Dosen Pengampu:
Dr. Agus Hadian Rahim, dr., Sp. OT(K)Spine., M.Epid., M.HKes., MMRS.
Dr. Ardini Saptaningsih Raksanagara. dr., MPH
Disusun Oleh:
3. CAPAIAN PEMBELAJARAN :
3.1 Capaian Umum
3.1.1 Mampu merencanakan dan melaksanakan Diagnostic & Screening Test
4. DESKIRIPSI SINGKAT
Dalam upaya memahami bagaimana sebuah penyakit berkembang dan menyebar, serta
menunjang pelayanan kesehatan yang sesuai dan efektif, maka sangat penting untuk
membedakan populasi sehat dan tidak sehat di masyarakat. Hal ini, merupakan sebuah
tantangan baik secara klinis terkait kualitas pelayanan kesehatan maupun di pelayanan
kesehatan masyarakat dimana program pencegahan sekunder dalam upaya penegakan
diagnostik dan skrining penyakit secara dini sangat dibutuhkan.
Namun pada kenyataannya, pemeriksaan penunjang sering dilakukan secara simultan
dalam upaya penegakan diagnosis. Sebagai contoh, seseorang yang ingin menegakan
penyakit gagal jantung, seringkali pemeriksaan fisik akan diikuti pemeriksaan penunjang
lain secara bersamaaan seperti chest x ray, pemeriksaan laboratorium cardiac marker
ataupun treadmill test. Pertanyaannya, seberapa baik kah sebuah pemeriksaan berfungsi
dalam penegakan diagnosa? Sehingga pembahasan kali ini, akan berfokus dalam
bagaimana peneliti dapat menentukan kualitas (sensitifitas & spesifisitas) sebuah uji
skrining dan diagnostik yang baru dalam penegakan diagnosa.
5. MATERI BAHASAN
5.1. DEFINISI
Skrining adalah deteksi dini atau pengujian pada kelompok asimtomatik untuk
mengidetifikasi mereka yang memiliki suatu kondisi tertentu (penyakit) sehingga dapat
diberikan pengobatan lebih awal. Salah satu contoh tes skrining yang umum adalah
skrining kanker yaitu mamografi, pap smear dan pemeriksaan kulit untuk yang memiliki
risiko tinggi melanoma; skrining hipertensi: skrining pendengaran, penglihatan dan
kesehatan gigi di sekolah dasar; skrining TBC dan HIV tahunan pada petugas kesehatan.
Uji skrining digunakan untuk mengidentifikasi suatu penanda awal perkembangan penyakit
sehingga intervensi dapat diterapkan untuk menghambat proses penyakit, dengan demikian
skrining yang dilakukan dapat mencegah perburukan suatu penyakit (pencegahan
sekunder) tetapi tidak mencegah penyakit itu sendiri. Tes diagnostic dilakukan pada pasien
yang bergejala untuk menentukan kondisi (penyakit) apa yang diderita.
Untuk lebih memahami tentang uji skrining dibawah ini digambarkan titik yang tepat
untuk melakukan uji skrining pada suatu populasi.
Gambar dibawah ini menunjukan perjalanan alamiah suatu penyakit.
Tahap pertama munculnya suatu penyakit diawali dengan onset biologi sebagai contoh
yaitu terjadi mutasi sel menjadi sel kanker. Onset biologi ini tidak dapat diamati. Pada
akhirnya, penderita akan mengalami gejala yang berat dan kemudian mencari pengobatan.
Tahap akhir dari perjalanan alamiah penyakit ini adalah sembuh atau kematian.
Gambar dibawah ini menunjukkan tahap uji skrining dapat dilakukan sebelum pasien
menunjukkan gejala suatu penyakit.
Perlu diingat kembali bahwa uji skrining dilakukan pada orang tanpa gejala (normal)
dan uji skrining bertujuan untuk mengetahui lebih awal orang tersebut menderita suatu
penyakit. Dikatakan bahwa uji skrining bukan sebagai pencegahan primer namun sebagai
deteksi dini dari suatu penyakit, tidak mencegah terjadinya penyakit namun mencegah
perburukan suatu penyakit. Uji skrining dikatakan berhasil jika mampu mendeteksi
penyakit pada fase pre-symptom.
Ketika akan melakukan program uji skrining pada penyakit tertentu, maka harus
dipertimbangkan titik kritis ( critical point) suatu penyakit. Setiap penyakit memiliki titik
kritis (critical point). Jika dilakukan pengobatan sebelum penyakit mencapai titik kritisnya,
maka didapatkan pasien akan sembuh atau pasien dapat hidup lebih lama atau lebih baik.
Namun jika dilakukan pengobatan setelah titik kritis, pengobatan mungkin tidak
bermanfaat.
Misalnya bagaimana jika kita taruh titik kritis (garis merah) pada penyakit tertentu
disini, sesuai dengan gambar dibawah ini
Jika kita melakukan skrining pada tahap critical point maka akan memerlukan biaya
yang besar dan deteksi tidak akan membantu banyak karena penderita telah mengalami
gejala dari suatu penyakit yang dideritanya. Selain itu jika dilakukan skrining ditahap ini
akan membuat waktu dan sumber daya terbuang begitu saja.
Bagaimana jika critical point berada pada titik ini (garis merah)
Skrining pada tahap ini akan menyebabkan gangguan emosional pada seseorang
karena orang akan tahu bahwa mereka memiliki penyakit yang tidak dapat diobati dalam
jangka waktu yang lama. Skrining pada tahap ini terutama pada kasus penyakit yang
sangat menular bukan lebih pada mengobati penderita tetapi lebih bertujuan untuk
mengambil tindakan pencegahan sehingga tidak menyebarkannya ke orang lain, sebagai
contoh pada kasus HIV.
Gambar berikut menunjukkan tahap yang tepat untuk dilakukan uji skrining.
Pada tahap ini, uji skrining dapat mendeteksi secara dini suatu penyakit. Pemberian
pengobatan pada penderita yang sudah menunjukkan gejala suatu penyakit mungkin tidak
akan bermafaat, namun jika kita dapat mendeteksi secara dini suatu penyakit maka masih
ada waktu untuk membantu dan memberikan pengobatan yang tepat. Jadi uji skrining
sangat dipertimbangkan untuk dilakukan jika critical point terletak antara deteksi dini dan
pencarian pengobatan.
Dalam menggunakan suatu uji/tes untuk membedakan orang normal dengan yang
tidak normal, penting untuk dipahami bagaimana karakteristik tersebar pada populasi
manusia. Distribusi karakteristik populasi manusia digambarkan melalui dua kurva yaitu
kurva bimodal dan kurva unimodal. Kedua kurva merupakan kurva yang saling berkaitan
dimana bertujuan untuk memisahkan individu yang sakit dengan individu yang berisiko
sakit pada populasi manusia yang sehat.
Pada gambar dibawah ini menggambarkan tentang distribusi suatu kasus
terkonfirmasi infeksi virus Hepatitis C di Massachussetts pada tahun 2009. Pada gambar
dibawah dapat kita lihat ada dua puncak kasus infeksi virus hepatitis C yaitu pada dewasa
muda dan usia paruh baya. Tipe distribusi ini disebut dengan kurva bimodal.
Tes Skrining adalah cara untuk mengidentifikasi penyakit yang belum tampak
melalui suatu tes / pemeriksaan / prosedur lain yang dapat dengan cepat memisahkan
antara orang yang mungkin menderita penyakit, dengan orang yang mungkin tidak
menderita penyakit. Untuk yang menderita sakit, dilakukan pengobatan agar tidak
membahayakan bagi dirinya dan lingkungan. Sedangkan untuk yang tidak menderita
dilakukan pemeriksaan intensif untuk menentukan apakah yang bersangkutan memang
benar-benar sakit atau tidak.
