Anda di halaman 1dari 5

PENERAPAN MODEL Pjbl-STEM BERBASIS KEARIFAN LOKAL SIDOARJO

MATERI PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS


SISWA IPA SMP

PROPOSAL SKRIPSI

OLEH

HANA AGUSTIN
NIM 188420100016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
2021
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Sistem pembelajaran pada era abad 21 merupakan proses pembelajaran kurikulum


dengan menuntut perubahan dalam pendekatan pembelajaran yaitu awalnya yang berpusat
pada pendidik (teacher centered learning) menjadi pendekatan yang berpusat pada siswa
(student centered learning). Hal ini sesuai tuntutan masa depan, siswa harus memiliki
kecakapan berpikir dan belajar. Penerapan pembelajaran abad 21 diharapkan mampu
menghasilkan lulusan dari generasi produktif yang berkualitas dan memiliki skill hebat guna
menghadapi revolusi industri 4.0. Revolusi Industri 4.0 ditandai dengan kemunculan robot-
robot pintar yang diprogram secara artificial intelligence (AI) harus disikapi dengan dunia
pendidikan untuk melakukan perubahan mendasar dimulai dari kurikulum sampai dengan
proses pembelajarannya agar siswa mampu bersaing di era global saat ini.

Dalam kenyataanya proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru di Indonesia


belum mengarahkan siswanya untuk mampu berpikir tingkat tinggi dimana merupakan
tuntutan kerja pada era abad 21 sebagaimana tercermin dari hasil PISA tahun 2015 dimana
Indonesia berada pada urutan 63 dari 72 negara yang disurvey. Hal ini menjadi tantangan
bagi guru IPA untuk melakukan proses pembelajaran yang dapat merangsang siswa dalam
mengembangkan kemampuan siswa dibidang sains dan matematika lebih baik lagi. Hal ini
diperkuat oleh Bybee (2013) dalam yang menyatakan bahwa STEM dapat membuat siswa
belajar mengaplikasikan dan mempraktikan setiap disiplin ilmu STEM ke dalam segala
situasi yang siswa hadapi dalam hidupnya sehingga siswa sudah terlatih dalam hal
kecakapan, kolaborasi, berpikir kritis dan kreatif sebagaimana tuntutan pembelajaran pada era
abad 21. Iim Halimatul Mu’minah dan Ipin Aripin, 2019

Menurut Etistika Yuni Wijaya, 2016 Kemdikbud menjelaskan bahwa paradigma


pembelajaran abad 21 mengutamakan pada kemampuan siswa dalam mengevaluasi dari
berbagai sumber, merumuskan permasalahan, berpikir analisis dan kerjasama serta
berkolaborasi dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Maka untuk dapat meningkatkan
kemampuan menyelesaikan suatu permasalahan salah satu cara untuk mewujudkan hal
tersebut yaitu dengan penerapan pembelajaran Science, Technology, Engineering and
Mathematics (STEM).
Secara umum, penerapan STEM dalam proses pembelajaran dapat mendorong siswa
untuk mendesain, mengembangkan dan memanfaatkan teknologi, mengasah kognitif,
manipulatif dan afektif, serta mengaplikasikan pengetahuan. Pembelajaran berbasis
STEM dapat melatih siswa dalam menerapkan pengetahuannya untuk membuat desain
sebagai bentuk pemecahan masalah terkait lingkungan dengan memanfaatkan
teknologi. (Anna Permanasari, 2016)

STEM telah diterapkan di sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang,
Finlandia, Australia dan Singapura. STEM merupakan inisiatif dari National Science
Foundation. Tujuan dari penerapan STEM di Amerika Serikat ialah untuk menjadikan
keempat bidang ini (science, technology, engineering, and mathematics) menjadi pilihan
karir utama bagi peserta didik[40,41] Keadaan ini terjadi karena negara tersebut
mengalami krisis ilmuan di bidang STEM. Bentuk keseriusan pemerintah Amerika
Serikat untuk mengatasi masalah tersebut antara lain dengan mendirikan STEM
Education dan memberikan bantuan biaya pendidikan pada calon mahasiswa yang
memilih salah satu bidang STEM[42] . Namun beberapa tahun belakangan, STEM
diterapkan pada berbagai bidang studi atau jurusan di berbagai jenjang pendidikan.
STEM telah banyak diterapkan dalam pembelajaran. Keadaan ini ditunjukkan dari
hasil penelitian yang mengungkap bahwa penerapan STEM dapat meningkatkan
prestasi akademik dan non-akademik peserta didik[43-49] Oleh sebab itu, penerapan
STEM yang awalnya hanya bertujuan untuk meningkatkan minat peserta didik
terhadap bidang STEM menjadi lebih luas. Keadaan ini muncul karena setelah
diterapkan dalam pembelajaran, ternyata STEM mampu meningkatkan penguasaan
pengetahuan, mengaplikasikan pengetahuan untuk memecahkan masalah, serta
mendorong peserta didik untuk mencipta sesuatu yang baru.

Menurut Marrison, (2006), salah satu tujuan pendidikan STEM agar siswa terbentuk
menjadi problem solver, penemu, inovasi, independen, berpikir logis, dan literasi
teknologi serta mampu menghubungkan antara sejarah budaya, pendidikan dan
pengetahuannya yang diterapkan dalam kehidupan nyata. Berdasarkan hal tersebut
maka implementasi pembelajaran berbasis STEM terintegrasi kearifan lokal/budaya
masyarakat perlu digalakkan di lingkungan dimana peserta didik tinggal. Ibrahim,
(2014) mengatakan bahwa integrasi kearifan lokal dalam aktifitas pendidikan dan
pembelajaran sangat potensial untuk dimunculkan sebagai suatu inovasi atau
kebaharuan Anatasija Limba1 Clara Levenia Jamarua2, 2021 Oleh karena itu,
penerapan STEM berbasis kearifan lokal cocok digunakan pada pembelajaran IPA

Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa pentingnya pembelajaran berbasis STEM


bagi siswa. Namun, terdapat kesenjangan antara teori dengan fakta yang ada di
sekolah. Berdasarkan hasil angket pra-penelitian sebelumnya, yang dilakukan oleh
Nurun Nisa’ul Istiqomah, Madewi Mulyanratna dan Dyah Astriani dari 30 siswa kelas
VII SMP Negeri 1 Sidoarjo pada tanggal 20 November 2014 sebanyak 62,07%
responden menyatakan bahwa IPA merupakan pelajaran sulit. Hal ini dikarenakan
materi IPA banyak menghafal dan membutuhkan pemahaman yang lebih. Sebanyak
51,72% responden mengalami kesulitan dalam merumuskan masalah atau
berargumentasi membuat pertanyaan sehingga guru harus memberikan bimbingan
dalam pembelajaran. Sikap tersebut dipengaruhi oleh kurangnya percaya diri dan
rendahnya abstraksi pada siswa. Hal ini diperkuat dengan data nilai sikap percaya diri
siswa yang dimiliki oleh guru pada materi yang telah diajarkan yaitu hanya 59% siswa
yang aktif. Siswa juga mengalami kesulitan dalam menganalisis hasil pengamatan atau
eksperimen. Hal ini juga diperkuat dengan hasil angket yaitu 58,62% responden yang
mampu menganalisis dalam kegiatan pengamatan atau eksperimen. Sebanyak 55,17%
responden yang mampu mengkomunikasikan hasil diskusi kelompok. Hal ini
berpengaruh pada keterampilan proses sains siswa, sehingga perlu ditingkatkan untuk
dapat mewujudkan siswa yang aktif.

Keterampilan proses sains merupakan keterampilan berpikir ilmuan yang berguna


untuk memecahkan masalah dan merumuskan hasil (Ozgelen, 2012, p.284 dalam .
Pembelajaran berbasis proyek (Pjbl) dapat membiasakan siswa untuk melakukan
metode ilmiah yang secara langsung memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan keterampilan proses sainsnya (Hayati, Kasmadi & Siti, 2013 dalam ).
Selain itu, menurut Siwa, Muderawan & Tika (2013) dalam , dalam pembelajaran
berbasis proyek (Pjbl) seseorang akan belajar jauh lebih baik sebab terlibat secara
aktif dalam proses belajar, yakni berpikir tentang apa yang dipelajari dan kemudian
menerapkan apa yang telah dipelajari dalam situasi nyata.

Project Based Learning secara umum memiliki pedoman langkah: 1) start with the
essential question, 2) design a plan for the project, 3) create a schedule, 4) monitor the
sudents and the progress of the project, 5) asses the outcome, dan 6) evaluate the
experience (Harun, 2006 dalam ). Keenam langkah tersebut secara umum dilaksanakan
oleh siswa dengan bantuan guru sebagai fasilitator. Project Based Learning dapat
membuat siswa mengalami proses pembelajaran yang bermakna, siswa membangun
pengetahuannya di dalam konteks pengalamannya sendiri, dan dengan pengalaman
belajar secara langsung, dapat mendukung untuk mengembangkan keterampilan
(Thomas dalam Wena, 2009 dalam ). Melalui pengalaman langsung seseorang dapat
lebih menghayati proses atau kegiatan yang sedang dilakukan (Rustaman, 2005
dalam ).

Penelitian tentang PjBL telah dilakukan oleh Siwa, dkk. (2013) dalam mengungkapkan
bahwa pada pembelajaran berbasis proyek, terdapat keterampilan proses sains yang
teramati ketika suatu produk ilmiah dibuat. Dari kegiatan proyek tersebut,
keterampilan proses sains dapat meningkat dengan siswa terlibat langsung dalam
menemukan fakta-fakta, konsep-konsep dan teori-teori dengan keterampilan proses
dan sikap illmiah sendiri (Soetardjo dan Soejitno, 1998). Berdasarkan uraian yang telah
dijelaskan sebelumnya, model pembelajaran PjBL memiliki potensi untuk membantu
siswa dalam proses pembelajaran serta mengembangkan kemampuan siswa dalam
berbagai aspek termasuk keterampilan proses sains Nuril Maghfiroh, Herawati Susilo,
Abdul Gofur,2016

Pemaparan latar belakang tersebut, penulis akan melakukan penelitian dengan judul
“Efektifitas Model Project Based Learning Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir
Kreatif IPA SMP”. Kegiatan belajar mengajar yang mempertimbangkan keterampilan
berpikir kreatif mampu melahirkan hal baru, terlebih mengingat bahwa mata
pelajaran IPA ialah mata pelajaran yang berhubungan dengan alam sehingga
penemuan baru pasti didapatkan. Keterampilan berpikir kreatif peserta didik
harusnya menjadi salah satu point penting dalam pembelajaran. Keterampilan berpikir
kreatif peserta didik yang rendah justru akan mengganggu cara berpikir peserta didik
tersebut. Kemampuan yang rendah dari peserta didik hanya akan menimbulkan
kegiatan mengingat dan mengulang materi. Oleh karena itu, penelitian ini penting
dilakukan, untuk mengukur keterampilan berpikir kreatif dari peserta didik.

Anda mungkin juga menyukai