Disusun oleh :
16030184069
Paradigma belajar yang diinginkan pada abad 21 adalah belajar yang dapat
memberdayakan keterampilan berpikir kritis. Thompson dan Melancon (Dalam McMurray, et
al, 1999) menyampaikan bahwa berpikir kritis merupakan kegiatan yang sangat penting untuk
dikembangkan di sekolah, guru diharapkan mampu merealisasikan pembelajaran yang
mengaktifkan dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa. Bahkan Schaferman
(1999) menyatakan bahwa perencanaan pembelajaran IPA oleh guru untuk pengembangan
keterampilan berpikir kritis adalah keharusan. Hal ini didukung oleh Friedrichen (2001) yang
menyatakan bahwa keterampilan berpikir kritis seharusnya dikembangkan sejak dini. Indonesia
merupakan salah satu partisipan Programme for International Student Assesment (PISA) di luar
negara industri maju yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD). PISA (Programme for International Student Assesment) merupakan
salah satu program kerjasama yang dibentuk oleh OECD (Organisation for Economic
Cooperation and Development) pada tahun 1997.
Berdasarkan 2 kali hasil survey tersebut skor siswa Indonesia pada kemampuan literasi
sains masih jauh dibawah skor standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga OECD.
Rendahnya hasil belajar sains berhubungan dengan proses pembelajaran sains yang belum
memberikan peluang bagi peserta didik untuk mengembangkan kemampuan bernalar secara
kritis. Berikut merupakan hasil penelitian yang menunjukan bahwa masih lemahnya
kemampuan guru dalam mengimplementasikan proses dan kegiatan pembelajaran yang sesuai
dengan hakikat sains. Pembelajaran sains masih bercirikan transfer sains sebagai produk (fakta,
hukum, dan teori) yang harus dihafalkan sehingga aspek sains sebagai proses dan sikap benar-
benar terabaikan (Istyadji, 2007: 2). Pembelajaran tidak dikaitkan dengan konteks kehidupan
nyata, pembelajaran jarang dimulai dari masalah- masalah aktual, pembelajaran sains di sekolah
dasar cenderung bertolak dari materi pelajaran bukan dari tujuan pokok pembelajaran sains dan
kebutuhan peserta didik, dan tindak pembelajaran sains cenderung hanya mengantisipasi
ujian(Suroso, 2012).
Rendahnya kemampuan literasi sains peserta didik Indonesia dipengaruhi oleh banyak
hal, antara lain kurikulum dan sistem pendidikan, pemilihan metode dan model pengajaran oleh
guru, sarana dan fasilitas belajar, sumber belajar, bahan ajar, dan lain sebagainya. Salah satu
faktor yang secara langsung bersinggungan dengan kegiatan pembelajaran peserta didik dan
mempengaruhi rendahnya kemampuan literasi peserta didik Indonesia adalah pemilihan metode
dan model pengajaran oleh guru(Fathurohman, dkk (2014).
Guna mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan salah satu model seperti inkuiri
terbimbing, pada saat proses pembelajaran berlanggsung masih banyaknya peserta didik belum
berperan aktif dalam proses pembelajaran dan belum memahami materi dengan baik.
Peningkatan literasi sains dan kompetensi peserta didik dapat dilakukan jika menggunakan
metode pembelajaran dan model pendekatan ilmiah yang tepat. Model inkuiri terbimbing
merupakan model pembelajaran yang tepat. Tujuan utama dari pembelajaran inkuiri terbimbing
adalah untuk mendorong siswa untuk dapat mengembangkan disiplin intelektual dan
keterampilan berfikir menurut Retno (2010).
Pada sintaks model pembelajaran inkuiri terbimbing, guru membimbing peserta didik
mengidentifikasi masalah, sehingga peserta didik dapat menjelaskan fenomena ilmiah dan
mengidentifikasi pertanyaan ilmiah, guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
membuat hipotesisnya sendiri, guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
menentukan langkah-langkah yang sesuai dengan hipotesis yang akan dilakukan sehingga
siswa dapat menggunakan bukti ilmiah, guru membimbing peserta didik untuk mendapatkan
informasi melalui percobaan sehingga peserta didik dapat memahami fenomena ilmiah, dan
guru membimbing peserta didik dalam membuat kesimpulan sehingga siswa dapat
memecahkan masalah. Kelebihan model pembelajaran inkuiri terbimbing yaitu peserta didik
yang berpikir lambat atau peserta didik yang mempunyai intelegensi rendah tetap mampu
mengikuti kegiatan-kegiatan yang sedang dilaksanakan dan siswa yang mempunyai intelegensi
yang tinggi tidak memonopoli kegiatan, selain itu daya serap dari penemuan akan mudah
diingat oleh peserta didik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, diperoleh
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana keterlaksanaan model pembelajaran inkuiri pada materi usaha dan
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini antara lain :
1. Mendeskripsikan keterlaksanaan pembelajaran dengan model inkuiri terbimbing
untuk melatihkan literasi sains siswa materi usaha dan energi.
2. Mendeskripsikan peningkatan pencapaian kemampuan literasi sains siswa setelah
diterapkan model pembelajaran inkuiri materi usaha dan energi.
3. Mendeskripsikan respon peserta didik setelah diterapkan model pembelajaran
inkuiri terbimbing untuk meningkatkan kemampuan literasi sains pada materi usaha
dan energi
D. Manfaat penelitian
Dari penilaian yang akan dilakukan, manfaat yang diharapkan yaitu dapat
memberikan salah satu contoh model pembelajaran yang dapat meningkatkan
kemampuan literasi sains peserta didik pada materi usaha dan energi. Selain itu
diharapkan dapat mendorong peserta didik berperan aktif ketika di dalam kelas.
E. Definisi istilah
Untuk menghindari terjadinya perbedaan persepsi mengenai istilah dalam
penelitian ini perlu diberikan penjelasan terhadap beberapa istilah berikut :
1. Pembelajaran inkuiri terbimbing
Model inkuiri terbimbing merupakan suatu kegiatan belajar yang melibatkan
seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki suatu permasalahan
secara sistematis, logis, dan analitis. Sehingga dengan bimbingan guru, mereka
dapat merumuskan sendiri penemuan dengan percaya diri menurut Gulo (2008).
2. Literasi sains
Literasi sains merupakan kemampuan untuk memahami sains,
mengkomunikasikan sains, serta menerapkan kemampuan sains untuk memecahkan
masalah sehingga memiliki sikap dan kepekaan yang tinggi terhadap diri dan
lingkungannya dalam pengambilan keputuasan berdasarkan pertimbangan –
pertimbangan sains menurut Toharudin, dkk (2011).
F. Asumsi penelitian
Asumsi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Hasil penilaian menggambarkan kemampuan dari peserta didik.
2. Beberapa faktor seperti perbedaan jenis kelamin, agama, sosial budaya,ekonomi,
dan ras tidak dibahas dan tidak memengaruhi secara signifikan dari hasil penelitian.
3. Peneliti melakukan pengamatan secara obyektif selama kegiatan pembelajaran.
G. Batasan Masalah
Untuk menghindari permasalahan yang meluas, maka peneliti membatasi
permasalahan yang diteliti yaitu :
1. Materi pelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah energi kinetik dan
energi potensial (gravitasi dan pegas).
2. Peningkatan literasi sains peserta didik diperoleh melalui hasil pre-test dan post-
test.
3. Penelitian menggunakan materi usaha dan energi pada kelas XI semester 1.
BAB II
DASAR TEORI
A. Literasi sains
Literasi sains (science literacy, LS) berasal dari gabungan dua kata Latin yaitu literatus
artinya ditandai dengan huruf, melek huruf, atau berpendidikan dan scientia, yang artinya
memiliki pengetahuan. Menurut C.E de Boer (1991), orang yang pertama menggunakan istilah
literasi sains adalah Paul de Hurt dari Stanford University.
Menurut Hurt, science literacy berarti tindakan memahami sains dan
mengaplikasikannya bagi kebutuhan masyarakat. Sementara itu,
Notional Science Teacher Assosiation (1971) mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki
literasi sains adalah orang yang menggunakan konsep sains, mempunyai keterampilan proses
sains untuk dapat menilai dalam membuat keputusan sehari-hari kalau ia berhubungan dengan
orang lain, lingkungannya, serta memahami interaksi antara sains, teknologi dan masyarakat,
termasuk perkembangan sosial dan ekonomi.
Literasi sains didefinisikan pula sebagai kapasitas untuk menggunkan pengetahuan
ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan dan menarik kesimpulan berdasarkan fakta dan data untuk
memahami alam semesta dan membuat keputusan dari perubahan yang terjadi karena aktivitas
manusia (OECD, 2003). Literasi sains merupakan kemampuan seseorang dalam menggunakan
pengetahuan ilmiah dan prosesnya, tetapi ia tidak sekadar memahami alam semesta, tetapi juga
ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan menggunakannya (OECD, 1999).
Literasi sains diartikan pula sebagai pengetahuan tentang apa yang termasuk sains
(Kyle, 1995 a, 1995 b; H Urd, 1998; De Boer, 2000), kandungan isi sains, dan kemampuan
untuk membedakan sains dari nonsains (Shortland, 1988; NRC, 1996 ; CMEC, 1997 ; Mayer,
1997). Literasi sains juga merupakan pengetahuan tentang manfaat dan kerugian sains
(Shamos, 1995). Pengertian lain literasi sains adalah sikap pemahaman terhadap sains dan
aplikasinya (Shortland, 1988; Eisenhart, Finkel & Marion, 1996; Hurd, 1998; De Boer, 2000),
kemampuan untuk menggunakan pengetahuan sains dalam upaya memecahkan masalah (NRC,
1996), kemampuan untuk berfikir secara ilmiah (De Boer, 2000), kemampuan untuk berfikir
kritis tentang sains untuk berurusan dengan keahlian sains (Shamos, 1995; Korpan, et al.,
1997), kebebasan dalam mempelajari sains (Sutman, 1996), pemahaman terhadap hakikat
sains; termasuk hubungannya dengan budaya (Norma, 1998; Hanrahan, 1999; De Boer, 2000),
serta penghargaan dan kesukaan terhadap sains; termasuk rasa ingin tahu (CMEC, 1997;
Milllar & Osborn, 1998; Shamos, 1995).
Pudjiadi (1987) mengatakan bahwa: “sains merupakan sekelompok
pengetahuan tentang obyek dan fenomena alam yang diperoleh dari
pemikiran dan penelitian para ilmuwan yang dilakukan dengan keterampilan
bereksperimen menggunakan metode ilmiah”.
PISA mendefinisikan literasi sains sebagai kapasitas untuk menggunakan pengetahuan
dan kemampuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan dan menarik kesimpulan
berdasarkan bukti-bukti dan data-data yang ada agar dapat memahami dan membantu peneliti
untuk membuat keputusan tentang dunia alami dan interaksi manusia dengan alamnya
(Rustaman, et.al, 2000:2). Literasi sains menurut National Science Education
Standards (1995) adalah Scientific literacy is knowledge and understanding of scientific
concepts and processes required for personal decision making, participation in civic and
cultural affairs, and economic productivity. It also includes specific types of abilities.
Literasi sains yaitu suatu ilmu pengetahuan dan pemahaman mengenai konsep dan
proses sains yang akan memungkinkan seseorang
untuk membuat suatu keputusan dengan pengetahuan yang dimilikinya,
serta turut terlibat dalam hal kenegaraan, budaya dan pertumbuhan ekonomi, termasuk di
dalamnya kemampuan spesifik yang dimilikinya.
Literasi sains dapat diartikan sebagai pemahaman atas sains dan
aplikasinya bagi kebutuhan masyarakat (Widyatiningtyas, 2008).
Literasi berati kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara. Dalam
konteks sekarang, literasi memiliki makna yang luas, yaitu melek teknologi, politik,
berfikir kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar (Bukhori, 2005), sedangkan kata
sains merupakan serapan dari Bahasa Inggris, yaitu science yang
diambil dari bahasa latin sciencia dan berarti pengetahuan.
Sains dapat berarti ilmu pada umumnya, tetapi juga berarti ilmu pengetahuan alam (Poedjiadi,
2005).
Literasi Sains didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan sains,
mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-
bukti dalam rangka memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan alam
dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia (Firman, 2007:2).
Literasi IPA (scientific literacy) didefinisikan sebagai kapasitas untuk
menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan dan menarik
kesimpulan berdasarkan fakta untuk memahami alam semesta dan membuat
keputuan dari perubahan yang terjadi karena aktivitas manusia (OECD, 2003).
Proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu
pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan menginterpretasi bukti
serta menerangkan kesimpulan (Rustaman et al., 2004). PISA (2000) menetapkan lima
komponen proses sains dalam penilaian literasi sains, yaitu:
1. Mengenal pertanyaan ilmiah, yaitu pertanyaan yang dapat diselidiki secara ilmiah, seperti
2. Mengidentifikasi bukti yang diperlukan dalam penyelidikan ilmiah. Proses ini melibatkan
identifikasi atau pengajuan bukti yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan dalam suatu
penyelidikan sains, atau prosedur yang diperlukan untuk memperoleh bukti itu.
kesimpulan itu.
dipelajarinya.
Dari hasil akhir proses sains ini, siswa diharapkan dapat menggunakan konsep-konsep
sains dalam konteks yang berbeda dari yang telah dipelajarinya. PISA memandang pendidikan
sains untuk mempersiapkan warganegara masa depan, yang mampu berpartisipasi dalam
masyarakat yang akan semakin terpengaruh oleh kemajuan sains dan teknologi, perlu
mengembangkan kemampuan anak untuk memahami hakekat sains, prosedur sains, serta
kekuatan dan keterbatasan sains. Termasuk di dalamnya kemampuan untuk menggunakan
pengetahuan sains, kemampuan untuk memperoleh pemahaman sains dan kemampuan untuk
menginterpretasikan dan mematuhi fakta. Alasan ini yang menyebabkan PISA tahun 2003
menetapkan 3 komponen proses sains berikut ini dalam penilaian literasi sains.
1. Mendiskripsikan, menjelaskan, memprediksi gejala sains.
2. Memahami penyelidikan sains
3. Menginterpretasikan bukti dan kesimpulan sains.
Menurut Suhendra Yusuf (2003), literasi sains penting untuk dikuasai oleh siswa
dalam kaitannya dengan bagaimana siswa dapat memahami lingkungan hidup, kesehatan,
ekonomi, dan masalah-masalah lain yang dihadapi oleh masyarakat moderen yang
sangat bergantung pada teknologi dan kemajuan serta perkembangan ilmu pengetahuan.
Kompetensi literasi sains menurut PISA terdiri dari tiga hal yaitu:
1) Kompetensi mengidentifikasi isu-isu ilmiah, kemampuan ini meliputi bebrapa
keterampilan yaitu mengidentifikasi masalah yang dapat diselidiki secara
ilmiah, mengidentifikasi kata kunci untuk mencari informasi ilmiah,
mengidentifikasi kata kunci dari penyelidikan ilmiah.
2) Kompetensi menjelaskan fenomena ilmiah, beberapa keterampilan dalam
kompetensi ini mencakup menerapkan pengetahuan ilmu pada situasi tertentu,
menggambarkan atau menafsirkan fenomena ilmiah dan memprediksi
perubahan, mengidentifikasi deskripsi yang tepat, menjelaskan, dan melakukan
prediksi.
3) Kompetensi menggunakan bukti-bukti ilmiah, komptensi ini meliputi beberapa
keterampilan yaitu mengintepretasikan bukti ilmiah dan membuat dan
memberikan kesimpulan, mengidentifikasi asumsi-asumsi, bukti dan
memberikan alasan untuk menarik kesimpulan, merefleksikan implikasi sosial
dari sains dan perkembangan teknologi. (OECD, 2006; 2012; Toharudin., et al,
2011).
Pengukuran terhadap pencapaian literasi sains berdasarkan standar PISA yakni proses
sains, konten sains, dan konteks aplikasi sains. Proses sains merujuk pada proses mental yang
terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidenifikasi
dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan. Termasuk juga mengenal jenis
pertanyaan yang dapat dan tidak dapat dijawab oleh sains, mengenal bukti apa yang diperlukan
dalam suatu penyelidikan sains, serta mengenal kesimpulan yang sesuai dengan bukti yang
ada. Konten sains merujuk pada konsep-konsep kunci yang diperlukan untuk memahami
fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui akitivitas
manusia. Situasi ataukonteks adalah area aplikasi konsep-konsep sains yang dikelompokkan
menjadi tiga area sains yaitu kehidupan dan kesehatan, bumi dan lingkungan dan teknologi
(Toharudin., et al, 2011: 9).
Aspek Literasi Sains, PISA menetapkan tiga dimensi besar literasi sains dalam
pengukurannya yakni; Konten sains, Proses sains, dan Konteks aplikasi sains.
1. Aspek Konten Sains
Konten sains merujuk pada konsep-konsep kunci dari sains yang diperlukan untuk
memahami fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas
manusia. Dalam kaitan ini PISA tidak secara khusus membatasi cakupan konten sains hanya
pada pengetahuan yang menjadi materi kurikulum sains sekolah, namun termasuk pula
pengetahuan yang dapat diperoleh melalui sumber-sumber informasi lain yang tersedia. Oleh
karena PISA bertujuan mendeskripsikan seberapa jauh siswa mampu mengaplikasikan
pengetahuan dalam konteks yang terkait kehidupannya, dan soal-soal PISA hanya mencakup
sampel pengetahuan sains, maka PISA menentukan kriteria pemilihan konten sains sebagai
berikut :
Relevan dengan situasi kehidupan nyata
Merupakan pengetahuan penting sehingga penggunaannya berjangka panjang
Sesuai untuk tingkat perkembangan anak usia 15 tahun
Berdasarkan kriteria konten seperti itu, dipilih pengetahuan yang diperlukan untuk memahami
alam dan memaknai pengalaman dalam konteks personal, sosial dan global. Pengetahuan yang
dipilih tersebut diambil dari bidang-bidang studi biologi, fisika, kimia, serta ilmu pengetahuan
bumi dan antariksa dengan merujuk pada kriteria tersebut. Peserta didik harus mampu
mengaplikasikan pengetahuan dan kompetensi sains dalam konteks yang dipandang sebagai
sistem.
2. Aspek Proses Sains
PISA memandang pendidikan sains berfungsi untuk mempersiapkan warga
negara masa depan, yakni warga negara yang mampu berpartisipasi dalam masyarakat yang
semakin terpengaruh oleh kemajuan sains dan teknologi. Oleh karenanya pendidikan sains
perlu mengembangkan kemampuan peserta didik memahami hakekat sains, prosedur sains,
serta kekuatan dan limitasi sains. Peserta didik perlu memahami bagaimana ilmuwan sains
mengambil data dan mengusulkan eksplanasi-eksplanasi terhadap fenomena alam, mengenal
karakteristik utama penyelidikan ilmiah, serta tipe jawaban yang dapat diharapkan dari sains.
Karakteristik utama sains mencakup: pengumpulan data dipandu oleh gagasan dan
konsep, sifat tentatif dari pengetahuan sains, keterbukaan terhadap pengujian dan pengkajian,
menggunakan argumen logis, serta kewajiban untuk melaporkan metode dan prosedur yang
digunakan dalam pengumpulan bukti. Sejak kelahirannya, PISA menjadikan proses sains ini
sebagai salah satu domain penilaiannya. Namun dalam perkembangan terakhir, PISA memilih
istilah “kompetensi sains” sebagai pengganti proses sains. Proses sains merujuk pada proses
mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti
mengidentifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan. Termasuk di
dalamnya mengenal jenis pertanyaan yang dapat dan tidak di jawab oleh sains, mengenal bukti
apa yang diperlukan dalam suatu penyelidikan sains, serta mengenal kesimpulan yang sesuai
dengan bukti yang tersedia.
3. Aspek Konteks Aplikasi Sains
PISA menilai pengetahuan sains relevan dengan kurikulum pendidikan sains di negara
partisipan tanpa membatasi diri pada aspek-aspek umum kurikulum nasional setiap negara.
Penilaian PISA dibingkai dalam situasi kehidupan umum yang lebih luas dan tidak terbatas
pada kehidupan di sekolah saja.
Dalam memilih konteks, pikiran dasarnya adalah PISA bertujuan menilai pemahaman
dan kemampuan dalam sains, serta sikap-sikap yang harus dimiliki siswa pada akhir masa
wajib belajar. Sebagai studi Internasional, konteks yang digunakan untuk soal-soal PISA harus
dipilih sedemikian rupa sehingga sesuai dengan minat dan kehidupan peserta didik di setiap
negara-negara partisipan. Butir-butir soal PISA dikembangkan dan dipilih dengan
memperhatikan faktor keragaman budaya dan bahasa di negara-negara partisipan PISA.
B. Pembelajaran inkuiri
Pembelajaran inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara
maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia
atau peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan
sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Pembelajaran inkuiri menekankan kepada
proses mencari dan menemukan. Materi pelajaran tidak diberikan secara langsung. Peran siswa
dalam pembelajaran ini adalah mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran, sedangkan
guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing siswa untuk belajar. Pembelajaran inkuiri
merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir kritis dan
analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang
dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru
dan siswa. Pembelajaran ini sering juga dinamakan pembelajaran heuristic, yang berasal dari
bahasa Yunani, yaitu heuriskein yang berarti “saya menemukan”. Joyce (Gulo, 2005)
mengemukakan kondisi-kondisi umum yang merupakan syarat bagi timbulnya kegiatan inkuiri
bagi siswa, yaitu :
(1) aspek sosial di dalam kelas dan suasana bebas-terbuka dan permisif yang
mengundang siswa berdiskusi;
(2) berfokus pada hipotesis yang perlu diuji kebenarannya; dan
(3) penggunaan fakta sebagai evidensi dan di dalam proses pembelajaran dibicarakan
validitas dan reliabilitas tentang fakta, sebagaimana lazimnya dalam pengujian
hipotesis.
Pembelajaran inkuiri memiliki beberapa ciri, di antaranya:
a. Pembelajaran inkuiri menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal untuk
mencari dan menemukan. Artinya, pada pembelajaran inkuiri menempatkan siswa
sebagai subjek belajar. Dalam proses pembelajaran, siswa tidak hanya berperan sebagai
penerima materi pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal, tetapi mereka
berperan untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran itu sendiri.
b. Seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan
jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat
menumbuhkan sikap percaya diri (self belief). Dengan demikian, pada pembelajaran
inkuiri menempatkan guru bukan sebagai satu-satunya sumber belajar, tetapi lebih
diposisikan sebagai fasilitator dan motivator belajar siswa. Aktivitas pembelajaran
biasanya dilakukan melalui proses tanya jawab antara guru dan siswa. Karena itu
kemampuan guru dalam menggunakan teknik bertanya merupakan syarat utama dalam
melakukan inkuiri. Guru dalam mengembangkan sikap inkuiri di kelas mempunyai
peranan sebagai konselor, konsultan, teman yang kritis dan fasilitator. Ia harus dapat
membimbing dan merefleksikan pengalaman kelompok, serta memberi kemudahan
bagi kerja kelompok.
c. Tujuan dari pembelajaran inkuiri adalah mengembangkan kemampuan berpikir secara
sistematis, logis, dan kritis, atau mengembangkan kemampuan intelektual sebagai
bagian dari proses mental. Dengan demikian, dalam pembelajaran inkuiri siswa tidak
hanya dituntut untuk menguasai materi pelajaran, akan tetapi bagaimana mereka dapat
menggunakan potensi yang dimilikinya. Manusia yang hanya menguasai pelajaran
belum tentu dapat mengembangkan kemampuan berpikir secara optimal. Sebaliknya,
siswa akan dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya manakala ia bisa
menguasai materi pelajaran.
Tabel 2.1 adalah Tahapan model pembelajaran inkuiri terbimbing menurut Suparno
(2004) sebagai berikut :
Fase Kegiatan guru Kegiatan peserta didik
Fase 1 Guru membimbing peserta Peserta didik
Menyajikan pertanyaan atau didik untuk mengidentifikasi masalah
masalah mengidentifikasi masalah yang akan dipecahkan.
yang ingin dipecahkan.
Bimbingan dari guru dapat
dilakukan dengan
memberikan pertanyaan
pada peserta didik.
Fase 2 Guru memberikan peserta Peserta didik membuat
Membuat dan menyajikan didik kesempatan untuk hipotesis yang relevan
hipotesis mendengarkan pendapat dengan permasalahan.
dalam bentuk hipotesis,
serta membimbing peserta
didik memilih hipotesis
yang relevan dengan
permasalahan dan
memperioritaskan hipotesis
mana yang akan di
prioritaskan penyelidikan.
Fase 3 Guru memberikan Peserta didik merancang
Merancang percobann kesempatan pada peserta percobaan yang akan
didik untuk menentukan digunakan sesuai dengan
langkah-langkah percobaan hipotesis yang telah dibuat.
yang sesuai dengan
hipotesis yang telah dibuat,
serta membimbing peserta
didik mengurutkan
langkah-langkah
percobaan.
Fase 4 Guru membimbing peserta Peserta didik melakukan
Melakukan percobaan didik untuk memperoleh percobaan sesuai langkah-
informasi melalui langkah yang dibuat untuk
percobaan. mendapatkan informasi.
Fase 5 Guru memberikan Peserta didik
Mengumpulkan dan kesempatan pada setiap mengumpulkan data hasil
menganalisis data kelompok untuk percobaan dengan mencatat
mengumpulkan data yang data hasil tersebut yang
diperoleh melalui kemudian dilanjutkan
percobaan, serta dengan menganalisis data
menganalisis data tersebut. tersebut.
Fakta :
Kurang optimalnya keaktifan siswa dalam proses pembelajaran cenderung membuat siswa pasif
dan kurang kritis, dimana hal tersebut tidak sesuai paradigma belajar yang diinginkan pada abad
21 yaitu belajar yang dapat memberdayakan keterampilan berpikir kritis.
Harapan :
Literasi sains merupakan hal yang wajib dilatihkan kepada peserta didik. Dengan tepatnya model
pembelajaran yang akan diterapkan, membuat peserta didik tertarik untuk belajar. Pembelajaran
inkuiri merupakan model pembelajaran yang tepat untuk melatihkan kemampuan literasi sains
peserta didik.
Masalah :
Perkembangan kemampuan literasi sains pada peserta didik masih belum berkembang dengan
optimal atau tergolong rendah.
Hipotesis :
Penggunaan model pembelajaran inkuiri terbimbing pada pembelajaran fisika dapat meningkatkan
kemampuan literasi peserta didik.
Solusi :
Pembudayaan literasi sains dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing pada materi Usaha dan
Energi.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian true experimental design. True
experimental design adalah menyelidiki kemungkinan hubungan sebab – akibat dimana
secara nyata ada kelompok perlakuan dan kelompok control menurut Suharsimi Arikunto
(2002).
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah peserta didik dari SMAN 22 Surabaya tahun ajaran
2019/2020 kelas XI MIA 1 dan XI MIA 2.
D. Desain penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian dengan control group pre-test dan post
test oleh Suharsimi Arikunto (2002). Pada penelitian ini menggunakan dua kelompok
subyek yang terdiri dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok
eksperimen akan diberikan tindakan sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan tindakan.
Pengukuran variable dilakukan sebelum dan sesudah diberikannya tindakan oleh masing-
masing kelompok. Kelas XI MIA 1 sebagai kelompok kontrol sedangkan XI MIA 2 sebagai
kelompok eksperimen.
E. Variable penelitian
1. Variabel bebas
Variabel bebas merupakan variabel yang memengaruhi atau menjadi suatu
penyebab perubahan variabel terikat (Sugiyono, 2011). Pada penelitian ini yang
menjadi variabel bebas adalah model pembelajaran inkuiri terbimbing untuk
meningkatkan kemampuan literasi sains peserta didik.
2. Variabel terikat
Variabel terikat merupakan variabel yang terpengaruh akibat adanya variabel
bebas (Sugiyono, 2011). Variabel terikat dapat diperoleh setelah diberikan
tindakan. Pada penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah peningkatan
kemampuan literasi sains peserta didik.
3. Variabel kontrol
Variabel kontrol merupakan variabel yang dibuat konstan dan tidak diberikan
perlakuan atau variabel yang dikendalikan (Sugiyono,2011). Pada penelitian ini
yang menjadi variabel kontrol adalah guru, bahan ajar, dan alokasi waktu.
F. Definisi variabel operasional
1. Keterlaksanaan model pembelajaran inkuiri terbimbing
Keterlaksanaan model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah proses kegitan
belajar mengajar di dalam kelas dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan atau
tidak. Untuk dapat mengetahui keterlaksanaan dari model pembelajaran yang
diterapkan yang mana untuk meningkatkan kemampuan literasi sains peserta didik,
maka digunakan instrumen penelitian berupa lembar observasi, yang digunakan
saat proses belajar mengajar.
2. Kemampuan literasi sains
Literasi sains merupakan penggunaan pengetahuan dan kemampuan ilmiah,
mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan dan menarik kesimpulan
berdasarkan bukti-bukti dan data-data yang ada agar dapat memahami dan
membantu membuat keputusan. Untuk dapat mengetahui peningkatan kemampuan
literasi sains digunakan instrumen penelitian berupa soal pre-test dan post-test,
yang dikerjakan oleh peserta didik.
3. Respon peserta didik
G. Prosedur penelitian
Prosedur penelitian adalah serangkaian kegiatan secara umum untuk dapat
memberikan gambaran langkah-langkah yang akan dilakukan saat mengerjakan proses
penelitian dari awal sampai dengan akhir.
1. Tahap persiapan
Melakukan observasi ke sekolah yang akan dituju, meminta perijinan untuk
diperbolehkan melakukan penelitian ; Mengambil beberapa informasi yang dapat
dijadikan dasar dalam pembuatan proposal penelitian berupa angket secara tertulis
ataupun secara lisan kepada bapak/ibu guru terkait dan peserta didik ; Setelah
mendapatkan beberapa informasi mulai menyusun proposal yang akan diserahkan
kepada sekolah yang dituju ; Menyusun perangkat pembelajaran ; Instrumen
penelitian berupa lembar observasi dan soal-soal ; Dan yang terakhir adalah proses
validasi perangkat dan instrumen penelitian.
2. Tahap pelaksanaan
Sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar di dalam kelas diberikan terlebih
dahulu instrumen penilaian berupa soal pre-test untuk menguji pengetahuan awal
pada peserta didik ; Setelah itu melakukan proses belajar mengajar dengan model
pembelajaran inkuiri terbimbing untuk meningkatkan kemampuan literasi sains
peserta didik ; Diakhir dengan pembagian soal post-test untuk dapat mengetahui
keberhasilan menggunakan model pembelajaran yang digunakan dan untuk
mengetahui peningkatan kemampuan literasi sains siswa.
3. Tahap penyelesaian
Setelah serangkaian kegiatan telah dilakukan, hal berikutnya yang dilakukan
yaitu mengumpulkan data yang telah didapat yang selanjutnya di analisa untuk
dapat memperoleh kesimpulan hasil penelitian yang dilakukan ; dan menyusun
laporan akhir sebagai bukti telah dilaksanakan serangkaian kegiatan tersebut.
H. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data merupakan cara-cara untuk dapat memperoleh data secara
valid sehingga dapat digunakan sebagai bahan acuan melakukan penelitian.
1. Observasi
Metode observasi adalah metode dimana peneliti akan terjun langsung pada
lapangan untuk dapat mendapatkan data yang baik. Metode tersebut juga dapat
dijadikan acuan mengenai keterlaksanaan dari model pembelajaran yang digunakan
yaitu model pembelajaran inkuiri terbimbing untuk meningkatkan kemampuan
literasi sains.
2. Tes
Metode tes adalah metode dengan diberikannya soal-soal untuk dapat mengetahui
perbedaan dari sebelum diterapkannya model pembelajaran berbasis inkuiri
terbimbing dengan yang setelah diterapkan model pembelajaran berbasis inkuiri
terbimbing. Terdapat dua test untuk dapat mengukur keterlaksanaan model
pembelajaran. Yang pertama yaitu soal pre-test dimana diberikan sebelum kegiatan
belajar mengajar dan soal post-test dimana diberikan sesudah kegiatan belajar
mengajar. Dengan metode tes tersebut, dapat diketahui perkembangan pengetahuan
perserta didik pada materi yang diajarkan.
3. Angket.
I. Penyusunan perangkat pembelajaran dan instrument penelitian
1. Perangkat pembelajaran
1. Silabus
2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
3. Handout
4. Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD)
2. Instrumen penilaian
a. Lembar observasi
b. Lembar tes
c. Lembar angket
J. Analisa instrument penilaian
1. Uji validitas
Dalam penelitian ini, yang perlu dilakukan uji validitasnya adalah instrumen-
instrumen terkait dengan penelitian dan dikonsultasikan terlebih dahulu dengan
para ahli. Instrumen tersebut berupa Silabus, Rencana Perangkat Pembelajaran,
Lembar Kegiatan Peserta Didik, dan Lembar Evaluasi Peserta Didik.
Tabel 3.1 adalah Kategori presentase kelayakan perangkat pembelajaran
Percentage Score Keterangan
81%-100% Sangat Baik
61%-80% Baik
41%-60% Kurang
21%-40% Sangat kurang
Riduwan(2010)
2. Analisa percentage of agreement perangkat pembelajaran
𝐴−𝐵
Percentage of Agreement = 100(1 − 𝐴+𝑏 )
Keterangan :
A = Frekuensi aspek yang dinilai oleh pengamat dengan memberikan frekuensi
tinggi
B = Frekuensi aspek yang dinilai oleh pengamat dengan memberikan frekuensi
rendah
Kriteria penerimaan Percentage of Agreement apabila mendapatkan ≥75%.
K. Teknik analisis data
1. Analisis keterlaksanaan pembelajaran
Dilakukan penilaian terhadap keterlaksanaan model pembelajaran Inkuiri
terbimbing untuk melatihkan literasi sains pada perangkat pembelajaran yang
digunakan dengan rumus:
Σ nilai kemampuan pembelajaran
Nilai rata-rata = Σ kemampuan aspek yang dinilai