Pada saat melakukan perencanaan untuk melakukan tes skrining, tentu harus memiliki
sasaran / target agar dapat tercapai hasil yang sesuai, sasaran pada tes skrining ini meliputi :
B. Penyakit non-kronis :
1. Hipertensi
2. Diabetes Melitus
3. Penyakit Jantung
4. Kanker serviks
5. Prostat dan Glaukoma
C. HIV / AIDS
Pada pelaksanaan tes skrining yang telah atau akan dilaksanakan tentu memiliki tujuan,
namun secara umum tujuan dari screening test ini adalah untuk mendeteksi sejak dini awal
terhadap penyakit yang tanpa gejala atau dengan gejala tidak khas terhadap orang-orang yang
tampak sehat namun mungkin menderita penyakit, yaitu orang - orang yang mempunyai
risiko tinggi terkena penyakit. Melihat dari rutinitas, kebiasaan, hingga pola hidup pada
kelompok masyarakat, screening test ini juga bertujuan untuk dapat menhindari orang - orang
/ kelompok masyarakat dari sumber penularan tinggi hingga epidemi suatu penyakit.
1. Sifat Penyakit
● Serius
● Prevalensi tinggi pada tahap praklinik
● Periode yang panjang diantara tanda - tanda pertama timbulnya penyakit.
2. Uji Diagnostik
3. Pengobatan
1. Validitas
Kemampuan tes atau skrining untuk menentukan individu yang mana yang benar
sakit dan tidak sakit dengan menggunakan indikator, sensitivitas dan spesifisitas.
2. Reliabilitas
Bila tes yang dilakukan berulang - ulang menunjukkan hasil yang sama dan
konsisten.
Jumlah penyakit yang terdiagnosa & terobati sebagai hasil dari uji tapis yang
Untuk dapat memvalidasi hasil tes skrining pada uji tapis, digunakan 2 indikator yaitu
sensitivitas dan spesifisitas. Pada indikator sensitivitas atau kepekaan adalah menghitung
proporsi orang - orang yang benar sakit yang ada didalam suatu populasi yang disaring dan
yang diidentifikasi dengan menggunakan uji penyaringan penderita yang sakit. Sementara
indikator spesifisitas atau kecermatan adalah menghitung proporsi dari orang - orang yang
benar sehat, yang mana diidentifikasi dengan uji penyaringan sebagai individu sehat.
Sensitivitas / kepekaan
Adalah kemampuan dari suatu tes skrining untuk mengidentifikasi secara benar orang -
orang yang BERISIKO (Mempunyai risiko suatu penyakit). Sensitivitas atau kepekaan ini
juga merupakan sebuah kemampuan tes skrining untuk menemukan orang - orang yang
menderita penyakit yang sedang dicari. Adapun rumus atau formula yang digunakan untuk
dapat menghitung sensitivitas yaitu “ Jumlah subjek yang didiagnosis penyakit tertentu
secara tepat
(True Positive) “dibagi” Jumlah seluruh subjek dengan penyakit tersebut
(Population at risk).
Dalam menginterpretasi hasil perhitungan sensitivitas memiliki ciri yaitu apabila nilai
hasil perhitungan menunjukkan nilai yang besar, maka itu berarti makin baik dan sebaliknya,
apabila nilai hasil perhitungan menunjukkan nilai yang kecil persentasenya, maka itu
menunjukkan keadaan yang berbahaya karena semakin banyak orang yang sebenarnya sakit
tapi tidak merasa sakit, sehingga tidak mendapatkan pengobatan. Jika tidak segera
mendapatkan penanganan atau pengobatan maka dapat menularkannya kepada orang lainnya.
Spesifisitas / kecermatan
Merupakan suatu kemampuan dari tes screening untuk mengidentifikasi orang - orang
yang sehat (tidak beresiko), spesifisitas juga merupakan kemampuan untuk menemukan
orang - orang yang tidak menderita penyakit. Adapun rumus atau formula yang digunakan
untuk menghitung spesifisitas adalah jumlah subjek yang didiagnosis tidak berpenyakit
secara tepat (true negative) “ dibagi ” jumlah seluruh subjek yang tidak menderita penyakit.
Sensitivitas dan spesifisitas dipengaruhi oleh cut off point untuk menentukan kriteria
positifitas, yakni nilai berapa seseorang dikatakan sakit atau berpenyakit. Sebaliknya nilai
ramal positif, sangat tergantung pada prevalensi penyakit yang ada dalam populasi yang
sedang dites. Makin tinggi prevalensi penyakit dalam populasi, makin tinggi pula PPV.
Dengan demikian cara utama untuk menaikkan hasil dalam sebuah skrining adalah dengan
menargetkan tes pada kelompok orang yang berisiko tinggi menderita penyakit.
Positive Predictive Value ( PPV )
Atau nilai ramal positif (NRP), adalah proporsi pasien yang tesnya positif dan betul
menderita sakit. Dengan kata lain “ Jika tes seseorang positif, berapa probabilitas dia betul -
betul menderita penyakit ? ”
Atau nilai ramal negatif ( NRN ), adalah proporsi pasien yang tesnya negatif
dan betul - betul tidak menderita sakit. Bisa juga dikatakan “ Jika tes seseorang
negatif, berapa probabilitas dia betul - betul menderita penyakit ? ”
Probabilitas dia menderita penyakit (PPV) tergantung pada prevalensi penyakit pada
populasi di mana tes dilakukan, tetapi juga pada validitas tes (yakni sensitivitas dan
spesifisitas).
Secara umum spesifisitas mempunyai pengaruh lebih besar terhadap nilai prediktif.
Sepintas kelihatan dengan skrining kita bisa mengetahui berapa kemungkinan seseorang
menderita sakit, sehingga ini merupakan hal yang harus selalu dikerjakan. Meskipun
demikian tes skrining membawa konsekuensi biaya, sehingga harus ditimbang antara
manfaat dan mudaratnya, terutama pada subkelompok yang prevalensi penyakitnya rendah.
Ada dua hal yang harus diperhatikan yakni: false positive (positif palsu) dan false negative
(negatif palsu).
False positives, yakni mereka yang tesnya positif tetapi sebenarnya tidak berpenyakit.
False negatives, yakni mereka yang tesnya negatif padahal sebenarnya mereka
berpenyakit.
Konsekuensi dari false positive adalah pasien merasa takut yang berlebihan sampai
kepada cara diagnosis yang mahal dan invasif atau bahkan pengobatan yang tidak perlu
(over treatment). Sebaliknya bila test nya adalah false negative, pasien akan merasa aman-
aman saja, padahal ia sebenarnya mempunyai penyakit. Akibatnya diagnosis menjadi
terlambat dan pengobatan yang seharusnya dilakukan menjadi tidak dilakukan sehingga
morbiditas dan mortalitaspun dan akhirnya biaya yang dibutuhkan juga meningkat.
Data kategorik adalah data yang menjelaskan karakteristik dari data tersebut. Data
kategorik juga dapat menggunakan nilai numerik. Data kategorik dibagi menjadi 2
jenis, yaitu : Data Nominal dan Data Ordinal.
Data Nominal
Merupakan data diskrit yang digunakan untuk memberi label pada suatu variabel dan
tidak memiliki nilai kuantitatif. Data nominal tidak memiliki tingkatan.
Contoh :
Angka 1 untuk penanda wanita Angka 0
untuk penanda pria
*) Angka 1 dan 0 hanya melambangkan jenis kelamin saja
Data Ordinal
Merupakan data diskrit yang mengandung tingkatan. Data ordinal hampir sama dengan data
nominal, namun label yang ada pada data ordinal mengandung tingkatan
Contoh :
Angka 1 untuk label lulusan SD, Angka
2 untuk label lulusan SMP, Angka 3
untuk label lulusan SMA, dan seterusnya.
Data ordinal biasanya digunakan untuk mengukur data non-numerik seperti :
kebahagiaan, kepuasan pelanggan, dsb.
5.5. VARIABEL DATA KONTINU
Data kontinu adalah data yang dapat mengambil nilai numerik apapun, biasanya
dalam batas tertentu, dan dapat dibagi menjadi nilai yang lebih presisi. Kemudian,
data kontinu sendiri menggambarkan satu set pengamatan yang tidak terputus dan
dapat diukur dengan skala.
Lain halnya dengan data diskrit, data kontinu tidak hanya berupa bilangan bulat
saja, melainkan dapat dipecah menjadi angka pecahan dan desimal. Oleh sebab itu,
data kontinu dapat dibagi menjadi nilai yang lebih presisi, karena dapat disesuaikan
dengan pengukuran hingga mendapatkan nilai yang lebih terperinci.
Data kontinu memiliki jumlah nilai kemungkinan yang tak terbatas yang dapat
dipilih dan ditentukan dalam rentang tertentu. Secara statistik, rentang pada data
kontinu mengacu pada perbedaan antara pengamatan tertinggi dan terendah.
Contohnya adalah data terkait usia, tinggi dan berat badan seseorang, waktu yang
dibutuhkan untuk mengerjakan sesuatu, suhu, uang, dan lain sebagainya.
Dalam menyatakan waktu, jumlah yang dihasilkan akan beragam, tidak selalu
dalam bilangan bulat seperti halnya dalam data diskrit. Misalnya, ketika Anda ingin
menghitung jumlah waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan kantor,
Anda dapat menyatakan bahwa waktu yang dibutuhkan adalah 3,5 jam. Dari data
tersebut, orang lain akan memiliki pemahaman yang sama bahwa 3,5 jam adalah 3
jam 30 menit. Nilai desimal dalam data tersebut dapat dijelaskan secara logis dan
dianggap sebagai data yang valid.
Berbeda dengan variabel diskrit yang mana data hanya berfungsi sebagai
label, maka variabel kontinyu merupakan data yang dapat digunakan untuk
operasi hitung. Data kontinyu adalah data yang diperoleh dari hasil penghitungan
atau pengukuran, sehingga data tidak hanya berupa bilangan bulat, tetapi juga bisa
dalam bentuk desimal, misalnya 2,5. Data kontinyu juga bisa dalam bentuk
bilangan bulat, namun kelompok data tersebut memungkinkan variasinya ke
dalam bentuk pecahan. Contoh dari data untuk variabel ini adalah jumlah benar
atau salah dalam suatu tes, skor nilai, ranking, tinggi badan, berat badan, panjang,
jarak, dll. Data tersebut dapat berubah-ubah atau bervariasi.
DISKRIT KONTINYU
Penentuan validitas pada variable data kontinyu dapat diilustrasikan seperti Gambar 1.
Dimana pada Gambar 1A tampak populasi sampel sejumlah 40 terbagi menjadi sama rata
dipisahkan garis vertical menjadi 20 sampel populasi sampel penderita diabetes (bola biru)
dan 20 sampel penderita non diabetes (bola merah). Seandainya ditetapkan cut off (berupa
garis horizontal) setinggi pada gambar 1B maka sensitivitas tes menggunakan cut off level
tersebut adalah 25% (5/20), sedangkan spesifisitas tes sebesar 90% (18/20). Hasil demikian
menyimpulkan bahwa banyak pasien diabetes yang tidak terdeteksi diabetes (false negative)
dan pasien non diabetes terklasifikasi dengan negative secara baik karena angka spesifisitas
yang tinggi.
Berbeda cerita jika cut off ditentukan dengan nilai yang rendah seperti pada Gambar
1C, angka sensitifitas akan meningkat menjadi 85 % (17/20) dan angka false negative
menjadi turun. Namun menyebabkan spesifisitas turun menjadi 30% (6/20).
Pada kenyataannya, ketika kita berhadapan dengan sebuah populasi secara langsung,
tidak ada garis vertikal yang membedakan kelompok populasi diabetes dan non diabetes
seperti diilustrasikan pada gambar 1D dan bahkan kita tidak mengetahui kondisi sampel kita
dengan kata lain bola biru dan merah yang menandakan sampel tersebut diabetes ataupun non
diabetes pun tidak ada (gambar 1E). sehingga hal ini akan berimplikasi pada ilustrasi di
gambar 1F, dimana ketika kita menentukan cut off yang tinggi maka seluruh sampel dibawah
cut off tidak akan dilanjutkan untuk pemeriksaan diagnostik lanjutan karena dianggap hasil
negative, begitu sebaliknya pada gambar 1G
Gambar 2. Ilustrasi Variasi Sensitifitas dan Spesifisitas dalam Penentuan Cut Off pada
Variable Kontinu
Hal yang sama juga diilustrasikan di Gambar 2, dimana pada Gambar 2A chart terbagi
menjadi 2 dimana distribusi sampel di sisi atas merupakan sampel yang tidak menderita
diabetes dan di sisi bawah merupakan sampel yang menderita diabetes dengan masing-
masing kadar gula darah. Pada Gambar 2B, ketika cut off ditentukan pada kadar gula darah
80 mg/dl maka menghasilkan nilai sensitifitas yang tinggi 100% (28/28). Namun, ketika cut
off dinaikan akan berimplikasi pada penurunan nilai sensitifitas menjadi 64% (11/17) dan
peningkatan nilai spesifisitas menjadi 100% (212/212).
5.6. TES MULTIPLE
5.6.1 Sequential Testing
Pada skrining sekuensial (bertahap), pemeriksaan tahap awal akan dimulai dengan
pemeriksaan yang bersifat less invasive dan less expensive. Pada pemeriksaan ini tentunya
sampel yang melanjutkan untuk dilanjutkan pemeriksaan tahap lanjut adalah seluruh sampel
yang memiliki nilai positif (true & false positive).
Gambar 2. Ilustrasi Perhitungan Net Sensitivity & Net Spesifity pada Sequential Testing
Perhitungan net sensitivity pada sequential test, dihitung berdasarkan jumlah sampel true
positive dari tahap ke 2 dibagi dengan jumlah sampel true positive dan false negative dari
tahap ke 1.
Perhitungan net spesifisity pada sequential test¸dihitung berdasarkan jumlah sampel true
negative dari tahap ke 2 ditambah dengan jumlah sampel true negative dari tahap 1 dibagi
dengan jumlah sampel true negative dan false positive dari tahap ke 1.
5.6.2 Simultaneously Testing
Pada Ilustrasi di Gambar 3, perhitungan net sensitivity¸ ketika dilakukan screening secara
bersamaan / simultaneously test akan didapatkan 2 hasil yang menunjukan hasil positif
masing-masing baik dari tes A ataupun Tes B, dimana akan ada sampel yang memberikan
hasil pada kedua tes tersebut (ilustrasi gambar 3D). sehingga perhitungan net sensitivity pada
simultaneously test merupakan penjumlahan dari sampel data yang hanya positif di masing-
masing tes A dan B ditambah dengan sampel data yang positif pada kedua tes dibagi dengan
jumlah populasi yang memiliki penyakit.
Gambar 4. Ilustrasi Perhitungan Net Spesifity pada Simultaneously Testing
Pada Ilustrasi di Gambar 4, kita ditunjukan bahwa perhitungan net spesifisity pada
simultaneously test hanya menggunakan data yang menunjukan true negative pada kedua tes
sebagai pembilang, penyebut atau denominator didefinisikan sebagai jumlah populasi yang
tidak memiliki penyakit
6. DAFTAR PUSTAKA