Anda di halaman 1dari 9

TUGAS MK FILSAFAT ILMU KESEHATAN (SVB1502)

Rapid test berbasis reaksi serologis sebagai “tools screening test”

PRO

Kelompok 3

Mirna Mualim (B3501212049)

Fadeli Bermani (B3501212053)

ILMU BIOMEDIS HEWAN


SEKOLAH PASCASARJANA
IPB UNIVERSITY
BOGOR
2022
PEMBAHASAN

1. Tes Polymerase Chain Reaction (PCR)

Test PCR adalah jenis pemeriksaan untuk mendeteksi pola genetik (DNA
dan RNA) dari suatu sel, kuman, atau virus, termasuk virus Corona (SARS-CoV-
2). Hingga saat ini, tes PCR merupakan tes yang direkomendasikan oleh Badan
Kesehatan Dunia (WHO) untuk mendiagnosis COVID-19. Jenis pemeriksaan
untuk mendeteksi COVID-19 ini akan menggunakan sampel lendir dari hidung
atau tenggorokan. Dua lokasi ini dipilih karena menjadi tempat virus akan
menggandakan dirinya. Tingkat akurasi tes PCR cukup tinggi, tetapi pemeriksaan
ini membutuhkan waktu yang cukup lama hingga hasilnya keluar, yaitu sekitar 1–
7 hari karena melalui dua kali proses yaitu, ekstraksi dan amplifikasi. Tes PCR
umumnya perlu dilakukan pada orang yang mengalami gejala COVID-19, seperti
batuk, pilek, demam, terganggunya indra penciuman, serta sesak napas,
khususnya jika orang tersebut memiliki riwayat kontak dengan pasien
terkonfirmasi COVID-19.

2. Rapid Test

Selain tes PCR, rapid test juga kerap digunakan sebagai pemeriksaan awal
atau skrining COVID-19. Sesuai namanya, hasil rapid test bisa langsung diketahui
dalam waktu yang singkat, biasanya hanya sekitar beberapa menit atau paling
lama 1 jam untuk menunggu hasil pemeriksaan keluar. Hingga saat ini, terdapat
dua jenis rapid test yang dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus
Corona di dalam tubuh pasien, yaitu: Rapid test Antibodi dan Rapid test Antigen.

 Rapid Test Antigen

Antigen merupakan suatu zat atau benda asing, misalnya racun, kuman, atau
virus, yang dapat masuk ke dalam tubuh. Sebagian antigen dapat dianggap
berbahaya oleh tubuh, sehingga memicu sistem imunitas untuk membentuk zat
kekebalan tubuh (antibodi). Reaksi ini merupakan bentuk pertahanan alami tubuh
untuk mencegah terjadinya penyakit. Virus Corona yang masuk ke dalam tubuh
akan terdeteksi sebagai antigen oleh sistem imunitas. Antigen ini juga dapat
dideteksi melalui pemeriksaan rapid test antigen. Rapid test antigen untuk virus
Corona dilakukan dengan mengambil sampel lendir dari hidung atau tenggorokan
melalui proses swab. Untuk memberikan hasil yang lebih akurat, pemeriksaan
rapid test antigen perlu dilakukan paling lambat 5 hari setelah munculnya gejala
COVID-19. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan rapid test
antigen virus Corona memiliki tingkat akurasi yang lebih baik dibandingkan rapid
test antibodi. Akan tetapi, pemeriksaan rapid test antigen dinilai belum seakurat
tes PCR untuk mendiagnosis COVID-19.

 Rapid Test Antibodi

Antigen, termasuk virus Corona, yang masuk ke dalam tubuh dapat terdeteksi
oleh sistem imunitas tubuh. Setelah antigen terdeteksi, sistem imun akan
memproduksi antibodi untuk memusnahkannya. Keberadaan antibodi untuk
membasmi virus Corona bisa dideteksi melalui rapid test antibodi. Jenis rapid test
untuk COVID-19 ini merupakan jenis rapid test yang paling awal muncul.
Sayangnya, tes ini memiliki tingkat akurasi yang rendah dalam mendeteksi
keberadaan virus Corona di dalam tubuh. Inilah sebabnya rapid test antibodi tidak
layak digunakan sebagai metode pemeriksaan untuk mendiagnosis penyakit
COVID-19. Hasil pemeriksaan rapid test antibodi untuk COVID-19 dibaca
sebagai reaktif (positif) dan nonreaktif (negatif). Saat ini, rapid test antigen dan
antibodi sudah tersedia di Indonesia. Berdasarkan tingkat ketepatan pemeriksaan,
metode pemeriksaan yang dinilai paling akurat untuk mendeteksi keberadaan
virus Corona di dalam tubuh adalah rapid test antigen dan tes PCR.

Jenis rapid Test Jenis sampel Metode deteksi Waktu terbaik


test
Antibodi rapid Darah Mendeteksi 7-10 hari
test antibodi (IgG dan setelah terpapar
IgM) virus
Antigen rapid test Cairan/lendir Mendeteski 5-10 hari
antigen (protein setelah terpapar
virus)
Swab test (PCR) Cairan/lendir Mendeteksi materi 3 hari setelah
genetik virus terpapar

Menurut US Commiission on Chronic Illness (1951) screening test adalah


identifikasi dugaan penyakit yang tidak diketahui atau kelainan dengan penerapan
tes (uji), pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat diterapkan secara cepat. Test
skrining adalah sebuah cara untuk mengetahui atau mengidentifikasi apakah
seseorang yang masih asimtomatik menderita suatu penyakit atau tidak. Tanpa
skrining, diagnosis suatu penyakit hanya bisa ditegakkan setelah muncul tanda
dan gejala, padahal sebuah penyakit telah ada jauh sebelum tanda dan gejala
muncul yang sebenarnya dapat diketahui kalau kita melakukan skrining. Waktu
antara kemungkinan terdeteksi secara awal lewat skrining dan deteksi kemudian
setelah munculnya tanda dan gejala disebut “detectable pre-clinical phase” atau
DPCP. Jika sebuah penyakit dapat diketahui pada masa DPCP maka treatment
bisa dilakukan lebih awal dan outcome nya pun lebih baik

Beberapa contoh test skrining adalah:


 Pap’s smear dan IVA untuk kanker serviks.
 Pemeriksaan gula darah puasa untuk diabetes.
 Tekanan okular untuk glaukoma.
 Darah dalam feses untuk kanker kolon.
 Mamografi untuk kanker payudara
Syarat sebuah test skrining yang baik
 Murah
 Mudah dilakukan
 Hanya sedikit memberi rasa tidak nyaman
 Valid (bisa membedakan sakit dengan tidak sakit)
 Reliable (konsisten, istikomah)

Sebuah tes skrining yang ideal adalah yang mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas tinggi yang berarti validitasnya juga tinggi. Validitas sebuah tes
skrining didasarkan atas akurasinya dalam mengidentifikasi individu ke dalam
sakit dan tidak sakit. Sensitivitas: Adalah kemampuan tes untuk menunjukkan
individu mana yang menderita sakit dari seluruh populasi yang benar-benar sakit.
Sedangkan Validitas: Adalah kemampuan tes untuk menunjukkan dengan benar
(akurat) individu mana yang menderita sakit dan mana yang tidak. Validitas tes
dicerminkan dengan sensitivitas dan spesifisitas.

Ada dua hal yang harus diperhatikan yakni: false positive (positif palsu)
dan
false negative (negatif palsu).
• False positives, yakni mereka yang tesnya positif tetapi sebenarnya tidak
berpenyakit.
• False negatives, yakni mereka yang tesnya negatif padahal sebenarnya
mereka berpenyakit.

Konsekuensi dari false positive adalah pasien merasa takut yang


berlebihan sampai kepada cara diagnosis yang mahal dan invasif atau bahkan
pengobatan yang tidak perlu (over treatment). Sebaliknya bila test nya adalah
false negative, pasien akan merasa aman-aman saja, padahal ia sebenarnya
mempunyai penyakit. Akibatnya diagnosis menjadi terlambat dan pengobatan
yang seharusnya dilakukan menjadi tidak dilakukan sehingga morbiditas dan
mortalitaspun dan akhirnya biaya yang dibutuhkan juga meningkat
Beberapa syarat test disebut baik adalah:
1. Ekonomis
Test yang ekonomis berarti biaya yang diperlukan untuk
melakukan suatu test diagnostik lebih murah dari yang biasa digunakan.
2. Cepat
Test yang cepat berarti waktu yang diperlukan dari sampel diambil
sampai didapatkan hasil lebih cepat dari yang biasa digunakan.
3. Mudah dikerjakan
Mudah dikerjakan mempunyai makna suatu test tidak memerlukan
suatu spesialisasi atau keahlian khusus untuk mengerjakan. Suatu test
dinyatakan mudah jika bisa dikerjakan oleh tenaga medi dengan pelatihan
yang relatif
4. Singkat
5. Bebas dari risiko dan ketidaknyamanan
Bebas dari risiko dan ketidaknyamanan mempunyai makna suatu
test tidak memerlukan tindakan invasif dan proses penerapannya sedikit
atau minimal menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien. Salah satu
pengertian ketidaknyamanan adalah timbulnya rasa sakit (nyeri) saat test
dikerjakan. Semakin tidak ada rasa nyeri dan tidak ada tindakan invasif
maka semakin baik suatu test skrining.
6. Dapat diterima di masyarakat
Dapat diterima dimasyarakat mempunyai arti test skrining tidak
bertentangan dengan norma dan etika yang berlaku di masyarakat.
7. Valid
Validitas suatu test menunjukkan kemampuan (ketepatan) suatu
test untuk mendapatkan nilai yang sesuai dengan kenyataan yang
sebenarnya. Dalam dunia kesehatan kenyataan yang sebenarnya terbagi
menjadi 2, sakit dan tidak sakit. Sehingga penilaian terhadap validitas
meliputi 2 aspek yaitu ketepatan menilai kondisi sakit disebut sensitifitas
dan ketepatan untuk menilai kondisi tidak sakit disebut spesifisitas.
Dengan kata lain sensitifitas adalah kemampuan suatu test untuk
menyatakan positif orang-orang yang sakit, sedangkan spesifisitas adalah
kemampuan suatu test untuk menyatakan negatif orang-orang yang tidak
sakit.
8. Reliabel
Reliabilitas suatu test menunjukkan konsistensi (kesamaan) hasil ukur bila
dikerjakan lebih dari sekali terhadap pasien (subjek pengamatan) yang
sama pada kondisi yang sama pula. Sumber ketidaksamaan hasil ukur
(bias) dapat terjadi karena observer berbeda yang disebut dengan bias inter
observer dan observer sama tapi waktu pengamatan berbeda yang disebut
bias intra obserber

Aksiologi : Rapid test berbasis reaksi serologis sebagai “tools screening test” pada
kasus COVID-19

Disaat meningkatnya penyebaran COVID-19 diperlukan alat diagnostik


yang cepat dan murah serta terjangkau di berbagai belahan daerah. Rapid test
berbasis serologis salah satu pilihannya. Alat yang digunakan hanya berupa kit
yang mudah ditransport kemana pun dan hasil yang diberikan sangat cepat hanya
5-10 menit, sampel yang diperlukan berupa satu tetes darah yang tujuannya untuk
mendeteksi antibodi (IgG dan IgM) dalam darah. Alat kit ini juga murah sehingga
dapat dijangkau oleh semua golongan masyarakat.

Alat kit ini sangat bagus digunakan sebagai tools screening test
sebagaimana disebutkan oleh Prof. drh. Wiku Adisasmito yang merupakan ketua
gugus penanggulangan COVID-19 di Indonesia, rapid test antibodi memiliki
keunggulan yaitu waktu pengujian yang cepat walaupun spesifitas dan sensitivas
60-80 persen namun sangat baik digunakan untuk screening awal dari penyebaran
COVID-19 sehingga pemerintah dapat mengambil tindakan dengan cepat dan
tepat. Li et al. (2020) juga menyebutkan rapid antibodi dapat menambah nilai
pada diagnosis dan pengobatan pada kasus COVID-19. Perbedaan deteksi
antibodi IgM cenderung menunjukkan paparan baru terhadap SARS-CoV-2,
sedangkan deteksi IgG antibodi COVID-19 menunjukkan paparan virus beberapa
waktu lalu.

Di Indonesia masih sangat kekurangan fasilitas pemeriksaan diagnostik


yang lebih bagus seperti RT-PCR dikarenakan alat dan bahan yang mahal, sumber
daya manusia yg mengerti PCR tergolong rendah serta hasil diagnostik yang
dihasilkan membutuhkan waktu yg lama. Maka dari itu Rapid reaksi serologis
merupakan suatu alat screening yang tepat di gunakan terutama di Indonesia.

Kesimpulan

Rapid test berbasis serologi sangat bagus digunakan sebagai alat skrinning suatu
penyakit dikarenakan murah, mudah dan cepat serta dapat dijangkau oleh semua
kalangan masyarakat serta memudahkan pemerintah untuk bergerak cepat
terhadap suatu penyakit melalui screening yang dilakukan dengan kit rapid
antibodi dibandingkan denganmetode diagnostik lainnya seperti PCR.

Daftar Pustaka

Akobeng, A.K. (2007). Understanding diagnostic tests 1: sensitivity, specificity


and predictive values. Acta Paediatr, 96(3):338–41.
Allain, J.P and Lee, H.H. (2005). Rapid tests for detection of viral markers in
blood transfusion. Expert Rev. Mol. Diagn, 5:31-41.
Kresno, Siti Boedina. (2010). Diagnosis dan Prosedur Laboratorium . Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Li, Z., Yi, Y., Luo, X., Xiong, N., Liu, Y., Li, S., Sun, R., Wang, Y., Hu, B.,
Chen, W., Zhang, Y., Wang, J., Huang, B., Lin, Y., Yang, J., Cai, W.,
Wang, X., Cheng, J., Chen, Z. and Ye, F. (2020). Development and
clinical application of a rapid IgM‐IgG combined antibody test for SARS ‐
CoV‐2 infection diagnosis. Journal of Medical Virology, 9 : 1518–1524.
Rahman, M., Khan, S.A and Lodhi, Y. (2008). Unconfirmed rective screening
tests and their impact on donor management. Pak J Med Sci. 24:517-9
Remein., Q. R. and Wilkerson, H. L. C. (1961) The efficiency of screening tests
for diabetes. J. chron. Dis., 13, 6

Anda mungkin juga menyukai