Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH KONSEP SKRINING EPIDEMIOLOGI

MATA KULIAH EPIDEMIOLOGI DALAM


KEPERAWATAN KOMUNITAS

“………………..”

Oleh :
Afiatur
Nadya
Cornelia Fransiska Sandehang 216070300111017

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


PEMINATAN KEPERAWATAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2021
KATA PENGANTAR
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Tujuan

C. Manfaat
BAB II

ISI

2.1. Skrining Epidemiologi terhadap Perjalanan Alamiah Penyakit


2.2. Skrining Epidemiologi terhadap Pencegahan Penyakit
2.2.1 Pencegahan Primer
2.2.2 Pencegahan Sekunder
2.2.3 Pencegahan Tertier

2.3. Prinsip Skrining Epidemiologi


2.4. Pelaksanaan Skrining Epidemiologi di Dunia Kesehatan

2.5. Sensitivity, specificity, predictive value positive, dan predictive


value negative

2.5.1 Tata Statistik

Tes diagnostic digunakan untuk membedakan antara individu dengan


dan tanpa peyakit atau kondisi lain yang menarik. Sebagian penyakit memiliki
nilai standar tes terhadap nilai tes diagnostic yang akan dilakukan penilaian.
Gold Standar tes adalah mengambil banyak bentuk dan jenisnya, tetapi diskusi
tentang nilai standar umumnya berpusat pada hasil nilai diagnostic seperti
seberapa baik tes dengan benar sehingga dapat mengidentifikasi subjek yang
sakit sebagai hasil positif dan subjek yang tidak sakit sebagai hasil negative,
sehingga nilai gold standar dapat memprediksi ketersediaan tes, efektivitas
biaya, dan tidak membahayakan. Beberapa istilah dalam statistic data :

a. Validitas Adalah kemampuan tes untuk menunjukkan dengan benar (akurat)


individu mana yang menderita sakit dan mana yang tidak. Validitas tes
dicerminkan dengan sensitivitas dan spesifisitas
b. Sensitivitas Adalah kemampuan tes untuk menunjukkan individu mana yang
menderita sakit dari seluruh populasi yang benar-benar sakit.
c. Spesifisita Adalah kemampuan tes untuk menunjukkan individu mana yang
tidak menderita sakit dari mereka yang benar-benar tidak sakit.
d. Gold standard test Adalah tes terbaik yang tersedia, diterima secara luas yang
umumnya kurang nyaman, mahal dan invasif.
e. Sebuah tes skrining yang ideal adalah yang mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas tinggi yang berarti validitasnya juga tinggi. Validitas sebuah tes
skrining didasarkan atas akurasinya dalam mengidentifikasi individu ke dalam
sakit dan tidak sakit. Untuk tujuan ini sebuah tes skrining harus dibandingkan
dengan sebuah atau beberapa gold standard test yang menyatakan bahwa
seseorang adalah benar-benar sakit atau tidak sakit. Sayangnya gold standard
test adalah sebuah alat diagnostik yang sering kali kurang nyaman, mahal dan
invasif.
Test skrining adalah sebuah cara untuk mengetahui atau
mengidentikfikasi apakah seseorang yang masih asimtomatik menderita suatu
penyakit atau tidak. Tanpa skrining, diagnosis suatu penyakit hanya bisa
ditegakkan setelah muncul tanda dan gejala, padahal sebuah penyakit telah ada
jauh sebelum tanda dan gejala muncul yang sebenarnya dapat diketahui kalau
kita melakukan skrining.
Tanpa skrining, diagnosis suatu penyakit hanya bisa ditegakkan setelah
muncul tanda dan gejala, padahal sebuah penyakit telah ada jauh sebelum
tanda dan gejala muncul yang sebenarnya dapat diketahui kalau kita melakukan
skrining. Waktu antara kemungkinan terdeteksi secara awal lewat skrining dan
deteksi kemudian setelah munculnya tanda dan gejala disebut “detectable pre-
clinical phase” atau DPCP. Jika sebuah penyakit dapat diketahui pada masa DPCP
maka treatment bisa dilakukan lebih awal dan outcome nya pun lebih baik.

Deteksi dini merupakan bagian dari pencegahan sekunder yang terdiri


dari deteksi dini dan dikuti pengobatan tepat. test terhadap suatu baku emas,
tanpa adanya tujuan untuk mengetahui asosiasi dan hubungan sebab akibat.
Rancangan cross-sectional study berarti bahwa semua variabel, termasuk test
yang diuji dan gold standar (baku emas) diukur pada satu periode waktu yang
sama. Waktu pengambilan bahan (speciment) atau pengukuran penyakit yang
diteliti dengan test yang diuji dan baku emas sangat penting dilakukan pada
periode waktu yang sama untuk menjamin bahwa kondisi penyakit masih sama.
Jika waktu pengukuran atau mengambilan bahan oleh test yang diuji dan gold
standar berbeda maka adanya perbedaan hasil bukan karena kurang validnya
test yang diuji melainkan karena perbedaan waktu pengukuran. Dengan kata
lain, terjadi kesalahan hasil perhitungan sensitifitas, spesifisitas, Nilai Prediksi
Positif, Nilai Prediksi Negatif karena perbedaan periode waktu pengukuran
antara test yang diuji dengan baku emas.

Isu penting lain dalam merancang penelitian uji diagnostik dan skrining
adalah masalah penentuan atau pemilihan test yang digunakan sebagai baku
emas. Tidak sembarang test bisa digunakan sebagai baku emas. Test yang
berdasarkan beberapa literatur menunjukkan validitas lebih tinggi tetapi masih
tergolong test untuk skrining tidak bisa digunakan sebagai baku emas. Baku
emas adalah test yang memang sudah dipercaya kebenarannya sesuai dengan
patofisiologi penyakit. Salah satu contoh dalam mendiagnosis tuberkulosis (TB)
pada anak, kurang tepat kalau dilakukan penelitian uji diagnosis sistem skoring
TB anak oleh dokter umum dengan dokter spesialis anak sebagai baku emas
karena hasil skoring TB anak oleh dokter spesialis anak belum tentu benar.
Dalam patofisiologi TB pada anak perbaikan klinis setalah pemberian terapi obat
anti TB dapat digunakan sebagai baku emas. Dengan kata lain pemilihan baku
emas suatu penyakit tertentu yang akan dilakukan penelitian uji diagnosis dan
skrining harus sesuai dengan keilmuwan (teori) yang berlaku. Seperti baku emas
untuk kanker payudara adalah hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA).

Salah satu contoh adalah ketika inspeksi visual asam asetat (IVA) pertama
kali diperkenalkan dan ingin dinilai dan dibandingkan validitasnya terhadap pap
smear dengan hasil patologi anatomi sebagai baku emas. Maka penting disampaikan
pada latar belakang beberapa keunggulan IVA seperti lebih murah, cepat dan mudah
dikerjakan. Beberapa syarat test disebut baik adalah

1. Ekonomis
Test yang ekonomis berarti biaya yang diperlukan untuk melakukan
suatu test diagnostik lebih murah dari yang biasa digunakan.
2. Cepat
Test yang cepat berarti waktu yang diperlukan dari sampel diambil
sampai didapatkan hasil lebih cepat dari yang biasa digunakan
3. Mudah dikerjakan
Mudah dikerjakan mempunyai makna suatu test tidak memerlukan
suatu spesialisasi atau keahlian khusus untuk mengerjakan. Suatu test
dinyatakan mudah jika bisa dikerjakan oleh tenaga medi dengan pelatihan yang
relatif singkat.
4. Bebas dari risiko dan ketidaknyamanan
Bebas dari risiko dan ketidaknyamanan mempunyai makna suatu test
tidak memerlukan tindakan invasif dan proses penerapannya sedikit atau
minimal menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien. Salah satu pengertian
ketidaknyamanan adalah timbulnya rasa sakit (nyeri) saat test dikerjakan.
Semakin tidak ada rasa nyeri dan tidak ada tindakan invasif maka semakin baik
suatu test skrining.
5. Dapat diterima di masyarakat
Dapat diterima dimasyarakat mempunyai arti test skrining tidak
bertentangan dengan norma dan etika yang berlaku di masyarakat
6. Valid
Validitas suatu test menunjukkan kemampuan (ketepatan) suatu test
untuk mendapatkan nilai yang sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Dalam dunia kesehatan kenyataan yang sebenarnya terbagi menjadi 2, sakit dan
tidak sakit. Sehingga penilaian terhadap validitas meliputi 2 aspek yaitu
ketepatan menilai kondisi sakit disebut sensitifitas dan ketepatan untuk menilai
kondisi tidak sakit disebut spesifisitas. Dengan kata lain sensitifitas adalah
kemampuan suatu test untuk menyatakan positif orang-orang yang sakit,
sedangkan spesifisitas adalah kemampuan suatu test untuk menyatakan negatif
orang-orang yang tidak sakit.
7. Reliabel
Reliabilitas suatu test menunjukkan konsistensi (kesamaan) hasil ukur
bila dikerjakan lebih dari sekali terhadap pasien (subjek pengamatan) yang sama
pada kondisi yang sama pula. Sumber ketidaksamaan hasil ukur (bias) dapat
terjadi karena observer berbeda yang disebut dengan bias inter observer dan
observer sama tapi waktu pengamatan berbeda yang disebut bias intra
obserber.

Konsep dari deteksi dini adalah mendeteksi kemungkinan mengalami suatu


penyakit pada orang-orang tanpa gejala. Dengan melakukan deteksi dini maka klasifikasi
memungkinkan terkena suatu penyakit pada seseorang menjadi lebih awal diketahui.
penelitian uji diagnostik dan skrining dilakukan pada satu populasi dengan tujuan
menggambarkan validitas suatu

2.5.2 Nilai Prediksi Positif dan Nilai Prediksi Negatif

Sensitivitas dan spesifisitas adalah parameter statistik yang sangat relevan untuk
menilai kinerja tes diagnostik. Namun, dalam praktik dunia nyata, daripada mengetahui
proporsi pasien sakit yang akan dites positif (atau pasien tidak sakit yang akan tes
negatif), seringkali lebih bermakna untuk memprediksi apakah orang tertentu akan
benar-benar memiliki penyakit berdasarkan hasil tes positif atau negatif. Untuk tujuan
ini, prediksi positif nilai dan nilai prediksi negatif mencerminkan proporsi hasil positif
dan negative yang benar-benar positif dan benar-benar negatif, masing-masing. Dengan
kata lain, prediksi positif nilai menjawab pertanyaan, 'jika saya memiliki tes positif,
berapa probabilitas bahwa saya benar-benar memiliki penyakit?' Sebaliknya, nilai
prediktif negatif menjawab pertanyaan, 'jika saya memiliki' tes negatif, berapa
kemungkinan saya sebenarnya tidak mengidap penyakit itu.

Contoh :

1. Diasumsikan dalam 1000 populasi, terdapat 100 orang dengan penyakit dan 900
tanpa penyakit (prevalensi 10%).
2. Sebuah tes skrining dipakai untuk mengidentifikasi 100 orang yang sakit.
3. Hasilnya adalah sebagai berikut:

Hasil Skrining Keadaan sebenarnya dalam populasi


sakit Tidak sakit Total
Positif 80 100 180
Negative 20 800 820
Total 100 900 1000
Sensitivity = 80/100 =80% Specificity :
800/900 = 89%
Beberapa istilah :
a. Positive predictive value (PPV) atau nilai ramal positif (NRP). Adalah proporsi
pasien yang tes nya positif dan betul menderita sakit. Dengan kata lain “Jika
tes seseorang positif, berapa probabilitas dia betul-betul menderita
penyakit?” Rumus: PPV = a/(a+b).
b. Negative predictive value (NPV) atau nilai ramal negatif (NRN). Adalah
proporsi pasien yang tes nya negatif dan betul-betul tidak menderita sakit.
Bisa juga dikatakan “Jika tes seseorang negatif, berapa probabilitas dia
betul-betul tidak menderita penyakit?” Rumus: NPV = d/(c+d).
c. SnNOUT. Jika sebuah tes dengan sensitivitas tinggi adalah negatif, maka
kemungkinan untuk me rule out sebuah penyakit adalah besar (tes ini efektif
untuk mengatakan bahwa sangat mungkin pasien benar-benar tidak
menderita sakit).
d. SpPIN. Jika seuah tes dengan spesifisitas tinggi adalah positif, maka
kemungkinan untuk me rule in sebuah penyakit adalah besar (tes ini sangat
efektif untuk mengatakan bahwa sangat mungkin pasien benar-benar
menderita sakit).
e. True positive: Adalah mereka yang tes nya poistif dan berpenyakit. True
positive rate (TPR) adalah proporsi mereka yang tes nya positif terhadap
seluruh pospulasi yang berpenyakit. Rumus: TPR = a/(a+c). TPR tidak lain
adalah sensitivitas.
f. False positive: Adalah mereka yang tes nya positif padahal sebenarnya
mereka tidak berpenyakit. False positive rate (FPR) adalah proporsi mereka
yang tes nya positif terhadap seluruh populasi yang tidak berpenyakit.
Rumusnya FPR = b/(b+d). Ternyata FPR = 1 – spesifisitas. Catatan: TPR dan
FPR dipakai untuk menghitung receiver operating characteristic curve atau
ROC curve. Lihat bawah.
g. True negative: Adalah mereka yang tesnya negatif dan benar-benar tidak
berpenyakit. True negative rate (TNR) adalah proporsi mereka yang tesnya
negatif terhadap populasi yang benar-benar tidaka sakit. Rumusnya TNR =
d/(b+d), dan ini adalah spesifisitas.
h. False negative: Adalah mereka yang test nya negatif padahal sebenarnya
mereka berpenyakit. False negative rate (FNR) adalah proporsi mereka yang
tesnya negatif terhadap seluruh populasi yang berpenyakit. Rumusnya FNR
= d/(b+d). 13. Likelyhood ratio (LR). a. LR (+) adalah rasio antara probabilitas
tes yang positif pada individu yang berpenyakit dengan probabilitas tes yang
positif pada individu yang tidak berpenyakit.
Dengan kata lain LR untuk hasil test (+) menunjukkan berapa kali
kemungkinan hasil tes (+) terjadi pada kelompok populasi yang berpenyakit
dibanding dengan hasil tes (+) pada kelompok populasi yang tidak
berpenyakit. Bisa juga dikatakan LR (+) adalah rasio antara true positive rate
(TPR) dengan false positive rate (FPR). LR (+) harus lebih besar dari 1, dan tes
yang baik harus mempunyai LR (+) yang besar, sebab hasil tes (+) pada
kelompok populasi yang berpenyakit harus lebih besar dibanding pada
kelompok yang tidak berpenyakit.
Rumusnya: Likelihood ratio positive (LR+) = Sensitivity/(1–Specificity).
LR (+) adalah indikator yang terbaik untuk memasukkan kemungkinan
seseorang menderita penyakit (ruling in). Makin besar LR (+) makin, makin
besar kemungkinan seseorang menderita penyakit (kemungkinan
diagnosisnya betul makin besar). Tes diagnostik yang baik adalah TD dengan
LR (+) > 10, sehingga dengan hasil tes positif kemungkinan diagnosis betul
makin besar. b. LR (-) adalah rasio antara probabilitas hasil tes negatif pada
individu yang berpenyakit dengan probabilitas hasil tes negatif pada individu
yang tidak berpenyakit. Dengan kata lain LR (-) menunjukkan berapa kali
lebih jarang sebuah hasil tes (-) terjadi pada kelompok yang berpenyakit
dibanding kelompok yang tidak berpenyakit.
Bisa juga dikatakan LR (-) adalah rasio antara false negative rate (FNR)
pada individu yang berpenyakit dengan false negative rate (FNR) pada
individu yang tidak berpenyakit. LR (-) biasanya kurang dari 1, dan makin
kecil LR (-) maka tes nya makin baik. Mengapa? Karena hasil tes negatif
seharusnya lebih jarang terjadi pada kelompok yang berpenyakit dibanding
dengan kelompok yang tidak berpenyakit. Rumusnya: Likelihood ratio
negative (LR−) = (1–Sensitivity)/Specificity
Nilai LR yang ideal

LR(+) LR(-) Impact on Likelihood


10 0.1 Excellent
6 0.2 Very good
2 0.5 Fair
1 1 Useless

Sensitivitas dan spesifisitas dipengaruhi oleh cut off point untuk


menentukan kriteria positivitas, yakni nilai berapa seseorang dikatakan sakit
atau berpenyakit. Sebaliknya nilai ramal positif, sangat tergantung pada
prevalensi penyakit yang ada dalam populasi yang sedang dites. Makin tinggi
prevalensi penyakit dalam populasi, makin tinggi pula PPV. Dengan demikian
cara utama untuk menaikkan hasil dalam sebuah skrining adalah dengan
menargetkan tes pada kelompok orang yang berisiko tinggi menderita penyakit.

2.6. Outcome dan evaluasi efektivitas program skrining

Test diagnostik dilakukan setelah seseorang dinyatakan positif pada test skrining
untuk menegakkan diagnsosis secara lebih pasti (definitif).

Beberapa contoh test skrining adalah:

a. Pap’s smear dan IVA untuk kanker serviks.


b. Pemeriksaan gula darah puasa untuk diabetes.
c. Tekanan okular untuk glaukoma.
d. Darah dalam feses untuk kanker kolon.
e. Mamografi untuk kanker payudara.

Sebuah test bisa bermanfaat jika :

a. Penyakitnya serius (misal kanker serviks, hipertensi dll).


b. Bila treatment dilakukan sebelum tanda dan gejala muncul hasilnya lebih
efektif dibanding bila dilakukan setelah tanda dan gejala muncul.
c. Bila prevalensi penyakit dalam DPCP relatif tinggi.
Contoh epidemiologi kanker : evaluasi efektivitas program skrining
evaluasi program skrining mamografi dalam program dan pemantauan dan
pencegaha kesehatan di Voralberg berbasis populasi
Tujuan: Untuk menggambarkan program skrining mamografi 1989-2005
dalam populasi-
program pencegahan berbasis di Austria dan untuk menilai itu sesuai dengan
indicator kualitas yang direkomendasikan.
Bahan dan metode: Dari 01.01.1989 semua wanita berusia 40 tahun
atau lebih yang berpartisipasi dalam Vorarlberg Program Pemantauan &
Pencegahan Kesehatan (VHM&PP) ditawarkan untuk menjalani "penyaringan"
tambahan mamografi”. Tindak lanjut pasif telah dilakukan oleh hubungan
rekaman dengan kanker Vorarlberg registri dan statistik kematian untuk
informasi tentang variabel hasil. Tingkat kanker interval telah diperkirakan dan
kelangsungan hidup setelah kanker payudara telah dihitung dengan teknik tabel
kehidupan dengan pemeriksaan periode dan kelompok usia (40-49 tahun, 50-69
tahun).
Hasil: Antara 1989 dan 2005 50.100 wanita berusia 40 hingga 69 tahun
berpartisipasi dalam program ini, di antaranya 123.652 hasil mammogram telah
dikumpulkan. Dalam populasi sasaran, tingkat partisipasi adalah 65,1%. Selama
waktu tindak lanjut rata-rata 13,5 tahun dan 633.342 orang-tahun secara
keseluruhan 665 kanker invasive dan 87 kasus karsinoma duktal in situ (11,6%)
telah diidentifikasi. Antara 1996 dan 2004 deteksi tingkat adalah 239,9 per
100.000 di antara wanita berusia 40-49 tahun dan 543,2 per 100.000 di antara
wanita berusia 50-69 tahun. Tingkat untuk kanker interval adalah 160,4 dan
277,4 per 100.000 layar negatif, masing-masing. Selama tindak lanjut rata-rata
13,5 tahun 165 kematian terjadi tanpa perbedaan dalam kelangsungan hidup
antara pasien dengan interval dan skrining kanker yang terdeteksi.
Kesimpulan Program skrining mamografi telah dilakukan antara tahun
1989 dan 2005 di Vorarlberg. Hingga tahun 2005 sebagian besar indikator
kualitas meningkat dan memenuhi rekomendasi UE yang menyarankan bahwa
pendekatan alternatif untuk skrining mamografi terorganisir berdasarkan data
rutin harus dieksplorasi.
Analisis program skrining mamografi menunjukkan: bahwa pada tahun
1989 hingga 2005 50.100 wanita berusia 40–69 tahun berpartisipasi dalam
program skrining mamografi di Vorarl-berg. Bertambahnya usia dikaitkan
dengan meningkatnya insiden karsinoma payudara. Beberapa indikator kualitas
memenuhi rekomendasi UE amanat. Di Vorarlberg, skrining mamografi
terorganisir telah dilakukan diperkenalkan pada tahun 1989 setelah
pemeriksaan payudara klinis dan skrining mamografi nistik selama bertahun-
tahun, yang dapat melemahkan evaluasi kriteria hasil. mamografi ini program
penyaringan telah dilaksanakan tanpa tambahan pendanaan berdasarkan
ginekologi tahunan dasar yang sedang berlangsung program penyaringan. Catat
hubungan dengan kanker rutin dan pencatatan kematian dilakukan untuk
mendapatkan informasi tentang kriteria hasil. Di antara kekuatan dari program
ini adalah program skrining mamografi jangka panjang dilaksanakan dalam
perawatan kesehatan rutin dan hubungan catatan dengan kanker berkualitas
tinggi.
BAB III

PEMBAHASAN
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

4.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai