Overall View from Internet Encyclopedia of Philosophy
Act Utilitarianism berfokus pada tindakan individual; sementara Rule Utilitarianism berfokus pada efek dari suatu tindakan, misalnya membunuh atau menculik, dlsb. Tujuan daripada moralitas adalah untuk membentuk kehidupan menjadi lebih baik dengan memaksimalkan kebaikan dan minimalisir keburukan sejauh mungkin. Justifikasinya di sini ialah sejauh mana tindakan tersebut membawa kontribusi positif pada human and non-human beings. Kita harus selalu memilih keputusan—termasuk tindakan, kebijakan, hukum, norma, dll—yang maximizes utility.1 I. Apa itu ‘baik’ dan ‘buruk’? Bagi Bentham, kebaikan adalah kebahagiaan itu sendiri —sejalan dengan Hedonisme. Bahwa kebaikan itu intrinsik di dalam kebahagiaan bukan karena ia menjuruskan kepada kebaikan, melainkan kebahagiaan itu sama dengan kebaikan. Namun, Bentham tak menegasikan bentuk kebaikan yang lain, seperti pertemanan, cinta, dll: kegiatan-kegiatan di samping dipahami sebagai instrumentally good, karena ia menjadi pendorong bagi terwujudnya kebahagiaan. Prinsip kebaikan intrinsik dan instrumental ini juga berlaku pada nilai kejahatan. Sesuatu itu disebut bernilai bilamana menghasilkan kesejahteraan atau well- being dan mengurangi kejahatan atau ill-being. II. Siapa itu well-being atau siapa yang disejahterakan di sini? Pembagian di bawah ini bervariasi, tergantung di situasi mana prinsip Utilitarianisme tersebut diterapkan a. Individual self-interest, atau kesenangan diri sendiri. Misalnya dalam kasus memilih makanan. Pilihlah makanan favoritmu dan hindari makanan yang tidak disukai, dengan begini self-interest-mu akan terpenuhi. b. Groups, khalayak atau komunitas, dsb—sejalan dengan diktum Bentham “the greatest happiness for the greatest number”. Misalnya, terdapat sepuluh orang dengan tujuh orang menginginkan nasi pecel lele; dan tiga orang sisanya memilih nasi pecel ayam. Sesuai dengan prinsip di atas, maka kamu harus memutuskan untuk membeli nasi pecel lele—dengan mengabaikan keinginan tiga orang yang lain. Pertimbangan di sini, adalah suara mayoritas. Dengan begitu, lebih banyak yang dibahagiakan di sini (baca: penyuka pecel lele). c. Everyone affected. Well-being yang paling tepat dimaksudkan, adalah semua pihak. Pendapat ketiga ini sifatnya impartial.2 Apabila hal ini benar, maka dua pendapat di atas dianggap sebagai deviasi, deviation3, daripada etika Utilitarianisme itu sendiri. III. Konsekuensi aktual atau yang diperkirakan? Menengok sedikit ke problem yang diajukan oleh J. J. Smart, tentang seseorang yang menyelamatkan bocah yang tenggelam. Ternyata, bocah yang diselamatkan adalah Adolf Hitler, yang kelak akan melakukan genosida dan kejahatan perang lainnya. Dari kasus ini, terdapat dua 1 The quality of being useful. 2 The fact of not supporting one person or group more than another. Atau dapat dimengerti dengan ‘tidak pandang bulu’. 3 The act of moving away from what most people consider normal or acceptable. Sederhananya, deviasi dapat dipahami sebagai penyimpangan. pendirian Utilitarianisme berdasarkan konsekuensinya, yakni actual consequences dan foreseeable consequences. Berikut tanggapan masing-masing pihak beserta penjelasannya. a. Actual consequences, akan menyalahkan tindakan sang penyelamat karena konsekuensi yang dihasilkan olehnya. Ditinjau dari konsekuensi aktualnya, bahwa Hitler telah melakukan pembunuhan yang kejam. Kendati demikian, prinsip ini membedakan antara tindakan dan pelakunya. Mengingat kasus Smart sebelumnya, tindakan sang penyelamat itu salah. Akan tetapi, kita tidak bisa menyalahkan sang penyelamat karena akibat (kejahatan Hitler) dari tindakannya yang sama sekali tidak ia ketahui. b. Foreseeable consequences, akan membenarkan tindakan sang penyelamat. Karena, jika menilai tindakan itu baik atau buruk berdasarkan konsekuensi faktual yang tidak ia ketahui, maka ia tidak bisa dijustifikasi. Karenanya, neraca baik-buruk suatu tindakan berdasarkan pada ekspektasi tertinggi, expected utility, akan kebaikan dari perbuatannya. Sehingga tindakan terbaik yang dapat dilakukan, pertimbangannya diasaskan kepada situasi sekarang. Pada dasarnya, actual C. dan foreseeable C. memiliki intensi yang berbeda. Actual C. ingin menetapkan kriteria mengenai tindakan yang benar dan salah berdasarkan konsekuensi aktualnya; sementara foreseeable C. mau mencetak prosedur bagaimana membentuk keputusan (decision-making procedure). Perbedaan antara Act Utilitarianism dan Rule Utilitarianism Act U. menyediakan suatu basis tindakan kita dalam kehidupan sehari-hari. Di mana penekanannya terletak pada memaksimalkan tindakan kita dalam melakukan kebaikan. Tentunya, dalam menghadapi kehidupan kita dihadapkan pada pelbagai pilihan perbuatan. Pertimbangan selanjutnya dalam mengambil keputusan, ialah sejauh mana aksi kita menghasilkan kesejahteraan. Kontras dengan Act U., Rule U. menjustifikasi suatu tindakan berdasarkan kesesuaiannya dengan hukum moral. Kebenaran hukum moral didapatkan daripada tujuannya yang untuk menciptakan kesejahteraan. Baca lebih lanjut di https://iep.utm.edu/util-a-r/#SH1c.
Sidgwick’s The Methods of Ethics
Di dalam bukunya, The Methods of Ethics (1874), Sidgwick memerikan basis dari tiga metode etika, 1) hedonisme egoistik, 2) intuisionisme, dan 3) hedonisme universal. Sidgwick ingin menunjukkan manakah prinsip etis yang kompatibel dan tidak, kemudian menjelaskan bagaimana prinsip-prinsip tersebut bekerja dan menjadi basis bagi kewajiban moral [secara berbeda-beda], di mana tujuannya adalah untuk mencapai ultimate good. Pengertian prinsip 1) Kesenangan pribadi itulah ultimate good 2) Nilai moral atau kesempurnaan itulah ultimate good 3) Kebahagiaan secara general itulah ultimate good Metode etika adalah prosedur rasional bagi kita untuk menentukan apa yang seharusnya kita perbuat (atau apa yang benar untuk dilakukan) secara sukarela pada situasi tertentu. Justifikasi atau penentuan bagi ‘apa yang seharusnya dilakukan’ itu didasarkan pada ‘apa yang sedang terjadi’. Egoisme psikologis dan etis itu berbeda. Egoisme psikologis berpusat pada motivasi daripada pelaku, yakni bagaimana caranya mendapatkan kebahagiaan dan menjauhi penderitaan. Sementara egoisme etis memiliki konsep yang berfokus pada akibat dari tindakan pelaku, artinya sejauh mana perbuatan yang dilakukan menghasilkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. Intuisionisme etis menegaskan bahwa perilaku yang benar ditentukan oleh aturan maupun prinsip yang dapat diketahui (atau dibenarkan) secara intuitif. Sidgwick sendiri membagi intuisionisme etis ini ke dalam tiga tahap: 1) persepsional, bahwa kebenaran atau kebaikan suatu tindakan dapat diafirmasi secara intuitif; 2) dogmatik, mengafirmasi suatu tindakan itu benar secara etis tanpa memahaminya secara intuitif; dan 3) filosofis, bahwa kebenaran-kebenaran etis itu dibenarkan oleh intuisi dan sifatnya swabukti, self-evident. Justifikasi kebenaran intuisionisme terletak pada apakah tindakan tersebut bernilai baik atau buruk secara intuitif, terlepas dari akibat yang ditimbulkan. Sidgwick mendefinisikan nilai, virtue, sebagai kualitas terpuji yang mengejawantah dalam perbuatan dan melampaui kewajiban moral. Misalnya, kebijaksanaan praktis dan kontrol diri merupakan nilai intelektual, sementara dermawan dan sikap memanusiakan adalah nilai moral. Bagi Sidgwick hedonisme universal, adalah bahwa semua individu mempunyai hak yang sama untuk bahagia, dan tidak ada satu kebahagiaan yang lebih penting daripada individu yang lainnya. Kebenaran atau kesalahan suatu tindakan tergantung dari apakah aksi tersebut mempromosikan kebahagiaan universal atau tidak. Baca selengkapnya di https://www.angelfire.com/md2/timewarp/sidgwick.html.
ILMU PERUBAHAN DALAM 4 LANGKAH: Strategi dan teknik operasional untuk memahami bagaimana menghasilkan perubahan signifikan dalam hidup Anda dan mempertahankannya dari waktu ke waktu
Pengambilan keputusan dalam 4 langkah: Strategi dan langkah operasional untuk pengambilan keputusan dan pilihan yang efektif dalam konteks yang tidak pasti
Manajemen konflik dalam 4 langkah: Metode, strategi, teknik-teknik penting, dan pendekatan operasional untuk mengelola dan menyelesaikan situasi konflik