Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Frambusia merupakan penyakit tropis yang temasuk ke dalam kelompok

penyakit tropis terabaikan (Neglected Tropical Diseases). Frambusia atau dalam

beberapa bahasa Daeerah disebut patek, puru, buba, pian, parangi, ambalo adalah

penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Traponema perteneu yang hidup

di Daerah trtopis.(Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

8,2017)

Frambusia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

Indonesia merupakan satu-satunya Negara di regional Asia Tenggara yang

melaporkan adanya kasus Frambusia berdasarkan laporan WHO tahun 2012. Pada

tahun 2014, dilaporkan adanya 1.521 kasus Frambusia di Indonesia. Hasil survey

serologi tahun 2012 di beberapa kabupaten/kota, menunjukkan prevalensi

frambusia berkisar antara 20-120 per 100.000 penduduk usia 1 – 15 tahun.

.(Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8,2017).

Frambusia dapat diberantas karena penyakit ini dideteksi dengan mudah

oleh petugas kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan serta dapat disembuhkan.

Secara geografis, penyakit ini terbatas hanya pada daerah yang terpencil dan

terlokalisir. .(Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8,2017)


Penegakkan diagnosis frambusia dilakukan berdasarkan pemeriksaan klinis

dan serologi. Kemungkinan terdapat frambusia tanpa lesi klinis yang tidak

terdiagnosis, sehingga membuat kasus frambusia masih belum dapat disingkirkan.

Belum ada Penelitian tentang penemuan kasus frambusia di Daerah yang

dinyakatan endemis. (Yudo, 2017)

Indonesia mencanangkan target pencapaian Eradikasi Frambusia pada tahun

2020. Untuk mencapai eradikasi Frambusia di Indonesia, telah diterbitkan

Permenkes Nomor 8 Tahun 2017 tentang Eradikasi Frambusia dan Kepmenkes

nomor 496 Tahun 2017 tentang penetapan 79 kabupaten/kota di 18 Provinsi yang

merupakan kabupaten/kota endemis frambusia. Kabupaten Gorontalo Utara

merupakan salah satu kabupaten yang diusulkan untuk penilaian Eradikasi

Frambusia. Namun target Eradikasi Frambusia di Kabupaten Gorontalo Utara

tahun 2020 belum tercapai. Hal ini disebabkan karena kurangnya keasadaran

masyarakat untuk memeriksakan diri, sehingga tidak ditemukan kasus frambusia

di daerah ini.

Oleh karena itu Pemerintah Kabupaten Gorontalo Utara khususnya Dinas

Kesehatan kabupaten Gorontalo Utara membutuhkan dukungan dan komitmen

yang kuat dari seluruh sektor terkait, baik lintas sektor maupun lintas program.

Puskesmas sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan Upaya penyelenggaraan

penemuan kasus Frambusia. Salah satu kegiatan yang akan dilaksanakan yaitu

deteksi dini (skrining) penyakit frambusia. Penemuan kasus secara dini dapat
memutuskan mata rantai penularan frambusia. Semua koreng yang bukan

diakibatkan oleh cedera atau trauma, dapat diduga sebagai suspek frambusia

sampai dapat dikonfirmasi dengan melakukan pengujian serologi.

Hal ini pula yang membuat kami tertarik untuk ikut melakukan kegiatan

upaya penyelenggaraan penemuan kasus frambusia terutama pada kegiatan

Deteksi Dini (skrining) Penyakit Frambusia pada anak sekolah. Tujuan kegiatan

ini adalah untuk memastikan bahwa sudah tidak ada lagi penyebaran frambusia di

wilayah kabupaten Gorontalo Utara. Kegiatan Deteksi Dini (skrining) frambusia

ini dilakukan pada anak sekolah Dasar kelas 1 sampai dengan 6.

Kegiatan deteksi dini (skrining) penyakit frambusia pada anak sekolah yang

kami lakukan merupakan bentuk pengabdian masyarakat yang merupakan salah

satu perwujudan dari Tri Dharma perguruan tinggi yang terdapat pada undang-

undang no 12. Tahun 2012 pada pasal 1 ayat 9 yaitu kewajiban perguruan tinggi

untuk menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian mkepada

masyarakat. Pengabdian masyarakat merupakan suatu wujud kristalisasi dan

integrilisasi dari ilmu yang tertuang secara teoritis dibangku kuliah untuk

diterapkansecara nyata dalam kehidupan sehari-hari dimasyarakat, sehingga ilmu

yang diperoleh dapat diaplikasikan dan dikembangkan dalam kehidupan

masyarakat yang luas. (LPKM, 2019)


1.2 Tujuan Deteksi Dini ( Skrining )Penyakit Frambusia

1. Tujuan Umum

Memastikan tidak ditemukannya lagi kasus frambusia pada Anak Sekolah

2. Tujuan khusus

1. Menjamin setiap kasus Frambusia di sekolah mendapat pemeriksaan

2. Menemukan secara dini setiap kasus Frambusia di sekolah dan

kemungkinan adanya penularan Frambusia di Desa tempat tinggal anak

sekolah

1.3 Manfaat Deteksi Dini Penyakit Frambusia

Kegiatan ini diharapkan dapat menemukan kasus frambusia secara dini

sehingga dapat menghentikan penularan penyakit frambusia di masyarakat.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uji Screening

A. Pengertian Uji Screening

Penelitian Skrining sangat penting di dunia kedokteran dan kesehatan

masyarakat. Skrining/penapisan merupakan proses pendeteksian kasus/kondisi

kesehatan pada populasi sehat pada kelompok tertentu sesuai dengan jenis penyakit

yang akan dideteksi dini dengan upaya meningkatkan kesadaran pencegahan dan

diagnosis dini bagi kelompok yang termasuk resiko tinggi. Berikut dijelaskan definisi

skrining/penapisan menurut beberapa ahli Epidemiologi.

Menurut Webb (2005), skrining/penapisan merupakan metode test sederhana

yang digunakan secara luas pada populasi sehat atau populasi yang tanpa gejala

penyakit (asimptomatik). Skrining/penapisan tidak dilakukan untuk mendiagnosa

kehadiran suatu penyakit, tetapi untuk memisahkan populasi subjek

skrining/penapisan menjadi dua kelompok yaitu orang-orang yang lebih beresiko

menderita penyakit tersebut dan orang-orang yang cenderung kurang beresiko

terhadap penyakit tertentu. Mereka yang mungkin memiliki penyakit (yaitu, mereka

yang hasilnya positif) dapat menjalani pemeriksaan diagnostik lebih lanjut dan

melakukan pengobatan jika diperlukan.

Menurut Komisi Penyakit Kronis AS (1951) dalam kamus Epidemiologi (A

Dictionary of Epidemiology), skrining/penapisan didefinisikan sebagai "identifikasi

dugaan penyakit atau kecacatan yang belum dikenali dengan menerapkan pengujian,

pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat diterapkan dengan cepat. Tes

skrining/penapisan memilah/memisahkan orang-orang yang terlihat sehat untuk

dikelompokkan menjadi kelompok orang yang mungkin memiliki penyakit dan

kelompok orang yang mungkin sehat. Sebuah tes skrining/penapisan ini tidak
dimaksudkan untuk menjadi upaya diagnosa. Orang dengan temuan positif menurut

hasil skrining/penapisan atau suspek suatu kasus harus dirujuk ke dokter untuk

diagnosis dan menjalani pengobatan yang diperlukan.

B. Tujuan Uji Screening

Penelitian uji skrining mempunyai tujuan yaitu untuk menilai validitas dan

reliabilitas suatu test dalam mendeteksi kemungkinan adanya suatu penyakit secara

lebih dini (deteksi dini). Deteksi dini merupakan bagian dari pencegahan sekunder

yang terdiri dari deteksi dini dan dikuti pengobatan tepat. Konsep dari deteksi dini

adalah mendeteksi kemungkinan mengalami suatu penyakit pada orang-orang tanpa

gejala. Dengan melakukan deteksi dini maka klasifikasi memungkinkan terkena suatu

penyakit pada seseorang menjadi lebih awal diketahui.

C. Tahapan Uji Screening

orang dengan hasil deteksi dini positif dievaluasi menggunakan prosedur

diagnosis untuk memastikan apakah benar mengalami penyakit sehingga terapi

menjadi lebih cepat diberikan dan outcome penyakit sebagian besar berakhir

dengan kesembuhan (prognosis lebih baik). Konsep ini sejalan dengan teori

bahwa semakin dini suatu penyakit diketahui maka peluang sembuh sempurna

semakin besar dan biaya yang diperlukan untuk penatalaksanaannya menjadi

semakin murah. Konsep deteksi dini tersebut dapat dibuatkan bagan sebagai

berikut:
Gambar 1.

Orang-Orang tanpa Gejala

Deteksi Dini

Kasifikasi Kemungkinan Terkena Penyakit

Evaluasi Lanjutan Melakukan Tes Diagnostic

Pengobatan Lebih Awal

Sembuh Noresponse Mati

Konsep Skrining 1.1 Rancangan Penelitian Uji Skrining

D. Metode Uji Screening

Penelitian uji skrining tergolong penelitian observasional deskriptif

dengan rancangan yang umum digunakan adalah cross-sectional study.

Tergolong dalam observational deskriptif karena pada penelitian ini hanya

dilakukan observasi tanpa adanya intervensi (perlakuan). Selain itu penelitian

uji skrining dilakukan pada satu populasi dengan tujuan menggambarkan

validitas suatu.

test terhadap suatu baku emas, tanpa adanya tujuan untuk mengetahui

asosiasi dan hubungan sebab akibat. Rancangan cross-sectional study berarti

bahwa semua variabel, termasuk test yang diuji dan gold standar (baku emas)

diukur pada satu periode waktu yang sama.

Waktu pengambian bahan (speciment) atau pengukuran penyakit yang

diteliti dengan test yang diuji dan baku emas sangat penting dilakukan pada
periode waktu yang sama untuk menjamin bahwa kondisi penyakit masih

sama. Jika waktu pengukuran atau mengambilan bahan oleh test yang diuji

dan gold standar berbeda maka adanya perbedaan hasil bukan karena kurang

validnya test yang diuji melainkan karena perbedaan waktu pengukuran.

Isu penting lain dalam merancang penelitian uji skrining adalah

masalah penentuan atau pemilihan test yang digunakan sebagai baku emas.

Tidak sembarang test bisa digunakan sebagai baku emas. Test yang

berdasarkan beberapa literatur menunjukkan validitas lebih tinggi tetapi masih

tergolong test untuk skrining tidak bisa digunakan sebagai baku emas. Baku

emas adalah test yang memang sudah dipercaya kebenarannya sesuai dengan

patofisiologi penyakit. Salah satu contoh dalam mendiagnosis tuberkulosis

(TB) pada anak, kurang tepat kalau dilakukan penelitian uji diagnosis sistem

skoring TB anak oleh dokter umum dengan dokter spesialis anak sebagai baku

emas karena hasil skoring TB anak oleh dokter spesialis anak belum tentu

benar. Dalam patofisiologi TB pada anak perbaikan klinis setalah pemberian

terapi obat anti TB dapat digunakan sebagai baku emas. Dengan kata lain

pemilihan baku emas suatu penyakit tertentu yang akan dilakukan penelitian

uji diagnosis dan skrining harus sesuai dengan keilmuwan (teori) yang

berlaku. Seperti baku emas untuk kanker payudara adalah hasil pemeriksaan

patologi anatomi (PA).

1. Karakteristik Test Skrining Yang Baik

Test skrining harus memenuhi karakteristik tertentu supaya bisa disebut

sebagai test yang baik. Karakteristik atau ciri-ciri ini juga merupakan alasan atau

latar belakang untuk melaksanakan suatu penelitian uji skrining. Dalam membuat

suatu latar belakang dilakukan penelitian uji skrining sangat penting

menyampaikan kelebihan dari test yang dinilai validitas, reliabilitas dan

efikasinya.. Beberapa syarat test disebut baik adalah:


1. Ekonomis Test yang ekonomis

berarti biaya yang diperlukan untuk melakukan suatu test diagnostik lebih

murah dari yang biasa digunakan.

2. Cepat Test yang cepat

berarti waktu yang diperlukan dari sampel diambil sampai didapatkan hasil

lebih cepat dari yang biasa digunakan.

3. Mudah dikerjakan

Mudah dikerjakan mempunyai makna suatu test tidak memerlukan suatu

spesialisasi atau keahlian khusus untuk mengerjakan. Suatu test dinyatakan

mudah jika bisa dikerjakan oleh tenaga medis dengan pelatihan yang relatif

singkat.

4. Bebas dari risiko dan ketidaknyamanan

Bebas dari risiko dan ketidaknyamanan mempunyai makna suatu test tidak

memerlukan tindakan invasif dan proses penerapannya sedikit atau minimal

menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien. Salah satu pengertian

ketidaknyamanan adalah timbulnya rasa sakit (nyeri) saat test dikerjakan.

Semakin tidak ada rasa nyeri dan tidak ada tindakan invasif maka semakin

baik suatu test skrining.

5. Dapat diterima di masyarakat

Dapat diterima dimasyarakat mempunyai arti test skrining tidak bertentangan

dengan norma dan etika yang berlaku di masyarakat.

