindakan kita, pun tindakan ilmiah. Justru oleh karena
hal semuanya atau sebagian dari prasangka itu tidak kita sadari, maka kita sebetulnya juga
tak mungkin membuang semua prasangka. Memang harus diakui dan ditaati pedoman
Descartes yang pertama itu dalam arti: kita tak boleh mendasarkan penyelidikan ilmiah kita
atas suatu prasangka yang kita sadari, jadi sudah menentukan arah jalan penyelidikan kita.
Kita harus selalu terbuka akan menerima kebenaran yang akan muncul demi kepentingan
kita sendiri, tujuan penyelidikan ialah kebenaran, lain tidak.
Demi keyakinan ahli ilmu bahwa mencari kebenaran ini tidak mudah, maka dengan
tekun dicarilah metodos untuk tiap-tiap ilmu. Tentu metodos ini berlain an tetapi dalam
garis dasarnya ada samanya dan untuk keperluan kita ini kami majukan yang berlaku bagi
kebanyakan ilmu.
Tugas penyelidik.
Tugas pertama yang harus dilakukan penyelidik ialah mengumpulkan sebanyak
mungkin fakta. Yang disebut fakta ialah yang nampak kepada kita, jadi dialami, ada yang
menyebut gejala, ada yang menyebut fenomena, ada pula yang menyebut kejadian
pengalaman (facts of experiences atau sense data). 29
Dalam hidup sehari-hari semacam itu juga kita lakukan. Jika kita hendak mengetahui
penyakit seorang, maka kita lihat panas-badannya, denyut jantungnya, kalau ada alat dan
pengetahuan kita lebih banyak, mungkin kita lihat darahnya: pendeknya gejala sebanyak
mungkin kit a kumpulkan, untuk dapat mengambil kesimpulan penyakit apakah yang
diderita orang itu.
Dalam ilmu tugas pertama ini sama saja, hanya haruslah diikuti yang kami sebut tugas
kedua, yaitu penyelidik ilmiah itu harus dapat mengutarakan dengan tepat apa yang
dialami itu. Pengutaraan secara tepat, cukup panjang tetapi tidak amat terurai, sebaliknya
cukup jelas kalau perlu bagi orang lain yang tidak langsung mengalaminya sendiri, kami
sebut deskripsi. Deskripsi ini perlu, supaya penyelidik jangan lupa akan pengalaman-
pengalamannya itu dan supaya pengalaman itu dapat dibandingkan dengan pengalaman
penyelidik lain, sehingga dengan demikian juga agak mudah diadakan pemeriksaan
(kontrol).
**
Termuat dalam buku Descartes: Discours de la methode (1637), terkutip pada buku G. Th. W. Patrick,
Introduction to philosophy, London 1958, pg. 54.
Kalau ada banyak fakta yang sudah dikumpulkan, semuanya itu haruslah dipisah-
pisahkan, mana yang sama dan mana yang berbeda, mana yang hanya bersamaan saja, Ini
kami sebut pemilihan, klasifikasi. Pemilihan atau klasifikasi ini memungkinkan
mengetahui syarat-syaratnya mengapa ada gejala itu.
Oleh karena tiap gejala atau fakta itu tidak terjadi dari sendirinya, demi klasifikasi ini
orang lebih mudah mengetahui apa gejala yang sama atau bersamaan itu 30 disebabkan
oleh sebab yang sama pula, bahkan ada kemungkinan bahwa beberapa gejala yang
berlainan ada mempunyai sebab yang sama. Mencari sebab musabab ini yang disebut
menganalisa fakta.
Setelah mengadakan analisa secara mendalam, mungkinlah orang lalu mengadakan
kesimpulan yang berlaku umum dan kesimpulan ini haruslah dirumuskan dengan kata yang
tepat dan cermat. Ada kemungkinan dirumuskan dengan tanda lain seperti huruf atau
angka. Rumus haruslah ada. Kesimpulan umum ini merupakan hukum.
Dengan pendek tugas ilmiah yang harus dilakukan orang untuk mencari kebenaran
terdiri dari:
a. pengumpulan fakta
b. deskripsi fakta
c. pemilihan atau klasifikasi
d. analisa
e. pengambilan kesimpulan dan perumusannya.
Hipotesa. Bukti.
Jika tugas di at as telah diadakan sebaik baiknya, tentulah tercapai kebenaran?
Jawab: belum tentu. Pun penyelidik demi kerendahan hati ilmiah haruslah tidak segera
mengatakan, bahwa ia mencapai kebenaran. Kesimpulannya itu merupakan yang disebut
hipotesa atau teori.
Kalau penyelidikan ilmiah yang dilakukan ini karena adanya suatu problema
(pertanyaan ilmiah), maka kesimpulan itu merupakan hipotesa ilmiah: mengutarakan
jawab sementara terhadap problema tadi. 31
Pendapat yang merupakan hipotesa itu tidak semuanya tercapai manusia dengan cara
kerja seperti tersebut di atas, mungkin juga datangnya secara kilat yang dengan terang-
benderang, gemerlap memancar. Konon kabarnya Archimedes menemukan hukumnya
yang masyhur itu waktu ia berenang, sedangkan Newton menemukan hukum jatuh bebas
dengan melihat sekali saja buah apel yang jatuh. Cepat tidaknya orang sampai kepada
kesimpulan ini memang tergantung daripada kecerdasan penyelidik. Biasanya memang
memerlukan penyelidikan yang cermat dan teliti. Kalau hipotesa mau benar, maka semua
gejala yang timbul harus tidak bertentangan dengan hipotesa tersebut, malahan kalau dapat
ditimbulkan gejala (menimbulkan dengan sengaja suatu gejala untuk membenarkan
hipotesa disebut mengadakan percobaan), gejala inipun tidak boleh bertentangan pula
dengan hipotesanya. Hipotesa atau teori supaya dapat diterima sebagai kebenaran haruslah
mempunyai cukup tanda kebenarannya. Tanda kebenaran inilah yang disebut bukti.
Untuk menyatakan bagaimana nasib hipotesa dalam dunia ilmiah, dikemukakan
sebagai contoh oleh Sir James Jeans dalam bukunya The New Background of Science
dalam bab “the Methods of Science” per-kembangan teori tentang jalan badan astronomi;
hal itu kami sadur seperti di bawah ini:
Matahari kelihatannya timbul di sebelah timur dan tenggelam di sebelah barat.
Demikian pula 32 bintang-bintang di langit. Bulan dap yang disebut orang planit demikian
juga, akan tetapi [alannya agak berlainan. Bagaimanakah keterangan semuanya itu?
Jaman dulu — sekarang pun di beberapa daerah — adalah dongeng atau ceritera
menerangkan hal ini dan ini tidak memuaskan manusia. Kemudian mulailah orang Yunani
berusaha menerangkan tanpa hasil yang memuaskan. Baru tahun 150 M seorang bernama
Ptolomeus dari Iskandaria mengajukan keterangannya. la mengemukakan suatu hipotesa
atau teori jalan dan peredaran bintang. Menurut dia bumi itu tinggal diam dan merupakan
pusat keseluruhan alam, sedangkan matahari, bintang dan bulan mengedari bumi itu
dengan jangka waktu yang berbeda dan agak ruwet.
Teori dalam sistem Ptolomeus ini agaknya memuaskan sebagai keterangan gejala alam
serta berlaku sampai abad pertengahan. Pengetahuan astronomi makin berkembang dan
pada abad ke-16 seorang ahli astronomi bernama Copernicus merasa tak puas akan
keterangan Ptolomeus itu. la mengajukan teori lain; bukan bumi yang menjadi pusat,
melainkan mataharilah yang menjadi pusat, sedangkan bumi, bulan dan planit lainnya
mengedari matahari serta jalannya merupakan lingkaran. Hipotesa baru ini lebih baik
menerangkan gejala alam, akan tetapi belum sempurna. Kepler menyelidiki jalan planit
Mars dan mengganti lingkaran dengan elips, dan ternyata teori baru ini lebih baik
menerangkan fakta, tetapi masih ada gejala yang belum dapat diterangkan dengan hipotesa
itu. 33 Kemudian datanglah Newton dengan hukumnya gravitasi yaitu gejala tarik-menarik
antara benda alam. Teori ini amat memuaskan dan dapat menerangkan jalan benda yang
jatuh pada umumnya serta juga jalan bin tang dan plan it. Tetapi dengan perkembangan
alat peneropong langit sekarang ini ternyata, bahwa bintang Mercurius menunjukkan jalan
yang tidak sesuai dengan teori Newton. Maka haruslah ini dicarikan keterangannya dan
teori Einstein yang dikenal sebagai teori relativitas mungkin menerangkan gejala ini secara
teori. Kalau teori ini benar maka nanti jika ada gerhana matahari sempurna, akan mudah
terbuktikan kebenaran teori Einstein. Sarjana astronomi menunggu-nunggu adanya gerhana
total dan ... ternyata keterangan Einstein sesuai dengan gejala.
Apa yang diutarakan di atas tentang astronomi itu boleh dikatakan berlaku pula bagi
ilmu lain dalam usaha manusia mencapai kebenaran. Usaha itu adalah merupakan
perkembangan teori, perjalanan dari hipotesa ke hipotesa. Dengan kata lain hipotesa selalu
harus dibuktikan dengan fenomena, mungkin lalu menimbulkan hipotesa lain yang harus
dibuktikan pula.
Yang membenarkan hipotesa sebetulnya ialah bukti-bukti yang merupakan fakta itu.
Dalam praktek yang menerima kebenaran hipotesa ialah khalayak ilmiah demi bukti-
buktinya.
Hal yang demikian itu memperingatkan kepada sarjana penyelidik, bahwa ia harus
mempunyai sikap kritis, artinya selalulah ia mencari bukti yang meyakinkan 34 bagi
teorinya sendiri maupun teori orang lain. Dalam pada itu haruslah ia teliti, jangan gegabah
menganggap buktinya sudah memadai, sedangkan ada faktor atau aspek yang masih belum
masuk dalam pandangannya. la pun harus jujur dan rendah hati, berani mengakui
kesalahannya atau kekeliruannya dan terus berusaha mencapai kebenaran. Dengan cara
kerja yang demikian itu dapat diharapkan hasilnya mempunyai sifat ilmiah:
berobyektivitas, bermetodos, universil dan bersistem.
Induksi; deduksi.
Seperti telah kami katakan lebih dahulu serta ternyata pula pada contoh di atas ini
tentang pembuktian hipotesa: bukti dalam ilmu itu diambil (kebanyakan) dari pengalaman.
Bukti yang diambil dari hasil pengalaman itu disebut bukti a posteriori, (post, Latin
artinya sesudah, dalam hal ini maksudnya: sesudah ada pengalaman). Putusan yang
diambil orang sebagai konklusi bersifat umum sedangkan putusan yang diadakan setelah
tiap-tiap kali mempunyai pengalaman itu adalah khusus. Jalan pikiran sampai keputusan
umum dari putusan yang sifatnya khusus itu disebut induksi. Lawan induksi adalah
deduksi, yaitu jalan pikiran kepada yang khusus dari yang umum. Bukti itu disebut bukti a
priori. Walaupun biasanya dalam ilmu yang kerapkali terpakai induksi, tetapi deduksi juga
tidak asing dalam pembuktian. Hukum gravitasi itu bersifat umum, jadi bintang tertentu
misalnya haruslah mengikuti hukum itu, ini bersifat khusus. Jalan pikiran deduksi 35 ini
terutama dipergunakan ilmu dalam percobaan, dan itupun merupakan pembuktian teori
atau hipotesa: maka jalan pikiran itu dirumuskan demikian: jika hukum (umum) ini benar,
maka gejala yang ditimbulkan haruslah demikian dan demikian. Adapun hukum yang
umum ini terdapat dari yang khusus, jadi melewati fakta.
Hukum alam.
Cara pembuktian yang disebut induksi itu tentunya agak mengherankan, karena orang
sebenarnya hanya mempunyai pengalaman yang khusus dan mengadakan putusan yang
bersifat khusus pula, mungkin banyak atau sedikit, lalu orang itu meloncat kepada putusan
umum. Dari beberapa gejala alam, bagaimana pun banyaknya gejala itu, tentulah belum
semua gejala dialami, orang lalu berani mengatakan bahwa itulah hukum alam, maksudnya
suatu keharusan karena tertentukan oleh alam itu sendiri. Ini hanya seakan-akan demikian
saja, karena ilmu juga tidak bermaksud mengatakan, bahwa adalah kekuasaan dari luar
yang memberi aturan yang harus ditaati oleh benda-alam, sehingga jika sekiranya benda-
alam itu melanggar aturan itu, itu tidak hanya menyalahi hukum, melainkan juga ada
sangsinya seperti dalam masyarakat jika ada pelanggaran aturan atau hukum. Bukanlah
tugas ilmu untuk mengatakan bahwa ada pengatur dari luar yang memberi aturan itu.
Pengatur itu mungkin ada tetapi -sekali lagi bukanlah itu bidang ilmu untuk menentukan.
Yang dilakukan oleh ilmu dalam hal hukum alam ini ialah pengakuan, 36 bahwa suatu
benda-alam mempunyai sifat tertentu dan sifat itu berlaku bagi suatu macam benda-alam
serta masing-masing dalam macamnya, sehingga yang disebut hukum alam itu memang
umum serta mengandung keharusan. Sebagai contoh dapat dikemukakan, bahwa sebagian
hukum air (benda-alam): air itu membeku pada suhu 0°. Air, maksudnya: air mana pun,
bilamana pun juga, yang sudah dan yang akan datang selama ada air. Hukum ini ditentukan
melalui yang disebut pengalaman atau dalam ilmu boleh dikatakan: hukum itu dibuktikan
kebenarannya dengan bukti dari pengalaman, yaitu fakta yang sudah dialami.
Tentu saja ini pun menimbulkan pertanyaan: bukti ini hanya pengalaman yang sudah
didapat orang saja, sedangkan hukum ini berlaku pula bagi air mana dan bilamana pun
yang belum dialami orang pembekuannya. Bahkan ilmu berani mengatakan, bahwa air
harus membeku demi hukum tersebut di atas. Dapatkah pengalaman yang hanya berjumlah
tertentu, jadi terbatas itu dipakai alas an untuk meloncat kepada yang umum itu? Jawab
pertanyaan ini pun bukan termasuk dalam bidang ilmu. Ilmu hanya mengatakan, bahwa
ilmu mengakui adanya sifat tertentu itu pada benda-alam sepanjang ada pengalaman
hingga sekarang dan menurut bukti yang ada itu. Kepastian yang terdapat pada ilmu
tentang benda-alam itu juga hanya kepastian-alam, bukanlah kepastian semutlak-
mutlaknya.
Hal ini mengandung dua kemungkinan: pertama 37 bahwa hipotesa ilmiah masih
mungkin disempurnakan karena belum juga mencapai kebenarannya yang sempurna.
Usaha sarjana lalu harus senantiasa diteruskan sampai ia dapat mencakup seluruh
obyeknya atau sedikit-dikitnya menambah pengetahuannya tentang aspek lain dari obyek
yang hingga kini diketahui. Ini bukan berarti keraguan yang melemahkan dan membuat
orang putus asa, melainkan malahan menimbulkan kerendahan hati dari pihak ilmu yang
senantiasa berusaha mengadakan penyelidikan demi kebenaran.
Kedua bahwa hukum alam itu tidak memustahilkan adanya kejadian istimewa yang
bertentangan dengan hukum alam, karena mungkin ada kekuasaan di luar alam, yang
sebagai pengecualian, menimbulkan kejadian luar biasa itu.
Bermacam-macam ilmu.
Walaupun kami katakan di at as, bahwa hukum alam itu bukanlah hukum semutlak-
mutlaknya, karena ilmu dalam sikap hati-hatinya menambah syarat (clausule), akan tetapi
dalam prakteknya dianggap mutlak juga, sekurang-kurangnya dianggap pasti, dan dalam
banyak hal memang sudah tak perlu disangsikan, bahwa benda-alam tidak menunjukkan
sifat seperti terumuskan dalam hukum alam itu. Ilmu yang obyeknya benda-alam dengan
hukurn-hukumnya yang pasti dan umum tadi lazimnya lalu disebut ilmu-alam.
Akan tetapi di antara ilmu adalah yang hukumnya tidak sama dengan hukum alam
yang pasti itu dan fenomena yang dijadikan bukti kebenaran hukum itu, 38 juga tidak dapat
diulangi dengan percobaan. Misalnya ilmu yang disebut orang sejarah; kebenaran yang
hendak dicapai dalam sejarah itu buktinya sudah lampau dan tak adalah gejala yang dapat
ditimbulkan lagi dalam situasi yang sama. Mungkin ada timbul yang menyerupai yang
dulu itu, akan tetapi situasinya lain sekali, waktu, lingkungan, temp at dan terutama
manusia yang mengambil peranan besar dalam terjadinya sejarah pun sering lain sekali.
Memang masih ada beberapa ilmu yang semacam itu, misalnya: ilmu pendidikan, ilmu
bangsa, psikologi, ilmu hukum dan sebagainya yang terjadinya obyeknya terpengaruhi oleh
manusia, sehingga faktor manusia menimbulkan sifat khas, yaitu kehendaknya. Kehendak
ini dalam tindakannya amat menentukan, akan tetapi sebaliknya boleh dikatakan tidak
mungkin ditentukan sebelumnya. Tentunya manusia itu sebagai wakil suatu macam
menunjukkan sifat umum bagi macam manusia itu, akan tetapi berlainan dari sifat umum
yang diperlihatkan oleh benda-alam. Mengingat hal yang melekat pada obyek-obyek ilmu
terse but di at as, diajukan oleh seorang filsuf Jerman Wilhelm Dilthey (1833-1911)
pembagian ilmu menjadi dua golongan: a. Naturwissenschaften, dan b.
Geisteswissenchaften, yang kami terjemahkan dengan istilah ilmu alam dan ilmu sosial.
Jadi ilmu alam ialah ilmu yang berobyek fakta alam; percobaan yang mungkin
ditimbulkan semuanya mempunyai tujuan untuk mencari hukum yang 39 umum dan pasti.
Termasuk dalam kelompok ilmu tersebut misalnya: ilmu alam, kimia, biologi, falak.
Oleh karena hukum yang dicari serta dirumuskan itu pasti, maka ilmu pasti pun
termasuk dalam kelompok ini. Tidak mengherankan, ilmu pasti masuk dalam kelompok
ilmu alam, karena dalam ilmu pasti itu yang merupakan obyeknya memang benda-alam
juga, hanya itu dilucuti dari sifat kebendaannya kecuali jumlahnya, ruang, sudut atau
bidangnya. Keseluruhan ilmu yang hasilnya dirumuskan secara pasti (termasuk ilmu pasti)
disebut juga ilmu exakta, dari kata Latin exactus yang berarti pasti.
Dalam bahasa Inggris ilmu exakta itu disebut sciences dari kata Latin scio yang berarti
tahu.
Adapun ilmu sosial menyelidiki fenomena yang dalam terjadinya banyak-sedikitnya
terpengaruhi oleh kehendak manusia, sehingga kepastian dan keumumannya berlainan
benar dari yang dicita-citakan ilmu pasti. Masuk ke dalam kelompok ilmu sosial misalnya:
ilmu pendidikan, psikologi, sejarah, ilmu bangsa-bangsa, ilmu hukum, pendeknya yang
kerapkali dipandang sebagai hasil kebudayaan manusia; itulah sebabnya ada orang
menamai kelompok ini ilmu budaya (cultuurwetenschappen).
Obyek materia, Pengelompokan ilmu di atas itu diobyek forma. tinjau dari obyeknya.
Tetapi ada kalanya beberapa ilmu, yang 40 berlainan sifat dan namanya, entah termasuk
satu kelompok (misalnya kelompok exakta) entah tidak, menyelidiki satu obyek. Misalnya
saja dalam ilmu ukur, yang menjadi obyeknya ialah benda terukur, tetapi oleh karena ada
pandangan dari aspek ruang, bidang atau sudut, maka adalah ilmu-ukur ruang, ilmu-ukur
bidang dan ilmu-ukur sudut. Dari aspek mana saja manusia, yang juga dapat dipandang
sebagai benda-alam, dijadikan obyek ilmu? Biologi memandang manusia dengan
tindakannya yang tertentukan oleh keadaan manusia itu sebagai benda-alam, tetapi
psikologi menyoroti manusia yang sama itu dari sudut lain. Sejarah menyoroti manusia
bukan sebagai manusia seseorang, melainkan dalam kelompoknya, bagaimana kelompok
itu berkembang dan bertindak.
Dengan demikian ternyatalah ada benda yang diselidiki yang merupakan lapangan
penyelidikan dan mungkin ada sudut penyelidikan. Dalam obyek yang sama maka
lapangan penyelidikan itu disebut: obyek materia, sedangkan sudut dari mana obyek
materia itu disoroti disebut: obyek forma. Obyek formalah yang menentukan macam ilmu
jika ada beberapa ilmu yang mempunyai obyek material yang sama. Bagaimana nama
kelompok dan masing-masing ilmu yang menjadi cabangnya, semua ilmu itu mendasarkan
pembuktiannya atas pengalaman. Jika sesuatu teori atau hipotesa tidak dapat dibenarkan
oleh pengalaman, maka itu bukan lagi bidang ilmu. Itulah sebabnya ada yang menyebut
kedua kelompok ilmu di atas itu sekaligus ilmu pengalaman (empirische atau 41
ervaringswetenschappen).
Memang ilmu membatasi diri dalam pembuktiannya pada pengalaman!
Timbullah soal, apa tahu manusia itu semata-mata terbatasi oleh pengalaman?
Ingin tahu manusia tak habis-habisnya, ia hanya terbatasi oleh kebenaran.
Bagaimana halnya jika manusia hendak tahu yang mengatasi pengalaman itu?
Marilah kita tinjau itu pada bab yang berikut.

Filsafat.
Kita ketahui di atas bagaimana besar arti pengalaman. Dalam kebanyakan ilmu
merupakan pangkal hipotesa serta kemudian juga menjadi tanda kebenaran dari hipotesa
tersebut. Akan tetapi seperti kami katakan pada halaman 10 sebetulnya pengalaman itu tiap
kali hanya mengenai yang satu kali saja, tiap kali khusus, sedangkan ilmu merumuskan
yang umum. Apakah yang menjadi dasarnya, bahwa loncatan yang demikian itu sah juga?
Kalau loncatan itu sah, sehingga manusia seakan-akan dari jalan itu dapat mencapai yang
umum, apakah sebetulnya yang umum itu?
Yang terakhir ini sudah tak mungkin lagi dijawab oleh pengalaman, karena
pengalaman hanya menyentuh yang khusus belaka, yang umum itu justru di luar
pengalaman, yang umum itu mengatasi pengalaman.
Satu contoh lagi: kita mengalami sebab-akibat, 42 artinya: apa yang terjadi di alam ini
merupakan akibat yang mendahuluinya. Ini memang suatu kesimpulan, katakan suatu
hukum, yang diambil dari pengalaman.
Dengan demikian hukum tersebut di at as menjadi landasan segala penyelidikan
ilmiah, bahkan dalam analisa ilmiah tugas ilmu tidak lain dari mencari sebab itu yang kami
rumuskan: ilmu hendak tahu apa sebabnya demikian serta mengapa harus demikian.
Maka ada pertanyaan lebih lanjut, kalau tiap kejadian itu harus ada sebabnya, deretan
sebab itu adalah habisnya, sehingga lalu ada sebab terakhir atau sebab pertama yang
menjadi sebab semua kejadian, serta sebab ini sendiri tidak disebabkan, sehingga lalu harus
disebut sebab-yang-tidak tersebabkan? Ada yang menjawab, bahwa tidak ada sebab
pertama ini, sebab itu tidak dapat dibuktikan dengan pengalaman. Ada pula yang
menjawab memang betullah adanya sebab pertama itu tidak dapat dibuktikan secara
langsung dengan pengalaman, buktinya ialah jalan pikiran, jalan itu memang di luar
pengalaman.
Pengetahuan Dari contoh di atas teranglah, bahwa supra ilmiah. ada keinginan manusia
memiliki pengetahuan yang kebenarannya tidak dapat dibuktikan secara langsung melalui
pengalaman. Seperti kita ketahui di atas ilmu membatasi diri dalam pernbuktiannya dengan
pengalaman. Jadi pengetahuan yang tidak membatasi diri pada pengalaman ini 43 tidak
termasuk ilmu seperti terbentangkan di atas, baik ilmu alam (exakta) maupun ilmu sosial.
Pengetahuan yang kami maksudkan ini tidak menolak sifat ilmiah, ia pun bercita-cita
mencapai kebenaran, ia pun hendak bermetodos, hendak bersistem dan universal. Jadi
pengetahuan ini hendak merupakan ilmu juga dan sebagai ilmu ia pun mencari sebab,
tetapi tidak kenal akan batas, sehingga sebab yang dicari boleh disebut sebab yang
sedalam-dalamnya. Untuk memberi nama sementara kepada ilmu yang berusaha mencari
sebab yang sedalarn-dalamnya ini sampai di luar dan di atas pengalaman, kami ajukan
nama ‘pengetahuan supra-pengalaman’. Pengetahuan ini tidak mengingkari atau
merendahkan fenomena, itu pun diselidiki juga sebagai pangkal pengetahuan, tetapi tidak
puas hanya mengetahui dan dapat menerangkan apa sebab fakta itu demikian dan harus
demikian berdasarkan pengalaman, melainkan hendak mencakup obyeknya itu lebih
mendalam lagi. Pengetahuan supra-pengalaman itu dalam tindakannya akan tahu hendak
melepaskan sifat fenomena yang langsung menyentuh manusia melalui indranya, ia hendak
menyelaminya, hendak mencari yang lebih umum daripada keumuman yang tercapai oleh
ilmu, ia mencari sebab yang seumum-umumnya.
Definisi filsafat.
Di atas telah kita ketahui, bahwa obyek ilmu ialah yang ada dan yang mungkin ada.
Dalam prakteknya obyek ini merupakan realitas, yaitu sesuatu yang sungguh ada di luar 44
kesadaran subyek yang mengenal. Realitas ini konkrit; ilmu tidaklah berhenti pada yang
kongkrit, itu, ia mencoba memberi hukum yang umum, sebab itu kami katakan, bahwa
ilmu harus universal. Tetapi seumum-umumnya ilmu, masihlah ia mendasarkan
pembuktiannya atas pengalaman, baik ilmu alam maupun ilmu sosial. Keseluruhan ilmu itu
berobyek apa saja yang ada dan mungkin ada, begitu pun pengetahuan supra-pengalaman,
bedanya: ilmu terbatasi oleh sifat fenomena yang menyentuh indra entah berupa jumlah,
entah berupa bidang, ruang atau pun sudut, entah berupa hasil tindakan manusia,
sedangkan semua hal tersebut bukan lagi menjadi sasaran terakhir dari pengetahuan supra-
pengalaman itu; yang dicari yang terakhir ialah keumuman dan kesamaan dari segala hal,
bagaimana pun banyak ragamnya. Adapun semua hal yang ada, entah sungguh ada, entah
hanya harus atau mungkin saja, segalanya itu bertemu pada ada. Ada itu tetap merupakan
titik pertemuan, terlepas dari segala unsur pengalaman. Ada itu umum, seumum-umumnya,
karena di luar ada hanya terdapat tiada belaka. Itulah sebabnya maka ada itu merupakan
dasar yang sedalam-dalamnya bagi apa pun juga yang ada, sebab lebih dalam dari ada
hanya kekosongan belaka. Menyelidiki ada inilah yang disebut mencari sebab yang
sedalam-dalamnya dan justru itu pulalah yang membedakan pengetahuan supra-ilmiah dari
pengetahuan yang kami sebut ilmu. Lapangan penyelidikan kedua macam pengetahuan itu
sama, jadi obyek materianya sama, yang 45 membedakan antara kedua pengetahuan itu
hanya obyek formanya. Jadi adalah ilmu yang mencoba mencari keterangan (sebab) yang
sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu yang ada dan mungkin ada. Adapun nama ilmu
yang demikian itu ialah filsafat.
Kalau dibalik maka definisi ini berbunyi sebagai berikut: filsafat ialah ilmu yang
mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu yang ada dan mungkin ada.
Dengan demikian melalui cara yang amat sederhana ini kit a sampai kepada definisi
filsafat. Jalan kedefinisi ini kami tempuh melalui analisa tahu dan pengetahuan. Tidak
semua ahli dalam pengetahuan barangkali setuju dengan cara ini, akan tetapi cara ini ada
manfaatnya besar, sebab di sini ada beda jelas antara ilmu dan filsafat. Tetapi oleh karena
ini pengetahuan dan yang memiliki pengetahuan itu manusia, maka garis pemisah yang
dalam teori jelas ini dalam prakteknya tidak selalu terang. Dalam beberapa ilmu kerapkali
orang menyinggung-nyinggung, sadar atau tak sadar, hal yang sebenarnya di luar
pengalaman dan filsafat yang tidak mau mengabaikan fenomena juga kerap-kali terpaksa
mengikutkan penyelidikan ilmu dalam usahanya mencari keterangan yang sedalam-
dalamnya itu. Hubungan antara ilmu dan filsafat serta pengetahuan lain akan kami
bentangkan di bawah dengan bab tersendiri.
Sejarah nama filsafat.
Nama filsafat ini dari kata Yunani filosofia, kata-berangkai dari kata ‘filein’ yang
berarti cinta dan ‘sofia’, kebijaksanaan. 46 Jadi menurut namanya saja filosofia atau
filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan, Adapun asal mulanya ada istilah ini adalah
demikian: Pengetahuan manusia yang melalui indra itu tentulah bukan pengetahuan
sebenarnya; yang sebetulnya dapat disebut pengetahuan, ialah mengenai yang umum serta
mencakup dasarnya, yang mencakup seluruh obyek serta sampai kepada akarnya. Tahu
akan sebab yang sedalam-dalamnya sudah diingini oleh orang Yunani. Hanya mereka tahu
juga, bahwa yang demikian itu hanya dimiliki para dewa, manusia hanya ingin saja,
mencita-citakannya. Manusia yang ingin (cinta) akan pengetahuan sejati itu disebut, bahwa
ia cinta akan kebijaksanaan, filosofia. Orangnya disebut filosofos, pencinta kebijaksanaan.
Nama ini diberi arti dengan tegas oleh ahli pikir Yunani Sokrates (469-399) terutama untuk
menentang kaum sofis, yang menamai dirinya para bijaksana (sofos). Sokrates bermaksud,
bahwa ia dan penganut-penganutnya bukan orang yang sudah bijaksana dan te lah
mencapai pengetahuan sejati, melainkan hanya mencintai kebijaksanaan, daripada itu
berusaha mencari kebijaksanaan itu.
Dalam arti pengetahuan sejati (pengetahuan yang benar) kata filosofia bertahan mulai
Plato (427-347) sampai dengan Aristoteles (342-322) tetapi obyeknya meliputi juga yang
kami sebut ilmu, yaitu usaha untuk mencari sebab yang universal. Aristoteleslah yang
kemudian membedakan dua macam filosofia serta mengemukakan yang disebutnya, prima
47 filosofia, yang arti sebenarnya menurut kata: filsafat pertama. Disebutnya pertama,
karena kebijaksanaan ini berusaha mencari keterangan atau sebab yang sungguh pertama
atau merupakan dasar segala sebab.
Setelah Aristoteles timbullah aliran-aliran lain dalam kalangan ahli pikir yang
mencantumkan dalam pengertian kebijaksanaan ini tidak lagi hanya pengetahuan sejati,
melainkan kebahagiaan atau sekurang-kurangnya ketenangan hidup. Filosofia tujuannya
yang utama tidak lagi mencari pengetahuan sejati. Memang kebenaran ini dicari juga, akan
tetapi hanya demi kebahagiaan itu. Kaum Epikuris misalnya serta golongan yang disebut
Stoa menyelidiki alam serta juga mempunyai pendapat tertentu, tetapi itu terutama untuk
memberi landasan usaha mereka untuk mencapai ketenangan hidup. Pendapat bahwa
kebijaksanaan itu sebenarnya berupa kebahagiaan yang disamakan dengan kebajikan masih
bertahan sampai abad-abad pertama sesudah Masehi.*
Dalam kalangan agama yang muncul pada permulaan abad Masehi, yaitu agama
Katolik, lain lagi kecenderungan orang. Kebenaran bagi mereka memang amat diutamakan
dan istilah kebijaksanaan masih dipakai juga, hanya mereka berkeyakinan, bahwa 48
kebijaksanaan Ilahi sudah disampaikan kepada manusia melalui wahyu, ialah firman
Tuhan. Kebenaran ini merupakan kebenaran Ilahi yang tidak mungkin salah, jadi apa

**
Untuk agak jelas mengetahui perkembangan pendapat tentang arti filsafat pada jaman sesudah Aristoteles di
Yunani dan di kerajaan Roma kemudian, lihat buku kami “Pembimbing kearah alam filsafat” Jakarta 1967 halaman 45
sqq.
perlunya manusia hendak menyelidiki filsafat terutama Yunani yang hanya pengalaman
insani, yang tentunya takkan luput dari kekeliruan.
Lama-kelamaan setelah ahli pikir Katolik makin bebas dari tindasan politik kerajaan
Roma, cara berpikir Yunani itu diakui baiknya dan metodis ini dipergunakan oleh ahli pikir
Katolik itu. Kemampuan manusia untuk mencapai kebenaran diakui, bukan kebenaran Ilahi
yang diperolehnya, melainkan kebenaran insani. Pemikiran ini mulai timbul serta
dipertahankan beberapa orang dari kalangan ahli pikir Katolik dan makin lama makin besar
minat orang terhadap cara berpikir Yunani ini. Filsafat juga pada kalangan agama
dihormati. Obyek filsafat tidak dipersempit, melainkan mengalami peluasan, sebab agama
pun lalu menjadi obyeknya. Ada yang mengatakan bahwa tugas filsafat ialah menyelidiki
hal duniawai dan sorgawai. Adapun hal sorgawi ini ialah kebenaran yang diwahyukan. Jadi
yang disebut orang filsafat ketika itu lalu dapat disamakan dengan ilmu dalam segala-
galanya, termasuk ilmu agama yang dasar kebenarannya bukan atas pengalaman, bukan
atas jalan pikiran melainkan atas firman Tuhan. Sampai abad 13 garis pemisah ilmu yang
kami sebut filsafat dan ilmu agama ini dalam bidangnya serta sudut pemandangannya
belum amat jelas, walaupun lambat hum telah diselidiki dan dirumuskan sampai dimana
batas-batasnya 49 kemampuan budi manusia dan bagaimana hubungan kemampuan budi
itu dengan wahyu. Dalam bab mengenai filsafat dan agama hubungan ini akan kami
perjelas.
Nama lain.
Ternyata seperti diutarakan di atas, bahwa yang kami sebut filsafat itu pengertiannya
dalam sejarah berbeda-beda, karena pengertian tenang maksud dan tugas ilmu itu berbeda
juga, sehingga tidak mengherankan bahwa definisi filsafat itu berlainan. Malahan hingga
sekarang ini memang belum ada persetujuan yang boleh dinamai umum tentang filsafat.
Kami di atas memajukan suatu definisi yang kami pertanggung-jawabkan. Nama filsatat ini
pun ada bermacam-macam, sedikit banyaknya sudah mengandung tugas dan maksudnya.
Nama yang agak sering dimajukan orang lain: pandangan dunia. Nama ini tidak perlu
bertentangan dengan definisi kami tentang filsafat, sebab menurut definisi kami itu filsafat
memang mencari keterangan yang sedalam-dalamnya bagi se gala sesuatunya, itulah dunia,
dunia ini serta dunia akhirat. Dengan sendirinya filsafat itu juga menyelidiki hal yang
menyangkut hidup manusia, pun yang dinilai baik dan buruk, sehingga hasil penyelidikan
filsafat itu dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Nama itu memang di sana-sini dipakai
orang juga untuk filsafat.
Tetapi dua nama ini terpaksa kami anggap kurang baik sebagai nama ilmiah, karena
pandangan dunia kurang membedakan filsafat dari ilmu, sedangkan 50 pedoman hidup
menyangkut-pautkan agama.
Nama lain yang kerapkali terjumpai dikalangan ilmiah terutama di Eropa ialah
metafisika. Ini kata Yunani pula, yang arti sebenarnya: “sesudah fisika”. Konon kabarnya
waktu Andronikos dari Rodos kira-kira pada tahun 70M, menyusun karya Aristoteles,
dibaginya menjadi dualah karya itu, ada yang disebutnya fisika, karena jelas menyelidiki
hal alam, dan
yang bukan menyelidiki alam, serta yang disebut oleh Aristoteles sendiri prima filosofia;
oleh Andronikos ini disebut metafisika, sebab ditempatkannya dibelakang fisika itu.
Ternyata nama yang secara agak kebetulan diberikan kepada karya Aristoteles ini memang
menyelidiki hal-hal yang kebenarannya tidak didasarkan atas pengalaman, melainkan
mengatasi pengalaman.
Dengan demikian istilah metafisika itu lalu merupakan sinonim dengan filsafat, dalam
arti ilmu yang mendasarkan pernbuktian kebenarannya tidak pada pengalaman, melainkan
di at as (sesudah) pengalaman.
Ternyata dari uraian kami di at as, bahwa ilmu yang kami sebut filsafat itu banyak
namanya, bahkan satu nama masih juga mempunyai pengertian lain karena pemberian
tugas dan tujuan dari filsafat itu berlainan pula. Memang definisi filsafat tidaklah seragam.
Ini sebetulnya juga tidak mengherankan, karena tiap definisi itu selalu mengandung di
dalamnya suatu pendirian filsafat; selama pendirian filsafat bercorak berlainan, berlainan
pulalah definisinya. 51
Kalau dalam buku ini diajukan suatu definisi dan satu nama serta sinonimnya, tidak
berarti bahwa definisi kami itu sudah disetujui oleh kebanyakan ahli fiIsafat, melainkan
kami menganggap perlu bahwa ada satu nama dan suatu definisi, sehingga dalam
pembicaraan lebih lanjut tidak ada kesalahfahaman. Nama dua bersinonim di atas kami
majukan karena nama itu memang amat lazim dipakai orang dan demi arti katanya saja
sudah menunjukkan dengan agak jelas apa yang menjadi obyek formanya, jadi jelas pula
apa bedanya dengan ilmu lain.
Bagian filsafat
Untuk mendalami filsafat, akan kami majukan bagian-bagiannya. Ini ada dua
alasannya, yaitu karena ada kesimpangsiuran pengetahuan manakah yang dimasukkan
kedalam lingkungan filsafat dan kedua, jika kit a mengetahui bagian-bagiannya itu, dapat
diharapkan lebih baik pengertian kita tentang filsafat itu.
Seperti kami katakan di atas obyek (materia) filsafat ialah yang ada dan yang mungkin
ada. Jadi secara umum dapat dikatakan, bahwa yang ditelaah oleh filsafat ialah ada. Ini pun
sesuai dengan obyek forma dari filsafat, sebab dasar semua hal yang ada ialah adanya itu,
itulah titik pertemuannya dan itulah dasar yang sedalam-dalamnya. Bagaimana dan apa
pun sifat sesuatu hal, masih dapat tidak dihiraukan oleh manusia, tetapi adanya tak
mungkin dikeluarkan dari pandangan manusia, sebab apakah yang 52 terdapat diluar ada?
Ontologia, metaphysica generalis.
Bagaimana berjenis-jenis hal yang ada itu, semuanya bertemu pada adanya. Maka
terdapatlah ada yang kami sebut ada umum.
Maka timbullah bermacam-macam pertanyaan terhadap ada umum ini. Misalnya: ada
dunia ini merupakan sungguh ada atau tidak? Permacaman di dunia pengamatan ini hanya
khayal belaka atau kekeliruankah?
Kalau ada itu sungguh ada, memang diakui keumumannya, tetapi dalam kesungguhan
adalah yang bermacam-macam. Apakah dasar permacaman itu, mungkinkah terdapat
struktur dalam ada yang menjadi dasar kesatuan dan permacamannya ?
Memang yang ada itu semuanya bertemu at as adanya, akan tetapi yang bermacam-
macam itu pernah tidak ada, mereka menjadi dan setelah menjadi mereka berubah. Apakah
menjadi itu dan apakah berubah? Adakah hubungan antara ada dan menjadi?
Haruskah yang menjadi itu dijadikan? Apakah arti menjadikan ini, dan haruskah ada
penjadi, serta kalau tiap-tiap kali ada penjadi, haruskah ada penjadi tak habis-habisnya
ataukah harus ada penjadi pertama yang tak dijadikan?
Semuanya pertanyaan yang amat penting bagi manusia dalam hidupnya, jadi tidak
hanya oleh 53 karena memuaskannya kalau ia tahu akan jawab pertanyaan itu. Adapun
pertanyaan itu semuanya dicoba supaya ada jawabnya pada filsafat yang boleh kami namai
filsafat-ada-umum disebut dengan nama umum: ontologia. (on - ada).
Ada juga orang yang menyebut bagian filsafat ini metaphysica. Bagi yang menyebut
seluruh filsafat itu metaphysica, bagian ini lalu disebutnya metaphysica generalis.*
Theologia naturalis, Theodicea.
Kalau terdapat ada-umum seperti kami bentangkan diatas, yang kami jumpai di dunia
pengamatan ini adalah ada khusus, satu per satu, berlainan dan berubah. Demi
perubahannya segala yang ada di alam kita ini tidak tetap. Malahan dari ilmu kita ketahui,
bahwa mereka itu tidaklah selalu ada, mereka tidak harus ada, jadi adanya tidak mutlak.
Apa saja yang memiliki ada di alam ini tidaklah memilikinya dengan sempurna. Segera
timbul pertanyaan terdapatkah ada yang mutlak? Jadi kekhususannya terdapat pada
kemutlakannya itu.
Jika sekiranya itu ada, bagaimanakah sifat-sifatnya, bagaimanakah hubungan dengan
ada-ada yang lain, yang tidak mutlak? 54
Dapatkah kiranya kita tahu akan ada yang mutlak itu dan kalau dapat, bagaimanakah ?
Kalau sekiranya ada-mutlak itu diterima, maka muncullah penyelidikan ten tang Tuhan
melalui budi belaka, jadi ada filsafat tentang Tuhan. Namanya ialah theologia natural is
atau Theodicea. Disebut theologia naturalis untuk membedakan dari theologia yang
menerima kebenaran melalui wahyu, jadi melewati jalan adi-kodrati (supernaturalis).

**
Nama bagian filsafat, yang kami ambil dari bahasa asing, biasanya bahasa Latin atau Yunani, kami tulis menurut
ejaan yang asli, supaya kelihatan asingnya itu. Tetapi itu hanya kami lakukan dalam bab ini saja. Di lain tempat tetap
kami usahakan dengan ejaan Indonesia.
Cosmologia.
Demi adanya bahkan karena kemungkinan adanya, Tuhan menjadi obyek filsafat
dengan alat peneropongan secara filsafat, yaitu melalui budi belaka. Tuhan itu sama sekali
diluar pengalaman manusia, jadi andai kata ada pengetahuan tentang Tuhan, maka itu tidak
langsung. Adapun alam kita ini ialah yang langsung bersentuhan dengan indra kita,
pengalaman itu perangsang pengetahuan kita. Demi adanya satu kemungkinan adanya,
alam ini difilsafatkan juga. Banyak hal di alam kita terang mempunyai keluasan, dan
karena keluasannya itu ia memerlukan tempat dan oleh karena itu adalah ruang. Apakah
ruang itu? Demi perubahan yang ada pada alam timbullah soal waktu, apakah waktu itu?
Berhubung dengan waktu itu, adakah permulaan waktu atau dapatkah kiranya diterima
penciptaan abadi, jadi walaupun ada pengadaan, namun itu tak terjadi pada suatu ketika,
jadi tanpa mula dan tanpa akhir? Hal itu dapat yang lain, yang juga akan menyinggung soal
dalam ontologia dicari jawabnya pada 55 bagian fisafat mengenai alam; namanya filsafat
alam atau cosmologia.
Anthropologia metaphysica.
Bagi filsafat di antara segala yang ada di dunia ini yang paling penting adalah manusia,
karena manusia itulah yang. menyelidikinya. Manusia memang termasuk dalam ada tidak
mutlak, ada khusus manusia itu. Manusia yang hendak mencari keterangan sedalam-
dalamnya bagi segala-galanya, tentu mencari keterangan yang sedalam mungkin juga bagi
manusia dan ditanyakan apakah manusia itu?
Dalam perinciannya boleh ditanyakan: samakah ia dengan segala yang ada pada dunia,
sehingga ia pun materi belaka atau adakah barangkali prinsip hidupnya, artinya sesuatu
yang menjadi pendorong tindakannya? Kalau ada, samakah prinsip hidup itu dengan
prinsip hidup hal yang lain yang dikatakan hidup juga seperti tumbuh-tumbuhan dan
binatang? Kalau prinsip hidup itu tidak sama dengan prinsip hidup binatang dan tumbuh-
tumbuhan, dapatkah kiranya disebut rohani dan apa sifat-sifatnya serta apa buktinya?
Manusia mempunyai pengetahuan dua macam (lihat halaman 9) bagaimana hubungan
dua macam pengetahuan itu dan bagaimana carakerja alat atau daya pengetahuan tersebut?
Itulah beberapa pertanyaan yang minta jawab. Jawab pertanyaan ini semuanya merupakan
filsafat-manusia atau anthropologia 56 metaphysica.*
Ethica.
Manusia mengadakan tingkah-laku, yaitu tindakan-tindakannya yang dinilai dengan
baik atau buruk. Apakah ukuran atau norma baik dan buruk itu? Adakah kiranya ukuran
menurut subyek yang melakukannya saja (subyektif), ataukah ada ukuran diluar subyek
sehingga ada norma obyektif? Apakah pendorong tindakan yang dapat dinilai itu dan
pendorong ini tertentukan atau bebas sehingga ia dapat memilih? Bagaimana kita dapat
mengetahui norma itu, sehingga kita juga dapat tahu mana yang baik dan mana yang
buruk? Bagaimana hubungan pengaruh terhadap manusia yang disebut situasi terhadap
tingkah-lakunya? Semuanya pertanyaan yang memang penting sekali bagi umat manusia
dan tiap-tiap manusia. Adapun filsafat yang berusaha menjawab pertanyaan ini merupakan
bagian tersendiri dan disebut filsafat-tingkah-laku atau ethica.
Logica.
a. Baik ilmu maupun filsafat sebenarnya menganggap, bahwa manusia itu dapat
berpikir, jadi mempunyai daya pikir yang umumnya disebut budi. Ini tidak boleh diterima
saja sebagai axioma. Bahwa manusia itu berbudi harus dibuktikan pula. Apakah
sebenarnya budi, bagaimana cara kerjanya - ini mungkin juga dipersoalkan pada filsafat-
manusia -. Kalau sekiranya mempunyai budi, dapatkah 57 budi itu mencapai kebenaran,
yang segera menimbulkan pertanyaan apakah kebenaran itu? Bagian filsafat yang
menelaah antara lain hal terse but di atas itu ada yang menyebut teori pengetahuan, kami
menyebutnya filsafat-budi atau logica.
b. Logica yang kami bentangkan itu menyelidiki isi budi. Akan tetapi budi bertindak
dan tindakan itu mentaati aturan-aturan tertentu serta mempergunakan bahan-bahan
**
Kata anthropologia ini dalam ilmu dipakai sebagai nama ilmu tentang manusia. Serrgaja kami katakan ilmu karena
pembuktiannya semua melalui pengalaman. Anthoropologia metaphysica ini ilmu jugu, ukan tetupi pe mbuktiannya tidak
hanya melalui pengalaman, jadi filsufutlah itu, schingga nama filsafat manusia memang nama yang baik rasanya.
tertentu pula. Seperti kami katakan pada halaman 9 barulah ada pengetahuan, jika manusia
mengadakan putusan. Maka ditanyakan dan dicoba jawab apakah putusan itu, bagaimana
sifat-sifatnya Ternyata bahwa dalam putusan adalah sesuatu dihubungkan dengan sesuatu
dan terutama dalam ilmu sesuatu ini bukan merupakan hal tertentu, melainkan yang umum,
misalnya dalam putusan: ‘manusia itu masuk binatang menyusui, maka manusia ini
bukanlah terutama mengenai manusia tertentu, melainkan manusia pada umumnya. Jadi
pengertian manusia sebetulnya yang diajukan dalam putusan itu.
Begitu pula jika ada putusan yang berbunyi: ‘batu itu tidak hidup’, maka pengertian
batu dihubungkan dengan pengertian hidup dan hubungan ini diingkari! Tugas bagian
filsafat ini menelaah apakah pengertian itu, apa macam dan sifatnya, karena merupakan
bahan untuk putusan. Orang mengambil putusan itu 58 tidak sekaligus, melainkan sering
mengadakan urut-urutan putusan, seakan-akan pikirannya berjalan dari suatu putusan
terdorong oleh putusan lain dan kemudian melangkah kepada putusan (baru) yang ketiga.
Misalnya : tiap-tiap benda yang berat-jenisnya melebihi air, tenggelam di air.
Besi berat-jenisnya lebih besar dari pada air.
jadi : besi tenggelam di air.

Putusan yang ketiga ini muncul dari hubungan antara putusan kedua dan pertama.
Tetapi tidak tiap-tiap putusan dua berjajar tentu melahirkan putusan ketiga itu.

Misalnya : Guru saya orang Indonesia.


Saya sedang sakit.
jadi : … tidak ada kesimpulan mengikat

Dari kedua contoh di atas, rupa-rupanya ada hukum tertentu untuk mengambil
kesimpulan dari putusan yang mendahuluinya. Maka aturan atau hukum ini boleh diselidiki
— tidak dibuat — !
Kami memajukan persoalan di atas itu hanya untuk menjelaskan, bahwa budi kecuali
mempunyai isi, juga mempunyai bahan. Bagian filsafat yang menyelidiki bahan pikir dan
pemikiran ini juga dimasukkan logica, biasanya disebut logica minor, sedangkan yang 59
menyelidiki isi budi disebut orang logica major.*
Ikhtisar. Di atas telah kami majukan bagian-bagian filsafat. Pembagian inipun tidak
selalu diikuti, pun cara membagi tidak sama. Adapun bagian di atas itu kami majukan
sekedar untuk lebih mengetahui apakah filsafat itu serta dengan persoalannya yang lebih
terperinci dan menu rut hemat kami caranya membagi amat sederhana. Seperti kami
kemukakan di atas obyek filsafat ialah ada, maka terdapatlah ada-umum dan ada -khusus.

fils. ada-umum (ontologia, metaphysica generalis ada-


ada-umum: mutlak)
fils. ada-mutlak (theologia naturalis, theodicea).
ADA
ada td.mutlak:
ada- a. fils. alam (cosmologia)
khusus: b. fils. manusia (anthropologia metaphysica)
c. fils. tingkah laku (Ethica)
d. fils. budi (logica): a. major
b. minor
60
Ternyata dari uraian di atas ten tang pengetahuan kita adalah tiga tingkatannya:
Pengetahuan biasa, jika orang yang tahu itu tidak amat mengutamakan kebenarannya,
tidak mencari apa sebabnya demikian dan harus demikian; yang terutama dipentingkan
ialah kegunaannya:

**
Ada pula yang menyebut logica major dengan nama lain: episitimologia, dari kala Yunani episteme yang berarti
pengetahuan. Adapun logica minor ada yang menamai dialektica, dari kata dialoge yang berarti tanya-jawab atau
percakapan yang tentunya mempunyai unsur yang sama seperti berpikir, sebab percakapan itu tidak lain daripada
merumuskan putusan serta jalan pikiran dengan kata.
Kalau orang hendak tahu sebab-sebabnya dan mencari keterangan yang menyeluruh
serta diusahakan sekali supaya mencapai kebenaran, maka adalah ilmu dengan sifat dan
cara kerja ilmiah. Namun ilmu itu selalu berkisar dan daripada itu membatasi diri pada
pengalaman.
Kalau renungan manusia itu mengatasi pengalaman, sehingga boleh dikatakan bahwa
ia dalam usahanya untuk tahu itu mencari keterangan yang sedalam-dalamnya, maka
adalah filsafat. 61

ILMU, FILSAFAT DAN AGAMA

Filsafat dan iImu.


Sudah kami coba jelaskan sama dan bedanya antara filsafat dan ilmu, baik yang alam
maupun yang sosial. Pada teori jelaslah, bahwa filsafat dan ilmu bertemu pada obyek
materia, dan yang melainkan ialah obyek formanya. Batasnya jadi terang akan tetapi dalam
praktek sering juga ada kekacauan; ini tidak mengherankan sebab yang diselidiki
(lapangan penyelidikan) memang sama, sedangkan yang menyelidiki itu sama juga, ialah
manusia. Manusia yang ingin tahu tidak selalu sadar akan batas tugas dan batas bidang,
ilmu yang menjadi wilayahnya masing-masing. Memang sebaliknya harus diakui, bahwa
batas ini dalam teori pun tidak selalu jelas. Bagaimana pun sulitnya haruslah ditegaskan
bahwa harus ada kesediaan dari pihak ilmiah maupun filsafat untuk tidak mencampurkan
tugas dan wilayah.
Bahwa batas ini diakui oleh ahli ilmu yang mengetahui akan tugasnya, temyata dari
rumus seperti berikut: “ilmu ialah deskripsi data pengalaman secara lengkap dan
tertanggung-jawabkan dalam rumus-rumusnya yang sesederhana mungkin”.1 62
Kalau rumus itu ditrapkan pada misalnya ilmu hayat, demikian keterangannya
selanjutnya: ahli ilmu hayat memberi (setelah dicari) keterangan arti batang, dahan dan
mungkin juga memberi keterangan tentang keseluruhan hidup bagi tumbuh-tumbuhan.
Tetapi apakah arti hidup, adakah nilai hidup dan adakah maksud dan tujuannya? Itu
semuanya bukanlah merupakan obyek ilmu hayat itu.
Kalau ada yang menjawab: hidup dan alam tak ada artinya, tak bemilai dan tak
bertujuan serta sebaliknya kalau ada pendapat bahwa ada nilai hidup pada umumnya, pun
hidup manusia serta alam manusia yang hidup itu ada tujuannya pula, maka semuanya itu,
apa merupakan jawab yang positif atau negatif, bukanlah jawab ilmiah, melainkan filsafat.
Beda antara ilmu dan filsafat temyata juga dari cara berpikir manusia. Seperti kami
katakan lebih dulu ilmu berkisar pada fakta. Fakta itu khusus, namun ilmu harus berlaku
umum dalam hukum-hukumnya. Hukum-hukum itu berlaku umum: rumusan-rumusan
hukum dalam ilmu alam, ekonomi serta ilmu hukum dan sebagainya diajukan dalam
keumumannya. Ilmu memang dalam konklusinya yang dituangkan dalam putusannya
selalu mengenai yang umum, tentang binatang pada umumnya, tenang manusia pada
umumnya tentang bilangan, dan lain-lain, tidaklah mengenai yang khusus. Adapun realitas
yang dihadapi iImu itu selalu khusus, satu per satu (individual). 63 .
Dalam kekhususannya itu realitas bermacam-macam. Dalam bermacam-macamnya
hal-hal yang individual itu disebut konkrit, artinya hal itu terlibat dalam dan dengan sifat-
sifat seluruhnya yang dimilikinya. Yang kongkrit itu lalu tertentu, yang satu lain dari yang
lain. Tetapi bagaimana pun lainnya mungkinlah yang berlainan itu dapat dimasukkan
dalam suatu macam.
Bermacam-macam binatang dapat dimasukkan dalam macam (jenis) binatang, karena
semua mempunyai kebinatangan, bermacam-macam yang tumbuh dapat dimasukkan
dalam jenis tumbuh-tumbuhan sebab mempunyai sifat atau aspek yang sama. Aspek yang
umum itulah — yang tidak konkrit, lalu disebut abstrak — yang diajukan oleh ilmu.
Keumuman dalam ilmu itu juga tidak mutlak, tergantung dalam bidang ilmu itu sendiri —
yang sama dengan bidang hal-hal yang hendak diajukan —, lalu ada keumuman jumlah
dalam aljabar, ada keumuman dalam ruang, ada keumuman dalam hidup dalam aturan dan
sebagainya.
1
Science is the complete and consistent description of the facis of experience in the simplest possible terms: termuat
dalam buku Introduction to Phylosophy karangan Dr. White Patrick, London, 58, hm. 20.
Namun bagi ilmu apapun juga, jika kebenaran pendapat atau hukumnya hendak
dibuktikan haruslah melalui fakta atau pengalaman, seperti kami bentangkan di atas,
sehingga harus dikatakan, bahwa ilmu membatasi diri pada pengalaman. Adapun sifat
ilmiah yang menuntut keumuman itu ternyata dimiliki ilmu itu demi kemampuan manusia
untuk hanya menghiraukan yang umum saja dalam permacam-macaman; jadi aspek obyek
yang sama sajalah yang diperhatikan. 64
Ini disebut daya atau kemampuan manusia untuk mengadakan abstraksi. Demi
abstraksi itulah lalu ada bermacam-macam ilmu, sebab yang diambil dengan daya abstraksi
itu bermacam-macam juga, walaupun obyeknya sudah dimasukkan dalam satu jenis. Kalau
misalnya hanya kebinatangan saja yang merupakan hasil abstraksi itu, maka hukum-hukum
ilmu binatang itu hanya berlaku untuk binatang pada umumnya, tidak berlaku untuk yang
bukan binatang, sebab tidak semua aspek obyek tahu (ilmu) itu mempunyai kebinatangan.
Itulah sebabnya pula, walaupun ilmu hendak mencapai yang umum, namun juga tak
dapat sampai yang seumum-umumnya. memang ada sifat-sifat yang tidak diabstrakkan,
jadi tidak masuk ilmu tertentu. Oleh karena obyek yang kongkrit itu sifatnya hampir-
hampir tak terbatas, kemungkinan jumlah ilmu boleh dikatakan tak terbatas juga.
Walaupun demikian namun ada juga suatu aspek realitas — dalam arti yang sungguh-
sungguh ada — yang demikian umumnya sehingga harus disebut titik pertemuan dari
segala realitas yang menjadi obyek pengetahuan, yaitu adanya. Apa pun yang ada, entah
jelas entah tidak kelihatannya, bahkan entah nampak entah tidak kalau ada, maka
bertemulah semuanya itu dalam adanya. Bahkan yang mungkin ada saja, pada prinsipnya
mengikuti pertemuan ada ini, sebab apakah yang di luar ada? Hanya ketiadaan belaka !
Kalau ilmu mengadakan abstraksi sampai kepada 65 adanya obyek itu, maka boleh dan
haruslah ilmu disebut mencari keterangan yang sedalam-dalamnya untuk yang ada dan
yang mungkin ada. Ilmu yang sampai pengabstrakan demikian itulah yang kami sebut
filsafat. Filsafat itu lalu umum seumum-umumnya, juga tak membatasi diri dalam
pengalaman data apapun juga.
Walaupun demikian antara ilmu dan filsafat ada juga hubungannya. Filsafat memang
dalam penyelidikannya mulai dari apa yang dialami manusia, karena tak ada pengetahuan,
kalau tidak bersentuhan lebih dulu dengan indra. Sedangkan ilmu yang hendak menelaah
hasil pengindraan itu tidak mungkin mengambil keputusan dengan menjalankan pikiran
tanpa mempergunakan dalil dan hukum pikiran yang tidak mungkin dialaminya. Bahkan
ilmu dengan amat tenang menerima sebagai kebenaran, bahwa pikiran manusia itu ada
serta mampu mencapai kebenaran tidak pernah oleh ilmu diselidiki, sampai dimana dan
bagaimana budi manusia itu dapat mencapai kebenaran itu.
Sebaliknya filsafat pun memerlukan, data dari ilmu. Jika misalnya ahli filsafat manusia
hendak menyelidiki manusia itu serta hendak menentukan apakah manusia itu, ia memang
harus mengetahui gejala tindakan manusia. Dalam hal ini ilmu yang bernama psikologi
akan menolong filsafat itu sebaik-baiknya dengan hasil penyelidikannya. Kesimpulan
filsafat tentang kemanusiaan akan amat pincang dan mungkin 66 jauh dari kebenaran jika
tidak menghiraukan hasil psikologi.
Contoh bagi kemungkinan kerjasama antara ilmu dan filsafat — yang juga
menimbulkan kesalah-fahaman jika batas wilayahnya tidak ditegaskan — ialah yang sudah
kami kemukakan ten tang hukum sebab-akiibat. Ilmu memang mengalami bahwa kejadian
itu disebabkan. Hal itu terjadi demikian sebab .......... Bahkan dirumuskan oleh ilmu, bahwa
dengan rumusan hukumnya, hendak menelaah suatu gejala hingga mengerti, maksudnya
tahu apa sebabnya demikian dan harus demikian. Tetapi orang mungkin tidak puas akan
akhir renungan yang harus sampai disitu saja, lalu memikirkan apakah sebetulnya sebab itu
dan mungkinkah orang sebenarnya mengalami atau mengetahui kesebaban pada umumnya.
Dalam sejarah memang ternyata adalah diadakan pemikiran tentang kesebaban ini dan ada
pendapat misalnya: tak adalah seungguhnya pengaruh suatu hal terhadap hal yang lain
sehingga mempengaruhi adanya atau terjadinya. Yang ada hanya gejala yang timbulnya
berurutan, lain tidak! (D. Hume 1711-1776).
Ada pula yang berpendapat, bahwa ilmu boleh mengakui adanya hukum sebab akibat
tetapi dalam arti: adalah sesuatu yang selalu mendahului hal lain (terjadi), yang boleh
dikatakan selalu berhubungan satu sama lain (S. Stebbing).
Benar-tidaknya pendapat tentang causalitas ini bukanlah sekarang bahan penyelidikan
kami; yang 67 hendak kami majukan ialah, bahwa renungan ini bukanlah renungan ilmiah,
melainkan filsafat. Mereka sendiri mengatakan bahwa kesebaban ini tidak dapat dialami,
jadi di atas pengalaman, maka penyelidikan ini adalah di dalam wilayah metafisika.
Dengan ini kami tidak mau menyatakan, bahwa ahli ilmu tidak boleh berfilsafat,
melainkan hendaklah ilmu sadar, bahwa ia sudah keluar dari bidangnya sendiri.
Begitu pula janganlah filsafat turun ke bidang pengalaman sehingga terjadi seperti
dalam jaman lampau, ada pendapat filsafat, bahwa bintang itu harus terdiri dari bahan lain
dari bahan di dunia pengamatan ini, sedangkan dasar putusan itu terlalu umum dan kurang
tahu, bahwa alat-alat penyelidikan melalui indra ketika itu memang amat kurang sempurna.
Filsafat dan agama.
Seperti kami kemukakan berkali-kali obyek forma filsafat ialah: mencari sebab yang
sedalam-dalamnya. Dalam hal ini berbedalah ia dari ilmu. Dalam alat dan kemampuan
berpikir filsafat mempergunakan pikir atau budi. Betul dalam mencari sebab itu dikatakan
tanpa membatasi diri, tetapi sebetulnya ada batasnya juga, ialah budi itu sendiri, atau boleh
juga dikatakan: kodrat manusia yang berbudi. Memang untuk lengkapnya ada yang
merumuskan .definisi filsafat demikian: filsafat ialah ilmu yang mencari sebab yang
sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu yang ada dan mungkin 68 ada melalui budi belaka.
Rumusan definisi ini ada baiknya, karena lalu tercantumkan sekali gus yang menjadi
obyek formanya serta juga alat penerangan untuk menyoroti obyek forma itu. Adakah alat
penerangan lain kecuali budi? Ada! Yaitu yang dalam agama disebut wahyu. Dari pada itu
kami majukan sekarang bagaimana beda dan hubungan antara filsafat dengan agama.
Adapun hal agama ini amat sulit juga menentukannya. Dalam pandangan kami ini
kami tegaskan, bahwa yang kami maksudkan dengan agama ialah keseluruhan pendapat
ten tang Tuhan, dunia, hidup dan mati, tingkah-laku serta baik-buruknya yang
berlandaskan wahyu, Yang dimaksud dengan wahyu ialah penerangan Tuhan secara
istimewa kepada manusia, entah secara langsung; entah secara tidak langsung (misalnya
melalui wakil atau utusannya).
Dalam agama seperti kami maksudkan di at as, Tuhan memberi kebenaran-kebenaran
tertentu dan diterimalah oleh manusia (penganut agama itu), bukan oleh karena kebenaran
itu dicapai dan difahami melalui budinya, melainkan karena difirmankan Tuhan. Manusia
percaya kepada Tuhan itu. Itu pulalah sebabnya di sana-sini ada yang menamai agama itu
kepercayaan. Tentang kepercayaan pada umumnya sudah kami utarakan pada halaman 20
dan 21.
Agama ini pun diilmukan. Dengan metodos dicarilah kebenaran mana yang
diwahyukan dan apa maksud wahyu itu sebenarnya dan setelah diadakan 69 susunan dari
kebenaran tersebut ada sistem. Dalam agama ini pun ada (harus ada) obyektivitas, metodos
dan sistem. Bukti pun harus ada, hanya landasan pembuktian bukanlah pengalaman
(seperti dalam ilmu), bukan pula melalui budi belaka (seperti dalam filsafat), melainkan
melalui wahyu. Jika suatu hal memang diwahyukan, maka benarlah itu!
Dengan daya insaninya manusia merenungkan hal- hal yang bukan alamiah dan bukan
insani, melainkan Illahi karena asalnya dari Tuhan yang mewahyukannya. Dengan budinya
manusia itu mencoba memahami hal-hal yang diwahyukan, berusaha pula untuk
mengambil kesimpulan dari kebenaran-kebenaran yang difirmankan oleh Tuhan itu. Bukti-
bukti kebenarannya lalu juga bukan kodrati maupun insani melainkan adikodrati, artinya:
dasar-dasarnya ialah: kalau benar-benar diwahyukan, maka benarlah itu. Usaha manusia
untuk merenungkan kebenaran dalam agamanya inilah yang disebut Theologia.*
Oleh karena filsafat menyelidiki segala sesuatunya, pertemuan bahan penyelidikan
dengan teologia banyak juga. Demi tugas ini filsafat menyelidiki dan mempunyai pendapat
ten tang Tuhan, adanya, sifat-sifatnya, hubungannya dengan manusia dan dunia: semuanya
itu dicapai melalui budi yang dimiliki demi kodratnya, maka pengetahuan filsafat tentang
Tuhan 70 dan lain-lainnya ini adalah pengetahuan kodrati. Adapun pengetahuan tentang
yang sama, mungkin luas dan mendalamnya berlainan yang diterima dari firman Tuhan, itu
pengetahuan yang mengatasi kodrat, kami sebut adi-kodrati.
Teologia itu otonom, dalam rumusan hasil penyelidikannya yang juga bertujuan
kepada kebenaran mengalami proses yang sama dengan pengetahuan manusia yang lain

**
Theologia ini memang Istilahnya yang umum, ilmu agama akan membingungkan.
seperti ilmu clan filsafat. Rumusan kebenarannya juga merupakan langkah setapak demi
setapak, dari hipotesa ke hipotesa serta teori ke teori.
Bagi orang yang beragama yang menerima dan percaya akan kebenaran yang
dimajukan oleh teologia, bulanlah sebenarnya kebenaran itu merupakan pangkal atau dasar
penyelidikannya yang harus juga membuktikan kebenarannya sendiri; haruslah ahli ilmu
dan ahli filsafat sadar benar akan hal ini. Oleh karena yang merupakan bidang serempetan
yang paling banyak ialah antara filsafat dan teologia, maka bahaya mencampur-adukkan
kedua pengetahuan ini agak besar. Kalau kami boleh memakai suatu ibarat, hubungan
antara teologia clan filsafat ialah seperti perahu dan mercu suar. Perahu mempunyai
kemudi dengan juru mudinya. la menuju kepelabuhan, dalam hal itu ia ditunjukkan mercu
suar dimana letaknya pelabuhan kebenaran itu. Mercu suar hanya men unjuk, bukanlah ia
mengemudikan. Perahu dengan kemudi dan jurumudinya yang harus berusaha dengan
alatnya sendiri itu mencapai tujuannya. Daripada itu harus dikatakan, bahwa orang
mungkin berfilsafat 71 dalam penerangan agama.*
Oleh karena filsafat itu menyelidiki segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, dapat
saja agama yang terang ada itu difilsafatkan, artinya ditinjau secara filsafat. Dalam ikhtisar
kami pada halaman 46 jelas ada hal-hal yang merupakan kebenaran agama menjadi bagian
filsafat, misalnya teodicea atau teologia naturalis dan juga etika. Hal-hal yang merupakan
obyek penyelidikan teodicea sudah kami singgung di atas. Pun etika yang menyelidiki
tingkah laku manusia dari sudut baik-buruknya tentu banyak sama pula dengan hal-hal
keagamaan. Misalnya kalau dalam penilaian tindakan itu dicari oleh etika, maka bagian
filsafat ini mencarinya dengan renungannya, sedangkan dalam agama penilaian itu
didasarkan at as firm an Tuhan yang telah diterima oleh agama tertentu itu: kalau
melanggar perintah Tuhan itu tidak baik.
Agama sebagai suatu hal yang ada dapat diilmukan. Syarat ilmiah dengan cara-
kerjanya sekali dipakai dalam ilmu agama itu. Maka ada bermacam-macam ilmu yang
obyeknya suatu aspek dari agama, adalah ilmu perbandingan agama, ada psikologi agama,
ada fenomenologi agama, ada sosiologi agama. Apa yang menjadi obyeknya masing-
masing bukanlah yang perlu kami utarakan sekarang ini, cukuplah sudah diajukan 72
bahwa menang ada ilmu-ilmu yang menyelidiki agama (aspeknya) secara ilmiah.
Oleh karena semua pengetahuan itu maksudnya hendak menuju kepada kebenaran,
maka sebetulnya dalam prinsipnya takkan ada konflik antara ilmu, filsafat dan teologia.
Masing-masing ahlinya harus sadar benar akan batas bidangnya, harus tahu benar jalan dan
dasar pembuktiannya. Ahli yang tahu akan batas pengetahuannya ini akan tertolong benar
dalam mengambil putusan, tahu jugalah ia sifat dan kekuatan putusan itu, ilmiah, filosofis
atau teologis. Saling hormat tentu ada dan bahagialah manusia yang tahu akan batas
kemampuan budinya dan mau tunduk kepada kemampuan yang lain. Keselarasan dalam
pengetahuannya akan tercapai dan takkan ia menyinggung dan tersinggung, kalau ternyata
bahwa masih ada bidang lain yang bukan miliknya.72

PERSOALAN PENGETAHUAN
Dalam bab-bab yang berikut ini yang akan kami majukan tidak hanya hasil tahu saja,
melainkan cara tahu. Ada pun hasil tahu yang telah kami sebut secara umum pengetahuan
itu memang banyak persoalannya, maksudnya banyak pertanyaan yang harus dijawab.
Dalam pengantar ini yang kami anggap paling penting ialah soal kebenarannya serta soal
bagaimana manusia mencapai pengetahuan itu. Walaupun kami yakin benar, bahwa bahan
ini sebetulnya harus dibahas tersendiri karena sudah ada bagian yang khusus menelaah soal
tersebut — soal kebenaran itu menjadi tugas logika, sedangkan soal bagaimana orang
mencapai pengetahuan itu termasuk dalam antropologia metafisika — namun demikian
kami sajikan hal itu di sini untuk membulatkan soal tahu dan pengetahuan ini, meskipun
hanya secara singkat tetapi kami harapkan terang juga, sehingga bagi para sarjana yang

**
Kalau orang ber-filsafat dengan dasar-kebenaran-agama dan itu yang dijadikan alat pembuktiannya, maka aliran
yang demikian itu disebut dogmatis. (Dogma — ajaran agama).
hendak mempunyai pengetahuan dalam bidangnya masing-masing secara mendalam,
nampak pentingnya.
Adapun yang kami maksud dengan kebenaran ialah kebenaran logis, jadi artinya
tidaklah lain daripada pengetahuan yang benar. Ini dulu sudah kami majukan
perumusannya (lihat halaman 11): persesuaian
antara tahu dengan obyeknya. Walaupun tidak semua 74 ahli pikir menerima perumusan
tersebut di atas, yang kami majukan disini ialah bahwa ada persoalan di antara orang yang
menerima rumus tersebut, atau lebih baik: kebenaran dalam pengertian itu menimbulkan
persoalan yang harus dijawab.
Soalnya.
Faktanya adalah dua macam pengetahuan, yang kami sebut pengetahuan khusus dan
pengetahuan umum. Pengetahuan khusus itu mengenai yang khusus, satu persatu, berubah-
ubah dan dari sebab itu tidak tetap, sedangkan pengetahuan umum mengenai yang umum,
jadi seluruh macamnya, tidak satu per satu, sifatnya tetap, jadi tidak berubah-ubah.
Ternyata dua pengetahuan ini sifatnya boleh dikatakan sama sekali bertentangan,
sedangkan yang tahu itu satu (manusia) dan yang diketahui (obyeknya) satu pula. Segera
timbul pertanyaan, pengetahuan manakah yang benar, yang sesuai dengan obyeknya?
Bahwa banyak hali pikir mencoba menjawab pertanyaan ini ternyata dari sejarah, baik
ahli pikir barat, maupun timur banyak mencoba menelaah hal tersebut serta menyajikan
jawab pertanyaan itu. Dibawah ini akan kami majukan tinjauan bagaimana para sarjana
mengajukan serta mencoba memberi penyelesaian terhadap persoalan kita ini.

Kuno (Yunani).
a. Pada permulaan sejarah filsafat Yuna ni adalah usaha ahli pikir didaerah yang
disebut tanah Yunani maupun rantaunya (kolone) yang mencoba mencari inti alam yang
melingkungi mereka. Dibanding dengan sekarang pengetahuan mereka ten tang alam tidak
seberapa, akan tetapi mereka itu sebagai filsuf sudah mencari keterangan sedalam-
dalamnya bagi alam dengan menanyakan apakah sebenarnya inti alam itu. Ada yang
mengatakan bahwa intinya sebenarnya air, ada yang mengatakan udara, ada pula yang
mengatakan api, misalnya Herakleitos (535 - 475). la berpendapat demikian, karena
dialaminya, bahwa segala sesuatunya pada alam itu berubah dan bergerak seperti api.
Kemudian ditarik kesimpulan, bahwa yang menjadi keterangan sedalam-dalamnya bagi
alam ialah gerak. Tak adalah suatu yang tetap, semuanya, apapun bergerak· dan berubah,
menjadi, lewat tak ada yang sesaatpun sama. Ini dirumuskan dengan ungkapan yang
mashur itu: ‘panta rhei’, artinya: semua mengalir. Bagi Herakleitos satu-satunya realitas
ialah perubahan. Dalam persoalan kebenaran pengetahuan segera nampak juga jawabnya:
oleh karena alam, sumber pengetahuan dan daripada itu obyek pengetahuan juga,
semuanya tak tetap dan berubah, maka pengetahuan yang sifatnya berubah-ubah dan tidak
tetap itulah yang sesuai dengan obyeknya, jadi pengetahuan yang khususlah yang benar.
Oleh karena pengetahuan khusus ini dicapai orang melalui indranya, maka hanya
pengetahuan indra sajalah yang benar; demikian pendapat Herakleitos.

b. Parmenides (540 - 475) dilahirkan di Elea, lain 76 sekali pendapatnya. la mengakui


adanya dua pengetahuan, baik yang khusus maupun yang umum. Pengetahuan khusus
(indra) itu bukan pengetahuan sebenarnya, karena indra itu tak dapat dipercayai. Berapa
kalikah kita mengalami bahwa ada putusan keliru karena kekeliruan indra? Jadi menurut
Parmenides pengetahuan yang benar hanyalah pengetahuan yang umum, yang disebutnya
pengetahuan budi. Pengetahuan budi yang tetap ini memang sesuai dengan obyeknya,
sebab alam ini tetap, yang terdapat ialah ada, bukan menjadi, perubahan itu hanya
nampaknya saja, sebenarnya: adalah. Sebab apakah yang terdapat diluar ada, bukankah
hanya tiada belaka (nihil mutlak)?
Pertentangan antara Herakleitos dan Parmenides ini menjadi pertentangan dalam hal
pengetahuan, yang hingga sekarang ini belum ada penyelesaiannya yang memuaskan
semua pihak. Penganut Parmenides pada jaman Yunani itu amat banyak, disebut kaum
Elea menurut temp at kelahiran Parmenides serta mereka mencoba membuktikan, bahwa
gerak itu sungguh tak ada.
Akan tetapi itu semuanya juga tidak memuaskan, karena kita semuanya mengalami
gerak dan perubahan, walaupun bagaimana diterangkan, bahwa gerak itu hanya kekeliruan
kita saja, tidaklah memuaskan kita. Usaha untuk menerangkan gejala pengetahuan dua
macam ini diteruskan.

c. Yang mencoba tidak hanya mengakui adanya 77 dua macam pengetahuan itu, tetapi
juga menerangkan kebenarannya serta menerangkan mengapa ada pengetahuan yang
demikian itu ialah Plato (427 - 347). Dalam hal ini ia amat tertolong oleh gurunya,
Sokrates (469 - 399) yang amat mementingkan pengamatan.
Kita, demikian Sokrates, haruslah mengamat-amati hal yang hendak kita ketahui
sebaik-baiknya dan hanya pengamatan yang sebaik-baiknya akan menimbulkan
pengetahuan sejati, yaitu pengetahuan yang benar yang sifatnya tetap dan berlaku umum.
Sokrates tidak mengingkari nilai clan kebenaran pengamatan, ia malahan mengatakan
bahwa pengamatan melalui indra itu merupakan. jalan untuk mencapai pengetahuan yang
disebutnya sejati itu. Pengamatan ini memang amat penting bagi Sokrates dan ini menjadi
pegangan teguh bagi Plato.
Diakui benar olehnya, bahwa manusia mempunyai pengetahuan yang dicapai dengan
pengamatan (melalui indra) serta sifatnya khusus, Jan disamping itu benar ada pengetahuan
yang sifatnya umum, mutlak dan tak berubah. Ini disebutnya idea. Obyek pengetahuan
khusus atau pengamatan ialah dunia pengamatan, yang selalu berubah dan bergerak dan
tidak tetap. Pengetahuan itu mungkin benarlah karena mungkin sesuai dengan obyeknya.
Ada pun pengetahuan yang mengenai yang disebutnya idea itu pun mungkin benar, sebab
ada obyeknya yang sifatnya tetap, tidak berubah-ubah dan mutlak, yaitu, idea’, 78 tidak
terdapat di dunia ini, melainkan ada di dunianya sendiri yang disebut oleh Plato dunia idea.
Demi adanya dua pengetahuan ini, manusia itu termasuk dalam dunia dua, yaitu dunia
pengamatan ini serta dunia idea sekaligus. Penyelesaian ini menimbulkan pertanyaan juga,
sebab yang berbeda itu terutama sifat pengetahuan sedangkan halnya sama. Misalnya kita
mempunyai pengetahuan tentang segitiga yang satu ini dengan segala sifat-sifatnya, yang
khusus dapat berubah dan tidak mutlak (disebut segitiga kongkrit), tetapi ada pula
pengetahuan kita tentang segitiga juga, tetapi abstrak, artinya umum dan tetap yang disebut
oleh Plato idea. Adakah hubungan antara idea dengan hal yang kongkrit didunia
pengamatan itu? Memang ada, jawab Plato. Di dunia idea, idea itu ada dengan
sesungguhnya, hanya satu dalam macamnya, baka dan tidak berubah, ia sempurna dalam
macamnya karena mempunyai semua sifat-inti dari se gala macamnya. la merupakan
contoh, pawang dari segala apa yang ada didunia kita ini. Ada pun hal yang kongkrit di
dunia pengamatan ini hanya merupakan gambaran atau bayang-bayang dari idea itu. Itulah
sebabnya maka ada misalnya segitiga kongkrit yang bermacam-macam serta tidak tetap,
karena caranya menjadi bayang-bayang itu berlainan.
Pertanyaan masih ada juga, yaitu: mengapa manusia yang di dunia ini dan tidak ada di
dunia idea, mempunyai pengetahuan tentang ‘idea juga? Adapun jawab Plato demikian:
manusia itu memang ada di dunia pengamatan ini, akan tetapi tidaklah selalu 79 demikian.
Manusia terdiri dari dua hal, ialah badan dan jiwanya. Jiwa itu dahulu ada di dunia idea
dan oleh karena itu kenal akan idea-idea yang ada di sana dengan sesungguhnya. Oleh
karena sesuatu hal, ia meninggalkan dunia idea dan bersatu dengan badan sehingga
merupakan manusia. Manusia yang terdiri dari jiwa dan bad an itu sekarang bersentuhan
dengan hal yang kongkrit di dunia pengamatan, yang merupakan gambar atau bayang-
bayang idea dan ingatlah ia akan idea yang telah dikenalnya dahulu!
Oleh karena itu hanya ingatan, maka sifat-inti yang tercapai juga tidak seluruhnya.
Tugas filsuf ialah, menggali dan menyelami hal di dunia pengamatan ini sampai intinya,
janganlah ia puas dengan pengetahuan yang tidak tetap dan berubah.
Demikian Plato mencoba menyelamatkan kedua pengetahuan itu serta memberi
keterangan apa sebabnya manusia mempunyai dua macam pengetahuan itu, yang keduanya
berharga, akan tetapi yang utama ialah pengetahuan tentang idea, sebab idea itupun yang
sebenarnya. Idea sungguh ada, merupakan realitas. Karena itu ada yang menamai aliran
Plato ini idealisme realistis.
Tetapi masih ada kesulitannya, yaitu justru dunia idea ini. Bukti untuk adanya serta
peranannya terhadap dunia pengamatan tidak amat jelas, lagi pula bahwa manusia itu
terdiri dari ‘dua bagian yang saling bertentangan serta boleh dikatakan berdiri sendiri
masing-masing juga tidak memuaskan, karena ternyatalah 80 bahwa manusia itu
merupakan kesatuan.

d. Lain lagi penyelesaian yang diberikan oleh murid Plato yang bernama Aristoteles
(384 - 322) yang pengaruhnya dalam bidang filsafat amat besar, boleh dikatakan sampai
sekarang ini juga. Banyak istilah, baik untuk ilmu maupun filsafat, dapat dipulangkan
kepada buku karya Aristoteles. Disini hanya kami majukan secara singkat pendapatnya ten
tang kebenaran pengetahuan manusia.
Menurut Aristoteles memang ada dua macam pengetahuan. Iapun menerima adanya
idea, akan tetapi lain sekali dari pendapat Plato. la berpangkal kepada dunia ini. Menurut d
ia yang sungguh ada (realitas) adalah yang kongkrit, yaitu hal yang satu per satu dengan
sifat-sifatnya yang tertentu. Seluruh dunia itu merupakan realitas, bukanlah itu bayangan
dari idea yang terdapat pada dunianya sendiri. Dunia idea itu menurut Aristoteles tak ada.
Adapun hal yang kongkrit itu mempunyai dua macam sifat, yaitu sifat-sifat yang
melainkan dari yang lain, tetapi ada juga sifat-sifat yang menyamakan dengan yang lain,
sehingga beberapa hal mungkin dimasukkan kepada satu macam. Misalnya segitiga yang
beraneka ragam itu satu per satu memang lain dari yang lain, tetapi mereka bersama adalah
mempunyai sifat yang sama sehingga semuanya dapat dimasukkan kepada macam segitiga,
(bukan misalnya macal11 segi-empat). Sifat yang terdapat pada semua dari satu macam
dan harus terdapat pada macam itu lalu bersifat umum dan 81 mutlak. Maka manusia
mempunyai kemampuan untuk hanya menghiraukan sifat yang umum dan mutlak itu saja
dan tidak memperhatikan sifat yang beraneka warna yang tidak umum dan tidak mutlak
pada hal yang kongkrit itu. Pengetahuan yang kongkrit itu memang hasil pengetahuan
indra sedangkan pengetahuan yang umum itu dihasilkan melalui indra juga tetapi dengan
pengolahan lebih lanjut oleh manusia. Oleh karena yang ada benar itu yang kongkrit, maka
yang umum itu tidak ada dalam arti kongkrit itu; itu pengambilan oleh manusia
berdasarkan pada yang kongkrit. Pengetahuan yang umum dan mutlak sifatnya ini disebut
oleh Aristoteles idea juga, tetapi bukanlah idea itu ada tersendiri dalam dunianya sendiri,
tetapi hasil kemampuan manusia untuk menanggalkan secara mental sifat yang bermacam
dan berubah-ubah sehingga hanya tinggal yang sama, maka dari itu umum, serta yang
harus, mutlak pada macamnya.
Tindakan manusia untuk menanggalkan sifat yang menyebabkan permacaman serta
mengambil yang sama ini disebut oleh Aristoteles pengabstrakan (abstraksi), adapun
hasilnya ialah pengetahuan yang abstrak. Idea (yang abstrak) ini adalah sifat inti dari hal
yang kongkrit.* 82

Abad pertengahan
Setelah kekuasaan dari Yunani pindah ke kerajaan Romawi dan melalui orang Romawi
kebudayaan Yunani boleh dikatakan menjadi milik Eropa serta alam pikiran Yunani itu
menjadi dasar alam pikiran Eropa, maka persoalan pengetahuan malahan tidak ditelaah
lagi. karena dalam filsafat orang Eropa pada permulaan abad kita hanya melanjutkan
pikiran Yunani saja. Kemudian setelah timbul dan berkembang agama Katolik di Eropa
dan mempengaruhi alam pikiran mereka, orang yang Katolik lebih mengutamakan ajaran
agamanya daripada filsafat Yunani. Adapun pengetahuan yang sebenar-benarnya bagi
orang beragama ini ialah pengetahuan yang diwahyukan oleh Tuhan yang tak dapat keliru,
itulah pengetahuan sejati. Memang kemudian timbul juga pertanyaan, dapatkah manusia
dengan budinya mencapai kebenaran? Agak lama ini merupakan pertentangan dalam
kalangan mereka, tetapi soal sebenarnya ialah dapatkah manusia tanpa wahyu mencapai
kebenaran atas semua kebenaran atau haruskah dilandaskan atas wahyu? Hal ini tentu saja
tidak termasuk dalam persoalan kebenaran pengetahuan yang kami majukan disini.
Baru pada abad sepulun timbul pertanyaan apakah sebenarnya idea yang juga dinamai
conceptus atau universale itu. Nama universale lebih terkenal ketika itu, sehingga
pertikaian jaman itu terkenal pula sebagai pertikaian universalia. Pertanyaan ini ada yang
menjawab: universale itu tidak lain daripada 83 semacam nama, tanda-luar dari hal
tertentu. Universale itu gunanya hanya mempermudah pembicaraan tetapi tak merupakan
**
Nama idea ini dalam sejarah filsafat mempunyai sinonim. Pada abad pertengahan terkenal sebagai universale
(banyak ‘universalia) karena sifat um urn itu; ada yang menyebut conceptus, karena ditangkap oleh manusia sebagai inti.
Kami menyebut dalam bahasa Indonesia: pengertian, karena merupakan hasil mengerti (mengambil arti?).
realitas. Aliran ini disebut orang nominalisme (nomen — nama). Disamping itu ada yang
menjawab, bahwa universale itu merupakan realitas bahkan demikian, sehingga universale
harus dipandang semacam biji, boleh disebut inti, tetapi inti yang persis sama untuk semua
hal yang semacam.
Jawab yang merupakan jalan-tengah dan sampai sekarang menjadi landasan jawab soal
ini, diberikan oleh seorang filsuf abad pertengahan bernama Abaelardus (1079 - 1142).
Walaupun filsuf Prancis ini tidak terlalu mengenal ajaran Aristoteles, tetapi jawab itu
menyamai benar jawab Aristoteles atas pertanyaan yang sama, Menurut Abaelardus
universale (idea bagi Aristoteles) bukanlah nama belaka, tetapi juga bukan realitas
tersendiri, melainkan sifat yang bersama-sama dimiliki oleh hal yang semacam, daripada
itu umum serta sifat itu dimiliki hal yang semacam itu dengan keharusan, maka dari itu
mutlak pada macamnya.
Pendapat ini selama abad pertengahan dan malahan lebih lama lagi menjadi pedoman
filsafat, yang sejak itu berkembang dan subur di Eropah dan terkenal sebagai aliran
Scholastik.* 84
Jadi untuk kembali kepada persoalan kita, mereka mengakui adanya dua macam
pengetahuan yang sifatnya bertentangan itu serta mengakui bahwa keduanya mungkin
benar, asal sesuai dengan obyeknya. Pengetahuan khusus mengenai yang kongkrit
sedangkan pengetahuan urnum mengenai yang abstrak. Keduanya tidaklah mencapai
seluruh realitas, tetapi keduanya, tidaklah salah, mungkin tidak lengkap.
Sampai abad 16 hal tersebut tidak lagi menjadi pertikaian hebat. Tetapi setelah timbul
masa yang dikenal sejarah sebagai Renaissance yang memperkenalkan kebudayaan kuno
terutama Yunani dengan filsafatnya dan muncul pula ilmu terutama ilmu alam, yang
hasilnya pasti dan hukumnya, terumuskan dengan tepat dan umum, maka goyang pula
pendapat orang tentang pengetahuan manusia pada umumnya. Terasa benar ketegangan
dan ketidakpastian yang terdapat pada filsafat dan keterangan mereka terhadap ilmu tidak
memuaskan, sedangkan kemajuan ilmu amat pesat.

a. Maka inginlah seorang ahli pikir, Rene Descartes (1596 - 1650), untuk merintis jalan
(metodos) guna mencapai kepastian dalam pengetahuan pada umumnya, Diajukan
beberapa syarat untuk mencapai kepastian ini, yang telah kami kemukakan pada halaman
27. Antara lain ia mengajukan sebagai pedoman dalam mencari kebenaran itu, jangan
penyelidik mendasarkan penyelidikannya atas apapun juga; penyelidikan itu hendaknya
diarahkan kepada yang kongkrit; 85 dengan kata lain manusia haruslah dalam usahanya
mencari kebenaran dan kepastian mengamat-amati segala-galanya, sedangkan ia tak
menggunakan pengetahuannya, sehingga seakan-akan ia sangsi. Tetapi ini bukanlah sangsi
yang tidak berani mengadakan putusan, melainkan yang mendorong manusia untuk
menyelidiki. la mengadakan pengamatan terhadap yang sekongkrit-kongkritnya ialah
kesadarannya sendiri yang disebutnya aku. Maka ternyata aku yang sangsi itu sebenarnya
mengadakan pemikiran. Sangsi adalah suatu macam (cara) berpikir. Kalau aku itu berpikir,
maka nampak pula dengan terang kepadanya bahwa ia ada. Inilah kepastian pertama yang
nampak dengan terang benderang kepada aku yang berpikir itu, ialah: aku itu ada.
Ungkapannya yang amat masyhur ialah.: cogito, ergo sum, aku berpikir, maka: adalah aku.
Jelas bagi Descartes, bahwa yang pasti karena terang-benderangnya itu tercapai karena
kesadarannya yang berpikir itu. Idea ada itu pasti, karena terang-benderang dan benar
karena tak dapat diingkari justru juga karena terang-benderangnya. Disimpulkan oleh
Descartes, bahwa hanya idea yang terang-benderang sajalah yang pasti dan benar, dan oleh
karena itu tercapai oleh kesadaran yang berpikir, maka kesadaran yang berpikir yang
disebutnya rasio inilah satu-satunya sumber kepastian dan kebenaran. Pengetahuan budi
atau rasio itu sajalah yang benar. Dengan demikian benarlah bahwa Descartes disebut
orang dalam filsafat bapak aliran rasionalisme. 86
Dalam intinya pendapat Descartes ten tang kebenaran pengetahuan ini tidak berbeda
dengan pendapat Parmenides yang mendahuluinya kira-kira 20 abad. Pahala Descartes
ialah menjadi penunjuk jalan untuk mencari kebenaran dan kepastian melalui budi dan
tidak mendasarkan pengetahuan atas dogma manapun; itu pula sebabnya ia disebut bapak
ilmu modern.
**
Untuk lebih jelas mengetahui jalan seluruh filsafat dari abad permulaan sampai abad pertengahan hendaknya
dibaca buku penulis ini, ‘Pembimbing kearah alum filsafat’, Pembangunan, Jakarta 1967, halaman 81-109.
Kesulitan besar bagi idea Descartes yang terang-benderang itu: apakah jaminan
kebenarannya? Adapun Descartes menjawab, bahwa idea itu diberikan oleh Tuhan
sebelum manusia lahir, sehingga idea itu merupakan bekal hidup bagi manusia, idea itu
harus benar karena pemberian dari Yang Maha benar.
Idea itu disebutnya, ‘ideae innatae’, idea yang dibekalkan kepada manusia sebelum
lahir!

b. Mernang agak mengagumkan Descartes seakan-akan lari kepada Tuhan untuk


menerangkan asal idea yang terang-benderang itu. Sehingga pada rasio manusia seakan-
akan ada suratan idea-idea guna bekal hidupnya. Hal ini dalam kesadaran sukar sekali
diterima; bagi bapak ilmu modern yang amat mengutamakan pengamatan ini memang
merupakan suatu kekurangan yang besar, sebab dalam pengamatan kita sama sekali tidak
terang benderang, bahwa idea itu sudah terbekalkan kepada kita. Tidak mengherankan, jika
ada ahli-ahli pikir, yang lebih lagi mengutamakan pengamatan dan pengalaman
mengatakan, bahwa ideale innatae ini tidak ada. Waktu manusia dilahirkan tak punyalah ia
semacam suratan, ia merupakan kertas 87 blanko (tabula rasa)! ldeae yang kemudian
dimilikinya itu hanya dicapainya setelah ia mempunyai pengalaman. Kesimpulan mereka:
hanya pengalaman (empiri) sajalah satu-satunya sumber pengetahuan. Aliran ini disebut
empirisme.
Salah seorang ahli pikir Inggris, David Hume (1711 - 1776) kami kemukakan
pendapatnya disini, karena msnuru t hemat kami dia dapat dianggap wakil dari aliran
empirisme itu. la menganalisa pengertian substansi. Seluruh pengetahuan itu menurut dia
tak lain dari pada jumlah pengalaman kita. Dalam budi kita tak ada suatu idea yang sesuai
dengan impression yang disebabkan hal diluar kita. Apa saja yang merupakan pengetahuan
itu hanya disebabkan oleh pengalaman. Halnya sendiri tak dapat kita kenal. Adapun yang
bersentuhan dengan indra itu ialah gejala dari .ral tersebut. Yang menyebabkan kita
mempunyai pengertian yang tetap (substansi.) itu tidak lain dari perulangan pengalal11an
yang demikian acapkalinya, sehingga kita menganggap mempunyai pengertian tentang
suatu hal, tetapi sebetulnya tak ada itu. Substansi itu hanya anggapan, khayalan belaka.
Begitu pula pengertian lainnya yang tetap dan umum itu semuanya tak ada halnya.
Kita misalnya tak mengetahui kesebaban, yang kita kenal hanya urut-urutan kejadian;
misalnya: kita menerima pukulan dan kemudian merasa sakit. Oleh karena kita kerapkali
merasa sakit setelah menerima pukulan, maka kita katakan yang menyebabkan sakit itu 88
pukulan. Tetapi tidaklah sebenarnya demikian, itu hanya anggapan kita saja.
Dengan tegas Hume hanya menerima persentuhan indra dengan hal luar, hanya itu
saja, segala kesimpulan yang diadakan orang itu tak ada dasarnya. Menurut Hume
pengetahuan budi tak dapat diterima persesuaiannya dengan obyeknya.*

c. Pertentangan antara pengetahuan umum (budi) dan pengetahuan khusus (indra)


disini dimajukan lagi dengan hebatnya. Walaupun yang ditekankan terutama sumber
pengetahuan tetapi dalam intinya mengenai kebenaran masih tetap ada dua pendapat yang
saling berhadapan: ada yang mengatakan bahwa pengetahuan budi saja yang benar, sedang
dilain pihak ada pula yang mengatakan, bahwa hanya pengetahuan indra saja yang benar.
Memang kalau salah satu diberi kedaulatan sepenuhnya, selalu menimbulkan kesulitan,
yang sukar diingkari ialah adanya kedua pengetahuan itu, adakah barangkali sintesisnya?
Seorang ahli pikir bangsa Jerman Immanuel Kant, (1724 - 1804) mencoba
mengadakan penyelidikan sampai dimana kebenaran pengetahuan kita itu serta bagaimana
cara kita mempunyai pengetahuan yang sifatnya bertentangan satu sama lain itu?
Penyelidikan itu ditulisnya dalam bukunya yang 89 amat masyhur bernama, Kritik der
reinen Vernunft. Teori penetahuan yang dimajukannya disebut orang kritisisme.
Kant dulunya manusia mengenal obyek itu paling mat benar kepada daya budi dan
yakin bahwa pengetahuan budi itu amat besar nilainya serta harus ada karena ilmu
memerlukan putusan-putusan umum:
Ilmu tidak merumuskan dalam hukumnya itu yang khusus, melainkan yang umum.
Kemudian ia berkenalan dengan filsafat Hume dan merasa bahwa pengamatan memang
amat besar gunanya sebagai sumber pengetahuan.
**
Tentang rasionalisme dan empirisme dapat juga dibaca buku kami ‘Pembimbing kearah alum Filsafat’ halaman
107 - 118.
Maka dalam penyelidikannya diutarakan oleh Kant manusia mamang dalam
persentuhan dengan indranya terhadap obyek hanya menerima gejala atau fenomena
(Erscheinungen) yang tidak teratur. Hal sebenarnya yang disebutnya das Ding an sich tidak
tersentuh oleh manusia, pun tak terkenal olehnya dalam pengamatannya (Anschauung).
Walaupun demikian manusia mengenal obyek itu paling sedikit dalam bentuk sesuatu yang
memerlukan ruang dan pada suatu ketika. Jadi ada faktor ruang dan waktu dalam
pengenalan ini. Dari manakah bentuk ruang dan waktu itu? Menurut Kant bentuk ruang
dan waktu itu bukan dari obyek; obyek hanya menyajikan gejala yang tak teratur. Bentuk
ruang dan waktu itu dari manusia (subyek yang mengenal). Jadi gejala yang tidak teratur
itu diatur (dibentuk) oleh manusia dengan bentuk yang ada pada manusia sebelum ada 90
pengamatan atau pengalaman apapun juga, — disebut oleh Kant bentuk a priori —. Bentuk
a priori ruang dan waktu itulah yang menjadi bagian manusia dalam peranannya untuk
mencapai pengetahuan khusus (pengetahuan indra).
Bagaimana manusia dapat mencapai pengetahuan budi yang sifatnya umum seperti
diperlukan dalam ilmu? Dalam ilmu orang misalnya mengenal kuantitas (ilmu pasti),
kualitas (ilmu alam). Dalam hal itu ada juga pembentukan dari pihak subyek. Bentuk
subyektif untuk pengetahuan umum itu disebut oleh Kant ‘Kategori’, Ada empat kategori,
ialah kuantitas, kualitas, relasi dan modalitas.
Bagi Kant pengamatan adalah syarat mutlak bagi pengetahuan, itu diolah oleh manusia
menjadi pengetahuan khusus dalam waktu dan ruang atau mungkin menjadi pengetahuan
umum dengan kategorinya. Dengan demikian ternyata sekali bahwa Kant hendak
mengadakan sintesis antara rasionalisme dan empirisme: pengamatan merupakan
permulaan pengetahuan, pengolahan dari manusia merupakan pembentukannya.
Isi dari pengetahuan, baik yang khusus maupun yang umum memang dari obyek, tetapi
bentuknya dari subyek.* 91

Dewasa ini.
Sebagai ahli pikir yang mencoba mengadakan sintesis dalam hal pengetahuan, Kant
pengaruhnya amat besar dalam waktu sesudahnya yang dalam sejarah filsafat dikenal
sebagai masa sekarang atau dewasa ini. Adapun perhatian filsafat dewasa ini sebenarnya
tak lagi kepada kebenaran pengetahuan serta mempersoalkan manakah dari dua macam
pengetahuan itu yang benar, melainkan malahan obyek pengetahuanlah yang diteropong.
Ditanyakan dan dicoba jawab: obyek itu benar adakah? Kant mengajukan Ding an sich
yang sungguh ada, walaupun tak terkenal. Masa sesudah Kant menyangsikan adanya Ding
an sich itu. Dengan adanya pendapat tentang obyek pengetahuan, maka dengan secara
tidak langsung ada juga pendapat yang bermacam-macam tentang nilai pengetahuan dan
dengan demikian juga tentang kebenarannya dalam arti yang telah berkali-kali kami
majukan. Di bawah ini kami tinjau beberapa aliran yang terkenal serta berpengaruh dalam
filsafat dewasa ini.

a. Idealisme yang berkembang di Jerman terutama diutarakan oleh filsuf J.G. Fichte
(1762 - 1814,; ia mengatakan bahwa sebenarnya yang ada itu subyek yang berpikir itu.
Aku (yang berpikir itu) berhadapan dengan bukan-aku sebagai obyek. Obyek ini. adanya
sama sekali tergantung kepada aku atau subyek berpikir ini. Obyek itu ada hanya karena
dipikirkan. Lebih lanjut diterangkan oleh Fichte, bahwa bukan-aku itu hanya merupakan
pertentangan dari 92 aku, yang sebetulnya rintangan yang harus diatasi, batas yang harus
dilewati dan saat yang harus dipergunakan (oleh aku), tetapi bukanlah obyek itu ada
sesungguhnya: dengan kata lain bukanlah obyek atau bukan-aku ill! merupakan realitas.
Idealisme Fichte ada yang lebih suka menamai subyektivisme, karena obyek itu adanya
demi subyek!
Secara tidak langsung subyektivisme ini mengingkari kebenaran pengetahuan khusus,
kalau ada pengetahuan benar, maka itu hanya yang umum saja, yang disebut idea (itulah
sebabnya maka aliran ini disebut juga idealisme).

**
Nama lain untuk aliran Kant ini: Idealisme subyektif, sebab kebenaran idea bentuknya dari subyek: ada pula yang
menyebut fenomenalisme, karena mengakui peranan fenomena. Ada lagi yang menyebut dengan nama filsufnya:
Kantianisme.
Memang idealisme dalam arti ini di Jerman amat subur, pada arti umum lalu
bermaksud hendak menerangkan yang kirusus dari yang umum yang disebut mereka idea
itu.
F.W.J. Schelling (1775 - 1854) memang berpendapat bahwa sesungguhnya yang ada
ialah aku yang berpikir itu, tetapi sebaliknya obyeknya (bukan-aku) itu juga bukan
pertentangan semata-mata dari subyek, ia muncul dari subyek, alam diakui
kesungguhannya sebagai yang muncul dari subyek yang sungguh ada: rumusannya kira-
kira berbunyi: subyek dan obyek (alam) adalah sama (satu).
G.W.F. Hegel (1770 - 1831) lain idealismenya. Ia hanya mengakui idea, itu ada. Idea
dan ada itu sama. Perkembangan ada atau idea inilah yang merupakan dunia seluruhnya
dengan manusianya serta negaranya dan dengan sejarahnya pula. 93
Perkembangan idea (ada) itu menurut aturan (nukum, yang dinamai dialektika).
Adapun dialektika dengan sederhana dapat dituturkan demikian: idea itu sadar akan dirinya
(ada itu menempatkan diri sebagai tesis, kata Hegel) dan karena kesadarannya itu
timbullah tiada sebagai anti-tesis. Tesis dan antitesisnya ini berpadulah serta menimbulkan
perubahan. Hasil perubahan ini merupakan sintesis, lalu berlaku sebagai tesis baru serta
menimbulkan antitesis baru pula dengan hasil perpaduan pada sintesis baru dan demikian
seterusnya, dan itulah perkembangan dunia
Dalam umumnya idealisme ini mengurangi bahkan disana-sini menghilangi realitas
dunia, sehingga walaupun secara tak langsung mengurangi atau menghilangkan kebenaran
pengetahuan khusus.

b. Walaupun agak lain jalan pikirannya, akan tetapi asal mulanya sebenarnya sama,
ialah pendapat positivisme, yang dipelopori oleh A. Comte (1798 - 1857). Pangkal
pemikirannya ialah kekeliruan rasionalisme yang mula-mula hanya mengakui kebenaran
yang terang-benderang saja dan dalam ilmu hanya mengakui kebenaran yang dapat diukur
secara pasti dan positif. Cara mendekati hal inilah yang lalu menjadi dasar pikiran
positivisme. Bagi positivisme hanya yang positif dapat dialami saja yang benar, ilmu yang
tidak positif itu bukan ilmu sebenarnya. Inilah kebalikan dari idealisme, positivisme hanya
mengakui (kalau konsekuen) nilai pengetahuan indra. 94

c. Pendekatan pandangan alam secara positif ini amat dekat kepada pandangan yang
memang timbul kemudian yang biasanya disebut materialisme. Walaupun corak
materialisme ini beraneka warna, tetapi pendapat ten tang alam dan pengetahuan terhadap
alam itu, menurut hemat kami amat tepat secara materialistis dirumuskan oleh Feuerbach
(1804 -1872): satu-satunya yang ada ialah alam. Manusia itupun benda-alam.
Pengetahuannya ialah pengalamannya; arah tujuannya ialah cenderung-alamnya,
cenderung akan hidup.
Teranglah disini, bahwa kalau ada kebenaran, maka itu hanya tercapai oleh
pengetahuan indra. Pengetahuan budi yang umum itu mungkin ada gunanya, dapat
memungkinkan percakapan, tetapi bukanlah itu mencerminkan kebenaran, yang terang
tidaklah mencapai persesuaian dengan obyeknya, sebab tak adalah yang umum dan tetap.

d. Masa sesudah Kant ini belumlah memberi penyelesaian terhadap soal hebat
mengenai pengetahuan, karena pendapat ahli pikir ten tang alam — obyek pengetahuan —
amat bertentangan juga. Oleh karena sekarang ini yang dipersoalkan ada tidaknya obyek
itu, maka aliran ini memperoleh nama idealisme disatu pihak dan realisme bel aka atau
materialisme dilain pihak. Idealisme mengingkari adanya realitas alam, materialisme hanya
menerima realitas alam, alam itu satu-satunya realitas!
Kedua pendapat ini memang merupakan 95 pertentangan, jadi kedu anya tak ada yang
memuaskan. Kalau hanya idea yang diakui realitasnya, maka apakah dunia pengamatan
ini? kalau dunia pengamatan ini sesuatu yang su byektif belaka, apa penilaiannya hanya
subyektif juga, sedangkan penyelidikan ilmu pada akhir-akhir ini memaksa kita menerima
perangsang dari luar kesadaran kita untuk tahu dan yang menjad i dasar ilmu. Kalau
sekiranya hanya penampakan dunia itu saja yang dianggap realitas, apakah arti dan nilai
pengetahuan umum? apakah hukum yang dirumuskan oleh ilmu dengan penyelidikan serta
segala susah payahnya? Kalau dikatakan, bahwa yang umum itu hanya jumlah pengalaman
bel aka ini bertentangan dengan praktek sehari-hari dan praktek ilmu sendiri. Dalam hidup
kita sehari-hari saja sudahlah sebenarnya kita ketahui, bahwa keseluruhan itu tidak sama
dengan jumlah bagian-bagiannya terutama bagi keseluruhan hidup yang merupakan
kesatuan.
Maka daripada itu tidak heranlah, bahwa lambat-laun timbullah aliran yang menamai
dirinya realisme kritis, artinya mengakui realitas sepenuhnya, baik yang berlaku umum
maupun yang khusus. Memang dunia pengamatan yang beraneka ragam coraknya ini
realitas, sungguh ada. Tidak semuanya yang nampak kepada kita itu sesungguhnya ada,
tetapi juga salah, ‘jika dikatakan bahwa yang nampak kepada kita itu khayal belaka. Pad a
umumnya harus diterima, bahwa yang bergejala itu ada dan gejala itu kami ketahui; kita
dapat mengadakan putusan sesuai dengan gejala itu, sebaliknya melalui gejala itu mungkin
menyelami 96 hal-hal yang bergejala itu sampai kepada yang umum. Realitas itu memang
merupakan keseluruhan, manusia yang mengenal realitas itupun keseluruhan pula; kedua-
duanya amat kompleks: pendekatan melalui indra tidak mencakup seluruh realitas,
pendekatan melalui budi tidak mencapai seluruh realitas.
Keterangan ini dimajukan oleh filsafat yang dalam sejarah kerapkali disebut filsafat
hidup, karena amat mengutamakan hidup manusia sebagai keseluruhan dan kesatuan.
Wakil utamanya yang masyhur ialah Bergson (1859 - 1941).
Menurut Bergson adalah dua aspek hidup pada manusia. la memang in gin hidup dan
ini yang merupakan pendorong tindakannya. Keinginan dan pendorong hid up disebut
‘elan vital’. Adapun yang dimaksud dengan dua aspek itu ialah: jika hidup ini diturunkan
terdapatlah pada hidup binatang dengan nalurinya serta hidup tumbuh-tumbuhan dengan
gerak-hidupnya yang tertentukan oleh alam. Jika aspek itu dinaikkan maka merupakan
hasil tindakan manusia yang sebenarnya, yang melainkan dari hidup tersebut di atas: ilmu,
seni, kesusilaan dan agama. Tetapi dua aspek ini dalam realitas manusia merupakan
kesatuan yang tak mungkin dipisahkan. Dengan budi saja kita tak dapat mencakup seluruh
realitas, kita memotong-motong dalam idea yang statis, sedangkan realitas itu bukan
merupakan potongan melainkan adanya terus (langsung) dalam yang disebutnya ‘durée’,
dan bukanlah dalam waktu yang biasa kita kenal, yang disebutnya ‘temp’. 97
Pengenalan kita dalam potongan (morselage) yang seakan-akan dari fase ke fase
bukanlah pengenalan yang sebenarnya, daripada itu tentulah tidak mencakup seluruh
realitas.
Dalam pada itu janganlah kita mengira bahwa Bergson hanya mengakui yang berubah
dan langsung saja serta mengingkari kebenaran pengetahuan yang umum dan tetap; ia
hanya mengatakan, bahwa baik dengan budi maupun dengan indra belaka tak mampulah
kita menyelami realitas sepenuhnya. Kita harus mempergunakan intuisi, yaitu kesatuan
aspek hidup kedua bersama pada manusia.
Husserl (1859 - 1939) yang disebut orang bapak fenomenologi, pendapatnya hampir
sama dengan Bergson, ia memaparkan cara mengenal melalui fenomenon, gejala. Tetapi
fenomenon ini bukanlah seperti yang telah kami sebut pada halaman 30, melainkan sudah
lebih menunjuk pengetahuan di dalamnya. Sebab yang dimaksud dengan fenomenon ialah
hubungan kesadaran manusia dengan obyek di luar kesadaran itu. Kita sadar akan
pengetahuan kita terhadap obyek itu, nampak obyek itu kepada kita sebagai terkenal oleh
kita. Maka jika kita hendak mengetahui obyek itu lebih lanjut, maka tak bolehlah kita
mendasarkan pengetahuan itu atas pengetahuan yang telah kita miliki. Melalui fenomena
itu kita harus mencoba menyelami halnya sampai Zu dan Sachen. Fenomena harus kita
amat-amati benar dan kita harus mengadakan yang disebutnya reduksi (pengurangan),
supaya 98 sampai kepada intinya. Adalah beberapa reduksi menurut Husserl. Pada
penelaahan serta reduksinya yang terakhir kita akan mencapai intuisi, pengetahuan
menyeluruh terhadap obyek, penyelaman sebenarnya dalam obyek itu. Daripada itu
bukanlah reduksi ini sama dengan abstraksi.
Di sini hanya kami catat saja bahwa fenomenologi Husserl ini banyak pengaruhnya
terhadap ilmu dan filsafat sesudahnya. Cara pengamatan dan penelitian obyek terkenal
sebagai metodos fenomenologis. Yang penting bagi kita ialah pengakuan terhadap realitas
di luar subyek — walaupun ada yang menyangsikan hal ini — sehingga pengenalan dan
pengetahuan itu sesungguhnya bisa obyektif dan mencapai obyektivitas. Di sini menurut
Husserl ada kerja sama antara subyek dan obyek daripada itu dalam pengenalan ada faktor
subyektif juga.
e. Pengetahuan manusia yang dua macam itu tidak terlalu dipersoalkan, sebetulnya
memang menurut hemat kami juga tidak perlu am at dipersoalkan, karena yang mengetahui
obyek itu manusia, dan manusia itu merupakan keseluruhan dan kesatuan. Bukan indranya
saja yang mengenal dan bukan budinya yang mengenal, melainkan seluruh manusia, dalam
keutuhannya, yang mengenal.
Ada pun seluruh manusia itu pun bukanlah merupakan sesuatu yang statis, ia adalah
sesuatu yang bergerak dan bertindak, dan dalam tindakannya itu ia kena pengaruh dari
luar, baik manusia, maupun 99 bukan-manusia. la memang juga menentukan tindakan-
tindakannya dalam lingkungan tertentu yang mempengaruhinya. Boleh dikatakan ia
menyungguhkan dirinya dalam lingkungan yang sungguh ada, ia men[adi subyek terhadap
dunia sekelilingnya dengan kehendaknya sendiri yang dapat memilih. Ia merdeka dalam
ikatan, ia rohani dalam jasmani, pengetahuannya bermacam dua, dia sendiri merupakan
kesatuan. Inilah suatu teka-teki pada manusia, ia merupakan paradoks yang istimewa.
Justru karena seakan-akan ada kontradiksi pada manusia, maka keterangan terhadap
pengetahuannya tidak amat mudah; ada cenderung ke satu pihak saja dengan akibat
mengurangi kemanusiaan manusia, baik idealisme maupun materialisme tak memuaskan.
Dalam penilaian pengetahuan manusia haruslah kita ingat akan dualitas pada manusia itu,
tetapi dualitas yang merupakan kesatuan, terdapat dwi-tunggal benar pada manusia.
Memang pengetahuan manusia yang disebut pengetahuan-indra yang bersifat khusus
itu benar, sekurang-kurangnya mungkin benar, tetapi tidak mencakup keseluruhan realitas
obyeknya. Sebetulnya yang disebut pengetahuan-indra ini pun kurang tepat, yang
dimaksud orang ialah putusan yang sifatnya khusus. Adapun putusan itu hanya boleh
disebut benar, karena mengenai aspek dari obyeknya: benarlah kalau aspek yang
dikemukakan oleh dan dalam putusan itu sesuai dengan realitasnya (memang terdapat pada
obyek). 100
Begitupun pengetahuan yang biasanya disebut orang pengetahuan-budi. Ini pun
sebetulnya putusan yang mengenai yang umum dan tetap. Ini mungkin benar juga, karena
ia mengutarakan aspek obyeknya, dan benarlah pengetahuan-budi itu jika aspek yang
dimajukannya itu terdapat pada obyeknya, jadi ada persesuaian dengan obyeknya. Tidak
berarti bahwa ada persesuaian dengan seluruh obyek, melainkan ada persesuaian dengan
aspek obyek yang diketahuinya.
Adapun tentang cara memperoleh pengetahuan-budi ini lebih sukar lagi diterangkan.
KesuIitannya ialah: yang merangsang dan menyentuh manusia itu yang khusus, apa
loncatan kepada yang umum itu dapat dipertanggungjawabkan? Kami tidak berani
mengatakan, bahwa yang menyentuh manusia itu hanya yang khusus, Pengenalan kita
ternyata bukan dari yang khusus, dari bagian-bagiannya kepada keseluruhan. Pertemuan
manusia dengan hal di luar kesadarannya itu pertemuan total, artinya menyeluruh. Lukisan
misalnya kita kenal sebagai keseluruhan, entah itu merupakan pemandangan alam, entah
manusia, bukanlah karena kita mengenal garis dan warna, kemudian membuat kesimpulan
bahwa itu lukisan manusia atau pemandangan alam. Lebih terang lagi dalam pertemuan
manusia dengan manusia lainnya, manusia lain itu lain benar, bukan karena bagian-
bagiannya lain, melainkan karena seluruhnya lain. Jadi yang menyentuh manusia (seluruh
manusia) itu rupa-rupanya tidak hanya yang khusus saja: adalah 101 yang umum dan tetap
yang dengan yang khusus itu menyentuh manusia.
Dalam tiap pengenalan, demikianlah kami cenderung mengatakan, adalah kerja sama
yang bersamaan waktunya juga antara kemampuan-kemampuan manusia yang dimilikinya,
bagaimanapun kelihatannya bertentangan satu sama lain, seperti khusus dan umum,
berubah dan tetap, jasmani dan rohani. Kami pun tidak berani mengatakan pengetahuan
mana yang lebih dulu (dalam [angka waktu), bagi kami pengetahuan manusia adalah satu,
ialah pengetahuan manusia yang satu itu.
Ini ternyata sekali kalau kita harus berpikir secara abstrak sekali, betapakah sulitnya!
Tetapi kami pun merasa tidak puas jika kita hanya terbatas kepada yang kongkrit saja, kita
merasa tidak dewasa dengan pengetahuan kita yang selalu dan terlalu kongkrit. Memang
manusia terdiri dari dua unsur, yang tetap, rohani dan yang tidak tetap, jasmani. Unsur
kami katakan, bukan bagian, sebab unsur itu keduanya memanusiakan manusia dalam
realitasnya.
Jika pada permulaan buku ini kami majukan hal abstraksi, ini memang merupakan
kelemahan dan kekuatan manusia sekaligus.
Abstraksi kami sebut kekuatan karena dengan abstraksi ini kita mungkin, melalui
pengenalan kita yang khusus, mencari dan mendapatkan yang umum, yaitu hukum-alam
bahkan hukum berpikir yang berlaku umum dan tetap dan dengan demikian kita sebagai
102 umat manusia mempunyai ilmu dan kebudayaan. Oleh karena yang merupakan realitas
itu memang seluruh obyek dengan semua sifat-sifatnya, maka mengapa sifat umum yang
kita peroleh dengan daya kita dari obyek itu tidak mungkin merupakan kebenaran? Bukan
seluruh kebenaran tercapai, tetapi toh kebenaran. Itulah sebabnya daya abstraksi itu kami
sebut juga kelemahan, karena dengan abstraksi itu kita hanya mencapai yang abstrak,
seakan-akan terpotong-potonglah realitas, sedangkan realitas itu langsung adanya.
Bagaimana kekurangan yang terdapat pada pengetahuan umum, tetapi itu bukanlah
kekeliruan, melainkan pengetahuan suatu aspek dari realitas yang kit a hadapi. Ternyatalah
bahwa aspek umum dari realitas itu amat berguna bagi manusia!
Dalam hal ini kami tidak mau mengatakan, bahwa kebenaran itu hanya terdapat pada
kegunaannya saja sebagai dimajukan oleh kaum penganut pragmatisme, seperti misalnya
William James (1842 - 1910) dan kemudian John Dewey (1859 - 1952) yang mengajukan
ukuran kebenaran bukan lagi persesuaian pengetahuan dengan obyeknya, melainkan
kegunaan dari hasil tahu itu. Ini sebetulnya lari dari kebenaran, karena putus asa sebab
sukar diketahui sampai dimana manusia dapat mencapai kebenaran. Kami memang ikut
mengakui, bahwa sukar benar mencapai kebenaran dan lebih sukar lagi mengetahui dengan
pasti bilamana kita sampai pada kebenaran, tetapi kami tidak ikut mengatakan, bahwa
kebenaran tak mungkin tercapai dan hanya memperhatikan kegunaan saja. 103
Bagi kami haruslah manusia selalu berusaha mencapai kebenaran, itu tujuan tahu entah
tahu ini berupa pengetahuan biasa, entah disebut ilmu entah disebut filsafat. 104

Anda mungkin juga menyukai