6. Valid

Validitas suatu test menunjukkan kemampuan (ketepatan) suatu test untuk

mendapatkan nilai yang sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Dalam

dunia kesehatan kenyataan yang sebenarnya terbagi menjadi 2, sakit dan

tidak sakit. Sehingga penilaian terhadap validitas meliputi 2 aspek yaitu

ketepatan menilai kondisi sakit disebut sensitifitas dan ketepatan untuk


menilai kondisi tidak sakit disebut spesifisitas. Dengan kata lain sensitifitas

adalah kemampuan suatu test untuk menyatakan positif orang-orang yang

sakit, sedangkan spesifisitas adalah kemampuan suatu test untuk menyatakan

negatif orang-orang yang tidak sakit.

7. Reliabel

Reliabilitas suatu test menunjukkan konsistensi (kesamaan) hasil ukur bila

dikerjakan lebih dari sekali terhadap pasien (subjek pengamatan) yang sama

pada kondisi yang sama pula. Sumber ketidaksamaan hasil ukur (bias) dapat

terjadi karena observer berbeda yang disebut dengan bias inter observer dan

observer sama tapi waktu pengamatan berbeda yang disebut bias intra

obserber.

7.5 Karakteristik Penyakit Yang Cocok Diskrining

Tidak semua penyakit cocok untuk didilakukan skrining, ada beberapa

karkateristik penyakit yang sebaiknya dipenuhi supaya bisa dilakukan

skrining. Karakteristik penyakit yang cocok diskrining meliputi:

1. Penyakit serius dan dengan konsekuensi berat

Yang dimaksud dengan penyakit serius dan dengan konsekuensi berat

adalah penyakit yang mendapat perhatian di masyarakat, peningkatan

kejadiannya menimbulkan masalah keresahan masyarakat. Penyakit

seperti ini biasanya memiliki konsekuensi (akibat) menimbulkan

kecacatan dan kematian. Beberapa contoh penyakit dengan karakteristik

seperti ini adalah kanker, diabetes melitus, tekanan darah tinggi dan

HIV/Aids

2. Pengobatan lebih efektif pada tahap awal

Pengobatan lebih efektif pada tahap awal berarti probabilitas untuk

sembuh, tidak mengalami kecacatan dan kematian jauh lebih tinggi jika
terdeteksi dan diobati pada tahap awal (preklinis) dibandingkan tahap

lanjut. Salah satu contoh penyakit lebih efektif diobati pada tahap awal

adalah kanker payudara dimana bila terdeteksi dan diobati pada tahap

awal akan menurunkan mortalitasnya sehingga sangat cocok dilakukan

skrining. Berbeda halnya dengan kanker pankreas, walaupun ditemukan

dan diobati pada tahap awal tetapi survivor rate dari penyakit ini tidak

berbeda dengan yang ditemukan dan diobati pada tahap lanjut.

3. Penyakit dengan detectable preclinical phase yang lama

Penyakit dengan detectable preclinical phase yang lama berarti memiliki

waktu periode subklinis/preklinis (belum timbul tanda dan gejala) yang

panjang, tetapi sudah terjadi perubahan di dalam tubuh (patologi anatomi)

yang memungkinkan penyakit tersebut terdeteksi. Semakin lama

detectable preclinical phase maka semakin banyak kesempatan untuk

menemukan pada stadium yang lebih dini. Dengan kata lain semakin

lama detectable preclinical phases uatu penyakit, maka semakin baik

untuk diskrining.

4. Prevalensi penyakit tinggi pada populasi

Persyaratan ini sangat penting untuk mejamin efektifitas hasil skrining.

Semakin tinggi prevalensi suatu penyakit di populasi maka kemungkinan

untuk benar sakit pada orang-orang dengan hasil tes positif semakin

tinggi. Dengan kata lain, jika skrining dilakukan pada populasi dengan

prevalensi suatu penyakit tinggi, maka jumlah hasil positif palsu akan

semakin sedikit. Hal ini akan sangat bagus karena akan menghasilkan

nilai prediktif test positif (NPP) yang lebih tinggi .


2.2 Konsep Anak Usia Sekolah

2.2.1 Pengertian Anak Usia Sekolah

Anak sekolah dasar yaitu anak yang berusia 6-12 tahun, memiliki fisik

lebih kuat yang mempunyai sifat individual serta aktif dan tidak

bergantung dengan orang tua. Anak usia sekolah ini merupakan masa

dimana terjadi perubahan yang bervariasi pada pertumbuhan dan

perkembangan anak yang akan mempengaruhi pemebentukan

karakteristik dan kepribadian anak. Periode usia sekolah ini menjadi

pengalaman inti anak yang dianggap mula bertanggung jawab atas

perilakunya sendiri dalam hubungan dengan teman sebaya, orang tua dan

lannya. Selain itu usia sekolah merupakan masa dimana anak

memperoleh dasar-dasar pengetahuan dalam menentukan keberhasilan

untuk menyesuaikan diri pada kehidupan dewasa dan memperoleh

keterampilan tertentu (Diyantini, et al. 2015).

2.2.2 Perkembangan Anak Sekolah

Perkembangan jika dalam bahasa inggris disebut development. Menurut

Santrock development is the pattern of change that begins at conception

and continues through the life span, yang artinya perkembangan adalah

perubahan pola yang dimulai sejak masa konsepsi dan berlanjut

sepanjang kehidupan. Perkembangan berorientasi pada proses mental

sedangkan pertumbuhan lebih berorientasi pada peningkatan ukuran dan

struktur. Jika perkembangan berkatan dengan hal yang bersifat

fungsional, sedangkan pertumbuhan bersifat biologis. Misalnya, jika

dalam perkembangan mengalami perubahan pasang surut mulai lahir

sampai mati. Tetapi jika pertumbuhan contohya seperti, pertumbuhan

tinggi badan dimula sejak lahir dan berhenti pada usia 18 tahun (Desmita,

2015).
memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menilai

dan memikirkan lingkungannya (Desmita, 2015). Mengacu pada tahap

perkembangan kognitif dari Piaget, maka anak pada masa kanak-kanak

akhir berada pada tahap operasional konkret yang berlangsung kira-kira

usia 7-11 tahun (tahap operasional konkret. Pada tahapan ini, pemikiran

logis menggantikan pemikiran intuitif. Anak sudah mampu berpikir

rasional dan melakukan aktivitas logis tertentu, walaupun masih terbatas

pada objek konkret dan dalam situasi konkret. Anak telah mampu mampu

memperlihatkan keterampilan konversi, klasifikasi, penjumlahan,

pengurangan, dan beberapa kemampuan lain yang sangat dibutuhkan

anak dalam mempelajari pengetahuan dasar sekolah. Cara berpikirnya

sudah kurang egosentris yang ditandai dengan desentrasi yang besar,

yaitu sudah mampu memperhatikan lebih dari satu dimensi dan juga

menghubungkan satu

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak sekolah

Proses perkembangan pada anak dapat terjadi secara cepat maupun

lambat tergantung dari individu atau lingkungannya. Proses tersebut dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor perkembangan anak, yaitu : 1. Faktor

Herediter Faktor herediter dapat diartikan sebagai pewarisan atau

pemindahan karakteritik biologis individu dari pihak kedua orang tua ke

anak atau karakteristik biologis individu yang dibawa sejak lahir yang

tidak diturnkan dari pihak kedua orang tua. Kita juga dapat menyebutkan

bahwa sifat-sifat atau ciri-ciri padi aseorang anak adalah keturunan

(Lestaari, 2011). 2. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan merupakan

faktor yang memegang perananan penting dalam mempengaruhi

perkembangan anak. Faktor lingkungan secara garis besar dibagi menjadi

faktor prenatal dan post natal. Lingkungan post natal secara umum dapat
di golongkan menjadi lingkungan biologis (ras/suku bangsa, jenis

kelamin, umur, gizi, perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit,

penyakit kronis, fungsi metabolisme, hormon), lingkungan fisik (cuaca,

musim, keadaam geografis suatu daerah, sanitasi, keadaan rumah,

radiasi), lingkungan psikososial (stimulasi, motivasi belajar, ganjaran atau

hukuman, kelompok sebaya, stress, sekolah), dan lingkungan keluarga

(Candrasari, et al. 2017)

2.3 Konsep Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

2.3.1 Pengertian Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

Perilaku hidup bersih dan Sehat (PHBS) adalah sebagai bentuk wujud

operasional promosi kesehatan yang merupakan upaya dalam mengajak,

mendorong kemandirian masyarakat berperilaku hidup bersih dan sehat

(Ekasari, et al, 2008). Menurut Depkes RI Pusat Promosi Kesehatan

perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) merupakan perilaku kesehatan

yang dilakukan oleh individu, keluarga dan masyarakat dalam menolong

dirinya sendiri di bidang kesehatan dan meningkatkan status gizi serta

berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan. Selain itu PHBS juga

memberikan pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi

perorangan, kelompok, keluarga, dengan membuka jalur komunikasi,

informasi dan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan

perilaku (Saputro, Budiarti, Herawati, 2013). Perilaku Hidup Bersih dan

Sehat (PHBS) berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI No.

2269/MENKES/PER/XI/2011 adalah sekumpulan perilaku yang

dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran yang

menjadikan seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat mampu

menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang kesehatan. Selai itu juga

diharapkan dapat berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan


masyarakat. Dengan demikian, PHBS mencakup beratusratus atau bahkan

beribu-ribu perilaku yang harus dipraktikkan dalam rangka mencapai

derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Kemenkes RI,

2011).

2.3.2 Manfaat Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Sekolah

Penerapan perilaku hidup bersih dan sehat yang diterapkan di sekolah

dapat menciptakan kondisi sekolah yang bersih dan sehat sehingga siswa,

guru, dan masyarakat ligkungan sekolah terlindungi dari berbagai

ancaman penyakit. Citra sekolah sebagai institusi pendidikan juga akan

semakin meningkat sehingga citra pemerintah daerah dalam bidang

pendidikan juga meningkat. Sekolah juga bisa 25 menjadi menerapkan

sekolah percontohan sekolah yang sehat bagi sekolah yang lan

(Notoatmodjo, 2010). 2.2.8 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Perilaku

Hidup Bersih dan Sehat di Sekolah Notoatmodjo (2007, dalam Aris,

2015) mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku Hidup

Bersih dan Sehat (PHBS) pada anak usia dini dibagi menjadi beberapa

yakni faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pemungkin

(enabling factors), faktor penguat (reinforcing factors), yaitu faktor-faktor

predisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap,

keyakinan, kepercayaan, peran, nilai-nilai tradisi, dan sebagainya. Faktor-

faktor pemungkin (enabling factors), merupakan faktor-faktor yang

memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor-faktor

penguat (reinforcing factors), yaitu faktor-faktor yang memperkuat atau

mendorong terjadinya perilaku (Aris, 2015). Menurut pendapat dari

Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO (1992: 1-7, dalam Banun 2106)

mengatakan faktor yang mempengaruhi kesehatan meliputi benda hidup,

benda mati, peristiwa alam, faktor lingkungan buatan manusia, keturunan,


dan perilaku (Banun, 2016). Selain faktor-faktor di atas, perilaku hidup

bersih dan sehat di pengaruhi oleh dua faktor yaitu :

1. Faktor internal meliputi faktor-faktor yang muncul dari dalam diri

individu bersangkutan untuk mempengaruhi individu tersebut, sehingga

di dalam diri individu timbul unsur-unsur dan dorongan berbuat sesuatu.

Faktor internal terdiri dari :

a. Kebiasaan, Kebiasaan merupakan suatu perilaku yang pada akhirnya

menjadi otomatis dan tidak membutuhkan pemikiran dari orang

tersebut, sehingga orang tersebut dapat memikirkan hal-hal lain yang

lebih menarik ketika ia sedang berperilaku yang menjadi bagian dar

kebiasaan tersebut (Rudiansyah & Jonyanis, 2014).

b. Kepercayaan Kepercayaan merupakan salah satu faktor internal yang

semakin baik kepercayaan seseorang, maka akan semakin baik pula

sikap yang terbentuk di dalam diri individu tersebut. Pada akhirnya

kepercayaan yang seperti itu membuat semakin baik pula perilaku

yang dimunculkan oleh orang tersebut (Rudiansyah & Jonyanis,

2014).

c. Motivasi Motivasi diartikan sebagai dorongan untuk bertindak dalam

mencapai suatu tujuan tertentu, dan hasil dari dorongan dan gerakan

ini diwujudkan dalam bentuk perilaku. Manusia berbuat sesuatu

karena adanya dorongan atau motivasi tertentu. Motivasi atau

dorongan ini timbul karena dilandasi oleh adanya kebutuhan yang

Maslow dikelompokkan menjadi kebutuhan biologis, kebutuhan

sosial, dan kebutuhan rohani (Nurlaili, 2017).

d. Kemauan Kekuatan kemauan sangat erat hubungannya dengan

keinginan. Jika seseorang memiliki perbedaan keinginan dalam

dirinya, hal ini dapat menyebabkan konflik keinginan (Rudiansyah &


Jonyanis, 2014). Kepribadian Kepribadian adalah komponen dalam

diri individu yang berupa kesadaran maupun ketidaksadaran yang

saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya untuk saling

mengisi dan saling membantu individu tersebut dalam melakukan

penyesuaian diri terhadap lingkungannya secara khas dan

termanifestasikan dalam pikiran , perasaan dan perilaku (Suminta,

2016)

e. Pengetahuan Pengetahuan (ranah kognitif) adalah doman yang sangat

penting dalam pembentukan tindakan seseorang (overt behavior).

Ada enam tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif yakni di

antaranya, Tahu (Know), memahami (Comprehension), aplikasi

(application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi

(evaluation). Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan

wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin

diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2012).

2. Faktor eksternal yakni, faktor-faktor yang ada di luar diri individu

bersangkutan yang mempengaruhi individu tersebut, sehingga di dalam diri

individu timbul unsur-unsur dan dorongan berbuat sesuatu. Contohnya faktor

eksternal Faktor lingkungan,pendidikan, ekonomi, fasilitas, dukungan dan

budaya, yaitu : a. Faktor lingkungan, Faktor lingkungan sangat erat

berkaitannya dalam mempengaruhi perilaku kesehatan. Faktor lingkungan

juga terdiri dari, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan teman

sebaya, lingkungan masyarakat, dan lain-lain. Munculnya faktor lingkungan

akan berdampak pada kebiasaan perilaku masing-masing individu (Maulana,

2009).
2.4 Konsep Medis Penyakit Frambusia

2.4.1 Menurut WHO (World Health Organization) penyakit frambusia di

Indonesia sampai saat ini belum dapat dieliminasi dari seliruh wilayah

walaupun secara nasional angka prevalensi kurang dari 1 per 10.000

penduduk. Pada tahun 2006 terdapat lima propinsi di Indonesia dengan

angka prevalensi yang cukup tinggi yaitu Papua Barat (15,00), Papua

(10,01), Sulawesi Tenggara (7,92), Nusa Tenggara Timur (2,80), dan

Maluku (1,08).2 Prevalensi penyakit frambusia di Kota Jayapura

berfluktuasi dari tahun 2005 sampai 2007. Pada tahun 2005 prevalensi

frambusia 1,7 per 10.000 penduduk sedangkan pada tahun 2006 menjadi

1,4 per 10.000 penduduk namun pada tahun 2007, prevalensi penyakit

frambusia di Kota Jayapura sebesar 5,4 per 10.000 penduduk.3 Angka ini

lebih tinggi dari kebijakan Departemen Kesehatan yaitu < 1 per 10.000

penduduk.4 Hasil survei yangdilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kota

Jayapura pada bulan Juni tahun 2007 terhadap 200 orang penduduk

diketahui bahwa 24% menderita frambusia dan 56% mempunyai kondisi

rumah yang tidak memenuhi syarat. (Indra, Fajar, Hanifpurnomo : 2009)

Penyakit Frambusia merupakan salah satu penyakit menular yang belum

dapat ditangani secara tuntas (Depkes RI, 2004). Frambusia masih

merupakan masalah penyakit infeksi kulit di Indonesia. Ditemukan lebih

dari 200 kasus frambusia per 10.000 penduduk di Propinsi Nusa Tenggara

Timur, khususnya di Kecamatan Nggaha Ori Angu Kabupaten Sumba

Timur. Terdapat kemungkinan bahwa orang yang kontak erat dengan

pasien frambusia telah terinfeksi, namun asimtomatik. Kelompok ini

adalah termasuk sumber infeksi yang perlu mendapat pengobatan. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi kontaktan frambusia di


wilayah kerja Puskesmas Nggaha Ori Angu Kabupaten Sumba Timur

Propinsi NTT dengan tes serologis yang positif (Pudjiati dkk, 201).

2.4.2 Definisi

Frambusia adalah penyakit trepomatosis non seksual, menular, menahun,

dan sering rekuren, bersifat endemic pada daerah beriklim tropis dan

lembab (27°C) (Menaldi, Novianto, Sampurna, 2015). Frambusia adalah

penyakit menular menahun, kumat – kumatan, bukan termasuk penyakit

menulat venetik, dan disebabkan oleh Treponema palidium subs, pertinue

dengan gejala utama pada kulit dan tulang (Rachmah, Cahanar, 2000).

Penyakit frambusia atau patek adalah suatu penyakit kronis , relaps

(berulang). Frambusia merupakan penyakit menular yang menjadi

masalah kesehatan karea penyakit ini terkait dengan sanitasi lingkungan.

Frambusia terutama menyerang anak-anak yang tinggal di daerah tropis

di pedesaan yang panas dan lembab; banyak ditemukan pada anak umur

2–15 tahun dan lebih sering pada laki-laki. Jumlah kasus frambusia selalu

berubah sesuai dengan perubahan iklim, prevalensinya meningkat selama

musim hujan (Pudjiati,2011).

2.4.3 Epidemiologi

Inseden dan epidemiologi penyakit ini terdapat di daerah beriklim panas

di Asia Tenggara dan Selatan, termasuk Indonesia dan suku – suku

terasing di Australia bagian Utara, Afrika serta Amerika Latin.Pada tahun

1957, frambusia di Indonesia tercatat sebanyak 1.369.082 penderita dan

tahun 1976 pernah dinyatakan bebas dari frambusia, tetapi kenyataannya

di tempat – tempat yang terpencil dan jauh dari kota – kota besar masih

sering ditemukan. Data Departemen Kesehatan pada Pelita – IV

menunjukkan angka prevalensi frambusia 0, 066%-0, 394%, laporan dari

tahun 19 Provinsi dan 105 Kabupaten. Program pemberantasan frmabusia


di Jawa dalam 30 Tahun terakhir ini dapat menekan hingga prevalensi

Jawa – Bali menjadi 0,01%, sedangkan diluar Jawa – Bali masih 0,245%.

Usaha – usaha pemberantasan frambusia di Indonesia telah dimulai jauh

sebelum kemerdekaan. Upaya ini dinkenal sebagai “Frambusia

Bestrijding”.Pada tahun 1930, berdasarkan prakarsa Dr. Kondian dengan

penyuntikan masal neosalfersan dengan perubahan metode disertai

dengan sistem pendekatan epidemiologi penyakitnya, yang dilaksanakan

sejak tahun 1934, upaya pemberantasan frambusia sangat berhasil.

Selama periode perang dunia II, pada saat pendudukan Jepang tidak ada

program pemberantasan. Baru setelah tahun 1950 – 1979, program ini di

aktifkan kembali dengan satu kegiatan yang di kenal sebagai

treponematosis control project simplify (TCPS) (Rachmah, Cahanar,

2000). Sejak penilisin di temukan, program ini semakin mantap dan

mendapat prioritas dalam pemberantasan penyakit menular di Indonesia.

Program ini di laksanakan pada periode 1980 – 1985. “Crash programme”

pemberantasan penyakit frambusia (CP3F) dengan menggunakan

teknologi pemberantasan yang tepat guna, dan berhasil guna. Puskesmas

yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia banyak berperan, sehingga

dalam satu propinsi dibuat peta 3 wilayah klisifikasi frambusia, yaitu

wilayah bebas frambusia (maintenance) dan wilayah endemic

pemberantasan frambusia (non maintenance) (Rachmah,Cahanar,2000).

Klasifikasi Jenis klasifikasi penyakit framboesia yaitu penyakit menular

melalui :

1. Dapat menular melalui air yaitu terbukti dengan banyaknya para

penderita penyakit Framboesia di daerah yang sanitasi air dan

lingkungannya tidak terjaga atau kotor yang dapat memungkinkan

Agen untuk berkembang biak dan menulari Penjamu.


2. Dapat menular melalui kulit yaitu dengan melakukan kontak langsung

penderita yang dimana si Agen berkembang biak di si penderita.

2.4.4 Etiologi Penyakit frambusia

penyakit infeksi kulit yang disebabkan Treponema pallidum sub spesies

pertenue (merupakan saudara dari Treponema penyakit sifilis).

Penyebaran tidak melalui hubungan seksual, tetapi dapat mudah tersebar

melalui kontak langsung antara kulit penderita dengan kulit sehat.

Penyakit ini tumbuh subur terutama di daerah beriklim tropis dengan

karakteristik cuaca panas, dan banyak hujan, yang dikombinasikan

dengan banyaknya jumblah penduduk miskin, sanitasi lingkungan yang

buruk, kurangnya fasilitas air yang bersih, lingkungan yang padat

penduduk, dan kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai.

2.4.5 Cara penularan

Penularan penyakit frambusia dapat terjadi secara langsung maupun tidak

langsung (Depkes,2005), yaitu :

1. Penularan secara langsung (direct contact)

Penularan penyakit frambusia banyak terjadi secara langsung dari

penderita ke orang lain. Hal ini dapat terjadi jika jejas dengan gejala

menular (mengandung Treponema pertenue) yang terdapat pada kulit

seorang penderita bersentuhan dengan kulit orang lain yang ada

lukanya. Penularan mungkin juga terjadi dalam persentuhan antara

jejas dengan gejala menular dengan selaput lendir.

2. Penularan secara tidak langsung (indirect contact)

Penularan secara tidak langsung mungkin dapat terjadi dengan

perantaraan benda atau serangga, tetapi hal ini sangat jarang. Dalam

persentuhan antara jejas dengan gejala menular dengan kulit (selaput

lendir) yang luka, Treponema pertenue yang terdapat pada jejas itu
masuk ke dalam kulit melalui luka tersebut. Terjadinya infeksi yang

diakibatkan oleh masuknya Treponema partenue dapat mengalami 2

kemungkinan:

a. Infeksi effective. Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang

masuk ke dalam kulit berkembang biak, menyebar di dalam tubuh

dan menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat

terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit cukup

virulen dan cukup banyaknya dan orang yang mendapat infeksi tidak

kebal terhadap penyakit frambusia.

b. Infeksi ineffective. Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue

yang masuk ke dalam kulit tidak dapat berkembang biak dan

kemudian mati tanpa dapat menimbulkan gejala-gejala penyakit.

Infeksi effective dapat terjadi jikaTreponema pertenue yang masuk

ke dalam kulit tidak cukup virulen dan tidak cukup banyaknya dan

orang yang mendapat infeksi mempunyai kekebalan terhadap

penyakit frambusia (Depkes, 2005). Penularan penyakit frambusia

pada umumnya terjadi secara langsung sedangkan penularan secara

tidak langsung sangat jarang terjadi (FKUI, 1988).

2.4.6 Manifestasi klinis

1. Stadium primer :

a. Terdapat gejala konsitusi ringan

b. Kelainan berupa papul soliter

c. Lesi awal ditutupi krusta (Mother yaws)

d. Ulkus berisi jaringan granulasi seperti bubur

e. Lokasi : pada daerah terpenjan


2. Stadium sekunder atau masa peralihan :

a. Terjadi 3 – 6 minggu setalah stadium primer

b. Serupa dengan mother yaws, tetapi dengan ukuran lebih kecil

dan jumblah yang lebih banyak

c. Dapat menetap sampai beberapa bulan

d. Pada beberapa tempat terutama lubang tubuh dapat membentuk

gambaran cincin yang disebut sebagai ring worm yaws

3. Stadium lanjut :

a. Ditemukan sedikit treponema

b. Tidak eksudatif

c. Ulkus terdapat pada kulit dan subkutis

d. Apabila sembuh akan meninggalkan jaringan parut e. Dapat

rekuren

e. Terdapat lesi pada alat dalam berupa nodul dan destruksi

tulang Manifestasi klinis frambusia juga dibagi dalam beberapa tahap, antara lain :

1. Tahap Prepatogenesi : Pada tahap ini penederita belum menunjukan gejala

penyakit. Namun, tidak menutup kemungkinan si penyakit telah ada dalam tubuh

si penderita.

2. Tahap Inkubasi : Tahap inkubasi Frambusia adalah dari 2 sampai 3 minggu.

3. Tahap Dini : Terbentuknya benjolan-benjolan kecil di kulit yang tidak sakit

dengan permukaan basah tanpa nanah.

4. Tahap Lanjut : Pada gejala lanjut dapat mengenai telapak tangan, telapak kaki,

sendi dan tulang, sehingga mengalami kecacatan. Kelainan pada kulit ini biasanya

kering, kecuali jika disertai infeksi (borok).

5. Tahap Pasca Patogenesis : Pada tahap ini perjalanan akhir penyakit hanya

mempunyai tiga kemungkinan, yaitu:


a. Sembuh dengan cacat penyakit ini berakhir dengan kerusakan kulit dan tulang

di daerah yang terkena dan dapat menimbulkan kecacatan 10-20 % dari

penderita.

b. Karier tubuh penderita pulih kembali, namun bibit penyakit masih tetap ada

dalam tubuh.

c. Penyakit tetap berlangsung secara kronik yang jika tidak diobati akan

menimbulkan cacat kepada si penderita.

2.4.7 Patofisiologi Frambusia

Di sebabkan oleh Treponemaa Pallidum, yang di sebabkan karena

kontak langsung dengan penderita ataupun kontak tidak langsung. Treponema

palidum ini biasanya menyerang kulit dan tulang.

Pada awal terjadinya infeksi, agen akan berkembang biak didalam

jaringan penjamu, setelah itu akan muncul lesi intinal berupa papiloma yang

berbentuk seperti buah arbei, yang memiliki permukaan yang basah, lembab,

tidak bernanah dan tidak sakit, kadang disertai dengan peningkatan suhu

tubuh, sakit kepala, nyeri tulang dan persendian. Apabila tidak segera diobati

agen akan menyerang dan merusak kulit, otot, serta persendian.

Terjadinya kelainan tulang dan sendi sering mengenai jari-jari dan

tulang ektermitas yang menyebabkan atrofi kuku dan deformasi ganggosa

yaitu suatu kelainan berbentuk nekrosis serta dapat menyebabkan kerusakan

pada tulang hidung dan septum nasi dengan gambaran-gambaran hilangnya

bentuk hidung. Kelainan pada kulit adanya ulkus-ulkus yang meninggalkan

jaringan parut dapat membentuk keloid dan kontraktur.

Pada awalnya, koreng yang penuh dengan organisme penyebab

ditularkan melalui kontak dari kulit ke kulit, atau melalui luka di kulit yang

didapat melalui benturan, gigitan, maupun pengelupasan. Pada mayoritas


pasien, penyakit frambusia terbatas hanya pada kulit saja, namun dapat juga

mempengaruhi tulang bagian atas dan sendi.

Walaupun hamper seluruh lesi frambusia hilang dengan sendirinya,

infeksi bakteri sekunder dan bekas luka merupakan komplikasi yang umum.

Setelah 5 – 10 tahun, 10 % dari pasien yang tidak menerima pengobatan akan

mengalami lesi yang merusak yang mampu mempengaruhi tulang, tulang

rawan, kulit, serta jaringan halus, yang akan mengakibatkan disabilitas yang

melumpuhkan serta stigma social.

2.4.8 Pathway Parasit

Bakteri Treponema pertenue Frambusia

2.4.9 Komplikasi

Tanpa pengobatan, sekitar 10% dari individu yang terkena mengembangkan

menodai dan melumpuhkan komplikasi setelah lima tahun karena penyakit ini

dapat menyebabkan kerusakan berat pada kulit dan tulang. Hal ini juga dapat

menyebabkan kelainan bentuk rahang kaki, hidung, langit-langit dan bagian

atas.

2.4.10 Pemeriksaaan penunjang

1. Pemeriksaan hispatologi

2. Pemeriksaan serologi

2.4.11 Pencehagan

Keyakinan akan membimbing dan mengarahkan individu, keluarga, kelompok

dan masyarakat dalam bertindak. Keyakinan oleh seseorang bahwa kegiatan

pencegahan penyakit Frambusia sangat bermanfaat, akan memudahkan yang

bersangkutan dan keluarganya proaktif dalam mewujudkan perilaku

pencegahan penyakit. Demikian juga keyakinan bahwa perilaku pencegahan

penyakit Frambusia dapat mengurangi ancaman dan kerentanan akan


berdampak positif

danmemudahkanindividu,keluarga,kelompokmaupunmasyarakatmengi

mplementasikannya sebagai kegiatan rutinitas. Memperhatikan hasil

penelitian ini maka kita dapat mengatakan bahwa keyakinan yang dimiliki

oleh individu, keluarga,kelompok dan masyarakat berpengaruh

terhadapperilaku pencegahan penyakitFrambusiayangakanberdampak positif

pada penurunan insiden penyakit ini (Tanaefeto). Salah satu upaya

pencegahan dan pemberantasan frambusia adalah mengobati seluruh orang

yang berkontak dengan pasien. Kontak frambusia yang tidak memperlihatkan

gejala aktif diperlakukan sebagai pasien laten. Survei serologis untuk pasien

laten perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya relaps dan timbulnya lesi

infektif yang menyebabkan penularan penyakit pada komunitas tetap

berlangsung (pudjiati, dkk, 2011). Pencegahan yang dapat dilakukan dengan

selalu menjaga kebersihan lingkungan dan badan, terutama kulit,

jagalahkebersihan lingkungan terutama pada waktu hujan, karena penyakit ini

lebih mudah menular pada saat musim hujan. Berikut ini ada beberapa hal

penting dalam strategi pemberantasan Penyakit Frambusia yang terdiri dari 4

hal pokok, yaitu :

1. Skrining terhadap anak sekolah dan masyarakat usia di bawah 15 tahun

untuk menemukan penderita.

2. Memberikan pengobatan yang akurat kepada penderita di unit pelayanan

kesehatan (UPK) dan dilakukan pencarian kontak.

3. Penyuluhan kepada masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan sehat

(PHBS).

4. Perbaikan kebersihan perorangan melalui penyediaan sarana dan prasarana

air bersih serta penyediaan sabun untuk mandi.


2.4.12 Pengobatan

Pengobatanframboesiadilakukandenganmemberikanantibiotika.Antibiotika

golongan penicillin merupakan obat pilihan pertama. Bila penderita alergi

terhadap penicillin, dapat diberikan antibiotika tetrasiklin, eritromisin atau

doksisiklin. Benzatin penisilin diberikan dalam dosis 2, 4 juta unit untuk

orang dewasa dan untuk 1,2 juta unit untuk anak-anak. Hingga saat ini,

penisilin merupakan obat pilihian, tetapi bagi mereka yang peka dapat

diberikan tetrasiklin atau eritromisin 2 gr/hari selama 5-10 hari. Menurut

Departemen Kesehatan RI, bahwa pilihan pengobatan utama adalah benzatin

penisilin, dan pengobatan alternatif dapat dilakukan dengan pemberian

tetrasiklin, doxicicline dan eritromisin. Anjuran pengobatan secara

epidemiologi untuk frambusia adalah sebagai berikut :

1. Bila sero positif >50% atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun >5%

maka seluruh penduduk diberikan pengobatan.

2. Bila sero positif 10%-50% atau prevalensi penderita di suatu desa 2%-5%

maka penderita, kontak, dan seluruh usia 15 tahun atau kurang diberikan

pengobatan.

3. Bila sero positif kurang 10% atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun

< 2% maka penderita, kontak serumah dan kontak erat diberikan

pengobatan.

4. Untuk anak sekolah setiap penemuan kasus dilakukan pengobatan seluruh

murid dalam kelas yang sama.


BAB III
METODE PELAKSANAAN

3.1 Melanisme Pelaksanaan Kegiatan Pengabdian Masyarakat meliputi Tahapan

berikut :

1. Pembagian kelompok Pengabdian Masyarakat

2. Konsultasi dengan pembimbing Akademik

3. Konsultasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo Utara

4. Persiapan alat dan bahan untuk kegiatan Deteksi Dini (Skrining) Penyakit

Frambusia

3.2 Deteksi Dini (Skrining) penyakit Frambusia pada anak sekolah

Risiko penularan Frambusia tertinggi pada usia sekolah terutama usia 6 – 12

tahun atau kelas 1 – 6 sekolah Dasar. Pada intinya, kegiatan ini adalah melakukan

pemeriksaan badan terhadap siswa untuk mengetahui adanya koreng dan lesi

frambusia. Jika didiagnosis sebagai kasus segera mendapat pengobatan agar

sembuh dan tidak menjadi sumber penularan.

Langkah-langkah :

1. Pemberitahuan Kepada Sekolah tentang rencana pemeriksaan Frambusia di

sekolah dengan Surat Universitas Muhammadiyah Gorontalo kepada Kepala

Sekolah bersangkutan

2. Kepala sekolah bersangkutan menginformasikan kepada orang tua murid

tentang adanya pemeriksaan Frambusia


3. Mahasiswa membawa surat tugas

4. Mahasiswa membantu petugas puskesmas menyiapkan peralatan yang

diperlukan yang terdiri atas

a) Alat Pemeriksaan serologi (RDT Frambusia)

b) Sampiran

c) Daftar hadir pemeriksaan

5. Sebelum pemeriksaan, Mahasiswa membantu petugas Puskesmas mencatat

daftar nama siswa di kelas yang akan dipeiksa ke dalam formulir pemeriksaan

Frambusia di sekolah

6. Menjelaskan tentang Frambusia dan proses kegiatan pemeriksaan kepada guru

dan siswa

7. Pemeriksaan terhadap siswa dilaksanakan satu demi satu siswa, tidak boleh

bersamaan. Pemeriksaan antara murid laki-laki dan perempuan terpisah

8. Mahasiswa membantu petugas mencermati adanya koreng dan lesi dengan

tata cara pemeriksaan. Jika ditemukan koreng atau lesi frambusia, dilakukan

pemeriksaan serologi (RDT) . selanjutnya untuk hasil pemeriksaan RDT akan

di tindak lanjuti dengan pengobatan oleh pihak Puskesmas.


BAB IV

HASIL YANG DICAPAI

Pelaksanaan pengabdian ini dilaksanakan Senin 15 Agustus 2022. Tahapan

pencapaian target hasil diuraikan menurut runtutan metode pelaksanaan dengan beberapa

modifikasi sesuai kondisi lapangan dan selanjutnya secara detail diuraikan berikut.

Dosen melakukan pertemuan dengan Kepala Sekolah Dasar Negeri 10 Kwandang

mengenai persiapan penempatan mahasiswa pengabdian dan hal-hal yang perlu diketahui

oleh mahasiswa mengenai situasi dan kondisi tempat yang akan digunakan sebagai tempat

kegiatan skrining dan edukasi.

Tahapan pelaksanaan kegiatan skrining dan edukasi pencegahan penyakit frambusia

pada anak sekolah yaitu sebagai berikut :

1. Persiapan Kegiatan Edukasi dan skrining

Kegiatan Edukasi ini dilakukan sebelum skrining. Peserta yang diedukasi adalah para

guru, orang tua siswa dan siswa kelas 1 ssampai kelas 6 SD. Pelaksanaannya di ruang

kelas yang telah disiapkan, seperti pada gambar berikut ini.

Gambar 1. Persiapan Edukasi


2. Pelaksanaan Edukasi

Kegiatan ini dimulai pukul 10.00 setelah Guru, Orang tua siswa dan siswa

dikumpulkan. Ada 2 materi yang diberikan yaitu materi tentang penyakit frambusia

yang diedukasikan kepada Guru dan orang tua siswa, serta materi 6 langkah mencuci

tangan yang baik dan benar menggunakan sabun yang diedukasikan dan dipraktekan

oleh anak-anak siswa. Berikut gambar saat pelaksanaan edukasi

Gambar 2. Pelaksanaan Edukasi


3. Pelaksanaan skrining

Kegiatan ini dilakukan setalah kegiatan Edukasi Sekitar pukul 10.30,

pemeriksaan badan dilakukan pada seluruh siswa yang hadir. Siswa diperiksa dari

kepala sampai pada kaki, untuk mencari apakah ada koreng atau lesi frambusia. Jika

ditemukan koreng atau lesi frambusia, maka akan ditindak lanjuti dengan

pemeriksaan Rapid Diagnostic Test Frambusia. Jika ditemukan kasus positif akan

diberikan pengobatan oleh pihak puskesmas. Berikut gambar kegiatan skrining.

Gambar 3.1 Pemeriksaan badan

Gambar 3.2 Pemeriksaan RDT


4. Hasil yang dicapai

Guru, orang tua dan siswa sangat antusias mengikuti kegiatan ini. Guru

dan orang tua yang hadir pada kegiatan ini berjumlah 5 orang, dan siswa yang

diperiksa sekitar 50 siswa. Dari 50 siswa didapatkan 2 suspek dan langsung

diperiksa RDT. Setelah 15 menit hasil RDT didapatkan Negatif. Untuk 2

orang siswa yang dkatakan negative ini akan ditindak lanjuti oleh pihak

puskesmas dengan cara mengobservasi keadaan siswa tersebut dan melakukan

pemeriksaan kulit lainnya.

Kegiatan ini berjalan dengan lancar dan baik.serta sesuai dengan

tahapan bukti kegiatan yang dilaksanakan.

Gambar 4 Foto bersama dengan guru dan siswa SDN 10 Kwandang


BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Frambusia merupakan penyakit tropis yang temasuk ke dalam kelompok

penyakit tropis terabaikan (Neglected Tropical Diseases). Frambusia atau dalam

beberapa bahasa Daeerah disebut patek, puru, buba, pian, parangi, ambalo adalah

penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Traponema perteneu yang hidup di

Daerah trtopis.(Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8,2017)

Frambusia dapat diberantas karena penyakit ini dideteksi dengan mudah

oleh petugas kesehatan di klinik-klinik serta dapat disembuhkan. Secara geografis,

penyakit ini hanya terbatas pada daerah yang terpencil dan terlokalisir di tempat

tersebut. Mensosialisakian pemberantassan frambusia dapat menjadi pintu masuk

untuk pemberian penanganan kesehatan primer ke dalam populasi secara sosial dan

terisolasi secara geografis. Untuk itu perlu dilakukan peningkatan penemuan kasus

frambusia dengan melakukan kegiatan-kegiatan aktif penanggulangan Frambusia

pada meliputi promosi kesehatan, pengendalian faktor resiko (skriniing Frambusia)

dan surveilans Frambusia.

Salah satu kegiatan sebagai upaya penyelenggaraan penemuan kasus

Frambusia yaitu deteksi dini (skrining) penyakit frambusia. Penemuan kasus secara

dini dapat memutuskan mata rantai penularan frambusia. Semua koreng yang bukan
diakibatkan oleh cedera atau trauma, dapat diduga sebagai suspek frambusia sampai

dapat dikonfirmasi dengan melakukan pengujian serologi. Tujuan kegiatan ini adalah

untuk memastikan bahwa sudah tidak ada lagi penyebaran frambusia di wilayah

kabupaten Gorontalo Utara. Kegiatan Deteksi Dini (skrining) frambusia ini dilakukan

pada anak sekolah Dasar kelas 1 sampai dengan 6. Selain kegiatan skrining,

dilakukan juga Eduakasi tentang penyakit frmabusia serta bagaimana cara

mencegahnya. Untuk pencegahannya masyarakat harus mampu melaksanakan

perilalku hidup bersih dan sehat.

5.2 Saran

Diharapkan setelah dilakukan skrining dan edukasi pencegahan

frambusia,diharapkan guru, orang tua siswa dapat mengetahui tentang penyakit

frambusia dan bagaimana cara pencegahannya. Perlu dilakukan kegiatan skrining

yang berkesinambungan untuk menemuakan secara dini kasus frambusia di wilayah

kabupatrn gorontalo utara.


DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai